KARAKTERISTIK LIQUID VOLATILE MATTER LIM

KARAKTERISTIK LIQUID VOLATILE MATTER LIMBAH
ORGANIK SEBAGAI BAHAN PADUAN HYBRID
SOLID FUEL BERKALORI TINGGI
M. Jahiding1), Mashuni2) Hasriah3)
1,2,3

) Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo
JL. H. E. A. Mokodompit (Kampus Bumi Tridharma) Anduonohu-Kendari
Tlp/Fax : 0401-3191929/0401-3190496, E-mail : muhjahiding68@yahoo.com

ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian untuk mengkarakterisasi liquid volatile matter (LVM) limbah
organik sebagai bahan paduan dalam pembuatan hybrid solid fuel berkalori tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk menentukan berat arang, volume tar dan volume liquid
volatile matter limbah organik kulit kakao, tempurung kelapa dan kulit mete
menggunakan sistem pirolisis pada temperatur 400 °C dengan waktu pirolisis 30, 60, 90 dan
120 menit serta menentukan kandungan fenol LVM menggunakan GC-MS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa untuk temperatur pirolisis 400 °C massa arang tertinggi diperoleh pada
waktu pirolisis 30 menit yaitu arang kulit kakao 70 %, kulit mete 62 %, tempurung kelapa 80
%. Sedangkan tar tertinggi diperoleh pada waktu pirolisis 90 menit yaitu 15 ml untuk kulit
kakao, 20 ml untuk kulit mete, 12 ml untuk tempurung kelapa. Demikian pula untuk liquid

volatile matter diperoleh volume tertinggi pada waktu pirolisis 90 menit 38 ml untuk kulit
kakao, 48 ml untuk kulit mete, dan 31 ml untuk tempurung kelapa. Sementara kandungan
fenol diperoleh 1,87 % untuk kulit kakao, 2,45 % untuk tempurung kelapa dan 3,46 % untuk
kulit mete.
Kata Kunci: limbah organik, liquid volatile matter, hybrid solid fuel, kadar fenol

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penggunaan sumber energi konvensional dari energi fosil yang terus menerus
meningkat menyebabkan cadangan sumber energi tersebut semakin menipis dan pada
akhirnya akan habis. Di sisi lain peningkatan harga bahan bakar minyak dunia yang cukup
pesat ini sangat berdampak pada meningkatnya harga jual bahan bakar minyak termasuk
minyak tanah dan gas bumi di Indonesia. Saat ini, pemerintah Indonesia mensubsidi bahan
1

bakar minyak sekitar 300 triliun rupiah per tahun untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat sekitar 50 juta kilo liter.
Salah satu sumber energi alternatif yang bisa dikembangkan sebagai bahan bakar
alternatif adalah hybrid solid fuel dari energi batubara muda (brown coal) yang dapat
diblending dengan limbah organik (kulit kakao, tempurung kelapa dan kulit mete)

menggunakan bahan paduan liquid volatile matter yang memiliki nilai kalor tinggi.
Batubata muda memiliki fixed karbon tinggi yang sangat cocok untuk aplikasi
hybrid solid fuel, akan tetapi memiliki kandungan volatile matter yang rendah
sehingga tidak efisien dalam penggunaannya. Sementara limbah organik (kulit kakao,
tempurung kelapa dan kulit mete) meiliki volatile matter yang tinggi, namun fixed
karbonnya rendah (Jahiding dkk, 2011). Namun demikian volatile matter limbah organik
akan hilang pada saat proses pemanasan sehingga perlu dilakukan liquidisasi volatile
matter sebagai bahan campuran dan sebagai perekat untuk meningkatkan nilai kalor.
Selain kedua komponen tersebut, faktor volatile matter sangat mempengaruhi nilai kalor
bahan bakar padatan solid fuel (Jahiding dkk, 2012).
Tujuan
a. Mengembangkan dan mengkarakterisasi liquid volatile matter limbah organik (kulit
kakao, tempurung kelapa dan kulit mete) untuk mendapatkan kualitas yang optimum
sebagai bahan paduan hybrid solid fuel
b. Merancang dan memformulasi liquid volatile matter (batubara muda dan limbah
organik kulit kakao, tempurung kelapa dan kulit mete) untuk memperoleh volatile matter
yang berkualitas tinggi
Limbah Organik
Limbah organik berupa kulit kakao merupakan limbah lignoselulosik. Lignoselulosa
merupakan serat kasar yang memiliki komponen energi terbesar pada limbah.

