Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahas

Islam Nusantara Menurut Perspektif Mahasiswa FAI
UIKA Bogor
Syarifah Gustiawati Mukri
Zahrotunn’imah
Universitas Ibn Khaldun (UIKA) Bogor
syarifah@fai.uika-bogor.ac.id
liefah83@gmail.com
Abstrak
Mahasiswa sebagai agen of change di masyarakat, harus dapat menjadi pioneer dan teladan dalam
mengedukasi dan mensosialisasikan setiap peristiwa yang berkaitan dengan sosial keagamaan,
dalam hal ini gagasan Islam Nusantara yang menjadi isu yang harus disikapi dengan baik, dan
dimaknai dengan penuh kebijakan. Sehingga tidak menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan dan sikap mahasiswa terkait isu gagasan
Islam Nusantara baik dari aspek sumber informasi, nilai pandang keagamaan dan pendapat etika
budaya, sedangkan secara spesifik penelitian ini memiliki sejumlah tujuan antara lain,
mendapatkan gambaran atau deskripsi lengkap tentang pandangan gagasan Islam Nusantara
Menurut Perspektif Mahasiswa FAI UIKA Bogor. Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif, dimana penelitian ini lebih menekankan pada makna dan proses dari pada hasil suatu
aktivitas. Penelitian dilakukan selama tiga bulan dengan responden mahasiswa FAI dari berbagai
program studi melalui hasil wawancara dan angket, sehingga dapat memberikan informasi yag
bermanfaat untuk menambah wawasan Islam khususnya di lingkungan kampus. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa berpendapat tidak setuju dengan istilah Islam
Nusantara yang berpotensi menimbulkan perpecahan umat Islam dan membatasi Islam yang
rahmatan lilalamin sebatas wilayah teritorial dan budaya saja, sedangkan tujuan konsep Islam
Nusantara secara umum mahasiswa berpendapat setuju dengan gagasan tersebut karena untuk
tujuan mengangkat eksistensi agama dan bagian daripada strategi dakwah modern. Sebagian besar
mahasiswa berpendapat bahwa faktor terbesar yang mempengaruhi pola pikir dan sikap
masyarakat terkait isu Islam Nusantara adalah faktor informasi yang diperoleh dari media massa
yang disajikan secara tidak berimbang dan menimbulkan pro dan kontra, selain faktor politik yang
ingin menunjukkan bahwa Islam adalah ajaran agama yang toleran, santun, damai dan universal
sebagai anti tesis dari ajaran yang keras dan menyimpang dari semangat Islam yang rahmat bagi
semesta alam.
Keyword: Islam Nusantara, Mahasiswa FAI UIKA Bogor

1.1 Pendahuluan
Istilah Islam Nusantara, menimbulkan pendapat pro dan kontra di berbagai
kalangan umat Islam di Indonesia. Pendapat yang pro dan kontra tersebut
mempropagandakan bahwa “Islam Nusantara” adalah wujud implementasi Islam terbaik,
dibandingkan dengan “Islam Timur Tengah” yang saat ini diwarnai berbagai konflik.
Istilah tersebut, memang
belum lama dideklarasikan, akan tetapi telah ramai

diperbincangkan.
Beberapa kalangan intelektual, ulama, politisi, dan pejabat pemerintah banyak
menggunakan istilah ini ketika membicarakan Islam. Pemicu awalnya adalah penggunaan
langgam Jawa dalam tilawah Al-Qur’an pada acara Isra Mi’raj di Istana Negara. Namun
demikian, ide Islam Nusantara bukanlah hal yang baru, karena Islam Nusantara hakikatnya
adalah Islam Ahlussunnah Waljamaah yang akidahnya Asy’ariyah, fiqhnya madzhab
syafi’i dan tasawufnya alghazali.1
Ketua umum pengurus besar Nahdatul Ulama Said Agil Siradj2 menyatakan bahwa
konsep Islam Nusantara dianggap sebagai wujud kearifan lokal Indonesia. Islam Nusantara
adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisional lokal, budaya, dan adatistiadat di Tanah Air. Menurut Said, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam Arab atau
Timur Tengah. Islam Nusantara, tegasnya, adalah Islam yang khas ala Indonesia
(Republika.co.id, 10/03).
Komarudin Hidayat menjelaskan bahwa konsep Islam Nusantara memerlukan
penafsiran ulang, karena fikih keberagamaan manusia yang hadir di tengah masyarakat
padang pasir dan bangsa maritim serta pertanian yang hidup damai, jauh dari suasana
konflik dan perang memiliki ekspresi yang berbeda. Karena terlihat di berbagai daerah di
Nusantara para wanita sudah biasa aktif bertani di sawah untuk membantu ekonomi
keluarga. Tradisi berpakaian pun berbeda dengan wanita di Arab sehingga terasa sulit
untuk meminta mereka mengganti pakaian tradisinya menjadi kearaban. Komarudin juga
menambahkan bahwa di Amerika, telah terjadi Amerika Islam dan di Eropa terjadi

Eropanisasi Islam (Koran sindo, 10/04).
Dengan beragamnya pendapat para tokoh dan cendikiawan dari berbagai kalangan
umat Islam, maka terjadilah pro dan kontra di tengah masyarakat. Maka Mahasiswa
sebagai agen perubahan di masyarakat, harus berperan sebagai pembawa sumber informasi
utama bagi masyarakat, selain media massa dengan penuh tanggung jawab, maka dari itu
mereka perlu mengambil sikap dan tindakan terkait menerima atau mensikapi isu tersebut,
dan berupaya berkontribusi terhadap pemikiran, tindakan dan gerakan, untuk mewujudkan
Islam yang Rahmatan lil’alamin.
Berdasarkan pemahaman yang pro dan kontra dari berbagai kalangan terkait
dengan gagasan Islam Nusantara, dan pola informasi yang disajikan media massa yang
tidak berimbang, akan memicu terjadinya kesalahpahaman yang berkepanjangan dari
berbagai kalngan dan tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap pola pikir
mahasiswa yang merupakan penggerak aktivis muda yang banyak terlibat di masyarakat
dan gerakan oganisasi massa.
1

Hasil wawancara dengan Adian Husaini, Pemerhati Pemikiran Islam, wawancara in depth interview di
pasca sarjana UIKA Bogor, 2 Februari 2016.
2
Said bin Aqil bin Siroj bin Muhammad said atau dikenal dengan kang Said pada 03 Juli 1953, di kempek,

palimunan, Cirebon Jawa Barat. Riwayat pendidikan kang Said waktu kecil mengaji di pesantren kempek
bersama ayahnya, kemudian mondok di pesantren lirboyo Kediri dan pesantren krapyek Yogyakarta.
Kemudian melanjutkan belajar ke Universitas Ummul Quro selama 14 tahun

