Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Sebagai Salah Satu Langkah Penyehatan Perbankan

(1)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdullah, Thamrin dan Francis Tantri. Bank dan Lembaga Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2014.

Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Bank Indonesia, Krisis Global dan Penyelamatan Sistem Perbankan Indonesia. Jakarta: 2010

Dendawijaya, Lukman. Manajemen Perbankan. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005. Djumhana, Muhammad. Asas-Asas Hukum Perbankan Indonesia. Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2008.

Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Jusuf, Jopie. Kiat Jitu Memeperoleh Kredit Bank. Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2003.

Karta Negara, Satochid. Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1. Jakarta: Balai Rektur Mahasiswa.

Kuncoro, Mudrajad dan Suhardjono. Manjemen Perbankan. Yogyakarta: BPFE, 2004.

M, Ralona. Kamus Istilah Ekonomi Populer. Jakarta: Gorga Media, 2006.

Mahmoeddin, As. 100 Penyebab Kredit Macet. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Mahsyud, Ali. Asset Liability Management, Menyisiasati Resiko Pasar dan Resiko Operasional Dalam Perbankan. Jakarta: Elex Media Komputindo, 2004. N. Indroes, Fery dan Sugiarto. Manajemen Risiko Perbankan dalam Konteks

Kesepakatan Basel dan Peraturan Bank Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006.

Pardede, Marulak. Likuidasi Bank dan Perlindungan Nasabah. Jakarta: Sinar Harapan, 1998.


(2)

R. Latumerissa, Julius. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat, 2011.

Rahman, Hasanuddin. Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.

Simorangkir, J.C.T. dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Simorangkir, O.P. Kamus Perbankan, Cetakan Kedua. Jakarta: Bina Aksara, 1989.

Sitompul, Zulkarnain. Problematika Perbankan. Bandung: Books Terrace & Library, 2005.

Suhardi, Gunarto. Usaha Perbankan Dalam Perspektif Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta: Djambatan, 1995.

Suyatno, Thomas. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: STIE Perbanas-Gramedia, 1988.

Suyatno, Thomas dkk. Dasar-Dasar Perkreditan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.

Triandaru, Sigit dan Totok Budisantoso. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Yogyakarta: Salemba Empat, 2006.

Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum Dalam Praktek, Edisi 1, Cet ke-3. Jakarta: Sinar Grafika, 2002.

Widiyono, Try. Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia (Simpanan, Jasa & Kredi). Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

Widjanarto. Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Wojo Wasito, S. Kamus Umum Belanda-Indonesia. Jakarta: Sinar grafika, 2004. B. Peraturan Perundang-undangan


(3)

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/3/PBI/2005 tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/1/PBI/2009 tentang Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank.

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. C. Jurnal

Aryatie, Indra Retno dan Adityo Waskito Nugroho. 2010. “Akibat Hukum Bagi

Bank Bila Kewajiban Modal Inti Minimum Tidak Terpenuhi.” Mimbar

Hukum, Volume 22 No.2. Juni 2010.

Indira, Januarti. “Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya Untuk

Memprediksi Kebangkrutan Bank di Indonesia.” Jurnal Bisnis Strategi, Volume X.

Maski, Ghozali. 2011. “Implementasi Basel I Terhadap Tata Kelola Permodalan dan Risiko Kredit Perbankan di Indonesia.” Aplikasi Manajemen, Volume 91 No.3. Mei 2011.

W. Supriyo Hartadi. 2005. “Rekapitulasi Dalam Kaitannya Dengan Perbankan.” Ekonomi dan Komputer, No.1. Tahun XIII-2005.

D. Surat Kabar

Remy Sjahdeini, Sutan. “Kendala Yang Dihadapi Bank Dalam Upaya

Penyelamatan Kredit.” Media Indonesia, 26 Juli 1993. E. Tesis/Disertasi

Affandi, Ismi. “Analisis Kesehatan Bank Umum di Indonesia,” Tesis,


(4)

Astuti Rahayu Manalu, Syuratty. “Tinjauan Yuridis Pengawasan Bank Indonesia

terhadap Pemberian Likuiditas pada Bank Umum pada PT. Bank Century.”

Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2011.

Caroline Barus, Andreani. “Pengaruh Profitabilitas dan Likuiditas terhadap

Capital Adequacy Ratio (CAR) pada Institusi Perbankan Terbuka Di Bursa Efek Indonesia.” Tesis, Pascasarjana Akuntansi USU, 2011.

Chan, Syapri. “Penyertaan Modal Sementara Bank untuk mengatasi Akibat

Kegagalan Kredit (Debt Of Equity Swap).” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum

USU, 2005.

Darryanto, Robertus. “Analisis Rekapitalisasi Sebagai Program Penyehatan

Perbankan di Indonesia pada Bank BPD Jawa Tengah.” Tesis, Pascasarjana Magister Manajemen Universitas Diponegoro, 2000.

Marlon M. Sihombing, John. “Upaya Penyelesaian Sengketa Kredit Perbankan

pada Bank Swasta Di Kota Medan pada PT. Bank Eksekutif Internasional Tbk Cabang Medan.” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2004.

Melati Siagian, Katharina. “Penerapan Prinsip Kehati-hatian dalam Pemberian

Kredit pada PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk).” Tesis,

Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2006.

Novrilanimisy. “Pelaksanaan Resturkturisasi Kredit Macet berdasarkan Peraturan

Bank Indonesia dan Hambatannya pada PT Bank Rakyat Indonesia.” Tesis, Pascasarjana Ilmu Hukum USU, 2004.

Sitompul, Zulkarnain. “Perlindungan Dana Nasabah Bank, Suatu Gagasan tentang

Pendirian Lembaga Penjamin Simpanan Di Indonesia.” Program Pasca

Sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002.

Supaino, “Analisis Kesehatan Bank Berdasarkan Camel di Indonesia.” Tesis, Pascasarjana Ekonomi Pembangunan USU, 2010.

Yustian, Yuyun. “Pengaruh Krisis Ekonomi Terhadap Tingkat Kesehatan Bank

Konvensional Dan Bank Syariah.” Tesis, Pascasarjana Kajian Timur Tengah Dan Islam Universitas Indonesia, 2004.

F. Pidato

Nasution, Bismar “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem

Keuangan (SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padanga: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 28 Mei 2009)


(5)

G. Website

Hermana, Budi. “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php (diakses tanggal 29 Oktober 2015).

http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/07/28/berkenalan-dengan-manajemen-risiko-perbankan/ (diakses tanggal 30 November 2015).

http://bisnis.liputan6.com/read/2314978/ini-penyebab-perbankan-bisa-bangkrut (diakses tanggal 27 November 2015).

https://dosen.perbanas.id/car-capital-adequacy-ratio/ (diakses tanggal 25

November 2015).

http://kartika.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/3198/Materi+1+PengenalanP erbankan.pdf (diakses tanggal 26 Oktober 2015)

http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/ikhtisar/definisi/Contents/Default.aspx (diakses tanggal 18 November 2015.

Siregar, Agus E. “Rencana Penerapan CAR 12 Persen dan Transparansi

Perbankan”, http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/


(6)

BAB III

PENILAIAN KESEHATAN BANK UMUM

A. Hubungan Keterkaitan antara Modal dan Kesehatan Bank Umum

Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan manusia karena kesehatan memberikan gambaran tentang keadaan baik atau bruknya manusia tersebut dalam hal rohani dan jasmani. Sama halnya dengan bank, kesehatan menjadi salah satu gambaran bagi pemerintah atau masyarakat apakah bank tersebut aman atau tidak aman.

Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan menyatakan Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubung-an dengan usaha bank, dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai

dengan prinsip kehati-hatian.103

Sigit Triandaru dan Totok Budisantoso mengemukakan Kesehatan bank merupakan kemampuan suatu bank untuk melakukan kegaiatan operasi perbankan secara normal dan mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dengan

cara–cara yang sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku.104

Seperti diketahui bahwa fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan. Dari fungsi yang ada dapat dikatakan bahwa dasar beroperasinya bank adalah kepercayaan, baik kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan

103 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 29 ayat (2).

104


(7)

sebaliknya. Oleh sebab itu untuk tetap menjaga kepercayaan tersebut kesehatan

bank perlu diawasi dan dijaga.105

Modal mempunyai hubungan keterkaitan dengan kesehatan bank. Hal ini dapat diketahui dari pengkategorian Modal (Capital) sebagai salah satu faktor yang diperlukan untuk menentukan apakah sebuah bank itu sehat atau tidak. Pasal 6 huruf d PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang penilaian kesehatan bank umum dan Pasal 7 ayat (4) menyatakan Penilaian terhadap faktor permodalan (capital)

meliputi penilaian terhadap tingkat kecukupan modal.106 Perhitungan modal bank

melalui penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan untuk mengetahui apakah modal bank tersebut sudah sesuai dengan aturan pemerintah mengenai kecukupan modal bagi sebuah bank untuk menjalankan kegiatan usahanya.

