SEJARAH FILM KOMEDI INDONESIA

Journal of Communication (Nyimak)
Vol. 1, No. 2, September 2017, pp. 189-195
P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia
Rizky Hafiz Chaniago
Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia, Malaysia
Email: r_chaniago@hotmail.com

ABSTRAK
Dalam sejarah perfilman Indonesia, film komedi mulai muncul pada dasawarsa 1950-an, bersamaan
dengan diproduksinya film nasional pertama yang disutradarai Nya’ Abbas Akup. Film komedi Indonesia
paling banyak diproduksi pada 1980-an dan sebagian besar dibintangi oleh grup yang menamai dirinya
Warkop DKI. Dalam perkembangannya, film komedi di era 2000-an terbagi menjadi beberapa genre. Tulisan
ini memaparkan sejarah perkembangan film komedi di Indonesia dalam tiga periode: era klasik (19601970), era pertengahan (1980-1990) dan era milenium (2000-hingga kini).
Kata Kunci: Perfilman Indonesia, komedi, sejarah film komedi Indonesia

ABSTRACT
In the history of Indonesian cinema, comedy films began appearing in the 1950s, along with the production of
the first national film directed by Nya’ Abbas Akup. Indonesian comedy films were mostly produced in the 1980s
and mostly starred by a group calling itself Warkop DKI. In its development, comedy films in the 2000s were

divided into several genres. This paper describes the history of the development of comedy films in Indonesia in
three periods: classical era (1960-1970), middle era (1980-1990) and millennium era (2000-up to present).
Keywords: Indonesian movie, comedy, history of Indonesian comedy

PENDAHULUAN
Setelah beberapa kali mengalami fase jatuh-bangun, dunia perfilman komedi Indonesia
kembali menemukan momentum kebangkitannya pada tahun 2000-an melalui film komedi
bernuansa remaja. Beberapa film komedi yang menuai sukses tersebut antara lain Janji Joni, Get
Married, 5 Sehat 4 Semputna, Tarix Jabrix dan lain-lain. Dalam sejarah perjalannya, setiap fase
yang dilalui memperlihatkan perubahan dan perbedaan latar belakang sesuai dengan semangat
zamannya masing-masing; ada film yang dibuat semata-mata sebagai hiburan dan ada juga yang
sarat dengan kritik sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif untuk melihat
jejak perkembangan film komedi di Indonesia sejak era 1960-an hingga 2000. Analisis juga
dilakukan terhadap beberapa film komedi dari segi manfaatnya bagi penonton.

SEJARAH FILM KOMEDI INDONESIA
Dalam sejarah perfilman Indonesia, film komedi sudah mewarnai perfilman Indonesia
semenjak 1950-an. Beberapa film komedi yang diproduksi selama era itu bisa dikatakan menuai
sukses karena menarik banyak penonton, seperti Krisis (disutradari Usmar Ismail, 1953), Heboh
(Nya’ Abbas Akup, 1954), Tamu Agung (Usmar Ismail, 1955), Tiga Dara (Usmar Ismail, 1956) dan

Pilihlah Aku (Nawi Ismail, 1956) (Suwardi 2006: 11). Pada 1989, ada 12 film komedi (11,5%) yang
Citation : Chaniago, Rizky Hafiz. 2017. “Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia”. Journal of
Communication (Nyimak), Vol. 1, No. 2, 189-195.

189

Journal of Communication (Nyimak), Vol. 1, No. 2, September 2017

diproduksi dari 104 judul film, sementara pada 1990 ada 25 judul (28,75%) film komedi yang
diproduksi dari 115 judul film yang diproduksi. Angka tersebut memperlihatkan produktivitas
genre film komedi Indonesia. Namun demikian, produktivitas tersebut juga tak luput dari kritik.
Marselli Sumarno misalnya, pernah menyatakan bahwa sebagian besar film komedi Indonesia
hanya sekedar hiburan semata (Suwardi, 2006: 13).
Sementara itu, penulis dan pengamat film Eddy D. Iskandar menyatakan bahwa sebagian
besar film komedi Indonesia tak lebih dari sekadar lelucon belaka. Para kritikus lainnya menyatakan
bahwa kelemahan film komedi Indonesia terletak pada skenarionya yang buruk. Menurut Suwardi
(2006), skenario yang baik sangatlah menentukan kualitas film yang diproduksi. Skenario yang
baik, terlebih lagi jika digarap sutradara berbakat, berwawasan luas dan berpengalaman, akan
menghasilkan film komedi yang bermutu (lucu) dan mampu mengajak para penontonnya untuk
berpikir kritis (Suwardi, 2006: 14). Minimnya unsur yang disebutkan terakhir itulah yang ditemui

