Sebuah Tinjauan Dari Masa Yunani Kuno sa

Sebuah Tinjauan Dari Masa Yunani Kuno sampai Posmodernisme
Oleh: Reza A.A Wattimena[1]
Tulisan ini merupakan sebuah tinjauan historis tentang berbagai model berfilsafat yang ada di
dalam sejarah filsafat Barat. Tujuannya adalah memperkenalkan, menanggapi secara kritis,
serta mengembangkan berbagai metode tersebut untuk memahami dan menjawab berbagai
persoalan yang ada di dalam masyarakat kita, dan juga untuk melatih pola berpikir kita dalam
aktivitas sehari-hari. Seperti yang tertulis pada judul, saya akan memaparkan model-model
berfilsafat dari masa Yunani Kuno sampai posmodernisme.
1.Pencarian Archē dan Elenchus dalam Filsafat Yunani Kuno
Sulit sekali menemukan catatan otentik mengenai filsafat sebelum Sokrates. Yang dapat
ditemukan adalah potongan tulisan yang seolah tidak memiliki hubungan satu sama lain.
Satu-satunya sumber yang cukup bisa diandalkan adalah tulisan-tulisan Aristoteles mengenai
para filsuf sebelumnya. Ia juga dikenal sebagai sejarahwan filsafat sistematis pertama di
dalam sejarah. Maka dari itu halangan pertama kita untuk bisa memahami filsafat Yunani
Kuno adalah halangan penafsiran, karena kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para
filsuf setelahnya. Kita hanya bisa mengandalkan sumber sekunder.
Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah asli yang telah hilang.
Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan tentang fragmen itu tidak didasarkan pada
teks tulisan yang memadai, melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun
fragmen-fragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga. Beberapa
kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa dipelajari dan direfleksikan.

Dari situ kita bisa memahami bagaimana tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami
realitas yang ada di hadapan mereka.
Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada dua
kelompok filsuf yang dominan di dalam Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf praSokratik dan kaum sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun
keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan sains selanjutnya
berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf pra-Sokratik pertama sebagai physiologoi
(natural philosophers), atau para filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar
(archē) dari seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic terms).
Para filsuf natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang lebih mengedepankan
penjelasan-penjelasan mitologis (mythological explanations) dalam bentuk cerita dewa dan
dewi.
Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan menggunakan kosa kata
natural, para filsuf prasokratik seringkali terlibat dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan
pendapat. Perdebatan itu muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama
lain. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin berpikir yang
selalu melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal mula berdirinya. Tidak hanya itu
mereka bahkan melakukan kritik tajam terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada
jamannya. Dengan kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf yang
saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas, yang juga bisa disebut
sebagai archē.


Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf prasokratik, menjadikan
seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian mereka. Mereka berusaha memahami alam
semesta bukan dengan menggunakan penjelasan mitologis, melainkan dengan penjelasanpenjelasan naturalistik (naturalistic explanations), seperti prinsip air, udara, api, dan atom.
Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para ilmuwan (scientist) pertama di dalam
sejarah. Proses mendekati realitas dengan tujuan mencari prinsip terdasar (fundamental
principle) yang menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf dan
ilmuwan selanjutnya.
1.1 Archē
Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar, apakah arti archē sebagai
prinsip terdalam yang menyatukan (unifying principle) seluruh realitas ini?[2] Dalam bahasa
Yunani Kuno, Archē adalah prinsip. Archējuga dapat dimengerti sebagai sumber yang
menciptakan (originating source), sebab (cause), prinsip pengetahuan (principle of
knowledge), dan entitas dasar (basic entity). Konsep ini sangat penting di dalam metafisika,
epistemologi, dan filsafat ilmu pengetahuan. Bahkan menurut Aristoteles setiap bentuk
pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) (pengetahuan yang sudah
tersistematisir) dirumuskan dan dikembangkan dengan berpegang pada prinsip (archai) yang
terbatas pada bidangnya masing-masing.
Dalam filsafat politik archē juga dapat dimengerti peraturan (rule) dan awal (beginning).
Konsep archē sebagai awal juga berakar pada konsep asal usul (origin), titik mula (starting

point), dan prinsip pertama (first principle). Dalam bahasa Yunani kata archē sendiri berasal
dari kata archō (to begin) yang berarti untuk memulai atau untuk mengatur (to rule). Kata itu
muncul di dalam tulisan-tulisan Homer. Dalam konteks politik yang lebih spesifik, archē bisa
berarti kekuasaan (sovereignity), ruang (realm), dan otoritas (authority). Menurut McKirahan
konsep archē secara definitif digunakan pertama kali oleh Anaximandros. Anaximandros
menggunakan kata itu untuk menjelaskan konsepnya yang disebut sebagai apeiron, yakni
unsur-unsur yang membentuk keseluruhan realitas.
Di dalam bukunya yang berjudul Metaphysics, Aristoteles memperkenalkan enam
penggunaan konsep archē. Saya hanya akan menjabarkan empat yang saya anggap penting.
Yang pertama adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti
benda-benda konkret lahiriah, muncul. Misalnya adalah fondasi dari rumah. Yang kedua
adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti konseptual,
muncul. Misalnya sebagai suatu titik, di mana gerakan berikutnya muncul. Yang ketiga
adalah segala bentuk penyebab (cause) dan segala sifat-sifat dasar (nature) dari suatu benda,
pikiran, tindakan, dan sebagainya. Dan yang keempat adalah archē sebagai benda yang
bertujuan pada dirinya sendiri, seperti pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan bukan
untuk tujuan lainnya.
Seluruh filsafat sebelum Sokrates kiranya ditandai dengan suatu bentuk metode yang unik,
yakni metode pencarian archē. Dalam arti ini archē dapat dipandang sebagai satu titik tolak
bagi pengetahuan manusia untuk berkembang. McKirahan menyebutnya sebagai hipotesis

yang tidak tidak dapat dibuktikan (unprovable hypotheses), namun harus selalu diandaikan.
Cara berpikir ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan persamaan di dalam
matematika, maupun sillogisme di dalam logika. Tanpa adanya hipotesis yang harus selalu
diandaikan ini, pengetahuan tidak akan bisa mencapai level koherensi. Dan jika tidak
koheren, maka itu tidak layak disebut pengetahuan.[3]