Penyediaan modal sesuai peraturan, idealnya bank harus menyediakan modal setiap kali terjadi perubahan pada struktur aktiva pada neraca. Penyesuaian ini bertujuan agar bank mampu untuk menutupi risiko melalui modal sesuai peraturan pada satu sisi. Pada sisi lain modal yang ditanam tidak efisien jika jumlahnya tidak berlebihan. Namun pada pelaksanaannya sangat sulit untuk menyediakan modal setiap saat, mengingat usaha bank sangat dinamis. Bank dapat setiap saat melakukan aktiva transaksi baru yang menimbulkan risiko aktiva yang baru. Demikian juga sebaliknya, kontrak yang telah selesai dengan baik akan

mengurangi risiko aktiva.107

Apabila modal sendiri bank meningkat maka kesehatan bank yang terkait dengan rasio permodalan (CAR) semakin meningkat. Sejak periode krisis sampai

105 Januarti Indira, “

Variabel Proksi CAMEL dan Karakteristik Bank Lainnya Untuk Memprediksi Kebangkrutan Bank di Indonesia, Jurnal Bisnis Strategi, Volume X, hlm. 3.

106

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 6 huruf d .

107


(8)

dengan saat ini CAR menjadi acuan utama dalam menentukan kesehatan bank. (SK Dir. BI April 1999). Hal ini juga disebabkan karena rata-rata CAR selama periode krisis sampai dengan akhir 2001 hanya mencapai 4% dan sejak awal 2002 bank diwajibkan memenuhi CAR minimal 8%. Kebijakan ini berawal dari kebijakan bank dunia (World Bank) yang ditindaklanjuti oleh bank Indonesia dengan kebijakan 29 Mei 1993 (Pakmei, 1993). Besarnya CAR minimal 8%

tersebut berlaku bagi seluruh bank secara internasional.108

Pada awal januari 2004, siaran pers Indonesia secara resmi mengumumkan implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) di mana salah satu program API adalah mempersyaratkan modal minimum bagi bank umum (termasuk BPD)

menjadi 100 miliar selambat-lambatnya pada tahun 2011.109 Setelah melakukan

penyelesaian penyusunan cetak biru API pada tahun 2003, maka sejak tahun 2004 secara bertahap dalam jangka waktu lima sampai dengan sepuluh tahun ke depan API akan diimplementasikan dengan visi yang jelas. Visi API adalah menciptakan sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien guna menciptakan kestabilan

ekonomi nasional.110

Hubungan keterkaitan antara modal dengan kesehatan bank dapat diketahui melalui kebijakan pemerintah yaitu implementasi Arsitektur Perbankan Indonesia. Hal ini dapat diketahui dari salah satu program kegiatan API, yaitu program penguatan struktur perbankan nasional. Program ini bertujuan untuk memperkuat permodalan bank umum (konvensional dan syariah) dalam rangka meningkatkan kemampuan bank mengelola usaha maupun risiko, mengembangkan teknologi informasi, maupun meningkatkan skala usahanya guna mendukung penigkatan

108Andreani Caroline Barus, Op.Cit., hlm. 21. 109

Julius R. Latumerissa, Op.Cit., hlm. 185.

110


(9)

kapasitas pertumbuhan kredit perbankan. Implementasi program penguatan

permodalan bank dilaksanakan secara bertahap.111

Upaya penigkatan modal bank tersebut dilakukan dengan membuat business plan yang memuat target waktu, cara, dan tahap pencapaian. Adapun cara pencapaiannya dapat dilakukan melalui:

1. penambahan modal baru baik dari stakeholder lama maupun investor baru;

2. merger dengan bank (atau beberapa bank) lain untuk mencapai persyaratan

modal minimum baru;

3. penerbitan saham baru atau secondary offering dipasar modal; dan

4. penerbitan subordinated loan.

Dengan demikian dalam sepuluh sampai lima belas tahun ke depan (dimulai dari tahun API dikumandangkan) program peningkatan permodalan tersebut diharapkan akan mengaruh pada terciptanya struktur perbankan yang lebih

optimal, yaitu terdapatnya:112

1. bank yang mengarah kepada bank internasional sebanyak 2 atau 3 bank dengan

kapasitas dan kemampuan untuk beroperasi diwilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp50 triliun;

2. bank nasional sebanyak 3-5 bank yang memiliki cakupan usaha yang sangat

luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp10 triliun-Rp50 triliun;

3. bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai

dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank sebanyak 30-50 bank. Bank-bank tersebut memiliki modal antara Rp100 miliar-Rp10 triliun; dan

111

Ibid.

112


(10)

4. bank perkreditan rakyat (BPR) dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp100 miliar.

Sistem perbankan yang sehat dibangun dengan permodalan yang kuat sehingga akan mendorong kepercayaan nasabah (stakeholder) yang pada akhirnya akan mampu memperkuat permodalan melalui pemupukan laba ditahan. Selanjutnya perbankan nasional yang beroperasi secara efisien akan mampu meningkatkan daya saingnya sehingga tidak hanya “jago kandang” yaitu hanya mampu bersaing pada segmen pasar domestik tetapi justru diharapkan produk dan jasa perbankan yang ditawarkan bank nasional mampu bersaing di pasar internasional. Oleh karenanya 10-15 tahun kedepan, API mengiginkan adanya 2 sampai 3 bank dengan skala internasional, 3 sampai 5 bank nasional, 30 sampai 50 bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu, dan BPR

serta bank yang kegiatan usahanya terbatas.113

Namun perlu diketahui juga bahwa modal bank yang melimpah tidak bisa dijadikan tonggak bahwa bank tersebut sepenuhnya sehat dan aman. Karena untuk menilai sebuah bank sehat atau tidak, diperlukan juga faktor-faktor yang lain yaitu profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), dan rentabilitas (earnings). Kondisi modal yang sehat bukan berarti secara pasti kondisi likuiditas, rentabilitas, kualitas aktiva dan manajemen juga sehat. Modal yang sehat hanya memberikan konstribusi bagi kesehatan bank. Kesehatan permodalan harus

dibedakan dengan kesehatan bank.114 Namun kesehatan permodalan

mempengaruhi kesehatan bank. Modal bank dikatakan sehat apabila memenuhi batas minimum penyediaan modal yang diatur dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No.

113

Ibid., hlm. 192.

114


(11)

15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum yaitu paling rendah sebesar 8% (delapan persen) dari Aset Tertimbang Menurut Risiko. Penyediaan modal minimum disesuaikan dengan peringkat profil risiko bank. Semakin tinggi peringkat, semakin besar pula modal yang disediakan. Apabila bank tersebut tidak mampu menyediakan modal minimumnya sesuai profil risiko, maka dapat dikatkan kondisi bank tersebut tidak sehat. Kecukupan modal memberikan gambaran bank tersebut sehat atau tidak sehat.

B. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum

Untuk menilai suatu kesehatan bank dapat dilihat dari berbagi segi. Penilaian ini bertujuan untuk menentukan apakah bank tersebut dalam kondisi yang sehat, cukup sehat, kurang sehat dan tidak sehat, sehingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas dan pembina bank dapat memberikan arahan atau petunjuk bagaimana bank tersebut harus dijalankan atau bahkan dibubarkan

kegiatan operasinya.115

Penilaian kesehatan bank umum sebagai bentuk upaya pengawasan bank umum oleh OJK. Melalui hasil dari penilaian ini OJK dapat mengambil tindakan-tindakan yang harus dilakukan terhadap bank tersebut. Penilaian kesehatan bank umum dapat juga dikatakan sebagai sarana untuk menyehatkan bank. Dikarenakan kesehatan bank yang merupakan cerminan kondisi dan kinerja bank merupakan sarana bagi otoritas pengawas dalam menetapkan strategi dan fokus pengawasan terhadap bank. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa Kesehatan Bank harus dipelihara dan/atau ditingkatkan agar kepercayaan masyarakat

115


(12)

terhadap Bank dapat tetap terjaga. Selain itu, Tingkat Kesehatan Bank digunakan sebagai salah satu sarana dalam melakukan evaluasi terhadap kondisi dan permasalahan yang dihadapi Bank serta menentukan tindak lanjut untuk mengatasi kelemahan atau permasalahan Bank, baik berupa corrective action oleh

Bank maupun supervisory action oleh OJK.116 Sehingga kesehatan bank tersebut

dapat diketahui, apakah bank tersebut kondisinya baik atau buruk.

Pasal 30 ayat (1) UU Perbankan mengutarakan Bank wajib menyempaikan kepada Bank Indonesia, segala keterangan, dan penjelasan mengenai usahanya

menurut tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.117 Penilaian kesehatan

bank merupakan salah satu keterangan dan penjelasan mengenai usahanya yang harus disampaikan kepada Bank Indonesia. Dalam ayat (2) juga dinyatakan Bank atas permintaan Bank Indonesia, wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh kebenaran dari segala keterangan,

dokumen dan penjelasan yang dilaporkan oleh bank yang bersangkutan.118

Penilaian kesehatan bank umum yang baru mulai diberlakukan pada tahun 2012. Dasar hukumnya adalah PBI No. 13/1/PBI/2011 tanggal 5 Januari 2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. PBI tersebut menggantikan PBI sebelumnya No. 6/10/PBI/2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum yang telah berlaku selama hampir tujuh tahun. Petunjuk teknis

116

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 2 ayat (1).

117

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 30 ayat (1).

118

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 30 ayat (2).