dalam sebagian besar film komedi Indonesia.
WS Rendra menyebutkan bahwa komedi bukan hanya sekedar lawakan kosong; komedi harus
mampu mengajak para penontonnya untuk berpikir kritis dalam melihat kehidupan sehari-hari
secara lebih mendalam. Ada banyak pendapat yang menyatakan bahwa humor itu cenderung
bersifat subjektif, dan karenanya tidak ada satu pun teori yang bisa menganalisisnya secara
objektif. Adapun berbagai kritik yang ditujukan kepada film komedi Indonesia yang dianggap
hanya sekedar lawakan kosong, ditujukan kepada film komedi yang diproduksi sejak era 1950-an
hingga 1990-an yang mempertontonkan tindakan bodoh (stupidity). Ciri khas tersebut kemudian
lebih dipopulerkan oleh Warkop (Dono, Kasino, Indro) yang merajai film-film komedi pada tahun
1980-an. Sepanjang era 1980-an, Wahyu Sardono (Dono), Kasino Hadiwijoyo (Kasino), Indrojoyo
Negoro (Indro), membintangi sebanyak 22 film (Suwardi, 2006: 88). Beberapa film Warkop yang
popular sepanjang era tersebut adalah Pintar-Pintar Bodoh (Sutradara Arizal, 1980), Maju Kena
Mundur Kena (Arizal, 1983), Sama Juga Bohong (Chaerul Umam, 1986), Jodoh Boleh Diatur (Ami
Priyono), dan Godain Kita Dong (Hadi Purnomo, 1989).
JOJON DAN CIRI KHASNYA
Dalam dunia perfilman komedi di Indonesia, Jojon (Djuhri Masdjan) adalah sosok komedian
senior dengan ciri khas celana komprang dan kumis ala Charlie Chaplin. Selain itu, ekspresi
wajah dan gerak tubuh juga menjadi salah satu ciri khas yang dimiliki Jojon. Keempat ciri khas
tersebut sudah melekat sedemikian rupa selama lebih dari 35 tahun. Sebagai komedian senior,
Jojon bisa dikatakan berhasil menjaga empat ciri khas tersebut sekaligus mampu beradaptasi

dengan para komedian muda yang memiliki semangat dan zaman yang berbeda. Pada mulanya,
Jojon dikenal lewat Jayakarta Group, yaitu kuartet lawak yang dibentuk pada 1978 yang
beranggotakan Cahyono, U’uk, Johnny dan Jojon. Kamera Ria dan Aneka Ria Safari adalah acara
televisi yang sering mereka isi dan dalam perjalanannya turut membesarkan nama Jayakarta
Group. Film perdana mereka adalah Oke Boss yang diproduksi pada 1981 dan disutradarai oleh

190

Rizky Hafiz Chaniago

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

Elanda Rossi. Film tersebut bercerita tentang Jojon sebagai seorang kepala rumah tangga tetapi
kerap kali ia berada di bawah pengaruh istrinya. Karena tertekan oleh istrinya, Jojon mencari
hiburan dengan mendekati pembantunya, Wati. Di sisi lain, Cahyono berusaha untuk membantu
Jojon mengatasi permasalahannya. Namun di sisi lain, pembantu Jojon ternyata menjalin kasih
dengan supir Jojon. PAda film ini, ekspresi wajah dan gerak tubuh menjadi ciri khas yang memberi
kekuatan pada film komedi ini.
Di masa sekarang ini, film komedi yang menampilkan mimik lucu bisa dikatakan sudah langka.
Sebagian besar film komedi Indonesia yang diproduksi tahun 2000 sampai 2006 cenderung

