DASAR DASAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONA

DASAR-DASAR HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL,
SANKSI DAN PANDANGANNYA TERHADAP AKSI
TERORISME
OLEH : DESITA CITRA RESMI (201310360311110)
PENDAHULUAN
Hukum Humanitarian dianggap sebagai pembatas-pembatas umum berperang dalam kajian
Hukum Internasional. Hukum Humanitarian Internasional atau HHI telah dibuat berdasarkan
pemikiran-pemikiran politis agar perang antar negara tidak terjadi secara brutal dan semenamena. Berbagai sanksi telah disertakan agar hukum ini dapat ditaati oleh para petinggi negara
untuk menciptakan penyelesaian konflik secara tertulis. Tentunya hukum humaniter ini sangat
erat kaitannya dengan tindakan aksi terorisme yang terkadang terkesan melampaui batas hukum
humaniter. Kita perlu mengetahui dasar-dasar hukum itu, sanksi sanksi yang ada agar bisa
mengkaitkannya dengan aksi terorisme masa kini.
TIMELINE TERBENTUKNYA HUKUM HUMANITARIAN
Strategi perang pertamakalinya ditulis oleh Sun Tzu di Cina dua ribu lima ratus tahun yang lalu
atau 600 tahun sebelum Masehi. Tulisan yang terdiri dari tiga belas bagian ini tidak satupun yang
dimaksudkan untuk mengikat baik secara hukum maupun secara moral bagi mereka yang terlibat
dalam pertempuran. Tulisan tersebut semata-mata hanya ditujukan sebagai petunjuk mengenai
cara paling efektif untuk memperoleh kemenangan dalam setiap pertempuran yang dilakukan.
Meskipun demikian, tulisan Sun Tzu cukup mempengaruhi perkembangan hukum kejahatan
perang antara lain yang tertulis pada bagian kedua. Bagian ini secara tidak langsung memuat dan
mengatur cara-cara memperlakukan seorang musuh. Meskipun musuh, Sun Tzu menuliskan

bahwa para prajurit musuh yang tertangkap harus diperlakukan dengan baik dan dijaga.
Di wilayah Mediterania, Kebudayaan Hindu di Asia Selatan sekitar 200 tahun sebelum Masehi
membuat aturan pertempuran yang dinamakan The Manu Smiriti atau Code of Manu. Kitab ini
menunjuk beberapa aspek hukum termasuk prinsip-prinsip tentang perang yang manusiawi
(dharma-yuddha), yang antara lain menyebut larangan penggunaan senjata yang berbahaya
seperti panah berduri dan panah beracun, larangan pembunuhan terhadap tentara musuh yang
sudah kehilangan kuda atau kendaraannya, menyerah, tidak bersenjata lagi, terluka parah,
ketakutan, serta larangan pembunuhan terhadap pihak pihak yang tidak termasuk peserta tempur.
Pelanggaran terhadap prinsip prinsip ini dapat diadili di muka pengadilan.
Pada abad ke 18 Jean Jacques Rosseau menuliskan bahwa manusia sangatlah tidak rasional jika
mau dijadikan budak. Rosseau juga menyinggung bahwa setiap manusia dapat keluar dari
kontrak hukum dan kembali bebas sebagaimanaia dilahirkan. Rosseau juga mengklaim bahwa
ukuran territorial yang dapat diberi perintah atau diberi aturan dapat menentukan sendiri
bagaimana mereka ingin membentuk negaranya. Kekuatan ini bersifat absolut.
Pada abad ke 19 landasan moral ini dibangun oleh Henry Dunant yang sekaligus merupakan
inisiator organisasi Palang Merah Internasional, yang kemudian membahas Konvensi Jenewa I

tahun 1864. Konvensi Jenewa ini menjadi tonggak awal perbaikan keadaan tentara yang terluka
di medan perang darat, dan juga menjadi perintis Konvensi Jenewa selanjutnya yang
menitikberatkan perlindungan korban perang. Konvensi- konvensi Jenewa beserta protokolprotokol tambahannya merupakan rezim peraturan yang ekstensif untuk melindungi orang- orang