(13)

pelaksanaanya mengacu ke Surat Edaran Bank Indonesia No.13/ 24 /DPNP

tanggal 25 Oktober 2011.119

Struktur atau komponen penilaian bank yang lama tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 serta ketentuan pelaksanaannya sesuai Surat Edaran Bank Indonesia No.6/23/DPNP tanggal 31 Mei 2004. Semua komponen pada CAMELS 2004 lebih mengarah pada ukuran-ukuran kinerja perusahaan secara internal, mulai dari Capital, Asset Quality, Management, Earning Power, dan Liquidity, serta Sensitivity to Market Risk. Sistem penilaian dengan 5 faktor tersebut sering disebut dengan CAMELS Rating System.120

Sebelum CAMELS, cara menghitung tingkat kesehatan bank yang lebih “jadul” lagi yaitu CAMEL yang berlaku mulai tahun 1991 berdasarkan Surat Edaran BI No. 23/21/BPPP tanggal 28 Februari 1991. Pada CAMEL, sebagian besar proses penilaian kesehatan bank menggunakan rumus-rumus matematika dan sistem scoring dari hasil penilaian untuk setiap parameter, yaitu dengan skala 0 sampai 100. Dan nilai akhir dari kesehatan bank pun akhirnya berupa angka

yang selanjutnya menentukan klasifikasi kesehatan bank yaitu “Sehat”, “Cukup

Sehat”, “Kurang Sehat” dan “Tidak Sehat”. Indikator pada CAMEL tersebut juga

sangat sederhana.121

119 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

120 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

121 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).


(14)

Dengan dikeluarkannya PBI No. 13/1/PBI/2011, maka bank umum diwajibkan melakukan penilaian tingkat kesehatan bank menggunakan tata cara yang tercantum dalam PBI Nomor 13/1/PBI/2011 dengan menggunakan pendekatan berdasarkan Risiko (Risk based Bank Rating) seperti yang diutarakan dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No. 13/1/PBI/2011. Pasal 6 PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan penilaian tingkat kesehatan bank secara individual dengan menggunakan pendekatan risiko (risk-based Bank Rating) dengan cakupan

penilaian terhadap faktor-faktor sebagai berikut:122

1. profil risiko (risk profile);

2. good corporate governance (GCG);

3. rentabilitas (earnings); dan

4. permodalan (capital).

Tahap-tahap penilaian bank pada RGEC (risk profile, good corporate governance, earnings, dan capital) boleh disebut model penilaian kesehatan bank yang sarat dengan manajemen resiko. Menurut BI dalam PBI tersebut, Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum berikut ini sebagai landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank: Berorientasi Risiko, Proporsionalitas, Materialitas dan Signifikansi, serta Komprehensif dan

Terstruktur.123

Cara perhitungan pada RGEC – dibandingkan metode CAMELS – relatif

berbeda signifikan pada komponen “R“, yaitu Risk Profile. Kini, penilaian Risk

122

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab I, Pasal 2 ayat (3).

123 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).


(15)

Profile relatif lebih “ribet” karena mengunakan matriks dengan dua dimensi. Dulu

– maksudnya dengan CAMELS – bisa langsung diketahui nilai peringkat (skornya

antara 1 sampai 5) jika sudah mengetahui nilai indikatornya. Namun kini, ada aspek lain yang perlu dipertimbangkan sebelum memperoleh nilai akhir untuk indikator tersebut. Misalnya “ratio debitur inti terhadap total kredit” sebuah bank adalah ….%. Tahap pertamanya sama dengan metoda CAMELS yaitu menentukan peringkat jika diketahui nilai indikatornya. Penilaian untuk faktor lainnya, yaitu faktor “G, E, dan C” secara umum sama seperti penilaian dengan CAMELS sebelumnya. Semua komponen menggunakan indikator/komponen

penilaian yang tidak berubah drastis. 124

Terdapat beberapa prinsip-prinsip umum dalam penilaian tingkat kesehatan bank. Manajemen Bank perlu memperhatikan prinsip-prinsip umum sebagai landasan dalam menilai Tingkat Kesehatan Bank. Prinsip- prinsip umum dalam penilaian tingkat kesehatan bank umum tercantum dalam Surat edaran No.

13/24/DPNP yakni:125

1. berorientasi risiko;

2. proporsionalitas;

3. materialitas dan signifikasi;

4. komprehensif dan terstruktur.

Pasal 3 ayat 1 PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Bank wajib melakukan penilaian sendiri (self assessment) Tingkat Kesehatan Bank dengan menggunakan pendekatan Risiko (Risk-based Bank Rating) baik secara individual maupun

124 Budi Hermana, “Perbandingan Tatacara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank,”

http://pena.gunadarma.ac.id/perbandingan-tatacara-penilaian-tingkat-kesehatan-bank/ (diakses tanggal 29 September 2015).

125


(16)

secara konsolidasi.126 Pasal 9 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Peringkat Komposit Kesehatan Bank ditetapkan berdasarkan analisis secara komprehensif dan terstruktur terhadap peringkat setiap faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan

memperhatikan materialistis dan signifikasi masing-masing faktor.127 Selanjutnya

dalam Pasal 9 ayat (2) membagi kategori peringkat komposit sebanyak 5 tingkatan

yakni:128

1. Peringkat Komposit 1 (PK-1).

2. Peringkat Komposit 2 (PK-2).

3. Peringkat Komposit 3 (PK-3).

4. Peringkat Komposit 4 (PK-4).

5. Peringkat Komposit 5 (PK-5).

Peringkat komposit memberikan artian bahwa semakin rendah peringkat

komposit bank semakin baik kondisi dan keadaan bank tersebut begitu juga sebaliknya semakin tinggi peringkat komposit bank tersebut mencerminkan kondisi dan keadaan bank tersebut sangat buruk. Setelah dilakukan penilaian oleh Bank Indonesia dan/atau hasil self assesment oleh Bank akan dilakukan tindak

lanjut hasil penilaian tingkat kesehatan bank. Pasal 13 ayat (1) PBI No.

13/1/PBI/2011 dinyatakan dalam hal berdasarkan hasil penilaian Tingkat

126 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab II, Pasal 3 ayat (1).

127 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 9 ayat (1).

128

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab III, Pasal 9 ayat (2).


(17)

Kesehatan Bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau hasil self assesment oleh Bank terdapat:129

1. faktor tingkat kesehatan bank yang ditetapkan dengan peringkat 4 atau

peringkat 5;

2. peringkat komposit tingkat kesehatan Bank yang ditetapkan dengan peringkat 4

atau peringkat 5; dan/atau

3. peringkat komposit tingkat kesehatan bank yang ditetapkan dengan peringkat

3, namun terdapat permasalahan signifikan yang perlu diatasi agar tidak mengganggu kelangsungan usaha bank, maka direksi, dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pengendali bank wajib menyampaikan action plan kepada Bank Indonesia.

Menurut penjelasan Pasal 13 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011 action plan memuat langkah-langkah perbaikan yang akan dilaksanakan oleh bank dalam rangka mengatasi permasalahan signifikan yang dihadapi beserta target waktu penyelesaiannya. Action plan (rencana tindakan) yang disampaikan oleh bank merupakan komitmen bank kepada Bank Indonesia. Pasal 13 ayat (2) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengutarakan Bank Indonesia berwenang meminta bank untuk melakukan penyesuaian terhadap action plan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1). Penyampaian action plan oleh bank diatur dalam ayat (3) yaitu:130

1. sesuai batas waktu tertentu yang ditetapkan Bank Indonesia, untuk action plan

yang merupakan tindak lanjut dari hasil penilaian tingkat kesehatan bank oleh Bank Indonesia;

129

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab V, Pasal 13 ayat (1).

130

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab V, Pasal 13 ayat (2).


(18)

2. paling lambat pada tanggal 15 Agustus, untuk penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 15 Februari untuk penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Desember, untuk action plan yang merupakan tindak lanjut dari hasil self assesment bank.

Pasal 15 PBI No. 13/1/PBI/2011 menyatakan Bank Indonesia berwenang

melakukan pemeriksaan terhadap pelaksanaan action plan oleh bank. Penilaian kesehatan bank dilakukan setiap tahun, apakah ada peningkatan atau penurunan. Pasal 3 ayat (2) PBI No. 13/1/PBI/2011 mengemukakan penilaian sendiri (self assessment) tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling kurang setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember dan selanjutnya dalam ayat (5) huruf a dikatakan untuk penilaian tingkat kesehatan bank secara individual, paling lambat pada tanggal 31 Juli untuk penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Juni dan tanggal 31 Januari untuk penilaian tingkat kesehatan bank posisi akhir bulan Desember dan ayat (3) mengutarakan Bank wajib melakukan pengkinian self assessment tingkat kesehatan bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Penjelasan Pasal 3 ayat (3) PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang pengkinian self assessment Tingkat Kesehatan

Bank sewaktu-waktu dilakukan antara lain dalam hal:131

1. kondisi keuangan bank memburuk;

2. bank menghadapi permasalahan antara risiko likuiditas dan permodalan; atau

3. kondisi lainnya yang menurut Bank Indonesia perlu dilakukan pengkinian

penilaian tingkat kesehatan.

131

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 3 ayat (3).