Lignoselulosa (serat kasar) terdiri atas tiga penyus un utama, yaitu s elulos a,
hemiselulosa, dan lignin, yang saling terikat erat membentuk satu kesatuan. Serat kasar
pada kakao mengandung 20.11 % lignin, 31.25 % selulosa, dan 48.64 % hemiselulosa
(Ashari, 1988) Apabila dilakukan pirolisis maka akan dihasilkan cairan (liquid) yang
banyak mengandung fenol sehingga dapat digunakan sebagai bahan paduan pada solid fuel.
Selain kulit kakao, tanaman jambu mete (Anacardium occidentale L.) merupakan tanaman
perkebunan yang sedang berkembang dan cukup menarik perhatian, hal ini karena pertama,
2

tanaman jambu mete dapat ditanam di lahan kritis sehingga persaingan lahan dengan
komoditas lain menjadi kecil dan dapat juga berfungsi tanaman konservasi. Kulit
gelondong mete mempunyai permukaan yang licin, berwarna kecoklatan, elastis dan
tebalnya 3 mm. Struktur kulit gelondong mete terdiri atas lapisan luar) (epikarp),
lapisan tengah berstruktur seperti sarang lebah (mesokarp ) yang mengandung CNSL, dan
lapisan dalam yang keras (endokarp). Kernel atau kacang mete ditutupi oleh kulit ari
yang tipis dan terletak pada bagian dalam gelondong. CNSL berwarna gelap, kental dan
bersifat toksik pada kulit, yang berfungsi memberikan pelindung kepada kernel.Kulit
ari atau testa mengandung polifenol seperti catechin dan epicatechin (Nair, 1979).
Kulit biji mete dapat digunakan sebagai bahan untuk menghasilkan arang aktif yang
berkualitas baik, karena tediri dan tiga lapisan kulit yaitu endocarp, mesocarp dan epicarp

yang memiliki kandungan lemak dan protein yang tinggi (Muliharja, dkk).
Liquid Volatile Matter (LVM)
L i q u i d v o l a t i l e m a t t e r a d a l a h kondensat komponen asap yang dapat
digunakan untuk menciptakan flavor asap pada produk (Whittle et al, 2002). Liquid
volatile matter sudah dibuat pada akhir tahun 1800-an, tetapi bare sepuluh sampai lima
belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada beberapa industri. Liquid
volatile matter pertama kali diproduksi pada tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di
Kansas City, dikembangkan dengan metode distilasi kayu asap (Pszczola et al, 1995).
Pembakaran adalah hasil sejumlah besar reaksi yang rumit. Salah sate macam
reaksi yang terjadi ialah pirolisis, yakni pemecahan termal molekul besar menjadi
molekul kecil tanpa kehadiran oksigen. Pembakaran campuran organik, seperti kayu, tidak
selalu berupa pengubahan sederhana menjadi CO 2 dan H 20. Pirolisis molekul-molekul
besar dalam kayu misalnya, menghasilkan molekul gas yang lebih kecil, yang kemudian
bereaksi dengan oksigen di atas permukaan kayu itu (Gani, 2007).
Pirolisis merupakan proses dekomposisi bahan yang mengandung karbon,
baik yang berasal dan tumbuhan, hewan maupun barang tambang menghasilkan arang
(karbon) dan asap yang dapat dikondensasi menjadi destilat (Paris et al, 2005). Pada
umumnya proses pirolisi dapat berlangsung pada suhu di atas 300°C dalam waktu 4-7 jam.
Proses pirolisis melibatkan berbagai proses reaksi yaitu dekomposisi, oksidasi,
polimerisasi, dan kondensasi. Reaksi-reaksi yang terjadi selama pirolisa kayu adalah

penghilangan air dari pada suhu 120-150 o C, pirolisa hemiselulosa pada suhu 200250 o C, pirolisa selulosa pada suhu 280-320 o C dan pirolisa lignin pada suhu 400 oC.
3

