Analisis Cerpen kisah dan Novel
AKHIRNYA AKU BISA MERASAKAN
Karya : Tidak ada keterangan
Adit, itulah nama panggilanku. Aku
memiliki saudara kembar yaitu Adib.
Dia sangat cerdas dan tanggap dalam
menyelesaikan masalah. Sedangkan
aku, aku adalah kebalikan dari Adib.
Sering kali aku dibanding-bandingkan
dengan kelebihan Adib.
melaporkan kejadian tersebut pada
orang tua kami. Belum sempat
mencium tangan kedua orang tuaku,
mereka berdua langsung menuju ke
rumah sakit tersebut. Sedangkan aku
menjaga rumah demi keselamatan
bersama.
Segalanya serba Adib, aku
sendiri serasa tidak ada keunggulan
sedikitpun selain menyusahkan orang
di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan
semangat
bagi
kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua
itu dengan tanpa memandang orang
lain bicara apa, asalkan yang kau
lakukan benar”. Tidak ada sifat
kesombongan dan kecongkaan yang
tertanam dalam jiwa Adib, adikku.
Akan tetapi, seketika aku
menyapu halaman rumah malah
gunjingan dari tetangga yang ku
dapat. Mereka bilang “sudah adik
sendiri terkena musibah, malah tidak
kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi
hanya bisa mengelus dada mendengar
celotehan para tetangga.
Mama yang telah melahirkanku
pun lebih mencintai Adib, ayah yang
selalu memberi nafkah pada keluarga
kami pun memberi oleh-oleh yang
lebih istimewa kepada Adib. Ini
merupakan
deskriminasi
yang
berlebihan menurutku. Ya sudahlah,
biar tak kepanjangan pikirku, aku
positif saja dengan kehidupanku.
Tetangga yang biasanya tenteram
dengan urusan mereka, kala ini
merasa
terundang
untuk
selalu
membicarakan dan membandingkan
aku dengan Adib. Setiap aku lewat,
pastilah
lirikan
yang
tidak
menyenagkan didapati olehku. Akan
tetapi seketika Adib lewat, sapaan
demi sapaan selalu tercurahkan. Aku
hanya bisa mengelus dada saja
melihat fenomena ini.
Suatu ketika, kejadian yang
tidak diinginkan ditimpa oleh Adib.
Cairan bahan kimia mengenai kedua
matanya ketika praktik di sekolah.
Akhirnya Adib dilarikan ke rumah sakit
terdekat,
guru-guru
yang
bersangkutan serta aku pun ikut ke
rumah sakit tersebut.
Setiba di rumah, ternyata telah
ada guru perwakilan dari sekolah yang
Aku sangat sayang pada orang tua
dan adikku. Tugasku untuk menjaga
adik telah aku selesaikan walau hanya
sebentar, sedangkan tugas rumah
yang selalu dibebankan padaku belum
aku laksanakan, oleh karenanya aku
pulang
demi
melaksanakan
kewajibanku.
Setelah mengerjakan urusan
rumah, aku pun langsung mengunci
seluruh isi rumah dan pergi ke rumah
sakit untuk menjenguk serta menjaga
Adib. Tapi seketika aku sampai di
rumah sakit tepatnya di depan pintu
kamar Adib dirawat, aku mendengar
diskusi antara dokter dengan kedua
orang tuaku.
Aku tak mengira hal ini akan terjadi,
keputusan yang membuat aku berat
hati ini menjadikan aku lebih tegang
dan bahkan mengharukan dalam
hidupku. Dokter memutuskan bahwa
mata Adib tidak bisa diselamatkan
kembali, tapi dapat diganti dengan
bola mata lain baru dia bisa pulih
seperti sedia kala, itu pun jika operasi
berhasil.
Orang tuaku siap mengganti
berapa pun biaya demi keselamatan
Adib, bahkan dengan mengganti bola
mata yang baru. Aku mengira bahwa
orang tuaku akan menulis iklan dalam
media masa bahwa mereka butuh
donor mata dengan nilai rupiah yang
cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya
mimpi belaka, keputusan orang tua
yang dicurahkan terhadap dokter
adalah mengambil bola mataku untuk
Adib, sang juara keluarga.
Mengapa nasibku sungguh malang.
Aku mempunyai mimpi yang besar,
akan tetapi hal ini apakah tidak
menghalangi mimpiku? Mata adalah
salah satu organ yang sangat penting
adanya dan kegunaannya. Aku hanya
bisa menangis sejenak melihat hal
yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku
hanya bisa bergumam dan meronta
dalam hati serta mengelus dada.
Tanpa basa-basi, aku kembali ke
rumah dan merenung di kamar. Tuhan
sangat sayang padaku, dan aku pun
yakin atas hal tersebut. Aku berpikir,
jika aku tak punya mata lagi apakah
aku bisa menangis? Biarlah, aku
habiskan air mataku untuk Adib,
kebanggaan semua orang. Mungkin
dengan cara ini aku bisa mendapat
pujian dari semua orang yang kagum
atas Adib.
Keesokan harinya pun operasi
akan dilaksanakan, tanpa basa-basi
malam sebelum operasi dilakukan aku
telah siap dan berbicara pada orang
tuaku sebelum mereka bicara padaku.
Aku bisa merasakan ada air mata dari
ayahku, tapi aku tidak bisa merasakan
air mata yang ada dalam mata
mamaku, padahal yang akan aku
sumbangkan untuk Adib adalah salah
satu organ tubuh yang sangat ku
sayangi.
Hari yang ditunggu-tunggu pun
datang. Ibu sangat senang dengan
datangnya hari ini, sedangkan aku
sempat melihat di belakang sana ada
ayahku yang dari sorotan matanya
ingin mengucapkan sesuatu padaku.
Namun apa boleh buat, kini waktuku
untuk memberikan barang berhargaku
untuk adikku.
Tinggal beberapa menit lagi operasi
akan dimulai, aku memanfaatkannya
dengan memanggil ayah dan ibuku.
Aku hanya ingin memandang mereka
dengan peka, karena mungkin ini akhir
aku melihat mereka yang telah berjasa
dalam hidupku.
Aku sadar, aku tak berarti apa-apa
dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya
aku telah berbuat baik kepada kedua
orang tua dan selalu berpikiran positif
dalam
perjalanan
hidupku
serta
meyakini ada rahasia tuhan yang
tersembunyi di balik peristiwa ini
semua.
Tepat pukul 10.00 operasi
dimulai, aku siap menghadapi alat-alat
tajam yang akan mengambil mataku.
Aku tak sadarkan diri pada waktu itu,
akan tetapi kala ini aku sadar namun
terasa
ada
yang
hilang.
Ya,
kemewahan dan keindahan alam telah
hilang menurutku. Semua di dunia ini
telah musnah pikirku. Tetapi aku salah,
yang telah hilang dari keindahan
bukanlah
dunia
dan
seisinya,
melainkan
kedua
mataku
telah
hinggap pada tempat bola mata Adib
berada dulu.
Kini mimpi-mimpiku terasa telah
terhapus, aku tak bisa melakukan
aktivitas seperti biasanya. Yang aku
bisa kerjakan aku kerjakan, namun
yang tak bisa ya aku tinggalkan.
Dengan kecacatan yang aku derita ini,
aku memutuskan untuk tinggal di
kejauhan sana agar tidak membuat
malu keluarga. Ayahku tidak setuju
dengan
pikiranku,
namun
yang
membuat aku tambah mengelus dada
adalah kerelaan ibu yang begitu
memancarkan
ketidaksayangannya
dalam menyetujui keputusanku.
Ini adalah jalanku, sebelum aku
pergi jauh dan tinggal bersama orangorang yang asing pintaku hanya satu.
Aku hanya ingin berbincang-bincang
dengan keluarga sampai larut malam.
Pagi harinya, sebelum aku pergi.
Aku memberikan secarik kertas untuk
Adib, yang sempat aku tulis ketika
malam terakhir aku memiliki mata
yang sempurna. Aku tidak menulis
panjang lebar untuk Adib, namun aku
hanya menulis “Dik, Akhirnya aku bisa
merasakan ….. Akhirnya aku bisa
merasakan sepertimu, selalu dipuji,
dipandang baik dan sempurna oleh
seluruh orang. Akhirnya aku bisa
merasakan sepertimu, walau hanya
sekedar kedua bola mataku”
Hasil analisis cerpen
1. Tema
Tema atau pokok persoalan dalam cerpen Akhirnya Aku Bisa Merasakan
adalah adanya dikriminasi pada saudara kembar sehingga salah satu darinya
merasa memperoleh perlakuan yang tidak adil dari kedua orangtuanya. Hal ini
terlihat pada kutipan berikut.