Berdasarkan pernyataan di atas maka diperlukan sebuah penelitian tentang Analisis
Islam Nusantara dalam Perspektif Mahasiswa Fakultas Agama Islam UIKA Bogor.
Pandangan mahasiswa FAI terhadap gagasan Islam Nusantara dalam menerima dan
menyikapi gagasan tersebut. Pandangan mahasiswa dalam hal ini, diminta tanggap
terhadap isu Islam Nusantara baik dari aspek konsep pemikiran, gerakan dan tindakan.
Secara garis besar dan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pandangan
mahasiswa FAI UIKA Bogor terhadap isu gagasan Islam Nusantara baik dari aspek
sumber informasi, nilai pandang keagamaan dan pendapat etika budaya, sedangkan secara
spesifik penelitian ini memiliki sejumlah tujuan antara lain:
Mendapatkan gambaran atau deskripsi lengkap tentang pandangan gagasan Islam
Nusantara Menurut Perspektif Mahasiswa FAI UIKA Bogor.
2.1 Literatul Review

Islam merupakan agama yang kaffah (holistis dan universal), yang memiliki sistem
melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia. Sebagaimana diketahui bersama, bahwa AlQur’an sebagai sumber utama dan pertama bagi Islam yang terdiri dari tiga hukum.
Pertama, ahkam I’tiqadiyyah, yaitu sejumlah ajaran yang berkaitan dengan apa yang wajib

diyakini oleh mukallaf menyangkut eksistensi Allah, malaikat, para utusan, kitab-kitab
Allah, dan hari pembalasan. Kedua, ahkam Khuluqiyah, yaitu ajaran-ajaran yang
memberikan petunjuk kepada mukallaf untuk membersihkan jiwa dan hati dari sifat-sifat
tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga, ahkam ‘amaliyyah/hukum
praktis, yaitu tuntunan dan tuntutan yang berkenaan dengan perbuatan mukallaf, mulai dari
peribadatan, pernikahan, transaksi, dan seterusnya.3
Secara etimologis, Nusantara berasal dari bahasa Sansakerta yang terdiri dari dua kata:
Nusa dan Tara. Nusa berarti pulau, tanah air. Antara berarti jarak, sela, selang, di tengahtengah dua benda. Nusantara adalah pulau-pulau yang terletak antara Benua Asia dan
Australia, diapit oleh dua lautan, Hindia dan Pasifik.4 Karenanya, tidak salah jika Radhar
Panca Dahana menyatakan bahwa orang-orang Nusantara adalah bangsa bahari yang
inklusif. Islam bukan hanya cocok diterima orang Nusantara, tetapi juga pantas mewarnai
budaya Nusantara untuk mewujudkan sifat akomodatifnya yakni rahmatan lil’alamin.
Nusantara adalah kata benda majemuk yang berasal dari bahasa Jawa Kuna: nusa (pulau)
dan antara (terletak di seberang). Dalam kitab “Negarakertagama” yang ditulis sekitar
tahun 1365 M, Empu Prapanca –seorang penulis sekaligus pendeta Buddha –
menggambarkan wilayah penyusun Nusantara dengan memasukkan sebagian besar pulaupulau dalam wilayah Indonesia modern (Sumatra, Jawa, Bali, Kepulauan Sunda Kecil,
Kalimantan, Sulawesi, sebagian dari Maluku dan Papua Barat), ditambah wilayah lain
yang cukup luas yang saat ini menjadi daerah kekuasaan Malaysia, Singapura, Brunei, dan
bagian selatan Filipina. Pada 2010, menurut data Biro Pusat Statistik, Wilayah Indonesia
sekarang terdiri dari 1.340 kelompok etnik, dengan 2.500 bahasa dan dialek yang berbeda.

Nusantara adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kepulauan Indonesia
yang merentang di wilayah tropis dari Sumatra di bagian barat sampai Papua di bagian
Timur. Inilah wilayah yang tercirikan dengan keanekaragaman geografis, biologis, etnis,
bahasa, dan budaya. Kata “Nusantara” berasal dari bahasa susastra Jawa di abad ke 14 M,
3

KH. Afifuddin Mfuhaji, Mnnnufuhaan Islam Nfusantaa,a Untafua Pn,adaaan
Indonnsia dan Dfunia Islam Nfusantaa,a da,i Ushful Hinuua Paham Knaanusaan Mizan
Mndia Utaama 2016 h. 61
4
Dr. Zainul Milal Bizawie, Islam Nusantara sebagai subjek dalam Islamic Studies, Lintas
Diskursus dan Metodologis, h. 243.

yang merujuk pada rangkaian pulau-pulau yang menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan
Majapahit.5
Pengertian Islam Nusantara secara bahasa merupakan jenis penggabungan kata yang
disebut aneksi, karena masuk dalam kategori aneksi maka terma Islam Nusantara sama saja
dengan terma Islam di Nusantara.6 Menurut susunan gramatika Arab bahwa rangkaian dua
kata Islam Nusantara bukan susunan shifat maushuf, (sifat yang disifati), melainkan
susunan idlafah (aneksi). Oleh karena itu di antara dua kata tersebut terkandung kata

imbuhan, bisa berimbuhan min (dari) atau fi (di), maka rangkaian Islam Nusantara itu
bukan bermakna Islam disifati Nusantara, tetapi Islam hidup di Nusantara. Kata Nusantara
bukan sifat dari Islam tetapi sebagai idlafah.7 Sedangkan dari sisi subtansi, terma Islam
Nusantara adalah paham dan praktik keislaman di bumi Nusantara sebagai hasil dialektika
antara teks syariat dengan realita budaya setempat.8
Sementara Ketua Umum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Dr.
Hamid Fahmi Zarkasyi, M.Phil,MA9 menilai pembentukan istilah Islam Nusantara memiliki
kesalahan bahasa yang mendasar. Sistem bahasa Indonesia adalah diterangkanmenerangkan. Kata yang diterangkan lebih spesifik dan kata yang menerangkan lebih
umum. Sebagaimna Islam Nusantara, Islam diterangkan dan Nusantara menerangkan,
dengan pengertian bahasa seperti itu, karenanya Islam Nusantara salah secara bahasa, sebab
itu berarti mereduksi makna Islam hanya sekedar nusantara.
Menurut katib Syuriah PBNU KH. Afifuddin Muhajir bahwasanya Islam Nusantara
adalah pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih muamalah
sebagai hasil dialektika antara nash, syariat dan ‘urf, budaya dan realita di bumi Nusantara.
Cendikiawan muslim Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang Islam Nusantara sebagai
Islam yang distingtif yang merupakan hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, dan
vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia.
Dengan ciri ortodoksi Islam Nusantara (Kalam Asy’ari, Fiqh Mazhab Syafi’i, dan Tasawuf
Ghazali) sehingga menumbuhkan karakter wasathiyah yang moderat dan toleran.
Menurut Prof. Dr.KH. Ali Mustafa Ya’qub Pengurus Besar Nadhlatul ‘Ulama

(PBNU) dan Imam Besar Masjid Istiqlal mengatakan bahwa “Islam Nusantara” itu adalah
Islam di Nusantara, maka itu tepat. Kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bercorak
budaya Nusantara, dengan catatan: selama budaya Nusantara itu tidak bertentangan dengan
Islam, maka itu juga tepat. Namun kalau “Islam Nusantara” itu Islam yang bersumber dari
apa yang ada di Nusantara, maka itu tidak tepat. Sebab sumber agama Islam itu Al-Qur’an
dan Hadits. Apa yang datang dari Nabi Muhammad itu ada dua hal yaitu agama dan
budaya. Yang wajib kita ikuti adalah agama: aqidah dan ibadah. Itu wajib, tidak bisa
ditawar lagi. Tapi kalau budaya, boleh diikuti dan boleh juga tidak diikuti. Contoh budaya:
Nabi pakai sorban, naik unta, dan makan roti. Demikian pula budaya Nusantara. Selama
budaya Nusantara tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka boleh diikuti. Saya pakai
sarung itu budaya Nusantara dan itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Shalat pakai