bernuansa komedi situasi, yaitu cerita komedi yang didasarkan kepada para tokohnya atau
berdasarkan plotnya (Suwardi, 2006: 67). Salah satu contohnya ialah film Janji Joni (2005) yang
disutradarai Joko Anwar dan dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Maiana Renata. Film ini berkisah
tentang seorang pengantar roll film yang bernama Joni (Nicholas Saputra), sosok yang tak pernah
telat dalam menjalani pekerjaannya. Pada suatu hari, ia bertemu dengan seorang wanita cantik
(Mariana Renata) dan menanyakan namanya. Sang perempuan akan memberitahu namanya jika
Joni bisa membawakannya film yang ingin ditontonnya. Setelah selesai menonton film itu, ia
akan memberitahukan Joni siapa namanya. Berbagai pengalaman lucu yang dialami Joni menjadi
faktor utama keberhasilan film ini.
Menurut Jojon, bentuk komedi lama yang menggunakan ekspresi wajah sudah tidak dapat
mengundang tawa penonton (Kompas, 7 Juli 2011). Jojon menyadari betul bahwa film komedi
akan terus mengalami perkembangan dan perubahan. Para pelawak muda dengan beragam gaya
lahir, begitu juga penonton baru bermunculan.
“Saya menghadapi perubahan ini dengan tidak mau bersikap senior. Saya memilih
untuk mengalah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan. Jangan merasa kita
ini paling berpengalaman. Saya terjun dan bergaul dengan anak-anak (komedian
muda). Jangan salah, mereka juga mau belajar dan kreatif.” (Kompas, 7 Juli 2011)
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah perubahan bentuk komedi yang terjadi dari masa ke
masa. Perkembangan zaman menuntut para sutradara film agar mengubah konsep film komedi.
Selain itu, para komedian senior juga perlu beradaptasi agar dapat menjaga popularitasnya. Bagi

Jojon, melakukan adaptasi dan penyesuaian diri tak berarti harus ikut terbawa atau
menghilangkan karakter yang sudah terbangun. Sebagai sosok komedian senior Jojon juga
memperkaya warna komedi Indonesia bersama para pemain muda, misalnya dalam film Mau
Dong Ah yang diproduksi pada 2009 dan disutradarai Christian Pauli. Film komedi Mau Dong Ah
berkisah mengenai seorang pendiri organisasi (Komeng) yang punya hobi makan kerupuk dan
ingin menjadi presiden. Di dalam film ini, Jojon berperan sebagai polisi dan ia dapat menjaga ciri
khasnya dengan tetap memakai kumis ala Charlie Chaplin. Hanya saja, mimik lucu dan celotehan
spontannya sudah tidak lagi terlihat. Dalam film ini, Jojon cenderung mengikuti materi naskah
yang menekankan pada dialog.

Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia

191

Journal of Communication (Nyimak), Vol. 1, No. 2, September 2017

SOSOK WARIA
Pada 2006, sosok waria kembali mewarnai dunia komedi Indonesia. Di antara mereka ialah
Aming, Ivan Gunawan dan Olga Syahputra. Laki-laki yang berdandan layaknya wanita memang
sedang marak di layar kaca akhir-akhir ini, mulai dari acara kuis, sinetron, variety show dan lain