yang tidak, atau tidak lagi, ikut serta secara langsung dalam permusuhan.
Pada Tahun 1863 pemerintah merika Serikat memberlakukan Lieber Code yang digunakan
sebagai hukum yng mengatur pertempuran antara angkatan bersenjata pemerintah melawan
angkatan senjata pemberontak atau Pasukan Konfederasi pada waktu terjadinya Civil War. Lieber
Code ini memuat sanksi yang dapat diterapkan untuk mengadili kejahatan-kejahatan seperti
pembunuhan, penyiksaan, perkosaan, penghancuran property yang diperintahkan oleh atasan
berwenang, dan lain sebagainya. Kapten Henry Wirz, seorang dokter Swiss yang diperbantukan
pada angkatan bersenjata konfederasi dan bertanggung jawab terhadap 45.000 tawanan perang di
kamp tawanan Andersonville, telah diadili di Washington DC pada Agustus 1865. Kapten Wirz
terbukti secara sengaja dan kejam telah melakukan konspirsi untuk merusak kesehatan dan
bahkan membunuh serdadu-serdadu Amerika yang ditawan di kamp tersebut. Atas
pelanggarannya terhadap hukum perang ini maka Kapten Wirz dijatuhi hukuman mati dan segera
dieksekusi.
Deklarasi St. Petersburg pada tahun 1868 menyatakan bahwa satu-satunya tujuan yang sah yang
mesti diupayakan pencapaiannya oleh negara-negara yang terlibat dalam perang adalah untuk
melemahkan kekuatan militer musuh dan untuk mencapai tujuan tersebut sudah cukup dengan
melumpuhkan sejumlah manusia sebanyak yang diperlukan saja. Hal yang sama yang tercantum
dalam peraturan Den Haag 1907 pasal 23 G yang menetapkn bahwa dilarang menghancurkan
atau merampas harta benda musuh, kecuali jika penghancuran dan perampasan tersebut mutlak
dibutuhkan oleh kepentingan militer.

Kaidah-kaidah hukum utama untuk perang di darat ditetapkan dalam Konvensi The Hague IV
tahun 1907 tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat dan Regulasi-regulasi yang
ditambahkan kepada konvensi itu. Pengaturan-pengaturan ini disebut “Kaidah-Kaidah Hukum
The Hague” atau The Hague Rules atau The Hague Regulations yang mendefinisikan status
pihak-pihak yang berperang, yaitu mereka yang dapat dianggap sebagai prajurit sah. Pasukan
gerilya dan milisi atau korp sukarelawan seperti British Hom Guard dalam perang dunia kedua
tunduk kepada hukum, hak-hak dan kewajiban perang apabila mereka memenuhi empat syarat,
yaitu bahwa mereka benar-benar diberi komando yang selayaknya, memiliki suatu lambang atau
emblem yang dapat dilihat dari jarak tertentu, membawa senjata secara terbuka dan melakukan
tindakan operasi mereka sesuai dengan hukum dan kebiasaan perang.
Ketentuan-ketentuan The Hague Rules telah ditambah dengan Konvensi Jenewa 1949 tentang
perlindungan orang-orang sipil pada waktu perang. Demi kepentingan penduduk di wilayah yang
diduduki dan dengan mengingat pengalaman pendudukan militer pada kedua Perang Dunia,
sejumlah besar kewajiban yang ditetapkan secara hati-hati dibebankan kepada negara-negara
yang menduduki oleh Konvensi, kewajiban-kewajiban itu digolongkan ke dalam kasus-kasus
khusus yang dituntut oleh keperluan keamanan dan ketertiban intern dan oleh keperluankeperluan operasi militer. Diantaranya adalah :

a. Tidak melakukan penyaderaan atau menjatuhkan hukuman kolektif terhadap penduduk
atas pelanggaran keamanan atau gangguan terhadap angkatan bersenjata yang menduduki
yang dilakukan oleh penduduk secara individu