Pirolisa pada suhu 400 °C ini menghasilkan senyawa yang mempunyai kualitas
organoleptik yang tinggi dan pada suhu lebih tinggi lagi akan terjadi reaksi kondensasi
pembentukan senyawa baru dan oksidasi produk kondensasi diikuti kenaikan linier senyawa
tar dan hidrokarbon polisiklis aromatis (Girrard, 1992).
LVM Diproduksi dengan cara pemabakaran yang tidak sempurna yang
melibatkan reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organik dengan
berat molekul rendah karena pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan
kondensasi Girrard, 1992). Media pendingin yang digunakan pada kondensor adalah air
yang dialirkan melalui pipa inlet yang keluar dari hasil pembakaran tidak sempurna
kemudian dialirkan melewati kondensor dan dikondensasikan menjadi distilat asap
(Hanendoyo, 2005).

METODE
Pembuatan Liquid Volatile Matter
Pembuatan liquid volatile matter batubara muda dan limbah organik (kulit
kakao, tempurung kelapa dan kulit mete) dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu:
a. Pengeringan

Bahan baku batubara muda (brown coal) dan limbah organik (kulit kakao,
tempurung kelapa dan kulit mete) dikeringkan secara alami menggunakan sinar
matahari selama 2 x 8 jam untuk menurunkan kadar air.
b. Liquidisasi Volatile Matter
Proses liquidisasi volatile matter dilakukan menggunakan metode pirolisis.
Sampel batubara muda dan limbah organik yang telah dikeringkan dimdasukkan
kedalam tungku pirolisis yang diberi temperatur

400 o C. Tungku pirolisis

dialiri gas nitrogen untuk mencegah terjadinya pembakaran dalam tungku
pirolisis. Pada out put tabung pirolisis dipasang penampung tar dan kondensor pipa
spiral untuk meliquidisasi uap hasil pirolisis. Kondensor menggunakan air bergerak
untuk menjaga temperatur kondensor. Uap yang terkondensasi akan berubah
menjadi liquid (cairan). Gambar 1 menunjukkan peralatan pirolisis yang
digunakan (Sutin, 2008).

4

Gambar 1. Peralatan pirolisis

Analisis Kualitas liquid volatile matter
Kualitas liquid volatile matter ditentukan menggunakan GC-MS. Parameter yang
ditinjau dalam penelitian ini adalah berat karbon, volume tar, volume LVM, nilai pH dan
konsentrasi fenol. Fenol merupakan senyawa hidrokarbon yang dapat mempengaruhi
nilai kalor dari hybrid solid fuel. Kualitas liquid volatile matter ditentukan pada temperatur
400 °C tekanan gas nitrogen 5 atm.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Produk Pirolisis
Komposisi produk pirolisis selain ditentukan oleh temperatur aktivasi juga
ditentukan oleh waktu pirolisis. Gambar 2 sampai 4 menunjukkan komposisi produk pirolisis
untuk berbagai bahan baku dan waktu pirolisis.

Gambar 2. Hubungan waktu pirolisis dengan massa arang pada temperatur 400 °C
5

Gambar 3. Hubungan waktu pirolisis dengan volume tar pada temperatur 400 °C

Gambar 4. Hubungan waktu pirolisis dengan volume liquid pada temperatur 400 °C

Gambar 2 menunjukkan bahwa semakin lama waktu pirolisis massa padatan (arang)

hasil pirolisis semakin berkurang. Hal tersebut disebabkan oleh semakin banyaknya bahan
yang berubah menjadi tar dan liquid. Selain itu terjadi proses pengabuan dalam tabung
pirolisis akibat adanya udara yang masuk ke dalam tabung. Untuk menghindari
terjadinya pengabuan dan menghasilkan massa padatan yang optimal maka perlu
dilakukan deoksigenasi dalam tabung pirolisis melalui pengaliran gas nitrogen kedalam
tabung Selama proses pirolisis berlangsung atau mencegah masuknya oksigen ke dalam
tabung pirolisis dengan sistem katub otomatis.
Berbeda dengan massa padatan volume tar mengalami peningkatan yang
6

