¬ PENGARUH SUHU SINTERING TERHADAP STRUKTUR Na¬2O DARI Na2CO3 YANG DIHASILKAN DARI PEMBAKARAN TEMPURUNG KELAPA

(1)

(Skripsi)

Oleh

VERA PRAWESTIANA

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(2)

i ABSTRAK

PENGARUH SUHU SINTERING TERHADAP STRUKTUR Na2O DARI Na2CO3 YANG DIHASILKAN DARI PEMBAKARAN TEMPURUNG

KELAPA Oleh

VERA PRAWESTIANA

Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na2O dari Na2CO3. Na2CO3 diperoleh dengan mengalirkan gas CO2 hasil pembakaran ke dalam larutan NaOH dengan konsentrasi 9 dan 10 M. Na2CO3 yang diperoleh kemudian dibersihkan dengan alkohol 70 % kemudian disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 110 oC selama 10 jam. Hasil yang diperoleh mengindikasikan bahwa jumlah Na2CO3 yang dihasilkan bergantung pada konsentrasi larutan NaOH yang digunakan dengan hasil tertinggi menggunakan larutan NaOH 10 M. Serbuk Na2CO3 kemudian dilakukan karakterisasi menggunakan FTIR untuk mengetahui gugus fungsi yang terbentuk. Na2CO3 selanjutnya disintering pada suhu 800, 825 dan 850 oC selama 3 jam untuk mengetahui pengaruh suhu sintering terhadap pembentukan dan struktur Na2O. Serbuk Na2O kemudian digerus dan dikarakterisasi menggunakan SEM-EDS, XRD dan DSC-TGA. Hasil FTIR menunjukkan semua sampel memiliki fungsionalitas sama dengan gugus yang berkaitan dengan Na2CO3 standar yakni C=O dan CO32-serta gugus lain yakni –OH, C-H dan C-S yang dihasilkan dari air dan pengotor alami dari tempurung kelapa. Hasil SEM-EDS dengan mikrostruktur homogen, bentuk butir yang seragam dan tersebar merata ditunjukkan oleh sampel yang disintering pada suhu 850 oC. Hasil XRD sampel setelah sintering 800 dan 825 oC terbentuk fasa Na2CO3 dan Na2O, sedangkan setelah sintering 850 oC telah terbentuk fasa Na2O keseluruhan. Analisis DSC-TGA mengindikasikan bahwa terjadinya perubahan Na2CO3 menjadi Na2O bergantung pada konsentrasi yang digunakan dengan hasil tertinggi pada sampel yang menggunakan NaOH konsentrasi 9 M.

Kata kunci: Na2O, Na2CO3, gas CO2, tempurung kelapa, suhu sintering, gugus fungsi,


(3)

ii ABSTRACT

THE INFLUENCE OF SINTERING TEMPERATURE ON THE STRUCTURE OF Na2O FROM Na2CO3 PRODUCED BY COCONUT

SHELL COMBUSTION BY

VERA PRAWESTIANA

This research was carried out to study the influence of sintering temperature on the structure of Na2O from Na2CO3. Na2CO3 obtained by flowing CO2 gas of coconut shell combustion into NaOH solution to absorption and consentration of NaOH, with the consentration 9 and 10 M. The product was cleaned by using 70% alcohol, then filtered out and subsequently oven dried at 110 oC for 10 hours. The results obtained indicate that the amount of Na2CO3 produced depend on the concentration of NaOH solution with the highest yield obtained using 10 M NaOH solution. The Na2CO3 powder was characterized using FTIR to determine the functional groups formed. The Na2CO3 was sintered at 800, 825 and 850 oC for 3 hours to study the influence of sintering temperature on formation and structure of Na2O. Na2O powder was ground and then characterized using SEM-EDS, XRD and DSC-TGA. FTIR results show all samples have the same functional groups associated with standard, include C=O and CO32- with additional functional groups of –OH, C-H dan C-S, likely the resulted from water and some natural impurities of coconut shell. The results of SEM indicated that the sample sintered at 850 oC was small grain sizes distributed homogenously. The results of XRD samples after sintering at 800 and 825 oC show presence Na2CO3 and Na2O while after sintering at 850 oC the phase indentified was Na2O. Thermal analysis by DSC-TGA indicates that convertion Na2CO3 to Na2O depends on the concentration of NaOH solution used, with the highest yield obtained using consentration of 9 M.

Key words: Na2O, Na2CO3, CO2 gas, coconut shell, sintering temperature, functional groups, microstructure, phase, termal.


(4)

iii

PENGARUH SUHU SINTERING TERHADAP STRUKTUR

Na

2

O DARI Na

2

CO

3

YANG DIHASILKAN DARI

PEMBAKARAN TEMPURUNG KELAPA

Oleh

VERA PRAWESTIANA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA SAINS

Pada Jurusan Fisika

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam

JURUSAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2014


(5)

(6)

(7)

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama lengkap Vera Prawestiana, dilahirkan di Gisting pada tanggal 11 Juli 1991. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Satiminanto dan Ibu Dwi Prasojowati.

Penulis menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Dharma Wanita Gisting Atas tahun 1997, kemudian dilanjutkan Sekolah Dasar di SD Negeri 1 Gisting Atas, Tanggamus diselesaikan pada tahun 2003, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Gisting, Tanggamus diselesaikan pada tahun 2006, sedangkan pendidikan menengah atas diselesaikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Talangpadang pada tahun 2009.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Jurusan Fisika FMIPA, UNILA melalui jalur SNMPTN pada tahun 2010. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi asisten praktikum Fisika Dasar I dan II, Fisika Eksperimen, Fisika Inti, Preparasi dan Karakterisasi Bahan, Padatan dan Solgel, dan Komposit. Penulis juga ikut serta dalam Seminar Nasional Fisika pada tahun 2011. Pada tahun 2013 penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Pusat Penelitian Fisika-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2F-LIPI) Serpong, Tangerang. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Bandar Dewa-Tulang Bawang Barat, Lampung pada tahun 2013. Dalam bidang organisasi yang pernah diikuti penulis sebagai anggota bidang saintek Himafi FMIPA Unila dan anggota Material Science Club (MSC).


(9)

iv MOTTO

“Sesulit dan serumit apapun, tempuh kesuksesan itu” ~Vera Prawestiana~

“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

~ Q.S. A Lam Nasyrah: 5-6 ~

“Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value” ~Albert Einstein~


(10)

v

Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT kupersembahkan karya ini untuk

Kedua orangtuaku yang paling terbaik dan hebat didunia:

Bapak Satiminanto dan Ibu Dwi Prasojowati

Adik-adikku tercinta :

Rudi Kurniawan, Tri Hartono, dan Rifki Pradipta


(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Pengaruh Suhu Sintering Terhadap Struktur Na2O Dari Na2CO3

Yang Dihasilkan Dari Pembakaran Tempurung Kelapa”. Adapun tujuan

penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Sains di Universitas Lampung dan juga dapat melatih mahasiwa agar berusaha untuk berpikir cerdas dan kreatif serta terbiasa dalam menulis karya ilmiah.

Penulis menyadari masih banyak kelemahan dan ketidaksempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun terhadap kelanjutan dan hasil yang telah dicapai. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Bandar Lampung, Desember 2014 Penulis,


(12)

xi

SANWACANA

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dan mendukung selama penelitian sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Suhu Sintering Terhadap Struktur Na2O Dari Na2CO3 Yang Dihasilkan Dari Pembakaran

Tempurung Kelapa”.

1. Bapak Prof. Simon Sembiring, Ph.D. sebagai pembimbing pertama, yang telah sabar dalam membimbing, memberikan banyak nasehat dan bersedia meluangkan banyak waktu selama proses penelitian sampai penyusunan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Wasinton Simanjuntak, Ph.D. sebagai pembimbing kedua, atas semua kesabaran, kebaikan, perhatian, senyum, kritik, saran, bimbingan dan dukungan yang telah diberikan selama penyusunan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Ediman Ginting, M.Si sebagai penguji yang telah mengoreksi kekurangan, memberi kritik dan saran yang membangun hingga akhir penyusunan skripsi ini.

4. Ayah dan Ibu serta adik-adikku, yang telah memberikan motivasi, materi, dukungan, dan doa.

5. Ibu Dr. Yanti Yulianti, M.Si. selaku dosen Pembimbing Akademik (PA) dan Ketua Jurusan Fisika FMIPA Unila.


(13)

xii

7. Bapak Ibu dosen serta staf dan karyawan di Jurusan Fisika FMIPA UNILA. 8. Destia Kurnia Anggarista, S.Psi. terima kasih banyak atas bantuan, doa, dan

dukungannya selama penelitian dan sampai penulisan skripsi ini selesai. 9. Pimpinan dan Kepala Laboratorium Analisis PT. Semen Baturaja (Persero)

Tbk. Pabrik Panjang-Lampung serta segenap staf terimakasih telah memfasilitasi alat dalam penelitian ini.

10. Tim Penelitian Pandapotan Tambunan terimakasih atas kerjasama dan bantuan selama penelitian.

11. Teman-teman Fisika Material 2010: Putri, Lidya, Anisa, Siti Fadilah, Irene dan Helrita.

12. Teman-teman Fisika angkatan 2010: Ulum, Anjar, Wayan, Rita, Alvionita, Fina, Muji, Tika, Dede, Meta, Siti Kholifah, Rian Hariyanti, Amria, Shofi, Suci, Adi, Andry, Devi, Riza, Defi, Nur, Danu, Juli.

13. Kakak tingkat Fisika 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan adik tingkat Fisika 2011, 2012, 2013 dan 2014 tetap semangat.

14. Semua yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikan dan bantuannya mendapat balasan dari Allah SWT. Amiin Yaa Rabbal ‘Alamin.

Bandar Lampung, Desember 2014


(14)

xiii DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

SANWACANA ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xx

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 3

C. Batasan Masalah ... 4

D. Tujuan Penelitian ... 4

E. Manfaat Penelitian ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kelapa ... 6


(15)

xiv

C. Metode Penangkapan (Capture) Gas CO2 ... 9

1. Adsorpsi ... 9

2. Absorpsi ... 10

2. Pemisahan Kriogenik ... 11

3. Pemisahan Membran ... 12

4. Hidrat Klatrat ... 13

D. Natrium Hidroksida (NaOH) ... 14

1. Sifat Fisis dan Kimia NaOH ... 14

2. Aplikasi NaOH ... 15

E. Natrium Karbonat (Na2CO3) ... 16

1. Struktur kristal Na2CO3... 16

2. Sifat Fisis dan Kimia Na2CO3 ... 16

3. Sifat Termal Na2CO3 ... 17

4. Sintesis Na2CO3 ... 17

a. Proses Le Blanc ... 18

b. Proses Solvay ... 18

c. Proses DUAL dan NA ... 19

d. Proses Monohidrat... 20

e. Proses Sesquicarbonate ... 21

f. Proses Ekstraksi Alkali ... 21

5. Aplikasi Na2CO3 ... 22

F. Struktur Natrium Oksida (Na2O) ... 23

1. Sifat Fisis dan Kimia Na2O ... 24

2. Sifat Termal Na2O ... 24

3. Sintesis Na2O ... 24

4. Aplikasi Na2O ... 25

G. Sintering ... 27

H. Karakterisasi ... 28

1. Fourier Transform Infra Red (FTIR) ... 28

2. Scanning Electron Microscopy (SEM-EDS) ... 29

3. X-Ray Diffraction (XRD) ... 31

4. Differential Scanning Analysis (DSC-TGA)... 33

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 35

B. Alat dan Bahan Penelitian ... 35

1. Alat ... 35

2. Bahan ... 36

C. Prosedur Penelitian ... 36

1. Perancangan dan Pembuatan Alat ... 36

2. Preparasi Tempurung Kelapa ... 38

3. Preparasi Adsorben ... 38

a. Preparasi Sekam Padi... 39


(16)

