Perlukah Izin Orangtua untuk Menjadi Jur

PERLUKAH IZIN ORANGTUA UNTUK
MENJADI JURNALIS?
Oleh Satrio Arismunandar

Saya sedikit tersenyum membaca iklan di Harian Republika hari Senin (4 Oktober 2010),
tentang lowongan untuk menjadi reporter/fotografer. Pasalnya, ada satu klausul yang
menyaratkan adanya "surat izin dari orangtua/wali untuk menjadi reporter/fotografer."
Saya bisa memahami munculnya syarat semacam itu. Mungkin Republika (dan mediamedia lain) pernah mengalami kasus, di mana reporter/fotografer yang sudah direkrut, diterima
bekerja, dan capek-capek dididik, ternyata lalu mengundurkan diri begitu saja hanya karena
desakan atau tekanan orangtua.
Pola kerja wartawan yang tak tentu jam kerjanya, dan kadang-kadang harus menempuh
risiko tinggi (untuk liputan konflik, perang, bencana alam, atau investigatif), memang bisa
mengejutkan bagi orangtua/wali atau keluarga dari wartawan bersangkutan, yang biasa berpikir
konvensional.
Yang dimaksud cara pikir "konvensional" di sini adalah anggapan bahwa pekerjaan yang
benar dan "normal" hanyalah pekerjaan semacam karyawan swasta atau pegawai negeri biasa,
yang berangkat jam 6.00 pagi dan pulang kantor jam 17.00. Kalau toh ada tugas lembur, paling
banter sampai jam 21.00. Jadi, semua bisa diprediksi, aman, tertib, teratur, tidak neko-neko,
tidak perlu nyerempet bahaya. Dilihat dari pola pikir semacam ini, pekerjaan sebagai wartawan
jelas masuk kategori "kurang normal."
Meskipun saya bisa memahami alasan di balik itu, saya bertanya-tanya: Dengan

mensyaratkan surat izin orangtua semacam itu, apakah kita tidak memperlakukan seorang
wartawan seperti "anak-anak?" Wartawan yang berusia di atas 20-an tahun, yang notabene
umumnya adalah lulusan perguruan tinggi, sepatutnya diperlakukan sebagai orang dewasa, yang
harus memilih jalan hidupnya sendiri dan berani bertanggung jawab atas pilihannya tersebut.
Sebaliknya, jika di Republika , calon wartawan lebih diperlakukan seperti anak-anak, di
Koran Tempo, seorang calon wartawan yang relatif masih belum tahu apa-apa dianggap seolaholah sudah sangat matang.
Hal yang agak lain, pernah saya baca dalam iklan lowongan reporter di Koran Tempo.
Saya lupa persis rumusannya, tapi ada klausul persyaratan yang bunyinya kira-kira sebagai
berikut: si calon reporter ini sudah "memilih jalan hidup sebagai jurnalis."

1

Ini sebetulnya pernyataan yang sangat ideal, dan dari segi konten sebenarnya tidak ada
yang salah. Bukankah sangat baik, jika mereka yang bekerja sebagai jurnalis adalah orang yang
betul-betul memilih jurnalis sebagai profesi dan "jalan hidup?" Orang semacam ini diyakini akan
sangat berdedikasi pada profesi jurnalis.
Namun, menurut pandangan saya, tidak banyak orang (baca: fresh graduate) yang ketika
mencari pekerjaan betul-betul sudah mengerti, memahami, dan menghayati profesi jurnalis.
Memilih jalan hidup itu bukan urusan main-main, dan tidak jarang memerlukan suatu pergulatan
batin. Penemuan suatu jalan hidup umumnya bukanlah suatu proses linear, dan setiap

orang punya jalannya sendiri yang unik.
Mungkin, ada orang yang sejak sekolah di SD, ketika ditanya oleh gurunya, dia bercitacita ingin jadi apa, dia bisa menjawab tegas: "Saya cuma ingin jadi jurnalis, tidak mau jadi yang
lain." Tapi menurut saya, hal seperti itu sangat jarang terjadi.
Umumnya, kita melakukan pencarian diri, punya cita-cita yang berganti-ganti. Bahkan
ada saat-saat di mana kita merasakan kebingungan akut, sebetulnya kita ini mau jadi apa. Umur
20-an itu masih termasuk usia muda, di mana sangat mungkin terjadi pilihan-pilihan
pekerjaan/profesi seseorang berubah. Banyak fresh graduate mungkin bahkan belum berpikir
soal "jalan hidup," tetapi baru sekadar mencari pekerjaan yang nyaman, bergaji besar, bergengsi,
dan sebagainya.
Penyair dan sastrawan besar WS Rendra pernah mengalami kebingungan semacam itu,
sehingga dia --dalam tekanan pencarian jati diri yang ekstrem-- akhirnya nekad meloncat dari
atas bukit yang tinggi untuk memperoleh jawaban. Untungnya, dia jatuh ke tanah di bawah
tanpa terluka. Tetapi Rendra saat jatuh ke tanah itu berhasil menemukan jawaban: "Aku ingin
jadi penyair!" Itu untuk orang sekaliber Rendra!
Saya mohon maaf pada teman-teman Harian Republika dan Koran Tempo. Sama sekali
tidak ada niat saya untuk meremehkan atau mengolok-olok persyaratan aplikasi di media Anda.
Saya malah merasa bisa memahami latar belakang munculnya klausul-klausul tersebut. Tetapi,
sejujurnya tulisan ini memang muncul karena rasa tergelitik saya, sesudah membaca
persyaratan-persyaratan lamaran kerja bersangkutan. Semoga saja cetusan pemikiran ini ada
gunanya. ***

Jakarta, Oktober 2010

Biodata Penulis:
* Satrio Arismunandar adalah anggota-pendiri Aliansi Jurnalis Independen atau AJI (1994), Sekjen AJI (199597), anggota-pendiri Yayasan Jurnalis Independen (2000), dan menjadi DPP Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
(SBSI) 1993-95. Pernah menjadi jurnalis Harian Pelita (1986-88), Kompas (1988-1995), Majalah D&R (19972000), Harian Media Indonesia (2000-Maret 2001), Produser Eksekutif Divisi News Trans TV (Februari 2002-Juli
2012), dan Redaktur Senior Majalah Aktual – www.aktual.co (sejak Juli 2013). Alumnus Program S2 Pengkajian
Ketahanan Nasional UI ini sempat jadi pengurus pusat AIPI (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia) 2002-2011.

2

Kontak Satrio Arismunandar:
E-mail: [email protected]; [email protected]
Blog pribadi: http://satrioarismunandar6.blogspot.com
Mobile: 081286299061

3