Pengaruh E Procurement Terhadap Good Gov (1)
Pengaruh E-Procurement Terhadap Good Governance
Astri Damayanti
Ardi Hamzah
Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo
Abstract
The aim of this research to examine the effect of e-procurement in efficiency,
effectivity, competitiveness, transparency and responsibility on good governance. The
research sample that used is 79 government apparatus that conduct to activity eprocurement. The analysis method of this research used linear regression. The result
of research with partially regression indicate that efficiency and transparency have
significantly effect on good governance, while effectivity, competitiveness, and
responsibility have not significantly effect on good governance. The result of research
with simultantly effect indicate that e-procurement in efficiency, effectivity,
competitiveness, transparency, and responsibility have significantly effect on good
governance. The value R2 is 66,6% indicate that e-procurement in efficiency,
effectivity, competitiveness, transparency and responsibility gave to contribution is
66,6% on good governance, while 33,4% cause by others factors such as economic,
regulation/law, information and telecommunication et cetera.
Key words: e-procurement, efficiency, effectivity, competitiveness, transparency,
responsibility, good governance.
1. Latar Belakang Masalah
Good Governance merupakan paradigma yang menegaskan pentingnya
kesetaraan, kesinergian dan kerjasama hubungan antara pemerintah (pemerintah pusat
dan daerah), pengusaha, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Secara definitif
Good Governance dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran alokasi dana investasi yang salah dan
pencegahan korupsi maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha
(Mardiasmo, 2004). Oleh karena itu, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan
keadilan menjadi syarat mutlak terwujudnya Good Governance karena dengan
keempat hal tersebut semua aktivitas publik dapat dipertanggungjawabkan, sehingga
hak-hak publik dapat dipenuhi.
Aktivitas-aktivitas di instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
daerah dalam hal ini aktivitas pengadaan barang/jasa (procurement) merupakan salah
satu celah yang mencederai Good Governance dengan kemungkinan terjadinya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sistem pengadaan barang/jasa yang
dilaksanakan selama ini di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih
menggunakan pola lama yang memungkinkan terjadinya “kontak” antara pejabat yang
bertanggungjawab dalam pengadaan dengan penyediaan barang/jasa. Kontak inilah
yang memungkinkan terjadinya “deal” sehingga pengadaan menjadi tidak ekonomis,
efisien dan efektif. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa ada
kecenderungan dari aparat pemerintahan untuk tidak melaksanakan secara on-line,
1
karena mereka lebih menyukai metode pelayanan tradisional yang berupa tatap muka
langsung, surat menyurat, ataupun telepon yang rawan KKN (Safrial, 2005).
Proses pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah sebenarnya telah diatur
secara terperinci dalam Keppres yang terkait, berupa Keppres Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang direvisi
melalui Keppres Nomor 61 Tahun 2004. Permasalahan yang timbul kemudian adalah
terjadinya berbagai bentuk praktek pengadaan barang/jasa pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun daerah yang secara “kemasan” telah memenuhi syarat perundangundangan dan peraturan yang berlaku, namun prakteknya masih ada yang merugikan
keuangan negara dan kepentingan masyarakat. Kerugian tersebut dapat ditinjau dari
sudut mutu, jumlah, manfaat, sasaran, waktu penyerahan, serta harga barang.
Hal tersebut diatas terjadi karena praktek pengadaan barang/jasa pemerintahan
belum pada prinsip-prinsip Good Procurement Governance yang berbasis pada asas
partisipasi, transparansi, efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan keadilan. Usaha
pencegahan yang sistematis dan terintegrasi melalui pemanfaatan kemajuan teknologi
sangat diperlukan. Proses pengadaan barang/jasa yang terbuka melalui internet (eprocurement) lebih memungkinkan adanya partisipasi langsung dari masyarakat,
berupa pemantauan dan pengawasan karena memudahkan dalam mengaksesnya serta
adanya transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Dalam kaitan proyek yang selama ini sering dituding sebagai biang keladi
KKN diharapkan dapat diminimalisir dengan lelang melaui internet (e-procurement).
Lelang melalui internet dinilai dapat memenuhi Value for Money (3E) sekaligus
terimplementasi Good Governance serta dapat memberantas KKN (Taufiq, 2004).
Pada saat ini, aplikasi e-procurement telah diterapkan di Pemerintahan kota Surabaya
dan diklaim memberikan efisiensi sebesar 30% hingga 50% bagian anggaran
pemerintahan setempat (Agung, 2004). Disinyalir mampu menghemat anggaran
negara hingga mencapai 10 - 20 persen dari total biaya tender serta sekitar 70 – 80
persen untuk biaya operasional (Sulaiman, 2005).
Penelitian terkait dengan Good Governance sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti, seperti Pohan (2000), Hamzah (2007), Coryanata (2007), dan Pratolo (2007).
Penelitian yang berkaitan dengan e-procurement dilakukan oleh Kartikaningrum
(2007). Namun penelitian e-procurement yang berkaitan dengan good governance
belum banyak dilakukan, maka dari itu penulis mengambil judul “Pengaruh EProcurement Terhadap Good Governance”.
Tujuan dari penelitian ini untuk menguji pengaruh prinsip-prinsip berupa
efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi, keadilan, dan tanggung jawab dalam eprocurement terhadap terwujudnya good governance.
2. Landasan Teori dan Hipotesis Penelitian
2.1. Pengadaan Barang/Jasa
Pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana dimaksud oleh Keputusan
Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang
atau Jasa Pemerintah, antara lain: (1) Pengadaan barang atau jasa pemerintah adalah
kegiatan pengadaan barang atau jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik secara
swakelola maupun oleh penyedia barang atau jasa; (2) Pengguna barang atau jasa
pemerintah adalah kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemimpin bagian
proyek/pengguna anggaran daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan
unit kerja/proyek tertentu; (3) Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau
perseorangan dengan kegiatan usahanya menyediakan barang/jasa; (4) Kepala
2
kantor/satuan kerja adalah pejabat struktural departemen/lembaga yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh dana
anggaran belanja rutin APBN.
Menurut Erik Siagian (2007) pengadaan barang/jasa pemerintah secara umum
dibagi kedalam dua kategori, yaitu: 1. Dengan cara melalui rekanan atau penyediaan
barang/jasa dari luar instansi yang bersangkutan atau dengan kata lain cara ini
dilakukan dengan mengundang pihak lain untuk berperan serta dalam pengadaan
untuk memenuhi keperluan instansi pemerintahan yang bersangkutan; dan 2. Dengan
cara swakelola artinya pemerintah mengadakan sendiri barang/jasa yang dibutuhkan
tanpa mengundang pihak lain untuk berperan serta dalam pekerjaan yang dimaksud.
Menurut Lubis (2006:23) ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses
pengadaan barang/jasa pemerintahan (procurement), yaitu: a. Tahap penilaian
kebutuhan dan penentuan kebutuhan; b. Tahap persiapan perencanaan dan persiapan
dokumen tender; c. Tahap seleksi peserta dan penentuan pemenang; d. Tahap
pelaksanaan pekerjaan; e. Tahap keuangan dan audit.
Prinsip-prinsip Pengadaan barang/jasa yang baik dilingkungan instansi
Pemerintahan sesuai dengan Keputusan Presiden RI wajib dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus
diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan; 2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan pemerintah; 3. Bersaing, berarti
pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui pelelangan/seleksi dan persaingan
yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan; 4. Transparan,
berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk
syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, penetapan calon penyedia
barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa (peserta pelelangan,
pemilihan langsung, penunjukkan langsung) yang berminat bagi masyarakat luas pada
umumnya; 5. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan tertentu; dan 6. Bertanggung jawab,
berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
2.2. E-Procurement
E-procurement banyak diartikan sebagai proses menyeluruh dari pengadaan
barang/jasa mulai dari proses awal sampai proses pembayaran secara elektronik.
Pengertian e-Procurement sesuai (PERWALI 14, 2007) adalah sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah yang didalamnya termasuk program komputer berbasis web
untuk memfasilitasi rangkaian proses pemilihan penyedia barang/jasa yang meliputi
e-Tendering dan e-Selection. Tujuan e-Procurement adalah: a. Memudahkan
sourcing, proses pengadaan, dan pembayaran; b. Komunikasi On-line antara buyers
dengan vendors; c. Mengurangi biaya proses administrasi pengadaan; dan d.