xv

7. Kalsinasi ... 41

8. Sintering ... 41

9. Karakterisasi ... 41

a. Fourier Transform Infra Red (FTIR) ... 41

b. Scanning Electron Microscopy (SEM) ... 43

c. X-Ray Diffraction (XRD) ... 43

d. Differential Scanning Analysis (DSC-TGA) ... 44

10. Diagram Alir ... 46

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengantar ... 47

B. Hasil Sintesis Natrium Karbonat (Na2CO3) ... 47

C. Hasil Sintesis Natrium Oksida dari Natrium Karbonat ... 53

D. Hasil Analisis Gugus Fungsi Menggunakan FTIR ... 55

1. Hasil Analisis Gugus Fungsi Na2CO3 Standar ... 55

2. Hasil Analisis Gugus Fungsi Na2CO3 dengan Konsentrasi NaOH 9 M ... 56

3. Hasil Analisis Gugus Fungsi Na2CO3 dengan Konsentrasi NaOH 10 M ... 57

4. Pengaruh Konsentrasi NaOH Terhadap Pembentukan Na2CO3 ... 58

E. Hasil Analisis Mikrostruktur dan Komposisi Kimia Sampel Na2CO3 Menggunakan SEM-EDS ... 61

1. Analisis SEM Na2CO3 Sintering 800 oC ... 61

2. Analisis SEM Na2CO3 Sintering 850 oC ... 63

3. Analisis EDS Na2CO3 Sintering 800 oC ... 65

4. Analisis EDS Na2CO3 Sintering 850 oC ... 66

F. Hasil Analisis XRD Na2CO3 ... 68

1. Hasil Analisis XRD Na2CO3 Sebelum Sintering ... 68

2. Hasil Analisis XRD Na2CO3 Setelah Sintering ... 69

a. Hasil Analisis XRD Na2CO3 Setelah Sintering 800 oC .... 70

b. Hasil Analisis XRD Na2CO3 Setelah Sintering 825 oC .... 71

c. Hasil Analisis XRD Na2CO3 Setelah Sintering 850 oC .... 72

d. Pengaruh Suhu Sintering Terhadap Struktur dan Fasa Yang Terbentuk Pada Na2CO3 Hasil Sintesis ... 73

G. Hasil Analisis Termal Na2CO3 Menggunakan DSC-TGA ... 74

1. Hasil Analisis Termal Na2CO3 Standar ... 75

2. Hasil Analisis Termal Na2CO3 Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 9 M ... 77

3. Hasil Analisis Termal Na2CO3 Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 10 M ... 78

4. Pengaruh Perlakuan Termal Terhadap Perubahan Termal Sampel Na2CO3 Standar, Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 9 dan 10 M ... 79


(17)

xvi

b. Analisis Termal Na2CO3 Standar, Hasil Sintesis CO2

Dengan NaOH 9 dan 10 M Menggunakan DSC ... 81 V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 85 B. Saran ... 86 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN


(18)

xvii

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar

2.1 Struktur kristal Na2CO3 (Zubkova et al., 2002) ... 16 2.2 (a) Unit cell Natrium Oksida (Zintl et al.,1934) (b) Struktur

Anion dan Kation Natrium Oksida, Lingkaran Tertutup Untuk Kation dan Lingkaran Terbuka Untuk Anion (c) Koordinasi Ion

Dalam Na2O (West, 1984) ... 24 2.3 Prinsip Kerja FTIR (Tanda (M) Menunjukan Cermin Bergerak,

Tanda (F) Menunjukan Cermin Diam) (Giwangkara, 2007) ... 28 2.4 Skema Interaksi Antara Pancaran Elektron dan Sampel

(Reed, 1993) ... 30 2.5 Skema dari Berkas Sinar X yang Memantulkan dari Sinar Kristal

dengan Mengikuti Hukum Bragg (Hayati, 2007) ... 32

2.6 Skema Sederhana DSC (Polymer Science Learning Center, 2005) 34

3.1 Skema Alat Tungku Pembakaran ... 37 3.2 Diagram Alir Penelitian ... 46 4.1 Bahan yang Digunakan Dalam Sintesis Na2CO3, (a) Tempurung

Kelapa Kering (b) Tempurung Kelapa yang telah Dipecah

(c) Larutan NaOH (d) Arang Aktif (E)Ekstraksi Sekam Padi ... 48 4.2 Alat Tungku Pembakaran ... 49 4.3 (a) Susunan Tempurung Kelapa (b) Proses Absorpsi Gas CO2

Oleh Larutan NaOH. ... 50 4.4 Pengujian Gas CO2 Hasil Pembakaran Tempurung Kelapa,

(A) Air Tidak Berubah Warna Ketika Dialirkan Gas CO2,

(B) Tingkat Keasaman Air Diperoleh Ph 6. ... 51 4.5 Proses Preparasi Endapan Na2CO3 (A) Endapan Na2CO3 yang


(19)

xviii

(E) Na2CO3 Setelah Kalsinasi (F) Serbuk Na2CO3 Setelah Digerus 52 4.6 Hasil Sintering Na2CO3 (a) Sintering Suhu 800 oC

(b) Sintering Suhu 825 oC, (c) Sintering Suhu 850 oC ... 54

4.7 Serbuk Na2O (a) Setelah Sintering Suhu 800 oC (b) Sintering Suhu 825 oC (c) Sintering pada suhu 850 oC ... 54

4.8 Spektra IR Na2CO3 Standar. ... 55

4.9 Spektra IR Na2CO3 dengan Konsentrasi NaOH 9 M... 57

4.10 Spektra IR Na2CO3 dengan Konsentrasi NaOH 10 M... 58

4.11 Hasil Analisis Fungsionalitas Na2CO3 (A) Standar, (B) Hasil Sintesis Menggunakan 9 M NaOH, (C) Hasil Sintesis Menggunakan 10 M NaOH. ... 59

4.12 (a) Daerah Spot 1 Dan 2 Sampel Pada Suhu Sintering 800 oC (b) Hasil Analisis EDS Daerah Spot 1 (c) Hasil Analisis EDS Daerah Spot 2. ... 62

4.13 Hasil Analisis SEM Sampel Pada Suhu Sintering 850 oC Dengan Perbesaran (a) 1000x (b) 5000x (c) 8000x (d) 10000x... 63

4.14 (a) Daerah spot 1 dan 2 Sampel Pada Suhu Sintering 800 oC b) Hasil analisis EDS daerah spot 1 (c) Hasil Analisis EDS Daerah Spot 2. ... 66

4.15 (a) Daerah spot 1 dan 2 sampel pada suhu sintering 850 oC (b) Hasil analisis EDS daerah spot 1 (c) Hasil analisis EDS Daerah Spot 2. ... 67

4.16 Difraktogram Na2CO3 Sebelum Sintering, Tanda (T) Merupakan Thermonatrite, Tanda (NC) Merupakan Na2CO3 (Rosaline, 2013; Ningrum, 2013)... 69

4.17 Difraktogram Na2CO3 sintering 800 oC, tanda (NC) merupakan Na2CO3, tanda (NO) merupakan Na2O. ... 70

4.18 Difraktogram Na2CO3 sintering 825 oC, tanda (NC) merupakan Na2CO3, tanda (NO) merupakan Na2O ... 71

4.19 Difraktogram Na2CO3 sintering 850 oC, tanda (NO) merupakan Na2O ... 72


(20)

xix

4.21 Termogram Na2CO3 Standar (A) DSC (B) TGA ... 75 4.22 Termogram Na2CO3 Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 9 M

(A) DSC (B) TGA. ... 77 4.23 Termogram Na2CO3 Hasil Sintesis CO2 dengan 10 M NaOH

(A) DSC (B) TGA ... 78 4.24 Termogram Perubahan Massa Pada Sampel Na2CO3 Standar,

Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 9 dan 10 M... 79 4.25 Termogram DSC Sampel Na2CO3 Standar, Hasil Sintesis CO2

dengan NaOH 9 dan 10 M. ... 82 A. Rancangan Alat Tungku Pembakaran ... 95 B. Prespektif Alat Tungku Pembakaran ... 96


(21)

xx

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel

2.1 Komponen Kimia Tempurung Kelapa... 7 4.1 Hasil Penimbangan Massa Sampel Na2CO3 ... 53 4.2 Puncak Spektra FTIR Dan Gugus Fungsi Sampel Na2CO3

Standar danPada Variasi Konsentrasi NaOH ... 61 4.3 Hasil Komposisi Unsur KimiaEDS Sampel Na2CO3 Pada Suhu

Sintering 800 dan 850 oC ... 68 4.4 Analisis DSC-TGA Na2CO3 Standar ... 75 4.5 Analisis DSC-TGA Na2CO3 Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH

9 M ... 77 4.6 Analisis DSC-TGA Na2CO3 Hasil sintesis CO2 dengan NaOH

10 M ... 78 4.7 Analisis Perubahan Massa Sampel Na2CO3 Standar, Hasil

Sintesis CO2 dengan NaOH 9 dan 10 M ... 80 4.8 Suhu Puncak Endoterm dan Eksoterm Sampel Na2CO3

Standar, Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 9 dan 10 M. ... 82 4.9 Entalpi Puncak Endoterm dan Eksoterm Sampel Na2CO3

Standar, Hasil Sintesis CO2 dengan NaOH 9 dan 10 M. ... 82 A. Hasil Analisis Puncak-Puncak Setiap Fasa Sampel Na2CO3

Setelah Sintering 800 oC ... 97

B. Hasil Analisis Puncak-Puncak Setiap Fasa Sampel Na2CO3 Setelah

Sintering 825 oC ... 98

C. Hasil Analisis Puncak-Puncak Setiap Fasa Sampel Na2CO3 Setelah


(22)

I. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Natrium oksida (Na2O) merupakan salah satu senyawa penting dalam ilmu material karena dibutuhkan dalam berbagai bidang yang berkaitan dengan material, antara lain sebagai komponen dari pembentukan gelas (Doweidar et al., 2001; Guloyan, 2003; Zhu et al., 2004; Volzone et al., 2013), keramik (Gavrilovski et al,. 2002; Adams et al., 2013), optik (Pellegri, et al., 1998), salah satu komponen dari beta alumina (Na2O.11Al2O3) yang digunakan sebagai komponen elektrolit padat (Ramlan, 2010) dan salah satu komponen dari pembuatan furnance (Allahverdi et al., 2010). Aplikasi dari natrium oksida ini ditentukan oleh beberapa parameter diantaranya morfologi, ukuran mikro, struktur dan sebagainya. Pembentukan morfologi, ukuran mikro, struktur dari natrium oksida dipengaruhi oleh suhu sintering. Pembentukan natrium oksida diperoleh dari peruraian natrium karbonat dengan perlakuan sintering (Zhu et al., 2004)

Secara kimia natrium karbonat dapat dihasilkan dari reaksi antara larutan NaOH dan gas CO2 sesuai dengan persamaan reaksi berikut:


(23)

Berdasarkan reaksi diatas, penelitian ini digagas untuk memanfaatkan gas CO2 hasil pembakaran tempurung kelapa sebagai bahan baku pembuatan natrium karbonat, natrium karbonat yang dihasilkan selanjutnya diubah menjadi natrium oksida (Na2O) dengan perlakuan termal untuk melihat pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na2O.

Gas CO2 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa sangat berpotensi untuk diolah menjadi natrium karbonat karena pembakaran tempurung kelapa menghasilkan gas CO2 dalam jumlah yang banyak. Hal ini terjadi karena industri arang tempurung kelapa di Indonesia masih menggunakan teknologi pembakaran secara terbuka. Dengan demikian pemanfaatan gas CO2 sekaligus akan mengurangi emisi CO2 ke atmosfer sehingga industri arang tempurung kelapa menjadi industri yang ramah lingkungan.

