METHAN CAPTURE LIMBAH CAIR PABRIK KELAPA

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR PABRIK PENGOLAHAN
KELAPA SAWIT MENJADI BIOGAS UNTUK PEMBANGKIT LISTRIK
TENAGA BIOGAS (PLTBg).

Oleh:
Purwo Subekti/ F361150141, Universitas Pasir Pengaraian
Mahasiswa Program Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian
Institut Pertanian Bogor, Desember 2015

ABSTRAK
Karena limbah cair kelapa sawit merupakan nutrien yang kaya akan senyawa organik
dan karbon, dekomposisi dari senyawa-senyawa organik oleh bakteri anaerob dapat
menghasilkan biogas. Jika gas-gas tersebut tidak dikelola dan dibiarkan lepas ke udara bebas
maka dapat menjadi salah satu penyebab pemanasan global karena gas metan dan karbon
dioksida yang dilepaskan adalah termasuk gas rumah kaca yang disebut-sebut sebagai
sumber pemanasan global saat ini. Emisi gas metan 21 kali lebih berbahaya dari CO 2 dan
metan merupakan salah satu penyumbang gas rumah kaca terbesar. Untuk itu dengan
pemanfaatan gas metan yang terdapat pada limbah cair pengolahan kelapa sawit untuk
keperluan energi listrik secara langsung ikut mengurangi pemanasan global dan peningkatan
nilai tambah dari hasil samping pengolahan kelapa sawit serta ikut serta dalam pengikatan
pemberdayaan industri yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.

Kata Kunci: kelapa sawit, limbah cair, anaerob, gas metan, lingkungan

1. PENDAHULUAN
1.1. Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Limbah cair pabrik kelapa sawit (LCPKS) adalah salah satu produk samping dari pabrik
minyak kelapa sawit yang berasal dari kondensat dari proses sterilisasi, air dari proses
klarifikasi, air hydrocyclone (claybath), dan air pencucian pabrik. LCPKS mengandung
berbagai senyawa terlarut termasuk, serat-serat pendek, hemiselulosa dan turunannya,
protein, asam organik bebas dan campuran mineral-mineral. Tabel 1. menyajikan sifat dan
komponen LCPKS secara umum.

1

Tabel 1. Sifat dan Komponen LCPKS
Parameter
pH
Minyak
BOD
COD
Total Solid

Suspended Solid
Total Volatile Solid
Total Nitrogen

Rata-rata
4,7
4000
25000
50000
40500
18000
34000
750

Mineral
Kalium
Magnesium
Kalsium
Besi
Tembaga

Semua dalam mg/l, kecuali pH

Rata-rata
2270
615
439
46,5
0,89
(Ngan, 2000)

Limbah cair dari pabrik minyak kelapa sawit ini umumnya bersuhu tinggi 70-80oC,
berwarna kecoklatan, mengandung padatan terlarut dan tersuspensi berupa koloid dan
residu minyak dengan BOD (biological oxygen demand)
dan COD (chemical oxygen
demand) yang tinggi. Apabila limbah cair ini langsung dibuang ke perairan dapat mencemari
lingkungan. Jika limbah tersebut langsung dibuang ke perairan, maka sebagian akan
mengendap, terurai secara perlahan, mengkonsumsi oksigen terlarut, menimbulkan kekeruhan,
mengeluarkan bau yang tajam dan dapat merusak ekosistem perairan. Sebelum limbah cair ini
dapat dibuang ke lingkungan terlebih dahulu harus diolah agar sesuai dengan baku mutu
limbah yang telah di tetapkan. Tabel 2. berikut ini adalah baku mutu untuk limbah cair industri

minyak kelapa sawit berdasarkan Keputusam Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995.
Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Minyak Kelapa Sawit
Parameter
BOD5
COD
TSS
Minyak dan lemak
Nitrogen total (sebagai N)

Kadar Maksimum
(mg/l)
100
350
250
25
50,0

Nikel (Ni)
Kobal (Co)
pH

Debit limbah maksimum

,5 mg/l
0,6 mg/ L
6,0 – 9,0
2,5 m3/ ton, produk minyak sawit (CPO)

(Kep Men LH No.51, 1995)

2

Beban Pencemaran
Maksimum (kg/Ton)
0,25
0,88
0,63
0,063
0,125

Limbah cair kelapa sawit merupakan nutrien yang kaya akan senyawa

organik dan karbon, dekomposisi dari senyawa-senyawa organik oleh bakteri anaerob dapat
menghasilkan biogas (Deublein dan Steinhauster, 2008). Jika gas-gas tersebut tidak dikelola
dan dibiarkan lepas ke udara bebas maka dapat menjadi salah satu penyebab pemanasan
global karena gas metan dan karbon dioksida yang dilepaskan adalah termasuk gas rumah
kaca yang disebut-sebut sebagai sumber pemanasan global saat ini. Emisi gas metan 21
kali lebih berbahaya dari CO 2 dan metan merupakan salah satu penyumbang gas rumah
kaca terbesar (Sumirat dan Solehudin, 2009). Gambar 1 menunjukan alur penanganan
limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit.