berarti apabila waktu pirolisis ditingkatkan. Hal tersebut disebabkan oleh terjadinya
distribusi panas yang nerata pada seluruhbagian sampel dalam tabung sehingga
pemisahan karbon dengan senyawa penyusun tar berlangsung sempurna. Volume tar
maksimum diperoleh pada waktu pirolisis 90 menit dimana tidak mengalami peningkatan
volume pada saat waktu pirolisis mencapai 120 menit (Gambar 3.). Hal tersebut H a l
karena senyawa penyusun tar secara keseluruhan telah terpisah dengan massa padatan
(arang) yang tertinggal dalam tabung pirolisis.
Sama halnya dengan volume tar, volume liquid juga mengalami peningkatan
apabila waktu pirolisis ditingkatkan seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Waktu pirolisis
efektif yang menghasilkan volume liquid maksimum adalah 90 menit. Pada waktu

pirolisis 120 menit peningkatan volume liquid tidak mengalami peningkatan yang berarti,
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa senyawa penyusun liquid pada bahan yang
dipirolisis (kulit kakao, kulit mete, tempurung kelapa dan batubara muda) telah terpisah
secara sempurna pada waktu pirolisis 90 sampai 120 menit.
Kadar Fenol
Kadar fenol pada pirolisis dengan suhu 400°C adalah 1,87% LVM pada kulit kakao;
2,45% LV M pada tempurung tempurung kelapa; 3,46% pada LVM pada kulit mete
dan 0,21 pada batubara muda (Tabel 1).
Tabel 1. Persentase fenol pada masing-masing sampel
Sam pel
Suhu (°C)
Fenol (%)
Kulit kakao

400

1,87

Tempurung kelapa


400

2,45

Kulit mete

400

3,46

Kadar total fenol tertinggi pada penelitian ini, adalah 3,46% untuk kulit mete dan
2,45% untuk tempurung kelapa. Nilai ini tidak berbeda jauh dan hasil yang didapatkan
oleh peneliti sebelumnya yaitu Luditama 2006 yang berhasil memperoleh nilai fenol
khusus untuk tempurung kelapa 1,89% pada suhu 400°C. Kadar senyawa fenol yang diperoleh
dalam LVM hasil pirolisis tempurung kelapa adalah 1.28% (Yulistiani, 1997), sedangkan
(Nurhayati, 2000) berhasil memperoleh kadar fenol 3.24% dalam LVM hasil pirolisis
kayu tusam.
Fenol saat ini lebih banyak digunakan sebagai desinfektan dan sebagai antiseptik. Selain
itu fenol dalam penelitian diaplikasikan sebagai campuran atau paduan sekaligus sebagai
bahan perekat pada bahan bakar padatan (dalam bentuk briket. Fenol yang merupakan

7

turunan dari benzen memiliki nilai kalor yang tinggi. Dengan demikian paduan batubara
muda, arang limbah organik dengan fenol dalam bentuk solid fuel akan menghasilkan
bahan bakar dengan nilai kalor yang tinggi. Uji coba penggunaan fenol sebagai bahan
campuran batubara muda dan limbah organik dalam pembuatan solid fuel akan dilaksanakan
pada penelitian tahun kedua.
Dengan berkembangnya penggunaan fenol dari limbah organik akan memberi
manfaat yang sangat besar terhadap perkembangan penyediaan sumber energi dari
limbah organik khususnya bahan bakar berbentuk padatan (solid fuel). Keuntungan dari
penggunaan fenol dari limbanh organik adalh karena tidak dibutuhkan proses
khususmuntuk meproduksinya, dimana fenol dapat diperoleh pada saat proses pengarangan
bahan organik melalui pirolisis yang merupakan proses utama yang dilakukan pada pembuatan
bahan bakar padatan dalam bentuk briket.