Pembentukan natrium karbonat (Na2CO3) dipengaruhi oleh konsentrasi larutan NaOH (Tepe dan Dodge, 1943). Konsentrasi larutan natrium hidroksida (NaOH) yang tinggi mempunyai tekanan uap yang rendah, sehingga menghasilkan endapan natrium karbonat secara optimal (Konigsberger, 2001; Stolarrof, 2008; Lackner, 1999). Natrium karbonat dapat terurai menjadi natrium oksida dengan proses sintering (Kim dan Lee, 2001) sesuai dengan persamaan reaksi berikut:

Na2CO3(s) + Q Na2O(s) + CO2(g) (2)

Pembentukan fasa natrium oksida dari Na2CO3 sudah terjadi pada suhu sintering 450 oC, namun hanya dibeberapa intensitas rendah selebihnya masih terdapat fasa natrium karbonat dalam jumlah yang banyak (Ningrum, 2013). Fasa natrium oksida pada suhu sintering 650 oC, sudah terlihat lebih banyak namun masih pada


(24)

intensitas yang rendah (Rosaline, 2013). Sedangkan Zhu et al. (2004) melaporkan pada suhu sintering 750-800 oC sifat termal natrium oksida sudah mulai stabil.

Pada penelitian ini akan dilakukan sintering pada suhu 800, 825 dan 850 oC untuk mengetahui pengaruh suhu sintering terhadap struktur natrium oksida dari natrium karbonat yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa. Karakterisasi Na2O dilakukan dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsi, Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dilengkapi Energy Dispersed Spectroscopy (EDS) untuk mengetahui mikrostruktur, X-Ray Difraction (XRD) untuk mengetahui karakteristik struktur yang dianalisis dan Differential Scanning Calorimetry (DSC) yang dilengkapi Thermogravimetry Analyzer (TGA) untuk mengetahui karakteristik sifat termal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik fungsionalitas Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan menggunakan FTIR?

2. Bagaimana pengaruh suhu sintering terhadap karakteristik mikrostruktur Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan menggunakan SEM/EDS?


(25)

3. Bagaimana pengaruh suhu sintering terhadap karakteristik struktur Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan menggunakan XRD?

4. Bagaimana karakteristik termal Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan menggunakan DSC-TGA?

C.Batasan Masalah

Penelitian ini dibatasi pada suhu sintering terhadap struktur Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan melakukan sintering pada suhu 800, 825 dan 850 oC. Untuk mengetahui karakteristiknya maka dilakukan karakterisasi dengan Fourier Transform Infra Red (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsi, untuk mengetahui mikrostruktur menggunakan Scanning Electron Microscopy (SEM/EDS), untuk mengetahui karakteristik struktur menggunakan X-Ray Difraction (XRD) dan untuk mengetahui karakteristik termal menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC-TGA)

D.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui karakteristik fungsionalitas Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan menggunakan FTIR.


(26)

2. Mengetahui pengaruh suhu sintering terhadap mikrostruktur Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan karakterisasimenggunakan SEM-EDS.

3. Mengetahui pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan karakterisasimenggunakan XRD.

4. Mengetahui karakteristik termal dari Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa dengan karakterisasi menggunakan DSC-TGA.

E.Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai pemanfaatan gas CO2 menjadi Na2CO3 dan Na2O yang berasal dari hasil pembakaran tempurung kelapasehingga dapat mengurangi emisi gas CO2.

2. Memberikan informasi tentang pengaruh suhu sintering terhadap struktur Na2O dari Na2CO3 yang dihasilkan dari pembakaran tempurung kelapa sebagai bahan baku berbagai industri.

3. Tempurung kelapa tidak hanya dimanfaatkan sebagai arang tetapi juga dapat dijadikan produk yang berkualitas dan bernilai ekonomi yakni Na2CO3 dan Na2O yang dapat bermanfaat bagi berbagai industri dan masyarakat.


(27)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Kelapa

Kelapa (Cocos nucifera L.) termasuk ke dalam famili Palmae, ordo Aracules, salah satu anggota terpenting dari kelas Monocotyledone, Genus Cocos adalah monotypic yang hanya mempunya satu-satunya spesies yaitu Cocos nucifera L. (Woodroof, 1979). Kelapa merupakan tanaman tropika yang dapat tumbuh dengan baik pada kondisi suhu rata-rata diantara 24-29 °C, suhu minimum tidak kurang dari 20 °C, dengan curah hujan yang merata sepanjang tahun antara 1700-2000 mm dan tidak kurang dari 1200 mm.

Tanaman kelapa menghendaki intensitas sinar matahari yang tinggi dengan jumlah penyinaran tidak kurang dari 2000 jam per tahun. Kelapa dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah. Syarat-syarat tanah yang baik untuk pertumbuhan kelapa adalah struktur baik, peresapan air dan tata udara baik, permukaan air tanah letaknya cukup dalam (minimal 1 meter dari permukaan tanah) dan keadaan air tanah hendaknya dalam keadaan bergerak (tidak menggenang) dengan pH tanah optimal 6,0 8,0 (Setyamidjaja, 1984).

Tanaman kelapa memiliki buah yang berbentuk bulat panjang terdiri dari lima bagian, yaitu esokarp (kulit luar), mesokarp (sabut), endokarp (tempurung),


(28)

daging buah dan air kelapa. Buah kelapa disusun oleh 25% esokarp dan mesokarp, 12% endokarp, 28% daging buah dan 25% air kelapa (Woodroof, 1979). Daging buah kelapa sendiri mengandung 52% air, 34% minyak, 3% protein, karbohidrat 1,5% dan 1% abu (Setyamidjaja, 1982).

B. Tempurung Kelapa

1. Komposisi Tempurung Kelapa

Tempurung kelapa merupakan bagian buah kelapa yang fungsinya secara biologis adalah pelindung inti buah dan terletak di bagian sebelah dalam sabut dengan ketebalan berkisar antara 3–6 mm. Tempurung kelapa dikategorikan sebagai kayu keras tetapi mempunyai kadar lignin yang lebih tinggi dan kadar selulosa lebih rendah dengan kadar air sekitar 6-9 % (dihitung berdasarkan berat kering) dan terutama tersusun dari lignin, selulosa dan hemiselulosa (Tilman,1981). Komposisi kimia dalam tempurung kelapa dapat dilihat lebih rinci pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Komponen Kimia Tempurung Kelapa Komponen Persentase

Selulosa 26,60%

Hemiselulosa 27,70%

Lignin 29,40%

Abu 0,60%

Komponen ekstraktif 4,20%

Uronat anhidrat 3,50%

Nitrogen 0,10%

Air 8,00%


(29)

2. Karbonisasi Tempurung Kelapa

Tempurung kelapa memiliki sifat difusi termal yang baik yang diakibatkan oleh tingginya kandungan selulosa dan lignin yang terdapat di dalam tempurung. Tempurung kelapa yang akan dijadikan briket harus tempurung yang berasal dari kelapa yang sudah tua, kering dan bersih dari pengotor seperti serabut, tanah ataupun pasir yang menempel pada tempurung karena akan berpengaruh pada saat proses karbonisasi dan pada mutu briket yang dihasilkan. Tempurung yang basah akan menimbulkan banyak asap pada saat dilakukan karbonisasi. Proses karbonisasi dilakukan dengan sistem suplai udara terbatas dengan tujuan agar tidak terjadi pembakaran lebih lanjut pada tempurung kelapa sehingga rendemen arang yang diperoleh tinggi karena terbentuk arang secara sempurna dan hanya menyisakan sedikit abu.

Pada proses karbonisasi terjadi penguraian bahan-bahan organik yang terkandung di dalam tempurung kelapa. Pada suhu 100-120°C terjadi penguapan air, pada suhu 270-310°C terjadi penguraian selulosa menjadi larutan piroglinat, gas kayu dan sedikit ter, pada suhu 310-500°C terjadi penguraian lignin dihasilkan lebih banyak ter sedangkan larutan piroglinat dan gas CO2 menurun sedangkan gas CH4, CO dan H2 meningkat dan pada suhu 500-1000°C merupakan tahap pemurnian arang atau peningkatan kadar karbon. Adapun reaksi yang terjadi pada proses karbonisasi yaitu:

1. Reaksi penguraian selulosa

(C6H10O5)n270-310ºC CH3COOH + 3CO2 + 2H2O + CH3OH +


(30)

2. Reaksi penguraian lignin

[(C9H10O3)(CH3O)]n310-500ºC C18H11CH3(ter) + C6H5OH + CO +

CO2 + CH4 + H2 (4)

3. Reaksi umum pembentukan karbon

(CxHyOz)n + O2500-1000 ºC C(grafit) + CO(g) + H2O(g) (5) (Maryono et al., 2013).

C. Metode Penangkapan (Capture) Gas CO2

1. Adsorpsi

Adsorpsi merupakan proses dimana molekul gas atau fluida mengalami kontak dan melekat pada permukaan suatu material padat. Molekul fluida atau gas yang dihisap tetapi tidak terakumulasi atau melekat ke permukaan adsorben disebut adsorptive, sedangkan yang terakumulasi disebut adsorbat. Dalam proses adsorpsi ini, sejumlah zat padat dengan pori daerah permukaan yang luas mampu menyerap sejumlah besar gas per satuan volume.

Adsorpsi fisik ini disebabkan oleh gaya van der Waals dan gaya elektrostatik antara molekul absorbat dan atom-atom yang membentuk adsorben. Gaya van der Waals merupakan gaya tarik-menarik antar molekul-molekul polar yang relatif lemah, sehingga mudah untuk terlepas kembali. Ketika adsorben mengalami kontak fluida dengan komposisi yang tepat maka akan terjadi adsorpsi dan setelah cukup lama, adsorben dan fluida akan mencapai kesetimbangan (Suzuki, 1990).

Adsorpsi ini relatif berlangsung cepat dan bersifat reversibel. Karena berlangsung di bawah temperatur kritis adsorbat yang relatif lemah, maka panas adsorpsi yang


(31)

dilepaskan juga rendah. Adsorbat yang terikat secara lemah pada permukaan adsorben dapat bergerak dari suatu bagian permukaan ke bagian permukaan lain. Peristiwa adsorpsi fisika ini menyebabkan molekul-molekul gas yang teradsorpsi mengalami kondensasi. Besarnya panas yang dilepaskan dalam proses adsorpsi adalah kalor kondensasi. Proses adsorpsi fisik ini terjadi tanpa memerlukakan energi aktivasi, sehingga proses tersebut membentuk lapisan jamak (multilayer) pada permukaan adsorben. Ikatan yang terbentuk dalam adsorpsi dapat diputuskan dengan mudah yakni dengan cara degassing atau pemanasan pada temperatur 140-200 oC selama 2-3 jam (Suzuki, 1990).

Adsorben yang merupakan material yang memiliki kemampuan untuk mengikat dan mempertahankan cairan atau gas didalamnya harus mmpunyainluas permukaan besar, memiliki aktifitas terhadap komponen yang diadsorpsi, daya tahan baik, tidak ada perubahan volume yang berarti dan memiliki pori-pori yang besar (Suzuki, 1990). Adsorben arang aktif dan ekstraksi sekam padi dapat digunakan untuk menghilangkan gas beracun dari udara yang dihirup (Nasruddin, 2005). Untuk aplikasi yang melibatkan pemisahan CO2 dari gas buang pembangkit listrik, adsorben alumina, molekul zeolit (alumino silikat alam atau sintesis), dan karbon aktif merupakan yang paling baik (Riemer et al., 1993).

2. Absorpsi

Absorpsi merupakan peristiwa yang terjadi saat molekul-molekul gas dikontakkan dengan molekul cair dan akan terbentuk endapan. Absorpsi terjadi karena adanya reaksi kimia antara molekul-molekul yang terakumulasi dengan permukaan


(32)

absorben. Absorpsi ini sifatnya tidak reversibel hanya membnetuk satu lapisan tunggal (monolayer). Umumnya terjadi pada temperatur diatas temperatur kritis molekul yang terakumulasi (Suryawan, 2004).