“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai Adib, ayah yang selalu
memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa
kepada Adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya
sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.
2. Alur/plot
Cerpen Akhirnya aku Bisa Merasakan” diawali dengan pemaparan atau
pemberian informasi kepada pembaca tentang latar belakang tokoh si aku (Adit).
Tokoh utama, si aku menyebutkan namanya adalah Adit yang memiliki saudara
kembar (adiknya) bernama Adib. Namun Adit selalu dibandingkan dengan Adib
karena Adib memiliki kelebihan dibanding Adit. Hal ini dapat kita baca pada
kutipan berikut.
“Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu Adib. Dia
sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku, aku
adalah kebalikan dari Adib. Sering kali aku dibanding-bandingkan dengan
kelebihan Adib.”
Tahap berikutnya disebut dengan munculnya permasalahan.
3. Latar /setting
Dalam cerpen biasanya terdapat latar dan setting latar adalah tempat terjadinya
suatu peritiwa sedangkan setting adalah waktu dan suasana sebuah peristiwa
dalam cerita sedang berlangsung. Latar dalam cerita ada tiga macam, yakni:
latar tempat, latar waktu, latar social.
- Latar tempat
Latar dalam cerpen di sini adalah di dalam rumah, halaman depan rumah,
dan di rumah sakit. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanyakutipan
dibawah ini:
“Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang
melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium
tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit
tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.”
-
Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi
rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga Adib. Tapi
seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar Adib
dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
Latar Waktu
-
Latar waktu yang terjadi pada cerita ini adalah banyak sekali yakni, pagi,
siang dan sore. hal tersebut seuai dengan kutipan dibawah ini.
“Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam
yang akan mengambil mataku.”
“Akan tetapi, seketika aku menyapu halaman rumah malah gunjingan dari
tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah,
malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus
dada mendengar celotehan para tetangga.
Latar Sosial
Latar social ini menggambarkan tentang kebiasaan dan keadaan masyarakat
di tengah para tokoh dalam cerita. Dalam cerpen ini latar social digambarkan
sebagai berikut.
“Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa
terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan
Adib. Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati
olehku. Akan tetapi seketika Adib lewat, sapaan demi sapaan selalu
tercurahkan. Aku hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.”
4. Penokohan
- Tokoh aku (Adit)
Tokoh aku dalam cerpen memiliki watak yang baik, pengertian dan sabar. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini:
“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai Adib, ayah yang selalu
memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih
istimewa kepada Adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan
menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan
kehidupanku.’
- Tokoh Adib
tokoh Adib atau sadara kembar si aku ini adalah memiliki watak yang baik,
pintar dan selalu memberi semangat pada kakaknya (si aku Adit). Hal ini
digambarkan dalam kutipan berikut.
“Segalanya serba Adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun
selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan
tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”.
Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa
Adib, adikku.”
- Tokoh Ibu
Tokoh ibu dalam cerpen diatas memiliki watak yang jahat dan mempunyai
sifat diskriminasi terhadap anak kandungnnya sendiri. Sang ibu sangat
senang ketika Adit memberikan matanya kepada adiknya, Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut.
“Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan
datangnya hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada
ayahku yang dari sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku.
Namun apa boleh buat, kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku
untuk adikku.”
-
“Segalanya serba Adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun
selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan
tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”.
Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa
Adib, adikku
Tokoh Ayah
Tokoh ayah pada cerpen diatas memiliki watak yang jahat pula, tapi suatu
saat juga terkadang baik. Hal ini terbukti dengan adanya kutipan berikut.
“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai Adib, ayah yang selalu
memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih
istimewa kepada Adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan
menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan
kehidupanku.”
“Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas
seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa
ya aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan
untuk tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku
tidak setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus
dada adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya
dalam menyetujui keputusanku.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang pada cerpen diatas adalah dengan
menggunakan gaya bahasa sehari-hari yang mudah dipahami, sehingga
pembaca cerpen ini dapat meresapi, menghayati dan memahami cerita dengan
mudah.
6. Sudut Pandang
Dalam cerpen Akhirnya Aku Bisa Merasakan pengarang menggunakan sudut
pandang orang pertama yakni aku. Pengarang mengungkapkan perasaannya
sendiri dengan kata-katanya sendiri pula. Dalam cerita kadang kala pengarang
menjadi pencerita. Dalam cerpen pengarang menggunakan kata ganti aku
7. Pesan atau Amanat
Pesan atau amanat yang terkandung dalam cerpen diatas adalah:
- Sebagai orang tua seharusnya tidak boleh memperlakukan seorang anak
dengan cara tidak adil
- Sebagai orang tua harus menerima kelebihan dan kekurangan dari sosok
seorang anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu kandung
- Sesama saudara harus saling memberi semangat dan saling tolong menolong
- Sesama anggota keluarga harus saling manghormati dan tolong menolong
serta bekerja sama dalam mengadpi suatu permaslahan.
CERPEN SANG IDOLA
Aku kesal setengah mati. Mataku tidak
bisa mempercayai apa yang kulihat di
tempat parkir saat bubaran sekolah.
Anton, si Anton yang jagoan basket
itu, yang jadi idola cewek-cewek
seantero
kelas
satu
dan
dua,
memboncengi Anita, si kutubuku yang
sama sekali bukan siapa-siapa. Tapi ini
kenyataan.
Dina, sahabatku yang setia, juga ikut
mengumpat-umpat, “Hebat amat tuh
si Anita, sampai bisa diboncengi
Anton!”
“Udah ngerayu berbulan-bulan kali…
akhirnya kena juga.” Tambah Yeni,
sahabatku yang lainnya.
“Menurutku sih, jangan-jangan pakai
guna-guna…” Ujarku sembarangan.
“Tapi, kan bukan berarti mereka jadian
kan.” Timpal Dina, masih berharap.
Kami bertiga saling berpandangan, di
depan pintu perpustakaan yang dekat
lapangan parkir itu. Biasanya kami
memang
saling
bersaing
dalam
kompetisi untuk mencari perhatian
Anton. Tapi kali ini, karena ada musuh
baru, tiba-tiba kami merasa senasib.
Persahabatan rasanya jadi semakin
kuat.
Sebetulnya, selama ini, kami sering
berusaha
menunjukkan
perhatian
kami ke Anton. Setiap pertandingan
bola basket, dimana Anton menjadi
bintangnya, kami selalu hadir dan
paling
bersemangat
memberikan
dukungan.
Antonpun
tampaknya
menyadari bahwa kami fans beratnya.
Maka setiap ia berhasil mencetak
angka, ia selalu berlari ke arah kami,
memberikan tos sambil tersenyum,
membuat kami yang duduk di bangku
terdepan seakan meleleh.
Tapi hari ini aku kesal sekali. Pada
Anita, juga pada Anton. Tidakkah ia
menyadari bahwa Anita itu seorang
anak kuper, yang lebih banyak malumalunya dibanding bergaul dengan
teman-teman lain. Walaupun harus
diakui, ia anak paling pandai dalam
kelas. Mungkin itu sebabnya, Anton
tertarik padanya, sebab rasanya tak
mungkin kalau Anita yang berinisiatif
mendekatinya duluan, aku beranalisa.
Dina dan Yeni juga tampak diam,
barangkali
mereka
berdua
juga
sedang sibuk beranalisa. Makin dipikir
makin kesal rasanya.
##########
aku memberi pandangan sinis. Biarin,
biar ia tahu aku kesal, meskipun
mungkin ia tidak tahu sebabnya. Dina
dan Yeni pun melakukan hal yang
sama. Kami berjalan kembali ke kelas
dengan masih sambil menggosipkan
mereka berdua.
Saat istirahat siang, di kantin sekolah,
suasana tempat kami berkumpul
untuk bergosip jadi penuh bisik-bisik.
Topik pembicaraan hangat sambil
menghirup teh botol, apalagi kalau
bukan, Anton dan Anita, AA!
##########
“Tuh, lihat Din, sekarang Anita sudah
berani dandan tuh!” Yeni memulai.
Ia mengambil tempat duduk di
sebelahku,
di
meja
baca
perpustakaan. Aku salah tingkah dan
berusaha
tersenyum
ramah
kepadanya.
“Iya, jadi menor
Timpal Dina.
“Gayanya,
sih!”
uh…
kayak
gitu,
kecentilan
ih!”
banget
Berjarak dua meja dari kami, Anita
duduk sendirian sambil menikmati mie
basonya. Yang tidak biasa adalah, ia
mengenakan anting-anting panjang.
Sejujurnya, ia jadi tampak lebih manis.
Tapi bagi kami saat ini, ia tampak
bagaikan seorang nenek sihir!