b. Tidak memindahkan penduduk melalui kekerasan, secara individual ataupun masal ke
wilayah lain atau melakukan pengusiran atas mereka,
c. Tidak memaksa penuduk untuk dilibatkan dalam operasi operasi militer atau pekerjaanpekerjaan yang berkaitan dengan operasi demikian selain untuk keperluan wajar tentara
yang menduduki
d. Tidak meminta bahan pangan atau pasokan medis yang menimbulkan gangguan terhadap
kebutuhan pokok sehari-hari penduduk sipil.
Baik The Hague Rules maupun konvensi tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan semua
persoalan mengenai negara yang melakukan pendudukan. Ada beberapa kelemahan yang
berkaitan dengan masalah ekonomi dan keuangan. Singkatnya, negara-negara yang melakukan
pendudukan harus menaati prinsip-prinsip untuk menjamin pemerintahan yang tertib, yang
meliputi perlindungan atas struktur ekonomi dan keuangan, tetapi menghindari suatu upaya
untuk memperoleh suatu keuntungan yang tidak semestinya dari keuangan penduduk di wilayah
yang didudukinya. Namun, gagasan kesetiaan kepada negara yang menduduki oleh penduduk itu
telah ditolak oleh Konvensi Jenewa 1949 tentang Perlindungan Orang-Orang Sipil pada waktu
perang. Berkenaan dengan penduduk tampak bahwa negara yang menduduki dapat mengenakan
larangan atas beberapa aktivitas yang dilakukan penduduk di wilyah yang diduduki, tunduk pada
adanya pengumuman tentang hal-hal apa yang dilarang, terlepasdari kenyataan bahwa penduduk
wilayh yang bersangkutan adalah didahului suatu tindakan agresi yang merupakan kejhatan
menurut hukum internasional.
Didalam Konvensi Jenewa 1949 mengatur mengenai perlindungan korban perang yang

kemudian dilengkapi dengan protocol tambahan 1977. Di dalam konvensi ini terdapat istilah
ketentuan- ketentuan yang bersamaan (common articles) yaitu ketentuan yang fundamental dan
sangat penting sehingga diulang berkali- kali dalam setiap Konvensi. Contohnya mengenai
penghormatan konvensi, sengketa bersenjata non internasional, protected persons, dan
pengawasan dalam setiap konvensi.
Konferensi serupa yang diselenggarakan pada tahun 1949 yang mengeluarkan Konvensi
Tawanan-Tawanan Perang (Prisoners of War Convention) yang mengesahkan penggantian
instrument-instrumen sebelumnya :
a. Convention on Wounded and Sick Member of the Armed Forces in the Field, yang
memuat ketentuan rinsi yang mendesak bahwa para pihak yang berperang melindungi
personel yang luka-luka dan sakit serta menghormati unit-unit medis dan melakukan
perawatan yang layak pada personel tersenut
b. Convention on Wounded, Sick and Shipwreck Members of the Armed at Sea yang
berkenaan dengan masalh yang asalanya sama terhadap personel yang menderita luka,
sakit dan terdampar di laut menentukan mutatis mutandis mengatur kewajiban-kewajiban
untuk menghormati dan memberikan perlindungan yang sama.
Sidang pertama Konferensi Jenewa 1974 membahas sejumlah persoalan yang rumit, dua
persoalan yng utama menyangkut keikutsertaan Gerakan-Gerakan pembebasan Nasional dalam

pengambilam keputusan konferensi dan usulan bahwa perang pembebasan nasional harusnya

dipandang sebagai konflik-konflik bersenjata internasional untuk tujuan pemberlakuan Konvensi
Jenewa 1949 dan kedua rancangan Protokol. Meskipun gerakan pembebasan nasional tidak
memiliki hak suara, namun pandangan dan pendapat mereka tentunya harus dijadikan
pertimbangan dan mempengaruhi sikap negara yang berpartisipasi.
Siding-sidang selanjutnya dari konferensi tahun 1975-1977 lebih produktif mengeluarkan hasilhasil kongkret, meskipun banyak hal mendasar yang dibiarkan tidak selesai dan banyak
kompromi yang diperluka sejauh menyangkut hal yang bertentangan dengan jalannya
pembahasan Konferensi Jenewa 1949 yang merumuskan keempat Konvensi Palang Merah.
The International Committee of the Red Cross (ICRC) merupakan sebuah badan organisasi
humanitarian yang didirikan oleh Henry Dunant yang memiliki kewenangan untuk mengunjungi
tawanan perang serta rakyat sipil yang ditaham oleh sebuah kekuatan musuh selama
berlangsungnya konflik bersenjata internasional. ICRC memiliki otoritas yang sama untuk
memberikan bantuan selama berlangsungnya antar negara walaupun kewenangan yang dimiliki
di dalam konflik bersenjata internal. Namun, ICRC dan organisasi humanitarian lain juga tetap
memiliki dasar hukum tersendiri.
SANKSI-SANKSI HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL
Keberadaan hukum humaniter internasional adalah untuk kepentingan individu-individu, maka
tampak bahwa dalam kasus suatu konflik yang melanggar hukum, yang dilakukan oleh negara
aggressor, kaidah-kaidah hukum ini bagaimanapun juga mengikat negara-negara yang diserang
dan anggota angkatan bersenjatnya yang karenanya menguntungkan negara aggressor dan
angkatan bersenjatanya. Namun, negara aggressor itu kemungkinan dihukum sampai sejauh,