Mulyanto et al. (2009) telah mengembangkan teknologi dalam penangkapan gas karbondioksida di daerah perkotaan oleh larutan natrium hidroksida yakni dengan teknik absorbsi. Sebelumnya penelitian absorbsi gas CO2 oleh larutan NaOH ini telah dilakukan setengah abad yang lalu oleh Tepe dan Dodge (1943) dan dilanjutkan oleh peneliti-peneliti lainnya dimana gas CO2 diabsorpsi oleh larutan NaOH dan Ca(OH)2 dengan meninggalkan ion karbonat.

3. Pemisahan Kriogenik

Pemisahan kriogenik melibatkan tekanan dan pendinginan campuran gas di beberapa tahapan untuk mendorong perubahan fasa pada CO2 dan gas lainnya, yang memungkinkan gas CO2 dan gas lainnya untuk dipisahkan. Proses ini paling efektif bila gas mengandung komponen dengan titik didih yang sangat berbeda (Herzog et al., 1997). Dalam prakteknya, proses ini diperumit oleh pencemar. Uap air, misalnya, dapat menyebabkan pembentukan CO2 dan formasi es (disebut hidrat klatrat). Selain uap air, ada gas-gas lain (misalnya, SO2 dan NOx) yang dapat mengganggu proses kriogenik. Selanjutnya perilaku fase CO2 sangat rumit dan dapat menyebabkan pembentukan endapan di peralatan dan mengurangi tingkat perpindahan panas. Proses kriogenik memerlukan energi intensif karena membutuhkan tekanan dan pendinginan yang konstan (Anderson dan Newell, 2003).


(33)

4. Pemisahan Membran

Membran pemisahan gas juga dapat digunakan untuk menangkap CO2. Di sini, keberhasilan pemisahan ditentukan oleh permeabilitas dan selektivitas membran. Permeabilitas gas melalui membran didefinisikan sebagai laju aliran melalui membran, mengingat perbedaan tekanan yang melewati membran. Selektifitas membran merupakan permeabilitas relatif dari komponen gas yaitu, kemampuan satu gas untuk menyerap lebih cepat daripada yang lain. Dalam kasus yang ideal, pemisahan CO2 akan melibatkan aliran sumber CO2 terkonsentrasi dengan beberapa gas pencemar, dikombinasikan dengan membran permeabel yang sangat selektif terhadap CO2.

Namun dalam prakteknya, sumber aliran umumnya memiliki tekanan rendah, konsentrasi rendah CO2, dan banyak gas komponen (misalnya, NOX, SOX, dan uap air). Selanjutnya, membran dengan selektifitas tinggi sulit didapatkan peningkatan permeabilitas satu gas dan sering melibatkan peningkatan permeabilitas gas lainnya, sehingga mengurangi proses selektifitas secara optimal.

Secara umum, sebagian selektifitas membran tidak cukup untuk mencapai kemurnian yang diinginkan dalam satu langkah saja. Dengan demikian, diperlukan proses yang melibatkan multi tahap campuran daur ulang. Jumlah yang lebih besar dari membran menyebabkan peningkatan biaya tekanan dan modal. Beberapa membran pemisah gas yang tersedia seperti membran polimer, membran paladium, membran transportasi telah digunakan hanya dalam skala laboratorium saja. (Riemer et al., 1993).


(34)

Membran penyerapan gas berfungsi sebagai perangkat untuk menghubungi antara campuran gas (misalnya gas buang) dan penyerap cairan (misal pelarut MEA), meningkatkan efisiensi penyerapan fisika dan kimia. Di sini, fungsi membran adalah untuk menjaga gas dan cairan mengalir terpisah, meminimalkan jebakan, banjir, menyalurkan, dan pembusaan. Selain itu, peralatan di membran penyerapan gas cenderung lebih ringkas daripada membran konvensional, mengurangi biaya modal (Miesen dan Shuai, 1997). Salah satu keterbatasan menggunakan membran dalam pengaturan ini adalah bahwa cairan penyerapan dan aliran gas harus memiliki tingkat tekanan yang sama.

5. Hidrat Klatrat

Meskipun hidrat klatrat dapat menghambat proses kriogenik, pembentukan hidrat klatrat juga dapat digunakan untuk CO2 terpisah dari campuran gas. Ketika CO2 dan air digabungkan dengan berbagai kombinasi tekanan tinggi dan suhu rendah, mereka membentuk hidrat klatrat CO2 (yaitu, es kristal yang mengandung molekul gas CO2 dalam struktur kristal). Dalam kasus pemisahan CO2 dari hidrogen, CO2 akan membentuk hidrat klatrat tapi H2 tidak akan, yang memungkinkan dua gas yang akan dipisahkan. Setelah CO2 ditangkap, hidrat klatrat dapat diangkut sebagai bubur dalam pipa dingin pada tekanan jauh lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk CO2 murni (mengurangi biaya tekanan) dan disuntikkan langsung ke lokasi penyimpanan yang sesuai (Chargin dan Socolow, 1997).


(35)

D. Natrium Hidroksida

Natrium hidroksida (NaOH) merupakan zat padat higroskopik berwarna putih dan mudah larut dalam air dan gliserol, sedikit tembus cahaya, dan bertekstur serat. NaOH merupakan elektrolit dan basa kuat yang dapat diperoleh dengan cara dalam laboratorium dengan reaksi Na, Na2O atau Na2O2 dengan air. Dengan elektrolisis NaCl dengan menggunakan katoda raksa atau dengan sel diafragma. Dalam sel Castner-Keilner, natrium dibebaskan pada katoda raksa sehingga akan bereaksi dengan air membentuk NaOH dan H2.

Melalui proses Gossage, yakni Na2CO3 20% diberi Ca(OH)2 berlebih pada 85oC (Arsyad, 2001). Natrium hidroksida mudah larut dalam air disertai dengan panas. Larutan ini memiliki nuansa sabun dan sangat korosif. Hal ini digunakan untuk menyerap gas-gas asam, seperti karbondioksida (CO2) dan sulfur (IV) oksida (SO4). Secara industri digunakan dalam sabun dan kertas pembuatan dan dalam pemurnian bauksit (Daintith, 2005).

1. Sifat Fisis dan Kimia NaOH

Natrium hidroksida pada keadaan padatan bersuhu 20 oC pada 1013 hPa, warna putih, tidak berbau, memiliki densitas 2,13 kg/m3 pada 20 oC, titik lebur 323 oC pada tekanan 1013 hPa, titik didih 1388 oC pada tekanan 1013 hPa. Titik didih sekitar 145 °C, titik beku sekitar 14 °C, pH 14, berat jenis 1,52 g/ml pada suhu 20 °C, tidak mudah terbakar, tidak meledak, tidak ada temperatur pembakaran diri relatif, tidak mengoksidasi, berat mol 40,0 g/mol, sangat larut dalam air (Arkema, 2013).


(36)

Stabilitas kimianya baik, kondisi yang dihindari kontak dengan material yang tidak cocok dan asam, tidak kompatibel dengan bahan lain, bereaksi dengan asam mineral membentuk garam, bereaksi dengan asam lemah gas seperti hidrogen sulfida, sulfur dioksida, dan karbon dioksida (CO2), menyatu ketika kontak dengan cinnamaldehyde atau seng, dan bereaksi eksplosif dengan campuran kloroform dan metana. Merusak logam-logam seperti aluminium, timah, dan seng serta paduan seperti baja, dan dapat menyebabkan pembentukan gas hidrogen yang mudah terbakar. Produk penguraian yang berbahaya asap beracun dari natrium oksida, asap natrium peroksida (Material Safety Data Sheet, 2007).

2. Aplikasi NaOH

Natrium hidroksida digunakan dalam bidang manufaktur kimia; bahan pembuatan peledak, digunakan dalam air boiler dan sebagai bahan reaksi laboratorium. Natrium hidroksida digunakan juga sebagai pengontrol pH dalam industri tekstil, kertas, dan industri kimia. Sangat berperan juga dalam pembuatan serat sintesis dan plastik, dalam pembuatan pulp dan kertas; pulp proses Kraft dan pembuatan isolasi papan. Digunakan dalam pengolahan logam dan pemurnian; dalam minyak bumi pemurnian untuk menghilangkan senyawa sulfur; sebagai bahan reaksi pengapung dan dalam pembuatan sabun dan deterjen. Selain itu natrium hidroksida sangat berperan sebagai absorben karena dapat menyerap gas-gas asam, seperti karbondioksida (CO2) dan sulfur (IV) oksida SO4 (Daintith, 2005; Mulyanto et al., 2009). Serta digunakan dalam pengolahan makanan untuk mengupas buah dan sayuran, proses minyak zaitun, dan memperbaiki minyak nabati (Uni Soviet Department Health and Human Services, 1978).


(37)

E. Natrium Karbonat (Na2CO3)

Natrium karbonat (soda ash) berbentuk bubuk kristal higroskopis dengan kemurnian > 99,5% diperhitungkan pada bentuk anhidrat yang berwarna putih. Ada dua bentuk natrium karbonat yang tersedia, soda ringan dan soda padat. Ketidakmurnian natrium karbonat dapat mencakup natrium klorida, natrium sulfat, kalsium karbonat, magnesium karbonat, natrium bikarbonat dan besi. Profil pengotor tergantung pada proses produksi dan komposisi bahan baku (Johnson dan Swanson, 1987).

1. Struktur kristal Na2CO3

Natrium karbonat memiliki berat molekul 106 gr/mol, memiliki dimensi unit sel a= 8,905 Å, b=5,237 Å, c= 6,045 Å, space group C2/m:4 dengan volume unit selnya 276,4. Struktur kristal dari Na2CO3 dibentuk oleh ion Na oktohedral, struktur dari Na2CO3 ini dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Kristal Na2CO3 (Zubkova et al., 2002).

2. Sifat Fisis dan Kimia Na2CO3

Densitas natrium karbonat ini adalah 2,532 kg/m3 pada suhu 20 °C dan kelarutan air 71 g/l air pada suhu 0°C, 215 g/l air pada suhu 20 °C dan 455 g/l air pada suhu


(38)

100 °C (CRC Handbook, 1986). Penentuan koefisien partisi oktanol air (log Pow) dan tekanan uap tidak berlaku. Rata-rata diameter ukuran partikel natrium karbonat ringan adalah dalam kisaran 90 sampai 120 m dan padatnya sodium karbonatadalah di kisaran 250-400 m. Natrium karbonat adalah senyawa alkali yang kuat dengan pH 11.6 untuk larutan 0,1 M encer. pKb dari CO32- adalah 3,75 yang berarti bahwa pada pH 10,25 baik karbonat dan bikarbonat yang hadir dalam jumlah yang sama (Binas, 1986; The Merck Index, 1983; Johnson dan Swanson, 1987).

3. Sifat Termal Na2CO3

Natrium karbonat memiliki titik leleh 851 °C (CRC Handbook, 1986; The Merck Index, 1983). Natrium karbonat merupakan senyawa anorganik terionisasi yang memiliki titik lebur di atas 360 °C dan titik didih tidak dapat diukur karena terjadi penguraian oleh sebab itu titik didih tidak dapat ditentukan (The Merck Index, 1983; Johnson dan Swanson, 1987).

