KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP DETERGEN OLEH

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP
“DETERGEN”

OLEH :
KELOMPOK V

Aisyah Putri Abrianti

F 121 14 004

Moh. Hasdi Prabakti

Moh. Asrul Hatibi

F 121 14 005

Hardianti Kamaluddin F 121 14 032

Atika

F 121 14 015


Fakhrizal Mulya P

F 121 14 042

Rahmania

F 121 14 016

Muh. Irfan Aziji

F 121 14 050

Moh. Fail Fadil

F 121 14 018

Ryantona

F 121 14 063


DOSEN PEMBIMBING:
Alamsyah Prabakti

PROGRAM STUDI GEOLOGI
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TADULAKO
2014

F 121 14 031

Jenis Karakteristik Fisik, Kimia, Biologi dari Detergen
A. SIFAT FISIK DETERGEN
Minyak dan lemak merupakan bahan utama dalam produksi sabun. Minyak dan lemak
tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya, tetapi hanya berbeda dalam bentuk (wujud).
Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan titik lelehnya. Pada suhu kamar lemak berwujud
padat, sedangkan minyak berwujud cair. Titik leleh minyak dan lemak tergantung pada
strukturnya, biasanya meningkat dengan bertambahnya jumlah karbon.

B. SIFAT KIMIA DAN BIOLOGI DETERGEN

Limbah detergen yang mencemari badan air atau sumur gali umumnya berasal dari
limbah rumah tangga dan berbagai kegiatan masyarakat yang menggunakan detergen secara
besar-besaran, sehingga pencemaran air bersih oleh zat ini semakin hari semakin
mengkawatirkan. Detergen atau surfaktan sintetis merupakan zat toksik, bersifat karsinogenik
dapat menimbulkan kanker jika terakumulasi dalam jangka waktu lama di dalam tubuh.
Detergen umumnya tersusun atas lima jenis bahan, antara lain surfaktan yang merupakan
senyawa Alkyl Bensen Sulfonat (ABS) yang berfungsi untuk mengangkat kotoran pakaian. Alkyl
Bensen Sulfonat bersifat nonbiodegradable atau sulit terurai di alam. Bahan utama dari
pembuatan deterjen adalah suatu senyawa surfaktan. Surfaktan atau surface active agent atau
wetting agent merupakan bahan organik yang berperan sebagai bahan aktif pada detergen, sabun,
dan shampoo. Surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan sehingga memungkinkan
partikel-partikel yang menempel pada bahan-bahan yang dicuci terlepas dan mengapung atau
terlarut dalam air (Effendi,H, 2003).
Deterjen juga mengandung bahan pengisi berupa senyawa fosfat, yang berfungsi
mencegah menempelnya kembali kotoran pada bahan yang sedang dicuci. Senyawa fosfat
digunakan hampir oleh segala merk detergen. Senyawa ini memberikan peran besar pada proses
terjadinya eutrofikasi sehingga menyebabkan Booming Alge (meledaknya populasi tanaman air).
Selanjutnya pemutih dan pewangi sebagai bahan pembantu yang digunakan pada
detergen umumnya umumnya bersal dari natrium karbonat, menurut hasil beberapa penelitin
dapat menyebabkan kanker pada manusia. Sedangkan bahan pewangi dan bahan penimbul busa

pada dasarnya tidak diperlukan dalam proses pencucian, dan tidak berhubungan antara daya
bersih dengan keberadaan busa yang melimpah. Sedangkan Fluorescent berguna untuk membuat
pakaian lebih cemerlang.
Menurut Dean dan Bradley (1984), surfaktan memiliki berbagai ragam struktur kimia
yang berbeda, sehingga dikelompokan menjadi empat kelompok utama yaitu: surfaktan anionik,
surfaktan kationik, surfaktan nonionik dan surfaktan amphoteric (zwitterionic). Perbedaan ini
didasarkan pada sifat penggugusan polar yang memberikan sifat khas pada surfaktan. Dari gugus
– gugus ini, yang kationik memiliki kemampuan yang relatif terbatas. Beberapa jenis surfaktan
ditunjukan dalam berikut :

Komposisi surfaktan dalam detergen berkisar antara 10%-30%, disamping polifosfat dan
pemutih. Kadar surfaktan 1 mg/liter dapat mengakibatkan terbentuknya busa perairan (Effendi,
2003). Sifat surfaktan bergantung pada suatu molekul yang memiliki sifat lipofilik dan hidrofilik.
Pada batas antar fase (misalnya, lemak dan air atau udara dan air), molekul surfaktan bergabung
menyebabkan turunnya tegangan permukaan. Pada batas antar fase ini, keberadaan busa
menyebabkan terbentuknya perluasan daerah antar fase dan dengan demikian akumulasi
surfaktan dalam air busa dan akibatnya, terjadi penurunan kepekatan surfaktan dalam massa air.
Pengaruh ini dapat menyebabkan`sqwewwe` perbedaan dalam kepekatan dalam tingkatan
beberapa ribu kali (Connell, 1995).
Surfaktan ABS ( Alkyl Benzene Sulphonate) digunakan dalam bentuk garam natrium, zat

