Tren Komunitas Sastra Legitimator Feodal
1
Tren Komunitas Sastra;
Legitimator, Feodalistik, dan Patahnya
As
Oleh Anjrah Lelono Broto *)
Adalah sebuah tren baru di dunia sastra kita dewasa ini. Tren tersebut
adalah trend membuat-mencipta nama komunitas sastra di belakang
nama pribadi yang bergulat-berkarya di dunia sastra. Bermunculannya
nama komunitas sastra X, komunitas sastra Y, di berbagai daerah
Indonesia memang patut diapresiasi positif. Kemunculan nama-nama
komunitas sastra ini (bisa jadi) menjadi petanda bahwa masyarakat
Indonesia kian melek sastra. Serta, menjadi petanda betapa masyarakat
kita ‘mencoba’ membalas umpan bola lambung pemerintah tentang
industri berbasis kreatif. Sastra sebagai cabang seni, tentu saja
menggunakan proses kreatif sebagai amunisi fundamennya dalam proses
produksi dan pemasaran.
Namun, ada satu hal yang musti bijak kita cermati di balik munculnya
sederet nama komunitas sastra tersebut. Penempatan nama komunitas
sastra pada nama seorang sastrawan memang mampu mendongkrak
sebuah otoritas kesastrawanannya. Sebagaimana ketika sesosok figur
dihadirkan dalam sebuah forum, maka kapasitas serta kapabilitasnya
dalam menyampaikan pandangan dapat didongkrak dengan keterangan di
belakang namanya.
Secara praktis, penempatan nama komunitas sastra pada nama
seseorang yang memproduksi karya sastra dapat menjadi media
pembenaran bahwa dirinya menguasai betul bidang yang digelutinya,
sehingga sepatutnyalah karya sastranya mendulang apresiasi yang
(harus) positif. Meskipun penempatan nama komunitas sastra ini beraura
‘rekayasa’ akan tetapi memegang posisi penting dalam proses pemetaan
(pengenalan) pertama pembaca karyanya kepada diri sang sastrawan.
Akibatnya, tiada berlebihan kiranya berkembang asumsi bahwa pribadi
yang mencoba menggeluti dunia tulis-menulis sastra dan merasa belum
‘pantas’ menyandang predikat “sastrawan” menggunakan nama
komunitas sastra sebagai media penasbihan. Sedangkan, bagi pribadi
yang telah lama malang-melintang di dunia sastra menjadikan nama
komunitas sastra sebagai piranti penguat guna mengejar predikat
“sastrawan besar”. Dalam pemahaman saya, sastrawan besar adalah
sastrawan yang telah menghasilkan karya sastra berkualitas, popular, dan
tidak mudah dilupakan publik pembaca sastra. Di satu sisi, ada pegiat
sastra yang ‘jarang’ menelurkan karya namun lebih rajin berpolitik sastra?
Entitas yang terakhir ini juga menggunakan nama komunitas sastra
sebagai kendaraan agar manuver politik sastranya mendapatkan
perhatian publik. Dus, simpulan besarnya adalah nama komunitas sastra
berfungsi sebagai legitimator status “sastrawan”.
2
******
Di mata penulis, tren di atas mencuat karena mayoritas komunitas
sastra yang eksis dibangun dengan pola relasi yang feodalistik-otoriter.
Salah satu anggota dalam komunitas sastra cenderung menjelma menjadi
pribadi super, baik dalam proses kreatif hingga pernik-pernik kecil yang
sebenarnya bisa berkembang menjadi petanda masing-masing pribadi
anggota dalam komunitas tersebut.