4. Sintesis Na2CO3

Natrium karbonat (soda ash) ini mudah diproduksi baik dari endapan alam atau trona atau dengan cara sintetis. Berikut ini metode produksi natrium karbonat dalam urutan sejarah:

a. Proses Le Blanc (sintetis soda ash) b. Proses Solvay (sintetis soda ash)

c. DUAL dan NA Proses (sintetis soda ash) d. Proses Monohidrat


(39)

f. Proses Karbonasi g. Proses Ekstraksi Alkali

a. Proses Le Blanc

Dalam proses ini, natrium klorida bereaksi dengan asam sulfat untuk menghasilkan natrium sulfat dan asam klorida. Ini natrium sulfat kemudian bakar dengan batu kapur dan batu bara dan campuran natrium-karbonat-kalsium-sulfida yang dihasilkan (abu hitam) dicuci dengan air untuk mengekatrak natrium karbonat. Perekonomian yang buruk dan polusi yang berlebihan yang disebabkan oleh asam klorida dan kalsium sulfida oleh produknya menyebabkan kematian sehingga berakhirlah proses Le Blanc ini. Proses Leblanc kini hanyalah sejarah yang menarik, berdasarkan pada persamaan berikut:

2NaCl + H2SO4 ⇒ Na2SO4 + 2HCl (6)

Na2SO4 + 2C ⇒ Na2S + 2CO2 (7)

Na2S + CaCO3 ⇒ Na2CO3 + CaS (8)

b. Proses Solvay

Natrium karbonat diproduksi di sejumlah wilayah yang berbeda di seluruh dunia dan ada sekitar 12 tempat produksi di Eropa. Natrium karbonat dapat diproduksi dari mineral yang mengandung natrium karbonat. Hal ini hadir dalam endapan yang besar di Afrika dan Amerika Serikat baik sebagai karbonat atau trona, bijih campuran dalam jumlah molar yang sama dari karbonat dan bikarbonat. Namun, sekitar 70% dari kapasitas produksi dunia natrium karbonat diproduksi oleh Solvay (soda amonia) proses, dimana amonia ditambahkan ke dalam larutan natrium klorida. Karbondioksida kemudian dialirkan untuk mengendapkan


(40)

bikarbonat, NaHCO3. Natrium bikarbonat ini mengalami dekomposisi karena panas memproduksi natrium karbonat. Proses Solvay tradisional digunakan di sebagian besar dunia, kecuali Amerika Serikat, di mana semua produksi didasarkan pada mineral yang mengandung natrium karbonat. Kualitas yang berbeda dari natrium karbonat diproduksi berdasarkan penggunaan akhir dari substansi (Morrin, 2000; Clayton, 1993).

Solvay soda ash dibuat dengan penjenuhan yang dimurnikan garam NaCl dengan gas amonia dan kemudian mengontakkan larutan dengan gas karbondioksida untuk membentuk endapan natrium bikarbonat. Natrium bikarbonat ini kemudian kembali ke fase cair. Cairan ini direaksikan dengan air kapur untuk memulihkan amonia dan menghasilkan produk sampingan kalsium klorida. Batu kapur dan batu arang yang diperlukan untuk membuat air kapur. Pelepasan dari aliran limbah yang mengandung konsentrasi tinggi kalsium klorida dan natrium klorida merupakan masalah utama bagi semua pabrik Solvay soda ash. Reaksi kimia keseluruhan adalah sebagai berikut:

2NaCl + CaCO3⇒ Na2CO3 + CaCl2 (9)

(Ӧrgul, 2003).

c. Proses DUAL dan NA

Ada banyak variannya dari proses Solvay. Proses DUAL dikembangkan dan dioperasikan di Jepang. Proses ini menggabungkan produksi soda ash dengan produksi amonium klorida. Pentingnya proses di Jepang adalah karena tingginya biaya batu garam impor dan penggunaan amonium klorida sebagai pupuk. Dalam


(41)

proses ganda, amonia diserap oleh larutan induk bikarbonat, dan padat natrium klorida ditambahkan. Pada pendinginan, amonium klorida yang dipisahkan diperoleh kembali dalam sentrifus, dan kemudian dikeringkan dalam pengering putar dengan udara pada 150 °C. Larutan induk didaur ulang ke tower karbonasi di mana natrium bikarbonat diendapkan.

d. Proses Monohidrat

Soda ash umumnya dihasilkan dari trona dengan proses monohidrat yang menghasilkan hanya padatan ash soda. Pertama pabrik FMC Wyoming Perusahaan menggunakan proses ini mulai beroperasi pada akhir 1972. Dalam proses ini, bijih tambang trona pertama dikonversi ke soda ash mentah dengan kalsinasi dan semua operasi berikutnya dilakukan pada larutan karbonat yang dihasilkan. Hancuran trona yang dikalsinasi dalam tanur pereduksi untuk memisahkan bijih tambang dan mengeluarkan karbon dioksida dan air dengan reaksi sebagai berikut:

2(Na2CO3.NaHCO3.2H2O)(s)⇒ 3 Na2CO3(s) + 5 H2O + CO2 (10)

Bahan yang dikalsinasi dikombinasikan dengan air untuk melarutkan soda ash dan memungkinkan pemisahan untuk membuang bahan yang tidak larut seperti serpih atau shortite dengan pengendapan dan atau filtrasi. Cairan bening yang dihasilkan terkonsentrasi seperlunya oleh tiga jenis efek evaporator, dan soda ash dilarutkan endapan sebagai kristal natrium karbonat monohidrat, Na2CO3.H2O. Ketidakmurnian terlarut lainnya, seperti natrium klorida atau natrium sulfat, tetap dalam larutan. Kristal dan cairan dipisahkan dengan sentrifugasi. Kristal


(42)

monohidrat natrium karbonat dikalsinasi untuk kedua kalinya untuk menghilangkan air dari kristalisasi (Ӧrgul, 2003).

e. Proses Sesquicarbonate

Sebuah metode alternatif produksi soda ash dari trona adalah proses sesquicarbonate. Proses ini merupakan proses asli yang dikembangkan oleh FMC Wyoming Corporation dan ditempatkan di operasi pada tahun 1953, untuk memproduksi soda ash murni dari Wyoming trona. Bijih Trona yang tercuci dalam cairan induk daur ulang pada suhu setinggi suhu mungkin untuk memaksimalkan jumlah pemisahan. Larutan tersebut kemudian diklarifikasi, disaring dan dikirim ke serangkaian pengkristal, pendinginan, dan penguapan dimana natrium sesquicarbonate (Na2CO3.NaHCO3.2H2O) dikristalisasi. Karbon ditambahkan ke filter untuk mengendalikan kristal berubah ke bahan organik. Kristal sesquicarbonate yang dimurnikan dapat dikalsinasi untuk menghasilkan produk soda ash yang ringan. Dalam proses berbeda, bijih trona dilarutkan dalam air panas dan centrate dikembalikan ke alat penguap pengkristal (Haynes, 1997). Soda yang diproduksi ini adalah abu soda ringan. Densitas mirip dengan soda ash monohidrat, kemudian memanaskan bahan sampai sekitar 350 °C atau soda ash dapat dikonversi ke monohidrat dan kemudian dikalsinasi..

f. Proses Ekstraksi Alkali

Proses ekstraksi alkali terutama untuk melarutkan trona mentah dalam larutan natrium hidroksida berair. Dalam proses ini, trona dilarutkan dalam natrium hidroksida berair untuk mendapatkan larutan mengandung natrium karbonat.


(43)

Metode ini umumnya digunakan untuk konten bikarbonat yang larut menjadi selaras terdiri dalam trona. Larutan diencerkan memiliki komposisi 2-7% soda kaustik. Reaksi pelarutan diberikan sebagai berikut:

Na2CO3.NaHCO3.2H2O + NaOH ⇒ 2Na2CO3 + H2O3 (11)

Larutan pada 30°C kemudian disaring dan larutan mengandung karbonat dipanaskan, cukup air menguap untuk membentuk bubur kristal natrium karbonat monohidrat dan natrium karbonat cair. Bubur disaring dan larutan induk didaur ulang untuk melarutkan mineral mentah. Regenerasi ini dilakukan dengan menambahkan natrium hidroksida untuk larutan induk. Kristal monohidrat dikeringkan dan dikalsinasi. Parameter yang paling penting dalam proses ekstraksi alkali adalah; suhu pelarutan, konsentrasi natrium hidroksida dan suhu kristalisasi penguapan. Suhu yang tepat untuk pelarutan dan penguapan kristalisasi adalah 30 °C dan 100 °C masing-masing.

4. Aplikasi Na2CO3

Penggunaan utama natrium karbonat adalah dalam industri kaca yang digunakan 51% dari permintaan dunia pada tahun 1999 (Morrin, 2000). Sekitar 10% dari permintaan dunia, natrium karbonat digunakan untuk deterjen. Natrium karbonat (soda ash) digunakan sebagai bahan dasar dalam bubuk deterjen dan tablet untuk pelunakan air dalam proses pencucian. Natrium karbonat juga digunakan dalam zat aditif laundry, produk mesin pencuci piring, pembersih permukaan, pembersih toilet dan produk pembersih rumah tangga lainnya. Untuk sebagian produk umumnya kandungan natrium karbonat kurang dari 30%, namun konsentrasi maksimum dapat lebih tinggi (hingga 90%). Produk natrium karbonat juga


(44)

tersedia untuk konsumen. Larutan natrium karbonat dalam air telah digunakan di waktu lampau untuk merendam pakaian, mencuci piring ,mencuci lantai, operasi menghilangkan lemak dan perawatan pribadi dan aplikasi domestik lainnya. Jumlah natrium karbonat yang digunakan dalam produk pembersih rumah tangga di Eropa diperkirakan 550.000 ton pada tahun 1999. Perkiraan ini diberikan oleh SBU Soda Ash Solvay yang merupakan produsen natrium karbonat. Angka ini telah dikonfirmasi oleh perusahaan perumus (produsen produk pembersih rumah tangga) (Schaefer dan Redelmeier, 1996; Einhorn et al, 1989; Lally, 2001).

F. Struktur Natrium Oksida (Na2O)

Natrium oksida (sodium oxide) atau dikenal dengan nama lain disodium oxide, sodium(I) oxide dengan rumus molekul Na2O memiliki bentuk fisik berwarna putih berupa bubuk, dapat juga berupa pellet, tablet, dan serbuk nano (American Elements, 2014; Saderson 1960; Mellor, 1937). Natrium oksida merupakan senyawa yang berasal dari peruraian natrium karbonat akibat proses sintering (Zhu et al., 2004). Secara umum, natrium oksida mempunyai struktur kristal antifluorite dengan crystal class cubic, space group Fd3m:1, parameter kisi 5,55 � , dan koordinasi geometri tetrahedral (Na+); cubic (O2-) (Zintl et al., 1934). Unit cell dan koordinasi ion dalam natrium oksida dapat dilihat pada Gambar 2.2.


(45)

(b) (c)

(b) (c)

Gambar 2.2 (a) Unit cell Natrium Oksida (Zintl et al., 1934) (b) Struktur Anion dan Kation Natrium Oksida, Lingkaran Tertutup Untuk Kation dan Lingkaran Terbuka Untuk Anion (c) Koordinasi Ion dalam Na2O (West, 1984).

1. Sifat Fisis dan Kimia Na2O

Natrium oksida memiliki massa molar natrium oksida adalah 61,979 gr/mol dan densitasnya adalah 22,70 gr/cm3. Natrium oksida bersifat stabil namun apabila bereaksi hebat dengan NaOH, air, asam dan larut bila bereaksi dengan etanol (Wells, 1984; Grendwood et al., 1997). Persentase unsur Na dan O dalam Na2O masing-masing adalah 74,19% dan 25,81% (Macintyre, 1992).

2. Sifat Termal

Natrium oksida memiliki titik leleh pada suhu 1132 oC, titik didih pada suhu 1950 oC dan mengalami sublimasi pada suhu 1275 oC (Wells, 1984; Grendwood et al., 1997).