selama berlangsungnya konflik, negara-negara netral atau negara yang tidak terlibat perang dapat
melakukan diskriminasi terhadapnya, atau dengan alas an fakta bahwa pada saat berakhirnya
permusuhan-permusuhan negara itu harus memikul beban penggatian kerugian atau untuk
mengembalikan wilayah yang diperoleh secara illegal. Kaidah- kaidah ini juga berlaku pula
terhadap konflik-konflik bersenjata non-perang. Kecuali jika traktat atau kaidah hukum
kebiasaan internasional mengatur lain, keperluan militer tidak membenarkan suatu pelanggaran
kaidah-kaidah hukum humaniter internasional.
Meskipun kaidah-kaidah hukum humaniter sering dilanggar, hukum internasional tidak
seluruhnya tanpa sarana untuk memaksa negara-negara menaatinya. Salah satu dari metode
tersebut adalah repraisal yang merupakan suatu bentuk penggantian kerugian yang sangat kasar
dan sewenang-wenang. Sanksi lainnya dari hukum perang adalah penghukuman baik selama
maupun sesudah permusuhan berakhir terhadap penjahat-penjahat perang, melalui suatu
pengadilan yang layak.
Keragaman dan jangkauan geografis yang luas dari pengadilan-pengadilan yang mengadili para
pelaku tindak pidna belum memberikan preseden. Hal ini mencakup mahkamah-mahkamah
militer nasional, pengadilan-pengadilan khusus yang dibentuk untuk maksud itu yang terdiri dari
para hakim professional atau para ahli hukum, pengadilan-pengadilan sipil nasional biasa dan

bahkan mahkamah-mahkamah militer internasional, sedangkan tempat diselenggarakannya
pengadilan tersebut dapat berlokasi di Eropa, Asia, Australia dan bahkan di Pasifik Selatan.

Tidak semua pelanggaran kaidah hukum perang merupakan kejahatan perang dan para yuris
mendukung pandangan bahwa istilah tersebut harus dibatasi pada tindakan-tindakan yang
dikutuk oleh hati nurani manusia pada umumnya, dengan alasan kebrutalan, tidak
berperikemanusiaan, atau kekejaman yang tidak memperdulikan hak ha katas harta benda tidak
ada kaitannya dengan keperluan militer yang wajar. Beberapa konsepsi kejahatan perang tersebut
muncul dari keputusan-keputusan berbagai macam pengadilan, yang disebutkan diatas, suatau
konsepsi yang telah mendapat penerapan fleksibel, seperti yang diperlihatkan dalam keputusankeputusan itu bahwa orang-orang berikut ini dapat dipersalahkan melakukan kejahatan-kejahatan
perang :
a. Orang-orang sipil, juga anggota-anggota angkatan bersenjata
b. Orang-orang yang tidak memiliki kebangsaan negara musuh, misalnya mereka yang
memiliki afiliasi dengan musuh
c. Orang orang yang dipersalahkan karena melakukan kegagalan besar mengendalikan
bawahannya yang bertanggungjawab atas beberapa kekejaman.
Konvensi Jenewa 1949 dan protocol-protokol tambahannya tidak memuat sanksi pidana yang
diterapkan pada pelaku kejahtan Karen instrument-instrumen ini memberikan kewajiban pada
hukum nasional untuk menetapkan aturan mengenai pemidanaan dan sanksi pidana yang
diterapkan. Lain halnya dengan KOnvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan 1977, Statuta
Roma memberikan pengaturan mengenai sanksi pidana dan hukuman yang dapat diterapkan
pada pelaku kejahatan perang . Dalam Statuta Roma masalah “hukumn’ diatur pada bagian 7.
Pasal 77 menyebutkan bahwa Mahkamah dapat menerapkan hukuman penjara maupun denda.