“Halo Ran!”
Aku memandang ke arah asal suara
dan terkejut. Anton!
“Tumben, jagoan basket mampir ke
perpustakaan…”
Aku
mencoba
menetralisir perasaan dag dig dugku.
“Iya,
nyari
kamu.”
Jawabnya.
Senyumnya yang menawan terus
dikembangkannya.
Mencari aku? Ah, pangeran, kenapa
baru sekarang?
Selang tak lama, Anton tampak
berjalan masuk ke kantin. Serentak
kami bertiga memasang wajah paling
manis. Ketika Anton melalui meja
kami, dengan kompak kami menyapa,
“Hai Anton….” Bagaikan koor.
“Ada apa Ton?” Tanyaku sambil purapura meneruskan baca novel yang
kupegang sejak tadi.
Anton tersenyum ramah, mengangkat
tangan kanannya dan berjalan terus.
Lalu duduk di meja Anita, berhadapan
dengannya dan membelakangi kami.
Aku, Dina dan Yeni ternganga. Mereka
berdua berbincang dengan asyik,
sesekali Anita tertawa tersipu. Oh,
sungguh
pemandangan
yang
menyakitkan.
“Apa Ton?” Tanyaku lagi.
“Kayaknya kita makin kalah set nih.”
Akhirnya Yeni membuka suara.
Aku dan Dina seakan tercekat, tak
mampu berkata apa-apa. Anton lebih
tertarik pada Anita daripada kami
bertiga.
“Yuk, mendingan
akhirnya.
bubar…”
Ajakku
Kami bertiga berjalan melalui meja
mereka. Saat Anita melihat ke kami,
“Kangen…”
Apa aku tidak salah dengar?
“Kangen
sama
kamu.”
mengulang jawabanya.
Anton
Aku terpana. Mata Anton menatap
lurus kemataku. Sejujurnya, meski aku
naksir dia, tapi kalau berhadapan
langsung seperti ini, aku benar-benar
salting. Apalagi ia bilang kangen.
Tangan
Anton
menggenggam
tanganku,
sambil
berkata
“Mau
sekalian nanya… Sabtu sore besok
ada acara?”
Ada apa ini, mengapa mendadak
seperti ini? Tapi hatiku tak sempat
mempertayakan lebih jauh. Naluriku
langsung
memaksaku
untuk
menjawab, “Enggak. Emang kenapa
Ton?”
“Aku mau
khusus.”
ngajak
kamu
ke
acara
“Acara apa?”
“Di Bentara Budaya ada acara baca
puisi. Seru lho, ada Ben Alkhairy.”
Bagaimana Anton bisa tahu aku suka
acara baca puisi. Apalagi sampai tahu
seniman favoritku, Ben Alkhairy.
“Boleh Ton. Aku suka.”
dengan mata berbinar.
Jawabku
“Kalau begitu, aku jemput jam lima
sore ya.”
“Tapi…”
“Sedari dulu sebetulnya aku suka
kamu, Ranti, tapi kupikir aku belum
berani bilang apa-apa sama kamu.
Sekarang kamu sudah tahu kan…”
Pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka.
Anita melangkah masuk. Matanya
tertumbuk
pada
Anton,
lalu
ketangannya
yang
sedang
menggenggam
tanganku.
Anita
berhenti melangkah, membetulkan
letak kacamatanya. Kelihatannya ia
tak percaya apa yang dilihatnya di
depan mata.
“Ya udah Ran, aku mau balik dulu.”
Anton berdiri, berjalan keluar ruang
perpustakaan. Saat melewati Anita, ia
hanya menyapa, “Hai Nit!” seakanakan tidak ada apa-apa.
“Eh, sebentar Ton.” Aku menggamit
tangannya,
menghentikan
langkahnya.
Aku melihat Anita yang seperti
terhipnotis. Diam, tak bergerak dan
bicara.
“Kenapa?” Anton duduk kembali di
sebelahku.
Seharusnya aku merasa menang.
Aku mengangguk dan terdiam. Diam,
karena tidak tahu mau omong apa.
Aku tak tahu harus mulai darimana.
Aku
bingung,
kenapa
Anton
mengajakku, bukannya Anita.
“Ranti, ada apa? Kamu ada acara
lain?” Tanya Anton sambil menatap
dalam-dalam ke mataku. Oh, jangan
melihatku seperti ini. Aku bisa
kehilangan kata-kata.
“Ton, Anita enggak marah, kamu
ngajak aku pergi?” Akhirnya keluar
juga pertanyaan ini.
Anton tersenyum.
nanya gitu?”
“Kenapa
kamu
“Selama ini, aku lihat kamu dekat
sama dia. Kalian jadian?” Tanyaku lagi
memberanikan diri.
Anton
menghela
nafas
sebelum
menjawab. “Menurutmu aku jadian
sama Anita?”
“Semua
begitu.”
teman-teman
juga
bilang
“Ranti, Ranti. Aku cuma mendekatinya
supaya dia mau bantu aku bikinin pe
er. Kalau dia salah mengerti ya bukan
salahku dong.”
Aku terkejut dengan jawaban Anton.
Seharusnya aku menertawainya.
Seharusnya Anita
berlari keluar.
menangis
dan
Sedetik kemudian, yang kurasakan
justru berbeda. Anita tetap melangkah
masuk. Lalu duduk di hadapanku.
Tampak ia berusaha tegar seakan
tidak ada apa-apa. Justru aku yang
merasa tidak tenang. Terpikir ucapan
Anton tadi. Ia cuma memanfaatkan
Anita saja. Dan tentunya Anita
mendengar kata-kata Anton tadi.
Aku
menghampirinya,
duduk
di
sebelah dia. “Nit…” Sapaku perlahan.
“Tadi Anton…”
“Ya, aku dengar semuanay Ran.” Anita
memejamkan
matanya.
Di
bali
kacamata minusnya, di sudut matanya
mengalir setitik air mata.
“Aku juga tidak senang apa yang
Anton bilang tadi.” Kataku.
Anita menatapku seakan tak percaya.
“Ya Nit. Aku juga enggak bisa nerima
omongannya. Dipikirnya kita cewek
yang bisa didekati lalu ditinggal
seenaknya.”
Anita mengangguk, menghapus air
matanya. Aku merangkul bahunya.
Ucapnya sambil duduk
dengan meja kami.
“Kita balas dia ya Nit!”
Anton sedikit bersemangat, tapi tak
punya kesempatan bicara, karena
Anita, Hartono dan aku sibuk ngobrol.
Akhirnya ia hanya duduk bersandar di
kursinya, kehilangan minat sama
sekali pada acara ini.
##########
Pukul lima sore lewat sedikit. Aku
mendengar deru motor di depan
rumahku.
Tak
lama,
bel
pintu
berbunyi.
“Hai Ranti, udah siap?” Sapa sang
idola itu, saat aku membuka pintu.
“Mmm… gimana ya Ton, mendadak
aku ada tamu penting nih.”
Anton melihat ke dalam ruang tamu
dari
balik
pundakku.
Matanya
tertumbuk pada seorang cowok yang
sedang duduk santai. Cowok itu lalu
melangkah ke sampingku.
“Hai, kamu pasti Anton. Kenalkan Aku
Hartono.” Cowok itu mengulurkan
tangan.
Anton
membalas
menyalaminya.
Mukanya menunjukkan ia bingung.
“Ini Hartono, Ton, cowokku baru
datang dari Bandung. Ia mau ikutan
nonton pembacaan puisi juga. Boleh
ya Ton.”
bergabung
Ketika acara usai, kami bertiga
berpamitan pada Anton. “Makasih ya
Ton, udah ngajakin kita ke acara ini.
Kita jalan dulu ya.” Ucapku padanya
sambil berjalan ke mobil Hartono.
Anton hanya mengangguk lesu. Ketika
masuk ke mobil, semuanya tertawa.
“Kamu lihat mukanya tadi Nit?
Berusaha mau ngajak kamu ngobrol.”
“Iya, tapi lebih asyik obrolan kita ya…”
Jawab Anita seru, “Tapi tadi waktu
jemput kamu, dia benar-benar kaget
dong?”
“Tentu saja. Tapi ini terakhir aku purapura jadi pacar Ranti ah. Nanti aku
enggak laku!” Sahut Hartono sambil
tertawa. Sebetulnya, Hartono adalah
sepupuku yang kuliah di Bandung. Aku
meminta bantuannya untuk mengerjai
Anton.
Anton
membuka
topi
petnya,
menggaruk kepalanya. “Boleh aja sih
Ran…” Jawabnya tak bersemangat.
Kami menurunkan Anita di rumahnya,
lalu langsung pulang. Setibanya di
rumah, tak lupa aku berterima kasih
pada Hartono.