(19)

Pasal 3 ayat (4) PBI No. 13/1/PBI/2011 menetapkan bahwa hasil self assessment tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) yang telah mendapat persetujuan dari direksi wajib disampaikan kepada dewan

komisaris.132 Penjelasan Pasal 3 ayat (4) mengutarakan bagi kantor cabang bank

asing, hasil self assessment disampaikan kepada pihak yang sesuai struktur organisasi internal bank bertanggung jawab untuk mengawasi secara langsung

kegiatan dan kinerja kantor cabang bank asing di Indonesia.133

Pasal 4 ayat (1) mengutarakan wewenang Bank Indonesia untuk melakukan penilaian tingkat kesehatan bank setiap semester untuk posisi akhir bulan Juni dan Desember dan Pasal 4 ayat (2) mengatakan Bank Indonesia berhak melakukan pengkinian penilaian kesehatan bank sewaktu-waktu apabila diperlukan. Pasal 4 ayat (3) juga mengutarakan penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengkinian penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan, laporan berkala yang disampaikan bank, dan/atau informasi lain. Penjelasan Pasal

4 ayat (3) mengutarakan informasi lain dapat berupa:134

1. informasi hasil penilaian dari otoritas lain yang berwenang;

2. informasi yang diketahui secara umum seperti hasil penilaian dari lembaga

pemeringkat dan informasi dari media masa; dan/atau

3. Data atau informasi terkait kantor cabang Bank asing mengenai kondisi

keuangan dan peringkat (rating) dari kantor pusatnya di luar negeri yang

132 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian

Tingkat Kesehatan Bank Umum, Bab II, Pasal 3 ayat (4).

133

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 3 ayat (4).

134

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/1/PBI/2011 tentang Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, Penjelasan Pasal 4 ayat (3).


(20)

dihasilkan oleh otoritas yang berwenang atau lembaga pemeringkat internasional.

Ketika melakukan penilaian, barangkali terdapat perbedaan-perbedaan hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self assesment penilaian tingkat kesehatan bank. Pasal 5 mengutarakan dalam rangka pengawasan bank, apabila terdapat perbedaan hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dengan hasil self assesment penilaian tingkat kesehatan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 maka yang berlaku adalah hasil penilaian tingkat kesehatan bank yang dilakukan oleh Bank Indonesia.

Ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) bahwa dalam rangka melaksanakan tanggung jawab atas kelangsungan usaha bank, direksi dan dewan komisaris bertanggung jawab untuk memelihara dan memantau tingkat kesehatan bank serta mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memelihara dan/atau meningkatkan tingkat kesehatan bank bagi bank yang kesehatannya terus meningkat tidak menjadi masalah, akan tetapi bagi bank yang kurang sehat harus mendapat pengarahan atau sanksi dari Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat menyarankan untuk melakukan perubahan manajemen, bergabung, konsolidasi, akuisisi atau malah dilikuidasi keberadaanya jika memang kondisi bank tersebut

sudah parah.135

135


(21)

C. Sanksi atas Penurunan Tingkat Kesehatan Bank Umum

Praktik hukum perbankan mengandung maksud penerapan hukum secara luas di bidang perbankan, yang pada dasarnya fungsionalisasi hukum dalam pekerjaan yang berhubungan dengan industri perbankan. Praktik hukum perbankan tidak dapat lain, kecuali untuk penyelenggaraan operasional industri perbankan yaitu dengan cara menerapkan peraturan yang abstrak terhadap operasional industri perbankan yang konkrit. Dalam ruang lingkup praktik hukum perbankan teresbut mencakup pada penyelesaian problem dan pengambilan keputusan dalam suatu kegiatan operasional industri perbankan. Adapun penalaran yang digunakannya, diantaranya, berupa penalaran silogisme, yaitu suatu tipe penalaran dengan cara memasukkan suatu kejadian nyata kedalam suatu peraturan yang umum atau suatu prinsip (asas hukum), untuk kemudian dinilai apakah penempatan kejadian tersebut kedalam jangkauan peraturan tersebut bisa diterima atau tidak. Jawaban tersebut menentukan dapat atau tidaknya suatu peraturan hukum perbankan diterapkan terhadap suatu kejadian tertentu dalam

kegiatan perbankan.136

Sanksi merupakan eksistensi hukum perbankan. Kata sanksi berasal dari bahasa Belanda yaitu “sanc tie” yang artinya alat pemaksa sebagai hukuman jika

tidak taat kepada perjanjian.137 Sedangkan menurut kamus bahasa besar bahasa

Indonesia online, Sanksi berarti tanggungan (tindakan-tindakan, hukuman) untuk

memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan.138

136

Muhammad Djumhana, Op.Cit., hlm. 56.

137 S. Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia (Jakarta: Sinar grafika, 2004), hlm.

152.

138

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/kbbi/index.php (diakses tanggal 17 November 2015)


(22)

Kamus istilah hukum karangan J.C.T. Simorangkir dkk, sanksi mempunyai arti ancaman hukuman, merupakan suatu alat pemaksa guna ditaatinya suatu

kaidah (undang-undang).139 Pengertian sanksi apabila dilihat dari segi tugasnya,

sanksi adalah suatu jaminan bahwa sesuatu akan ditaati yang merupakan akibat

hukum (rechtgevolg) daripada pelanggaran suatu kaidah.140

Menurunnya tingkat kesehatan bank diketahui dari menurunnya peringkat komposit kesehatan bank yaitu profil risiko (risk profile), good corporate governance (GCG), Rentabilitas (earnings), dan permodalan (capital). Menurunnya peringkat komposit bank umum dikarenakan beberapa hal yakni:

1. Kerugian yang dihadapi bank dari risiko inheren komposit tergolong

tinggi/sangat tinggi selama periode waktu tertentu di masa datang.

2. Kualitas penerapan manajemen risiko secara komposit kurang/tidak memadai.

Terdapat kelemahan signifikasi pada berbagai aspek manajemen risiko di mana tindakan penyelesaiannya di luar kemampuan manajemen.

3. Kerugian yang dihadapi bank dari risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,

risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko reputasi tergolong tinggi/sangat tinggi selama periode waktu tertentu di masa datang.

4. Kualitas penerapan manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas,

risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko reputasi kurang/tidak memadai. Terdapat kelemahan signifikasi pada berbagai aspek manajemen risiko kredit, risiko pasar, risiko likuiditas, risiko

139J.C.T. Simorangkir dkk., Kamus Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 152. 140

Satochid Karta Negara, Hukum Pidana: Kumpulan Kuliah Bagian 1 (Jakarta: Balai Rektur Mahasiswa, t.th) hlm. 42.


(23)

operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, risiko reputasi di mana tindakan penyelesaiannya di luar kemampuan manajemen.

5. Manajemen bank telah melakukan penerapan good corporate governance

yang secara umum kurang/tidak baik. Hal ini tercermin dari pemenuhan yang kurang/tidak memadai atas prinsip-prinsip good corporate governance, maka secara umum kelemahan tersebut sangat signifikan dan sulit untuk diperbaiki oleh manajemen bank.

6. Rentabilitas kurang/tidak memadai, laba tidak memenuhi target dan

kurang/tidak dapat diandalkan serta memerlukan peningkatan kinerja laba segera untuk memastikan kelangsungan usaha bank.

7. Bank memiliki kualitas dan kecukupan permodalan yang kurang/tidak

memadai relatif terhadap profil risikonya, yang disertai dengan pengelolaan permodalan yang lemah/sangat lemah dibandingkan dengan karakteristik, skala usaha, dan kompleksitas usaha bank.

Hal-hal yang disebutkan diatas mempengaruhi hasil penilaian kesehatan bank umum. Peringkat komposit merupakan cerminan keadaan bank itu sendiri. Apabila Peringkat Komposit Bank umum turun ke peringkat komposit 4 (PK-4) yang mencerminkan kondisi bank kurang sehat, dan peringkat komposit 5 (PK-5) yang mencerminkan kondisi bank umum tidak sehat. Kedua peringkat itu menggambarkan bank tersebut berada dalam kondisi yang tidak sehat.

Penurunan tingkat kesehatan bank dapat menciptakan kesulitan bagi bank dan membahayakan kelangsungan usahanya. Apabila tingkat kesehatan bank menurun menjadi kurang sehat atau tidak sehat, serta dalam waktu sembilan bulan tidak dapat ditingkatkan kembali menjadi cukup sehat selama sekurang-kurangnya


(24)

tiga bulan berturut-turut, maka mungkin saja terjadi pencabutan izin usaha bank

yang bersangkutan.141 Hal ini diutarakan dalam Pasal 37 ayat (2) yakni:142

1. tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi

kesulitan yang dihadapi bank; dan atau

2. menurut penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan

sistem Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi.

Selanjutnya dalam Pasal 37 ayat (3) disebutkan dalam hal Direksi bank tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi, dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. 143

Pasal 17 PBI No. 13/1/PBI/2011 menyatakan bagi bank yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam PBI No. 13/1/PBI/2011 tentang penilaian kesehatan bank umum akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana yang

dimaksud dalam Pasal 52 UU Perbankan berupa:144

1. teguran tertulis;

2. penurunan tingkat kesehatan bank;

141http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/analisis_tingkat_kesehatan_bank/f.Bab_I_Pe

nilaian_Tingkat_Kesehatan_Bank.pdf (diakses tanggal 17 November 2015)

142 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 37 ayat (2).

143 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 37 ayat (3).

144

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab VIII, Pasal 52.