Pasal 77 ayat(1) hanya mengenal hukuman penjara maksimal bukan minimal. Disebutkan dalam
ayat tersebut hukuman penjar maksimal adalah 30 tahun, namun apabila dibenarkan oleh
gawatnya kejahatan dan keadaan-keadaan pribadi dari orang yang terhukum maka dapat
dikenakan hukuman seumur hidup. Pasal 78 juga mengatur penetapan hukuman, bahwa
Mahkamah harus memperhitungkan faktor-faktor misalnya beratnya kejahatan dan keadaankeadaan pribadi dari orang yang dihukum. Di samping itu, Mahkamah harus menguranginya
dengan waktu yang dilewatkan sebelumnya dalam penahanan. Apabila melakukan lebih dari satu
kejahatan, maka Mahkamah harus mengumumkan setiap hukuman bagi setiap kejahatan dan
hukuman bersama yang menyebutkan keseluruhan jangka waktu lamanya dipenjara. Jangka
waktu ini harus tidak kurang dari angka tertinggi masing-masing hukuman yang diumumkan dan
tidak melebihi 30 tahun penjara atau hukuman penjara seumur hidup sesuai pasal 77, ayat (1).
Pasal 30 Statuta Roma 1908 menetapkan bahwa seorang tertuduh hanya akan dituntut jika
pelanggarannya dilakukan secara niat dan sadar. Oleh karena itu, sebelum suatu kejahatan perang
dapat ditentukan maka harus dibuktikan dulu bahwa tertuduh tidak hanya berbuat tindakantindakan yang dimaksud tetapi bahwa dia bermaksud atau ingin menimbulkan konsekuensi dari
perbuatannya. Niat ini biasanya disebut sebagai mens rea , maksudnya niat untuk melakukan
kejahatan.
Pengabaian hukum bukanlah pembelaan terhadap kejahatan perang, tetapi jika hukum tidak jelas,
tertuduh harus mendapat manfaat karena keraguan hukum yang ada atau hanya akan diganjar
dengan hukuman rendah. Pasal 32 Statuta Roma menegaskan bahwa pengabaian hukum

bukanlah pembelaan, tetapi membuka kemungkinan bahwa suatu kesalahan hukum bisa

mengabaikan elemen mental untuk kejahatan perang tertentu. Misalnya seorang komandan
artileri diperinthkan menembak pos komando musuh di sutu gedung tertentu dn dia sangat yakin
bahwa gedung itu adalah pos komando tetapi diluar sepengetahuannya gedung itu adalah sebuah
sekolah, maka dia tidak akan dituduh bersalah melakukan kejahatan karena dia tidak bermaksud
menyerang sekolah. Perintah atasan bukan merupakan pembelaan untuk tuntutan kejahatan
perang, tetapi bisa digunakan untuk pembelaan lain seperti tidak adanya niat criminal, kesalahan
fakta atau paksaan dan bisa dipertimbangkan untuk meringankan hukuman.
Pasal 33 Statuta Roma menyatakan bahwa perintah atasan tidak membebaskan seseorang dari
tanggung jawab pidana kecuali :
a. Orang itu di bawah kewajiban hukum untuk mematuhi pemerintah atau atasannya,
b. Orang itu tidak mengetahui perintah itu melawan hukum
c. Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum
Jika dapat ditelaah lebih lanjut, pasal 33 berarti persyaratan untuk membebaskan seseorang dari
pertanggungjawaban pidana atas dasar perintah atasan bersifat kumulatif. Artinya seseorang
bawahan dapat menggunakan pembelaan atas dasar perintah atasan jika ketiga persyaratan yang
disebut dalam pasal 33 dipenuhi semuanya secara bersama-sama.
TERORISME DAN PERSPEKTIFNYA DALAM HUKUM HUMANITER
Terorisme sesungguhnya bukan hal yang baru. Namun sejak runtuhnya World Trade Center
(WTC) di New York tanggal 11 September 2001 dan memakan 3000 korban membuat terorisme
kembali menjadi hal yang ditakuti dalam pergaulan internasional. Serangan yang dilakukan