5

KH. Yahya Cholil Staaqfui Islam Mn,anuaful Nfusantaa,a Islam Nfusantaa,a da,i
Ushful Hinuua Paham Knaanusaan Mizan Mndia Utaama 2016 h. 191
6
Kamus Besar Bahasa Indonesia, aneksi adalah Gabungan kata dalam bahasa Indonesia, baik
frase maupun majemuk (bagi yang setuju) memperlihatkan hubungan yang diterangkan dengan yang
menerangkan lazim disebut DM. Hubungan erat antara yang diterangkan (bagian inti) dengan yang

menerangkan (bukan inti) disebut aneksi. Hubungan iISlni menghasilkan makna baru.
7
KH. Sfuahan Ma’mfun 2015
8
Afifuddin Mfuhaji, Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh hingga Paham Kebangsaan, PT. Mizan
Pustaka, 2016, h. 169
9
Hasil wawanca,a dnnuan Usta. D,. Fahmi Za,aasyi M.Phil.MA Bn,sama Majalah
UMMI

koteka itu juga budaya Nusantara, tapi itu bertentangan dengan ajaran Islam, maka itu tidak
boleh. Jadi harus dibedakan antara agama dan budaya.10
pendapat Oman Faturahman, Guru Besar Filologi Islam UIN Jakarta dalam
sambutannya pada acraa Pra Muktamar ke – 33 NU di Makasar, Sulawesi Selatan
menegaskan, bahwa Islam Nusantara sebagai perwujudan islam yang bersifat empirik, dan
isntingtif sebagai hasil interaksi, konstektuslisasi, indigenisasi, penerjemahan dan
vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia
(NU.or.id, 22/04).11
Sebagai cendikiawan muslim Indonesia Azyumardi Azra menyatakan bahwa Islam
Nusantara merupakan hasil dari dialog antara Islam yang universal dengan kebudayaan

lokal. Karakter islam Indonesia yang wasathiyah sedemikian memikat dunia, diawali
dengan lahirnya tradisi, budaya, dan kesatuan Islam sufistik sejak awal abad ke- 16.
Bahkan, Michael Laffan menejlaskan bahwa wajah Islam Indonesia tidak mulai dibentuk
pada masa kolonial seperti banyak diasumsikan oleh para sarjana. Ia adalah kelanjutan dan
buah dari pertemuan beragam tradisi, budaya, intelektualitas, dan agama yang telah saling
berinteraksi sejak awal masuknya Islam ke wilayah ini. Tradisi Arab, Cina, India, dan
Eropa, tersebut membentuk karakter wasathiyah.
Namun demikian, Dr. Tiar Anwar Bachtiar mengkritik istilah penggunaan Islam
Nusantara yang dikemukakan oleh Azyumardi Azra yang merupakan hasil dialog antara
Islam yang universal dengan kebudayaan lokal. Menurutnya Islam Nusantara merupakan
konsep politik dan kewilayahan. Konsep kewilayahan ini berarti satu wilayah yaitu
Nusantara yang termasuk di dalamnya Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, Myanmar
dan Vietnam. Maka mestinya yang hidup disini bukan hanya mazhab syafi’I, tasawufnya
Ghazali, maka harus representative dan mewakili semua yang ada di wilayah tersebut.
(almutaqin//arrahman.com).
Sejumlah kalangan berpendapat berbeda tentang potensi Islam Nusantara untuk
memecah belah kesatuan kaum muslim. Antar negeri muslim akan dipecah-belah melalui
isu kedaerahan, ada Islam Nusantara, Islam Timur Tengah, Islam Turki, dan sebagainya.
Strategi tersebut dianggap sebagai kalangan politik belah-bambu atau stick and carrot
untuk melemahkan kaum muslim. Bagi mereka gagasan Islam Nusantara bukanlah hal

yang baru, karena ide tersebut telah lahir sejak tahun 1980an. Sebagaimana yang pernah di
gulirkan oleh Nurcholish Madjid dalam bukunya, “Islam, kemodernan dan keindonesiaan
(Mizan, 1987). Meliau menjelaskan tentang seruan islam inklusif yang bersifat terbuka dan
toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesian. Ide tersebut dianggap
memiliki persamaan dengan argumentasi pengusung ide Islam Nusantara yang
mempropagandakan dimana ide Islam Nusantara ini dianggap sebagai kalangan
sekularisasi model baru.
Kalangan yang menolak ide tersebut muncul karena senganp gagasan tersebut
lemah. Karena, sebagaimana telah diketahui bahwa Al-Qur’an di turunkan oleh Allah
SWT sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia, tidak ada kekhususan bagi orang Arab,
Eropa, Asia, dan sebagainya. Pastinya hal tersebut adalah kekeliruan yang besar jika islam
disepadankan dengan adat istiadat dan budaya sehingga ajaran Islam juga mengakomodir
hal-hal yang sifatnya mubah selama tidak menyalahi syariah. Misalnya, memakai kopiah
saat sholat dibolehkan sebagai sorban, karena hal tersebut hukumnya mubah. Namun,
memakai jilbab (milhafah [baju kurung/abaya]) merupakan kewajiban bagi setiap Muslim
10

Pnnuuiata Jnjaa Islam funtafua Banusa (JIB) Andi Ryansyah an,aincanu dnnuan
P,oi.D,.KH. Ali Mfustaaia Ya’qfua Jfum’ata (19/6/2015) di ,fuanu Imam Bnsa, Masjid Istaiqlal
Jaaa,taa Pfusata.
11
Hingga mendapat gelar Doktor. Bahkan, dinobatkan sebagai Guru Besar Bidang Tassawuf dari UIN
Sunan Ampel tahun 2015