Pola komunikasi dan relasi yang berstrata tersebut umumnya
dilatarbelakangi oleh spirit awal eksistensi komunitas tersebut yang
memang berorientasi pada aspek pembinaan dan pelatihan, bukan
wahana pergesekan kreatif secara murni. Pribadi yang berposisi sebagai
as (center of act) roda kreatif komunitas sastra berperan sebagai guru
(mentor) dan pengarang (kreator). Sehingga, kultur yang berkembang
dalam komunitas seperti ini adalah kultur feodalistik, dimana
ketidakmerdekaan untuk menyanggah, mengkritik, menyampaikan
pandangan,
bahkan
menganalisis
secara
proporsional
adalah
pemandangan yang wajar.
Padahal, idealnya sebuah komunitas sastra sebagaimana dalam film
“Dead Poets Society”, tetap menempatkan kesetaraan posisi dalam
berkreasi dan berkarya. Meski Jhon Keating (Robin Williams) adalah sosok
guru dan Neil Perry (Robert Sean Leonard), Todd Anderson (Ethan Hawke),
Knox Overstreet (Josh Charles), Charlie Dalton (Gale Hansen), Richard
Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero) dan Gerard
Pitts (James Waterston) adalah murid-muridnya, akan tetapi dalam
komunitas tersebut tidak semua yang dikatakan oleh Jhon Keating adalah
kitab suci dimana harus diyakini dan tidak terbantahkan sama sekali.
Bahkan, Jhon Keating pun bisa menerima pandangan maupun gagasan
Neil Perry maupun Steven Meeks.
******
Sebagaimana sebuah tren, ada kalanya berkembang bak cendawan di
musim hujan, namun ada kala juga baginya untuk layu, mati, kemudian
dilupakan. Mungkinkah nama sebuah komunitas sastra yang telah eksis
kemudian terhempas dan terputus?
Ketika salah satu pribadi yang berperan sebagai as di dalam komunitas
sastra tersebut mengalami ‘kekeringan inspirasi’ yang bisa jadi
disebabkan oleh faktor kurangnya pencarian dan pengendapan.
Mengingat inspirasi sebagaimana aliran air, terkadang mengalun bak air
bah namun kadang juga mampu mampet seperti tersumbat. Eksistensi
komunitas sastra tersebut akan sampai pada episode kerakap tumbuh di
batu, hidup segan mati tak mau.
Kurang menggigitnya kegiatan-kegiatan proses kreatif, bahkan sepinya
karya-karya baru yang berkualitas akan menjadi problema klasik
komunitas sastra dengan pola relasi berstrata. Saat individu yang menjadi
as ini mengalami kepatahan kreatifitas, maka nama komunitas sastra
yang ada di belakang namanya pun mengalami hal yang serupa.
3
Ada tiga kemungkinan eksistensi ke depan komunitas sastra yang
menikmati diagnosa seperti di atas. Pertama, mengulang-ulang kreatifitas
dalam memori di masa sebelumnya, dimana dilakukan dengan penuh
ratapan karena menempatkan pemahaman bahwa terbaik adalah yang
disampaikan oleh Sang As. Kedua, munculnya as baru yang menjadi
tautan penggerak kreatifitas berkarya. Kemungkinan ketiga ini adalah
kemungkinan yang paling mungkin namun pahit untuk diterima, yaitu
kematian eksistensi nama komunitas sastra tersebut.
Mungkinkah?
Hal ini sangat mungkin terjadi. Mengingat, energi untuk mengulangulang kreatifitas itu memiliki batas. Sedangkan, dorongan untuk
menemukan kabaruan kreatifitas pada komunitas sastra lain juga terbuka
lebar. Apalagi jika tidak ada pribadi yang dianggap mampu menjadi as
baru dimana ‘pantas’ untuk tetap membawa panji-panji nama komunitas
sastra.
Sebelum lebih dalam mencermat-mengurai tren berkembangnya
komunitas sastra di tanah air, bagaimana dengan komunitas sastra anda?
Sebagai legitimatorkah, berkultur feodalistikkah? Atau menempatkan
anda sebagai Sang As?