sebagainya. Munculnya sosok waria memang bertujuan untuk mengundang tawa penonton.
Sosok komedian senior (era 1970-an) yang mewakili gaya ini ialah Karjo AC/DC dan Tessy; keduanya
pernah melakukan survei ke komunitas waria Surabaya agar bisa menghayati peran yang mereka
mainkan (Kompas, 28 Januari 2007). Model seperti ini dalam dunia hiburan bisa dikatakan sebagai
model standar komedi di Indonesia, yang bisa ditemui dalam film-film bioskop di era 1980-an,
antara lain Warkop DKI dan Catatan si Boy (Didi Petet berperan sebagai Emon). Di Barat, peran
seperti ini berhasil dimainkan oleh Dustin Hoffman dalam film Tootsie dan Robin Williams dalam
film Mrs. Doubtfire.
Salah satu film remaja yang sukses dengan menyuguhkan peran waria adalah film D’Bijis
(2007). Film ini bercerita tentang grup musik tahun 1990-an yang bubar lalu bangkit lagi pada
2006. Film yang disutradarai Rako Prijanto ini meminjam semangat rock sebagai inti cerita guna
menyatukan hal yang tercerai. Film yang skenarionya ditulis oleh Titien Wattimera ini mampu
menghadirkan alur cerita yang utuh. Film ini bercerita tentang Asti (Rianti Cartwright) yang
berusaha menyatukan kembali personel grup musik The Bandits setelah bubar. Kakak Asti, Bonnie
(Darius Sinathrya), mendadak pingsan dan meninggal setelah mabuk dan berjingkrak-jingkrak di
atas panggung. Asti mulai mencari sang penggantinya hingga ia bertemu dengan Damon (Tora
Sudiro), gitaris yang menjadi bartender di sebuah kafe. Setelah itu, ada Gendro (Indra Birowo)
sebagai pemain drum, Bule (Gary Iskak) sebagai pemain bas, dan Soljah (Ruli Lubis) sebagai
pemain keyboard. Film D’Bijis lebih berbicara tentang sebuah perjalanan untuk menemukan
sesuatu yang hilang. Dalam film ini yang ditonjolkan adalah unsur komedi dan penguraian konflik

yang mengalir ringan.
Bagian yang menarik dalam film ini adalah Bule yang diperankan oleh Gary Iskak. Pada suatu
saat dalam perjalanan hidupnya, Bule berubah menjadi Yanti sebab cinta dan kesetiaannya kepada
Anang (Arawin Pinte). Kesetiaan pula yang membuatnya tidak bisa melepaskan The Bandits.
Adegan yang paling menyentuh bisa dilihat misalnya saat Bule bertengkar dengan Anang di
rumah kontrakan. Sosok Bule dan Yanti yang diperankan Gary Iskak terlihat cukup menonjol
dalam film ini. Musik Rock menjadi unsur pemersatu.
Selain keberhasilan D’Bijis, ada juga film komedi model ini yang tidak mendapat apresiasi
dari penonton. Berbagai kritikan tak jarang dilontarkan oleh masyarakat yang menyebut film
semacam ini (menampilkan waria) bertentangan dengan ajaran agama, melecehkan perempuan
atau laki-laki serta melewati batas kesopanan (Kompas, 28 Januari 2007)

192

Rizky Hafiz Chaniago

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

KOMEDI SLAPSTICK
Di era 2000-an, perkenalan kultural antarsuku bangsa di Indonesia lebih bersifat fisik (wajah,

warna kulit, postur tubuh). Apa yang dialami ketika saling berinteraksi ialah sempitnya wawasan
budaya dalam pengertian yang esensial, yang sesungguhnya sangat penting agar bisa menjalin
interaksi yang dinamis, sehat, kreatif dan harmonis. Interaksi dalam domain fisik, dengan segala
keanekaragamannya, berpotensi menjadi ‘komoditas’ untuk dipertontonkan sebagai hiburan.
Film komedi yang menyuguhkan physical abuse atau slapstick menjadi salah satu bentuk baru
untuk menghibur penonton. Komedi baru ini (mencela fisik lawan main) menjadi tren di berbagai
stasiun televisi, misalnya Opera van Java (Trans7), Extravaganza (Trans TV) dan Pesbukers (ANTV).
Para komedian muda yang mewakili bentuk baru komedi ini antara lain Sule, Azis Gagap, Andre
Taulani, Parto, Nunung, Olga Syahputra, Aming, Tora Sudiro, Opie Kumis, Melanie Ricardo dan
lain-lain.
Pada 2010, Stand Up Comedy mulai popular di kalangan masyarakat Indonesia. Stand Up
Comedy atau menceritakan sesuatu yang lucu sambil berdiri baru berkembang beberapa tahun
belakangan ini. Harus diakui, jenis ini komedi ini kurang berkembang karena selera humor
masyarakat Indonesia cenderung lebih mudah menerima komedi slapstick (bercanda fisik) seperti
Opera van Java atau Srimulat. Unsur slapstick seperti dorong-dorongan dan eksploitasi bentuk
tubuh atau wajah cenderung menjadi ciri khas komedi Indonesia. Salah satu faktor keberhasilan
Opera van Java adalah saratnya unsur slapstick dengan saling iseng, jahil dan usil. Terkadang, ada
juga adegan yang agak kasar seperti mendorong lawan main hingga jatuh (merusak properti
panggung yang sengaja dibuat dari styrofoam).
Di balik keberhasilan tayangan ini, ternyata ada banyak hal negatif yang kiranya berdampak