Gambar 1. Penanganan limbah cair pabrik pengolahan kelapa sawit
(Winrock International, 2015)

3

1.2. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit
Pengolahan limbah cair pabrik kelapa sawit yang umum dilakukan adalah dengan
menggunakan unit pengumpul (fat pit) yang kemudian dialirkan ke deoiling ponds (kolam
pengutipan minyak) untuk diambil kembali minyaknya serta menurunkan suhunya, kemudian
dialirkan ke kolam anaerobik atau aerobik dengan memanfaatkan mikroba sebagai perombak
BOD dan menetralisir keasaman limbah. Teknik pengolahan ini dilakukan karena cukup

sederhana dan dianggap murah. Namun teknik ini dirasakan tidak efektif karena
memerlukan lahan pengolahan limbah yang luas dan selain itu emisi metan yang
dihasilkan dari kolam-kolam tersebut merupakan masalah yang saat ini harus ditangani.
Saat ini telah banyak dikembangkan penelitian dalam pengolahan LCPKS, seperti yang
dikembangkan oleh Pusat Penelitian Kelapa Sawit dengan menggunakan reaktor anaerobik
unggun tetap (RANUT). Prosesnya diawali dengan pemisahan lumpur atau padatan yang
tersuspensi, kemudian limbah cair dipompakan ke dalam reaktor anaerobik untuk perombakan
bahan organik menjadi biogas. Kemudian untuk memenuhi baku mutu lingkungan, limbah
diolah lebih lanjut secara aerobik (activated sludge system) hingga memenuhi baku mutu
lingkungan untuk dibuang kesungai (Departemen Pertanian, 2006). Selain itu ada juga
pengolahan LCPKS yang dikembangkan oleh Novaviro Tech Sdn Bhd, prosesnya adalah
dengan mengendapkan limbah cair pada kolam pengendapan selama 2 hari lalu dimasukkan
ke dalam tangki anaerobik berpengaduk untuk diolah dengan waktu retensi 18 hari (Novaviro,
2008).
Proses anaerobik merupakan proses yang dapat terjadi secara alami yang melibatkan
beberapa jenis mikroorganisme yang berperan dalam proses tersebut. Proses yang terjadi
pada pengolahan secara anaerobik ini adalah hidrolisis, asidogenik dan metanogenesis.
Beberapa jenis bakteri bersama-sama secara bertahap mendegradasi bahan-bahan organik
dari limbah cair (Deublein dan Steinhauster, 2008).
Pada pengolahan secara anaerobik ini bakteri yang berperan adalah bakteri fermentasi,

bakteri asetogenik dan bakteri metanogenik yang memiliki peranan masing-masing dalam
mendegradasi senyawa organik menjadi produk akhir berupa gas metan. Tiap fase dari proses
fermentasi metan melibatkan mikroorganisme yang spesifik dan memerlukan kondisi hidup
yang berbeda-beda. Bakteri pembentuk gas metan merupakan bakteri yang tidak memerlukan
oksigen bebas dalam metabolismenya, bahkan adanya oksigen bebas dapat menjadi racun atau
mempengaruhi metabolisme bakteri tersebut (Deublein dan Steinhauster, 2008).
2. PROSES PENGOLAHAN LIMBAH SECARA ANAEROBIK
Proses anerobik melibatkan penguraian senyawa organik dan anorganik
oleh
mikroorganisme tanpa adanya molekul oksigen bebas. Tahapan yang terjadi dalam proses
perombakan senyawa organik menjadi gas metan ditunjukkan pada Gambar 2.

4

Gambar 2. Konversi Bahan Organik Menjadi Metan Secara Anaerobik (Jiang,
2006)
2.1. Hidrolisis
Hidrolisis merupakan langkah pertama pada proses anaerobik, di mana bahan
organik yang kompleks (polimer) terdekomposisi menjadi unit yang lebih kecil
(mono-dan oligomer). Selama proses hidrolisis, polimer seperti karbohidrat, lipid, asam

nukleat dan protein diubah menjadi glukosa, gliserol, purin dan piridine. Mikroorganisme
hidrolitik mengeskresi enzim hidrolitik, mengkonversi biopolimer menjadi senyawa
sederhana dan mudah larut seperti yang ditunjukkan di bawah ini:
lipase

Lipid
Polisakarida
Protein

Asam Lemak, Gliserol

selulase, selubinase, xylanase, amilase

protease

Asam amino

5

Monosakarida


(1)
(2)
(3)

Senyawa tidak larut, seperti selulosa, protein, dan lemak dipecah menjadi senyawa
monomer (partikel yang larut dalam air) oleh exo-enzime (enzim ekstraselular) secara
fakultatif oleh bakteri anaerob. Seperti yang ditunjukkan pada persamaan 1 di mana lipid
diurai oleh enzim lipase membentuk asam lemak dan gliserol sedangkan poliskarida diurai
menjadi monosakarida seperti pada persamaan 2. Dan protein diurai oleh protease
membentuk asam amino. Produk yang dihasilkan dari hidrolisis diuraikan lagi oleh
mikroorganisme yang ada dan digunakan untuk proses metabolisme mereka sendiri (Seadi
et al, 2008).
Hidrolisis karbohidrat dapat terjadi dalam beberapa jam sedangkan hidrolisis protein
dan lipid terjadi dalam beberapa hari. Sedangkan lignoselulosa dan lignin terdegradasi
secara perlahan-lahan dan tidak sempurna. Mikroorganisme anaerob fakultatif mengambil
oksigen terlarut yang terdapat dalam air sehingga untuk mikroorganisme anaerobik
diperlukan potensial redoks yang rendah. Solubilisasi melibatkan proses hidrolisis di mana
senyawa-senyawa organik kompleks dihidrolisis menjadi monomer-monomer. Sebagai
contoh, polisakarida diubah menjadi monosakarida. Protein dibagi menjadi peptida dan

asam amino. Lemak dihidrolisis menjadi asam-asam lemak gliserol (Deublein dan
Steinhauster, 2008).
2.2. Asidogenesis
Selama proses asidogenesis, produk yang dihasilkan dari proses hidrolisis akan
dikonversi oleh bakteri acidogenic (fermentasi) menjadi substrat bagi bakteri methanogenic.
Gula sederhana, asam amino dan asam lemak terdegradasi menjadi asetat, karbon dioksida
dan hidrogen (70%) juga menjadi asam lemak volatil (VFA) dan alkohol (30%) (Seadi et al,
2008).
Asam amino terdegradasi melalui reaksi Stickland oleh Clostridium botulinum yaitu
reaksi reduksi oksidasi yang melibatkan dua asam amino pada waktu yang sama, satu
sebagai pendonor hidrogen dan yang satu lagi sebagai akseptor. (Deublein dan Steinhauster,
2008). Tabel 3. memperlihatkan degradasi senyawa pada tahap asetogenesis
Tabel 3. Degradasi Asetogenesis
Substrat
Asam Propionat
Asam Butirat
Asam Kapronik
Karbon dioksida/
hidrogen
Gliserin
Asam Laktat
Etanol