“Oke, kita ketemu di sana ya. Aku naik
mobilnya Hartono.” Kataku lagi.
“Makasih ya Har. Kamu baik deh.” Aku
menepuk punggungnya.
Anton tak punya pilihan. Maka ia
segera
menunggangi
motornya
kembali dan berlalu.
“Sama-sama Ran. Eh, tapi jadi kan
kamu nyomblangin aku ke Anita?”
Sahutnya bersemangat.
Aku menyusulnya bersama Hartono.
“Huuu… jadi nolongin ada imbalannya
nih?”
Tiba di Bentara Budaya, Anton yang
tiba lebih dahulu sudah duduk di salah
satu meja. Wajahnya benar-benar tak
bersemangat.
Kami
lalu
duduk
bersama. Sepanjang acara, hanya aku
dan Hartono yang berbincang saja.
Kadang saat aku menanyakan sesuatu
pada Anton, ia hanya menjawab
sekenanya. Menjelang acara berakhir
tiba-tiba Anita muncul.
“Sori Ranti, aku telat. Soalnya tadi
kena macet.” Ujar Anita. Anton
terbelalak.
“Geser
sedikit
Ton.”
“Bukan imbalan sih. Tapi enggak ada
salahnya kan.”
“Iyalah. Tapi kamu enggak playboy
kayak Anton kan?”
Hartono mengangkat jari telunjuk dan
tengahnya, membentu hurf V, “Pasti
Ran.”
Kami tertawa bersama. Dina dan Yeni
mesti kuberitahu kejadian seru hari ini.
*** by Chr: 1986 ***
Analisis Cerpen “Sang Idola” karya Chaer:1986
Cerpen sang idola menceritakan tentang kisah remaja disekolah antara persaingan,
cinta dan persahabatan. Kehadiran Sang idola, Anton jagoan basket yang diidolakan
cewek-cewek disekolah, menimbulkan persaingan antara Ranti, kedua sahabatnya
dan Anita si kutubuku yang kuper.
Persaingan dengan kedua sabatnya tidak menimbulkan masalah, karena mereka
bersaing sehat dan tetap sahabat. Tapi saingan baru mereka ini yang menimbulkan
masalah besar. Cewek saingannya itu adalah Anita si kutubuku. Anton sering jalan
bareng sama Anita, malah sering juga dibonceng saat berangkat sekolah.
Penampillan Anita pun berubah. Yng semua cupu dan kuper berubah menjadi lebih
manis dan menor pakai anting panjang. Mereka berdua tampak semakin dekat, dan
Anton lebih tertarik pada Anita dari pada dengan Ranti dan kedua sahabatnya.
Yang sangat mengagetkan ketika diperpus, Anton menghampiri Ranti dan duduk
disampingnya. Anton bilang ingin bertemu dengannya karena kangen dan
mengajaknya keluar nanti sore ke Bentara Budaya nonton acara baca puisi acara
kesukaan Ranti. Ia setuju, dan sebelum Anton beranjak meninggalkan nya, Ranti
bertanya tentang Anita. Ia bertanya apakah Anita tidak marah kalau lihat mereka
jalan brdua. Anton menjelaskan kalau dia tidak ada apa-apa dengan Anita, dia
mendekatinya supaya mau dibantu bikin PR saja. Anton juga bilang sebenarna
sudah lama dia naksir sama Ranti papi belum sempat menyatakan.
Ternyata apa yang mereka bicarakan tadi didengar oleh Anita. Tiba-tiba Anita masuk
dan melepaskan genggaman tanganya dengan Ranti, menyapa Nita lalu pergi,
seperti tidak terjadi apa-apa. Anita duduk disebelah Ranti lalu menangis. Bukan rasa
puas dan senang melihat Anita patah hati, tapi justru berbeda. Kemudian mereka
berdua curhat dan Ranti menenangkan Anita yang hancur hatinya. Mereka berdua
sepakat akan membalas.
Pukul lima sore Anton menjemput Ranti, tapi tidak beranjak pergi karena ada cowok
dibelakang Ranti. Kemudian ia mengenalkanya dengan dengan sang idola basket
itu, dan ternyata Ranti bilang itu adalah pacarnya. Ranti juga bilang mau
mmengajak Hartono cowoknya itu ikut nonton. Lalu mereka berangkat bersama,
tapi dang idola basket sendirian dengan motornya karena Ranti bersama dengan
Hartono nak mobil. Dengan tak bersemangat Anton pun terpaksa berangkat.
Sampainya di Bentara Budaya, Anton hanya duduk bersandar tak bersemangat,
sedangkan Ranti dan Hartono asyik berbincang. Tak lama kemudian Anita datang
dan mereka bertiga asyik ngobrol, tapi Anton hanya bicara sedikit dan menjawab
sekenanya saja. Ketika acara usai, mereka bertiga beranjak duluan dan berpamita
pulang pada Anton dan mengucapkan terimakasih telah menemani mereka. Anton
menjawabnya dengan anggukan lesu. Ketika masuk ke mobil, semuanya tertawa
dan ternyata itu adalah sekenario mereka untuk membalas Anton, dengan bantuan
Hartono sepupu Ranti yang kuliah di Bandung. Untuk membalasnya Tono minta agar
Ranti mau ngejomblangin Tono ke Nita, dan Ranti setuju tapi memastikan bahwa
Hartono tidak playboy seperti Anton, dan mereka tertawa bersama. Ranti berfikir, ia
mesti memberi tahu kepada Dina dan Yeni sahabatnya.
Analisis Struktur
Alur
Paparan digambarkan ketika tokoh aku dan kedua sahabatnya kesal karena Anton
sang idola mereka ngeboncengin Anita. Rangsangan ketika mereka berdua sering
jalan bareng. Gawatan diambarkan ketika Niita dan Anton makan bareng di kantin
sekolah, dan mereka bertiga dicuwekin. Klimaks digambarkan ketika anton
mmenghampiri Ranti, menyatakan kalau dia naksir Ranti sudah lama. Kemudian
Anton ngajak Ranti keluar nonton acara baca puisi. Sang idola basket juga
mengatakan ia dekat dengan Anita karena cima iseng agar dia mau Bantu Anton
bikin PR. Anita mmendengarkan semua pembicaraan Anton dan patah hati.
Leraian digambarkan ketika Anton menjemput Ranti untuk nonton acara baca puisi.
Selesaian digabarkan ketika Ranti menajak Hartono yang dkenalkan pada Anton
sebagai cowoknya yang baru datang dari Bandung, mereka berangkat dan Anton
kecewa tapi terpaksa berangkat. Anita juga hadir, lalu mereka bertiga asyik ngobrol
dan Anton hanya diam. Setelah acara selesai, mereka bertiga berpamitan dan
masuk mobil lalu tertawa bersama, karena telah membalas perlakuan Anton.
Tokoh dan Penokohan
Tokohnya yaitu Anton sebagai pemeran utama sekaligus lawan idola lalu menjadi
lawan tokoh Ranti dan Anita, Yeni dan Dina sebagai sahabat Ranti, Hartono sebagai
sepupu Ranti. Ranti dalam cerpen “Sang Idola” merupakan unsure yang sangat
penting karena menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan
kepada pembaca. Bahwa keberadaan teman adalah sangat penting, maka tidak
perlu adanya persainganmemperoleh perhatian atau apapun dengan menorbankan
persahabatan. Bukan sifat pendendam yang diperankan oleh Ranti, tapi untuk
mempertahankan persahabatan dan menyadarkan Anton. Tokoh Anton bersifat
sombong, playboy, suka mempermainkan dan memanfaatkan cewek. Anita bersifat
baik, sabar, dan tidak pendendam.
Latar
Penulis lebih menekankan tempat dan suasana kejadian. Yaitu berawal dari
sekolahan; kantin, parkiran dan perpustakaan. Lalu di Bentara Budaya pada acara
baca puisi, suasananya menyenangkan.
Tema
Cerpen “Sang Idola” menceritakan tentang persaingan, cinta, dan persahabatan.
Persaingan untuk memperoleh perhatian dari seorang cowok tidak sebanding
dengan persahabatan sejati.
Amanat
Pengarang cerpen “Sang Idola” mengajak untuk menilai sebuah persaingan dan
persahabatan. Persaingan merebut perhatian atau apapun menjadikan Ranti
memahami sebuah kebenaran dalam persahabatan. Ranti, Anita dan mereka semua
yang masih remaja, dengan cara anak remaja juga mereka memberi pelajaran
kepada Anton agar sadar dan jera akan keplayboyannya dan agar bias menghargai
wanita serta arti persahabatan.
Karya : Tidak ada keterangan
Adit, itulah nama panggilanku. Aku
memiliki saudara kembar yaitu Adib.