Dalam konteks filsafat prasokratik, archē berarti prinsip yang menyatukan keseluruhan
realitas. Mereka berusaha mengabstraksi realitas sedemikian rupa, sehingga bisa terlihat
unsur dasar pembentuk realitas tersebut. Inilah yang disebut sebagai metode pencaria archē.
Dalam konteks pembelajaran metode ini bisa digunakan untuk memahami karakter dasar
ataupun prinsip penyatu dari obyek yang ingin diteliti, seperti karakter dasar dari pikiran
manusia, hasrat, masyarakat, alam, dan sebagainya. Pada hemat saya pencarianarchē adalah
suatu metode yang sangat radikal, yang hendak mengangkat akar-akar terdalam realitas, dan
menegaskannya sebagai sebuah konsep yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible).
1.2 Elenchus sebagai Metode Sokratik[4]
Metode berfilsafat berikutnya yang dapat ditemukan pada filsafat Yunani Kuno adalah
metode Sokratik (Socratic method). Menurut Nelson metode Sokratik adalah metode yang
digunakan untuk mempelajari filsafat. Akan tetapi filsafat tidaklah sama seperti displin ilmu
lainnya. Maka itu lebih tepat dikatakan, bahwa metode Sokratik bukanlah metode untuk
belajar filsafat (learn philosophy), melainkan metode untuk berfilsafat (philosophizing). Apa

sebenarnya perbedaan antara dua konsep itu? Yang pertama hendak mengajarkan kepada
orang tentang apa itu filsafat. Sementara yang kedua adalah membuat orang mampu
berfilsafat tentang tema-tema yang penting dalam hidupnya, sehingga ia bisa menjadi seorang
filsuf.
Secara historis Sokrates banyak bergulat soal isu-isu yang terkait dengan kehidupan manusia.
Ia mempertanyakan soal-soal yang terkait dengan kebaikan, moral, dan keadilan, serta
menjadikan tema-tema itu bagian dari perdebatan yang menarik. Dalam konteks ini ia
merumuskan semacam metode khusus yang disebut sebagai argumentasi dialektis (dialectical
argument), atau secara khusus disebutnya sebagai elenchusyang berarti menguji (putting to
test) atau pembuktian (refutation). Ia memberikan contoh metode itu, ketika ia berdebat
dengan Meletus, salah seorang yang menuduh Sokrates melanggar hukum, dalam pengadilan
Sokrates (the trial of Socrates).
Meletus mengajukan argumen A. Ia merasa benar karena ia adalah ahli di bidang itu. Sokrates
menanggapi argumen itu, melakukan klarifikasi, dan memperluas argumen yang diajukan
Meletus. Setelah itu Sokrates meminta pendapat Meletus. Pada akhir argumen Sokrates
berhasil membuktikan, bahwa argumen Meletus tidaklah konsisten. Sedangkan pengetahuan
yang otentik haruslah konsisten. Pengetahuan yang otentik haruslah bebas dari kontradiksi
diri (self-contradiction). Maka dari itu argumen Meletus sebenarnya tidak bisa diterima,
karena tidak memiliki konsistensi dasar. Sokrates seringkali menggunakan gaya seperti ini
untuk mengungkapkan kontradiksi di dalam argumen dari orang yang merasa dirinya paling

ahli sekalipun, seperti para ahli agama, seorang jenderal, dan para guru retorika.
Kelihatannya Sokrates hanya suka mengungkapkan kesalahan dari argumentasi teman
bicaranya. Akan tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Memang ia ingin menunjukkan kelemahan
argumen teman debatnya, tetapi juga ingin membantu teman debatnya untuk melakukan
pencarian lebih jauh demi mendapatkan pengetahuan yang lebih tepat. Dengan kata lain
Sokrates ingin mencegah teman debat atau bicaranya untuk puas dengan kebenaran palsu
(false truth). Sokrates tidak ingin teman debatnya menipu diri dengan menganggap hal yang
salah sebagai benar.

Tidak hanya dengan orang-orang yang merasa ahli, Sokrates juga banyak berdialog dengan
orang-orang yang mencari kebenaran dalam segala bidangnya, terutama dengan anak muda.
Ia membantu mereka merumuskan konsep secara tepat tentang hal-hal yang penting dalam
kehidupan, seperti kebaikan, keberanian, dan kerendahatian. Sokrates yakin bahwa hidup
yang baik didasarkan pada pengertian yang baik. Orang yang baik adalah orang yang
sungguh mengerti apa artinya baik. Inilah yang disebut sebagai intelektualisme etis di dalam
pemikiran Sokrates. Dan pengertian yang baik adalah pengertian yang bebas dari kontradiksi
(contradiction) ataupun inkonsistensi (inconsistency). Orang bisa belajar banyak hal, jika ia
mampu peka pada kemungkinan kontradiksi yang ada di dalam pikiran, dan sedapat mungkin
menghindarinya.
Sokrates sangatlah tertarik berdiskusi soal keutamaan-keutamaan moral, seperti keberanian,