3. Sintesis Na2O

Natrium oksida diperoleh dari peruraian dari perlakuan termal bahan bakunya. Zhu et al.(2004) membuat sintesis natrium oksida dengan bahan baku natrium nitrat (NaNO3) dan natrium karbonat (Na2CO3), dari hasil penelitiannya natrium


(46)

oksida dari bahan baku Na2CO3 mempunyai kestabilan termal lebih baik dibandingkan dengan bahan baku NaNO3, yakni pada suhu 750-800 oC. Kim et al. (2001) melaporkan Na2O juga dapat diperoleh dengan mencampur bahan baku Na2CO3 dengan SiO2 yang dilakukan sintering pada suhu 770 oC. Pada suhu tersebut proses dekomposisi mulai terjadi. Terlihat sangat jelas bahwa sifat dari dekomposisi Na2CO3 memilki banyak perbedaan tergantung dengan bahan yang dicampurkan. Sedangkan dekomposisi Na2CO3 yang murni itu sendiri terjadi pada suhu 851-854 oC (Human Environmental Risk Assesssment, 2005; Ӧrgul, 2003).

4. Aplikasi Na2O

Dalam dunia industri, natrium oksida memiliki peranan penting karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai material. Natrium oksida dipadukan dengan senyawa lain akan memberikan berbagai macam aplikasi. Aplikasi yang penting adalah dalam pembuatan gelas yakni dengan memadukannya dengan berbagai senyawa lain seperti Al2O3 dan B2O3. Na2O digabungkan dengan Al2O3 dan B2O3 dan untuk membentuk AlO4 tetrahedra dan BO4 tetrahedra yang selanjutnya akan membentuk properti gelas Na2O- Al2O3-B2O3 (Doweidar et al., 2001). Selain itu Volzone et al. (2013) membuat biogelas dengan penggabungan senyawa P2O5-Na2O-CaO-SiO2 dengan perlakuan suhu tinggi 1250 oC untuk membentuk gelas.

Pada penelitian Guloyan (2013) Na2O dapat dipadukan dengan SiO2 membentuk formasi gelas-sodium metasilicate (Na2O.SiO2), dalam penelitiannya bahan baku Na2CO3 dicampur dengan SiO2 dan dilakukan sintering sampai dengan titik lebur


(47)

1050 oC, selama proses formasi gelas Na

2O.SiO2 tersebut dilaporkan bahwa terjadi penguapan CO2.

Natrium oksida juga memiliki peranan penting dalam pembuatan gelas-keramik yakni memadukannya dengan Al2O3, Li2O, Ti2O dan SiO2 (Gavrilovski et al., 2002). Gelas-keramik Li2O-Na2O-Al2O3-Ti2O-SiO2 ini mempunyai stabilitas termal yang tinggi, mempunyai kemampuan kerja pada temperatur yang tinggi dengan mengandalkan komposisi dan strukturnya (Pevzner, 1973; Dzhavukytsyan, 1989).

Dalam aplikasi yang sama, Adams et al. (2013) menggabungkan Na2O dalam komposisi bioaktif gelas keramik SiO2-CaO-Na2O-P2O5 dengan sumber silika dan natrium oksida dari sodium metasilicate (Na2SiO3). Pembuatan bioaktif keramik gelas ini dengan menggunakan metode solgel

Aplikasi lain dari Na2O adalah dalam bidang optik. Pellegri et al. (1998) memadukan natrium oksida dengan senyawa Si2O dan B2O3, hasilnya komposisi dari lembaran SiO2-B2O3-Na2O multilayer ini memiliki kualitas yang tinggi dalam kehomogenitasan dan tidak ada keretakan. Komposisi ini mempunyai kelebihan dalam proses pembuatannya yakni hanya menggunakan temperatur yang rendah.

Na2O tidak hanya dapat diaplikasikan dalam bidang gelas, keramik dan optik saja. Dalam bidang elektrolit Na2O juga digunakan untuk membuat keramik sebagai komponen elektrolit padat dengan bahan bakunya beta alumina (Na2O.11Al2O3), material dari perpaduan natrium oksida dengan alumina ini memilki kelebihan yaitu konduktivitas listriknya cukup tinggi, memiliki konduktivitas ion 30 Sm-1 pada suhu 300 oC sehingga cocok dipakai sebagai bahan elektrolit pada baterai


(48)

padat (Ramlan, 2010). Selain itu natrium oksida juga memiliki peranan penting dalam pembuatan furnance, dengan menambahkan natrium oksida dalam pembuatan sehingga furnance memiliki sifat mekanik yang baik (Allahverdi et al., 2010).

G. Sintering

Sintering merupakan proses perlakuan panas terhadap material yang dapat mengakibatkan perubahan struktur mikro, seperti pengukuran ukuran dan jumlah pori (Stenat dan Wahlfarth, 1952; Restic, 1989), pertumbuhan butir, peningkatan densitas dan penyusutan (Restic, 1989). Perubahan struktur mikro ini dipengaruhi oleh laju pemanasan, penahanan dalam suhu tertentu, laju pendinginan serta beberapa faktor lain seperti jenis bahan, ukuran partikel, komposisi, dan zat pengotornya (Vlack, 1994). Menurut Schneider (1991) sintering merupakan proses pemadatan serbuk pada suhu tinggi mendekati titik leburnya hingga terjadi perubahan struktur mikro seperti pengurangan jumlah dan ukuran butir, pembentukan butiran, peningkatan densitas dan penyusutan. Beberapa tahapan dalam proses sintering antara lain:

1. Tahap awal; pada tahap ini partikel-partikel sampel akan saling kontak setelah proses pencetakan

2. Tahap pembentukan ikatan (tahap awal sintering); sintering mulai berlangsung dan permukaan kontak kedua partikel semakin lebar namun belum terlihat adanya perubahan ukuran butiran dan pori


(49)

4. Tahap akhir sintering; pada tahap ini terjadi densifikasi dan eliminasi pori sepanjang batas butir, yaitu terjadi perbesaran ukuran butiran sampai pori-pori tertutup dan sekaligus terjadi penyusutan butiran dan terbentuk fasa baru.

H. Karakterisasi

1. Fourier Transform Infra Red (FTIR)

Spektroskopi FTIR adalah teknik pengukuran untuk mengumpulkan spektrum inframerah. Energi yang diserap sampel pada berbagai frekuensi sinar inframerah direkam, kemudian diteruskan ke inteferometer. Sinar pengukuran sampel diubah menjadi interferogram. Perhitungan secara matematika Fourier Transform untuk sinyal tersebut akan menghasilkan spektrum yang identik pada spektroskopi inframerah. Prinsip kerja FTIR dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3 Prinsip Kerja FTIR (Tanda (M) menunjukan cermin bergerak, tanda (F) menunjukan cermin diam) (Giwangkara, 2007).

Cermin Bergerak

Cermin Diam

Sumber radiasi

Sampel

Detektor


(50)

Prinsip kerja alat FTIR dimulai dari sinar yang datang dari sumber sinar akan diteruskan, dan kemudian akan diperoleh oleh cermin pemotong menjadi dua bagian sinar yang saling tegak lurus. Sinar ini kemudian dipantulkan oleh dua cermin yaitu cermin diam dan cermin bergerak. Sinar hasil pantulan kedua cermin akan dipantulkan kembali menuju pemecah sinar untuk saling berinteraksi. Dari pemecah sinar, sebagian sinar akan diarahkan menuju cuplikan dan sebagian menuju sumber. Gerakan cermin yang maju mundur akan menyebabkan sinar yang sampai pada detektor akan berfluktuasi. Sinar akan saling menguatkan ketika kedua cermin memiliki jarak yang sama terhadap detektor, dan akan saling melemahkan jika kedua cermin memiliki jarak yang berbeda. Fluktuasi yang sampai pada detektor ini akan menghasilkan sinyal pada detektor yang disebut interferogram. Interferogram ini akan diubah menjadi sektra IR dengan bantuan komputer berdasarkan operasi matematika (Tahid, 1994).

2. Scanning Electron Microscopy (SEM/EDS)

Mikroskop elektron yang dikenal dengan SEM adalah suatu teknik analisis yang telah banyak digunakan untuk menganalisis struktur mikro dan morfologi suatu bahan secara detail. SEM pertama sekali dikembangkan pada tahun 1942 dengan instrumen terdiri dari penembak elektron (electron gun), tiga lensa elektrostatik dan kumparan pengulas elektromagnetik yang terletak antara lensa kedua dan ketiga, serta tabung foto multiplier untuk mendeteksi cahaya pada layar phospor. SEM menggunakan elektron sebagai pengganti cahaya untuk menghasilkan bayangan. Berkas elektron dihasilkan dengan memanaskan filamen, kemudian dikumpulkan oleh lensa kondenser elektromagnetik, dan difokuskan oleh lensa


(51)

objektif. Berkas elektron menumbuk sampel menghasilkan elektron sekunder yang dipantulkan dari sampel kemudian dideteksi dan dikuatkan oleh tabung multiplier. SEM juga menggunakan hamburan balik elektron-elektron sekunder yang dipantulkan dari sampel. Elektron-elektron sekunder mempunyai energi yang rendah maka elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan menimbulkan bayangan topograpi. Elektron-elektron yang dihamburkan balik amat peka terhadap jumlah atom, sehingga itu penting untuk menunjukkan perbedaan pada perubahan komposisi kimia dalam sampel. Intensitas elektron yang dihamburkan balik juga peka terhadap orientasi berkas sinar datang relatif terhadap kristal. Efek ini mengakibatkan perbedaan orientasi antara butir satu dengan butir yang lain adalah suatu sampel kristal, yang juga memberikan informasi kristallograpi. Interaksi antara pancaran elektron dengan sampel ditunjukkan seperti pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Skema Interaksi Antara Pancaran Elektron dan Sampel (Reed, 1993).

Pada prinsipnya SEM terdiri dari beberapa komponen yaitu kolom elektron (electron column), ruang sampel (specimen chamber), sistem pompa vakum (vacuum pumping system), kontrol elektronik dan sistem bayangan (Goldstein et

BSE

SE Sinar-X


(52)

al, 1981). Kolom elektron terdiri dari electron gun dan beberapa lensa. Bagian dari electron gun adalah katoda, yaitu filamen berbentuk V yang dibuat dari bahan tungsten atau Lanthanum Hexaboride (LaB6), dan plat anoda. Electron gun berfungsi sebagai sumber untuk menghasilkan berkas elektron/elektron primer yang dipancarkan dari katoda dan digunakan untuk menganalisis bahan. Berkas elektron tersebut dipercepat oleh medan lisrtrik dan difokuskan pada gambar pertama dari sumber, yaitu sebuah lensa magnetik yang terdiri dari dua buah lensa kondensor, sehingga bentuk dan ukuran sampel terlihat dalam bentuk sinar bayangan (imaging beam). Faktor yang menentukan penampilan dan resolusi dari SEM adalah arus dan berkas pemercepat (Sampson, 1996).

SEM yang dilengkapi dengan sistem EDS merupakan seperangkat alat instrumen yang membantu untuk mengetahui karakteristik mikrostruktur dari bahan padat seperti logam, keramik, polimer, dan komposit. Alat ini dilengkapi dengan daya pisah sekitar 0,5 nm dengan perbesaran maksimum hingga 500.000 kali (Griffin dan Riessen,1991).

2. X-Ray Diffraction (XRD)

Difraksi sinar-X (X-ray diffraction) merupakan salah satu metode karakterisasi material yang paling tua dan sering digunakan hingga sekarang. Teknik ini digunakan untuk mengidentifikasi fasa kristalin dalam material dengan cara menentukan parameter struktur kisi serta untuk mendapatkan ukuran partikel (Ratnasari, 2009). Sinar X merupakan radiasi elektromagnetik yang memiliki energi tinggi sekitar 200 eV sampai 1 MeV. Sinar X dihasilkan oleh interaksi


(53)

antara berkas elektron eksternal dengan elektron pada kulit atom. Spektrum Sinar X memiliki panjang gelombang 10-5 – 10 nm, berfrekuensi 1017 -1020 Hz dan memiliki energi 103-106 eV. Panjang gelombang sinar X memiliki orde yang sama dengan jarak antar atom sehingga dapat digunakan sebagai sumber difraksi kristal (Ory, 2009).