yang akil balig (lihat QS. Al- Ahzab [33]:59). Karena itu jilbab tidak boleh diganti dengan
sarung dan kebaya karena pertimbangan budaya lokal di daerah miritim dan agraris.
Ajaran islam bukanlah produk budaya Arab. Meskipun al-Qur’an dan al-Hadist
berbahasa Arab, isinya bukan budaya Arab, melainkan perintah Allah SWT untuk seluruh
umat manusia. Ajaran Islam adalah perintah Allah SWT sedangkan budaya adalah hasil
karya, cipta dan karsa manusia. Oleh karenanya, sistem peradilan Islam, sistem pendidikan
Islam, hingga sistem pemerintahan Islam berupa Khalifah Islamiyah bukanlah produk
budaya Arab. Semua itu merupakan perintah Allah SWT yang termaktub dalam AlQur’an dan Al-Hadist.
Ada kecurigaan umat Islam yang menganggap bahwa Islam Nusantara bertujuan
untuk membendung bahaya Islam Trans-Nasional. Alasan tersebut tidak berdasar dann
terkesan tidak mengetahui sejarah. Ada yang terlewatkan bahwa Islam sendiri berasal dari
Timur Tengah, bukan ‘produk’asli Indonesia. Jika mau menilai secara obektif seharusnya
rutinitas shalat, shaum, zakat dan haji disebut juga sebagai produk Trans-Nasional.
Sebagaimana catatan sejarah membuktikan, bahwa Islam masuk kenegeri ini dibawa oleh
‘orang luar’ yaitu Wali Songo. Sehingga, Islam terbukti memang sejak dulu bersifat TransNasional, mulai didakwahkan secara lintas Negara dari pusat Dulah Islamiyah di Madinah
hingga akhirnya menembus wilayah Romawi, Persia, Afrika Utara, Eropa, Asia dan
seterusnya hingga Nusantara ini.
Seharusnya Islam Trans-Nasional bukanlah menjadi kendala, sehingga harus
diendung dengan Islam Nusantara. Justru seharusnya karakteristik dakwah islam yang
harus diemban oleh kaum muslim diseluruh dunia, harus melintasi sekat-sekat wilayah
geografis. Sehingga ide Islam Nusantara yang bersifat kewilayahan dan terbatas itulah
yang berbahaya karena pada akhirnya akan memojokkan Islam itu sendiri.
Perdebatan tersebut menimbulkan kebingungan bagi masyarakat awam pada
umumnya di Indonesia. Ditambah lagi dengan siaran media massa yang memberikan ruang
yang cukup luas bagi mereka untuk menyampaikan ide tersebut. Perang media massa
semakin terlihat perannya dalam mengusung dan menolak gagasan Islam Nusantara dalam
memberikan informasi ke masyarakat. sebagaimana pernyataan Mc Quail (2000:102)
tentang subyektifitas media massa. Media massa adalah filter atau gate keeper tentang
berbagai hal yang butuh perhatian masyarakat secara intensif atau sebaliknya. Media
massa memilih isu, informasi, atau konten yang dianggap paling menarik dan
representative. Disini khalayak dipilih oleh media tentang apa-apa yang layak diketahui
dan mendapat atensi. Dalam titik ini subjektifitas pengelola media yang dijadikan patokan,
dengan demikian media massa berkekuatan super subjektif.
Berdasarkan hasil penjelasan tentang pengetian Islam Nusantara dari berbagai
kalangan intelektual muslim, dapat disimpulkan, bahwa istilah Islam Nusantara berarti
Islam di Nusantara atau Islam yang bercorak budaya Nusantara yang merupakan hasil
dialektika antara Nash, Syariat, Urf, Budaya,Tradisi dan realita di bumi Nusantara. Dengan
catatan selama budaya Nusantara tersebut tidak bertentangan dengan syariat Islam. Oleh
karenanya, tidak semua ajaran syariat bisa diadaptasikan dengan budaya dan realitas,
karena budaya Nusantara belum tentu sesuai dengan ajaran Islam, justru perlu Islamisasi
budaya yang berkelanjutan, untuk Islamisasi budaya Nusantara justru perlu elaborasi terkait
prinsip fikih ibadat (ritual) dan muamalat (sosial) dalam menciptakan budaya Nusantara
yang Islami.
Methodology/Materials
3.1 Metode penelitian

Metode penelitian pada penelitian ini adalah kualitatif, dengan jenis penelitian bersifat
deskriptif kualitatif dengan pendekatan fenomenologik, objek penelitian adalah Mahasiswa
FAI dari lintas Prodi FAI UIKA Bogor. Adapun sumber data yang digunakan terbagi