Dia sangat cerdas dan tanggap dalam
menyelesaikan masalah. Sedangkan
aku, aku adalah kebalikan dari Adib.
Sering kali aku dibanding-bandingkan
dengan kelebihan Adib.
melaporkan kejadian tersebut pada
orang tua kami. Belum sempat
mencium tangan kedua orang tuaku,
mereka berdua langsung menuju ke
rumah sakit tersebut. Sedangkan aku
menjaga rumah demi keselamatan
bersama.
Segalanya serba Adib, aku
sendiri serasa tidak ada keunggulan
sedikitpun selain menyusahkan orang
di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan
semangat
bagi
kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua
itu dengan tanpa memandang orang
lain bicara apa, asalkan yang kau
lakukan benar”. Tidak ada sifat
kesombongan dan kecongkaan yang
tertanam dalam jiwa Adib, adikku.
Akan tetapi, seketika aku
menyapu halaman rumah malah
gunjingan dari tetangga yang ku
dapat. Mereka bilang “sudah adik
sendiri terkena musibah, malah tidak
kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi
hanya bisa mengelus dada mendengar
celotehan para tetangga.
Mama yang telah melahirkanku
pun lebih mencintai Adib, ayah yang
selalu memberi nafkah pada keluarga
kami pun memberi oleh-oleh yang
lebih istimewa kepada Adib. Ini
merupakan
deskriminasi
yang
berlebihan menurutku. Ya sudahlah,
biar tak kepanjangan pikirku, aku
positif saja dengan kehidupanku.
Tetangga yang biasanya tenteram
dengan urusan mereka, kala ini
merasa
terundang
untuk
selalu
membicarakan dan membandingkan
aku dengan Adib. Setiap aku lewat,
pastilah
lirikan
yang
tidak
menyenagkan didapati olehku. Akan
tetapi seketika Adib lewat, sapaan
demi sapaan selalu tercurahkan. Aku
hanya bisa mengelus dada saja
melihat fenomena ini.
Suatu ketika, kejadian yang
tidak diinginkan ditimpa oleh Adib.
Cairan bahan kimia mengenai kedua
matanya ketika praktik di sekolah.
Akhirnya Adib dilarikan ke rumah sakit
terdekat,
guru-guru
yang
bersangkutan serta aku pun ikut ke
rumah sakit tersebut.
Setiba di rumah, ternyata telah
ada guru perwakilan dari sekolah yang
Aku sangat sayang pada orang tua
dan adikku. Tugasku untuk menjaga
adik telah aku selesaikan walau hanya
sebentar, sedangkan tugas rumah
yang selalu dibebankan padaku belum
aku laksanakan, oleh karenanya aku
pulang
demi
melaksanakan
kewajibanku.
Setelah mengerjakan urusan
rumah, aku pun langsung mengunci
seluruh isi rumah dan pergi ke rumah
sakit untuk menjenguk serta menjaga
Adib. Tapi seketika aku sampai di
rumah sakit tepatnya di depan pintu
kamar Adib dirawat, aku mendengar
diskusi antara dokter dengan kedua
orang tuaku.
Aku tak mengira hal ini akan terjadi,
keputusan yang membuat aku berat
hati ini menjadikan aku lebih tegang
dan bahkan mengharukan dalam
hidupku. Dokter memutuskan bahwa
mata Adib tidak bisa diselamatkan
kembali, tapi dapat diganti dengan
bola mata lain baru dia bisa pulih
seperti sedia kala, itu pun jika operasi
berhasil.
Orang tuaku siap mengganti
berapa pun biaya demi keselamatan
Adib, bahkan dengan mengganti bola
mata yang baru. Aku mengira bahwa
orang tuaku akan menulis iklan dalam
media masa bahwa mereka butuh
donor mata dengan nilai rupiah yang
cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya
mimpi belaka, keputusan orang tua
yang dicurahkan terhadap dokter
adalah mengambil bola mataku untuk
Adib, sang juara keluarga.
Mengapa nasibku sungguh malang.
Aku mempunyai mimpi yang besar,
akan tetapi hal ini apakah tidak
menghalangi mimpiku? Mata adalah
salah satu organ yang sangat penting
adanya dan kegunaannya. Aku hanya
bisa menangis sejenak melihat hal
yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku
hanya bisa bergumam dan meronta
dalam hati serta mengelus dada.
Tanpa basa-basi, aku kembali ke
rumah dan merenung di kamar. Tuhan
sangat sayang padaku, dan aku pun
yakin atas hal tersebut. Aku berpikir,
jika aku tak punya mata lagi apakah
aku bisa menangis? Biarlah, aku
habiskan air mataku untuk Adib,
kebanggaan semua orang. Mungkin
dengan cara ini aku bisa mendapat
pujian dari semua orang yang kagum
atas Adib.
Keesokan harinya pun operasi
akan dilaksanakan, tanpa basa-basi
malam sebelum operasi dilakukan aku
telah siap dan berbicara pada orang
tuaku sebelum mereka bicara padaku.
Aku bisa merasakan ada air mata dari
ayahku, tapi aku tidak bisa merasakan
air mata yang ada dalam mata
mamaku, padahal yang akan aku
sumbangkan untuk Adib adalah salah
satu organ tubuh yang sangat ku
sayangi.
Hari yang ditunggu-tunggu pun
datang. Ibu sangat senang dengan
datangnya hari ini, sedangkan aku
sempat melihat di belakang sana ada
ayahku yang dari sorotan matanya
ingin mengucapkan sesuatu padaku.
Namun apa boleh buat, kini waktuku
untuk memberikan barang berhargaku
untuk adikku.
Tinggal beberapa menit lagi operasi
akan dimulai, aku memanfaatkannya
dengan memanggil ayah dan ibuku.
Aku hanya ingin memandang mereka
dengan peka, karena mungkin ini akhir
aku melihat mereka yang telah berjasa
dalam hidupku.
Aku sadar, aku tak berarti apa-apa
dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya
aku telah berbuat baik kepada kedua
orang tua dan selalu berpikiran positif
dalam
perjalanan
hidupku
serta
meyakini ada rahasia tuhan yang
tersembunyi di balik peristiwa ini
semua.
Tepat pukul 10.00 operasi
dimulai, aku siap menghadapi alat-alat
tajam yang akan mengambil mataku.
Aku tak sadarkan diri pada waktu itu,
akan tetapi kala ini aku sadar namun
terasa
ada
yang
hilang.
Ya,
kemewahan dan keindahan alam telah
hilang menurutku. Semua di dunia ini
telah musnah pikirku. Tetapi aku salah,
yang telah hilang dari keindahan
bukanlah
dunia
dan
seisinya,
melainkan
kedua
mataku
telah
hinggap pada tempat bola mata Adib
berada dulu.
Kini mimpi-mimpiku terasa telah
terhapus, aku tak bisa melakukan
aktivitas seperti biasanya. Yang aku
bisa kerjakan aku kerjakan, namun
yang tak bisa ya aku tinggalkan.
Dengan kecacatan yang aku derita ini,
aku memutuskan untuk tinggal di
kejauhan sana agar tidak membuat
malu keluarga. Ayahku tidak setuju
dengan
pikiranku,
namun
yang
membuat aku tambah mengelus dada
adalah kerelaan ibu yang begitu
memancarkan
ketidaksayangannya
dalam menyetujui keputusanku.
Ini adalah jalanku, sebelum aku
pergi jauh dan tinggal bersama orangorang yang asing pintaku hanya satu.
Aku hanya ingin berbincang-bincang
dengan keluarga sampai larut malam.
Pagi harinya, sebelum aku pergi.
Aku memberikan secarik kertas untuk
Adib, yang sempat aku tulis ketika
malam terakhir aku memiliki mata
yang sempurna. Aku tidak menulis
panjang lebar untuk Adib, namun aku
hanya menulis “Dik, Akhirnya aku bisa
merasakan ….. Akhirnya aku bisa
merasakan sepertimu, selalu dipuji,
dipandang baik dan sempurna oleh
seluruh orang. Akhirnya aku bisa
merasakan sepertimu, walau hanya
sekedar kedua bola mataku”
Hasil analisis cerpen
1. Tema
Tema atau pokok persoalan dalam cerpen Akhirnya Aku Bisa Merasakan
adalah adanya dikriminasi pada saudara kembar sehingga salah satu darinya
merasa memperoleh perlakuan yang tidak adil dari kedua orangtuanya. Hal ini
terlihat pada kutipan berikut.
“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai Adib, ayah yang selalu
memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih istimewa
kepada Adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya
sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.
2. Alur/plot
Cerpen Akhirnya aku Bisa Merasakan” diawali dengan pemaparan atau
pemberian informasi kepada pembaca tentang latar belakang tokoh si aku (Adit).
