Langkah Salah Dalam Pelayanan Perpajakan
Langkah Salah Dalam Pelayanan Perpajakan
"Public service must be more than doing a job efficiently and honestly, it must be a complete dedications to the
people and to thevnation" – Margaret Chase Smith
S
ejak
tahun
2007
Direktorat
Jenderal
pajak
berusaha
meningkatkan
pelayanannya terhadap wajib pajak. Banyak langkah yang dilakukan. Tentu
kita ingat bagaimana DJP berusaha menggaungkan layanan unggulan, layanan
pengiriman formulir SPT kepada wajib pajak, Penyuluhan, Asistensi, layanan
dropbox, hingga repot-repot membentuk satuan tim kerja konsultasi bergilir yang
akrab disebut help desk. Semaraknya semangat pelayanan tentu tidak luput dari
pemberian reward bagi unit kerja dengan kinerja pelayanan terbaiknya. Satu dekade
terakhir ini Direktorat Jenderal Pajak juga menjadi sorotan sebagai roda utama
pengumpul penerimaan negara. Segala jenis upaya hingga problematikanya menjadi
bahasan menarik dari obrolan di warung kopi sampai meja akademisi. Besarnya
penerimaan negara dari perpajakan yang sampai 75% mungkin cukup membuat
bangga bagi fiskus, hanya saja tentu tidak demikian bagi selain mereka. Dengan
peningkatan upaya pelayanan perpajakan seharusnya bisa meningkatkan capaian
target, namun hal ini seperti jauh dari harapan. Rasio penerimaan pajak terhadap
Produk Domestik Bruto yang disebut tax ratio juga terus melorot dari 13,3% di tahun
2008 menjadi hanya 12,2% ditahun 2014. Ironis memang disaat pelayanan yang
diharapkan mampu meningkatkan atensi wajib pajak justru seperti berakhir sia-sia.
Akhir-akhir ini Pemerintah coba mendorong tax ratio yang digadang-gadang harus
16%. Namun melihat bagaimana track record DJP sebelumnya tentu lonjakan seperti
ini sangat sulit direalisasikan, terbukti hingga semester I DJP baru mampu memenuhi
sekitar 30% dari total target yang ada. Realistiskah? atau ada hal lain yang perlu DJP
lakukan? Ternyata ada sebuah persepsi penting yang coba dikemukakan oleh James
Alm, dkk dimana justru tax service memberi dampak negatif terhadap tingkat
kepatuhan. Ada beberapa pilihan bagaimana sebuah instansi pemungut pajak dalam
meningkatkan
kepatuhan
yaitu
diantaranya
dengan
meningkatkan
pelayanan
perpajakan, meningkatkan potensi audit perpajakan, dan optimasi kualitas audit
perpajakan. Namun ketiga hal tersebut harus dilakukan bersamaan untuk memberi
hasil yang optimal. Dengan hanya fokus pada pelayanan saja sedang kedua hal
lainnya
tetap
atau
bersifat
ceteris
paribus
ternyata
menurunkan
kepatuhan
perpajakan, begitu juga dengan 2 hal lainnya yang tidak akan optimal jika dijalankan
sendiri-sendiri. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk memperhatikan ketiga
hal tersebut dan coba untuk menerapkannya secara simultan.
Pertama, peningkatan pelayanan perpajakan seperti yang dilakukan DJP hingga 5 tahun
terakhir ini merupakan langkah besar dimana DJP berusaha membentuk citra dan
mengupayakan langkah persuasif bagi wajib pajak agar memenuhi kewajibannya.