melalui udara dari pesawat milik Amerika Serikat yang ternyata dibajak ditabrakkan ke menara
kembar WTC dan gedung Pentagon, menyebabkan serangan ini tidak hanya menimpa
perekonomian Amerika Serikat saja, namun perekonomian dunia. Amerika segera menduga
Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Definisi terorisme sendiri sangatlah luas walaupun belum ada batasan yang baku. Namun
beberapa pakar maupun lembaga internasional terkemuka, FBI misalnya, menyebut bahwa
terorisme adalah penggunaan kekerasan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk
mengintimidasi sebuah pemerintah, penduduk sipil untuk mencapai tujuan social atau politik
suatu kelompok. Dari definisi inilah kita dapat mengetahui bahwa kedudukan terorisme dalam
Hukum Humaniter ditentukan oleh sifat tindakan perang itu sendiri. Jadi jika suatu negara
mengerahkan angkatan bersenjatanya untuk melakukan tindakan perang maka HHI sangatlah
perlu untuk diberlakukan. Dalam hal ini HHI juga dapat dipakai untuk menentukan orang orang
yang harus dilindungi seperti halnya keputusan dalam Konvensi Jenewa.
Sesungguhnya HHI sendiri tidak memberikan definisi terhadap istilah terror, tetapi beberapa
perbuatan yang dilarang seperti halnya peristiwa WTC diatas, membuat PBB mengadakan
konferensi dan deklarasi sebagai upaya mereka untuk melawan terorisme walaupun belum
mencapai kesepakatan forma. Beberapa larangan yang termuat dalam konvensi-konvensi HHI
seperti disebut diatassecara umum dapat dipahami bahwa tindakan terror dilarang dilakukan.

Dapat dipahami pula bahwa orang orang yang melakukan tindakan penyerangan ataupun sebagai
korban penyerangan di negara konflik juga masih dilindungi oleh HHI.

KESIMPULAN
Berdasarkan timeline dan sanksi-sanksi yang ditetapkan, dapt disimpulkan bahwa pengaturan
kejahatan perang dalam hukum humaniter internasional sudah berkembang sangat baik dan
mampu menjawab persoalan dalam masyarakat internasional baik melalui hukum humaniter
intternasional kebiasaan maupun hukum humaniter perjanjian. Perkembangan hukum humaniter
kebiasaan sudah ada sejak waktu yang cukup lama sebagai kebutuhan dari perdaban manusia
untuk mengembangkan aturan-aturan mengenai perang dengan tujuan meminimalisir kekerasan.
Akan tetapi, pengaturan kejahatan perang dalam hukum humaniter kebiasaan hanya terbatas pada
perbuatan pidananya, artinya menyangkut perbuatan-perbuatan apa saja yang layak
dikualifikasikan sebagai pidana perang. Hukum humaniter internasional ini tidak mengatur
masalah pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Dengan semakin meluasnya cakupan
pengaturan kejahatan perang, hukum internasional perjanjian semakin berperan sebagai sumber
hukum kejahatan perang yang utama. Hukum perjanjian internasional ini pada akhirnya sangat
berperan untuk menyesuaikan aturan kejahatan pada keadaan baru, dan pada umumnya berguna
untuk memperbesar kekuatan hukum di dalam hubungan antarnegara. Hukum humaniter ini
mengikat negara sebagai hukum internasional yang bersifat umum dan dapat membantu dalam
melakukan interpretasi terhadap perjanjian internasional. Dapat dikatakan hukum humaniter
internasional sudah menyediakan aturan secara lengkap bagi penghukuman kejahatan perang,
baik berupa hukum materiil maupun hukum formil. Hukum humaniter internasional juga mampu
membangun kepatuhan negara-negara dalam penghukuman kejahatan perang yang tampak pada
sejumlah legislasi di beberapa negara serta praktik pengadilan nasional.
Beberapa aksi terorisme didasari dengan motif baik namun dalam mencapai tujuannya melewati
cara-cara yang kasar dan tidak manusiawi. Motif yang muncul dapat dalam bentuk kemiskinan,
penindasan, perlakuan tidak adil berkepanjangan, tereliminasi/terpinggirkan, dan motif lainnya,
lebih-lebih kalu di kalangan yang tertindas tersebut timbul kesan, penguasa hanya membela yang
kuat dan kaya. Hal ini akan semakin memicu tindakan ekstrem. Karenanya, paradigma
bagaimana keamanan, kenyamanan, dan ketentraman umat manusia menjadi prioritas utama,
menjadi acuan para pemimpin dunia. Untuk itu secara konkrit perlindungan HAM menjadi
proritas utama.
Bagaimanapun juga fungsi hukum humaniter ini adalah untuk menjaga perdamaian. Namun, jika
memang harus terjadi perang, hukum humaniter ini harusnya dapat digunakan sebagai acuan
untuk meminimalisir kerugian akibat perang. Pasalnya, hingga saat ini pelaksanaan hukum
humaniter masih belum sempurna di beberapa negara. Yang dapat dilihat dari masih adanya
konflik antar negara yang mengharuskan mereka untuk mengambil tindakan perang. Jika hukum
humaniter ini dipatuhi tentunya masalah perang tidak akan berlarut-larut dan warga sipil tidak
terkena imbasnya.