negatif pada penonton, yaitu memukul, menendang, mendorong, dan yang tidak kalah negatifnya
adalah mengejek dengan cara merendahkan lawan main. Namun demikian, tindakan-tindakan
tersebut tidak disadari karena tertutup tawa penonton. Akibatnya, tayangan tersebut terkesan
membolehkan berlaku apa saja selama bisa membuat orang tertawa. Ironisnya jika adeganadegan itu dikurangi, sebagian penonton akan menganggap Opera van Java tak lagi menarik.
Bagi penonton, adegan seperti itulah yang menjadikan Opera van Java menarik. Hal ini juga
tidak terlepas dari cara produser mengkonstruksi makna sehingga penonton mulai terbiasa dengan
makna yang baru.
Menurut Rini (2010), apa yang dibangun oleh produser Opera van Java adalah mewajarkan
kekerasan; mewajarkan adalah membuat sesuatu yang tidak wajar menjadi wajar. Bagaimanapun
juga, produser seharusnya mampu membuat penonton tertawa dengan cara-cara yang lebih
cerdas atau tanpa unsur kekerasan. Bagi penonton sendiri, ironisnya, mereka seakan tidak peduli
dengan adegan-adegan kekerasan selama masih bisa tertawa (menertawakan).

Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia

193

Journal of Communication (Nyimak), Vol. 1, No. 2, September 2017

ANTARA ESTETIKA DAN SELERA PASAR

Ada dua hal menarik yang bisa dicatat dalam sejarah perfilman Indonesia di era 2000-an,
yaitu ramainya penonton yang datang ke bioskop dan munculnya sineas muda Indonesia (Kompas,
7 Desember 2008). Film Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi akan selalu diingat sebagai bagian
dari kebangkitan dunia perfilman nasional yang diadaptasi dari karya sastra (novel). Pada 2008,
film Ayat-Ayat Cinta sudah ditonton oleh 3,7 juta penonton, sementara film Laskar Pelangi, dua
bulan semenjak dirilis, ditonton sekitar 4 juta penonton. Salah satu faktor kesuksesan kedua
film ini adalah suksesnya penjualan buku Ayat-Ayat Cinta dan Laskar Pelangi sebelum keduanya
diadaptasikan menjadi film layar lebar. Selain digarap serius, kedua film ini menyajikan tema
percintaan remaja dan tidak memiliki unsur komedi yang berbau seksual.
Booming film komedi yang menampilkan unsur seksualitas sebenarnya pernah terjadi dalam
perjalanan perfilman komedi Indonesia. Pada pertengahan 1970-an, Nya’ Abbas Akup
menyutradarai film Inem Pelayan Seksi. Film ini bisa dikatakan menuai sukses. Bahkan, film ini
dibuat dalam tiga sekuel. Pada era 2000-an, film jenis ini kembali muncul di Indonesia setelah
terinspirasi film American Pie. Misalnya film XL (Xtra Large), Anda Puas Saya Loyo, Mas Suka
Masukin Aja, ML (Mau Lagi), dan Basah. Film-film itu sendiri memiliki pasar (penonton) yang
menjanjikan.
Para produser di Indonesia sendiri kurang tertarik mengerjakan film-film seperti Ayat-Ayat
Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Laskar Pelangi dengan pertimbangan kurang diminati oleh
penonton (pasar). Sebaliknya, film-film komedi yang menampilkan unsur seksualitas dianggap
lebih laku di pasaran, dengan rata-rata jumlah penonton sebanyak 600.000 hingga 800.000.
Sebagian masyarakat Indonesia menganggap film komedi jenis ini berbahaya, sebab bisa merusak
moral bangsa. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah menyampaikan protesnya jika film-film
seperti itu dapat mendorong perilaku seks bebas di tengah-tengah masyarakat. Namun pada sisi
lain, kondisi seperti ini juga berpotensi menghambat kemajuan dunia perfilman Indonesia dan
para sineas muda yang sekarang banyak bermunculan.