ini terdapat dalam air alamiah sebagai garam kalsium. Garam ini memiliki kelarutan dalam air
yang rendah dan terdapat sebagai suatu suspensi yang tidak stabil. Pertama kali menempel pada
batas antar fase seperti udara-air, lemak-air dan sediment dasar air, tetapi secara nyata memasuki
sediment dasar sebagai deposit. Ini menyebabkan kepekatan yang tinggi dalam sediment pada
daerah yang menerima limbah air yang mengandung surfaktan (Connell, 1995 .
Surfaktan dapat mengubah sifat aliran hidrolik media porous seperti tanah. Pembentukan
misel garam kalsium surfaktan ABS dalam sistem alamiah memungkinkan surfaktan menjadi
lebih mudah diendapkan dari pada garam natrium. Pengendapan surfaktan ini menyebabkan
pembentukan suatu sel garam kalsium yang dapat menghalangi aliran air melalui sistem porous
(Connell, 1995).
Adapun Zat-zat yang terdapat dalam deterjen yaitu:
1. Surfaktan yaitu untuk mengikat lemak dan membasahi permukaan
2. Abrasive untuk menggosok kotoran
3. Substansi untuk mengubah pH yang mempengaruhi penampilan ataupun stabilitas dari
komponen lain
4. Water softener untuk menghilangkan efek kesadahan
5. Oxidants untuk memutihkan dan menghancurkan kotoran
6. Material lain selain surfaktan untuk mengikat kotoran didalam suspensi
7. Enzim untuk mengikat protein, lemak, ataupun karbohidrat didalam kotoran.
Komponen penting deterjen adalah surfaktan. Fungsi surfaktan sekali lagi adalah untuk

meningkatkan daya pembasahan air sehingga kotoran yang berlemak dapat dibasahi,
mengendorkan dan mengangkat kotoran dari kain dan mensuspensikan kotoran yang telah
terlepas. Surfaktan yang biasa digunakan dalam deterjen adalah linear alkilbenzene sulfonat,
etoksisulfat, alkil sulfat, etoksilat, senyawa amonium kuarterner, imidazolin dan betain. Linear
alkilbenzene sulfonat, etoksisulfat, alkil sulfat bila dilarutkan dalam air akan berubah menjadi
partikel bermuatan negatif, memiliki daya bersih yang sangat baik, dan biasanya berbusa banyak
(biasanya digunakan untuk pencuci kain dan pencuci piring). Etoksilat, tidak berubah menjadi
partikel yang bermuatan, busa yang dihasilkan sedikit, tapi dapat bekerja di air sadah (air yang
kandungan mineralnya tinggi), dan dapat mencuci dengan baik hampir semua jenis kotoran.
Senyawa-senyawa amonium kuarterner, berubah menjadi partikel positif ketika terlarut dalam
air, surfaktan ini biasanya digunakan pada pelembut (softener). Imidazolin dan betain dapat
berubah menjadi partikel positif, netral atau negatif bergantung pH air yang digunakan. Kedua

surfaktan ini cukup kestabilan dan jumlah buih yang dihasilkannnya, sehingga sering digunakan
untuk pencuci alat-alat rumah tangga. Setelah surfaktan, kandungan lain yang penting adalah
penguat (builder), yang meningkatkan efisiensi surfaktan. Builder digunakan untuk melunakkan
air sadah dengan cara mengikat mineral-mineral yang terlarut, sehingga surfaktan dapat
berkonsentrasi pada fungsinya. Selain itu, builder juga membantu menciptakan kondisi keasaman
yang tepat agar proses pembersihan dapat berlangsung lebih baik serta membantu
mendispersikan dan mensuspensikan kotoran yang telah lepas. Yang sering digunakan sebagai

builder adalah senyawa kompleks fosfat, natrium sitrat, natrium karbonat, natrium silikat atau
zeolit. Pertimbangan banyak busa adalah pertimbangan salah kaprah tapi selalu dianut oleh
banyak konsumen. Banyaknya busa tidak berkaitan secara signifikan dengan daya bersih
deterjen, kecuali deterjen yang digunakan untuk proses pencucian dengan air yang jumlahnya
sedikit (misalnya pada pencucian karpet). Untuk kebanyakan kegunaan di rumah tangga,
misalnya pencucian dengan jumlah air yang berlimpah, busa tidak memiliki peran yang penting.
Dalam pencucian dalam jumlah air yang sedikit, busa sangat penting karena dalam pencucian
dengan sedikit air, busa akan berperan untuk tetap "memegang" partikel yang telah dilepas dari
kain yang dicuci, dengan demikian mencegah mengendapnya kembali kotoran tersebut. Revolusi
terbesar dalam perkembangan deterjen adalah pemakaian enzim. Enzim sebagai bantuan untuk
mencuci bukanlah suatu hal yang baru lagi untuk dunia industri. Enzim proteolik telah dicoba
sebagai zat aditif untuk mencuci di Jerman pada tahun 1920-an dengan sukses dan juga di
Switzerland pada tahun 1930-an. Enzim, yang disebut juga dengan katalis organik, cenderung
untuk mempercepat reaksi dan enzim proteolitik dapat mengubah ataupun menghancurkan
protein menjadi asam amino baik sebagian maupun keseluruhan. Cara kerja enzim relatif lambat
dan harga produksinya tinggi, tetapi dengan metode yang telah disempurnakan untuk produksi
dan pemurnian, rantai enzim, dikembangkan untuk bereaksi dengan cepat.Dalam
perkembangannya, deterjen pun makin canggih. Deterjen masa kini biasanya mengandung
pemutih, pencerah warna, bahkan antiredeposisi (NaCMC atau sodium carboxymethylcellulose).