Reaksi
CH 3 (CH 2 )COOH + 2H 2 O
CH 3 (CH 2 ) 2 COO- + 2H 2 O
CH 3 (CH 2 ) 4 COOH + 4H 2 O
CH 3 (CH 2 ) 4 COOH + 4H 2 O

CH 3 COOH + CO 2 + 3H 2
2CH 3 COO- + H+ + 2H 2
3CH 3 COO- + H+ + 5H 2
CH 3 COO- + H+ + 2H 2 O

C3 H8 O3 + H2 O
CH 3 COOH + 3H 2 + CO 2
CH 3 CHOHCOO- + 2H 2 O
CH 3 COO- + HCO 3 - + H+ + 2H 2
CH 3 (CH 2 )OH + H 2 O
CH 3 COOH + 2H 2

(Deublein dan Steinhauster, 2008)

6

Produk akhir dari aktivitas metabolisme bakteri ini tergantung dari substrat awalnya
dan pada kondisi lingkungannya. Bakteri yang terlibat dalam asidifikasi ini merupakan
bakteri yang bersifat anaerobik dan merupakan penghasil asam yang dapat tumbuh
pada kondisi asam. Bakteri penghasil asam menciptakan suatu kondisi anaerobik yang
penting bagi mikroorganisme penghasil metan (Deublein dan Steinhauster, 2008).
2.3. Asetogenesis
Produk dari proses asidogenesis yang tidak dapat langsung diubah menjadi metan
oleh bakteri methanogenic, akan dikonversi menjadi substrat bagi methanogenic
pada proses asetogenesis. VFA yang memiliki rantai karbon lebih dari dua dan alkohol
yang rantai karbonnya lebih dari satu akan teroksidasi menjadi asetat dan hidrogen. Pada
fase metanogenesis, hidrogen akan dikonversi menjadi metan (Seadi et al, 2008).
Bakteri asetogenic adalah penghasil H 2 . Pembentukan asetat melalui oksidasi asam
lemak rantai panjang (seperti asam propionat atau butirat) akan berjalan sendiri dan hanya
mungkin terjadi dengan tekanan hidrogen parsial yang sangat rendah. Bakteri asetogenic
bisa mendapatkan energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup dan untuk
pertumbuhan hanya pada konsentrasi H 2 yang sangat rendah. Mikroorganisme asetogenic
dan methanogenic hidup dalam simbiosis yang saling memerlukan.
Organisme
methanogenic
dapat bertahan hidup dengan tekanan hidrogen parsial yang lebih
tinggi. Maka harus terus-menerus mengeluarkan produk- produk dari metabolisme bakteri
acetogenic dari substrat untuk menjaga tekanan parsial hidrogen pada tingkat yang rendah
sehingga cocok untuk bakteri acetogenic (Deublein dan Steinhauster, 2008).
2.4. Metanogenesis
Produksi metan dan karbon dioksida dilakukan oleh bakteri methanogenic.
Sebanyak 70% dari metan yang terbentuk berasal dari asetat, sedangkan sisanya 30%
dihasilkan dari konversi hidrogen (H) dan karbon dioksida (CO 2 ), menurut
persamaan berikut:
Asam asetat bakteri methanogenic
metan + karbon dioksida
(4)

Hidrogen + karbon dioksida

bakteri methanogenic

metan + air

(5)

Metanogenesis merupakan langkah penting dalam proses pengolahan
anaerobik secara keseluruhan, karena proses ini adalah yang paling lambat pada
proses reaksi biokimia. Metanogenesis sangat dipengaruhi oleh kondisi operasi.
Komposisi bahan baku, laju pengumpanan, suhu, dan pH adalah faktor yang
mempengaruhi proses metanogenesis. Overloading pada digester, perubahan suhu atau
masuknya oksigen dalam jumlah besar dapat mengakibatkan penghentian produksi
7

metan (Seadi et al, 2008). Jalur untuk pembentukan metan dari asetat dan/ atau CO 2
oleh mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 2. Rantai hidrokarbon panjang terlibat
dalam proses ini seperti methanofuran (misalnya R – C 24 H 26 N 4 O 8 ) dan H 4 TMP
(tetrahydromethanopterin) sebagai Co-faktor. Corrinoids adalah molekul yang memiliki
empat cincin pirol dalam cincin yang besar dengan rumus empiris C 19 H 22 N 4 . Ketika
pembentukan metan bekerja, fase asetogenesis juga bekerja tanpa masalah. Masalah dapat
terjadi ketika bakteri asetogenic hidup bersimbiosis bukan dengan spesies methanogenic
tetapi dengan organisme lain dan menggunakan H 2 . Dalam teknologi pengolahan
air
limbah,
simbiosis
dapat
terjadi
dengan mikroorganisme pengurai sulfat
menjadi hidrogen sulfide. Sehingga kadang terjadi persaingan dalam penggunaan
hidrogen.
Terdapat dua kelompok organisme metanogenik yang terlibat dalam pembentukan
metan. Kelompok pertama merupakan aceticlastic methanogens yang memecah asetat
menjadi metan dan karbon dioksida. Kelompok kedua antara lain Methanobacterium
yang menggunakan hidrogen dan karbon dioksida untuk membentuk metan
(Deublein dan Steinhauster, 2008). Gambar 3. Memperlihatkan reaksi pembentukan Metan
Dari Asetat dan Dari Karbon Dioksida.