Tokoh utama, si aku menyebutkan namanya adalah Adit yang memiliki saudara
kembar (adiknya) bernama Adib. Namun Adit selalu dibandingkan dengan Adib
karena Adib memiliki kelebihan dibanding Adit. Hal ini dapat kita baca pada
kutipan berikut.
“Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu Adib. Dia
sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku, aku
adalah kebalikan dari Adib. Sering kali aku dibanding-bandingkan dengan
kelebihan Adib.”
Tahap berikutnya disebut dengan munculnya permasalahan.
3. Latar /setting
Dalam cerpen biasanya terdapat latar dan setting latar adalah tempat terjadinya
suatu peritiwa sedangkan setting adalah waktu dan suasana sebuah peristiwa
dalam cerita sedang berlangsung. Latar dalam cerita ada tiga macam, yakni:
latar tempat, latar waktu, latar social.
- Latar tempat
Latar dalam cerpen di sini adalah di dalam rumah, halaman depan rumah,
dan di rumah sakit. Hal ini dapat kita buktikan dengan adanyakutipan
dibawah ini:
“Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang
melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium
tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit
tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.”
-
Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi
rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga Adib. Tapi
seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar Adib
dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
Latar Waktu
-
Latar waktu yang terjadi pada cerita ini adalah banyak sekali yakni, pagi,
siang dan sore. hal tersebut seuai dengan kutipan dibawah ini.
“Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam
yang akan mengambil mataku.”
“Akan tetapi, seketika aku menyapu halaman rumah malah gunjingan dari
tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah,
malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus
dada mendengar celotehan para tetangga.
Latar Sosial
Latar social ini menggambarkan tentang kebiasaan dan keadaan masyarakat
di tengah para tokoh dalam cerita. Dalam cerpen ini latar social digambarkan
sebagai berikut.
“Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa
terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan
Adib. Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati
olehku. Akan tetapi seketika Adib lewat, sapaan demi sapaan selalu
tercurahkan. Aku hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.”
4. Penokohan
- Tokoh aku (Adit)
Tokoh aku dalam cerpen memiliki watak yang baik, pengertian dan sabar. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan berikut ini:
“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai Adib, ayah yang selalu
memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih
istimewa kepada Adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan
menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan
kehidupanku.’
- Tokoh Adib
tokoh Adib atau sadara kembar si aku ini adalah memiliki watak yang baik,
pintar dan selalu memberi semangat pada kakaknya (si aku Adit). Hal ini
digambarkan dalam kutipan berikut.
“Segalanya serba Adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun
selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan
tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”.
Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa
Adib, adikku.”
- Tokoh Ibu
Tokoh ibu dalam cerpen diatas memiliki watak yang jahat dan mempunyai
sifat diskriminasi terhadap anak kandungnnya sendiri. Sang ibu sangat
senang ketika Adit memberikan matanya kepada adiknya, Hal ini sesuai
dengan kutipan berikut.
“Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan
datangnya hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada
ayahku yang dari sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku.
Namun apa boleh buat, kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku
untuk adikku.”
-
“Segalanya serba Adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun
selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi
memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan
tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”.
Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa
Adib, adikku
Tokoh Ayah
Tokoh ayah pada cerpen diatas memiliki watak yang jahat pula, tapi suatu
saat juga terkadang baik. Hal ini terbukti dengan adanya kutipan berikut.
“Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai Adib, ayah yang selalu
memberi nafkah pada keluarga kami pun memberi oleh-oleh yang lebih
istimewa kepada Adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan
menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan
kehidupanku.”
“Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas
seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa
ya aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan
untuk tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku
tidak setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus
dada adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya
dalam menyetujui keputusanku.
5. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang digunakan oleh pengarang pada cerpen diatas adalah dengan
menggunakan gaya bahasa sehari-hari yang mudah dipahami, sehingga
pembaca cerpen ini dapat meresapi, menghayati dan memahami cerita dengan
mudah.
6. Sudut Pandang
Dalam cerpen Akhirnya Aku Bisa Merasakan pengarang menggunakan sudut
pandang orang pertama yakni aku. Pengarang mengungkapkan perasaannya
sendiri dengan kata-katanya sendiri pula. Dalam cerita kadang kala pengarang
menjadi pencerita. Dalam cerpen pengarang menggunakan kata ganti aku
7. Pesan atau Amanat
Pesan atau amanat yang terkandung dalam cerpen diatas adalah:
- Sebagai orang tua seharusnya tidak boleh memperlakukan seorang anak
dengan cara tidak adil
- Sebagai orang tua harus menerima kelebihan dan kekurangan dari sosok
seorang anak yang dilahirkan dari rahim seorang ibu kandung
- Sesama saudara harus saling memberi semangat dan saling tolong menolong
- Sesama anggota keluarga harus saling manghormati dan tolong menolong
serta bekerja sama dalam mengadpi suatu permaslahan.
CERPEN SANG IDOLA
Aku kesal setengah mati. Mataku tidak
bisa mempercayai apa yang kulihat di
tempat parkir saat bubaran sekolah.
Anton, si Anton yang jagoan basket
itu, yang jadi idola cewek-cewek
seantero
kelas
satu
dan
dua,
memboncengi Anita, si kutubuku yang
sama sekali bukan siapa-siapa. Tapi ini
kenyataan.
Dina, sahabatku yang setia, juga ikut
mengumpat-umpat, “Hebat amat tuh
si Anita, sampai bisa diboncengi
Anton!”
“Udah ngerayu berbulan-bulan kali…
akhirnya kena juga.” Tambah Yeni,
sahabatku yang lainnya.
“Menurutku sih, jangan-jangan pakai
guna-guna…” Ujarku sembarangan.
“Tapi, kan bukan berarti mereka jadian
kan.” Timpal Dina, masih berharap.
Kami bertiga saling berpandangan, di
depan pintu perpustakaan yang dekat
lapangan parkir itu. Biasanya kami
memang
saling
bersaing
dalam
kompetisi untuk mencari perhatian
Anton. Tapi kali ini, karena ada musuh
baru, tiba-tiba kami merasa senasib.
Persahabatan rasanya jadi semakin
kuat.
Sebetulnya, selama ini, kami sering
berusaha
menunjukkan
perhatian
kami ke Anton. Setiap pertandingan
bola basket, dimana Anton menjadi
bintangnya, kami selalu hadir dan
paling
bersemangat
memberikan
dukungan.
Antonpun
tampaknya
menyadari bahwa kami fans beratnya.
Maka setiap ia berhasil mencetak
angka, ia selalu berlari ke arah kami,
memberikan tos sambil tersenyum,
membuat kami yang duduk di bangku
terdepan seakan meleleh.
Tapi hari ini aku kesal sekali. Pada
Anita, juga pada Anton. Tidakkah ia
menyadari bahwa Anita itu seorang
anak kuper, yang lebih banyak malumalunya dibanding bergaul dengan
teman-teman lain. Walaupun harus
diakui, ia anak paling pandai dalam
kelas. Mungkin itu sebabnya, Anton
tertarik padanya, sebab rasanya tak
mungkin kalau Anita yang berinisiatif
mendekatinya duluan, aku beranalisa.
Dina dan Yeni juga tampak diam,
barangkali
mereka
berdua
juga
sedang sibuk beranalisa. Makin dipikir
makin kesal rasanya.
##########
aku memberi pandangan sinis. Biarin,
biar ia tahu aku kesal, meskipun
mungkin ia tidak tahu sebabnya. Dina
dan Yeni pun melakukan hal yang
sama. Kami berjalan kembali ke kelas
dengan masih sambil menggosipkan
mereka berdua.
Saat istirahat siang, di kantin sekolah,
suasana tempat kami berkumpul
untuk bergosip jadi penuh bisik-bisik.
Topik pembicaraan hangat sambil
menghirup teh botol, apalagi kalau
bukan, Anton dan Anita, AA!
##########
“Tuh, lihat Din, sekarang Anita sudah
berani dandan tuh!” Yeni memulai.
Ia mengambil tempat duduk di
sebelahku,
di
meja
baca
perpustakaan. Aku salah tingkah dan
berusaha
tersenyum
ramah
kepadanya.
“Iya, jadi menor
Timpal Dina.
“Gayanya,
sih!”
uh…
kayak
gitu,
kecentilan
ih!”
banget
Berjarak dua meja dari kami, Anita
duduk sendirian sambil menikmati mie
basonya. Yang tidak biasa adalah, ia
mengenakan anting-anting panjang.
Sejujurnya, ia jadi tampak lebih manis.