DAFTAR PUSTAKA
Starke, J.G, Intro to Internastional Law, London : Butterworth 1989
Thontowi, Jawahir SH Phd, Hukum International Kontemporer, Jakarta 1999
Dewi, Yustina Trihoni Nalesti, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional, Jakarta : RajaGrafindo 2013

OPINI : #DoSomething #StopSuriahInvasion
Usaha Presiden Amerika Serikat Barack Obama untuk mendapatkan dukungan melancarkan
serangan ke Suriah belum juga membuahkan hasil. 8 dari 10 koresponden sipil menyatakan tidak
setuju Presiden mengambil keputusan untuk mengintervensi perang sipil di Suriah. Mereka
meyakini bahwa serangan tersebut tidak akan mencapai tujuan yang signifikan terkait
kepentingan nasional dan urgensi dalam keterlibatan perang sipil. Sebelumnya Menteri
Pertahanan Chuck Hagel sudah menyiapkan beberapa rencana untuk menginvasi Suriah dan
tinggal menunggu perintah Presiden Barack Obama. Dalam hukum humaniter internasional juga
disebutkan bahwa serangan negara terhadap negara lain adalah ingin mengurangi kekuatan
militer negara yang dituju. Apakah benar merika Serikat terhadap senjata pemusnah massal milik
bangsa Suriah? Apakah serangan ini hanya kamuflase Amerika Serikat untuk menlancarkan
agresinya ke negara Arab? Banyak opini yag menyatakan bahwa sebenarnya yang ingin
diselamatkan Amerika adalah keamanan Zionis-Israel seperti halnya negara-negara barat lainnya.
Amerika tidak mungkin ingin menyelamatkan warga Suriah dari rezim Bashar Al-Assad dari
senjata kimia yang dimilikinya. Kemungkinan terbesar adalah Amerika Serikat takut bahwa
senjata kimia yang sebelumnya sempat dipakai Saddam Husein dalam memerangi bangsa Kurdi
yang menentangnya, jatuh ke tangan para pejuang Islam dan kelompok pejuang Jabhah alNusrah. Mereka pasti takut paham paham Zionis-Israel akan dimusnahkan dengan mudah jika
para pejuang ini mengambil alih senjata apabila suatu saat rezim Bashar jatuh. Langkah strategis
yang diambil Amerika ini memang sangat tidak masuk akal dan hanya seperti didasarkan pada
ketakutan irasional semata. Memang ada juga kemungkinan bahwa bangsa Arab menyiapkan
persenjataan kimia yang bisa menghancurkan umat manusia, namun apakah perlu Amerika
begitu takut dengan umat Islam dan para pejuangnya? Apakah hal ini masih dilatarbelakangi oleh
ketakutan masa lalu akibat serangan Osama Bin Laden pada menara kembar WTC, 13 tahun
lalu? Sehingga dengan cepat Barack Obama mengambil kesimpulan bahwa Islam dan
pengikutnya akan dengan mudah memusnahkan paham Zionis mereka selama ini?
Mari kita kembali pada saat Amerika diombang-ambingkan oleh tindakan Osama bin Laden.
Serangan mendadak ke menara kembar pada pagi 11 September 2001 itu menewaskan
setidaknya 2000 warga dengan rentang umur 2-87 tahun. Gedung yang selama ini menjadi
symbol kemakmuran ekonomi di dunia itu dihuni setidaknya ratusan perusahaan multinasional
dari seluruh dunia yang menanamkan modalnya di Amerika. Pesawat yang tidak ter-cover oleh
angkatan udara Amerika tersebut dengan mulus memporak-porandakan Amerika dan
perekonomian dunia dalam beberapa saat. Dengan cepat George Walker Bush Presiden saat itu
memburu habis-habisan Osama bin Laden dan secara tidak langsung mencontohkan sikap untuk
memusuhi kaum muslimin diseluruh penjuru Amerika dan dunia. Kaum muslim dituding sebagai
penganut kekerasan. Jikalau memang ingin membuat kaum muslim terlihat kejam dan bengis
mengapa malah Amerika yang ingin menyerang negara Arab yang jelas-jelas sebagai pusat