menjadi dua macam, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data
primer diperoleh dari informan baik perseorangan, atau kelompok. Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui berbagai sumber seperti, hasil jurnal ilmiah, buku-buku, surat
kabar, foto hasil dokumentasi, serta sumber lainnya yang kompeten dalam memberikan
data yang relevan.
4.1 Teknik Analisa Data
Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif,
dengan tiga tahapan yaitu mereduksi data, mendisplay data dan menafsirkan data.
Dalam reduksi data, semua data yang terkumpul melalui wawancara, observasi,
dokumentasi, bahkan angket, yang akan difokuskan pada bagaimana sikap mahasiswa
dalam menerima informasi dan mensikapi gagasan Islam Nusantara di kalangan
masyarakat. Selanjutnya bagaimana pandangan mahasiswa FAI tentang pemikiran,
gerakan dan tindakan yang harus disosialisasikan kepada masyarakat dalam rangka
mengatasi perdebatan isu gagasan Islam Nusantara.
Setelah data dikumpulkan dan direduksi selanjutnya dikategorikan menurut pokok
permasalahan dan dibuat dalam bentuk matrik, sehingga memudahkan peneliti untuk
melihat pola-pola hubungan satu data dengan lainnya. Dengan penyajian diharapkan data
dapat tersusun dalam pola hubungan, terorganisasikan, sehingga dapat dengan mudah
untuk dipahami.
Dalam menafsirkan data, digunakan analisis content, kegiatan yang dilakukan dalam
model ini adalah klarifikasi istilah-istilah, tanda, simbol, atau kode yang dipakai dalam
komunikasi. Dengan menggunakan patokan dalam klarifikasi dan menggunakan teknik
analisis dalam memprediksikan. Burhan dan Bungin yang dikutip Suharsimi Arikunto
(2008:167), mengatakan mengidentifikasi langkah-langkah dalam proses penafsiran data
ini (1) menetapkan lambang-lambang tertentu, (2) Klasifikasi data berdasarkan
lambang/symbol, dan (3) melakukan prediksi atas hasil.
Setelah data tersebut ditafsirkan, kemudian disimpulkan dan diverifikasi dengan
menggunakan data-data dan bukti-bukti yang valid, konsisten, yang terjadi di lapangan,
sehingga kesimpulan yang diambil adalah kesimpulan yang kredibel. Kegiatan ini
mencocokkan kembali apakah semua data telah tercakup dalam kegiatan analisis dan
penafsiran, apakah penafsiran sesuai, apakah perlu ada konfirmasi ulang pada sumber data
atau informan, apakah perlu perbaikan format tafsiran atau perlu data pendukung untuk
memperkuat.
3.1 Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk memperoleh tingkat keabsahan data, teknik yang digunakan antara lain:
1. Ketekunan pengamatan, yakni serangkaian kegiatan yang dibuat secara terstruktur dan
dilakukan secara serius dan berkesinambungan terhadap segala realitas yang ada di lokasi
penelitian, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur di dalam situasi yang sangat
relevan dengan persoalan atau peristiwa yang sedang dicari kemudian difokuskan secara
terperinci dengan melakukan ketekunan pengamatan mendalam.
2. Triangulasi data, yakni teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain diluar data yang terkumpul untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data-data tersebut. Hal ini dapat berupa penggunaan sumber, metode
penyidik dan teori.( Suratno, 1995).
3.Diskusi antar peneliti ahli dan responden, yakni diskusi yang dilakukan peneliti dengan
dosen, tokoh cendikiawan muslim, para tokoh alim ulama, kalangan profesional, kalangan
pejabat pemerintahan desa dan daerah, pengamat sosial, ekonomi, politik dan budaya,
bahkan dengan yang mampu memberikan masukan ataupun sanggahan sehingga
memberikan kemantapan terhadap hasil penelitian.Teknik ini digunakan agar peneliti
dapat mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran serta memberikan kesempatan awal
yang baik untuk memulai menjejaki dan mendiskusikan hasil penelitian dengan teman
sejawat.
4. 1 Results and Findings
Fakultas Agama Islam (FAI) UIKA Bogor, merupakan fusi dari Fakultas Syar’ah,
Fakultas Tarbiyah, dan fakultas ushuluddin, sebelum fusi civitas akademik Universitas Ibn
Khaldun Bogor yang sering disebut dengan Fakultas dirasah Islamiyah. Sebelum
menjelaskan Fakultas Agama Islam, perlu terlebih dahulu diuraikan fakultas-fakultas yang
menjadi cikal bakal bagi terbentuknya Fakultas Agama Islam Universitas Ibn Khaldun
Bogor.
Fakultas Ahwal Alsyakhsiyah (Syari’ah) merupakan prodi yang tertua
dibandingkan dengan prodi PAI (tarbiyah) dan Prodi KPI sebelumnya ushuluddin, karena
berdirinya tidak berselang lama dari sejak Universitas Ibn Khaldun Bogor memperoleh
otonomi penuh pada tahun 1961 dan tidak lagi menjadi bagian dari Universitas Ibn
Chaldun Jakarta. Sementara fakultas tarbiyah pada awalnya sebuah Akademi Ilmu Agama
Islam Bogor (AIAIB) yang berdiri sejak tahun 1975. Atas dasar rekomendasi dari
coordinator perguruan tinggi Islam swasta (KOPERTAIS) wilayah I Jakarta Nomor :
11212/G/K/1976 tanggal 27 November 1976 dan laporan hasil observasi tim dari Ditperta
Departemen Agama RI, maka AIAIB dianggap telah memenuhi syarat untuk memperoleh
status terdaftar bagi Akademik Ilmu Agama Islam Bogor (AIAIB).
Fakultas Ushuluddin saat ini Prodi KPI, merupakan fakultas termuda, di lingkup
fakultas-fakultas Dirosah Islamiyah maupun lingkup Universitas Ibn Khaldun Bogor,
Fakultas ini berdiri hampir bersamaan dengan bergabungnya Fakultas tarbiyah ke UIKA
sekitar tahun 1982-an dengan tujuan memenuhi kebutuhan para ahli agama dan da’i, pada
awal berdirinya beralamatkan di Gedung PUI Jln. Pahlawan Bondongan bersama-sama
dengan Fakultas Tarbiyah. Baru pada tahun 1985 sekretariat dan tempat perkuliahan
pindah ke jln. RE. Martadinata bersama-sama dengan fakultas lainnya.12
Fusi menjadi FAI UIKA setelah menyadari kondisi fakultas-fakultas Dirasah
Islamiyah keberadaanya dianggap sebagai beban dan harus disubsidi, memang jumlah
mahasiswanya waku itu masih sedikit terutama fakultas syariah dan ushuluddin bila
dibandingkan fakultas-fakultas Non Dirasah, menyadari akan kondisi tersebut, maka
pimpinan fakultas syariah, tarbiyah, dan ushuluddin sepakat untuk melakukan efisiensi
dengan cara fusi atau penggabungan tiga fakultas menjadi Fakultas Agama Islam.
Sekarang upaya tersebut membuahkan hasil, yaitu bahwa jumlah mahasiswa FAI menjadi
terbanyak pertama, FAI tidak lagi menjadi beban yang harus disubsidi.
Fakultas Agama Islam (FAI) UIKA Bogor saat ini memiliki 5 program studi,
yakni: Program Studi Ahwal Syakhshiyyah, Program Studi Komunikasi Dan Penyiaran
Islam (KPI), Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI), Program Studi Pendidikan
Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI), dan Program Studi Ekonomi Syariah (Eksyar).
12
Tim pnnyfusfun afuafu 50 Tahfun Univn,sitaas Ian Khaldfun Bouo, melintas
zaman, meretas jalan kebangkitan umat aataalou dalam tan,aitaan UIKA. tah. 2011 h. 7380

Fakultas Agama Islam yang bergerak dibidang dakwah Islam dan sosial
keagaaman, menjadikan calon-calon Mahasiswa yang siap menjadi agen of change, yang
harus mengetahui maksud dan tujuan setiap isu keagamaan yang sedang terjadi, terakhir
permasalahan isu gagasan pemikiran Islam Nusantara, yang harus diketahui, didengar dan
diamati melalui berbagai informasi media massa dan sosialisasi tentang gagasan tersebut,
yang mana telah dianggap menimbulkan perselisihan pendapat. Berdasarkan informasi
tersebut, Islam sebagai agama rahmatan lilalamin seakan dipertaruhkan untuk kepentingan
popularitas suatu kelompok organisasi kemasyarakatan. Sedangkan mahasiswa sebagai
informan aspirasi masyarakat dan pengamat pengkajian ilmu keislaman harus tanggap
terhadap isu-isu Islam Nusantara, sehingga diharapkan dapat bersikap bijaksana dalam
memperoleh informasi dan berupaya memelihara dan membentengi akidah dari berbagai
aliran pemikiran modern yang menyimpang.
Berdasarkan pemahaman yang pro dan kontra dari berbagai kalangan terkait
dengan gagasan Islam Nusantara, dan pola informasi yang disajikan media massa yang
tidak berimbang, akan memicu terjadinya kesalahpahaman yang berkepanjangan dari
berbagai kalangan dan tidak menutup kemungkinan berpengaruh terhadap pola pikir
mahasiswa yang merupakan penggerak aktivis muda yang banyak terlibat di masyarakat
dan gerakan oganisasi massa.
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang
perspektif mahasiswa terkait isu gagasan Islam Nusantara yang sedang ramai di
perbincangkan di masyarakat, dengan demikian mahasiswa dapat diketahui pendapatnya
dan pemikirannya, sehingga ditemukan sikap ilmiah yang mampu menyelesaikan
propaganda di masyarakat luas terkait penjelasan istilah dan konsep Islam Nusantara.
Adapun responden mahasiswa yang dimintai keterangan berjumlah 150 mahasiswa
berasal dari lintas prodi, dari total jumlah angkatan 2013, adapun karakteristik responden
jika dilihat dari kategori perjenis kelamin, responden wanita berjumlah 77 orang
sedangkan yang berjenis kelamin pria berjumlah 73 orang, dengan demikian total
responden berjumlah 150 orang dari jumlah perwakilan masing-masing program studi di
Fakultas Agama Islam UIKA Bogor.
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 53% dari total responden 150 mahasiswa,
menyatakan bahwa pola informasi media massa baik elektronik maupun cetak, sangat
signifikan mempengaruhi pola pemikiran dan perilaku mahasiswa, 15% dari populasi
menyatakan tidak signifikan, dan 32% lainnya tidak mengetahui informasi sama sekali
tentang isu Islam Nusantara. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa
pandangan mahasiswa terhadap sumber berita media massa dapat merubah pola pikir
mahasiswa secara signifikan, sehingga media dianggap menjadi sumber informasi utama
penyalur berita terkait Islam Nusantara.
Sebanyak 82% mahasiswa menerima informasi gagasan Islam Nusantara melalui
media massa, 3% dari mahasiswa mengetahui informasi melalui buku bacaan, 6% dari
mahasiswa mengetahui informasi dari hasil seminar yang diikuti, 2% dari hasil pengajian,
4% dari hasil diskusi antar teman dan 3% lainnya dari guru, sehingga dapat disimpulkan
bahwa mahasiswa lebih banyak mengetahui informasi tentang gagasan Islam Nusantara
melalui media massa khususnya televisi.
Pandangan keagamaan terhadap istilah Islam Nusantara, 30% dari mahasiswa
menyatakan setuju terhadap istilah Islam Nusantara, 56% lainnya menyatakan tidak setuju
terhadap istilah tersebut, dan 14% lainnya menyatakan tidak tahu informasi terhadap
gagasan Islam Nusantara. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pandangan gagasan
keagamaan mahasiswa terhadap isu gagasan Islam Nusantara didominasi dengan pendapat
tidak menyetujui gagasan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa mahasiswa tidak merespon
poitif terhadap isu tersebut.