Menghemat biaya dan mempercepat proses. Pihak-pihak yang terkait dengan eprocurement adalah procury, atau pihak instansi yang menyelenggarakan pelaksanaan
e-procurement dan supplier, atau pihak penyedia barang/jasa. Dalam prakteknya,
setiap procury mempunyai wewenang untuk menentukan prosedur apa yang akan
dipakai dalam melaksanakan e-procurement. Menurut Sanders dalam Sulinar (2006),
3
terdapat tiga macam prosedur yaitu: 1. Prosedur terbuka, yaitu semua pihak (supplier)
mempunyai peluang mengajukan penawaran untuk mengikuti tender; 2. Prosedur
terbatas, dalam proses ini hanya pihak-pihak yang diundang oleh procury-lah yang
berpeluang untuk mengikuti tender; 3. Prosedur negosiasi, diberlakukan apabila
terdapat pengecualian terhadap suatu hal atau kondisi luar biasa. Terdapat dua jenis
prosedur negosiasi, yaitu (1) Prosedur negosiasi dengan penerbitan suatu pesan
khusus dari procury dan (2) Prosedur negosiasi tanpa pesan khusus dari procury.
Secara praktik tiap negara dapat mengaplikasi e-procurement-nya berbeda
tergantung dari kondisi dan situasi negara masing-masing. Akan tetapi menurut
Graham dalam Sulinar (2006) pada umumnya e-procurement dibagi dalam 4 tahap
yaitu: 1. Access to information about contract.; 2. Pre-qualification; 3. Tendering;
dan 4. Qualification and Debriefing.
2.3. Good Governance
Secara konseptual pengertian baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang
baik (good governance) mengandung dua pemahaman, yaitu: 1. Nilai yang
menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, dan 2. Aspek fungsional dari
pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai
tujuan tersebut. Sementara itu, World Bank mendefinisikan good governance sebagai
suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Good governance menjadi prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk
mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka mencapai tujuan serta cita-cita
bangsa. Untuk mencapai tujuan serta cita-cita tersebut, maka terdapat sembilan
prinsip utama good governance yang diungkapkan oleh UNDP yang perlu dipahami
dan diimplementasikan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan.
Sembilan prinsip utama good governance, yaitu: 1. Participation; 2. Rule of law; 3.
Transparency; 4. Responsiveness; 5. Consensus orientation; 6. Equity; 7. Efficiency
and Effectiveness; 8. Accountability; dan 9. Strategic vision. Kesembilan prinsip
tersebut, merupakan bagian yang penting dalam setiap penentuan kebijakan publik,
implementasi, dan pertanggungjawabannya dalam bingkai good governance. Tiap
prinsip diperlukan untuk mencapai prinsip yang lain. Meskipun demikian, partisipasi
menjadi kunci dari semua prinsip tersebut.
Menurut Effendi (2007) terdapat beberapa manfaat yang diperoleh dengan
adanya pemanfaatan good governance, antara lain: 1. Berkurangnya secara nyata
praktik KKN di birokrasi yang ditunjukkan oleh tidak adanya atau berkurangnya
manipulasi pajak, pungutan liar, manipulasi tanah, pemalsuan dokumen,
penggelembungan nilai kontrak, dan sebagainya; 2. Terciptanya sistem kelembagaan
dan ketatalaksanaan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, efisien, efektif,
transparan, profesional dan akuntabel, ditandai kelembagaan/ketatalaksanaan yang
lebih baik, bersih, efektif, ramping dan fleksibel, hubungan kerja antar instansi
pemerintah pusat dan daerah yang lebih baik, administrasi pemerintahan dan
kearsipan yang berkualitas, penyelamatan, pelestarian, dan pemeliharaan
dokumen/arsip negara, serta hasil kerja organisasi dan prestasi pegawai yang semakin
baik; 3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan
berkurangnya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih; 4. Meningkatnya
4
partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, forum konsultasi publik,
pemberantasan korupsi, dan pemberian penghargaan atas kepedulian masyarakat; 5.
Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan
di tingkat pusat dan daerah, serta berkurangnya perbuatan tindak pidana korupsi.
2.4. Pengaruh E-procurement Terhadap Good Governance
Sebelum adanya e-procurement, pengadaan barang/jasa pemerintah masih
memiliki kelemahan dalam sistem prosedur, diantaranya: 1. Tidak transparan/terbuka;
2. Tidak dapat diketahui dengan mudah dan terus-menerus; 3. Ketentuan-ketentuan
pengadaan tidak jelas dan multitafsir serta persyaratan-persyaratan yang berlebihan; 4.
Adanya peluang yang memungkinkan stake holder terkait untuk saling intervensi; 5.
Tata cara evaluasi penawaran yang kurang jelas mengandung ketidakpastian; dan 6.
Menghasilkan penyedia jasa yang diragukan kemampuan dan keahliannya untuk
dapat menyelesaikan pekerjaan yang berkualitas.
Dilihat dari kelemahan sistem prosedur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum diberlakukannya e-procurement sangat
tidak efisien dan efektif. Dengan adanya e-procurement diharapkan dalam pengadaan
barang/jasa pemerintah sesuai dengan prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah,
yaitu efisien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan tanggung
jawab. Dengan terpenuhinya prinsip tersebut, maka pemerintah dapat menciptakan
good governance, yang mana prinsip dalam pengadaan barang/jasa tersebut
memenuhi kriteria sebagaimana suatu pemerintahan dapat dikatakan sebagai good
governance.
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai e-procurement telah dilakukan sebelumnya oleh
Kartikaningrum (2007) terkait dengan hubungan e-procurement terhadap Pengadaan
Barang pada Bagian Perlengkapan Pemerintah Kota Surabaya. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan e-procurement terhadap pengadaan barang, selain itu
juga terdapat hubungan indikator e-procurement, yaitu transparansi, efektifitas dan
efisiensi terhadap pengadaan barang. Besarnya hubungan e-procurement terhadap
pengadaan barang adalah 66%. Sedangkan besarnya hubungan indikator transparansi
e-procurement terhadap pengadaan barang adalah 53% dan indikator efisiensi dan
efektifitas e-procurement terhadap efisiensi dan efektifitas pengadaan barang adalah
62%. Dengan demikian pengadaan barang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
sebanyak 32%.
2.6. Desain Penelitian
Adapun desain penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
e-Procurement
efisien
efektif
Bersaing
Transparan
Keadilan
Tanggung jawab
Good Governance
Regresi
Gambar 2.1
Desain Penelitian
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
5
H1
H2
H3
H4
H5
H6
: Efisiensi dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Efektifitas dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Kompetisi/daya saing dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap
good governance.
: Transparansi dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Keadilan dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Tanggung jawab dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
3. Metoda Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Pemerintah Kota Surabaya
(Pemkot). Sampel penelitian ini adalah pegawai Pemkot yang pernah melakukan
kegiatan e-procurement. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode
purposive sampling. Data diperoleh dengan membuat daftar pertanyaan (kuisioner).
Penyebaran kuisioner dilakukan secara langsung (kuisioner diantarkan secara
langsung ke responden/instansi yang bersangkutan). Kuisioner disebarkan sebanyak
79 eksemplar, kepada setiap SKPD yang berjumlah 23 dinas, 5 Badan, 4 Kantor dan 9
Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD di bawah Pemkot
Surabaya, dan anggota ULP (Unit Pelayanan Pengadaan) yang berjumlah 38 orang.
3.2. Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen
berupa efisien, efektif, daya saing, transparansi, keadilan, dan tanggung jawab dalam
e-procurement serta variabel dependen berupa good governance.
3.3. Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran Variabel
Agar tidak terjadi salah pengertian, dalam variabel penelitian yang digunakan
berikut ini diberikan definisi secara operasional dan pengukuran dari masing-masing
variabel.
1. Efisien (X1), berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang
ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Variabel ini diperoleh dengan kuisioner yang terdiri dari 4 item berupa biaya
proses dan administrasi, kecepatan proses, kemudahan dan anggaran.
2. Efektif (X2), berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang
telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai
dengan sasaran yang ditetapkan pemerintah. Variabel ini diperoleh dengan
kuisioner yang terdiri dari 2 item berupa kesesuaian dan manfaat.