Dasar dari prinsip pendifraksian sinar X yaitu difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif. Penguatan sinar yang terpancarkan menjadi kuantitatif hanya jika memenuhi Hukum Bragg. Skema dari berkas sinar-X dapat ditunjukan pada Gambar 2.5. Hukum Bragg didefinisikan sebagai (Hayati, 2007):

n = 2 d sin θ ; n = 1,2,..,..., (12)

Keterangan :

adalah panjang gelombang sinar-X yang digunakan, d adalah jarak antara dua bidang kisi,

θ adalah sudut antara sinar datang dengan bidang normal, dan

n adalah bilangan bulat yang disebut sebagai orde pembiasan.

Gambar 2.5 Skema dari Berkas Sinar X yang Memantulkan dari Sinar Kristal dengan Mengikuti Hukum Bragg (Hayati, 2007)

Ө Ө

Ө Ө C C’ A A’ B B’ E D S1 d S2 S3 S1 S2 S3 Sinar-X datang Alur sinar sefasa


(54)

Berdasarkan persamaan Bragg, jika seberkas sinar-X dijatuhkan pada sampel kristal, maka bidang kristal itu akan membiaskan sinar-X yang memiliki panjang gelombang sama dengan jarak antar kisi dalam kristal tersebut. Sinar yang dibiaskan akan ditangkap oleh detektor kemudian diterjemahkan sebagai sebuah puncak difraksi. Makin banyak bidang kristal yang terdapat dalam sampel, makin kuat intensitas

pembiasan yang dihasilkannya. Tiap puncak yang muncul pada pola XRD

mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi (Ory, 2009). Puncak yang didapatkan dari data pengukuran kemudian dicocokkan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material. Standar ini disebut JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) (Ratnasari, 2009). Beberapa informasi yang dapat diperoleh dari difraksi sinar X (X-ray diffraction) adalah sebagai berikut (Ginting et al., 2005):

a. Posisi puncak difraksi memberikan gambaran tentang parameter kisi (a), jarak antar bidang (dhkl), struktur kristal dan orientasi dari sel satuan. b. Intensitas relatif puncak difraksi memberikan gambaran tentang posisi

atom dalam sel satuan.

c. Bentuk puncak difraksi memberikan gambaran tentang ukuran kristalit dan ketidaksempurnaan kisi.

4. Differential Scanning Analysis (DSC-TGA)

Differential Scanning Calorimetry (DSC) merupakan suatu teknik analisis termal dimana perbedaan pada aliran panas atau daya panas pada sampel dan standar (referensi) dipantau terhadap waktu atau temperatur, sedangkan pada sampel dengan atmosfer telah diprogram (Simon dan Cibulkova, 1999). Skema DSC dapat dilihat pada Gambar 2.7.


(55)

Gambar 2.6 Skema Sederhana DSC (Polymer Science Learning Center, 2005).

Prinsip kerjanya sangat sederhana dimana satu pan diisi dengan sampel uji, sedangkan pan yang lain diisi dengan material referensi (Polymer Science Learning Center, 2005). Kedua pan berada diatas heater. Kemudian dengan memberikan perintah melalui komputer, heater akan dinyalakan dan sekaligus menentukan specific heat yang diinginkan. Melalui pemograman komputer, kecepatan panas akan dikendalikan yang tentu saja panas yang ada dideteksi dengan sensor temperatur yang kemudian sinyalnya diterima oleh komputer dan komputer akan memberi perintah pada heater untuk mempertahankan specific heat-nya.

Pada dasarnya DSC (Differential Scanning Calorymetri) ini digunakan untuk mengetahui perubahan fasa kristalin yang terjadi dan perubahan termal dengan mengukur perbedaan kalor yang masuk dalam sampel Na2CO3 maka dilakukan analisis dengan menggunakan. Alat ini juga dapat digunakan sebagai referensi fungsi temperatur DSC ini dilengkapi oleh TGA (Termogravimetry Analysis) untuk mengetahui perubahan massa sampel (Haines, 2002; Pungor, 1995; Riefvan, 2013).

Pan Sampel

Pan Referensi

Heater

Komputer untuk memonitor temperature


(56)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober sampai dengan November 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisika Material FMIPA Unila, Laboratorium Kimia Biomassa Terpadu FMIPA Universitas Lampung, Laboratorium Analisis Fisika PT. Semen Baturaja (Persero) Tbk. Pabrik Panjang, Lampung. Karakterisasi sampel dilaksanakan Divisi Karakterisasi Material, Jurusan Teknik Material dan Metalurgi FT Institut Teknologi Sepuluh November, Laboratorium Teknik Kimia Institut Teknologi Bogor dan Laboratorium Pusat Sains dan Teknologi Bahan Maju BATAN.

B. Alat dan Bahan

1. Alat

Dalam penelitian ini alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain yaitu tungku pembakaran, tudung, pipa besi, pipa PVC 3 inci, pipa ½ inci, kompresor, beaker glass, gelas ukur, timbangan digital, cawan anti panas, corong, corong bucher, labu ukur, pipet tetes, oven, spatula, mortar dan pastel, Thermolyne Furnance 47900, Fourier Transform Infrared (FTIR), Differential Scanning


(57)

Calorymetri (DSC)/Thermogravimetry Analyzer (TGA), X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscopy(SEM)/Energy Dispersed Spectroscopy (EDS).

2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tempurung kelapa, sekam padi, arang aktif, HCl 37% (asam klorida), aquades, NaOH teknis, alkohol 70%, kertas saring, tisu, kertas label, aluminium foil, plastik press.

C. Prosedur Penelitian

Adapun langkah-langkah yang dilakukan adalah perancangan dan pembuatan alat pembakaran, preparasi tempurung kelapa, preparasi adsorben, preparasi larutan NaOH, sintesis Na2CO3, kalsinasi sampel, sintering sampel dengan Furnance. Karakterisasi sampel dengan menggunakan Fourier Thermal Infra Red (FTIR) untuk mengetahui gugus fungsi, Differential Scanning Calorymetri (DSC) yang dilengkapi Thermogravimetry Analyzer (TGA) untuk mengetahui karakteristik sifat termal, X-Ray Difraction (XRD) untuk mengetahui karakteristik struktur yang dianalisis, dan Scanning Electron Microscopy (SEM) yang dilengkapi Energy Dispersed Spectroscopy (EDS) untuk mengetahui mikrostruktur.

1. Perancangan dan Pembuatan Alat

Alat tungku pembakaran dirancang agar dapat menghasilkan gas CO2 dan mengalirkannya melalui pipa besi menuju adsorben kemudian gas CO2 yang


(58)

sudah diadsorpsi masuk ke dalam larutan NaOH. Skema alat ditampilkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Skema Alat Tungku Pembakaran

Berikut ini adalah keterangan komponen alat beserta fungsinya yang digunakan pada penelitian ini :

1. Kipas angin yang berfungsi untuk memberi udara pada proses pembakaran dan juga menahan asap yang keluar ke atas;

4

2

1

7

8

6

5

3


(59)

2. Tudung terbuat dari besi sebagai penutup dan bagian tengah diberi lubang untuk tempat kipas;

3. Drum kecil berfungsi sebagai tempat pembakaran tempurung kelapa, diberi lubang bagian selimutnya agar asap hasil pembakaran dapat keluar;

4. Drum besar berfungsi menampung drum kecil dan tempat pembakaran berlangsung;

5. Pipa penyalur yang berfungsi untuk mengeluarkan asap dari hasil pembakaran; 6. Pipa yang berisi adsorben arang aktif dan sekam padi untuk menyaring asap

hasil pembakaran;

7. Kompressor yang berfungsi untuk menyedot asap dari hasil pembakaran; 8. Beaker glass berisi larutan NaOH sebagai tempat pereaksi CO2.

2. Preparasi Tempurung Kelapa

Untuk mendapatkan Na2CO3, proses awal yang harus dilakukan adalah membersihkan sabut yang masih menempel di tempurung kelapa hingga bersih. Menjemur tempurung kelapa yang sudah bersih di bawah matahari hingga kering agar kadar air dalam tempurung berkurang. Kemudian memecah tempurung kelapa yang berukuran besar dengan menggunakan palu menjadi beberapa bagian agar luas permukaan pembakaran menjadi lebih luas dan proses pembakaran berjalan cepat. Menyusun tempurung kelapa yang telah dipecah menjadi beberapa bagian ke dalam tungku pembakaran.

3. Preparasi Adsorben

Adsorben yang digunakan antara lain sekam padi dan arang aktif. Adapun langkah yang dilakukan dalam preparasi adsorben adalah sebagai berikut :


(1)

Chargin, A. dan Robert S. 1997. Fuels Decarbonization and Carbon Sequestration: Report of a Workshop. Princeton, NJ: Princeton University, Center for Energy and Environmental Studies, School of Engineering and Applied Science.

CRC Handbook of chemistry and physics. 1986. Weast RC (ed). 66th edition, CRC Press, Inc, Boca Raton, Florida. B-142.

Crews, P., Rodriguez, J. dan Jaspars, M. 1998. Organic Structure Analysis. Oxford University Press. New York. USA.

Daintith, J. 2005. The Facts on File Dictionary of Chemistry Fourth Edition. United States of America. Market House Books. p. 253.

Derrick, M.R., Stulik, D. dan Landry, J.M. 1955. Infrared Spectroscopy in Conservation Science. Los Angeles. The Getty Cconservation Institute. p. 82-150.

Doweidar, H., Moustafa, Y.M., Abd El-Maksoud, S., dan Silim, H. 2001. Properties of Na2O-Al2O3-B2O3 glasses. Material Science and

Engineering. A301. p 207-212.

Dzhavukytsyan, S. G. 1989. Steklo i keramika. Vol.4. p. 26.

Einhorn A., H.L., Altieri M., Ochsenschlager D. dan Klein, B. 1989. Serious Respiratory Consequences of Detergent Ingestions In Children. Pediatrics 84 (3). p. 472-474.

Gatehouse, B.M., Livingston, S.E. dan Nyholm, R.S. 1958. The Infrared Spectra of Some Simple and Complex Carbonate. Journal of The Chemistry Society. p. 3137-3142.

Gavrilovski, D.S., Blagojevic, N.S., Gavrilovski, M.P., dan Grujic, S.R. 2001. Glass-ceramic Enamels Derived from The Li2O-Na2O-Al2O3-TiO2-SiO2

System, Journal Serbian Chemistry Society. Vol. 67. No. 2. p. 127-134. Ginting, I., Hermawan, S. dan Encey, T. 2005. Pembuatan Perangkat Lunak

Analisis Kualitatif Difraksi Sinar-X dengan Metode Hanawalt. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknik Nuklir. Bandung: P3TkN – BATAN 14 15 Juni 2005.

Giwangkara, S.E.G. 28 Mei 2007. Spektrofotometer Infra Merah Transformasi Fourier. www.wordprees.com. Diakses pada tanggal 04/10/2014 pukul 16:40 WIB.

Greenwood, N.N. dan Earnshaw, A. 1997. Chemistry of The Elements (2nd ed). Butterworth-Heinemann. ISBN 0080379419.


(2)

Griffin, B.J. dan Riessen V.A. 1991. Scanning Electron Microscopy Course Note. The University of Western Australia. Nedlands. p. 1- 8

Griffiths, P.R. 1975. Chemical Infrared Fourier Transform 43. Toronto : John Willey & SMS.

Goldstein, J.I., Newberry, D.E., Echlin, P., Joy, D.C., Fiori, C. dan Lifshin, E. 1981. Scanning Electron Microscopy and X-Ray Microanalysis. A Textbook for Biologist, Materials Scientists and Geologists. New York. Plenum Press. p. 673

Guloyan, Y.A. 2003. Science for Glass Production : Chemical Reactions Between Coponents in The Pproductions of Glass-Forming Melt. Glass and Ceramics. Vol. 60. No. 7-8. p 233-235.

