MUHAMMADIYAH SALAH LANGKAH

MUHAMMADIYAH SALAH LANGKAH?
Oleh Haedar Nashir

Dukungan Muhammadiyah terhadap Prof. Dr. H. M. Amien Rais dalam pemilihan
Presiden 5 Juli 2004 yang tidak membuahkan kemenangan dianggap oleh sebagian pihak
sebagai kesalahan lanngkah. Kesalahannya Pimpinan Pusat Muhammadiyah tidak
memperhitungkan potensi dukungan politik dan pluralitas warganya yang biasa bebas dalam
menentukan pilihan politik. Kesalahan lain dengan dukungan itu Muhammadiyah telah
masuk dalam politik kekuasaan (power politics), yang berarti keluar atau bertentangan
dengan Khittah-nya selama ini.
Benarkah Muhammadiyah salah langkah dan keluar dari Khittah? Jika dilihat dari
proses dan berbagai pertimbangan yang lebih menyeluruh dari lahirnya dukungan
Muhammadiyah terhadap Pak Amien Rais (demikian tokoh Muhammadiyah ini sering
disapa) maka langkah Pimpinan Pusat Muhammadiyah bukanlah merupakan kesalahan.
Kenapa demikian?
Pertama, keputusan mendukung M. Amien Rais berasal dari bawah melalui dua kali
Sidang Tanwir yaitu Tanwir Denpasar 2002 dan Makassar 2003 ditambah dengan Pleno
Diperluas 9 s/d 10 Februari 2004, sebagai cerminan saluran aspirasi terbesar warga
Muhammadiyah. Pimpinan Pusat Muhammadiyah sama saekali tidak merekayasa untuk
mendukung ataupun menolak aspirasi dukungan yang berkembang di Tanwir itu. Jadi
dukungan itu merupakan keputusan organisasi. Pihak yang tidak pernah berorganisasi atau

sekadar tidak setuju tentu tidak memahami denyut dinamika pertukaran pikiran dan aspirasi
seperti itu. Jadi keputusan mendukung itu keputusan yang demokratis dan sekaligus
organisatoris, tidak merupakan kesalahan apalagi pelanggaran organisasi maupun ambisi dan
rekayasa perorangan.
Kedua, Khittah Muhammadiyah secara tegas hanya melarang afiliasi dan
subordainasi dengan partai politik dan Muhammadiyah sampai detik ini pun tidak melakukan
langkah-langkah politik seperti itu. Memberikan dukungan terhadap Amien Rais tidak masuk
dalam kategori menyalahi Khittah, demikian penegasan Drs. H. A. Rosyad Sholeh, yang
dikenal sangat ketat dalam hal menentukan sikap politik. Lebih-lebih dukungan itu
dirumuskan dalam sikap dan pernyataan yang tidak langsung, yang lebih pada kata kerja
untuk melanjutkan amanat reformasi dan penyelamatan bangsa, bukan semata-mata
dukungan personal dan politik. Dalam beberapa kali Pemilu yaitu 1999 misalnya, Pimpinan
Pusat Muhammadiyah waktu itu juga mengeluarkan pernyataan, yang intinya jangan memilih
partai tertentu yang banyak non-muslimnya, yang intinya menentukan sikap terhadap kondisi
politik tertentu yang bersifat memberikan arahan. Jika dikaitkan bisa-bisa tahun 1999 pun
masuk ke pelanggaran Khittah, tetapi ternyata tidak mengundang protes dan penilaian salah
langkah. Dalam beberapa kali pemilu Muhammadiyah atau PP Muhammadiyah tidak pernah
benar-benar diam dalam menghadapi situasi politik yang penting dan krusial. Pihak lain atau
kalangan tertentu dalam Muhammadiyah kadang terlampau hitam-putih dalam memahami
dan mengkontekstualisasikan Khittah 1971.

Ketiga, Muhammadiyah juga bukan tanpa kesadaran dan perhitungan dalam
memberikan dukungan kepada M. Amien Rais. Modal suara partai politik Ketua DPP PAN
itu dalam Pemilu 5 April 2004 memang sedikit (6,44%), sehingga kemungkinan kalah pun
telah diperhitungkan. Muhammadiyah memberikan dukungan itu lebih didasarkan pada

1

pertimbangan moral bahwa Pak Amien Rais selaku mantan Ketua PP Muhammadiyah dan
kader terbaik dalam politik dinilai pantas dan memiliki kualitas atau kompetensi tinggi untuk
memimpin bangsa Indonesia, sehingga pantas untuk didukung. Jadi bukan soal menang atau
kalah, tetapi menyangkut komitmen moral-politik dari dukungan itu, yang setelah langkah itu
diambil jadi bersifat ikhtiari. Kalau mendukung hanya karena kalkulasi menang atau kalah
tentu sangat pragmatis.
Keempat, dengan dukungan kepada Pak Amien Rais sebenarnya Muhammadiyah
relatif utuh, tidak centang perenang. Bahwa ada di antara warga atau pendukung
Muhammadiyah yang lari ke calon lain seperti salah satu hasil survei, maka hal itu sangat
mungkin terjadi dan itulah salah satu kelemahan dalam Muhammadiyah. Sebagian orang
Muhammadiyah kadang terlalu bebas untuk berbeda dari sikap organisasi, kadang tidak
sedikit yang terlalu pragmats, sehingga sikap berimamah, berjam’iyah, dan berjama’ah
menjadi lemah. Tapi secara keseluruhan baik sebelum maupun sesudah Pemilihan Presiden 5

Juli 2004 sesungguhnya kondisi Muhammadiyah utuh dan solid, kecuali bagi orang-orang
yang sejak awal tidak setuju dan memiliki pertimbangan serba pragmatis.
Jadi Muhammadiyah sama sekali tak salah langkah. Bahwa Pak Amien Rais kalah
maka hal itu menjadi bagian dari realitas politik yang harus dihadapi dewasa selaku orang
beriman yaitu tawakkal, sabar, tegar, istiqamah, dan jangan putus asa baghkan harus terus
melakukan perjuangan. Kalah dan menang biasa dalam politik dan hal itu tidak akan
membuat Muhammadiyah maupun Pak Amien Rais serta para pendukungnya jatuh diri.
Kekalahan dalam politik bukan kiamat, begitu juga kemenangan tidak sama dengan
anugerah. Hanya ketika kalah, memang orang sering gampang saling menyalahkan, lebihlebih bagi orang yang sejak awal bersikap lain.
Pemilu 5 Juli 2004 itu bahkan harus menjadi pelajaran berharga bagi segenap warga,
kader, dan elit pimpinan Muhammadiyah. Betapa kita masih lemah dalam hal berimamah,
berjam’iyah, dan berjama’ah sehingga belum menjadi kekuatan besar yang solid. Betapa pula
kita selama ini terlalu pasif dan bahkan menjauhkan diri dari dinamika politik kebangsaan,
sehingga ketika harus mengambil peran masih amatiran dan kadang ada yang keluar dari
barisan. Perjuangan apapun memerlukan pengorbanan, kesungguhan, kadang resiko, dan hal
itu tak perlu diratapi. Ke depan bahkan kita masih harus belajar banyak untuk melakukan
penguatan ideologis dalam gerakan Muhammadiyah khususnya dalam menghadapi
perkembangan-perkembangan politik nasional yang menentukan tanpa terjebak pada
pragmatisme dan oportunisme politik. Fa-idza faragh-ta fanshab, wa- ila Rabbi-ka farghab.
Sumber:

Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004

2