3. Daya saing (X3), berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui
pelelangan/seleksi dan persaingan yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang
setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur
yang jelas dan transparan. Variabel ini diperoleh dengan kuisioner yang terdiri
dari 3 item berupa persaingan, standar, dan kerahasiaan.
4. Transparan (X4), berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan
barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi,
penetapan calon penyedia barang/jasa sifatnya terbuka bagi peserta penyedia
6
barang/jasa (peserta pelelangan, pemilihan langsung, penunjukkan langsung) yang
berminat bagi masyarakat luas pada umumnya. Variabel ini diperoleh dengan
kuisioner yang terdiri dari 4 item berupa ketentuan dan informasi, teknis
administrasi, pemenang, dan terbuka.
5. Adil/tidak diskriminatif (X5), berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan tertentu. Variabel ini diperoleh
dengan kuisioner yang terdiri dari 3 item yaitu perlakuan, ketentuan sama dan
KKN.
6. Tanggung jawab (X6), berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan
maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku
dalam pengadaan barang/jasa. Variabel ini diperoleh dengan kuisioner yang terdiri
dari 2 item yaitu kinerja dan akses.
7. Good governance (Y) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid
dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dan menjaga kesinergian interaksi
antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Variabel ini diperoleh dengan
kuisioner yang terdiri dari 9 item yang terdiri dari partisipasi, aturan hukum,
transparansi, daya tanggap, berorientasi, berkeadilan, efektifitas dan efisiensi,
akuntabilitas serta visi strategi.
3.4. Teknik Analisis
Teknik analisis dilakukan dengan analisis regresi linier. Analisis regresi linier
untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Sebelum
melakukan regresi linier, maka dilakukan uji validitas, reliabilitas dan asumsi klasik
berupa normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. Uji
validitas dilakukan dengan korelasi antara item variabel dengan total item variabel,
Uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai Cronbach Alpha. Apabila nilai
Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6, maka data dapat dikatakan reliabel. Uji
normalitas dilihat dari nilai Kolmogorov-Smirnov. Apabila nilai signifikansi hasil uji
Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari 0,05, maka data dapat dikatakan normal. Uji
autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson (DW). Apabila nilai DW terletak
diantara du dan 4 – du, maka data terbebas dari autokorelasi. Uji multikolinearitas
dengan Varians Inflation Factor (VIF) dan tolerance value. Apabila nilai VIF < 10
dan tolerance value > 0,1, maka variabel tersebut tidak terkena multikolinearitas. Uji
heteroskedastisitas digunakan uji glesjer. Apabila nilai signifikansi lebih besar dari
0,05, maka variabel penelitian terbebas dari heteroskedastisitas.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Hasil Uji Validitas, Reliabilitas dan Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan uji regresi linier, maka dilakukan uji validitas dan uji
reliabilitas. Hasil uji validitas antara item pertanyaan dengan total item pertanyaan
menunjukkan variabel efisiensi (X1), efektifitas (X2), daya saing (X3), transparansi
(X4), keadilan (X5), bertanggungjawab (X6) dan good governance (Y) adalah valid.
Hasil uji reliabilitas dengan Cronbach Alpha menunjukkan nilai Cronbach Alpha
pada efisiensi (X1), efektifitas (X2), daya saing (X3), transparansi (X4), tanggung
jawab (X6) dan good governance (Y) lebih besar dari 0,6, sedangkan keadilan (X5)
nilainya kurang dari 0,6. Ini menunjukkan bahwa data pada variabel efektifitas, daya
saing, transparansi, tanggung jawab dan good governance adalah reliabel, sedangkan
keadilan tidak reliabel. Untuk itu, dalam penelitian ini variabel keadilan dikeluarkan
dari pengujian dikarenakan tidak reliabel.
7
Hasil uji asumsi klasik berupa normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan
heteroskedastisitas. Hasil pengujian normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Ini menunjukkan data dapat
dikatakan normal. Hasil pengujian autokorelasi menunjukkan nilai Durbin-Watson
adalah 1,827. Nilai ini terletak diantara du dan 4 – du, sehingga variabel-variabel
dalam penelitian ini terbebas dari autokorelasi. Pada pengujian multikolinearitas
dengan melihat nilai VIF dan tolerance value pada variabel-variabel penelitian
menunjukkan nilai VIF dibawah 10 dan tolerance value lebih besar dari 0,1. Ini
menunjukkan variabel-variabel penelitian tidak terkena multikolinearitas. Hasil
pengujian heteroskedastisitas dengan uji glesjer menunjukkan nilai signifikansi lebih
besar dari 0,05. Ini menunjukkan data dalam penelitian ini terbebas dari
heteroskedastisitas.
4.2. Hasil Uji Regresi Linier
Hasil uji regrsi linier antara variabel independen berupa efisiensi, efektifitas,
daya saing, transparansi, dan bertanggungjawab terhadap variabel dependen berupa
good governance dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel
Hasil Pengujian Regresi Linier Antara Variabel Independen (Efisiensi, Efektifitas,
Daya Saing, Transparansi dan Bertanggung Jawab)
Terhadap Variabel Dependen (Good Governance)
Variabel
Koefisien
t-test
Sig.
Konstanta
0,366
0,917
0,363
Efisien*
0,232
3,002
0,004
Efektif
0,064
1,190
0,239
Daya Saing
0,138
1,248
0,217
Transparansi**
0,259
2,491
0,016
Tanggung Jawab
0,130
1,658
0,103
R square = 0,666
F-test = 19,621; Sig. = 0,000
Sumber: Data Primer Diolah
Variabel Independen = Good Governance
Sig. = 0,01*; = 0,05**
Hasil uji regresi parsial memperoleh t hitung untuk variabel efisiensi sebesar
3,002 dengan taraf signifikan 0,004 sehingga hipotesis H1 diterima. Ini menunjukkan
efisiensi berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh efisien
dalam e-procurement yang signifikan terhadap good governance disebabkan adanya
penggunaan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pada variabel efektif diperoleh t hitung sebesar 1,190 dengan
taraf signifikan 0,239 sehingga hipotesisi H2 ditolak. Ini menunjukkan efektifitas tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh efektif dalam eprocurement yang tidak signifikan terhadap good governance dikarenakan dengan
adanya pengadaan barang dan jasa, baik secara tradisional maupun elektronik ternyata
belum memberikan manfaat besar kepada masyarakat. Dengan kata lain, pengadaan
barang dan jasa hanya melihat apa yang dibutuhkan tanpa melihat guna barang atau
jasa tersebut untuk masyarakat. Terbukti banyaknya pengadaan seperti komputer,
mobil dinas, dan sebagainya yang hanya melihat seberapa kebutuhan pemerintah,
tetapi dengan adanya kerusakan jalan, masyarakat membutuhkan waktu yang lama
untuk mendapatkan perbaikan tersebut.
8
Pada variabel daya saing diperoleh t hitung sebesar 1,248 dengan taraf
signifikan 0,217 sehingga hipotesis H3 ditolak. Ini menunjukkan daya saing tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh daya saing dalam
e-procurement yang tidak signifikan terhadap good governance dikarenakan masih
adanya kerjasama antara pihak penyedia dengan pihak pemerintah walaupun telah
menggunakan sistem e-procurement. Hal ini dapat diamati dalam setiap pengadaan
barang dan jasa pasti ada dari pihak pemerintah yang ikut dalam tender walaupun atas
nama instansi atau perusahaan lain. Hal ini tentunya dapat mengurangi porsi penyedia
barang/jasa lainnya yang seharusnya 100% dapat berkurang karena adanya penyedia
barang dan jasa dari pihak Pemkot sendiri.