(CoA = Koenzim A, CoM = Koenzim M)

Gambar 3. Pembentukan Metan Dari Asetat dan Dari Karbon Dioksida,
(Jiang, 2006)

8

Metanogen dan asidogen membentuk suatu hubungan yang saling menguntungkan
di mana metanogen mengubah hasil dari proses asidogen seperti hidrogen, asam format
dan asetat menjadi metan dan karbon dioksida. Mikroorganisme yang membentuk
metan diklasifikasikan sebagai archaea yang bekerja
tanpa
adanya
oksigen.
Mikroorganisme non metanogenik yang berperan dalam hidrolisis dan fermentasi
merupakan bakteri fakultatif (Deublein dan Steinhauster, 2008). Pengolahan secara
anaerobik dalam reaktor dapat diaplikasikan untuk mengolah limbah cair dalam jumlah
yang besar karena menggunakan reaktor tertutup dan waktu tinggal cairan limbah saat ini
bisa lebih singkat dengan menggunakan sistem termofilik, maka kebutuhan lahan yang luas
untuk mengolah limbah cair dapat dikurangi. Selain itu pengolahan limbah cair secara
anaerobik juga dapat memberikan sumber energi berupa gas metan yang merupakan
produk akhir dari proses anaerobik ini. Gas metan yang dihasilkan dapat digunakan sebagai
bahan bakar yang relatif terhadap ramah lingkungan.
Pengolahan anaerobik untuk menghasilkan biogas ini sangat bermanfaat dalam
mengurangi limbah biomassa organik namun tahap awal pembangunan reaktornya
membutuhkan biaya yang lebih besar jika dibandingkan dengan pengolahan secara
aerobik. Beberapa kelebihan dan kekurangan proses anaerobik ditunjukkan pada tabel 4.
Tabel 4. Keuntungan Dan Kerugian Fermentasi Anaerobik
Keuntungan
- Energi yang dibutuhkan sedikit
- Produk samping yang dihasilkan sedikit

Kerugian
- Biaya konstruksi yang mahal
- Membutuhkan penambahan
senyawa alkalinity

- Menghasilkan senyawa methana yang
merupakan sumber energi yang potensial

- Sangat
sensitif terhadap
perubahan temperatur

- Baik untuk operasi skala besar karena
menggunakan reaktor

- Menghasilkan senyawa yang
beracun seperti H 2 S

- Sludge
hasil
buangannya
digunakan sebagai pupuk

- Penyimpanan pupuknya sulit

dapat

(Metcalf & Eddy, 2003)

Pengolahan secara anerobik adalah metode yang paling sesuai untuk
mengolah buangan industri yang mengandung karbon atau senyawa organik yang tinggi
(Bocher dan Angler, 2008). Pengolahan LCPKS dengan menggunakan reaktor anaerobik
dilakukan dengan mensubtitusi proses yang terjadi di kolam anaerobik pada sistem
konvensional kedalam tangki digester.
Selain menghasilkan biogas, pengolahan limbah cair dengan proses anaerobik dapat
9

dilakukan pada lahan yang sempit dan memberi keuntungan berupa penurunan jumlah
padatan organik, jumlah mikroba pembusuk yang tidak diinginkan, serta kandungan racun
dalam limbah (Speece, 1996). Disamping itu buangan dari proses fermentasi anaerobik
dapat menjadi pupuk yang baik karena kandungan nitrogennya yang tinggi (Weiland.
2010).
3.

PRODUKSI BIOGAS

3.1. Biogas
Biogas merupakan produk akhir dari degradasi anaerobik bahan organik oleh
bakteri-bakteri anaerobik dalam lingkungan dengan sedikit oksigen. Komponen terbesar
yang terkandung dalam biogas adalah methana 55 – 70 % dan karbon dioksida 30 –
45 % serta sejumlah kecil, nitrogen dan hidrogen sulfida (Deublein dan Steinhauster,
2008).
Tapi metan (CH 4 ) yang dimanfaatkan sebagai bahan bakar. Apabila
kandungan metan dalam biogs lebih dari 50% maka biogas tersebut telah layak digunakan
sebagai bahan bakar. Tabel 5 menunjukan komposisi biogas secara umum.
Tabel 5. Komposisi Biogas Secara Umum
Komposisi Biogas
Metan (CH 4 )
Karbon dioksida (CO 2 )
Nitrogen (N 2 )
Hidrogen Sulfida (H 2 S)

Jumlah
55 – 70 %
30 – 45 %
0 – 0,3 %
1–5%

(Deublein dan Steinhauster, 2008)

Kandungan yang terdapat dalam biogas dapat memperngaruhi sifat dan kualitas
biogas sebagai bahan bakar. Kandungan yang terdapat dalam biogas merupakan hasil dari
proses metabolisme milroorganisme. Biogas yang kandungan metannya lebih dari 45%
bersifat mudah terbakar dan merupakan bahan bakar yang cukup baik karena memiliki
nilai kalor bakar yang tinggi. Tetapi jika kandungan CO 2 dalam biogas sebesar 25 – 50
% maka dapat mengurangi nilai kalor bakar dari biogas tersebut. Sedangkan kandungan H 2
S dalam biogas dapat menyebabkan korosi pada peralatan dan perpipaan dan nitrogen
dalam biogas juga dapat mengurangi nilai kalor bakar biogas tersebut. Sealin itu juga
terdapat uap air yang juga dapat menyebabkan kerusakan pada pembangkit yang digunakan.
(Deublein dan Steinhauster, 2008). Tabel 6 menunjukkan beberapa komponen dalam
biogas yang dapat mempengaruhi sifat biogas itu sendiri.

10

Tabel 6. Komponen Pengganggu Dalam Biogas
Komponen
CO 2

Jumlah
25 – 50 % per volume

Pengaruh Terhadap Biogas
- Menurunkan nilai kalor bakar, meningkatkan
methan number, Menyebabkan korosi,
Menyebabkan kerusakan pada sel bahan bakar
alkali.