(25)

3. pembekuan kegiatan usaha tertentu; dan/atau

4. pencantuman pengurus dan/atau pemegang saham bank dalam daftar

pihak-pihak yang mendapatkan predikat tidak lulus dalam penilaian kemampuan dan kepatuhan (fit and proper test).


(26)

BAB IV

KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENYEHATAN PERBANKAN

A. Kemampuan Bank Menyerap Risiko terkait Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Permodalan menurut Peraturan Bank Indonesia No. 15/ 12 /PBI/2013

Sistem keuangan yang stabil adalah sistem keuangan yang kuat dan tahan terhadap berbagai gangguan ekonomi sehingga tetap mampu melakukan fungsi intermediasi, melaksanakan pembayaran dan menyebar risiko secara baik. Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko

likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional.145

Bank, sebagaimana lembaga keuangan atau perusahaan umumnya dalam menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil usaha (return) selalu dihadapkan pada risiko. Risiko yang mungkin terjadi dapat menimbulkan kerugian bagi Bank jika tidak terdeteksi serta dikelola sebagaimana mestinya. Untuk itu, Bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam pelaksanaan

145

http://www.bi.go.id/id/perbankan/ssk/ikhtisar/definisi/Contents/Default.aspx (diakses tanggal 18 November 2015.


(27)

usahanya.146 Pengertian Risiko Menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum adalah potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan

kerugian bank.147

Risiko dapat dikatakan sebagai peluang terjadinya kerugian atau kehancuran lebih luas risiko dapat diartikan sebagai suatu peluang terjadinya kerugian atau kehancuran. Lebih luas risiko dapat diartikan sebagai kemungkinan terjadinya hasil yang tidak diinginkan atau berlawanan dari yang diinginkan. Risiko dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola sebagaimana mestinya. Sebaliknya risiko yang dikelola dengan baik akan memberikan ruang pada terciptanya peluang untuk memperoleh suatu keuntungan yang lebih

besar.148

Peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko (risk event) didefiniskan sebagai munculnya kejadian yang dapat menciptakan potensi kerugian atau hasil yang tidak diinginkan. Risk event secara sederhana dapat didefinisikan sebagai penyebab terjadinya suatu risiko. Peristiwa tersebut berasal dari kejadian internal ataupun external. Kejadian internal yang dimaksud adalah kejadian yang berasal dari dalam institusi itu sendiri, seperti kesalahan sistem, kesalahan manusia, kesalahan prosedur, dan lain-lain. Kejadian internal pada dasarnya bisa dicegah

agar tidak terjadi.149

146 Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 6. 147

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum, Pasal 1 angka 4.

148

Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 7.

149


(28)

Sebaliknya kejadian external adalah kejadian yang bersumber dari luar yang tidak dapat dihindari. Peristiwa yang menyebabkan timbulnya risiko bagi bank yang bersumber dari external seperti bencana alam, bencana akibat ulah manusia seperti kerusuhan dan perang, krisis ekonomi global, krisis ekonomi regional, krisis ekonomi lokal, hingga dampak sisitemik yang ditimbulkan oleh masalah pada lembaga keuangan atau bank lain. Semua kejadian tersebut tidak dapat diprediksi seberapa jauh pengaruhnya terhadap sebuah bank. Terhadap peristiwa

tersebut hanya dapat dikelola dan dikurang dampak kerugian yang diderita.150

Pemberlakuan PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang kewajiban penyediaan modal minimum untuk menggantikan atau mencabut peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 yang selanjutnya disebut PBI No. 14/18/PBI/2012. Hal ini dilakukan pemerintah dikarenakan PBI No. 14/18/PBI/2012 tidak relevan lagi menjawab persoalan perbankan. Pemerintah membuat, mencabut, mengubah, memperbaharuhi peraturan untuk mampu mengatasi guncangan dari ketidakpastian risiko di masa yang akan datang. Pemberlakuan Basel III sebagai acuan standar nasional menjadi pertimbangan di keluarkannya PBI No. 15/12/PBI/2013 tentang kewajiban penyediaan modal minimum.

Peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan bank yang sesuai dengan standar internasional diperlukan dalam rangka meningkatkan kemampuan bank untuk menyerap risiko. Peningkatan kualitas modal dilakukan melalui penyesuaian persyaratan komponen dan instrumen modal bank, serta penyesuaian rasio-rasio permodalan. Untuk meningkatkan kualitas permodalan bank,

150


(29)

komponen dan persyaratan instrumen modal disesuaikan mengacu pada standar internasional yang berlaku. Standar internasional yang berlaku dan menjadi acuan adalah “Global Regulaltory Framework for More Resilent Banks and Banking System” yang lebih dikenal dengan Basel III.

Komponen modal inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saldo laba yang merupakan bagian dari modal inti utama atau common equity tier 1. Pada Pasal 11 ayat (1) angka a disebutkan bahwa komponen modal disetor adalah bagian dari modal inti utama atau common equity tier 1. Komponen modal disetor ditingkatkan kualitasnya melalui penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang saldo laba dan sumber pendanaan. Penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang saldo laba yang diatur di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf f PBI No. 15/12/PBI/2013 yang isinya adalah memiliki karakteristik pembayaran dividen

atau imbal hasil yaitu :151

1. berasal dari saldo laba dan/atau laba tahun berjalan;

2. tidak memiliki nilai yang pasti dan tidak terkait dengan nilai yang dibayarkan

atas instrumen modal; dan

3. tidak memiliki fitur preferensi.

Penambahan persyaratan instrumen modal disetor yaitu tentang sumber pendanaan diatur dalam Pasal 12 ayat (1) huruf g yaitu sumber pendanaan tidak berasal dari bank penerbit baik secara langsung atau tidak langsung. Persyaratan tentang saldo laba dan sumber pendanaan tidak ada diatur dalam Peraturan sebelumnya yang telah dicabut yakni PBI no 14/18/PBI/2012. Komponen modal

151

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 12 ayat (1).


(30)

inti (Tier 1) bank terutama harus didominasi oleh instrumen modal berkualitas tinggi, yaitu saham biasa (common stocks). Pasal 9 ayat (1) huruf a menyebutkan bahwa modal inti tambahan merupakan bagian dari modal inti (Tier 1).

Saham biasa (common stocks) merupakan bagian dari persyaratan modal inti tambahan hal ini terdapat dalam Pasal 1 huruf d PBI No. 15/12/PBI/2013 yaitu memiliki fitur yang dikonversi menjadi saham biasa atau mekanisme write down apabila bank berpotensi terganggu kelangsungan usahanya (point of non viability) yang dinyatakan secara jelas dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian. Komponen modal inti lainnya yaitu modal inti tambahan (Additional Tier1) ditingkatkan kualitasnya menjadi hanya dapat berupa instrumen keuangan yang bersifat subordinasi dengan pembayaran dividen atau imbal hasil bersifat non kumulatif serta memenuhi kriteria tertentu. Aturan peningkatan kualitas modal inti tambahan bersifat subordinasi dengan jelas diatur di dalam Pasal 15 ayat (1) huruf e yang isinya persyaratan instrumen modal inti tambahan harus bersifat subordinasi pada saat likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan/perjanjian.

Komponen modal inti tambahan merupakan penyempurnaan dari komponen modal inovatif yang sebelumnya merupakan bagian dari modal inti Bank. Terdapat perbedaan dalam hal persyaratan setelah komponen modal inovatif disempurnakan menjadi komponen modal inti tambahan. Setelah disempurnakan instrumen persyaratan modal inti tambahan diatur di dalam Pasal 15 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia 15/12/PBI/2013. Perbedaannya dengan komponen modal inovatif yang diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/18/PBI/2012 yaitu Pasal 12 ayat (2) huruf c yang pertama adalah kata


(31)

“tersedia untuk menyerap kerugian yang terjadi sebelum likuidasi maupun pada saat likuidasi” dihapuskan dan menjadi “bersifat subordinasi pada saat di likuidasi, yang secara jelas dinyatakan dalam dokumentasi penerbitan perjanjian” yang diatur dalam Pasal 15 ayat ( 1) huruf e, yang kedua persyaratan fitur opsi

beli pada Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 1 PBI No. 14/18/PBI/2012 yaitu “hanya

dapat dieksekusi paling cepat 10 (sepuluh) tahun setelah instrumen modal diterbitkan” diubah menjadi “hanya dapat dieksekusi paling cepat 5 (lima) tahun setelah instrumen modal diterbitkan” yang diatur dalam Pasal 15 ayat (1) huruf i angka 1 PBI No. 15/12/PBI/2013, yang ketiga Pasal 12 ayat (2) huruf f angka 3 PBI No. 14/18/PBI/2012 fitur step up dalam instrumen modal inovatif dihapuskan ketika penyempurnaan menjadi komponen modal inti tambahan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 15 ayat (1) huruf c PBI No. 15/12/PBI/2013 yang isinya instrumen modal inti tambahan tidak memiliki fitur step up, dan yang keempat terdapat beberapa persyaratan yang ditambahkan dalam Pasal 15 ayat (1) PBI No 15/12/PBI/2013 yakni huruf j yang isinya tidak dapat dibeli oleh bank penerbit dan/atau perusahaan anak, dan huruf k sumber pendanaan tidak berasal dari bank penerbit baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak memiliki fitur yang menghambat proses penambahan modal di masa mendatang.