KESIMPULAN
Mencermati perjalanan film komedi Indonesia, perkembangan selama dekade 1950-an hingga
akhir 1990-an bisa dikatakan berbeda dengan era 2000-an. Sejarah awal pertunjukan komedi di
Indonesia sendiri telah dimulai semenjak ratusan tahun yang lalu dalam bentuk wayang orang,
ludruk atau ketoprak. Pada konteks sejarah perkembangan film komedi Indonesia,
perkembangannya dapat dibagi menjadi tiga periode: era klasik (1960-1970), era pertengahan
(1980-1990) dan era milenium (2000-hingga kini). Pada era klasik, tercatat ada banyak film komedi
yang diproduksi. Nya’ Abbas Akup misalnya, yang dianggap sebagai pelopor film komedi, banyak
menyutradarai film komedi, seperti Inem Pelayan Seksi, Koboi Cengeng, Tiga Buronan, dan lainlain. Film-film komedi yang disutradarai Nya’ Abbas Akup banyak dibintangi oleh komedian

194

Rizky Hafiz Chaniago

P-ISSN 2580-3808, E-ISSN 2580-3832

berbakat, seperti Eddy Sud, Bing Slamet, Vivi Sumanti, dan kelompok Kwartet Jaya yang
memunculkan sosok Ateng.
Gaya komedi pada era klasik lebih kepada penguatan karakter dan permainan kata-kata
didukung oleh ekspresi jenaka karena film komedi Indonesia era 1960-1970-an setidaknya diambil
daripada nilai-nilai dan tatanan sosial yang berlaku di Indonesia yaitu dengan tetap
memperhatikan azas kepatutan dan kesopanan walaupun terpaku kepada banyolan dan polapola komedi ekspresi wajah serta gestur tubuh. Sedangkan perkembangan film komedi pada
masa pertengahan Indonesia memunculkan kelompok-kelompok seperti Warkop DKI yang
merupakan singkatan daripada Warung Kopi DKI terdiri atas Almarhum Dono, Almarhum Kasino
dan Indro. Kelompok lain selain Warkop DKI pada era ini adalah kumpulan parodi Pancaran Sinar
Petromak (PSP) yang melambungkan nama Monos. Film komedi Warkop menampilkan gaya
komedi incongruity, stupidity dan physical comedy pada masa ini karena latar belakang mereka
kebanyakan daripada kaum terpelajar Indonesia dan lulusan perguruan tinggi, maka bahan
lawakan mereka cenderung humor intelektual dan politik satir.
Pada era 2000-an, film komedi Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pada
era ini, film komedi yang diproduksi cenderung bernuansa komedi situasi. Pada 2004, film komedi
yang memadukan sosok waria, unsur seksualitas dan physical abuse, kembali muncul. Hal yang
menarik untuk dicatat, film jenis ini ternyata dapat menghibur para penonton. Karena itu, film
komedi jenis ini merupakan ironi yang tersendiri di tengah masyarakat Indonesia. Fenomena ini
tentu dapat menjadi renungan bagi para sineas Indonesia betapa film jenis ini dapat merusak
moral generasi muda.

REFERENSI
K. K. Dheeraj (Produser). 2009. Mau Dong Ah. Jakarta: K2K Production.
Kompas, 28 Januari 2007.
Kompas. 7 Desember 2008.
Kompas. 7 Juli 2011.
Nia Di Nata (Produser). 2005. Janji Joni. Jakarta: Kalyana Shira Film.
Rapi Films (Produser). 2007. D’Bijis.
Rini, H.T. 2010. Kekerasan dalam Komedi Opera van Java. Skripsi: Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP
Universitas Diponegoro, Semarang.
Soekarno, HZ Siswanto dan Nawi Ismail (Produser). 1981. Oke Boss. Indonesia: PT. Nugraha Mas
Film.
Suwardi, H. 2006. Kritik Sosial dalam Film Komedi: Studi Khusus Tujuh Film Nya’ Abbas Akup.
Jakarta: FFTV-IKJ Press.

Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia

195