*****************
*) Litbang Lembaga Baca-Tulis
[email protected]
Indonesia,
Penulis,
Empu
email
Tren Komunitas Sastra;
Legitimator, Feodalistik, dan Patahnya
As
Oleh Anjrah Lelono Broto *)
Adalah sebuah tren baru di dunia sastra kita dewasa ini. Tren tersebut
adalah trend membuat-mencipta nama komunitas sastra di belakang
nama pribadi yang bergulat-berkarya di dunia sastra. Bermunculannya
nama komunitas sastra X, komunitas sastra Y, di berbagai daerah
Indonesia memang patut diapresiasi positif. Kemunculan nama-nama
komunitas sastra ini (bisa jadi) menjadi petanda bahwa masyarakat
Indonesia kian melek sastra. Serta, menjadi petanda betapa masyarakat
kita ‘mencoba’ membalas umpan bola lambung pemerintah tentang
industri berbasis kreatif. Sastra sebagai cabang seni, tentu saja
menggunakan proses kreatif sebagai amunisi fundamennya dalam proses
produksi dan pemasaran.
Namun, ada satu hal yang musti bijak kita cermati di balik munculnya
sederet nama komunitas sastra tersebut. Penempatan nama komunitas
sastra pada nama seorang sastrawan memang mampu mendongkrak
sebuah otoritas kesastrawanannya. Sebagaimana ketika sesosok figur
dihadirkan dalam sebuah forum, maka kapasitas serta kapabilitasnya
dalam menyampaikan pandangan dapat didongkrak dengan keterangan di
belakang namanya.
Secara praktis, penempatan nama komunitas sastra pada nama
seseorang yang memproduksi karya sastra dapat menjadi media
pembenaran bahwa dirinya menguasai betul bidang yang digelutinya,
sehingga sepatutnyalah karya sastranya mendulang apresiasi yang
(harus) positif. Meskipun penempatan nama komunitas sastra ini beraura
‘rekayasa’ akan tetapi memegang posisi penting dalam proses pemetaan
(pengenalan) pertama pembaca karyanya kepada diri sang sastrawan.
Akibatnya, tiada berlebihan kiranya berkembang asumsi bahwa pribadi
yang mencoba menggeluti dunia tulis-menulis sastra dan merasa belum
‘pantas’ menyandang predikat “sastrawan” menggunakan nama
komunitas sastra sebagai media penasbihan. Sedangkan, bagi pribadi
yang telah lama malang-melintang di dunia sastra menjadikan nama
komunitas sastra sebagai piranti penguat guna mengejar predikat
“sastrawan besar”. Dalam pemahaman saya, sastrawan besar adalah
sastrawan yang telah menghasilkan karya sastra berkualitas, popular, dan
tidak mudah dilupakan publik pembaca sastra. Di satu sisi, ada pegiat
sastra yang ‘jarang’ menelurkan karya namun lebih rajin berpolitik sastra?
Entitas yang terakhir ini juga menggunakan nama komunitas sastra
sebagai kendaraan agar manuver politik sastranya mendapatkan
perhatian publik. Dus, simpulan besarnya adalah nama komunitas sastra
berfungsi sebagai legitimator status “sastrawan”.
2
******
Di mata penulis, tren di atas mencuat karena mayoritas komunitas
sastra yang eksis dibangun dengan pola relasi yang feodalistik-otoriter.
Salah satu anggota dalam komunitas sastra cenderung menjelma menjadi
pribadi super, baik dalam proses kreatif hingga pernik-pernik kecil yang
sebenarnya bisa berkembang menjadi petanda masing-masing pribadi
anggota dalam komunitas tersebut.
Pola komunikasi dan relasi yang berstrata tersebut umumnya
dilatarbelakangi oleh spirit awal eksistensi komunitas tersebut yang
memang berorientasi pada aspek pembinaan dan pelatihan, bukan
wahana pergesekan kreatif secara murni. Pribadi yang berposisi sebagai
as (center of act) roda kreatif komunitas sastra berperan sebagai guru
(mentor) dan pengarang (kreator). Sehingga, kultur yang berkembang
dalam komunitas seperti ini adalah kultur feodalistik, dimana
ketidakmerdekaan untuk menyanggah, mengkritik, menyampaikan
pandangan,
bahkan
menganalisis
secara
proporsional
adalah
pemandangan yang wajar.