Sejalan dengan peningkatan kualitas modal inti, komponen dan persyaratan instrumen modal pelengkap (Tier 2) juga ikut disesuaikan, antara lain dengan menghapuskan kategori modal pelengkap yang diatur dalam Pasal 15 ayat (2) PBI No. 14/18/PBI/2012 yaitu modal pelengkap level atas (Upper Tier 2) dan modal pelengkap level bawah (Lower Tier 2). Sehingga dalam PBI No. 15/12/PBI/2013 tidak ada lagi ditemukan modal pelengkap level atas (Upper Tier 2) dan modal


(32)

pelengkap level bawah (Lower Tier 2), dan disebut hanya modal pelengkap saja tidak terbagi lagi. Namun perhitungannya masih sama yaitu diperhitungkan paling tinggi sebesar 100% (seratus persen) dari modal inti. Komponen modal pelengkap tambahan (Tier 3) yang sebelumnya dapat diterbitkan hanya untuk perhitungan modal untuk risiko pasar, dengan berlakunya Basel III menjadi dihapuskan.

Untuk memastikan kualitas atau tingkat permodalan Bank memadai, dilakukan penyempurnaan rasio-rasio permodalan yang meliputi rasio modal inti dan rasio modal inti utama. Pasal 11 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI/2013 mengutarakan Bank wajib menyediakan modal inti paling rendah sebesar 6% (enam persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi

dengan perusahaan anak.152 Jumlah rasio modal inti ditingkatakan sebesar 1%. Ini

dapat diketahui dengan membandingkan penyediaan rasio modal inti dalam PBI Nomor 15/12/PBI/2013 dengan rasio modal inti PBI No. 14/18/PBI/2012. Pasal 7 ayat (1) PBI No. 14/18/PBI/2012 mengutarakan Bank wajib menyediakan modal inti paling kurang sebesar 5% (lima persen) dari ATMR baik secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. Dari kedua perbandingan diatas disimpulkan rasio modal inti mengalami kenaikan 1% (satu persen). Bank juga diwajibkan menyediakan rasio modal inti utama paling rendah sebesar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR, hal ini diatur dalam Pasal 11 ayat (3) PBI No. 15/12/PBI2013 yang bunyinya adalah Bank wajib menyediakan modal inti utama paling rendah sebeasar 4,5% (empat koma lima persen) dari ATMR baik

secara individual maupun secara konsolidasi dengan perusahaan anak. 153

152 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (2).

153

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab II, Pasal 11 ayat (3).


(33)

Bank perlu membentuk tambahan modal di atas persyaratan penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila terjadi krisis keuangan dan ekonomi yang dapat mengganggu stabilitas keuangan. Pasal 3 ayat (8) PBI No. 15/12/PBI2013 mengutarakan penetapan pemenuhan tambahan modal dipenuhi dengan komponen modal inti utama dan ayat (9) dikatakan pemenuhan tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diperhitungkan setelah komponen modal inti utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a dialokasikan untuk memenuhi kewajiban

penyediaan:154

1. Modal inti utama minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3);

2. Modal inti minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2); dan

3. modal minimum sesuai profil risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(3).

Pasal 3 ayat (2) PBI No. 15/12/PBI2013 mengutarakan bank diwajibkan untuk membentuk tambahan modal berupa capital conservation buffer dan countercylical buffer, dan bank yang dianggap berpotensi sistemik wajib

membentuk tambahan modal berupa capital surcharge.155 Capital conservation

buffer adalah salah satu tambahan modal yang diwajibkan harus dipenuhi. Menurut Pasal 1 angka 9 PBI No. 15/12/PBI2013 pengertian capital conservation buffer adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) apabila

154 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (9).

155

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (2).


(34)

terjadi kerugian pada periode krisis.156 Pasal 3 ayat (3) huruf a menetapkan besarnya capital conservation buffer yaitu sebesar 2,5% (dua koma lima persen

dari ATMR).157 Pasal 4 ayat (1) mengutarakan bahwa kewajiban pembentukan

capital conservation buffer sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku bagi bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha

(BUKU) 3 dan BUKU 4.158 Kewajiban bank untuk membentuk tambahan modal

berupa capital consevation buffer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a berlaku secara bertahap mulai tanggal 1 Januari 2016, hal ini diutarakan di dalam Pasal 6 ayat (1). Pasal 6 ayat (2) menyebutkan pembentukan capital consevation buffer wajib dipenuhi secara bertahap sebagai berikut:159

1. sebesar 0,625% (nol koma enam ratus dua puluh lima persen) dari ATMR

mulai tanggal 1 Januari 2016;

2. sebesar 1,25% (satu koma dua puluh lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1

Januari 2017;

3. sebesar 1,875% (satu koma delapan ratus tujuh puluh lima persen) dari ATMR

mulai tanggal 1 Januari 2018; dan

4. sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR mulai tanggal 1 Januari

2019.

Pengertian countercylical buffer dalam Pasal 1 angka 10 PBI No. 15/12/PBI/2013 adalah tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit

156Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 1angka 9.

157Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (3) huruf a.

158 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 4 ayat (1).

159

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 6 ayat (2).


(35)

perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem

keuangan.160 Dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a diutarakan countercyclical buffer

ditetapkan dalam kisaran sebesar 0% (nol persen) sampai dengan 2,5% (dua koma

lima persen) dari ATMR.161 Penetapan besarnya persentase countercylical buffer

dilakukan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia dapat menetapkan besarnya kisaran persentase countercylical buffer yang berbeda dari kisaran sesuai dengan perkembangan kondisi makroekonomi. Penerapan countercylical buffer tidak seperti capital conservation buffer yang berlaku bagi bank yang tergolong sebagai Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 3 dan BUKU 4, dikatakan dalam Pasal 4 ayat (2) kewajiban pembentukan countercylical buffer berlaku bagi seluruh bank. Pasal 6 ayat (3) mengatakan Kewajiban bank untuk membentuk tambahan modal berupa countercylical buffer nulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2016, ditambahkan dalam ayat (4) berdasarkan penilaian Bank Indonesia atas kondisi makroekonomi Indonesia, Bank Indonesia dapat menetapkan pemberlakuan countercyclical buffer lebih cepat dari waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). Penjelasan Pasal 4 ayat (1) PBI No. 15/12/PBI/2013 Pengelompokan BUKU mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kegiatan usaha

dan jaringan kantor berdasarkan modal inti bank.162

Tambahan modal yang terakhir adalah capital surcharge untuk domestic systemically important bank (D-SIB). Pasal 1 ayat (11) PBI No. 15/12/PBI/2013 diutarakan capital surcharge untuk domestic systemically important bank (D-SIB)

160 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 1 angka 10.

161 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 3 ayat (3).

162

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Penjelasan Pasal 4 ayat (1).


(36)

adalah tambahan modal yang berfungsi untuk mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan perekonomian apabila terjadi kegagalan Bank yang berdampak sistemik melalui peningkatan kemampuan Bank dalam menyerap kerugian. Pasal 3 ayat (3) huruf c menyatakan capital surcharge untuk domestic systemically important bank ditetapkan dalam kisaran sebesar 1% (satu persen) sampai dengan 2,5% (dua koma lima persen) dari ATMR. Penetapan besarnya capital surcharge untuk domestic systemically important bank dilakukan oleh otoritas yang berwenang. Pasal 4 ayat (3) menyatakan Kewajiban pembentukan besarnya capital surcharge untuk domestic systemically important bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf c berlaku bagi Bank yang ditetapkan berdampak sistemik. Penetapan bank yang berdampak sistemik dilakukan oleh otoritas yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

Eksekutif dalam manajemen bank serta seluruh pihak terkait, secara khusus harus mengetahui risiko-risiko yang mungkin timbul dalam kegiatan usaha bank, serta mengetahui bagaimana dan kapan risiko tersebut muncul untuk dapat mengambil tindakan yang tepat. Pemahaman yang umum mengenai masing-masing kategori risiko adalah penting sehingga para manager, pelaksana (risk taker), dan bagian pengawasan dapat berdiskusi tentang masalah-masalah umumy

yang secara alami terjadi dari berbagai eksposur risiko.163 Risiko itu sendiri tidak

harus selalu dihindari pada semua keadaan namun semestinya dikelola secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai. Risiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam menghasilkan laba yang

163


(37)

atraktif. Agar manfaat tersebut dapat terwujud, para pengambil keputusan harus

mengerti tentang risiko pengelolaanya.164

Untuk itu bank harus mengerti dan mengenal risiko-risiko yang mungkin timbul dalam melaksankan kegiatan usahanya. Besarnya risiko yang terkandung dalam suatu bank pada hakikatnya menunjukkan besarnya potencial problem yang dihadapi oleh bank tersebut. Agar risiko tidak menjelma secara nyata menjadi

problem maka dibutuhkan sumber daya di dalam bank untuk menopangnya.165

Penyebab bank-bank mengalami pemburukan aset kredit atau masalah lainnya, setidaknya dapat diteropong dalam beberapa aspek. Setidaknya, ada dua aspek sumber masalah yang dihadapi bank sebagai unit usaha bisnis yang tak lepas dari berbagai risiko. Kedua aspek itu bisa karena persoalan di internal bank atau eksternal. Faktor internal bank bisa menjadi sumber bank mengalami masalah bila bank itu dikelola dengan tidak hati-hati, khususnya dalam manajemen risiko, lemahnya pengendalian internal, campur tangan pemilik dalam operasional bank atau adanya kesalahan penetapan startegi yang bermuara bank mengalami

kerugian. Sedangkan faktor eksternal bank seperti perubahan lingkungan bisnis.166