Dampak Detergen Terhadap Air dan Tanah
Polusi atau pencemaran adalah keadaan dimana suatu lingkungan sudah tidak alami lagi
karena telah tercemar oleh polutan. Misalnya air sungai yang tidak tercemar airnya masih murni
dan alami, tidak ada zat-zat kimia yang berbahaya, sedangkan air sungai yang telah tercemar
oleh detergen misalnya, mengandung zat kimia yang berbahaya, baik bagi organisme yang hidup
di sungai tersebut maupun bagi makhluk hidup lain yang tinggal di sekitar sungai tersebut.
Polutan adalah zat atau substansi yang mencemari lingkungan. Air limbah detergen termasuk
polutan karena didalamnya terdapat zat yang disebut ABS. Jenis Detergen yang banyak
digunakan di rumah tangga sebagai bahan pencuci pakaian adalah Detergen anti noda. Detergen
jenis ini mengandung ABS (alkyl benzene sulphonate) yang merupakan Detergen tergolong
keras. Detergen tersebut sukar dirusak oleh mikroorganisme (nonbiodegradable) sehingga dapat
menimbulkan pencemaran lingkungan (Rubiatadji, 1993). Lingkungan perairan yang tercemar
limbah Detergen kategori keras ini dalam konsentrasi tinggi akan mengancam dan
membahayakan kehidupan biota air dan manusia yang mengkonsumsi biota tersebut.

Awalnya inovasi yang dianggap cemerlang ini ini mendapatkan respon yang
menggembirakan. Namun seiring berjalannya waktu, ABS setelah diteliti lebih lanjut diketahui
mempunyai efek destruktif (buruk) terhadap lingkungan yakni sulit diuraikan oleh
mikroorganisme. Hal ini menjadikan sisa limbah Detergen yang dikeluarkan setiap hari oleh
rumah tangga akan menjadi limbah berbahaya dan mengancam stabilitas lingkungan hidup

kita.Beberapa negara di dunia secara resmi telah melarang penggunaan zat ABS ini dalam
pembuatan Detergen dan memperkenalkan senyawa kimia baru yang disebut Linier Alkyl
Sulfonat, atau lebih sering jika kita lihat di berbagai label produk Detergen yang kita pakai
dengan nama LAS yang relatif lebih ramah lingkungan. Akan tetapi penelitian terbaru oleh para
ahli menyebutkan bahwa senyawa ini juga menimbulkan kerugian yang tidak sedikit terhadap
lingkungan. Menurut data yang diperoleh bahwa dikatakan alam lingkungan kita membutuhkan
waktu selama 90 hari untuk mengurai LAS dan hanya 50% dari keseluruhan yang dapat diurai.
Efek paling nyata yang disebabkan oleh limbah Detergen rumah tangga adalah terjadinya
eutrofikasi (pesatnya pertumbuhan ganggang dan enceng gondok). Limbah Detergen yang
dibuang ke kolam ataupun rawa akan memicu ledakan pertumbuhan ganggang dan enceng
gondok sehingga dasar air tidak mampu ditembus oleh sinar matahari, kadar oksigen berkurang
secara drastis, kehidupan biota air mengalami degradasi, dan unsur hara meningkat sangat pesat.
Jika hal seperti ini tidak segera diatasi, ekosistem akan terganggu dan berakibat merugikan
manusia itu sendiri, sebagai contoh saja lingkungan tempat pembuangan saluran selokan. Secara
tidak langsung rumah tangga pasti membuang limbah Detergennya melalui saluran selokan ini,
dan coba kita lihat, di penghujung saluran selokan begitu banyak eceng gondok yang hidup
dengan kepadatan populasi yang sangat besar.
Selain merusak lingkungan alam, efek buruk Detergen yang dirasakan tentu tak lepas dari
para konsumennya. Dampaknya juga dapat mengakibatkan gangguan pada lingkungan kesehatan
manusia. Saat seusai kita mencuci baju, kulit tangan kita terasa kering, panas, melepuh, retakretak, gampang mengelupas hingga mengakibatkan gatal dan kadang menjadi alergi.