Pandangan keagamaan terhadap tujuan gagasan Islam Nusantara 46% dari mereka
menyatakan bahwa tujuan Islam Nusantara adalah meningkatkan eksistensi agama Islam,
sedangkan 33% dari mahasiswa menyatakan bahwa tujuan tersebut untuk politik, 10%
lainnya menyatakan bahwa tujuan itu untuk radikalisme, sedangkan 4% lagi untuk tujuan
liberalisme dan 7% lainnya untuk tujuan tradisi di Indonesia. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tujuan gagasan Islam Nusantara menurut pandangan mahasiswa adalah
untuk meningkatkan eksistensi agama Islam.
Perspektif mahasiswa terhadap faktor-faktor munculnya gagasan Islam Nusantara
49% menyatakan faktor politik adalah pemicu munculnya gagasan Islam Nusantara, 30%
menyatakan faktor budaya, 11% karena faktor dakwah, 8% karena perbedaan, dan 2% dari
Phobia Islam Radikal. Dengan demikian, maka faktor terbanyak menurut pandangan
mahasiswa adalah politik, sedangkan pilihan terendah adalah faktor phobia Islam Radikal.
Desakan masyarakat untuk menginternasionalisasikan Islam di Nusantara, menurut
pandangan mahasiswa 9% dari mereka menyatakan sangat perlu, 40% dari responden
menyatakan perlu, 8% dari mereka menyatakan cukup perlu, 33% dari mereka menyatakan
tidak perlu, sedangkan 10% dari mereka menyatakan tidak perlu. Maka dapat diambil
kesimpulan
bahwa
sebagaian
besar
mahasiswa
menyatakan
perlu
menginternasionalisasikan Islam di Nusantara ke luar Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, terlihat sebesar 40% dari mahasiswa
menyatakan bahwa ajaran Islam akan mewarnai budaya, dan 46% tidak mewarnai budaya
sedangkan 14% lagi tidak mengetahui dampak dari Islam Nusantara. Dengan demikian,
sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa gagasan Islam Nusantara merupakan hasil
dialog antara ajaran Islam universal dengan budaya lokal setempat.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, terlihat bahwa 40% mahasiswa menyatakan
bahwa perbedaan pendapat antar kalangan umat Islam tentang Islam Nusantara karena
Islam adalah rahmatan lilalamin, 30% lainnya menyatakan gagasan Islam Nusantara itu
tidak sesuai syariat Islam, 20% lainnya menyatakan bahwa Islam itu bukanlah budaya, 7%
lainnya menyatakan untuk memperkuat agama, dan 3% lainnya tidak memahami tujuan
Islam Nusantara. Dengan demikian sebanyak 40% mahasiswa menyatakan bahwa sebab
alasan pro dan kontra tersebut karena alasan Islam adalah rahmatan lilalamin sehingga
tidak dapat dipisahkan antar wilayah.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa sebanyak 7%
mahasiswa menyatakan bahwa isu tersebut dipandang baik, 34% mahasiswa menyatakan
bahwa isu tersebut tidak baik, 30% dari mereka menyatakan tidak tahu, 12% dari mereka
menyatakan tidak peduli, dan 17% mennyatakan meragukan berita tersebut. Dengan
demikian, pandangan mahasiswa terhadap respon masyarakat tentang isu Islam Nusantara
sebagian besar menganggap tidak baik bahkan diantara mereka menyatakan tidak peduli
dengan isu tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 53% mahasiswa menyatakan pandangannya
bahwa pengaruh pola informasi media dapat membentuk sebuah mindset masyarakat
secara signifikan, baik secara positif maupun negatif. Jika informan komunikan sumber
berita tersebut professional dalam menyampaikan berita, dipastikan tidak akan terjadi
reaksi yang begitu ramai di tengah masyarakat. Karena komunikan memiliki kompetensi
materi dan pengalaman dalam menyampaikan berita secara seimbang. Namun demikian,
sebagian lainnya menganggap bahwa media tidak mempengaruhi pola informasi
mahasiswa dalam mengetahui gagasan Islam Nusantara, bahkan sebagian besar dari
responden mahasiswa tidak mengetahui sama sekali adanya isu gagasan Islam Nusantara.