Pada variabel transparansi diperoleh t hitung sebesar 2,491 dengan taraf
signifikan 0,016 sehingga hipotesis H4 diterima. Ini menunjukkan transparansi
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh transparansi
dalam e-procurement yang signifikan terhadap good governance disebabkan dalam
proses pengadaan barang dan jasa semua ketentuan dan informasi mengenai
pengadaan barang dan jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara
evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta
penyedia barang/jasa yang berminat bagi masyarakat luas pada umumnya. Pada
variabel tanggungjawab diperoleh t hitung sebesar 1,658 dengan taraf signifikan 0,103
sehingga H6 ditolak. Ini menunjukkan tanggungjawab tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap good governance. Pengaruh tanggungjawab dalam e-procurement
yang tidak signifikan terhadap good governance dikarenakan pencapaian sasaran fisik
belum maksimal, begitu juga dengan manfaat bagi kelancaran tugas umum
pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Hasil uji regresi linier secara simultan menunjukkan variabel independen
berupa (efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi dan tanggung jawab
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen berupa good governance.
E-Procurement memberikan kemudahan dalam proses pengadaan barang/jasa
pemerintah. Didalam e-procurement memiliki prinsip-prinsip yang harus dijalankan
demi mencapai pengadaan barang/jasa yang baik. Setelah pemerintah mampu
menjalankan good procurement governance, tentunya akan berdampak langsung
terhadap terwujudnya good governance. Pengaruh e-procurement terhadap
terwujudnya good governance disebabkan, prinsip-rinsip dalam e-procurement telah
memenuhi syarat terhadap terwujudnya good governance. Dimana efisien, efektif,
persaingan, transparansi, dan tanggung jawab sangat dibutuhkan dalam e-procurement
begitu juga dengan good governance. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan
barang/jasa yang baik melalui media elektronik ternyata mampu mendukung
terwujudnya good governance. Nilai R square sebesar 0,666 menunjukkan variabelvariabel independen berupa efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi, dan
tanggung jawab dapat menjelaskan variabel dependen berupa good governance
sebesar 66,6%, sedangkan 33,4% dijelaskan oleh variabel-variabel lain seperti
ekonomis, aturan/hukum, informasi dan komunikasi, baik dari pihak panitia maupun
penyedia barang jasa, dan sebagainya.
5. Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka kesimpulan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pengujian secara parsial menunjukkan variabel efisiensi dan transparansi
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance, sedangkan efektif, daya
9
saing dan tanggung jawab tidak berpengaruh secara signifikan terhadap good
governance.
2. Pengujian secara simultan menunjukkan variabel independen berupa efisiensi,
efektifitas, daya saing, transparansi dan tanggung jawab berpengaruh secara
signifikan terhadap good governance.
3. Nilai R square sebesar 66,6% menunjukkan variabel-variabel independen berupa
efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi, dan tanggung jawab dapat
menjelaskan sebesar 66,6% terhadap variabel dependen berupa good governance,
sedangkan 33,4 dijelaskan oleh variabel-variabel lain seperti ekonomis,
aturan/hukum, informasi dan telekomunikasi, dan sebagainya.
5.2.Saran
Mengacu pada kesimpulan tersebut, maka saran penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Prinsip-prinsip dalam pengadaan barang dan jasa secara elektronik untuk
ditindaklanjuti secara cepat dan tepat untuk menjamin terealisasinya pengadan
barang dan jasa yang baik.
2. Perlu ditingkatkan pelaksanaan komunikasi baik antar Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) maupun peserta penyedia barang dan jasa/masyarakat secara luas
dalam pelaksanaan e-procurement dimana informasi harus disampaikan dengan
sejelas-jelasnya, setepat-tepatnya dan seakurat mungkin serta dapat dipahami agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
3. Dalam rangka pelaksanaan tugas selalu memperhatikan peraturan-peraturan yang
berlaku, selalu memperhatikan dan mengevaluasi sumber daya aparat serta selalu
diupayakan peningkatan-peningkatan dan kemampuan agar dalam pelaksanaan
setiap tugas baik yang berkaitan dengan pelaksanaan e-procurement maupun tugas
lain dapat dihandalkan sebagai suatu sumber kekuatan yang positif dalam
mencapai good governance.
DAFTAR PUSTAKA
Alhusin, Syahri. 2003. Aplikasi Statistik Praktis. Edisi kedua. Edisi Revisi.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Coryanata, Isma. 2007. Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat dan Transparansi
Kebijakan Publik Sebagai Pemoderating Hubungan Pengetahuan Dewan
tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Makasar :
Simposium Nasional Akuntansi X.
Dajan, Anto. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. Jakarta : PT. Pustaka LP3S.
Effendi, Taufiq. 2007. Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good
Governance. http://www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 21 Desember 2007.
Hamzah, Ardi. 2007. Analisa Good Governance Dan Value For Money Dalam
Perencanaan dan penganggaran Daerah.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk
Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta : BPFE
Jasin, Moh dkk. 2007. Memahami untuk Melayani Melaksanakan e-Announcement
dan e-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa. Jakarta : KPK.
10
Kartikasari. 2007. Pengaruh e-Procurement terhadap Pengadaan Barang pada
Bagian Perlengkapan. Surabaya : Univ. Bhayangkara.
Keppres No.80 Tahun 2003. Tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
Lubis, Todung Mulya. 2006. Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa.
Jakarta : Transparency Internasional Indonesia.
Mardiasmo. 2003. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Andi.
Peraturan Walikota Surabaya No. 14 Tahun 2007. Tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan dan Pengendalian Belanja Daerah.
Pohan, Max H. 2000. Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good
Governance) dalam Era Otonomi Daerah.
Pratolo, Surya. 2007. Pengaruh Audit Manajemen, Komitmen Organisasi Manajer,
Pengendalian Intern Terhadap Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
dan Kinerja Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Surabaya : Konferensi
Penelitian Akuntansi Sektor Publik Pertama.
Putranto, Suryadhi Joko. 2007. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Dalam Menunjang pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Rahardjo, Agus. 2007. E-Governance Awards 2007. http://www.wartaekonomi.co.id.
Diakses pada tanggal 21 Desember 2007.
Rosjidi. 2001. Akuntansi Sektor Publik Pemerintah. Surabaya : Aksara Satu.
Siagian, Erik. 2007. Pelaksanaan Pekerjaan Swakelola Salah Satu Metode
Pengadaan Barang/Jasa yang Efisien dan Efektif.
Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitians. Bandung : Alfa Beta.
Umar, Husein. 2007. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta :
Grafindo.
11
Astri Damayanti
Ardi Hamzah
Fakultas Ekonomi Universitas Trunojoyo
Abstract
The aim of this research to examine the effect of e-procurement in efficiency,
effectivity, competitiveness, transparency and responsibility on good governance. The
research sample that used is 79 government apparatus that conduct to activity eprocurement. The analysis method of this research used linear regression. The result
of research with partially regression indicate that efficiency and transparency have
significantly effect on good governance, while effectivity, competitiveness, and
responsibility have not significantly effect on good governance. The result of research
with simultantly effect indicate that e-procurement in efficiency, effectivity,
competitiveness, transparency, and responsibility have significantly effect on good
governance. The value R2 is 66,6% indicate that e-procurement in efficiency,
effectivity, competitiveness, transparency and responsibility gave to contribution is
66,6% on good governance, while 33,4% cause by others factors such as economic,
regulation/law, information and telecommunication et cetera.
Key words: e-procurement, efficiency, effectivity, competitiveness, transparency,
responsibility, good governance.
1. Latar Belakang Masalah
Good Governance merupakan paradigma yang menegaskan pentingnya
kesetaraan, kesinergian dan kerjasama hubungan antara pemerintah (pemerintah pusat
dan daerah), pengusaha, dan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Secara definitif
Good Governance dapat diartikan sebagai suatu penyelenggaraan manajemen
pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan prinsip
demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran alokasi dana investasi yang salah dan
pencegahan korupsi maupun administrasi, menjalankan disiplin anggaran serta
menciptakan legal dan political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha
(Mardiasmo, 2004). Oleh karena itu, partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan
keadilan menjadi syarat mutlak terwujudnya Good Governance karena dengan
keempat hal tersebut semua aktivitas publik dapat dipertanggungjawabkan, sehingga
hak-hak publik dapat dipenuhi.