H2 S

0 – 0,5 % per volume

- Menyebabkan korosif pada peralatan dan
sistem perpipaan, Menyebabkan emisi SO 2
bila dibakar

NH 3

0 – 0,05

- Merusak katalis yang digunakan pada reaksi,
Menyebabkan emisi NO 2 setelah pembakaran
Dapat merusak sel bahan bakar .

Uap Air

1 – 5% per volume

N2

0 – 5%

Siloxane

0 – 50 mg/ m3

per volume

per volume

- Menyebabkan korosif pada peralatan
Kondensatnya dapat menyebabkan kerusakan
pada peralatan dan pembangkit, Terdapat resiko
pembekuan pada sistem perpipaan.
- Menurunkan nilai kalor bakar, Meningkatkan sifat
anti-knocking pada mesin.
- Menyebabkan kerusakan pada mesin

(Deublein dan Steinhauster, 2008)

3.2. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Produksi Biogas
Untuk mendapatkan produksi biogas yang optimum, perlu diperhatikan beberapa
faktor dan kondisi yang dapat mempengaruhi perkembangan mikroorganisme di dalam
fermentor. Beberapa faktor yang harus diperhatikan dan dijaga agar proses produksi biogas
berjalan dengan stabil adalah sebagai berikut:
a. pH
Nilai pH
merupakan ukuran dari keasaman/ kebasaan suatu larutan
(campuran dari substrat) dan dinyatakan dalam bagian per juta (ppm). Nilai pH dari substrat
mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme methanogenic dan mempengaruhi disosiasi
beberapa senyawa penting untuk proses anaerobik. Pembentukan metan terjadi pada
interval pH yang relatif sempit, dari sekitar 5,5 sampai 8,5, dengan interval optimal antara
7,0 - 8,0 untuk bakteri metanogen pada umumnya. Interval pH optimum untuk proses
mesofilik adalah antara 6,5 dan 8,0 dan proses ini akan terhambat jika nilai pH menurun
11

hingga di bawah 6,0 atau naik di atas 8,3. Nilai pH dalam reaktor anaerobik umumnya
dikendalikan oleh sistem buffer bikarbonat. Oleh karena itu, nilai pH di dalam digester
tergantung pada konsentrasi komponen alkali dan asam dalam fase cair. Jika akumulasi
basa atau asam terjadi, kapasitas buffer akan menetralkan perubahan pH, sampai tingkat
tertentu (Seadi et al,2008).
b. Temperatur
Proses anaerobik dapat berlangsung pada temperatur yang berbeda, rentang suhunya
dapat dibagi menjadi tiga: psichrofilik (di bawah 25oC), mesofilik (25oC – 45oC), dan
termofilik (45oC – 70o C). Stabilitas suhu sangat menentukan pada proses anaerobik.
Banyak industri biogas modern beroperasi pada suhu termofilik karena proses termofilik
memberikan banyak keuntungan, dibandingkan dengan proses mesofilik dan psichrofilik
diantaranya adalah sebagai berikut: (Seadi et al, 2008).





Efektif untuk penghilangan patogen,
Tingkat pertumbuhan bakteri methanogenic lebih tinggi pada suhu yang lebih tinggi,
Waktu retensi berkurang, membuat proses lebih cepat dan lebih efisien,
Degradasi substrat padat menjadi lebih baik sehingga pemanfaatan substrat menjadi
lebih baik.

c. Organic Loading Rate (OLR)
OLR adalah jumlah bahan organik yang masuk dan tersedia dalam fermentor.
Apabila OLR terlalu rendah maka proses fermentasi akan berjalan lambat sedangkan jika
terlalu tinggi maka terjadi overlaod dan substrat yang ada dapat menjadi penghambat
pertumbuhan mikroorganisme. (Speece, 1996).
d. Total Solid (TS), dan Volatile Solid (VS).
Total solid (TS) adalah jumlah padatan yang terdapat dalam substrat baik padatan
yang terlarut maupun yang tidak terlarut. Sedangkan volatile solid (VS) adalah padatanpadatan organik yang terdapat dalam substrat. Dari TS dan VS inilah dapat diketahui
berapa banyak produksi gas yang akan dihasilkan (U.S Environmental Protection,
2001).
e. Makro dan Mikronutrien
Mikro-nutrien (trace elements) seperti besi, nikel, kobal, selenium, molibdenum
atau tungsten sama pentingnya dengan makro-nutrients seperti karbon, nitrogen, fosfor,
dan belerang untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup mikroorganisme anaerobik. Rasio
optimal makro-nutrien untuk karbon, nitrogen, fosfor, dan belerang (C: N: P: S) kurang
lebih 600:15:5:1. Kurangnya penyediaan nutrisi dan trace elements serta kecepatan
fermentasi yang terlalu tinggi dari substrat dapat menghambat dan mengganggu proses
anaerobik (Seadi et al, 2008).
12

f.

Hydraulic Retention Time (HRT)

HRT atau waktu tinggal merupakan waktu rata-rata yang dibutuhkan oleh limbah
cair untuk tinggal di dalam fermentor. Nilai HRT merupakan perbandingan antara volume
reaktor dengan laju alir umpan yang masuk (Speece 1996). HRT berhubungan dengan
volume digester dan volume substrat yang masuk per satuan waktu, meningkatnya
organic loading rate akan mengurangi HRT, waktu retensi harus cukup lama untuk
memastikan bahwa jumlah mikroorganisme yang keluar bersama dengan efluen tidak lebih
tinggi dari jumlah mikroorganisme yang direproduksi.
HRT yang singkat memberikan laju aliran substrat yang baik, namun hasil gas yang
diperoleh akan lebih rendah. Dengan mengetahui HRT yang ditargetkan, jumlah
input substrat dan laju dekomposisi substrat maka dapat dibuat perhitungan untuk
volume tangki digesternya (Seadi et al, 2008). Umumnya, unit biogas komersil untuk
POME memerlukan 20-90 hari, gambar 4 menunjukan grafik proses anaerobik yang umum,
dengan tahap metanogenesis terjadi pada hari 6-7 menghasilkan laju produksi gas yang
tinggi. . (Seadi, 2008)