negara Islam? Apakah Amerika hanya ingin memastikan bahwa power mereka tidak kalah
dengan negara Islam?
Kembali ke masalah Suriah, Amerika menganggap penggunaan senjata kimia oleh Bashar adalah
sebuh code red dimana dalam hukum humaniter penggunaan senjata kimia memang tidak
diperbolehkan apabila kajiannya ingin melawan negara lain dalam berperang. Sekutu Suriah,
Rusia dan Cina mengungkapkan penentangan atas intervensi ini. Dalam hukum internasional
peristiwa ini harusnya dilakukan dengan kehati-hatian dan tidak melupakan etika dalam hukum
humaniter internasional. Bagaimanapun juga sebagai negara elit yang mengetahui tata cara
bernegara hal-hal seperti ini bisa dirundingkan terlebih dahulu mengingat lagi bahwa tidak hanya
para petinggi negara yang berperang namun juga melibatkan warga sipil yang mendiami daerah
tersebut maupun yang terlibat secara langsung di medan perang. Sebenarnya belum tentu juga
Suriah benar-benar memiliki senjata kimia berbahaya ini, mungkin saja hal ini hanyalah isu
belaka yang menimbulkan kepanikan massa. Agar negara tandingan Suriah takut akan Suriah dan
tidak ikut campur lagi dalam urusan bernegaranya. Tindakan Suriah in ibis juga didasarkan pada
Tindakan Suriah in ibis juga didasarkan pada balancing of power, dimana suatu negara ingin
menyamakan kedudukannya dengan negara lain. Sangatlah wajar bahwa adanya egoisitas
petinggi negara jika merasa terancam. memang sangat perlu diadakan penyidikan seperti yang
dilakukan oleh pihak Amerika Serikat dengan mengambil sampel dari beberapa korban senjata
kimia di wilayah-wilayah Suriah seperti Damaskus akhir-akhir ini. Dengan begitu adanya bukti
yang menguatkan dan tindakan merika tidak dikatakan sebagai tindakan gegabah dan semenamena yang nantinya juga akan merugikan Amerika bila dikaitkan dengan hukum perang
internasional yang ada. Kalaupun saja Suriah pada akhirnya memang terbukti memiliki senjata
kimia harusnya yang memusnahkan senjata ini bukanlah Amerika saja namun badan yang
ditunjuk oleh negara lain dan bersifat netral. Karena kalau memang Suriah memiliki senjata
berbahaya, negara lain pun juga ikut terancam dengan keberadaannya. Masih saja ada
kemungkinan juga jika senjata ini berhasil ditemukan dan dimusnahkan akan sangat mungkin
konflik arab yang berkepanjangan ini akan usai dan tercapainya perdamaian dunia.