Aktivitas-aktivitas di instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun
daerah dalam hal ini aktivitas pengadaan barang/jasa (procurement) merupakan salah
satu celah yang mencederai Good Governance dengan kemungkinan terjadinya
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Sistem pengadaan barang/jasa yang
dilaksanakan selama ini di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) masih
menggunakan pola lama yang memungkinkan terjadinya “kontak” antara pejabat yang
bertanggungjawab dalam pengadaan dengan penyediaan barang/jasa. Kontak inilah
yang memungkinkan terjadinya “deal” sehingga pengadaan menjadi tidak ekonomis,
efisien dan efektif. Survei di beberapa negara menunjukkan bahwa ada
kecenderungan dari aparat pemerintahan untuk tidak melaksanakan secara on-line,
1
karena mereka lebih menyukai metode pelayanan tradisional yang berupa tatap muka
langsung, surat menyurat, ataupun telepon yang rawan KKN (Safrial, 2005).
Proses pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah sebenarnya telah diatur
secara terperinci dalam Keppres yang terkait, berupa Keppres Nomor 80 Tahun 2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang direvisi
melalui Keppres Nomor 61 Tahun 2004. Permasalahan yang timbul kemudian adalah
terjadinya berbagai bentuk praktek pengadaan barang/jasa pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun daerah yang secara “kemasan” telah memenuhi syarat perundangundangan dan peraturan yang berlaku, namun prakteknya masih ada yang merugikan
keuangan negara dan kepentingan masyarakat. Kerugian tersebut dapat ditinjau dari
sudut mutu, jumlah, manfaat, sasaran, waktu penyerahan, serta harga barang.
Hal tersebut diatas terjadi karena praktek pengadaan barang/jasa pemerintahan
belum pada prinsip-prinsip Good Procurement Governance yang berbasis pada asas
partisipasi, transparansi, efisiensi, efektifitas, akuntabilitas, dan keadilan. Usaha
pencegahan yang sistematis dan terintegrasi melalui pemanfaatan kemajuan teknologi
sangat diperlukan. Proses pengadaan barang/jasa yang terbuka melalui internet (eprocurement) lebih memungkinkan adanya partisipasi langsung dari masyarakat,
berupa pemantauan dan pengawasan karena memudahkan dalam mengaksesnya serta
adanya transparansi, akuntabilitas, dan keadilan.
Dalam kaitan proyek yang selama ini sering dituding sebagai biang keladi
KKN diharapkan dapat diminimalisir dengan lelang melaui internet (e-procurement).
Lelang melalui internet dinilai dapat memenuhi Value for Money (3E) sekaligus
terimplementasi Good Governance serta dapat memberantas KKN (Taufiq, 2004).
Pada saat ini, aplikasi e-procurement telah diterapkan di Pemerintahan kota Surabaya
dan diklaim memberikan efisiensi sebesar 30% hingga 50% bagian anggaran
pemerintahan setempat (Agung, 2004). Disinyalir mampu menghemat anggaran
negara hingga mencapai 10 - 20 persen dari total biaya tender serta sekitar 70 – 80
persen untuk biaya operasional (Sulaiman, 2005).
Penelitian terkait dengan Good Governance sudah dilakukan oleh beberapa
peneliti, seperti Pohan (2000), Hamzah (2007), Coryanata (2007), dan Pratolo (2007).
Penelitian yang berkaitan dengan e-procurement dilakukan oleh Kartikaningrum
(2007). Namun penelitian e-procurement yang berkaitan dengan good governance
belum banyak dilakukan, maka dari itu penulis mengambil judul “Pengaruh EProcurement Terhadap Good Governance”.
Tujuan dari penelitian ini untuk menguji pengaruh prinsip-prinsip berupa
efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi, keadilan, dan tanggung jawab dalam eprocurement terhadap terwujudnya good governance.
2. Landasan Teori dan Hipotesis Penelitian
2.1. Pengadaan Barang/Jasa
Pengadaan barang/jasa pemerintah sebagaimana dimaksud oleh Keputusan
Presiden RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang
atau Jasa Pemerintah, antara lain: (1) Pengadaan barang atau jasa pemerintah adalah
kegiatan pengadaan barang atau jasa yang dibiayai dengan APBN/APBD, baik secara
swakelola maupun oleh penyedia barang atau jasa; (2) Pengguna barang atau jasa
pemerintah adalah kepala kantor/satuan kerja/pemimpin proyek/pemimpin bagian
proyek/pengguna anggaran daerah/pejabat yang disamakan sebagai pemilik pekerjaan
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa dalam lingkungan
unit kerja/proyek tertentu; (3) Penyedia barang/jasa adalah badan usaha atau
perseorangan dengan kegiatan usahanya menyediakan barang/jasa; (4) Kepala
2
kantor/satuan kerja adalah pejabat struktural departemen/lembaga yang
bertanggungjawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang dibiayai oleh dana
anggaran belanja rutin APBN.
Menurut Erik Siagian (2007) pengadaan barang/jasa pemerintah secara umum
dibagi kedalam dua kategori, yaitu: 1. Dengan cara melalui rekanan atau penyediaan
barang/jasa dari luar instansi yang bersangkutan atau dengan kata lain cara ini
dilakukan dengan mengundang pihak lain untuk berperan serta dalam pengadaan
untuk memenuhi keperluan instansi pemerintahan yang bersangkutan; dan 2. Dengan
cara swakelola artinya pemerintah mengadakan sendiri barang/jasa yang dibutuhkan
tanpa mengundang pihak lain untuk berperan serta dalam pekerjaan yang dimaksud.
Menurut Lubis (2006:23) ada beberapa tahap yang harus dilalui dalam proses
pengadaan barang/jasa pemerintahan (procurement), yaitu: a. Tahap penilaian
kebutuhan dan penentuan kebutuhan; b. Tahap persiapan perencanaan dan persiapan
dokumen tender; c. Tahap seleksi peserta dan penentuan pemenang; d. Tahap
pelaksanaan pekerjaan; e. Tahap keuangan dan audit.
Prinsip-prinsip Pengadaan barang/jasa yang baik dilingkungan instansi
Pemerintahan sesuai dengan Keputusan Presiden RI wajib dilaksanakan sesuai dengan
prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Efisien, berarti pengadaan barang/jasa harus
diusahakan dengan menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai
sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan; 2. Efektif, berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan
kebutuhan yang telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya sesuai dengan sasaran yang ditetapkan pemerintah; 3. Bersaing, berarti
pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui pelelangan/seleksi dan persaingan
yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat/kriteria
tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur yang jelas dan transparan; 4. Transparan,
berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan barang/jasa, termasuk
syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi, penetapan calon penyedia
barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta penyedia barang/jasa (peserta pelelangan,
pemilihan langsung, penunjukkan langsung) yang berminat bagi masyarakat luas pada
umumnya; 5. Adil/tidak diskriminatif, berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan tertentu; dan 6. Bertanggung jawab,
berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan maupun manfaat bagi kelancaran
pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pelayanan masyarakat sesuai dengan
prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang/jasa.
2.2. E-Procurement
E-procurement banyak diartikan sebagai proses menyeluruh dari pengadaan
barang/jasa mulai dari proses awal sampai proses pembayaran secara elektronik.
Pengertian e-Procurement sesuai (PERWALI 14, 2007) adalah sistem pengadaan
barang/jasa pemerintah yang didalamnya termasuk program komputer berbasis web
untuk memfasilitasi rangkaian proses pemilihan penyedia barang/jasa yang meliputi
e-Tendering dan e-Selection. Tujuan e-Procurement adalah: a. Memudahkan
sourcing, proses pengadaan, dan pembayaran; b. Komunikasi On-line antara buyers
dengan vendors; c. Mengurangi biaya proses administrasi pengadaan; dan d.
Menghemat biaya dan mempercepat proses. Pihak-pihak yang terkait dengan eprocurement adalah procury, atau pihak instansi yang menyelenggarakan pelaksanaan
e-procurement dan supplier, atau pihak penyedia barang/jasa. Dalam prakteknya,
setiap procury mempunyai wewenang untuk menentukan prosedur apa yang akan
dipakai dalam melaksanakan e-procurement. Menurut Sanders dalam Sulinar (2006),
3
terdapat tiga macam prosedur yaitu: 1. Prosedur terbuka, yaitu semua pihak (supplier)
mempunyai peluang mengajukan penawaran untuk mengikuti tender; 2. Prosedur
terbatas, dalam proses ini hanya pihak-pihak yang diundang oleh procury-lah yang
berpeluang untuk mengikuti tender; 3. Prosedur negosiasi, diberlakukan apabila
terdapat pengecualian terhadap suatu hal atau kondisi luar biasa. Terdapat dua jenis
prosedur negosiasi, yaitu (1) Prosedur negosiasi dengan penerbitan suatu pesan
khusus dari procury dan (2) Prosedur negosiasi tanpa pesan khusus dari procury.