Gambar 4. Hasil Biogas terhadap HRT rata-rata (Al Seadi, 2008)

4. PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA BIOGAS (PLTBg)
Pembangkit listrik tenaga biogas memberikan serangkaian opsi pemanfaatan untuk
pabrik kelapa sawit. Pengelola pabrik dapat menggunakan biogas untuk:
 Bahan bakar burner maupun boiler sehingga mengganti sebagian penggunaan
cangkang dan serat.
 Menghasilkan listrik untuk keperluan pabrik sehingga mengurangi biaya bahan
bakar.
 Menghasilkan listrik untuk dijual ke jaringan PLN sehingga menambah pendapatan.
13

Kebutuhan energi di pabrik kelapa sawit dan potensi keuntungan menjadi dasar
pertimbangan untuk memilih opsi pemanfaatan biogas. Tabel 2.1 di bawah ini menguraikan
pemanfaatan biogas yang umum.
Tabel 7. Opsi Pemanfaatan Biogas
Teknologi
Pembakaran:
Burner
Boiler

Biaya

Efesiensi

Kerumitan

Keandalan

Rendah
Rendah

Tinggi
Tinggi

Rendah
Rendah

Tinggi
Tinggi

Listrik/Lainnya:
Generator
Turbin
Pemurnian Biogas

Tinggi
Tinggi
Sangat tinggi

Sedang
Sedang
Tinggi

Sedang
Tinggi
Tinggi

Tinggi
Sedang
bervariasi

Winrock International, 2015

Karena biogas sebagian besar terdiri dari metana, maka biogas dapat menggantikan
gas alam untuk berbagai aplikasi, antara lain pemanasan melalui pembakaran, bahan bakar
mesin, bahan bakar kendaraan, dan didistribusikan ke dalam jaringan pipa gas alam.
4.1. Komponen Pembangkit Listrik Tenaga Biogas
Bagian utama dari suatu fasilitas komersial konversi POME menjadi biogas
ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Diagram pembangkit listrik tenaga biogas POME (Winrock International, 2015)

14

a. Sistem Bio-Digester
Sistem bio-digester terdiri dari proses pengolahan awal, bio-digester, dan kolam
sedimentasi. Dalam proses pengolahan awal, POME dikondisikan untuk mencapai nilai-nilai
parameter yang dibutuhkan untuk masuk ke digester. Pada tahap ini, dilakukan proses
penyaringan untuk menghilangkan partikel besar seperti kotoran atau serat. Proses pengadukan
dan netralisasi pH dilakukan untuk mencapai pH optimal pada 6,5–7,5. Sebuah sistem
pendinginan (cooling pond,cooling tower atau heat exchanger) berfungsi untuk menurunkan
suhu POME menjadi sekitar 40°–50°C. Suhu digester harus dijaga di bawah 40°C agar kondisi
mesofilik optimal. Penurunan suhu ini juga dibantu dengan proses resirkulasi air limbah
keluaran dari digester.
Air limbah setelah pengolahan awal dipompa ke bio-digester, yang dapat berupa kolam
tertutup (Gambar 6). Proses penguraian POME menghasilkan biogas dan residu (slurry).
Digester harus dirancang kedap udara dan air. Digester dapat dibuat dalam berbagai bentuk dan
ukuran, dan dari berbagai bahan. Ukuran digester ditentukan berdasarkan laju alir POME,
beban COD, dan waktu retensi hidrolik (HRT) yang diperlukan untuk penguraian yang
optimal.

Gambar. 6. Kolam tertutup (Winrock International, 2015)
Air limbah hasil proses anaerobik dari digester mengalir ke kolam sedimentasi di mana
POME yang telah terurai dipisahkan lebih lanjut dari lumpur dan padatan. Perkebunan dapat
menggunakan limbah cair dari sedimentasi sebagai pupuk. Sistem pembuangan padatan
berfungsi untuk memisahkan lumpur dan padatan yang terakumulasi baik di dalam digester
maupun di dalam kolam sedimentasi.
Biogas yang dihasilkan melalui proses anaerobik terkumpul di bawah cover/penutup
digester pada kolam tertutup. Sistem kolam tertutup mempertahankan tekanan rendah 0–2
mbarg (tergantung pada desain penyedia teknologi). Biogas yang terkumpul di dalam digester
kemudian dialirkan dan diproses lebih lanjut ke dalam sistem pengolahan gas atau dibakar
dalam flare.
15

b. Scrubber Hidrogen Sulfida (H2S)
Sebelum biogas dapat menghasilkan daya listrik, scrubber hidrogen sulfida digunakan
untuk menurunkan konsentrasi H2S ke tingkat yang disyaratkan oleh gas engine, biasanya di
bawah 200 ppm (Gambar 7). Hal ini untuk mencegah korosi, mengoptimalkan operasi, dan
memperpanjang umur gas engine. H2S dalam biogas berasal dari komponen sulfat (SO4)
dan sulfur lainnya dalam air limbah. Dalam digester anaerobik pada kondisi tidak ada oksigen,
sulfat berubah menjadi H2S. Ada tiga jenis scrubber yang digunakan dalam proses
desulfurisasi untuk menurunkan kandungan H2S dalam biogas, yaitu scrubber biologis,
kimia, atau air. Scrubber biologis menggunakan bakteri sulfur-oksidasi untuk mengubah H2S
menjadi SO4, sementara scrubber kimia menggunakan bahan kimia seperti NaOH untuk
mengubah H2S menjadi SO4. Scrubber air bekerja berdasarkan penyerapan fisik dari gas-gas
terlarut dalam air dan menggunakan air bertekanan tinggi. Scrubber biologis biasa digunakan
untuk aplikasi POME menjadi energi karena biaya operasionalnya rendah.