Detergen sangat berbahaya bagi lingkungan karena dari beberapa kajian menyebutkan
bahwa Detergen memiliki kemampuan untuk melarutkan bahan bersifat karsinogen, misalnya 3,4
Benzonpyrene, selain gangguan terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air
minum akan menimbulkan bau dan rasa tidak enak. Sedangkan tinja merupakan jenis vektor
pembawa berbagai macam penyakit bagi manusia. Bagian yang paling berbahaya dari limbah
domestik adalah mikroorganisme patogen yang terkandung dalam tinja, karena dapat menularkan
beragam penyakit bila masuk tubuh manusia, dalam 1 gram tinja mengandung 1 milyar partikel
virus infektif, yang mampu bertahan hidup selama beberapa minggu pada suhu dibawah 10
derajat Celcius.
Dalam jangka panjang, air minum yang telah terkontaminasi limbah Detergen berpotensi
sebagai salah satu penyebab penyakit kanker (karsinogenik). Proses penguraian Detergen akan
menghasilkan sisa benzena yang apabila bereaksi dengan klor akan membentuk senyawa
klorobenzena yang sangat berbahaya. Kontak benzena dan klor sangat mungkin terjadi pada
pengolahan air minum, mengingat digunakannya kaporit (dimana di dalamnya terkandung klor)
sebagai pembunuh kuman pada proses klorinasi.

Pada percobaan tersebut dapat dianalisa bahwa Detergen itu memang mempunyai
dampak buruk terhadap berbagai lingkungan kehidupan kita. Baik itu lingkungan terrestrial
dimana kita hidup, kemudian lingkungan perairan termasuk organisme yang hidup di dalamnya,
atau bahkan juga lingkungan kesehatan manusia sendiri yang sebenarnya tanpa kita sadari mulai

perlahan-lahan menyerang kesehatan kita.
Detergen fosfat tinggi seperti tri-natrium fosfat (TSP) dapat dibeli di beberapa toko cat
dan perangkat keras. Pembersihan secara teratur dengan Detergen fosfat tinggi telah terbukti
efektif dalam mengurangi debu di yang terdapat di jendela dan di sekitar pintu.Apa yang terjadi
jika limbah Detergent bercampur dengan air?Detergent memiliki efek beracun dalam air. Semua
Detergent menghancurkan lapisan eksternal lendir yang melindungi ikan dari bakteri dan parasit,
selain itu detergent dapat menyebabkan kerusakan pada insang. Kebanyakan ikan akan mati bila
konsentrasi Detergent 15 bagian per juta. Detergent dengan konsentrasi rendah pun sebanyak 5
ppm tetap dapat membunuh telur ikan. Surfaktan Detergen pun tak kalah berbahaya karena jenis
detergent ini terbukti mengurangi kemampuan perkembangbiakan organisme perairan.
Detergen juga memiliki andil besar dalam menurunkan kualitas air. Bahan kimia organik
seperti pestisida dan fenol akan mudah diserap oleh ikan, dengan konsentrasi Detergen hanya 2
ppm dapat diserap ikan dua kali lipat dari jumlah bahan kimia lainnya.Detergent juga memberi
efek negatif bagi biota air. Fosfat dalam Detergen dapat memicu ganggang air tawar bunga untuk
melepaskan racun dan menguras oksigen di perairan. Ketika ganggang membusuk, mereka
menggunakan oksigen yang tersedia untuk mempertahankan hidupnya.
Dalam sebuah literatur disebutkan, ada fakta yang menarik seputar air di bumi ini.
Jumlah total air di bumi saat ini relatif sama dengan jumlah total air tercipta. Yaitu 70 persen
permukaan bumi kita adalah air. Komposisinya adalah 67 persen terdiri dari air asin dan tiga
persen air tawar. Prosentasi air tawar itu terdiri dari es, air tanah, air permukaan, dan uap air.
Jumlah airnya saat ini memang sama akan tetapi yang berubah bentuknya. Tidak semua air tawar
tersebut dapat di pakai, penyebabnya adalah pencemaran lingkungan yang dibuat oleh manusia
sendiri seperti limbah dari pemakaian detergen.
kandungan zat kimia di dalam detergen akan mencemari tanah. dan itu akan
mempengaruhi kualitas tanag itu sendiri. banyak hewan dalam tang yang akan mati. dan juga
tanag tersebut susah ditanami tumbuhan karena sudah tidak subur lagi akibat tercemari oleh
detergen

USAHA KELOLA LINGKUNGAN
Detergen merupakan suatu derivatik zat organik sehingga akumulasinya menyebabkan
meningkatnya COD (Chemichal Oxygen Demand) dan BOD (Biological Oxigen Demand) dan
angka permanganat, maka dalam pengolahannya sangat cocok menggunakan teknik biologi.
Proses biologis dapat dikelompokkan berdasarkan pemanfaatan oksigen, sistem
pertumbuhan, proses operasi. Ditinjau dari pemanfaatan oksigennya, proses biologis untuk
mengolah air limbah deterjen dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok utama, yaitu