Secara praktik tiap negara dapat mengaplikasi e-procurement-nya berbeda
tergantung dari kondisi dan situasi negara masing-masing. Akan tetapi menurut
Graham dalam Sulinar (2006) pada umumnya e-procurement dibagi dalam 4 tahap
yaitu: 1. Access to information about contract.; 2. Pre-qualification; 3. Tendering;
dan 4. Qualification and Debriefing.
2.3. Good Governance
Secara konseptual pengertian baik (good) dalam istilah kepemerintahan yang
baik (good governance) mengandung dua pemahaman, yaitu: 1. Nilai yang
menjunjung tinggi keinginan/kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat
meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan (nasional) kemandirian,
pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial, dan 2. Aspek fungsional dari
pemerintah yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai
tujuan tersebut. Sementara itu, World Bank mendefinisikan good governance sebagai
suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab
yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah
alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun
administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political
framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.
Good governance menjadi prasyarat bagi setiap pemerintahan untuk
mewujudkan aspirasi masyarakat dalam rangka mencapai tujuan serta cita-cita
bangsa. Untuk mencapai tujuan serta cita-cita tersebut, maka terdapat sembilan
prinsip utama good governance yang diungkapkan oleh UNDP yang perlu dipahami
dan diimplementasikan dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pemerintahan.
Sembilan prinsip utama good governance, yaitu: 1. Participation; 2. Rule of law; 3.
Transparency; 4. Responsiveness; 5. Consensus orientation; 6. Equity; 7. Efficiency
and Effectiveness; 8. Accountability; dan 9. Strategic vision. Kesembilan prinsip
tersebut, merupakan bagian yang penting dalam setiap penentuan kebijakan publik,
implementasi, dan pertanggungjawabannya dalam bingkai good governance. Tiap
prinsip diperlukan untuk mencapai prinsip yang lain. Meskipun demikian, partisipasi
menjadi kunci dari semua prinsip tersebut.
Menurut Effendi (2007) terdapat beberapa manfaat yang diperoleh dengan
adanya pemanfaatan good governance, antara lain: 1. Berkurangnya secara nyata
praktik KKN di birokrasi yang ditunjukkan oleh tidak adanya atau berkurangnya
manipulasi pajak, pungutan liar, manipulasi tanah, pemalsuan dokumen,
penggelembungan nilai kontrak, dan sebagainya; 2. Terciptanya sistem kelembagaan
dan ketatalaksanaan pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa, efisien, efektif,
transparan, profesional dan akuntabel, ditandai kelembagaan/ketatalaksanaan yang
lebih baik, bersih, efektif, ramping dan fleksibel, hubungan kerja antar instansi
pemerintah pusat dan daerah yang lebih baik, administrasi pemerintahan dan
kearsipan yang berkualitas, penyelamatan, pelestarian, dan pemeliharaan
dokumen/arsip negara, serta hasil kerja organisasi dan prestasi pegawai yang semakin
baik; 3. Terhapusnya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif dan
berkurangnya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih; 4. Meningkatnya
4
partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, forum konsultasi publik,
pemberantasan korupsi, dan pemberian penghargaan atas kepedulian masyarakat; 5.
Terjaminnya konsistensi dan kepastian hukum seluruh peraturan perundang-undangan
di tingkat pusat dan daerah, serta berkurangnya perbuatan tindak pidana korupsi.
2.4. Pengaruh E-procurement Terhadap Good Governance
Sebelum adanya e-procurement, pengadaan barang/jasa pemerintah masih
memiliki kelemahan dalam sistem prosedur, diantaranya: 1. Tidak transparan/terbuka;
2. Tidak dapat diketahui dengan mudah dan terus-menerus; 3. Ketentuan-ketentuan
pengadaan tidak jelas dan multitafsir serta persyaratan-persyaratan yang berlebihan; 4.
Adanya peluang yang memungkinkan stake holder terkait untuk saling intervensi; 5.
Tata cara evaluasi penawaran yang kurang jelas mengandung ketidakpastian; dan 6.
Menghasilkan penyedia jasa yang diragukan kemampuan dan keahliannya untuk
dapat menyelesaikan pekerjaan yang berkualitas.
Dilihat dari kelemahan sistem prosedur tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pengadaan barang/jasa pemerintah sebelum diberlakukannya e-procurement sangat
tidak efisien dan efektif. Dengan adanya e-procurement diharapkan dalam pengadaan
barang/jasa pemerintah sesuai dengan prinsip pengadaan barang dan jasa pemerintah,
yaitu efisien, efektif, bersaing, transparan, adil/tidak diskriminatif dan tanggung
jawab. Dengan terpenuhinya prinsip tersebut, maka pemerintah dapat menciptakan
good governance, yang mana prinsip dalam pengadaan barang/jasa tersebut
memenuhi kriteria sebagaimana suatu pemerintahan dapat dikatakan sebagai good
governance.
2.5. Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai e-procurement telah dilakukan sebelumnya oleh
Kartikaningrum (2007) terkait dengan hubungan e-procurement terhadap Pengadaan
Barang pada Bagian Perlengkapan Pemerintah Kota Surabaya. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat hubungan e-procurement terhadap pengadaan barang, selain itu
juga terdapat hubungan indikator e-procurement, yaitu transparansi, efektifitas dan
efisiensi terhadap pengadaan barang. Besarnya hubungan e-procurement terhadap
pengadaan barang adalah 66%. Sedangkan besarnya hubungan indikator transparansi
e-procurement terhadap pengadaan barang adalah 53% dan indikator efisiensi dan
efektifitas e-procurement terhadap efisiensi dan efektifitas pengadaan barang adalah
62%. Dengan demikian pengadaan barang dipengaruhi oleh faktor-faktor lain
sebanyak 32%.
2.6. Desain Penelitian
Adapun desain penelitian dapat digambarkan sebagai berikut:
e-Procurement
efisien
efektif
Bersaing
Transparan
Keadilan
Tanggung jawab
Good Governance
Regresi
Gambar 2.1
Desain Penelitian
2.7. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, maka dapat diajukan
hipotesis sebagai berikut:
5
H1
H2
H3
H4
H5
H6
: Efisiensi dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Efektifitas dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Kompetisi/daya saing dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap
good governance.
: Transparansi dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Keadilan dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
: Tanggung jawab dalam e-procurement berpengaruh signifikan terhadap good
governance.
3. Metoda Penelitian
3.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Pemerintah Kota Surabaya
(Pemkot). Sampel penelitian ini adalah pegawai Pemkot yang pernah melakukan
kegiatan e-procurement. Metode penentuan sampel yang digunakan adalah metode
purposive sampling. Data diperoleh dengan membuat daftar pertanyaan (kuisioner).
Penyebaran kuisioner dilakukan secara langsung (kuisioner diantarkan secara
langsung ke responden/instansi yang bersangkutan). Kuisioner disebarkan sebanyak
79 eksemplar, kepada setiap SKPD yang berjumlah 23 dinas, 5 Badan, 4 Kantor dan 9
Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dan Sekretariat DPRD di bawah Pemkot
Surabaya, dan anggota ULP (Unit Pelayanan Pengadaan) yang berjumlah 38 orang.
3.2. Identifikasi Variabel
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel independen
berupa efisien, efektif, daya saing, transparansi, keadilan, dan tanggung jawab dalam
e-procurement serta variabel dependen berupa good governance.
3.3. Definisi Operasional Variabel dan Pengukuran Variabel
Agar tidak terjadi salah pengertian, dalam variabel penelitian yang digunakan
berikut ini diberikan definisi secara operasional dan pengukuran dari masing-masing
variabel.
1. Efisien (X1), berarti pengadaan barang/jasa harus diusahakan dengan
menggunakan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang
ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan dapat dipertanggungjawabkan.
Variabel ini diperoleh dengan kuisioner yang terdiri dari 4 item berupa biaya
proses dan administrasi, kecepatan proses, kemudahan dan anggaran.