kesetian, kejujuran, dan kualitas-kualitas yang memungkinkan persahabatan. Baginya
sebelum orang masuk ke contoh, mereka harus dapat menjelaskan secara sistematis dan
komprehensif tentang makna dari masing-masing keutamaan-keutamaan moral tersebut.
Makna yang sistematis dan komprehensif tersebut dianggap Sokrates sebagai satu konsep
yang mampu mencakup beragam tindakan yang didasarkan pada masing-masing keutamaan
moral yang ada. Itulah yang disebutnya sebagai definisi universal (universal definitions) yang
dapat digunakan untuk mengecek berbagai tindakan yang ada, apakah sudah sesuai dengan
keutamaan moral (moral virtue) atau tidak. Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa Sokrates
adalah pemikir pertama yang sangat tertarik pada definisi universal dari keutamaankeutamaan moral manusia (universal definition of moral virtues). Metode pencarian definisi
universal itulah yang kemudian dapat dianggap sebagai metode untuk memahami realitas
khas Sokrates.
Yang juga menarik adalah, Sokrates tidak pernah merasa, bahwa ia sudah mencapai
pengertian yang universal dan terbaik tentang tema yang dibicarakannya. Sebaliknya pada
akhir dialog, ia biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa ia ternyata tidak akan dapat sampai
pada kebenaran absolut. Pengetahuan yang absolut benar tidak pernah dapat didapatkan. Dan
setiap dialog selalu diakhiri dengan pertanyaan lebih jauh. Walaupun merasa belum sampai
pada kebenaran yang absolut, Sokrates mengakui, bahwa proses dialog telah membuat
manusia lebih dekat pada kebenaran. Inilah inti dari metode elenchus di dalam pemikiran
Sokrates.
2. Logika Sebagai Metode di dalam Filsafat Abad Pertengahan

Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para pemikir Yunani Kuno memahami
realitas. Mereka menggunakan metode yang unik, yang nantinya akan terus mempengaruhi
cara berpikir kita sampai sekarang ini, yakni pencarian archē dan elenchus. Pada bab ini saya
akan mengajak anda mencicipi cara para filsuf abad pertengahan memahami realitas. Pada
bagian ini saya mengacu pada Routledge Encyclopedia of Philosophy,dan tulisan Ashworth
mengenai bahasa dan logika di dalam filsafat abad pertengahan.
Di dalam filsafat abad pertengahan, kita melihat berkembangnya suatu cara berpikir yang
nantinya akan mempengaruhi perkembangan pengetahuan manusia secara signifikan, yakni
metode berpikir deduktif (deductive method). Secara literal metode deduktif, atau yang
banyak juga dikenal sebagai prinsip deduktif (deductive principle), adalah kemampuan orang
untuk mengembangkan pengetahuannya dengan menarik kesimpulan dari pengetahuanpengetahuan yang sebelumnya telah ia ketahui.[5]

Misalnya A mengetahui bahwa B, dan C adalah kesimpulan yang bisa ditarik secara deduktif
dari B. Maka A mengetahui C. Cara berpikir ini disebut juga prinsip tertutup (closure
principle). Artinya kesimpulan yang bisa ditarik tertutup hanya pada implikasi logis (logical
implications), dan bukan yang lainnya. Contoh lainnya S mengenali P, dan S mengetahui
bahwa Q adalah implikasi logis dari P. Maka S dapat mengenali Q.
Prinsip ini dapat memastikan, bahwa pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang
sahih (valid knowledge). Prinsip semacam ini sangat berperan di dalam pembentukan
pengetahuan melalui metode penelitian saintifik (scientific method). Cara berpikir deduktif

ini mempengaruhi cara berpikir para filsuf abad pertengahan tentang konsep bahasa dan
logika (logic). Dua konsep inilah yang akan menjadi fokus pembahasan di dalam bab ini.
2.1 Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan
Secara umum Filsafat Abad Pertengahan memiliki pemahaman yang menarik tentang konsep
bahasa dan logika. Berdasarkan penelitian Ashworth pada masa itu, bahasa (language) dan
logika dianggap memiliki tujuan yang jelas.[6] Keduanya berfungsi untuk membentuk dan
menyatakan kebenaran, sehingga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan
baru. Kedua konsep ini menimbulkan perdebatan antara dua filsuf besar pada waktu itu,
yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia
untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Yang harus diingat adalah Agustinus adalah
seorang ahli retorika. Ia sadar betul akan bahaya penggunaan bahasa untuk menyembunyikan
atau justru melenyapkan kebenaran. Dan seperti yang dijelaskan oleh Ashworth, Agustinus
pernah menulis, bahwa orang harus melepaskan diri dari bahasa sehari-hari, dan kemudian
belajar langsung dari sumber kebenaran itu sendiri, yakni Tuhan. Ia adalah kebenaran agung
yang sesungguhnya.[7]
Pandangan Aquinas berbeda dari Agustinus. Bagi Aquinas seperti dijelaskan oleh Ashworth,
fungsi utama dari bahasa adalah untuk mengetahui kebenaran melalui konsep-konsep yang
dapat dirumuskan oleh akal budi manusia. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa juga
memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi yang berguna antar
manusia. Tidak hanya itu menurut Ashworth, masyarakat pun terbentuk di dalam bahasa

melalui proses penuturan kebenaran (truth telling). Bahasa adalah perpanjangan tangan dari
rasionalitas manusia. Dalam kerangka itu bahasa adalah sistem yang diatur oleh prinsipprinsip tertentu, dan dapat dilepaskan dari konteks pembentukan bahasa, ataupun maksud dari
penuturnya. Bahasa adalah kumpulan informasi yang dikumpulkan dan nantinya dirumuskan,
guna membentuk suatu pengetahuan yang sistematis (scientia).
Di dalam filsafat abad pertengahan, menurut Ashworth, bahasa tidak dapat dilepaskan dari
logika. Keduanya terkait dengan kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda. Seorang
filsuf Islam yang bernama Ibn Sina pernah berpendapat, bahwa fungsi logika adalah untuk
mengantarkan manusia dari apa yang diketahui (known) menuju ‘yang tidak diketahui’ (the
unknown). Artinya logika mengantar manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang
sebelumnya tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia pada
kebenaran yang sesungguhnya (genuine truth). Kebenaran itu tidaklah diciptakan oleh
manusia, melainkan sudah tertanam di dalam tata alam semesta yang rasional (permanently
and divinely instituted in the reasonable orders of things).[8] Logika abad pertengahan
difokuskan untuk membantu manusia melepaskan diri dari kesalahan berpikir (fallacies).