proses aerobic, proses anaerobic, proses anoksid dan kombinasi antara proses aerobik dengan
salah satu proses tersebut.
Proses biologis dapat pula dikelompokkan atas dasar proses operasinya yaitu proses
kontinu dengan atau tanpa daur ulang, proses batch, proses semi batch. Proses kontinu biasa
digunakan untuk pengolahan aerobik, sedangkan proses batch atau semi batch lebih banyak
digunakan untuk sistem anaerobic. Apabila BOD tidak melebihi 400 mg/l, proses aerob masih
dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob. Pada BOD lebih tinggi dari 4000 mg/l, proses
anaerob menjadi lebih ekonomis.
BOD atau Biochemical Oxygen Demand adalah suatu karakteristik yang menunjukkan
jumlah oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme (biasanya bakteri) untuk mengurai
atau mendekomposisi bahan organik dalam kondisi aerobik. Bahan organik yang terdekomposisi
dalam BOD adalah bahan organik yang siap terdekomposisi (readily decomposable organic
matter). BOD merupakan suatu ukuran jumlah oksigen yang digunakan oleh populasi mikroba
yang terkandung dalam perairan sebagai respon terhadap masuknya bahan organik yang dapat
diurai. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa walaupun nilai BOD menyatakan jumlah
oksigen, tetapi untuk mudahnya dapat juga diartikan sebagai gambaran jumlah bahan organik
mudah urai (biodegradable organics) yang ada di perairan. Sedangkan COD atau Chemical
Oxygen Demand adalah jumlah oksigen yang diperlukan untuk mengurai seluruh bahan organik
yang terkandung dalam air. Hal ini karena bahan organik yang ada sengaja diurai secara kimia
dengan menggunakan oksidator kuat kalium bikromat pada kondisi asam dan panas dengan
katalisator perak sulfat, sehingga segala macam bahan organik, baik yang mudah urai maupun
yang kompleks dan sulit urai, akan teroksidasi. Dengan demikian, selisih nilai antara COD dan
BOD memberikan gambaran besarnya bahan organik yang sulit urai yang ada di perairan. Bisa
saja nilai BOD sama dengan COD, tetapi BOD tidak bisa lebih besar dari COD. Jadi COD
menggambarkan jumlah total bahan organik yang ada. Air yang bersih kandungan BOD kurang
dari 1 mg/l atau 1ppm, jika BOD nya di atas 4 ppm maka air dikatakan tercemar (Hariyadi,
2004).
Pada beberapa penelitian membuktikan bahwa alkyl benzena sulfonat (ABS) dapat
diuraikan dengan bakteri Staphylococcus epidermis, Enterobacter gergoviae, Staphylococcus
aureus, Pseudomonas facili, Pseudomonas fluoroscens, Pseudomonas euruginosa, Kurthia
zopfii, dan sebagainya. Bakteri ini akan merombak detergen yang juga merupakan zat organik
sebagai bahan makanan menjadi energi.
Penggunaan alat Trickling Filter, yaitu teknik untuk meningkatkan kontak dari air limbah
dengan mikroorganisme pemakan bahan-bahan organik yang mengambil oksigen untuk
metabolismenya dapat dipergunakan sebagai pengolahan limbah deterjen skala rumah tangga.
Diawali dengan mengembangbiakkan bakteri pada media pecahan genteng selama 40 hari dalam
limbah rumah tangga yang ada di selokan, kemudian dilakukan treatment/sirkulasi terhadap
limbah deterjen sintetik pada Trickling Filter dan dianalisa nilai konsentrasi LAS dengan
pengujian MBAS (Metylene Blue Active Surfactan). media pertumbuhan mikroorganisme adalah
pecahan genteng yang direndam dalam selokan 40 hari. Jenis mikroorganisme yang ada di
selokan antara lain Crenothrix & Sphaerotilus, Chromatium & Thiobacillus, mikroalgae hijau &
biru, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi, Shigella shigae, Eschericia Coli. Pengamatan
langsung dengan menggunakan mikroskop dan pengecatan gram menunjukkan bahwa komunitas
mikroba didominasi oleh bakteri gram negatif, menemukan komunitas bakteri dari golongan
Proteobacteria mendominasi komunitas bakteri yang mampu mendegradasi deterjen.
Pertumbuhan mikroorganisme ini berlangsung cukup lama karena dipengaruhi oleh suhu dan