2. Efektif (X2), berarti pengadaan barang/jasa harus sesuai dengan kebutuhan yang
telah ditetapkan dan dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya sesuai
dengan sasaran yang ditetapkan pemerintah. Variabel ini diperoleh dengan
kuisioner yang terdiri dari 2 item berupa kesesuaian dan manfaat.
3. Daya saing (X3), berarti pengadaan barang/jasa harus dilakukan melalui
pelelangan/seleksi dan persaingan yang sehat diantara penyedia barang/jasa yang
setara dan memenuhi syarat/kriteria tertentu berdasarkan ketentuan dan prosedur
yang jelas dan transparan. Variabel ini diperoleh dengan kuisioner yang terdiri
dari 3 item berupa persaingan, standar, dan kerahasiaan.
4. Transparan (X4), berarti semua ketentuan dan informasi mengenai pengadaan
barang/jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara evaluasi,
penetapan calon penyedia barang/jasa sifatnya terbuka bagi peserta penyedia
6
barang/jasa (peserta pelelangan, pemilihan langsung, penunjukkan langsung) yang
berminat bagi masyarakat luas pada umumnya. Variabel ini diperoleh dengan
kuisioner yang terdiri dari 4 item berupa ketentuan dan informasi, teknis
administrasi, pemenang, dan terbuka.
5. Adil/tidak diskriminatif (X5), berarti memberikan perlakuan yang sama bagi
semua calon penyedia barang/jasa dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan
kepada pihak tertentu dengan cara dan atau alasan tertentu. Variabel ini diperoleh
dengan kuisioner yang terdiri dari 3 item yaitu perlakuan, ketentuan sama dan
KKN.
6. Tanggung jawab (X6), berarti harus mencapai sasaran baik fisik, keuangan
maupun manfaat bagi kelancaran pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan
pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-prinsip serta ketentuan yang berlaku
dalam pengadaan barang/jasa. Variabel ini diperoleh dengan kuisioner yang terdiri
dari 2 item yaitu kinerja dan akses.
7. Good governance (Y) adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid
dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dan menjaga kesinergian interaksi
antara negara, sektor swasta dan masyarakat. Variabel ini diperoleh dengan
kuisioner yang terdiri dari 9 item yang terdiri dari partisipasi, aturan hukum,
transparansi, daya tanggap, berorientasi, berkeadilan, efektifitas dan efisiensi,
akuntabilitas serta visi strategi.
3.4. Teknik Analisis
Teknik analisis dilakukan dengan analisis regresi linier. Analisis regresi linier
untuk menguji pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen. Sebelum
melakukan regresi linier, maka dilakukan uji validitas, reliabilitas dan asumsi klasik
berupa normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan heteroskedastisitas. Uji
validitas dilakukan dengan korelasi antara item variabel dengan total item variabel,
Uji reliabilitas dilakukan dengan melihat nilai Cronbach Alpha. Apabila nilai
Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6, maka data dapat dikatakan reliabel. Uji
normalitas dilihat dari nilai Kolmogorov-Smirnov. Apabila nilai signifikansi hasil uji
Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari 0,05, maka data dapat dikatakan normal. Uji
autokorelasi dilihat dari nilai Durbin-Watson (DW). Apabila nilai DW terletak
diantara du dan 4 – du, maka data terbebas dari autokorelasi. Uji multikolinearitas
dengan Varians Inflation Factor (VIF) dan tolerance value. Apabila nilai VIF < 10
dan tolerance value > 0,1, maka variabel tersebut tidak terkena multikolinearitas. Uji
heteroskedastisitas digunakan uji glesjer. Apabila nilai signifikansi lebih besar dari
0,05, maka variabel penelitian terbebas dari heteroskedastisitas.
4. Hasil dan Pembahasan
4.1. Hasil Uji Validitas, Reliabilitas dan Asumsi Klasik
Sebelum dilakukan uji regresi linier, maka dilakukan uji validitas dan uji
reliabilitas. Hasil uji validitas antara item pertanyaan dengan total item pertanyaan
menunjukkan variabel efisiensi (X1), efektifitas (X2), daya saing (X3), transparansi
(X4), keadilan (X5), bertanggungjawab (X6) dan good governance (Y) adalah valid.
Hasil uji reliabilitas dengan Cronbach Alpha menunjukkan nilai Cronbach Alpha
pada efisiensi (X1), efektifitas (X2), daya saing (X3), transparansi (X4), tanggung
jawab (X6) dan good governance (Y) lebih besar dari 0,6, sedangkan keadilan (X5)
nilainya kurang dari 0,6. Ini menunjukkan bahwa data pada variabel efektifitas, daya
saing, transparansi, tanggung jawab dan good governance adalah reliabel, sedangkan
keadilan tidak reliabel. Untuk itu, dalam penelitian ini variabel keadilan dikeluarkan
dari pengujian dikarenakan tidak reliabel.
7
Hasil uji asumsi klasik berupa normalitas, autokorelasi, multikolinearitas, dan
heteroskedastisitas. Hasil pengujian normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov
menunjukkan nilai signifikansi lebih besar dari 0,05. Ini menunjukkan data dapat
dikatakan normal. Hasil pengujian autokorelasi menunjukkan nilai Durbin-Watson
adalah 1,827. Nilai ini terletak diantara du dan 4 – du, sehingga variabel-variabel
dalam penelitian ini terbebas dari autokorelasi. Pada pengujian multikolinearitas
dengan melihat nilai VIF dan tolerance value pada variabel-variabel penelitian
menunjukkan nilai VIF dibawah 10 dan tolerance value lebih besar dari 0,1. Ini
menunjukkan variabel-variabel penelitian tidak terkena multikolinearitas. Hasil
pengujian heteroskedastisitas dengan uji glesjer menunjukkan nilai signifikansi lebih
besar dari 0,05. Ini menunjukkan data dalam penelitian ini terbebas dari
heteroskedastisitas.
4.2. Hasil Uji Regresi Linier
Hasil uji regrsi linier antara variabel independen berupa efisiensi, efektifitas,
daya saing, transparansi, dan bertanggungjawab terhadap variabel dependen berupa
good governance dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel
Hasil Pengujian Regresi Linier Antara Variabel Independen (Efisiensi, Efektifitas,
Daya Saing, Transparansi dan Bertanggung Jawab)
Terhadap Variabel Dependen (Good Governance)
Variabel
Koefisien
t-test
Sig.
Konstanta
0,366
0,917
0,363
Efisien*
0,232
3,002
0,004
Efektif
0,064
1,190
0,239
Daya Saing
0,138
1,248
0,217
Transparansi**
0,259
2,491
0,016
Tanggung Jawab
0,130
1,658
0,103
R square = 0,666
F-test = 19,621; Sig. = 0,000
Sumber: Data Primer Diolah
Variabel Independen = Good Governance
Sig. = 0,01*; = 0,05**
Hasil uji regresi parsial memperoleh t hitung untuk variabel efisiensi sebesar
3,002 dengan taraf signifikan 0,004 sehingga hipotesis H1 diterima. Ini menunjukkan
efisiensi berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh efisien
dalam e-procurement yang signifikan terhadap good governance disebabkan adanya
penggunaan dana dan daya yang terbatas untuk mencapai sasaran yang ditetapkan
oleh pemerintah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan dapat
dipertanggungjawabkan. Pada variabel efektif diperoleh t hitung sebesar 1,190 dengan
taraf signifikan 0,239 sehingga hipotesisi H2 ditolak. Ini menunjukkan efektifitas tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh efektif dalam eprocurement yang tidak signifikan terhadap good governance dikarenakan dengan
adanya pengadaan barang dan jasa, baik secara tradisional maupun elektronik ternyata
belum memberikan manfaat besar kepada masyarakat. Dengan kata lain, pengadaan
barang dan jasa hanya melihat apa yang dibutuhkan tanpa melihat guna barang atau
jasa tersebut untuk masyarakat. Terbukti banyaknya pengadaan seperti komputer,
mobil dinas, dan sebagainya yang hanya melihat seberapa kebutuhan pemerintah,
tetapi dengan adanya kerusakan jalan, masyarakat membutuhkan waktu yang lama
untuk mendapatkan perbaikan tersebut.