Namun demikian, ternyata media tetap menjadi sumber utama untuk mengetahui
berita secara langsung, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa 53% mahasiswa
mendengar dan mengetahui informasi gagasan Islam Nusantara melalui media, sedangkan
mahasiswa lainnya mengetahui informasi tersebut, melalui seminar, teman, buku,
pengajian, dan guru, dengan jumlah yang tidak terlalu signifikan.
Dengan demikian, pandangan mahasiswa terhadap pola informasi media massa
menyatakan bahwa sumber utama pengetahuannya masih didominasi dari hasil berita
media massa yang disajikan oleh media secara tidak berimbang dan tergantung pada
manajemen pengelolaannya, sehingga dapat sekali mempengaruhi pola pemikiran dan
perilaku masyarakat serta menimbulkan reaksi pro kontra di kalangan masyarakat
khususnya mahasiswa. Karena awal munculnya reaksi tersebut, pada saat perayaan Maulid
Nabi Muhammad di Istana Negara, dengan dibuka oleh tilawah al-Qur’an yang
menggunakan lagam Jawa. Seperti tidak lazim didengar, sehingga mereka berpendapat
Islam diadaptasikan dengan budaya. Namun demikian, besarnya arus media massa
menginfokan berita actual tersebut, tidak dapat dinafikan bahwa berita di media mendapat
respon yang ramai di tengah masyarakat.
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat dijelaskan bahwa terdapat 56% dari total
mahasiswa tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara, sedangkan sebagian mahasiswa
lainnya tidak tahu sama sekali terkait isu gagasan Islam Nusantara. Pernyataan tersebut
menunjukkan pro dan kontra di kalangan mahasiswa. Hal tersebut menunjukkan bahwa
pandangan mahasiswa terhadap isu tersebut masih belum merata. Namun demikian,
pandangan mahasiswa yang tidak setuju terhadap istilah gagasan Islam Nusantara cukup
signifikan. Mereka berpendapat bahwa faktor-faktor munculnya gagasan Islam Nusantara
karena politik praktis di kalangan NU pasca Mu’tamar ke 33 di Makassar dan ada juga
yang mengatakan isu tersebut muncul karena antitesis dari aliran radikalisme, sehingga
perlu menampilkan Islam yang santun, toleran, dan moderat. Dan lebih penting lagi
mereka menganggap bahwa gagasan Islam Nusantara akan mengancam eksistensi agama
Islam. Sedangkan pernyataan lainnya, bahwa isu tersebut muncul karena faktor tradisi
ataupun unsur liberalisme. Bahkan tidak ada yang menyatakan, bahwa munculnya gagasan
tersebut karena faktor kepentingan uang, yang mungkin dapat menjadi faktor utama
pandangannya.
Pandangan mahasiswa terhadap dampak gagasan Islam Nusantara terhadap respon
organisasi masyarakat dan media massa, sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa isu
gagasan Islam Nusantara dapat mempengaruhi organisasi masyarakat, sedangkan sisanya
menyatakan tidak tahu, dan sejumlah kecil dari mahasiswa yang menyatakan positif dari
sekian jumlah sample mahasiswa, sedangkan dampak terhadap media massa sebagian
lainnya menyatakan tidak tahu tentang isu gagasan Islam Nusantara, ada juga yang
menyatakan baik, dan sebagian besar lainnya belum peduli terhadap isu Islam Nusantara
ini.
Sebanyak 40% mahasiswa menyatakan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil’alamin,
sehingga ide Islam Nusantara dianggap tidak sesuai dengan syariat, adapun alasan lainnya
mahasiswa menyatakan bahwa Islam bukanlah budaya. Berdasarkan data tersebut
membuktikan bahwa pandangan mahasiswa terhadap Islam Nusantara belum setuju karena
akan berdampak kepada perpecahan umat Islam, dan melanggar syariat.
Sebagian besar mahasiswa menyatakan bahwa Indonesia perlu merespon desakan
masyarakat Internasional untuk menginternasionalisasikan Islam di Nsantara, terlihat 30
mahasiswa setuju dengan pernyataan itu dan sebagian besar lainnya tidak setuju dengan
strategi dakwah tersebut.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa sebagian besar pandangan mahasiswa
tidak setuju dengan istilah gagasan Islam Nusantara, karena tidak sesuai dengan semangat

Islam yang rahmatan lilalamin dan dapat memecah belah umat Islam, selain juga mereka
berpendapat bahwa faktor munculnya isu Islam Nusantara karena faktor politik, perihal
tujuan Islam Nusantara sebagian besar mereka berpendapat bahwa konsep Islam Nusantara
bertujuan untuk meningkatkan strategi dakwah dan eksistensi agama. Sebagaimana
penjelasan salah satu mahasiswa dalam wawancara in depth interview, mereka menyatakan
bahwa konsep Islam Nusantara itu adalah Islam yang melebur dengan budaya, Islam yang
bersatu dengan nasionalis, Islam yang bersatu dengan kebangsaan, Islam yang ramah,
toleran serta moderat. Ini menunjukan bahwa mahasiswa setuju dengan gagasan tersebut,
karena menurutnya ada sebagian muslim khususnya di Indonesia yang antipati terhadap
point-point di atas, sehingga dapat memicu terjadinya konflik internal. Mereka juga
menjelaskan bahwa gagasan ini sebenarnya sudah jauh hari diaplikasikan oleh walisongo,
namun dia tidak setuju dengan istilah saja “Islam Nusantara” seharusnya Islam di
Nusantara sebagaimana pendapat KH. Hasyim Asy’ari, supaya tidak menuai pro dan
kontra di kalangan masyarakat dan Islam tidak terkesan terkotak-kotak tidak terbatasi oleh
letak geografis dan kulturnya. Sehingga berdasarkan penjelasan tersebut di atas, jika
dibandingkan dengan hasil angket ada kesamaan pandangan bahwa sebagian besar
mahasiswa tidak setuju dengan istilah Islam Nusantara. Namun demikian, mereka masih
menyatakan setuju terhadap tujuan besar Islam Nusantara yaitu Islam yang moderat, Islam
yang ramah dan santun yang merupakan hasil dialog antara Islam universal dengan budaya
lokal setempat. Dan hasil vernakularisasi antara teks-teks ayat al-Qur’an dengan tradisi
dan budaya setempat.
Dalam mensikapi gagasan ini, Dede Jamaludin seorang mahasiswa pada semester
VII Ekonomi Syariah menambahkan bahwa ia tidak tendensius atau tidak terlalu risih
dengan adanya gagasan ini, justru gagasan ini sangat luar biasa karena dapat menimbulkan
rasa nasionalisme cinta tanah air yang tinggi, sehingga tidak terjadi konflik-konflik seperti
Negara-negara muslim di Timur Tengah, mengapa Negara Timur Tengah sering terjadi
konflik padahal banyak ulama-ulama terkemuka, jawabannya adalah karena mereka tidak
mempunyai rasa nasionalisme atau cinta tanah air yang tinggi. Karena, Islam dan
nasionalisme harus beriringan begitu kata KH. Hasyim Asy’ari.
Senada dengan pendapat Taufik Helmi mahasiswa Ekonomi Syariah yang
menyatakan bahwa Islam Nusantara merupakan istilah yang baru dideklarasikan. Namun
demikian, sebagai pemikiran, gerakan dan tindakan, Islam Nusantara bukanlah hal yang
baru, Islam Nusantara adalah Islam Ahlussunnah wal Jamaah al-Nahdiyyah. Mengapa ada
penafsiran al-Nahdiyyah karena banyak kalangan lain di luar NU yang juga mengklaim
sebagai pengikut Ahlussunnah Waljamaah tetapi memiliki cara pikir, gerakan, dan amalan
yang berbeda dengan NU. Pada dasarnya ada tiga pilar menurutnya atau rukun penting di
dalam Islam Nusantara antara lain; Pertama, Pemikiran, yaitu cara berpikir yang moderat,
artinya Islam Nusantara berada dalam posisi tidak tekstualis, tetapi tidak juga liberal.
Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku sebagaimana yang terjadi pada kaum
wahabi di dalam memahami teks-teks al-Qur’an. Kedua, Gerakan, yaitu semangat yang
mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada perbaikan-perbaikan. Tugas Islam
Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan reformasi, untuk jamaah perkumpulan,
dan jamaah warga yang tak hanya didasarkan pada tradisi tetapi juga inovasi. Pilar Ketiga,
adalah Amaliah, Islam Nusantara sebagai identitas Aswaja NU menekankan bahwa segala
hal yang dilakukan Nahdiyyin harus lahir dari dasar pemikiran yang berlandaskan pada
fikih dan uhsul fikih disiplin yang menjadi dasar untuk menyambungkan amaliah yang
diperintah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sehingga menurutnya bahwa Islam Nusantara
bukanlah hal yang baru, yang perlu diperdebatkan. Hanya karena ada penekan nadhiyyah.
Namun demikian tujuannya sama, untuk mensyariatkan apa yang diajarkan Nabi SAW dan
apa yang diturunkan oleh Allah SWT, sebagai petunjuk bagi umat Islam.