KESIMPULAN
Waktu pirolisi sangat mempengaruhi massa padatan hasil pirolisis berupa arang dan
volume tar serta volume liquid. Massa arang terbesar diperoleh pada waktu pirolisis 30
menit dan terendah pada waktu pirolisis 120 menit. Pada proses pirolisi terjadi peningkatan
volume tar apabila waktu pirolisis ditingkatkan dan mencapai maksimum pada waktu
pirolisis 90 menit. Volume tar tertinggi diperoleh untuk bahan baku kulit mete sebesar 20
ml untuk sampel input 1 kg dan terndah pada bahan baku batubara muda yaitu 8 ml.
Sedangkan untuk liquid dioperoleh volume terbesar pada pada waktu pirolisis 120 menit
yaitu 38 ml untuk kulit kakao, 49 ml untuk kulit mete, 32 ml untuk tempurung kelapa
dan 12 ml untuk batubara muda. Volume liquid pada waktu pirolisis 120 menit relatif
sama dengan volume pada waktu pirolisis 90 menit. Kadar fenol terbesar diperoleh pada
limbah organik kulit mete yaitu 3,46% dan terendah pada batubara muda yaitu 0,21%.

UCAPAN TERIMA
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Uviversitas Halu Oleo atas bantuan dana
dalam pelaksanaan penelitian ini melalui program PUPT Tahun 2014.

DAFTAR PUSTAKA
Ashadi, R.W., Pembutaan Gula Cair dari Pod Coklat dengan Menggunakan Asa Sulfat,
Enzim, serta Kombinasi Keduanya. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
Bogor, 1988.
8

Gani, Abdul. 2007. Konversi Sampah Organik Pasar Menjadi Komarasca (Kompos-Arang
Aktif-Asap Cair) dan Aplikasinya pada Tanaman Daun Dewa. Thesis Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor
Girrard, J.P. 1992. Technology of Meat and Meat Products. Ellis horwood. New York.
Hanendoyo, C. 2005. Kinerja Alat Ek s t ra ks i A s a p Ca ir D e ng an Sistem
Kondensasi. Skripsi.Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Muliharjo, Muchji, 1990. Jambu Mete dan teknologi Pengelolahannya (Anacardium
Occidentale). Liberty, Yogyakarta
M. Jahiding, L.O. Ngkoimani, S.H. Erzam, W.O. Ratnawati, S. Maymanah, 2011, Analisis
Volatile Matter Briket Hybrid (Paduan Briket sekam Padi dan Batubara muda)
sebagai Bahan Bakar Alternatif, Jurnal Aplikasi Fisika Vol. 7 No. 1, Februari
2011.
M. Jahiding, Mashuni, S.H. Erzam, 2012, "Pengembangan Briket Batubara Muda (Brown
Coal) Sebagai Bahan Bakar Alternatif Berkalori Tinggi", Jurnal Aplikasi Fisika
Vol. 8 No. 2, Februari 2012.
Nair, 1979. Monograph on Plantation Crops I Cashew (Anacardium Occidentale).Kerala:
Central Plantation Crops Research Institute
Nurhayati, T. 2000. Produksi Arang dan Destilat Kayu Mangium dan Tusam dari Tungku
Kubah. Buletin Penelitian Hasil Hutan 18(3);137-151.
Paris 0. C. Zollfrank dan G.A. Zickler. 2005. Decomposition and Carbonization of Wood
Biopolymer Microstructural Study of Softwood Pyrolisis. Carbon 43: 53-66
Pszczola, Donald E. 1995. Tour Highlights Production and Uses of Smoke- Based Flavors.
Food Technol. 49(1);70-74.
Sutin, 2008. Pembuatan Asap Cair Ddari Tempurung dan Sabut Kelapa Secara Pirolisis
SertaFraksinasinya dengan Ekstraksi, Institut Pertanian Bogor
Yulistiani, R. 1997 Kemampuan Penghambatan Asap Cair Terhadap Pertumbuhan Bakteri
Pathogen dan Perusak Pada Lidah Sapi. Program Pascasarjana. Universitas Gajah
Mada. Yogyakarta.
Whittle, K. J., P. Howgate. 2002. Glossary

of Fish Technology

Terms. www.onefish.org/global/ishTechnologyGlossaryFeb02.

9