Gambar 7. Scrubber H2S (Winrock International, 2015)
c. Dehumidifier Biogas
Dehumidifier gas (Gambar 8), dalam bentuk dryer, chiller, atau cyclone; berfungsi
untuk mengurangi kadar air dalam biogas yang akan dialirkan ke dalam gas engine.
Dehumidifier mengambil air yang terkandung dalam biogas. Hal ini membantu
mengoptimalkan proses pembakaran pada mesin, mencegah pengembunan, dan melindungi
16

mesin dari pembentukan asam. Asam terbentuk saat air bereaksi dengan H2S dan oksigen.
Biogas yang berkualitas tinggi dengan kelembaban relatif di bawah 80% meningkatkan
efisiensi mesin dan mengurangi konsumsi bahan bakar gas.

Gambar 8. Dehumidifier Biogas (Winrock International, 2015)
d. Gas Engine
Gas engine termasuk mesin pembakaran dalam yang bekerja dengan bahan bakar gas
seperti gas alam atau biogas (Gambar 9). Setelah kandungan pengotor pada biogas
diturunkan hingga kadar tertentu, biogas kemudian dialirkan ke gas engine untuk
menghasilkan listrik. Bergantung pada spesifikasi gas engine yang digunakan, gas engine
yang berbahan bakar biogas umumnya memerlukan biogas dengan kadar air dibawah 80% dan
konsentrasi H2S kurang dari 200 ppm. Gas engine mengubah energi yang terkandung dalam
biogas menjadi energi mekanik untuk menggerakkan generator yang menghasilkan listrik.
Biasanya gas engine memiliki efisiensi listrik antara 36–42%.

Gambar 9. Gas Engine (Winrock International, 2015)

17

f. Flare Biogas
Flare digunakan di industri proses atau pabrik untuk membakar kelebihan gas. Dengan
alasan keamanan, pembangkit listrik tenaga biogas harus memasang flare untuk
membakar kelebihan biogas (Gambar 10), terutama pada saat biogas tidak bisa diumpankan ke
gas engine atau peralatan pembakaran lainnya. Umumnya hal ini terjadi saat puncak panen
tandan buah segar, yang menyebabkan kelebihan produksi biogas. Kelebihan produksi
meningkatkan laju alir biogas melebihi batas maksimum biogas yang dapat masuk ke gas
engine. Flare juga digunakan saat gas engine sedang tidak beroperasi dalam masa pemeliharaan.
Instalasi biogas tanpa gas engine atau boiler harus menggunakan flare secara terus-menerus
untuk membakar biogas. Operator tidak boleh melepaskan kelebihan biogas secara langsung ke
atmosfer karena sifatnya yang mudah terbakar pada konsentrasi tinggi. Selain itu, pelepasan
biogas secara langsung juga berarti pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer seperti layaknya di
penggunaan kolam limbah terbuka.

Gambar 10. Flare (Winrock International, 2015)
4.2. Sistem Instrumentasi dan Kontrol
Operator menggunakan sistem instrumentasi dan kontrol untuk memantau parameter seperti
suhu, pH, aliran cairan dan gas, serta tekanan gas. Sistem kontrol juga digunakan untuk
nghentikan sistem secara manual maupun otomatis saat kondisi tidak aman. Gambar 10 di bawah
ini menggambarkan contoh aliran proses pembangkit listrik tenaga biogas. Dalam gambar,
garis hitam putus-putus menandai batas proyek dan ruang lingkup pekerjaan yang biasanya
menjadi tanggung jawab kontraktor. Gambar 11 juga menunjukkan komponen dalam
pembangkit listrik tenaga biogas, termasuk sistem instrumentasi dan kontrol, antara lain: level
switch (LS), flow indicating totalizer (FIT), temperature indicator (TI), temperature transmiter
(TT), pressure transmitter (PT), dan pressure relieve valve (PRV).

18

Gambar 11. Diagram Alir Proses Konversi POME menjadi Energi (Winrock International,
2015)

Tabel 8 berikut ini menunjukkan komponen-komponen yang terdapat dalam diagram alir
proses, detail material, jenis, dan ukuran masing-masing komponen untuk pembangkit listrik
tenaga biogas kapasitas 2 MWe.

Tabel 8. Komponen-komponen pada diagram alir proses
Label

Komponen

Jenis

Material

Keterangan

T-01

Tangki pencampuran

Beton dan Coating

Volume 50 m3

T-02

Digester Anaerobik

Volume 24.000 m3

T-03

Kolam sedimentasi

T-04

Tanki limbah akhir (opsional)

Tanah & Lining
HDPE
Tanah & Lining
HDPE
Beton

M-01

Pengaduk tangki pencampuran

Stainless steel

Top entry

0,5 kW

B-001A/B

Blower biogas ke gas engine
atau flare

Cast Iron /
Stainless steel

Root

Kapasitas 1.200 Nm3/jam,
tekanan 200 mbar

B-002A/B

Blower biogas ke
burner atau flare

Cast Iron /
Stainless steel

Root

Kapasitas 1.200 Nm3/jam,
tekanan kurang dari 100 mbar

B-002

Flare Biogas

Stainless steel

Open flame

Kapasitas 1.200 Nm3/jam

19

Volume 1.500 m3
Volume 50 m3

Kapasitas 1.200 Nm3/jam

B-003

Scrubber Biogas

HDPE/FRP

B-004

Dehumidifier Biogas

Stainless steel

B-006

Engine Biogas

S-01 dan S02

Saringan Kasar

H-001

Sistem Pendinginan

P-001A/B

Pompa POME ke sistem
pendinginan

Cast Iron/
stainless steel

Dry centrifugal

Kapasitas 50 m3/jam

P-002A/B

Pompa umpan ke digester

Cast Iron/
stainless steel

Dry centrifugal

Kapasitas 210 m3/jam

P-003A/B

Pompa resirkulasi

Cast Iron/
stainless steel

Dry centrifugal

Kapasitas 80 m3/jam

P-004A/B

Pompa lumpur

Cast Iron/
stainless steel

Dry centrifugal

Kapasitas 50 m3/jam

P-005A/B

Pompa limbah akhir anaerobik Cast Iron/
(opsional)
stainless steel

Dry centrifugal

Kapasitas 50 m3/jam

Vertical
Biological

Kapasitas 1.200 Nm3/jam
Kapasitas 2 x 1 MW
Ukuran 5 mm

Stainless steel

Kapasitas 50 m3/jam
Heat exchanger
atau Cooling Tower

Sumber: (Winrock International, 2015)