Padahal, idealnya sebuah komunitas sastra sebagaimana dalam film
“Dead Poets Society”, tetap menempatkan kesetaraan posisi dalam
berkreasi dan berkarya. Meski Jhon Keating (Robin Williams) adalah sosok
guru dan Neil Perry (Robert Sean Leonard), Todd Anderson (Ethan Hawke),
Knox Overstreet (Josh Charles), Charlie Dalton (Gale Hansen), Richard
Cameron (Dylan Kussman), Steven Meeks (Allelon Ruggiero) dan Gerard
Pitts (James Waterston) adalah murid-muridnya, akan tetapi dalam
komunitas tersebut tidak semua yang dikatakan oleh Jhon Keating adalah
kitab suci dimana harus diyakini dan tidak terbantahkan sama sekali.
Bahkan, Jhon Keating pun bisa menerima pandangan maupun gagasan
Neil Perry maupun Steven Meeks.
******
Sebagaimana sebuah tren, ada kalanya berkembang bak cendawan di
musim hujan, namun ada kala juga baginya untuk layu, mati, kemudian
dilupakan. Mungkinkah nama sebuah komunitas sastra yang telah eksis
kemudian terhempas dan terputus?
Ketika salah satu pribadi yang berperan sebagai as di dalam komunitas
sastra tersebut mengalami ‘kekeringan inspirasi’ yang bisa jadi
disebabkan oleh faktor kurangnya pencarian dan pengendapan.
Mengingat inspirasi sebagaimana aliran air, terkadang mengalun bak air
bah namun kadang juga mampu mampet seperti tersumbat. Eksistensi
komunitas sastra tersebut akan sampai pada episode kerakap tumbuh di
batu, hidup segan mati tak mau.
Kurang menggigitnya kegiatan-kegiatan proses kreatif, bahkan sepinya
karya-karya baru yang berkualitas akan menjadi problema klasik
komunitas sastra dengan pola relasi berstrata. Saat individu yang menjadi
as ini mengalami kepatahan kreatifitas, maka nama komunitas sastra
yang ada di belakang namanya pun mengalami hal yang serupa.
3
Ada tiga kemungkinan eksistensi ke depan komunitas sastra yang
menikmati diagnosa seperti di atas. Pertama, mengulang-ulang kreatifitas
dalam memori di masa sebelumnya, dimana dilakukan dengan penuh
ratapan karena menempatkan pemahaman bahwa terbaik adalah yang
disampaikan oleh Sang As. Kedua, munculnya as baru yang menjadi
tautan penggerak kreatifitas berkarya. Kemungkinan ketiga ini adalah
kemungkinan yang paling mungkin namun pahit untuk diterima, yaitu
kematian eksistensi nama komunitas sastra tersebut.
Mungkinkah?
Hal ini sangat mungkin terjadi. Mengingat, energi untuk mengulangulang kreatifitas itu memiliki batas. Sedangkan, dorongan untuk
menemukan kabaruan kreatifitas pada komunitas sastra lain juga terbuka
lebar. Apalagi jika tidak ada pribadi yang dianggap mampu menjadi as
baru dimana ‘pantas’ untuk tetap membawa panji-panji nama komunitas
sastra.
Sebelum lebih dalam mencermat-mengurai tren berkembangnya
komunitas sastra di tanah air, bagaimana dengan komunitas sastra anda?
Sebagai legitimatorkah, berkultur feodalistikkah? Atau menempatkan
anda sebagai Sang As?
*****************
*) Litbang Lembaga Baca-Tulis
[email protected]
Indonesia,
Penulis,
Empu