Dengan semakin meningkatnya risiko yang dihadapi oleh bank, maka bank perlu mengendalikan risiko dimaksud sehingga kualitas penerapan manajemen risiko bank menjadi semakin meningkat. Upaya peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko tidak hanya ditujukan bagi kepentingan bank, tetapi juga bagi kepentingan nasabah. Salah satu aspek penting dalam melindungi kepentingan

164 Ibid., hlm. 7.

165Bismar Nasution, “Aspek Hukum Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan

(SSK)”,Disampaikan pada “Focus Group Discussion (FGD) tentang Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)”, (Padanga: Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI), 28 Mei 2009), hlm.18. (dalam Tesis Syuratti Astuti Manalu)

166


(38)

nasabah dan dalam rangka pengendalian risiko adalah transparansi informasi terkait produk atau aktivitas bank. Selain itu, peningkatan kualitas penerapan manajemen risiko diharapkan akan mendukung efektivitas kerangka pengawasan

bank berbasis risiko yang dilakukan oleh Bank Indonesia.167

. Sebaliknya, tidak mengambil risiko sama sekali adalah salah karena tidak ada peluang sama sekali untuk memperoleh hasil. Untuk itu risiko harus dihadapi dalam setiap aktivitas sehingga memberikan peluang untuk memperoleh hasil

yang diharapkan, namun demikian risiko harus dikelola dengan hasil yang baik.168

Peningkatan kualitas dan kuantitas permodalan dilakukan agar bank mampu menyerap risiko yang muncul dikemudian hari. Kuliatas dan kuantitas permodalan telah disesuaikan dengan standar yang berlaku secara internasional yaitu BASEL III. Dengan terpenuhinya kuantitas dan kualitas permodalan, bank diharapkan mampu menjalankan kegiatannya dengan baik tanpa harus terganggu dengan risiko-risiko yang muncul.

Risiko itu sendiri tidak harus selalu dihindari pada semua keadaan namun semestinya dikelola secara baik tanpa harus mengurangi hasil yang ingin dicapai. Risiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam menghasilkan laba yang atraktif. Agar manfaat tersebut dapat terwujud, para

pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko pengelolaanya.169

Meningkatkan kuantitas dan kulitas permodalan adalah cara mengelola risiko, agar risiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk menghasilkan laba dapat diatasi.

167 Syuratty Astuti Rahayu Manalu, Op.Cit. 168

Fery N. Indroes dan Sugiarto, Op.Cit., hlm. 8

169


(39)

B. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum sebagai Salah Satu Langkah Penyehatan Perbankan

Sektor Perbankan yang memiliki posisi strategis sebagai lembaga intermediasi dan penunjang sistem pembayaran merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses penyesuaian dimaksud. Sehubungan dengan itu, diperlukan penyempurnaan terhadap sistem Perbankan nasional yang bukan hanya mencakup upaya penyehatan bank secara individual melainkan juga penyehatan sistem Perbankan secara menyeluruh. Upaya penyehatan Perbankan nasional menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, bank-bank itu sendiri dan masyarakat pengguna jasa bank. Adanya tanggung jawab bersama tersebut dapat membantu memelihara tingkat kesehatan Perbankan nasional sehingga dapat

berperan secara maksimal dalam perekonomian nasional.170

Upaya bank umum untuk menyehatkat perbankan adalah dengan cara memelihara tingkat kesehatan bank. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 29 ayat (2) UU Perbankan Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha bank,

dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip kehati-hatian.171

Seperti yang dikatakan dalam Pasal 29 Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan kecukupan modal. Permodalan bank yang sehat merupakan salah satu syarat bank tersebut dikatakan sehat. Permodalan yang sehat memiliki artian bahwa modal bank tersebut memenuhi standar yang

170 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor

10 Tahun 1998 tentang Perbankan, Penjelasan.

171

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, Bab V, Pasal 29 ayat (2).


(40)

telah ditetapkan oleh otoritas moneter. Modal merupakan faktor utama bagi suatu bank untuk dapat mengembangkan pertumbuhan usahanya.

Aspek permodalan merupakan kemampuan pendanaan dari perbankan dalam usaha memenuhi kebutuhan operasionalnya. Pemerintah selalu menganjurkan kepada kalangan perbankan agar memperhatikan ketentuan pemerintah dalam hal permodalan terutama menyangkut capital adequacy ratio

(CAR) yang mengindikasikan kekuatan permodalan perbankan Indonesia.172

Awal ketentuan yang dibuat oleh BIS ini tidak mengikat, tetapi akhirnya hampir seluruh Bank Sentral di dunia mengadopsi ketentuan BIS, di Indonesia Bank Indonesia menerapkan ketentuan ini melalui PBI menjadi KPMM (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum) sebesar 8%, yang secara bertahap akan

disesuaikan dengan kondisi perbankan di Indonesia dan perbankan Interasional.173

Rasio permodalan yang lazim digunakan untuk mengukur kesehatan bank adalah rasio kebutuhan modal minimum bank atau Capital Adequacy Ratio (CAR). Besarnya CAR diukur dari rasio antara modal sendiri terhadap Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Pemenuhan kebutuhan Rasio Modal Minimal Bank atau dikenal CAR ditentukan oleh BIS (Bank for International Setlement) sebesar 8%. Pada penjelasan Pasal 2 ayat (2) yang dimaksud dengan rasio KPMM (CAR) adalah perbandingan antara modal bank dengan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR). Rasio CAR diperoleh dengan

menggunakan rumus : (Modal : ATMR) x 100%.174

172Supaino, “Analisis Kesehatan Bank Berdasarkan Camel di Indonesia,” (Tesis, Ekonomi

Pembangunan, Pascasarjana, USU, 2010), hlm. 70.

173 https://dosen.perbanas.id/car-capital-adequacy-ratio/ (diakses tanggal 25 November

2015)

174

https://dosen.perbanas.id/car-capital-adequacy-ratio/ (diakses tanggal 25 November 2015)


(41)

Modal yang digunakan untuk menghitung CAR terdiri atas modal inti dan modal pelengkap. Modal inti yang termasuk dalam perhitungan CAR terdiri dari modal inti utama dan terbagi menjadi modal disetor dan cadangan tambahan modal. Dikatakan dalam Pasal 2 ayat (1) PBI No. 15/12/PBI/2013 bahwa bank

wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko.175 Pada penjelasan Pasal

2 ayat (1) yang dimaksud dengan “profil risiko” adalah profil risiko bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Bank Indonesia mengenai penilaian tingkat

kesehatan bank umum.176 Profil risiko terdiri dari risiko kredit, risiko pasar, risiko

likuiditas, risiko operasional, risiko hukum, risiko stratejik, risiko kepatuhan, dan risiko reputasi yang diutarakan dalam Pasal 7 ayat (1) PBI No. 13/1/PBI/2011. Selanjutnya juga dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (3) PBI No. 15/13/PBI/2013 penyediaan modal minimum sesuai profil risiko ditetapkan paling rendah sebagai

berikut:177

1. 8% (delapan persen) dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR) untuk bank

dengan profil risiko peringkat 1 (satu);

2. 9% (sembilan persen) sampai dengan kurang dari 10% (sepuluh persen) dari

ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat 2 (dua);

3. 10% (sepuluh persen) sampai dengan kurang dari 11% (sebelas persen) dari

ATMR untuk bank dengan profil risiko peringkat 3 (tiga); atau

4. 11% (sebelas persen) sampai dengan 14% (empat belas persen) dari ATMR

untuk bank dengan profil risiko peringkat 4 (empat) atau peringkat 5 (lima).

175 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 2 ayat (1).

176 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Penjelasan Pasal 2 ayat (1).

177

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab I, Pasal 2 ayat (3).


(42)

Terlepas dari itu, disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) Bank Indonesia berwenang menetapkan modal minimum lebih besar dari modal minimum sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3), dalam hal Bank Indonesia menilai bank menghadapi potensi kerugian yang membutuhkan modal lebih besar. ATMR adalah singkatan dari aset tertimbang menurut risiko. Pasal 27 PBI No. 15/13/PBI/2013 mengutarakan ATMR yang digunakan dalam perhitungan modal minimum terdiri atas:

1. ATMR untuk Risiko Kredit.178

2. ATMR untuk Risiko Operasional.

3. ATMR untuk Risiko Pasar.

Total ATMR merupakan penjumlahan dari ATMR untuk risiko kredit, ATMR untuk risiko pasar, dan ATMR untuk risiko operasional. Setiap bank wajib memperhitungkan ATMR untuk risiko kredit dan ATMR untuk risiko operasional sebagaimana dikatakan dalam Pasal 28 ayat (1).