Logika di dalam filsafat abad pertengahan berbeda dengan logika Aristotelian, yang
berkembang pada masa Yunani Kuno. Pada masa abad pertengahan, logika yang berkembang
tidak mengacu pada struktur formal silogisme a la Aristoteles untuk bisa sampai pada
kebenaran. Logika yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu pada
pemikiran Neoplatonik, yang melihat bahwa alam semesta bisa dipahami seluruhnya dengan

mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai levelnya yang paling tinggi. Dengan jiwanya
manusia bisa melihat seluruh realitas sebagai obyek yang dapat dipahami oleh akal budi
(intelligible). Jiwa adalah suatu entitas yang melampaui bahasa. Dengan argumen yang
kurang lebih sama, Agustinus hendak membuktikan keberadaan Tuhan, yakni sebagai entitas
yang melampaui bahasa.
Pada abad pertengahan ini jugalah berkembang suatu konsep yang dikenal juga sebagai
dialektika (dialectica). Menurut Ashworth dalam arti umum, dialektika adalah logika (logica).
Namun dalam arti sempit, setidaknya ada dua makna berbeda. Yang pertama adalah
dialektika sebagai seni berdebat, seperti yang dipraktekkan kaum sofis. Dan yang kedua
adalah dialektika sebagai seni untuk menemukan sintesis (synthesis) dari argumen-argumen
yang berbeda. Marcus Iulius Cicero berpendapat bahwa dialektika adalah suatu metode
berdebat yang baik. Agustinus pun berpendapat serupa.
Ashworth juga menjelaskan beragam arti kata logika (logica). Kata itu berasal dari bahasa
Yunani logos, yang berarti kata-kata (word) atau akal budi (reason). Dalam arti ini logika bisa
juga disebut sebagai ilmu pengetahuan rasional (rational science). Seorang filsuf abad
pertengahan bernama Boethius berpendapat, bahwa filsafat dapat dibagi menjadi tiga, yakni
filsafat natural (natural philosophy), filsafat moral (moral philosophy), dan filsafat rasional
(rational philosophy). Logika terletak di dalam ranah filsafat rasional. Logika juga dapat
dianggap sebagai alat untuk berfilsafat. Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat, bahwa
logika dapat dikategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal art). Logika juga dapat
dikategorikan sebagai triviumbersama dengan retorika dan grammar. Dari sini dapatlah
disimpulkan, bahwa logika sekaligus bagian dari ilmu bahasa (dalam tradisi Romawi) dan
filsafat rasional (dalam tradisi Boethius).[9]
Berdasarkan penelitian Ashworth pada abad ke 13 dan 14, logika mulai melulu dipahami
sebagai filsafat rasional (rational philosophy). Artinya logika haruslah dibedakan dengan
filsafat natural, yang sibuk untuk memahami gejala alamiah (natural phenomena). Logika
lebih berurusan dengan penarikan kesimpulan (inference) serta metode berpikir, dan bukan
soal gejala alamiah. Dalam arti ini logika dapat dikelompokkan bersama dengan retorika dan
grammar, yakni sebagai ilmu bahasa. Argumen lain mengatakan bahwa logika tidak dapat
disamakan dengan filsafat natural (yang nantinya berkembang menjadi ilmu pengetahuan
seperti kita ketahui sekarang ini). Logika tidak berurusan dengan alam, melainkan dengan
prinsip-prinsip universal (universal principles) yang mengatur argumen dan cara berpikir
(reasoning). Jadi ranah penelitian logika bukanlah benda empiris, melainkan aktivitas pikiran
manusia (human mind).
2.2 Logika Penarikan Kesimpulan
Menurut Ashworth penarikan kesimpulan adalah konsep terpenting di dalam logika.
Penarikan kesimpulan ini bisa juga disebut sebagai consequentia, atau inference. Hal ini
menjadi penting untuk mencegah orang mengambil kesimpulan yang salah (fallacies) juga
dengan berdasarkan pada premis yang salah. Di dalam ilmu pengetahuan maupun di dalam
filsafat moral, orang dilatih untuk bertindak seturut dengan implikasi logis (logical