Hayati, E.K. 2007. Buku Ajar Dasar-Dasar Analisa Spektroskopi. Malang: UIN-press. p. 104.

Haynes, H.W. 1997. Solution Mining of Trona. In Situ. Vol 21 No. 4. p. 357-394. Herzog, H.J., Elisabeth D. dan Eric, A. 1997. CO2 Capture, Reuse, and Storage

Technologies for Mitigating Global Climate Change. Cambridge, MA: Massachusetts. Institute of Technology Energy Laboratory, A White Paper.

Hohne, G.W.H. 2003. Differential Scanning Calorimetry. New York: Springer Verlag Heidelberg.

Johnson W. dan Swanson, K. 1987. Final report on the safety assessment of sodium sesquicarbonate, sodium bicarbonate, and sodium carbonate. J. Am. College Toxicol. Vol. 6. p. 121-138.

Kim, J.W. dan Lee, H.G. 2001. Thermal and Carbothermic Decomposition of Na2CO3 and LiCO3. Journal of Metallurgical and Materials Transactions B.

Vol. 32. Issue 1. p 17-24.

Kim, Jong-Wan., Lee, Y.D. dan Lee, H.G. 2001. Decomposition of Na2CO3 by

Interaction with SiO2 in Mold Flux of Steel Continuos Casting. ISIJ

International. Vol 41. No. 2. p 116-123.

Konigsberger, E. 2001. Solubility equilibria-from data optimization to process simulation. Journal Pure Application Chemistry. Vol. 74, No. 10. p. 1831-1841.

Knacke O., Kubaschewski O. dan Hesselmann K. 1991. Thermochemical Properties of Inorganic Substances, 2nd ed., Springer-Verlag, New York.


(3)

Lackner, K.S., Grimer, P. dan Ziock, H.J. 1999. Capturing carbon dioxide from air: Is it option? in Proceeedings of the 24th International Conference on Coal Utilization and Fuel System. Clearwater, Florida.

Lally, C. 2001. Personal Communication. Procter & Gamble Company.

Macintyre, J.E. 1992. Dictionary of Inorganic Compounds. London, UK: Chapman & Hall. Vol. 1-3.

Maryono, S. dan Rahmawati. 2013. Pembuatan dan Analisis Mutu Briket Arang Tempurung Kelapa Ditinjau dari Kadar Kanji. Jurnal Chemic. Vol. 14 No. 1 Juni 2013. p.74 – 83.

Material Safety Data Sheet. Oktober 2007. Material Safety Data Sheet Sodium Hydroxide Solutions, 1-50 %. www.msds.com. Canadas Ingredient Disclosure List.

Mellor, J.W. 1937. A Comprehensive Treatise on Inorganic and Theoretical Chemistry. London, UK : Longmas. Vol. 1-16.

Michael, E.B. 1998. Handbook of thermal analysis and calorimetry. Principle and Practice. Elsavier.

Miesen, A. dan Xiaoshan S. 1997. Research and Development Issues in CO2

Capture. Energy Conversion Management 38 (S):S37-S42.

Miller, F.A. dan Wilkins, C.H. 1952. Infrared Spectra and Characteristic Freuencies of Inorganic Ions, Their Use in Qualitative Analysis. Department of Research in Chemical Physics, Mellon Institute, Pittsburgh 13, Pa. Vol 23. No. 8. p. 1253-1294.

Morrin, M. 2000. Still Water Runs Deep – There’s More to Global Soda Ash Markets Than Meets The Eye. Presented to : 2000 World Petrochemical Conference, Houston, USA.

Mulyanto, A., Aviantara, D.B., Sopiah, N., Priyanto, B., Thahjono, H. dan Subagio, H. Juni 2009. Penerapan Teknologi Penangkapan Karbon Dioksida Dari Udara Bebas Menggunakan Larutan Sodium Hidroksida. Jurnal Teknologi lingkungan. Edisi Khusus. p. 57-64.

Nakamoto, K. 1997. Infrared and Raman Spectra of Inorganic and Coordination Compounds. Part A; Theroy and Applications in Inorganic Chemistry. Kluwer Academic Publisher, Boston, USA.

Nasruddin. 2005. Dynamic Modeling and Simulation of a Two-Bed Silicagel Water Adsorption Chiller. Disertation. Rwth Aachen. Germany.


(4)

Ningrum, R.S. 2013. Karakteristik Struktur dan Mikrostruktur Na2CO3 Berbasis Tempurung Kelapa. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. p. 33-70.

Ӧrgul, S. 2003. Evaluation of Soda Ash Production Parameters From Beypazari Trona Ore. (Tesis). The Department of Mining Engineering, The Middle East Technical University.

Ory. 2009. Prinsip Dasar Spekstroskopi Difraksi.

http://orybun.blogspot.com/2009/05/prinsip-dasar-spekstroskopidifraksi.html. Diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 19:45 WIB.

Panjaitan, B.M. Februari 2014. Scanning Electron Microscope (SEM). Boy Marsaputra Panjaitan _Februari 2014.htm. Diakses pada tanggal 04/10/2014 pukul 23:43 WIB.

Pellegri, N., Dawnay, E.J.C. dan Yeatman, E.M. 1998. Multilayer SiO2-B2O3

-Na2O Films on Si for Optical Applications. Journal of Sol-Gel Science and

Technology. Vol. 13. p. 783-787.

Pevzner, B. Z. 1973. Zh. Fiz. Khim. Vol. 46. p. 976.

Polymer Science Learning Center. 2005. http://pslc.ws/macrog/dsc,htm. Diakses pada tanggal 27/08/2014.

Ramlan. 2010. Karakterisasi Keramik Na2O-Al2O3 dengan Variasi MgO Sebagai

Komponen Elektrolit Padat. Jurnal Penelitian Sains. Vol. 10. No. 06. p. 14-16.

Ratnasari, D. 2009. Tugas Kimia Fisik X-Ray Diffraction (XRD). Surakarta: Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Reed, S.J.B. 1993. Electron Microprobe Analysis and Scanning Electron Microscopy in Geology. Cambridge University Press. Florida. p. 23-24. Restic. 1989. Sintering New Developments. Elsevier Scientific Publishing

Company. Vol. 4. Netherland.

Riemer, P., Harry, A. dan Smith, A. 1993. Carbon Dioxide Capture from Power Stations. Cheltenham, United Kingdom: International Energy Agency Greenhouse Gas R&D Program.


(5)

Rosaline, W.E. 2013. Karakteristik Fungsionalitas dan Termal Na2CO3 Berbasis Tempurung Kelapa. (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar Lampung. p. 21-60.

Rusli, R. 11 Apr 2014. Difraksi Sinar-X. http://www.rolanrusli.com. Diakses pada tanggal 4/10/2014 pukul 23:43 WIB.

Saderson, R.T. 1960. Chemical Periodicity. Reinhold, New York. USA.

Sampson, A.R. 1996. Scanning Electron Microscopy. Advanced Research System. www.sem.com. Diakses tanggal 11 Agustus 2014 pukul 19.10 WIB.

Schaefer, H. dan Redelmeier, T.E. 1996. Skin Barrier - Principles of Percutaneous Absorption. S Karger AG. P.O. Box, CH-4009 Basel (Switzerland). ISBN 3-8055-6326-4.

Schneider, S.J. 1991. Ceramic and Glasses. Engineered Materials Handbook. Vol. 4. The Materials Information Society. USA. p 242-312.

Sharrif, A.M., Beshir, D.M., Bustam, M.A. dan Maitra, S. 2010. Some Studies on the Synthesis and Characterization of Carbon Aerogel. Transactions of The Indian Ceramic Society. Vol. 69 No. 2. p. 1-6.

Setyamidjaja, D. 1982. Kelapa Hibrida. Penerbit Kanisius, Yogyakarta. Setyamidjaja, D. 1984. Bertanam Kelapa. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Simon, P., dan Cibulkova, Z.. 1999. Measurement oh Heat Capacity by Differential Scanning Calorymetry. Department of Physical Chemistry, Faculty of Chemical and Food Technology, Slovak University of Technology. Brastislava. Slovak Republic. p. 77-80.

Stenat, K.J. dan Wahlfarth, E.P. 1952. Feromagnetic Material. North Holland. Amsterdam.

Stolaroff, J.K., Keith, D.W. dan Lowry, G.V. 2008. Carbon Dioxide Capture from Atmosphere Air Using Sodium Hydroxide Spray. Environmental Science and Technology. Vol. 42, No. 8. p. 2728-2735.

Stuart, B. 2004. Infrared Spectroscopy Fundamentals and Applications. John Wiley & Sons Ltd. The Atrium, Southern Gate, Chichester. West Sussex PO19 8SQ, England.

Suhardiyono, L. 1988. Tanaman Kelapa, Budidaya dan Pemanfaatannya. Kanisius, Yogyakarta.

Suryawan, B. 2004. Karakteristik Zeolit Indonesia sebagai Adsorben Uap Air. Disertasi. Jakarta : Univesitas Indonesia.


(6)

Suzuki, M. 1990. Adsorption Engineering. Kodansha Ltd. Tokyo.

Tahid. 1994. Spektroskopi Inframerah Transformasi Fourier No II Th VIII. Bandung : Warta Kimia Analitis.

Tepe, J.B. dan Dodge, B.F. 1943. Absorption of Carbon Dioxide by Sodium Hydroxide Solutions in a Packed Column, Trans. Am. Inst. Chem. Engrs., 39, 255-276., In: www.vattenfall.com.

The Merck Index. 1983. An Encyclopedia of Chemicals, Drugs and Biological. Windholz M (ed), tenth edition, Merck & Co., Inc, Rahway, USA. p.1232. Tilman, D. 1981. Wood Combution: Principles, Processes and Economics,

Academics Press Inc., New York.

Uni Soviet Departement of Health and Human Services. September 1978. Occupational Health Guideline for Sodium Hydroxide. U.S. Department of Labor, Occupationa Safety and Health Administration. p. 1-5.

Vlack, V. 1994. Ilmu dan Teknologi Bahan (Ilmu Logam dan Bukan Logam). Edisi ke lima. Alih Bahasa Sriati Djapri. Jakarta: Erlangga

Volzone, C. dan Stabile, F.M. 2013. Structural Changes by Thermal Treatment up to Glass Obtention of P2O5-Na2O-CaO-SiO2 Compounds with Bioglass

Composition Types. New Journal of Glass and Ceramic. Vol. 3. p. 53-57. Wells, A.F. 1984. Structural Inorganic Chemistry. Oxford: Clarendon Press.

ISBN 0-19-855370-6.

West, A.R. 1984. Solid State Chemistry and its Applications. John Wiley Sons Ltd. p. 232

Woodroof, J.G. 1979. Coconut Production Processing Product. AVI Publ. Company. INC., Westport, Connecticut.

Zhu, D., Ray, C.S., Zhou, W. dan Day, D.E. 2004. On glass formation for a Na2O.4TeO2 melt: Effect of melting temperature, time, and raw material. Journal of Materials Science, Vol. 39. p. 7351-7357.

Zintl, E., Harder, A., dan Dauth, B. 1934. Gitterstruktur der oxyde, sulfide, selenide and telluride de lithiums, natriums und kaliums.Z. Elektrochem. Angew. Phys. Chem. Vol. 40. p. 93-588.

Zubkova, N.V., Pushcharovsky, D.Y., Moscow, Ivaldi, G., Ferraris, G., Torino, Pekov, I.V., Moscow, Chukanow, N.V. dan Chernogolvka. 2002. Crystal structure of natrite, -Na2CO3. N. Jb. Miner. Mh. (2). p. 85-96.