nutrisi yang diperlukannya. Deterjen akan mengalami penurunan kadar LAS dengan semakin
bertambahnya waktu. Hal ini disebabkan mikroorganisme aerobik yang memakan zat yang
terkandung dalam deterjen. Kemampuan mikroba terutama bakteri dalam menggunakan deterjen
sebagai sumber karbon utama menunjukkan bahwa bakteri memegang peran penting. Deterjen
dengan kadar LAS yang besar membutuhkan waktu peruraian yang lebih lama dan deterjen
dengan kadar LAS yang kecil akan lebih cepat terurai. Dan semakin lama waktu sirkulasi
limbah deterjen maka kadar LAS pada ketiga merek deterjen yang diteliti akan semakin
mengalami penurunan, karena waktu kontak antara air deterjen dan mikroorganisme aerob
semakin lama sehingga memberikan waktu yang cukup lama pula bagi bakteri untuk
menguraikan deterjen (Heryani dan Puji, 2008).
Penanganan dengan cara lumpur aktif juga dapat dikembangkan , dan dapat menurunkan
COD, BOD 30 – 70 %, bergantung pada karakteristik air limbah yang, diolah dan kondisi proses
lumpur aktif yang dilakukan. Proses lumpur aktif terus berkembang dengan berbagai
modifikasinya, antara lain oxidation ditch dan kontak-stabilisasi. Dibandingkan dengan proses
lumpur aktif konvensional, oxidation ditch mempunyai beberapa kelebihan, yaitu efisiensi
penurunan BOD dapat mencapai 85%-90% (dibandingkan 80%-85%) dan lumpur yang
dihasilkan lebih sedikit. Selain efisiensi yang lebih tinggi (90%-95%), kontak stabilisasi
mempunyai kelebihan yang lain, yaitu waktu detensi hidrolis total lebih pendek (4-6 jam).
Dengan tangki septic-filter up flow yang berisi pecahan batu bata sebagai media hidup
mikroba sanggup mereduksi kandungan Metylene Blue Active Surfactan atau MBAS (untuk
mendeteksi kandungan detergen) hingga mencapai efesiensi 87,93 persen. Dari sampel, air
limbah yang sebelum dimasukkan tangki memiliki kandungan MBAS sekitar 2,7 mg per liter.
Setelah keluar tangki, air hanya mengandung MBAS sekitar 0,326 mg per liter, atau lebih rendah
dari baku mutu yang digariskan, yakni 0,5 mg per liter. Adapun BOD yang didapat adalah 483,75
mg per liter (sebelum proses) dan 286,25 mg per liter (setelah proses) atau kandungan BOD
berkurang 40 persen lebih.
Mendestabilkan partikel deterjen dapat dimanfaatkan sebagai pengolahan limbah karena
detergen mempunyai sifat koloid. Karakteristik dari partikel koloid dalam air sangat dipengaruhi
oleh muatan listrik dan kebanyakan partikel tersuspensi bermuatan negative. Cara
mendestabilkan atau merusak kestabilan partikel dilakukan dalam dua tahap. Pertama dengan
mengurangi muatan elektrostatis sehingga menurunkan nilai potensial zeta dari koloid, proses ini
lazim disebut sebagai koagulasi. Kedua adalah memberikan kesempatan kepada partikel untuk
saling bertumbukan dan bergabung, cara ini dapat dilakukan dengan cara pengadukan dan
disebut sebagai flokulasi.
Pengurangan muatan elektris dilakukan dengan menambahkan koagulan seperti PAC. Di
dalam air PAC akan terdisposisi melepaskan kation Al 3+ yang akan menurunkan zeta potensial
dari partikel. Sehingga gaya tolak-menolak antar partikel menjadi berkurang, akibatnya
penambahan gaya mekanis seperti pengadukan akan mempermudah terjadinya tumbukan yang
akan dilanjutkan dengan penggabungan partikel-partikel yang akan membentuk flok yang
berukuran lebih besar. Flok akan diendapkan pada unit sedimentasi maupun klarifikasi. Lumpur
yang terbentuk akan dibuang menggunakan scraper. Cara koagulasi umumnya berhasil
menurunkan kadar bahan organik (COD,BOD) sebanyak 40-70 %.
Detergen mampu memecah minyak dan lemak membentuk emulsi sehingga dapat
diendapkan dengan menambahkan inhibitor garam alkali seperti kapur dan soda. Buih yang
terbentuk akan dapat dihilangkan dengan proses skimming (penyendokan buih) atau flotasi.