implications) dari kondisi-kondisi yang ada. Misalnya orang baru bisa mengambil
kesimpulan yang tepat, jika salah satu premis yang membentuk kesimpulan itu juga universal,
(Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Maka Andi juga berambut hitam).
Dan jika orang membuat janji, maka ia harus menepatinya. Itulah tindakan-tindakan yang
mengikuti implikasi logis dari tindakan sebelumnya.
Kesimpulan yang ditarik secara logis berarti kesimpulan yang sahih (valid). Kesimpulan
sahih dalam arti ini adalah kesimpulan yang ditarik dari premis yang sudah terbukti benar.
Maka kesimpulan tersebut tidak mungkin salah, karena premis yang mendasarinya juga sudah
terbukti benar. Namun menurut Ashworth ada dua masalah terkait dengan argumen ini. Yang
pertama adalah fakta sederhana di dalam logika, bahwa apa yang logis belum tentu benar.
Apa yang merupakan kesimpulan logis dari premis-premis yang sudah terbukti benar tidak
menjamin kebenaran dari penarikan kesimpulan itu, melainkan hanya kesahihan logikanya.
Coba kita ambil contoh yang paling sederhana. Andi orang Jawa. Semua orang Jawa
berambut hitam. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Andi berambut hitam. Hal ini
memang logis, namun apakah pasti benar?
Permasalahan di atas coba diatasi dengan menambahkan satu kalimat, yakni “jika dan hanya
jika” (if and if only). Namun menurut Ashworth hal ini pun bermasalah. Konsep “jika dan
hanya jika” menandakan suatu kondisi. Artinya suatu teori atau pernyataan baru terbukti
benar, jika kondisi-kondisi yang memungkinkanya juga ada. Misalnya saya berkata bahwa
hari ini pasti hujan, ‘jika dan hanya jika’ awan berat karena air, dan siap menuang hujan ke
daratan. Jika awan tidak berat karena air, maka hujan tidak akan terjadi.
Ini adalah contoh yang sederhana. Permasalahan muncul ketika kita mencoba membahas teori
yang lebih rumit. Misalnya pernyataan berikut; ekonomi pasar bebas hanya akan berjalan
dengan baik, jika setiap orang bertindak dengan mengacu pada kepentingan diri yang
tercerahkan (englighten self-interest). Masalahnya adalah cara berpikir dengan mengacu pada
kepentingan diri yang tercerahkan hampir tidak mungkin terwujud secara murni di dalam
realitas. Artinya pernyataan di atas sama sekali tidak bisa diterapkan pada realitas.
Cara berpikir dengan menggunakan logika sebagai metode ini juga banyak diterapkan pada
teologi, yakni upaya rasional manusia untuk memahami Tuhan. Dalam arti ini logika bukan
soal pencarian kebenaran, melainkan suatu teknik berpikir untuk menarik kesimpulan logis
berdasarkan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan. Memang dalam arti ini, seperti
yang dikatakan oleh Agustinus, apa yang logis (logic) dan apa yang benar (truth) haruslah
dibedakan. “Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan logis, definisi, dan
divisi”, demikian tulis Agustinus, “dapat memberikan bantuan besar di dalam proses
pemahaman, selama orang tidak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa dengan
mempelajari itu sama dengan telah mempelajari kebenaran dari hidup yang suci.”[10] Dari
sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika adalah alat berpikir, dan bukan tujuan dari filsafat
abad pertengahan.
3. Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern
Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para filsuf abad pertengahan
menggunakan logika sebagai metode berpikir mereka. Logika nantinya akan menjadi fondasi
kuat bagi perkembangan pemikiran di dalam ilmu pengetahuan. Pada bab ini dengan
mengacu pada Stewart Cohen di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, saya ingin

memperkenalkan anda pada metode skeptisisme yang dominan pada awal filsafat modern.
[11]
Secara umum skeptisisme adalah pandangan, bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada
pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih
bisa sampai pada pengetahuan, namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Di dalam
pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa didasarkan pada
argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi
adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa
dibuktikan.
Pada level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk ketidakpercayaan pada cara
mengetahui manusia. Misalnya ketidakpercayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan,
karena ingatan sifatnya sangat rapuh dan subyektif.[12] Ada juga para pemikir skeptis yang
tidak percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar dirinya. Bagi mereka
pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia (external world) hanya sebentuk sensasisensasi saraf otak semata, dan bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme
lainnya yang disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada hanyalah
diri manusia dan keyakinan-keyakinan subyektifnya. Segala sesuatu di luar diri manusia tidak
ada. Misalnya dunia di luar diri manusia itu sungguh ada, namun itu pun tetap tidak bisa
diketahui.
3.1 Skeptisisme di dalam Sejarah
Menurut Richard H. Popkin di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, skeptisisme
memiliki akar yang panjang dalam sejarah. Pada jaman Romawi Kuno, teks-teks Cicero,
Sextus Empiricus, dan Diogenes sudah memuat argumen-argumen skeptisisme. Setidaknya
ada dua bentuk skeptisisme, yakni ketidakpercayaan pada pada persepsi inderawi (sense
perception) manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan ketidakpercayaan pada
kemampuan akal budi (reason) manusia untuk mencapai pengetahuan yang universal.[13]
Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa manusia pada pengetahuan, maka
manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi
sesuatu yang tidak mungkin. Cara pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika
manusia tidak bisa sampai pada pengetahuan, maka satu-satunya harapan adalah
menyandarkan diri pada cara hidup dan aturan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Daya
dorong untuk mencapai kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup
dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan penelitian Popkin kelahiran skeptisisme sebagai metode di abad pertengahan
disebabkan oleh ditemukannya kembali teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali
ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teks-teks
tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan Eropa Utara. Seperti sudah
disinggung sebelumnya, teks-teks yang berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan,
yang terpenting, adalah tulisan Sextus Empiricus.
Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai teks-teks sejarah dan literatur
biasa. Namun setelah terbit dua teks terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of
Pyrrhonism dan Against the Professors,para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teksteks itu sebagai teks yang memiliki problem filosofis. Dari penelitian Popkin ini dapatlah