8
Pada variabel daya saing diperoleh t hitung sebesar 1,248 dengan taraf
signifikan 0,217 sehingga hipotesis H3 ditolak. Ini menunjukkan daya saing tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh daya saing dalam
e-procurement yang tidak signifikan terhadap good governance dikarenakan masih
adanya kerjasama antara pihak penyedia dengan pihak pemerintah walaupun telah
menggunakan sistem e-procurement. Hal ini dapat diamati dalam setiap pengadaan
barang dan jasa pasti ada dari pihak pemerintah yang ikut dalam tender walaupun atas
nama instansi atau perusahaan lain. Hal ini tentunya dapat mengurangi porsi penyedia
barang/jasa lainnya yang seharusnya 100% dapat berkurang karena adanya penyedia
barang dan jasa dari pihak Pemkot sendiri.
Pada variabel transparansi diperoleh t hitung sebesar 2,491 dengan taraf
signifikan 0,016 sehingga hipotesis H4 diterima. Ini menunjukkan transparansi
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance. Pengaruh transparansi
dalam e-procurement yang signifikan terhadap good governance disebabkan dalam
proses pengadaan barang dan jasa semua ketentuan dan informasi mengenai
pengadaan barang dan jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata cara
evaluasi, penetapan calon penyedia barang/jasa, sifatnya terbuka bagi peserta
penyedia barang/jasa yang berminat bagi masyarakat luas pada umumnya. Pada
variabel tanggungjawab diperoleh t hitung sebesar 1,658 dengan taraf signifikan 0,103
sehingga H6 ditolak. Ini menunjukkan tanggungjawab tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap good governance. Pengaruh tanggungjawab dalam e-procurement
yang tidak signifikan terhadap good governance dikarenakan pencapaian sasaran fisik
belum maksimal, begitu juga dengan manfaat bagi kelancaran tugas umum
pemerintah dan pelayanan masyarakat.
Hasil uji regresi linier secara simultan menunjukkan variabel independen
berupa (efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi dan tanggung jawab
berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen berupa good governance.
E-Procurement memberikan kemudahan dalam proses pengadaan barang/jasa
pemerintah. Didalam e-procurement memiliki prinsip-prinsip yang harus dijalankan
demi mencapai pengadaan barang/jasa yang baik. Setelah pemerintah mampu
menjalankan good procurement governance, tentunya akan berdampak langsung
terhadap terwujudnya good governance. Pengaruh e-procurement terhadap
terwujudnya good governance disebabkan, prinsip-rinsip dalam e-procurement telah
memenuhi syarat terhadap terwujudnya good governance. Dimana efisien, efektif,
persaingan, transparansi, dan tanggung jawab sangat dibutuhkan dalam e-procurement
begitu juga dengan good governance. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengadaan
barang/jasa yang baik melalui media elektronik ternyata mampu mendukung
terwujudnya good governance. Nilai R square sebesar 0,666 menunjukkan variabelvariabel independen berupa efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi, dan
tanggung jawab dapat menjelaskan variabel dependen berupa good governance
sebesar 66,6%, sedangkan 33,4% dijelaskan oleh variabel-variabel lain seperti
ekonomis, aturan/hukum, informasi dan komunikasi, baik dari pihak panitia maupun
penyedia barang jasa, dan sebagainya.
5. Simpulan dan Saran
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka kesimpulan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Pengujian secara parsial menunjukkan variabel efisiensi dan transparansi
berpengaruh secara signifikan terhadap good governance, sedangkan efektif, daya
9
saing dan tanggung jawab tidak berpengaruh secara signifikan terhadap good
governance.
2. Pengujian secara simultan menunjukkan variabel independen berupa efisiensi,
efektifitas, daya saing, transparansi dan tanggung jawab berpengaruh secara
signifikan terhadap good governance.
3. Nilai R square sebesar 66,6% menunjukkan variabel-variabel independen berupa
efisiensi, efektifitas, daya saing, transparansi, dan tanggung jawab dapat
menjelaskan sebesar 66,6% terhadap variabel dependen berupa good governance,
sedangkan 33,4 dijelaskan oleh variabel-variabel lain seperti ekonomis,
aturan/hukum, informasi dan telekomunikasi, dan sebagainya.
5.2.Saran
Mengacu pada kesimpulan tersebut, maka saran penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Prinsip-prinsip dalam pengadaan barang dan jasa secara elektronik untuk
ditindaklanjuti secara cepat dan tepat untuk menjamin terealisasinya pengadan
barang dan jasa yang baik.
2. Perlu ditingkatkan pelaksanaan komunikasi baik antar Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) maupun peserta penyedia barang dan jasa/masyarakat secara luas
dalam pelaksanaan e-procurement dimana informasi harus disampaikan dengan
sejelas-jelasnya, setepat-tepatnya dan seakurat mungkin serta dapat dipahami agar
tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan.
3. Dalam rangka pelaksanaan tugas selalu memperhatikan peraturan-peraturan yang
berlaku, selalu memperhatikan dan mengevaluasi sumber daya aparat serta selalu
diupayakan peningkatan-peningkatan dan kemampuan agar dalam pelaksanaan
setiap tugas baik yang berkaitan dengan pelaksanaan e-procurement maupun tugas
lain dapat dihandalkan sebagai suatu sumber kekuatan yang positif dalam
mencapai good governance.
DAFTAR PUSTAKA
Alhusin, Syahri. 2003. Aplikasi Statistik Praktis. Edisi kedua. Edisi Revisi.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Coryanata, Isma. 2007. Akuntabilitas, Partisipasi Masyarakat dan Transparansi
Kebijakan Publik Sebagai Pemoderating Hubungan Pengetahuan Dewan
tentang Anggaran dan Pengawasan Keuangan Daerah (APBD). Makasar :
Simposium Nasional Akuntansi X.
Dajan, Anto. 1996. Pengantar Metode Statistik. Jilid II. Jakarta : PT. Pustaka LP3S.
Effendi, Taufiq. 2007. Agenda Strategis Reformasi Birokrasi Menuju Good
Governance. http://www.setneg.go.id. Diakses pada tanggal 21 Desember 2007.
Hamzah, Ardi. 2007. Analisa Good Governance Dan Value For Money Dalam
Perencanaan dan penganggaran Daerah.
Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002. Metodologi Penelitian Bisnis Untuk
Akuntansi dan Manajemen. Yogyakarta : BPFE
Jasin, Moh dkk. 2007. Memahami untuk Melayani Melaksanakan e-Announcement
dan e-Procurement dalam Sistem Pengadaan Barang dan Jasa. Jakarta : KPK.
10
Kartikasari. 2007. Pengaruh e-Procurement terhadap Pengadaan Barang pada
Bagian Perlengkapan. Surabaya : Univ. Bhayangkara.
Keppres No.80 Tahun 2003. Tentang Pedoman Pengadaan Barang dan Jasa
Pemerintah.
Lubis, Todung Mulya. 2006. Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa.
Jakarta : Transparency Internasional Indonesia.
Mardiasmo. 2003. Akuntansi Sektor Publik. Yogyakarta : Andi.
Peraturan Walikota Surabaya No. 14 Tahun 2007. Tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan dan Pengendalian Belanja Daerah.
Pohan, Max H. 2000. Mewujudkan Tata Pemerintahan Lokal yang Baik (Local Good
Governance) dalam Era Otonomi Daerah.
Pratolo, Surya. 2007. Pengaruh Audit Manajemen, Komitmen Organisasi Manajer,
Pengendalian Intern Terhadap Prinsip-prinsip Good Corporate Governance
dan Kinerja Badan Usaha Milik Negara di Indonesia. Surabaya : Konferensi
Penelitian Akuntansi Sektor Publik Pertama.
Putranto, Suryadhi Joko. 2007. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
Dalam Menunjang pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Rahardjo, Agus. 2007. E-Governance Awards 2007. http://www.wartaekonomi.co.id.
Diakses pada tanggal 21 Desember 2007.
Rosjidi. 2001. Akuntansi Sektor Publik Pemerintah. Surabaya : Aksara Satu.
Siagian, Erik. 2007. Pelaksanaan Pekerjaan Swakelola Salah Satu Metode
Pengadaan Barang/Jasa yang Efisien dan Efektif.
Sugiyono. 2006. Statistika Untuk Penelitians. Bandung : Alfa Beta.
Umar, Husein. 2007. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Jakarta :
Grafindo.
11