Proses flotasi banyak digunakan untuk menyisihkan bahan-bahan yang mengapung juga
dapat digunakan sebagai cara penyisihan bahan-bahan tersuspensi (clarification) atau pemekatan
lumpur endapan (sludge thickening) dengan memberikan aliran udara ke atas (air flotation).
Adsorpsi menggunakan karbon aktif dapat digunakan untuk mengurangi kontaminasi
detergen. Detergen yang merupakan molekul organik akan ditarik oleh karbon aktif dan melekat
pada permukaannya dengan kombinasi dari daya fisik kompleks dan reaksi kimia. Karbon aktif
memiliki jaringan porous (berlubang) yang sangat luas yang berubah-ubah bentuknya untuk
menerima molekul pengotor baik besar maupun kecil. Zeolit dapat menurunkan COD 10-40%,
dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 %.
Detergen mempunyai ikatan – ikatan organik. Proses khlorinasi akan memecah ikatan
tersebut membentuk garam ammonium khlorida meskipun akan menghasilkan haloform dan
trihalomethans jika zat organiknya berlebih (Arifin, 2008).
Air limbah deterjen tidak dapat dibuang ke septic tank seperti pada kotoran manusia
(black water) karena memiliki kandungan detergen yang dapat membunuh bakteri pengurai yang
dibutuhkan septic tank. Karena itu, diperlukan pengolahan khusus yang dapat menetralisasi
kandungan detergen dan juga menangkap lemak.
Cara yang paling sederhana mengatasi pencemaran air limbah adalah dengan menanami
selokan dengan tanaman air yang bisa menyerap zat pencemar. Tanaman yang bisa digunakan,
antara lain jaringao, Pontederia cordata (bunga ungu), lidi air, futoy ruas, Thypa angustifolia
(bunga coklat), melati air, dan lili air. Cara ini sangat mudah, tapi hanya bisa menyerap sedikit
zat pencemar dan tak bisa menyaring lemak dan sampah hasil dapur yang ikut terbuang ke
selokan.
Cara yang lebih efektif adalah membuat instalasi pengolahan yang sering disebut dengan
sistem pengolahan air limbah (SPAL) dengan cara mudah, bahan murah dan tidak sulit
diterapkan di rumah Anda. Instalasi SPAL terdiri dari dua bagian yaitu bak pengumpul dan
tangki resapan. Di dalam bak pengumpul terdapat ruang untuk menangkap sampah yang
dilengkapi dengan kasa 1 cm persegi, ruang untuk penangkap lemak, dan ruang untuk
menangkap pasir. Tangki resapan dibuat lebih rendah dari bak pengumpul agar air dapat
mengalir lancar. Di dalam tangki resapan ini terdapat arang dan batu koral yang berfungsi untuk
menyaring zat-zat pencemar yang ada dalam air limbah deterjen (greywater). Mekanisme kerja
SPAL dengan cara air bekas deterjen atau bekas sabun dialirkan ke ruang penangkap sampah
yang telah dilengkapi dengan saringan di bagian dasarnya. Sampah akan tersaring dan air akan
mengalir masuk ke ruang di bawahnya. Jika air mengandung pasir, pasir akan mengendap di
dasar ruang ini, sedangkan lapisan minyak, karena berat jenisnya lebih ringan, akan
mengambang di ruang penangkap lemak. Air yang telah bebas dari pasir, sampah, dan lemak
akan mengalir ke pipa yang berada di tengah-tengah tangki resapan. Bagian bawah pipa tersebut
diberi lubang sehingga air akan keluar dari bagian bawah. Sebelum air menuju ke saluran
pembuangan, air akan melewati penyaring berupa batu koral dan batok kelapa. Limbah deterjen
atau air sabun yang telah diolah dapat digunakan lagi untuk menyiram tanaman, mengguyur
kloset, dan untuk mencuci mobil. Di Singapura dan negara-negara maju bahkan diolah lagi
menjadi air minum (Anonimous, 2009).
Salah satu cara pengolahan limbah deterjen dan air sabun yang diterapkan di perusahaan
produsen deterjen adalah dengan pembuatan bak pengumpulan air limbah sisa deterjen. Di dalam
bak pengumpulan limbah tersebut diletakkan pompa celup yang harus terendam air untuk
menghindari terbentuknya gelembung/buih detrejen. Pompa celup ini berfungsi sebagai sirkulasi
limbah. Selanjutnya di luar bak penampungan dibuat bak kecil dan pompa dosing yang berisi

larutan anti deterjen, misalnya jika deterjen yang terbuang banyak mengandung deterjen anionik,
maka untuk menetralisir diberikan larutan deterjen kationik sebagai anti deterjennya, demikian
pula sebaliknya. Kemudian larutan anti deterjen ini dimasukkan ke dalam bak penampungan dan
dilakukan proses penetralan. Pada proses penetralan, perlu ditentukan kadar deterjen di dalam
bak penampungan dengan analisis deterjen sistem MBAS (Metilen Blue Active Surfactan) atau
dengan sistem Titrasi Yamin yang secara khusus untuk mengetahui kadar deterjen. Misalnya
kadar deterjen 50 ppm dapat dilakukan uji coba dengan pemberian larutan anti deterjen sebanyak
5 ml per menit dengan pompa dosing sampai kadar deterjen 0 ppm. (Arifin, 2008).
Bagi pemilik usaha binatu/laundry dapat melakukan upaya pemilihan deterjen dengan
kandungan fosfat yang rendah karena dapat menjadi pencemaran air disekitarnya. Serta dapat
melakukan pengelolaan limbah deterjen secara sederhana dengan pembuatan bak penampungan
khusus, atau dengan penambahan arang aktif (Anonimous, 2010).
Savarino et al (2010) pada penelitian terbarunya membandingkan antara biosurfactan,
yang merupakan perkembangan terbaru dari formula deterjen dengan surfaktan anionik/non ionik
yang sering dipakai perusahaan deterjen. Biosurfactan diisolasi dari residu makanan dan limbah
hijau yang disimpan pada kondisi aerobik selama 0-60 hari dan diteliti komposisi kimia,aktivitas
sifat permukaan (surface activity) dan daya kerja deterjen dalam mencuci kain. Limbah
perkotaan merupakan sumber yang kaya bahan organik dengan sifat surfaktan yang sangat baik.
Bahan ini sudah tersedia dari fasilitas perkotaan dengan biodegradasi aerobik residu biomassa.
Khususnya, untuk dua biosurfaktan terisolasi dari limbah, yaitu cHAL (compost humic acid-like
matter) yang terisolasi dari campuran makanan dan residu kompos hijau (green residues) selama
15 hari dan cHAL 2 terisolasi hanya dari residu hijau segar (fresh green residue). Kedua
biosurfactan tersebut mengandung rantai alifatik panjang, gugus aromatik, asam karboksilat dan
kelompok fenol.
Biosurfactan menghasilkan berbagai macam komposisi kimia dan aktivitas sifat
permukaan
yang
erat
kaitannya
dengan
sumber
biomassa
yang
berbeda.
Ditemukan bahwa biosurfactan memiliki kinerja yang sama dengan commercial surfactan yang
umum digunakan (anionik maupun non ionik) ketika digunakan secara murni, jika pada
campuran 1:1 biosurfactan dan commercial surfactan menghasilkan sinergi yang signifikan.
Sangat sensitivitas terhadap kesadahan air dan menyebabkan kain menjadi kuning merupakan
kekurangan utama untuk biosurfactan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bila
digunakan di atas konsentrasi micelles tidak ada perbedaan kinerja yang signifikan pada seluruh
kelompok biosurfactan atau campuran antara biosurfactan dan commercial surfactan. Fakta ini
memberikan harapan bagi produksi industri dan komersialisasi Biosurfactan sebagai komponen
dari formulasi deterjen. Serta penggunaan surfaktan yang ramah lingkungan yang berasal dari
sumber daya terbaru yang murah dalam komposisi deterjen bagi tren industri deterjen.
Isolasi biosurfactan diperoleh dari limbah green atau dari 1:1 limbah makanan dan green
fresh residue yangdikumpulkan dan disimpan selama 0-60 hari secara aerobik. sampel sampah
yang terkumpul diteliti selama 24 jam pada 650C dengan perbandingan N2 dan NaOH 0.1 mol-1
L dan 0,1 mol L-1 Na4P2O7. Selanjutnya suspensi yang dihasilkan didinginkan sampai suhu
kamar dan disentrifugasi pada kecepatan 6.000 rpm. Residu padat dipisahkan dan
dicuci berulang kali dengan air suling sampai terpisah cair supernatannya.Semua cairan
supernatan
dikumpulkan
dan
diasamkan
dengan
asam
sulfat
50%
pada pH 1.5. Endapan padat disentrifugasi seperti cara di atas, dicuci dengan air sampai akhir
pH netral, dikeringkan pada 600C dan ditimbang. Produk akhir (cHALi) menghasilkan adalah