disimpulkan, bahwa konsep skeptisisme berkembang dari ditemukannya teks-teks kuno, yang
kemudian membuka problem-problem filosofis baru pada abad ke 14 dan 15.
Konsep skeptisisme juga berkembang dalam konteks tegangan dengan agama pada abad ke14. Tokoh yang terkait adalah Girolamo Savonarola dan muridnya yang bernama Pico della
Mirandola. Savonarola sendiri adalah seorang biarawan Dominikan sekaligus seorang guru
filsafat di Florence. Ia menyarankan dilakukannya reformasi besar-besaran terhadap Gereja
Katolik Roma pada waktu itu. Ia bahkan menyarankan orang membaca tulisan Sextus
Empiricus sebagai perkenalan kepada iman Kristiani. Ia juga meminta teman-teman
biarawannya untuk menerjemahkan teks-teks Empiricus, sehingga bisa dibaca oleh banyak
orang.
Akan tetapi tulisan-tulisan Empiricus, berlawanan dengan cita-cita Savonarola, tidak pernah
dijadikan salah satu teks Kristiani. Bahkan ia kemudian dituduh bidaah, dan dibakar pada
1498. Menurut penelitian Popkin cita-cita Savonarola sebenarnya sesuai dengan ajaran
Kristiani. Dia dan muridnya yang bernama Pico sebenarnya hendak menyerang semua bentuk
pengetahuan yang ada dengan teori skeptisisme, supaya orang tidak lagi menyandarkan diri
pada akal budinya, melainkan bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini nantinya juga
dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai satu-satunya sumber
kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico menyerang Filsafat Yunani Kuno dan
pemikiran Aristoteles. Argumen Pico memiliki pengaruh sangat besar para para pemikir
Renaissance nantinya.
Pada masa reformasi Erasmus pernah melakukan debat keras melawan Martin Luther. Masa
itu adalah masa yang penuh gejolak, akibat gelombang reformasi yang deras melanda Eropa.
Pada 1511 dalam salah satu tulisannya yang berjudul In Praise of Folly, Erasmus menyerang
semua bentuk pandangan skeptik. Baginya skeptisisme adalah sikap dogmatik untuk tidak
mengatakan apapun tentang apapun juga. Artinya skeptisisme adalah ajaran yang kosong
belaka. Pada bukunya yang berjudul Philosophia Christi, Erasmus menyetujui sepenuhnya
ajaran Kristus sebagai satu-satunya kebenaran. Walaupun begitu ia tidak membangun sistem
pemikiran apapun untuk mendasari argumennya itu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Popkin, Erasmus awalnya setuju dengan kritik tajam
yang dilontarkan oleh Luther pada Gereja Katolik. Namun dalam perjalanan Erasmus melihat
sikap yang semakin lama semakin keras pada argumen dan tindakan Luther. Ia pun menarik
dukungannya, dan tetap memilih untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Ia kini berada
pada posisi yang bertentangan Luther. Yang menarik adalah menurut Popkin, Erasmus justru
menggunakan argumen skeptik untuk melawan Luther. Ia berpendapat bahwa tema
perdebatannya dengan Luther terlalu sulit untuk dipahami oleh akal budi manusia. Kitab suci
pun tidak bisa dijadikan acuan mutlak untuk soal-soal iman dan teologi yang mereka
perdebatkan. Berdasar pada argumen skeptik, bahwa manusia tidak mungkin bisa memahami
sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak Luther untuk kembali pada
pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja Katolik, dengan penuh keterbukaan hati.[14]
Terlihat bahwa Erasmus menerapkan metode skeptisisme untuk membela pendiriannya.
Popkin bahkan menyebutnya sebagai skeptisisme lembut (gentle scepticism). Namun Luther
sama sekali tidak bisa menerima argumen itu. Baginya seorang Kristen tidak bisa sekaligus
adalah seorang skeptik. Orang yang beragama Kristen, atau agama apapun, haruslah
meyakini kebenaran yang terdapat di dalam agamanya. Jika tidak maka mereka akan
terancam hukuman Tuhan, seperti yang dipercaya di dalam agamanya. “Iman dan skeptisisme

sama sekali tidak cocok,” demikian tulis Popkin, “karena seorang Kristen haruslah bahagia di
dalam ketegasannya.”[15] Luther bahkan mengatakan bahwa Roh Kudus sama sekali tidak
skeptik (Spiritus Sanctus non est scepticus). Di hari pengadilan akhir (judgment day),
Erasmus harus mempertanggungjawabkan keraguannya di hadapan Tuhan.
Menurut Popkin perdebatan antara Luther dan Erasmus meninggalkan kita satu pertanyaan
filosofis yang penting, bagaimana menciptakan kriteria untuk menentukan kebenaran dalam
konteks kebenaran religius? Di dalam sejarah Luther menantang kebenaran tradisi yang
diajarkan oleh Gereja Katolik. Ia menolak mengakui otoritas iman dari Paus dan tradisi
Gereja Katolik yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagai gantinya ia ingin kembali mengacu
pada Kitab Suci. Akan tetapi menurut Popkin, bukankah setiap orang membaca Kitab Suci
dengan tafsiran dan gayanya masing-masing? Menjawab ini Luther mengatakan, bahwa
tafsirannya langsung didasarkan dari inspirasi roh kudus. Akan tetapi bagaimana memastikan
itu? Pada akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan subyektifnya semata. Keyakinan
subyektif yang dipercayainya sebagai bisikan roh kudus.
Dari kisah di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa skeptisisme seringkali berperan besar di
dalam perdebatan religius. Argumen yang ditawarkan biasanya begini, jika tidak ada yang
dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia, maka ia hanya perlu mempercayainya. Para
pemikir reformis Protestan menggunakan argumen ini untuk melawan tradisi Gereja Katolik.
Dan Gereja Katolik menggunakan argumen yang kurang lebih serupa melawan Calvinisme.
Semua pihak kemudian menganjurkan fideisme, yakni iman merupakan sumber utama dari
pengetahuan manusia. “Jika sikap skeptis terhadap pengetahuan tidak bisa diselesaikan
dengan akal budi”, demikian Popkin, “maka ajaran agama haruslah diterima hanya dengan
berdasar pada iman semata.”[16]
Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana mungkin orang bisa
beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika itu terjadi bukankah agama lebih menjadi
ilusi irasionil semata yang justru memperbodoh manusia? Bukankah orang akan begitu
mudah menjadi fanatik terhadap agamanya sendiri, dan menutup mata atau bahkan menindas
perbedaan yang ada? Pada hemat saya skeptisisme mengajarkan orang untuk bersikap kritis
terhadap semua bentuk pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang
pada kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan orang tersebut. Inilah
yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam filsafat modern, yakni mengajarkan orang untuk
berpikir kritis, sehingga ia bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak berpuas
diri dengan kebenaran-kebenaran palsu.
3.2 Skeptisisme sebagai Metode[17]
Bapak dari filsafat modern adalah Rene Descartes. Ciri utama filsafatnya adalah refleksi yang
mendalam dan berkelanjutan tentang tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada
akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka. Berdasarkan
penelitian Budi Hardiman, Descartes memberikan suatu bentuk metode baru di dalam
berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai
skeptisisme metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah
dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.[18]
Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai
dengan meragukan segala sesuatu. Ia meragukan kepastian benda-benda material yang ada di
sekitarnya, dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua hal di

dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai pegangan kokoh? Pada
hemat Descartes satu hal setidaknya yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya
sedang meragukan. Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil penipuan, namun fakta bahwa
aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah penipuan. Inti dari sikap meragukan
adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak
terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan,
melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme
Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif (constructive skepticism).
Cara berpikir skeptik yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris yang
bernama David Hume. Dengan membaca tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan
kesan, bahwa ia hendak menghancurkan filsafat. Namun menurut Budi Hardiman, tujuan
dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan mau melengkapi filsafat dengan
sebuah metode berpikir yang ketat dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan
cara berpikir skeptisisme.[19] Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika
tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan
akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan
terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan
mitos dan takhayul.
Berdasarkan penelitian Budi Hardiman dapatlah disimpulkan, bahwa Hume ingin melakukan
kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh
realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius,
konsep sebab akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang
dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah
pengalaman inderawi).[20] Coba kita bahas tiga bentuk kritik ini satu per satu.
Yang pertama, para pemikir rasionalis yakin, bahwa realitas itu adalah suatu substansi
(substance). Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan
itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul, ketika orang
mulai secara detil mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan,
atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan
persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions)
manusia semata.
Kritik kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap kausalitas
(sebab akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah
peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep sebab akibat
di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Konsep kausalitas (causality) lebih
didasarkan pada kebingungan daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap
peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak
langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan
dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa
dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume
untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai kepercayaan naif
(animal faith).
Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya orang beragama haruslah menggunakan
cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis
dan takhayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan

empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa
argumen yang ditawarkannya. Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan
oleh sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua Hume meyakini, bahwa orang memang
suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal
itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada.
Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi, ketika ilmu pengetahuan belum
berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi obyek pikiran
orang-orang yang sempit dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap
agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang paling benar. Hal ini
sulitnya menemukan titik temu yang obyektif tentang konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi
Hume, banyak sejarahwan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang
dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang semakin intensif, maka
keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan
tafsiran subyektif dari orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.[21]
Hume mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas dan cara berpikir kritis.
Kedua hal itu membuat orang tidak mudah percaya pada segala bentuk klaim-klaim
kebenaran yang ada di masyarakat, termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode
skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar radikal. Namun niat dibaliknyalah
yang harus kita hayati bersama, yakni pencarian kebenaran terus menerus, tanpa pernah
terjebak pada klaim-klaim yang seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.***
4. Filsafat Kritis Kant[22]
Pada bab sebelumnya saya sudah membahas mengenai metode skeptik yang kental di dalam
filsafat modern. Filsuf yang secara khusus menggunakan metode ini adalah Rene Descartes
dan David Hume. Inti dari skeptisisme adalah kecurigaan terhadap semua bentuk klaim
pengetahuan tertentu. Dengan metode skeptisismenya filsafat modern mengajarkan kita untuk
berani berpikir kritis untuk menantang semua klaim kebenaran dan pengetahuan yang
muncul. Tujuannya adalah supaya kita bisa hidup dengan berpegang pada kebenaran yang
otentik, dan bukan pada keyakinan-keyakinan tanpa dasar.
Pada bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap metode berpikir yang digunakan oleh
Immanuel Kant di dalam filsafatnya. Sebagai teks pembantu saya menggunakan dua teks,
yakni tulisan Jill Vince Buroker yang berjudul Kant’s Critique of Pure Reason dan tulisan
saya sendiri dalam bentuk tesis S2 yang berjudulPengandaian-pengandaian Metafisis di
dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks
atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika.[23]
4.1 Proyek Kritik Kant
Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa
memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya.
Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat
apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan
teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukumhukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah
tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan rasionalisme.
Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia

adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme
berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan
bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan
dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.[24]
Kant juga berpendapat bahwa moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan
ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the
Metaphysics of Morals pada 1785, danCritique of Practical Reason pada 1788. Pada 1790
Kant menulis Critiqe of the Power of Judgment. Di dalamnya ia menyentuh bidang estetika.
Namun pada hemat saya, metode di dalam filsafat kritis Kant lebih nyata di dalam bukunya
yang pertama, yakni Critique of Pure Reason yang saya terjemahkan menjadi Kritik atas
Rasio Murni. Buku inilah yang kemudian menjadi acuan saya dan Buroker pada bagian ini.
Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun
metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu,[25] tetapi rasionalitas metafisis
kini dihadapkan pada sebuah pengadilan.”[26] Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali
langkah-langkah yang telah kita rumuskan.”[27]Perdebatan di dalam refleksi metafisika telah
membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak
yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada.[28]
Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatisme dan skeptisisme.
Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba-raba secara acak.[29]
Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya itu, Kant merumuskan
semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat.
“Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya
dengan obyek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis,
kita harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih berhasil di dalam
metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa obyeklah yang harus menyesuaikan diri
dengan kesadaran kita…. Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama
Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”[30]
Untuk menjelaskan latar belakang pemikiran Kant, kerangka tulisan di dalam bagian ini
diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan Sebastian Gardner.[31]
4.2 Latar Belakang Historis
Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada waktu itu, yakni
rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan
empirisme David Hume (1711-1776). Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua
pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian
merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat
transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’
posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama
dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait
dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas.
Seperti lazimnya di dalam perumusan sejarah pemikiran, kesatuan ide pada Abad Pencerahan,
atau yang banyak dikenal sebagai abad rasionalitas, hanya dapat dilihat tesis-tesis utamanya
yang paling mendasar saja. Tentu saja masa itu penuh dengan ide-ide yang saling

bertentangan yang tidak dapat begitu saja dirumuskan dalam satu tesis yang mau mencakup
semuanya. Atas dasar itu dapat juga dikatakan, bahwa Pencerahan mengambil inspirasi
utamanya dari kesuksesan revolusi sains pada abad XVI-XVII, serta untuk memperjuangkan
apa yang sekarang ini telah dianggap ‘biasa’, yakni hak setiap orang untuk berpikir sendiri
tentang hal-hal praktis maupun teoretis lepas dari tradisi atau otoritas eksternal tertentu.
Rasionalitas sudah ada inheren di dalam diri manusia, dan tinggal digunakan untuk
mencerahkan kehidupan sehari-hari mereka. Para pemikir Pencerahan hendak
mempromosikan institusi sosial politik yang menghormati otonomi setiap orang, mendorong
penelitian-penelitian saintifik, dan menunjang peningkatan pengetahuan pada umumnya.
Asumsi mereka dari emansipasi intelektual, maka emansipasi politik akan terjadi. Pencerahan
adalah seperti yang dirumuskan dalam sebuah esei untuk mendefinisikan hal tersebut,
kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya
adalah ‘Sapere Aude’ (Beranilah Berpikir Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant
menulis,
“Masa dimana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa kritisme, dan untuk mengkritik
apapun yang ada. Termasuk diantaranya adalah agama dengan kesuciannya, hukum yang
telah terberi dengan kemuliaannya… haruslah mampu bertahan di hadapan ujian akal budi
yang bebas dan terbuka.”[32]
Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin, bahwa kemajuan sudah merupakan
bagian inheren di dalam karakter manusia itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami
dunianya melalui sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan
oleh Isaac Newton (1642-1727). Lambang kemajuan lainnya adalah semakin berkembangnya
toleransi di dalam maupun maupun di antara agama-agama, semakin lenyapnya otoritas
mutlak Gereja, perubahan tatanan sosial-politik yang berjalan paralel dengan perkembangan
kaum borjuis, dan semakin runtuhnya tirani cara berpikir metafisis-religius yang banyak
dikembangkan pada Abad Pertengahan. Semua hal ini menunjukkan bahwa sejarah telah
bergerak ke arah kemajuan total yang tidak bisa lagi dihentikan oleh apapun atau siapapun.
Secara umum Jerman tempat Kant lahir dan tinggal seumur hidupnya tidak berpartisipasi
secara aktif di dalam proses Pencerahan. Proses pencerahan itu sendiri lebih banyak
dipengaruhi oleh pemikiran John Locke (1632-1704) dan Newton. Para pemikir yang juga
cukup berpengaruh pada masa itu adalah David Hume dan Adam Smith (1723-1790). Pada
pertengahan abad ke-18, pusat gerakan pencerahan ini adalah Perancis, terutama di kalangan
para pemikir Encyclopedie, di mana Denis Diderot dan Jean d’Alembert menjadi tokohnya.
Banyak pemikir lain juga yang memberikan sumbangan besar bagi perkembangan mazhab
tersebut. Mereka disebutThe Philosophes. Di antaranya adalah Montesquieu(1689-1755),
Voltaire (1694-1778), E. de Condillac (1715-1780), P. d’ Holbach (1723-1789), Jean-Jacques
Rousseau (1712-1778), dan Condorcet (1743-1794).
Di Jerman Pencerahan berjalan lambat. Hal ini terjadi karena kondisi masyarakat dan
politiknya yang masih feodal pada masa itu, serta pemikiran rasionalisme yang sangat kuat
pengaruhnya pada dunia akademik. Aliran yang dominan di Jerman pada waktu itu adalah
rasionalisme Leibniz yang disebarluaskan oleh Christian Wolff (1679-1750) serta para
pengikutnya. Wolff menafsirkan pemikiran Leibniz dengan cara yang sangat sistematis. Pada
abad ke 18, filsafat Leibniz-Wolffian menjadi kurikulum standar di seluruh universitas
Jerman. Tentu saja kritik dari berbagai pemikiran lainnya terhadap sistem pemikiran tersebut
juga ada. Salah satunya adalah C. A Crussius (1715-1775). Ia menulis buku yang berjudul
Popularphilosophie, yang merupakan kritik tajam terhadap rasionalitas Leibniz-Wolffian.

Buku Popularphilosphie, tulis Kant dalam Kritik Atas Rasio Murni, secara megah