Selain memenuhi kewajiban memperhitungkan ATMR untuk risiko kredit dan ATMR risiko pasar Pasal 28 ayat (2) mewajibkan bagi bank yang memenuhi kriteria tertentu untuk memperhitungkan risiko pasar. Bank dengan kriteria tertentu yang dikatakan dalam Pasal 28 ayat (2) dijelaskan dalam Pasal 29. Bank

yang memenuhi kriteria tertentu menurut Pasal 29 adalah:179

1. bank yang secara individual memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

a. bank dengan total aset sebesar Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun

rupiah) atau lebih;

178 Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang

Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab III, Pasal 27.

179

Republik Indonesia, Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum, Bab III, Pasal 29.


(43)

b. bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;

c. bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing dengan posisi

instrumen keuangan berupa surat berharga dan/atau transaksi derivatif suku bunga dalam Trading Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) atau lebih;

dan/atau;

2. bank yang secara konsolidasi dengan Perusahaan Anak memenuhi salah satu

kriteria sebagai berikut:

a. bank yang melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing yang secara

konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) atau lebih;

b. bank yang tidak melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing namun secara

konsolidasi dengan Perusahaan Anak memiliki posisi instrumen keuangan berupa surat berharga termasuk instrumen keuangan yang terekspos risiko ekuitas dan/atau transaksi derivatif dalam Trading Book dan/atau instrumen keuangan yang terekspos risiko komoditas dalam Trading Book dan Banking Book sebesar Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah)


(44)

atau lebih.

3. bank yang memiliki jaringan kantor dan/atau Perusahaan Anak di negara lain

maupun kantor cabang dari bank yang berkedudukan di luar negeri.

Terdapat aturan tambahan bagi bank yang pernah memenuhi kriteria dan beberapa waktu kemudian tidak lagi memenuhi kriteria. Pasal 33 mengatakan bank yang telah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dan bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 wajib tetap memperhitungkan risiko pasar dalam kewajiban penyediaan modal minimum walaupun selanjutnya bank tidak lagi memenuhi kriteria tertentu dimaksud.

Kecukupan modal minimum sesuai profil risiko selain bertujuan untuk mengantisipasi potensi kerugian yang antara lain timbul dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) yang telah memperhitungkan risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional, juga untuk mengantisipasi potensi kerugian di masa mendatang dari risiko-risiko yang belum sepenuhnya diperhitungkan dalam ATMR tersebut, antara lain risiko konsentrasi, risiko likuiditas, risiko suku bunga pada banking book (interest rate risk in banking book), risiko hukum, risiko kepatuhan, risiko reputasi, dan risiko stratejik, serta untuk mengantisipasi dampak

penerapan skenario stress test terhadap kecukupan modal Bank.180

Pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko yang dimaksud, Bank wajib memiliki dan menerapkan proses perhitungan kecukupan modal secara internal atau Internal Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP). Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 43 ayat (1) yang isinya adalah dalam memenuhi kewajiban penyediaan modal minimum sesuai profil risiko

180


(1)

KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENYEHATAN PERBANKAN

ABSTRAK Romly Simanjuntak*

Bismar Nasution** Windha***

Kegiatan operasional bank umum senantiasa terkait dengan ketentuan hukum. Semakin meningkat dan berkembangnya kegiatan usaha perbankan, peranan bidang hukum dalam mendukung keberhasilan itupun dirasakan penting. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana pengaturan penyediaan modal bank umum; bagaimana ketentuan penilaian kesehatan bank umum; bagaimana pengaturan kewajiban penyediaan modal minimum pada bank umum sebagai salah satu langkah penyehatan perbankan.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian yuridis normatif, yaitu dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap kewajiban bank umum untuk menyediakan modal minimum yang ditinjau dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/12/PBI/2013 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.

Modal bank merupakan motor penggerak bagi kegiatan usaha bank. Besar kecilnya modal yang dimiliki sebuah bank sangat berpengaruh terhadap kemampuan bank untuk melaksanakan kegiatan operasinya. Modal bank memberikan konstribusi bagi kesehatan bank. Untuk mengetahui keadaan suatu bank sehat atau tidak sehat bank harus melakukan penilaian sendiri (self

assessment) atas tingkat kesehatan bank. Untuk menilai suatu kesehatan bank

secara individual dilakukan dengan cara menggunakan pendekatan risiko

(risk-based bank rating). Bank dalam menjalankan kegiatan guna mendapatkan hasil

usaha selalu dihadapkan pada risiko. Salah satu fungsi penting dari modal bank adalah sebagai penyerap utama kerugian yang timbul akibat kejadian risiko guna menjaga keberlangsungan usaha bank. Untuk menyerap risiko yang timbul dan menjamin keberlangsungan usaha tersebut, bank wajib menyediakan modal minimum sesuai profil risiko oleh regulator, yang disebut dengan kecukupan modal (capital adequacy) Kewajiban penyediaan modal minimum bank umum dilakukan untuk memperkuat permodalan bank Sebab, permodalan yang kuat adalah salah satu ciri perbankan yang sehat. Permodalan perbankan yang sehat dan kuat dibutuhkan guna mendukung industri perbankan yang kuat, sehat dan efisien guna menciptakan kestabilan keuangan

.

Kata Kunci : Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, Bank Umum, Penyehatan Perbankan.

*Mahasiswa Fakultas Hukum USU ** Dosen Pembimbing I


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa memberikan harapan, semangat, kekuatan, kesabaran, dan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulisan skripsi yang berjudul “KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL

MINIMUM BANK UMUM SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH

PENYEHATAN PERBANKAN” ini ditujukan untuk memberikan informasi kepada para pembaca mengenai penyehatan perbankan melalui pemenuhan kewajiban penyediaan modal minimum bagi bank umum . Selain itu, penulisan skripsi ini juga ditujukan untuk memenuhi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum (SH) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulisan skripsi ini tidaklah terlepas dari ketidaksempurnaan, sehingga besar harapan agar semua pihak dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan lebih sempurna lagi.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberikan perlindungan, kekuatan

dan tuntunan kepada penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).


(3)

3. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.Hum., DFM selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU).

5. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Windha, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi, Dosen Hukum Ekonomi dan sekaligus Dosen Pembimbing II yang sudah menyediakan waktu dan memberikan motivasi untuk dapat menyelesaikan skripsi ini, serta memberikan kritik dan saran dalam penulisan skripsi ini 7. Prof. Dr. Bismar Nasution, S.H., M.H selaku Dosen Hukum Ekonomi

Universitas Sumatera Utara (USU) dan Dosen Pembimbing I yang sudah menyediakan waktu dan membagi pengetahuan berkenaan dengan skripsi yang dibahas, serta memberikan kritik dan saran sehingga penulisan skripsi ini selesai..

8. Bapak Alm. Ramli Siregar, S.H., M.Hum selaku Sekretaris Jurusan Departemen Hukum Ekonomi.

9. Bapak Edy Murya S.H. selaku Dosen Wali atas segala bimbingan dari awal hingga akhir masa studi.

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) atas segala ilmu yang telah diberikan sejak awal perkuliahan hingga terselesainya penulisan skripsi ini.

11. Seluruh pegawai/staff Fakultas Hukum USU atas bantuan dan kerja samanya selama ini.


(4)

12. Orang tua penulis, Leberton Simanjuntak dan Romita Sinaga yang telah membesarkan, mendidik, memberikan kasih sayang, serta tidak pernah lelah menyemangati dan memberikan dukungan yang luar biasa selama ini. 13. Abang dan adik penulis: Heru Frianto Simanjuntak dan Alfredno

Simanjuntak yang telah memberikan motivasi dan saran-saran kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

14. Kawan-kawan seperjuangan penulis, yaitu Bima H. Purba, Oktanta Ginting Suka, Adhy P. Siahaan, Ruba Franklin Silaen, Leonardus Manurung, Yusuf Tamami dan Bang Lastua Ryanto yang telah memberikan bantuan dan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

15. Senior-senior di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

16. Teman-teman organisasi Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI). 17. Kawan-kawan lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, kiranya tulisan ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan, terutama dalam penerapan serta pengembangan ilmu hukum di Indonesia.

Medan, Desember 2015 Penulis,


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………ii DAFTAR ISI………...vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang………....….1

B. Perumusan Masalah……….11 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan………....11

D. Keaslian Penulisan………...12

E. Tinjauan Kepustakaan………...13

F. Metode Penelitian………....16

G. Sistematika Penulisan………...19

BAB II PENYEDIAAN MODAL BANK UMUM A. Pengaturan Bank Umum Menurut UU No. 7 Tahun 1992 jo. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan……...…17

B. Permodalan Bank Umum dalam Prakteknya………...29

C. Penguatan Modal Bank Umum melalui Pembatasan Pemberian Kredit...………...36

BAB III PENILAIAN KESEHATAN BANK UMUM A. Hubungan Keterkaitan antara Modal dan Kesehatan Bank Umum………...………...48

B. Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum………..54

C. Sanksi atas Penurunan Tingkat Kesehatan Bank Umum………...…...63


(6)

BAB IV KEWAJIBAN PENYEDIAAN MODAL MINIMUM BANK UMUM SEBAGAI SALAH SATU LANGKAH PENYEHATAN PERBANKAN

A. Kemampuan Bank Menyerap Risiko terkait Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Permodalan menurut Peraturan Bank Indonesia No. 15/12/PBI/2013…...………...68 B. Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum

sebagai Salah Satu Langkah Penyehatan Perbankan……...81

C. Sanksi Pelanggaran atas Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum...96

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………....102

B. Saran………...103