12-15% dari bahan kering sampah awal. Dari hasil percobaan biosurfactan mampu menurunkan
tegangan permukaan hampir 50% lebih rendah dibandingkan commercial surfactan.
Limbah domestik baik rumah tangga atau limbah usaha skala kecil seperti air sisa
deterjen dan air sisa sabun mandi harus diolah dan tidak boleh membuangnya melalui septictank, guna mengindari pencemaran air tanah disekitarnya.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLHD) Jakarta, mengisyaratkan warga agar
menyediakan alat pengolahan limbah, yaitu Biofilter. Alat ini mampu menghasilkan air olahan
sesuai dengan baku mutu, dan aman bagi lingkungan. Dengan menggunakan sistem biofilter, dan
umumnya terbuat dari fiberglass. maka limbah cucian dan limbah septic tank sudah terolah
hingga mencapai baku mutu. Dan menggantikan septic tank yang cara kerjanya merembeskan
limbah ke tanah sehingga tidak ada lagi ada rembesan. Namun masih diperlukan sosialisasi
kepada pemilik rumah yang sudah memiliki septic tank, subsidi alat bagi perumahan kumuh dan
harga alat yang mahal (Anonimous, 2009).

DAFTAR PUSTAKA
 http://erlangga-lintang.blogspot.com/2011/08/pencemaran-air-di-sungai-oleh-limbah.html

 Hefni Effendi. (2003). Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan. Yogyakarta: Kanisius.
 Hiasinta A. Purnawijayanti. (2001). Sanitasi, Higine, dan Keselamatan Kerja dalam
Penggolahan Makanan. Yogyakarta: Kanisius.
 Srikandi Fardiaz. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
 Widmer, Petra & Frick, Heinz. (2007). Hak Konsumen dan Ekolabel. Yogyakarta:
Kanisius.
 http://bennysyah.edublogs.org/2007/04/27/softening-pelunakan-pada-air-sadah, 23

Oktober 2007.
 “Berpacu Menyelamatkan Air Bersih”, Banjarmasin Post, 23 Maret 2011. Hal 26.
 Biasa, manusia (2010). Daya Kerja Detergen. From http://funny-

mytho.blogspot.com/2010/12/daya-kerja-Detergen.html, 23 Oktober 2011.
 Diklat Jauh Wirausaha (2011). Detergen. From

http://www.diklatjauh.com/2011/03/Detergen.html, 16 Oktober 2011.
 Dwi, Bardiana (2011). Macam-Macam Detergen. From

http://kimiadahsyat.blogspot.com/2011/02/macam-macam-detergen.html, 16 Oktober
2011.
 Hart Harold, dkk. 2003. Kimia Organik. Jakarta : Erlangga
 Pengolahan Limbah Deterjen dengan Biofilter. http://www.greenradio.fm. [8 Desember 2010].