Conclusion/ Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat dijelaskan bahwa pola
informasi media massa dapat mempengaruhi pola pikir dan perilaku serta sikap
masyarakat, secara signifikan, terlihat dari hasil penelitian pada mahasiswa sebagian besar
dari mereka mengetahui berita tentang Islam Nusantara dari media massa baik cetak
maupun elektronik. Gagasan Islam Nusantara tersebut menimbulkan pro dan kontra karena
faktor media massa yang disajikan secara tidak berimbang antara konsep dengan
komunikan penyampai berita, sehingga berita sampai di tengah masyarakat tidak sesuai
dengan prosedur pemberitaan. Adapun yang menjadi alasan pro dan kontra nya isu
keagamaan tersebut karena Istilah Islam Nusantara yang cenderung membatasi Islam yang
rahmatan lilalamin dengan batas teritorial, budaya dan bangsa. Maka dengan demikian
perlu peninjauan ulang terkait susunan bahasa istilah Islam Nusantara yang berarti Islam di
Nusantara, sehingga diksi tersebut dapat diterima oleh masyarakat. Karena terbukti,
sebagian besar mahasiswa tidak setuju dengan Istilah tersebut dikhawatirkan menyebabkan
perpecahan umat dan pergeseran makna Islam yang universal. Adapun terkait tujuan
gagasan Islam Nusantara sebagian besar mahasiswa menyetujui karena dapat mengangkat
eksistensi agama dan sebagai strategi dakwah. Sebagian besar perspektif mahasiswa terkait
tujuan besar Islam Nusantara, menyatakan setuju karena maksud dari konsep Islam
Nusantara adalah Islam yang moderat, Islam yang ramah dan santun yang merupakan hasil
dialog antara Islam universal dengan budaya lokal setempat. Dan hasil vernakularisasi
antara teks-teks ayat al-Qur’an dengan tradisi dan budaya setempat. Bahkan dinyatakan
bahwa ada tiga pilar atau rukun konsep Islam Nusantara antara lain Pertama, Pemikiran,
yaitu cara berpikir yang moderat, artinya Islam Nusantara berada dalam posisi tidak
tekstualis, tetapi tidak juga liberal. Tekstualis dimaksud adalah berpikir secara kaku
sebagaimana yang terjadi pada kaum wahabi di dalam memahami teks-teks al-Qur’an.
Kedua, Gerakan, yaitu semangat yang mengendalikan Islam Nusantara itu ditujukan pada
perbaikan-perbaikan. Tugas Islam Nusantara adalah melakukan perbaikan-perbaikan
reformasi, untuk jamaah perkumpulan, dan jamaah warga yang tak hanya didasarkan pada
tradisi tetapi juga inovasi. Pilar Ketiga, adalah Amaliah, Islam Nusantara sebagai identitas
Aswaja NU menekankan bahwa segala hal yang dilakukan Nahdiyyin harus lahir dari
dasar pemikiran yang berlandaskan pada fikih dan uhsul fikih, disiplin yang menjadi dasar
untuk menyambungkan amaliah yang diperintahkan al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Intinya
tidak bertentangan dengan Islam yang rahmatan lilaalamin dan gagasan Islam Nusantara
bukanlah hal yang baru hadir di kancah isu politik keagamaan, karena tetap mensyariatkan
ajaran rasulullah SAW dan yang diturunkan Allah sebagai petunjuk bagi umat manusia.
Daftar Pustaka
Alqardhawy, Yusuf, 1993. Al Iman wal Hayat. (Iman dan Kehidupan). PT. Bulan Bintang,
Jakarta.
Blumler, Jay G., Elihu Katz (Editor), 1974. The Uses of Mass Communications, current
Perspectives On Gratifications Research, Sage Publications/ Baverly Hilss/ London.
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Sosial : Format-format Kualitatif dan Kuantitatif,
Deliar Noer, Islam dan Masyarakat, Penerbit, Yayasan Risalah: Jakarta, cetakan pertama,
Juni 2003
D. HendroPuspito, O.C. 2006. Sosiologi Agama, Penerbit, Kanisius: Jakarta, cetakan ke
22.
Editor T.O. Ihromi, 1984. Pokok-pokok Antropologi Budaya, Penerbit: PT. Gramedia
Jakarta.

Editor Fauzi, Ali, 1990. Mencari Islam, Kumpulan otobiografi intelektual kaum muslim
Muda Muslim Indonesia angkatan 80-an. PT. Mizan, Bandung.
Effendi, Djohan, 2010. Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, Penerbit Buku Kompas,
Jakarta.
Hafidhuddin, K.H. Didin, 2000. Tafsir Al Hijri, Kajian Tafsir AlQur’an Surat An-Nisa.
PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta.
Hafidhuddin, K.H. Didin, 2001. Tafsir Al Hijri, Kajian Tafsir AlQur’an Surat Al-Maidah..
PT. Kalimah, Jakarta.
Hadi, Sutrisno, 1987. Metodologi Research, Fakultas Psikologi UGM, Yogyakarta.
Hafidhuddin, K.H. Didin, 2006. Agar Layar Tetap Terkembang Upaya Menyelamatkan
Umat. PT. Gema Insani, Jakarta.
Hutington, Samuel, P., 2000. Bantuan Antar Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia,
edisi Terjemahan Buku, The Clash of Civilizations and The Remaking Of World Order ,
Penerbit Qalam, Jakarta.
Iman Suprayogo, Tobroni, 2001. Metode Penelitian Sosial Agama cet. 1, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Koentjaraningrat, 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, PT. Gramedia
PustakaUtama, Jakarta.
Kahmad, Dadang, 2000. Sosiologi Agama, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung
Mc. Quail, 2000. Mass Communication Theories, 4th edition.
Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif : Remaja Rosdakarya, Bandung.
Makalah Halaqah Ulama Pesantren Khas Nusantara Menuju Pendidikan Islam
Internasional, Bogor, 6-8 Oktober 2015/ 22-24 Djulhijjah 1436 H.
Musthofa Harun, Ahmad, Memperteguh Islam Nusantara, PT. Khairu Jalisin Kitabun
(KHALISTA), Agustus 2015.
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Roland Robertson,ed. Agama: dalam analisa dan interpretasi sosiologis, penerbit:
Rajawali Pers; Jakarta, cetakan pertama, Juni, 1988.
Samovar, A. Larry., & Porter, E, Richard. (2001). Communication Between Cultures.
Fourth Edition. California: Wadsworth.
Syamsu As, H. Muhammad, 1996. Ulama pembawa Islam di Indoensia dan sekitarnya. Pt.
Lentera, Jakarta.
Shihab, Quraish, 1994. Membumikan Al-Qur’an Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, Pt. Mizan Cet IV.
Sudarto, 1995. Metodologi Penelitian Filsafat, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Suprayogo, Imam, Tobroni, 2001. Metode Penelitian Sosial Agama cet.1, Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Singarimbun, Masri dan Effendi Sofwan, 1989. Metode Penelitian Survei, (LP3S, Jakarta)
Soeratno, 1995. Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : UUP AMP YKPN).
Surusin, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Conclusion/ Kesimpulan