Tapi bagi kami saat ini, ia tampak
bagaikan seorang nenek sihir!
“Halo Ran!”
Aku memandang ke arah asal suara
dan terkejut. Anton!
“Tumben, jagoan basket mampir ke
perpustakaan…”
Aku
mencoba
menetralisir perasaan dag dig dugku.
“Iya,
nyari
kamu.”
Jawabnya.
Senyumnya yang menawan terus
dikembangkannya.
Mencari aku? Ah, pangeran, kenapa
baru sekarang?
Selang tak lama, Anton tampak
berjalan masuk ke kantin. Serentak
kami bertiga memasang wajah paling
manis. Ketika Anton melalui meja
kami, dengan kompak kami menyapa,
“Hai Anton….” Bagaikan koor.
“Ada apa Ton?” Tanyaku sambil purapura meneruskan baca novel yang
kupegang sejak tadi.
Anton tersenyum ramah, mengangkat
tangan kanannya dan berjalan terus.
Lalu duduk di meja Anita, berhadapan
dengannya dan membelakangi kami.
Aku, Dina dan Yeni ternganga. Mereka
berdua berbincang dengan asyik,
sesekali Anita tertawa tersipu. Oh,
sungguh
pemandangan
yang
menyakitkan.
“Apa Ton?” Tanyaku lagi.
“Kayaknya kita makin kalah set nih.”
Akhirnya Yeni membuka suara.
Aku dan Dina seakan tercekat, tak
mampu berkata apa-apa. Anton lebih
tertarik pada Anita daripada kami
bertiga.
“Yuk, mendingan
akhirnya.
bubar…”
Ajakku
Kami bertiga berjalan melalui meja
mereka. Saat Anita melihat ke kami,
“Kangen…”
Apa aku tidak salah dengar?
“Kangen
sama
kamu.”
mengulang jawabanya.
Anton
Aku terpana. Mata Anton menatap
lurus kemataku. Sejujurnya, meski aku
naksir dia, tapi kalau berhadapan
langsung seperti ini, aku benar-benar
salting. Apalagi ia bilang kangen.
Tangan
Anton
menggenggam
tanganku,
sambil
berkata
“Mau
sekalian nanya… Sabtu sore besok
ada acara?”
Ada apa ini, mengapa mendadak
seperti ini? Tapi hatiku tak sempat
mempertayakan lebih jauh. Naluriku
langsung
memaksaku
untuk
menjawab, “Enggak. Emang kenapa
Ton?”
“Aku mau
khusus.”
ngajak
kamu
ke
acara
“Acara apa?”
“Di Bentara Budaya ada acara baca
puisi. Seru lho, ada Ben Alkhairy.”
Bagaimana Anton bisa tahu aku suka
acara baca puisi. Apalagi sampai tahu
seniman favoritku, Ben Alkhairy.
“Boleh Ton. Aku suka.”
dengan mata berbinar.
Jawabku
“Kalau begitu, aku jemput jam lima
sore ya.”
“Tapi…”
“Sedari dulu sebetulnya aku suka
kamu, Ranti, tapi kupikir aku belum
berani bilang apa-apa sama kamu.
Sekarang kamu sudah tahu kan…”
Pintu perpustakaan tiba-tiba terbuka.
Anita melangkah masuk. Matanya
tertumbuk
pada
Anton,
lalu
ketangannya
yang
sedang
menggenggam
tanganku.
Anita
berhenti melangkah, membetulkan
letak kacamatanya. Kelihatannya ia
tak percaya apa yang dilihatnya di
depan mata.
“Ya udah Ran, aku mau balik dulu.”
Anton berdiri, berjalan keluar ruang
perpustakaan. Saat melewati Anita, ia
hanya menyapa, “Hai Nit!” seakanakan tidak ada apa-apa.
“Eh, sebentar Ton.” Aku menggamit
tangannya,
menghentikan
langkahnya.
Aku melihat Anita yang seperti
terhipnotis. Diam, tak bergerak dan
bicara.
“Kenapa?” Anton duduk kembali di
sebelahku.
Seharusnya aku merasa menang.
Aku mengangguk dan terdiam. Diam,
karena tidak tahu mau omong apa.
Aku tak tahu harus mulai darimana.
Aku
bingung,
kenapa
Anton
mengajakku, bukannya Anita.
“Ranti, ada apa? Kamu ada acara
lain?” Tanya Anton sambil menatap
dalam-dalam ke mataku. Oh, jangan
melihatku seperti ini. Aku bisa
kehilangan kata-kata.
“Ton, Anita enggak marah, kamu
ngajak aku pergi?” Akhirnya keluar
juga pertanyaan ini.
Anton tersenyum.
nanya gitu?”
“Kenapa
kamu
“Selama ini, aku lihat kamu dekat
sama dia. Kalian jadian?” Tanyaku lagi
memberanikan diri.
Anton
menghela
nafas
sebelum
menjawab. “Menurutmu aku jadian
sama Anita?”
“Semua
begitu.”
teman-teman
juga
bilang
“Ranti, Ranti. Aku cuma mendekatinya
supaya dia mau bantu aku bikinin pe
er. Kalau dia salah mengerti ya bukan
salahku dong.”
Aku terkejut dengan jawaban Anton.
Seharusnya aku menertawainya.
Seharusnya Anita
berlari keluar.
menangis
dan
Sedetik kemudian, yang kurasakan
justru berbeda. Anita tetap melangkah
masuk. Lalu duduk di hadapanku.
Tampak ia berusaha tegar seakan
tidak ada apa-apa. Justru aku yang
merasa tidak tenang. Terpikir ucapan
Anton tadi. Ia cuma memanfaatkan
Anita saja. Dan tentunya Anita
mendengar kata-kata Anton tadi.
Aku
menghampirinya,
duduk
di
sebelah dia. “Nit…” Sapaku perlahan.
“Tadi Anton…”
“Ya, aku dengar semuanay Ran.” Anita
memejamkan
matanya.
Di
bali
kacamata minusnya, di sudut matanya
mengalir setitik air mata.
“Aku juga tidak senang apa yang
Anton bilang tadi.” Kataku.
Anita menatapku seakan tak percaya.
“Ya Nit. Aku juga enggak bisa nerima
omongannya. Dipikirnya kita cewek
yang bisa didekati lalu ditinggal
seenaknya.”
Anita mengangguk, menghapus air
matanya. Aku merangkul bahunya.
Ucapnya sambil duduk
dengan meja kami.
“Kita balas dia ya Nit!”
Anton sedikit bersemangat, tapi tak
punya kesempatan bicara, karena
Anita, Hartono dan aku sibuk ngobrol.
Akhirnya ia hanya duduk bersandar di
kursinya, kehilangan minat sama
sekali pada acara ini.
##########
Pukul lima sore lewat sedikit. Aku
mendengar deru motor di depan
rumahku.
Tak
lama,
bel
pintu
berbunyi.
“Hai Ranti, udah siap?” Sapa sang
idola itu, saat aku membuka pintu.
“Mmm… gimana ya Ton, mendadak
aku ada tamu penting nih.”
Anton melihat ke dalam ruang tamu
dari
balik
pundakku.
Matanya
tertumbuk pada seorang cowok yang
sedang duduk santai. Cowok itu lalu
melangkah ke sampingku.
“Hai, kamu pasti Anton. Kenalkan Aku
Hartono.” Cowok itu mengulurkan
tangan.
Anton
membalas
menyalaminya.
Mukanya menunjukkan ia bingung.
“Ini Hartono, Ton, cowokku baru
datang dari Bandung. Ia mau ikutan
nonton pembacaan puisi juga. Boleh
ya Ton.”
bergabung
Ketika acara usai, kami bertiga
berpamitan pada Anton. “Makasih ya
Ton, udah ngajakin kita ke acara ini.
Kita jalan dulu ya.” Ucapku padanya
sambil berjalan ke mobil Hartono.
Anton hanya mengangguk lesu. Ketika
masuk ke mobil, semuanya tertawa.
“Kamu lihat mukanya tadi Nit?
Berusaha mau ngajak kamu ngobrol.”
“Iya, tapi lebih asyik obrolan kita ya…”
Jawab Anita seru, “Tapi tadi waktu
jemput kamu, dia benar-benar kaget
dong?”
“Tentu saja. Tapi ini terakhir aku purapura jadi pacar Ranti ah. Nanti aku
enggak laku!” Sahut Hartono sambil
tertawa. Sebetulnya, Hartono adalah
sepupuku yang kuliah di Bandung. Aku
meminta bantuannya untuk mengerjai
Anton.
Anton
membuka
topi
petnya,
menggaruk kepalanya. “Boleh aja sih
Ran…” Jawabnya tak bersemangat.