Selain itu operator pabrik harus mempertahankan variabel-variabel pada tingkat tertentu
untuk memastikan operasi yang aman, produksi yang optimal, dan kualitas produk yang baik.
Sebagai contoh: proses mesofilik yang efektif pada penguraian anaerobik memerlukan suhu
pada kisaran 35°C sampai 38°C, dan pH pada kisaran 6,5 sampai 7,5. Mekanisme
pengendalian dirancang untuk memperbaiki setiap penyimpangan terhadap suhu yang
diinginkan dan rentang pH yang dibutuhkan. Mekanisme kontrol tersebut meliputi kendali onoff dan proportional integral derivative (PID). Operator menggunakan instrumen dengan alarm
otomatis untuk memantau kondisi kritis dan perubahan yang memiliki potensi bahaya.
Instalasi gas engine pada sistem pembangkit listrik tenaga biogas membutuhkan biogas
dengan tekanan, laju alir, kadar metana, kadar air, dan kadar hidrogen sulfida (H2S) tertentu.
Untuk menjaga variabel proses pada nilai yang diinginkan, gas engine menggunakan loop
kontrol otomatis. Ketika kondisi terlalu banyak menyimpang dari rentang nilai yang
ditetapkan, operator mungkin
menghadapi
bahaya yang berisiko bagi kesehatan.
Penyimpangan yang berbahaya memicu gangguan sistem atau matinya gas engine untuk
menghindari masalah. Untuk memastikan operator mengikuti prosedur yang diperlukan,
terutama selama start-up dan shutdown, desain kontrol proses dari sistem pembangkit listrik
tenaga biogas mencakup sistem interlock.
Operator menggunakan alat pengukuran online untuk beberapa parameter proses dan
memantau parameter lainnya secara berkala jika diperlukan. Gambar 12 menunjukkan diagram
skematik untuk instalasi gas analyzer online.
20

Gambar 12. Diagram Skematik Instalasi Gas Analyzer online (Winrock International, 2015)
Operator menggunakan alat pengukuran online untuk beberapa parameter proses dan
memantau yang lainnya secara berkala sesuai dengan yang diperlukan. Beberapa pembangkit
listrik tenaga biogas juga menggunakan kontrol pengawasan dan perolehan data berbasis PC
(SCADA) untuk memperoleh, menyimpan, dan menganalisis proses dan data listrik. Sistem ini
menggunakan pengendali, umumnya berupa programmable logic controller (PLC) yang
dilengkapi dengan pengendali logaritma PID, untuk menyesuaikan parameter (Gambar 13).

(a)

(b)

Gambar 12. PLC (a) dan Visualisasi SCADA (b) (Winrock International, 2015)

Gambar 14. menunjukkan diagram dari pembangkit listrik tenaga biogas yang terintegrasi
dengan biomassa dan pembangkit listrik tenaga diesel.

21

Gambar 14. Integrasi pembangkit listri tenaga biogas dan pusta pembangkit yang ada di PKS
(Winrock International, 2015)

22

5. UCAPAN TERIMAKASIH
Ucapan Terimakasih Disampaikan Kepada Prof.Dr.Ir. Suprihatin Selaku Dosen
Mata Kuliah Manajemen Lingkungan Industri Lanjut, Program Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian Institut Pertanian Bogor, Desember 2015

6. DAFTAR PUSTAKA
Ade Sri, Rahayu Dhiah, Karsiwulan Hari, Yuwono, Ira Trisnawati, Shinta Mulyasari, S.
Rahardjo, Sutanto Hokermin, Vidia Paramita, 2015, Buku Panduan Konversi
POME Menjadi Biogas Pengembangan Proyek di Indonesia,
Winrock International, USAID.
Deublein, D. dan Steinhauster, A. 2008, Biogas from Waste and Renewabe
Resources . Berlin: WILEY- VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim.
Departemen Pertanian, 2006. Pedoman Pengelolaan Limbah Industri Kelapa Sawit,
Ditjen PPHP, Departemen Pertanian, Jakarta.
Eddy & Metcalf, 1991. Wastewater Engineering: Treatment and Reuse . Edisi IV. Mc
Graw Hill Inc. New York.
Jiang, Bo. 2006. The Effect of Trace Elements on the Metabolism of Methanogenic
Consortia . Wageningen University. Switzerland
Keputusam Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 1995.
Ngan, M.A. 2000. Management Of Palm Oil Industrial Effluents , Advance In Oil Palm
Research, Vol 2, Malaysian Palm Oil Board, Malaysia.
Novaviro 2008. Methane Recovery By KS Anaerobic Digester Technology For Palm Oil
Mill Eflluent. Novaviro Technology SDN BHD. Malaysia.
Sumirat dan Solehudin. 2009. Nitrous Oksida (N2O) dan Metana (CH4) sebagai
Gas Rumah Kaca . Vol. 7, No. 2, Hal. 24- 98. 16 Oktober 2012.
Seadi, T., Rutz, D. dan Prassl, H. 2008. Biogas Handbook. University Of Southern
Denmark Esbjerg, Denmark.
Speece. R.E., 1996. Anaerobic Biotechnology For Industrial Wastewaters . Archae Press,
Tennessee.
U.S. Environmental Protection Agency. 2001. Methode 1684 Total, Fixed, and Volatile
Solid In Water, Solids and Biosolids. Office of Science and Technology,
Washington, US.

23