Kami menurunkan Anita di rumahnya,
lalu langsung pulang. Setibanya di
rumah, tak lupa aku berterima kasih
pada Hartono.
“Oke, kita ketemu di sana ya. Aku naik
mobilnya Hartono.” Kataku lagi.
“Makasih ya Har. Kamu baik deh.” Aku
menepuk punggungnya.
Anton tak punya pilihan. Maka ia
segera
menunggangi
motornya
kembali dan berlalu.
“Sama-sama Ran. Eh, tapi jadi kan
kamu nyomblangin aku ke Anita?”
Sahutnya bersemangat.
Aku menyusulnya bersama Hartono.
“Huuu… jadi nolongin ada imbalannya
nih?”
Tiba di Bentara Budaya, Anton yang
tiba lebih dahulu sudah duduk di salah
satu meja. Wajahnya benar-benar tak
bersemangat.
Kami
lalu
duduk
bersama. Sepanjang acara, hanya aku
dan Hartono yang berbincang saja.
Kadang saat aku menanyakan sesuatu
pada Anton, ia hanya menjawab
sekenanya. Menjelang acara berakhir
tiba-tiba Anita muncul.
“Sori Ranti, aku telat. Soalnya tadi
kena macet.” Ujar Anita. Anton
terbelalak.
“Geser
sedikit
Ton.”
“Bukan imbalan sih. Tapi enggak ada
salahnya kan.”
“Iyalah. Tapi kamu enggak playboy
kayak Anton kan?”
Hartono mengangkat jari telunjuk dan
tengahnya, membentu hurf V, “Pasti
Ran.”
Kami tertawa bersama. Dina dan Yeni
mesti kuberitahu kejadian seru hari ini.
*** by Chr: 1986 ***
Analisis Cerpen “Sang Idola” karya Chaer:1986
Cerpen sang idola menceritakan tentang kisah remaja disekolah antara persaingan,
cinta dan persahabatan. Kehadiran Sang idola, Anton jagoan basket yang diidolakan
cewek-cewek disekolah, menimbulkan persaingan antara Ranti, kedua sahabatnya
dan Anita si kutubuku yang kuper.
Persaingan dengan kedua sabatnya tidak menimbulkan masalah, karena mereka
bersaing sehat dan tetap sahabat. Tapi saingan baru mereka ini yang menimbulkan
masalah besar. Cewek saingannya itu adalah Anita si kutubuku. Anton sering jalan
bareng sama Anita, malah sering juga dibonceng saat berangkat sekolah.
Penampillan Anita pun berubah. Yng semua cupu dan kuper berubah menjadi lebih
manis dan menor pakai anting panjang. Mereka berdua tampak semakin dekat, dan
Anton lebih tertarik pada Anita dari pada dengan Ranti dan kedua sahabatnya.
Yang sangat mengagetkan ketika diperpus, Anton menghampiri Ranti dan duduk
disampingnya. Anton bilang ingin bertemu dengannya karena kangen dan
mengajaknya keluar nanti sore ke Bentara Budaya nonton acara baca puisi acara
kesukaan Ranti. Ia setuju, dan sebelum Anton beranjak meninggalkan nya, Ranti
bertanya tentang Anita. Ia bertanya apakah Anita tidak marah kalau lihat mereka
jalan brdua. Anton menjelaskan kalau dia tidak ada apa-apa dengan Anita, dia
mendekatinya supaya mau dibantu bikin PR saja. Anton juga bilang sebenarna
sudah lama dia naksir sama Ranti papi belum sempat menyatakan.
Ternyata apa yang mereka bicarakan tadi didengar oleh Anita. Tiba-tiba Anita masuk
dan melepaskan genggaman tanganya dengan Ranti, menyapa Nita lalu pergi,
seperti tidak terjadi apa-apa. Anita duduk disebelah Ranti lalu menangis. Bukan rasa
puas dan senang melihat Anita patah hati, tapi justru berbeda. Kemudian mereka
berdua curhat dan Ranti menenangkan Anita yang hancur hatinya. Mereka berdua
sepakat akan membalas.
Pukul lima sore Anton menjemput Ranti, tapi tidak beranjak pergi karena ada cowok
dibelakang Ranti. Kemudian ia mengenalkanya dengan dengan sang idola basket
itu, dan ternyata Ranti bilang itu adalah pacarnya. Ranti juga bilang mau
mmengajak Hartono cowoknya itu ikut nonton. Lalu mereka berangkat bersama,
tapi dang idola basket sendirian dengan motornya karena Ranti bersama dengan
Hartono nak mobil. Dengan tak bersemangat Anton pun terpaksa berangkat.
Sampainya di Bentara Budaya, Anton hanya duduk bersandar tak bersemangat,
sedangkan Ranti dan Hartono asyik berbincang. Tak lama kemudian Anita datang
dan mereka bertiga asyik ngobrol, tapi Anton hanya bicara sedikit dan menjawab
sekenanya saja. Ketika acara usai, mereka bertiga beranjak duluan dan berpamita
pulang pada Anton dan mengucapkan terimakasih telah menemani mereka. Anton
menjawabnya dengan anggukan lesu. Ketika masuk ke mobil, semuanya tertawa
dan ternyata itu adalah sekenario mereka untuk membalas Anton, dengan bantuan
Hartono sepupu Ranti yang kuliah di Bandung. Untuk membalasnya Tono minta agar
Ranti mau ngejomblangin Tono ke Nita, dan Ranti setuju tapi memastikan bahwa
Hartono tidak playboy seperti Anton, dan mereka tertawa bersama. Ranti berfikir, ia
mesti memberi tahu kepada Dina dan Yeni sahabatnya.
Analisis Struktur
Alur
Paparan digambarkan ketika tokoh aku dan kedua sahabatnya kesal karena Anton
sang idola mereka ngeboncengin Anita. Rangsangan ketika mereka berdua sering
jalan bareng. Gawatan diambarkan ketika Niita dan Anton makan bareng di kantin
sekolah, dan mereka bertiga dicuwekin. Klimaks digambarkan ketika anton
mmenghampiri Ranti, menyatakan kalau dia naksir Ranti sudah lama. Kemudian
Anton ngajak Ranti keluar nonton acara baca puisi. Sang idola basket juga
mengatakan ia dekat dengan Anita karena cima iseng agar dia mau Bantu Anton
bikin PR. Anita mmendengarkan semua pembicaraan Anton dan patah hati.
Leraian digambarkan ketika Anton menjemput Ranti untuk nonton acara baca puisi.
Selesaian digabarkan ketika Ranti menajak Hartono yang dkenalkan pada Anton
sebagai cowoknya yang baru datang dari Bandung, mereka berangkat dan Anton
kecewa tapi terpaksa berangkat. Anita juga hadir, lalu mereka bertiga asyik ngobrol
dan Anton hanya diam. Setelah acara selesai, mereka bertiga berpamitan dan
masuk mobil lalu tertawa bersama, karena telah membalas perlakuan Anton.
Tokoh dan Penokohan
Tokohnya yaitu Anton sebagai pemeran utama sekaligus lawan idola lalu menjadi
lawan tokoh Ranti dan Anita, Yeni dan Dina sebagai sahabat Ranti, Hartono sebagai
sepupu Ranti. Ranti dalam cerpen “Sang Idola” merupakan unsure yang sangat
penting karena menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan
kepada pembaca. Bahwa keberadaan teman adalah sangat penting, maka tidak
perlu adanya persainganmemperoleh perhatian atau apapun dengan menorbankan
persahabatan. Bukan sifat pendendam yang diperankan oleh Ranti, tapi untuk
mempertahankan persahabatan dan menyadarkan Anton. Tokoh Anton bersifat
sombong, playboy, suka mempermainkan dan memanfaatkan cewek. Anita bersifat
baik, sabar, dan tidak pendendam.
Latar
Penulis lebih menekankan tempat dan suasana kejadian. Yaitu berawal dari
sekolahan; kantin, parkiran dan perpustakaan. Lalu di Bentara Budaya pada acara
baca puisi, suasananya menyenangkan.
Tema
Cerpen “Sang Idola” menceritakan tentang persaingan, cinta, dan persahabatan.
Persaingan untuk memperoleh perhatian dari seorang cowok tidak sebanding
dengan persahabatan sejati.
Amanat
Pengarang cerpen “Sang Idola” mengajak untuk menilai sebuah persaingan dan
persahabatan. Persaingan merebut perhatian atau apapun menjadikan Ranti
memahami sebuah kebenaran dalam persahabatan. Ranti, Anita dan mereka semua
yang masih remaja, dengan cara anak remaja juga mereka memberi pelajaran
kepada Anton agar sadar dan jera akan keplayboyannya dan agar bias menghargai
wanita serta arti persahabatan.