Langkah etis pemerintah ini merupakan sebuah angin segar sebagai upaya membangun
komunikasi antara fiskus dan wajib pajak. Penyuluhan, asistensi, hingga pelayanan
konsultasi menjadi andalan belakangan ini. Meskipun demikian ternyata dampak yang
diberikan kurang sesuai harapan. Apabila pemerintah berupaya meningkatkan pelayanan
perpajakannya, sementara di sisi lain upaya penegakan hukum dan kualitas dari upaya
penegakan hukumnya rendah maka efek yang diberikan justru akan menurunkan tingkat
kepatuhan. Hal ini nyata terjadi dimana DJP seperti instansi yang dipermainkan oleh
wajib pajak, DJP yang fokus pada pelayanan sangat lemah sekali dalam sebuah kasus
perpajakan karena mungkin saja tidak ingin kehilangan kesempatan untuk keberhasilan
upaya persuasifnya. Pelayanan yang tanpa diikuti penegakan hukum di saat yang sama
cenderung menina bobokan wajib pajak, tidak edukatif dan kurang berdaya guna. Wajib
pajak seperti diberi pengampunan terus menerus selama periode tersebut dan
cenderung membentuk wajib pajak yang selalu lalai dikemudian hari. langkah
peningkatan pelayanan harus ditindaklanjuti dengan langkah lainnya di saat yang
bersamaan seperti penjatuhan sanksi dan upaya pengawasan lainnya sehingga wajib
pajak teredukasi secara lengkap dan paham bahwa pelayanan yang diberikan saat ini
dimaksudkan untuk memberi pengetahuan dan kemudahan bagi wajib pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya. Wajib pajak juga akan paham bahwa dengan sekali
saja lalai terhadap kewajibannya maka fiskus akan segera mengenakan sanksi yang
tentu lebih memberatkan bagi wajib pajak sendiri.
Kedua, langkah penegakan hukum dengan cara meningktkan potensi keterauditan wajib
pajak. Langkah ini coba diintensifkan dalam 2 tahun terakhir dimana Account
Representative dan Fungsional Pemeriksa bersama Juru Sita Pajak bahu mambahu
menjadi ujung tombaknya. Langkah ini sebenarnya cukup terlambat karena wajib pajak
sudah terlanjur terbentuk sedemikian rupa sehingga tidak teredukasi optimal dan justru
menciptakan golongan wajib pajak yang “nakal”. Wajib pajak dalam 2 tahun terakhir
seperti dipaksa bangun dari tidur nyenyaknya dan tentu perlu upaya lebih besar untuk
meyakinkan bahwa sanksi perpajakan, penegakan hukum itu memang sudah ada sejak
lama. pengalaman fiskus yang unik dalam hal ini adalah ketika wajib pajak yang tidak
terima tiba-tiba dibangunkan dari tidurnya lalu beranggapan upaya penegakan hukum
yang sedang dilakukan sekarang mengada-ada, dibuat-buat karena pada tahun
sebelumnya wajib pajak begitu nyaman dilayani dengan baik. Harapan meningkatnya
kepatuhan wajib pajak seperti harus tertunda karena perdebatan wajib pajak – fiskus
hanya karena kesalahan langkah di tahun sebelumnya. Beberapa wajib pajak juga
terbukti semakin tidak kooperatif dengan munculnya upaya penegakan hukum ini.
Ketiga, upaya meningkatkan kualitas audit perpajakan seperti yang digalakkan dalam
setahun terakhir. Fiskus mulai ditekan untuk mencapai extra effort yang komprehensif,
tuntas, dan cepat. Fiskus dituntut menghasilkan produk audit perpajakan yang lebih
berkualitas dimana dengan satu upaya penegakan hukum sudah mampu merangkum
seluruh permasalahan perpajakan pada tahun tersebut. Hal ini dimaksudkan juga untuk
menghindari perspepsi masyarakat bahwa fiskus akan terus datang dan pergi hanya
untuk menggali kesalahan wajib pajak. Persepsi ini sangat berbahaya dan akan
membentuk wajib pajak yang retensif dan akan menghindari fiskus dikemudian hari.
Pada saat pemerintah berfokus pada pelayanan sejak tahun 2007, kualitas hasil audit
perpajakan sangat bersifat parsial dan akibatnya kesalahan wajib pajak akan terus digali
di tahun berikutnya karena tidak tuntas. Bukan hal yang aneh bila wajib pajak akan
mendapatkan himbauan, teguran, hingga surat paksa atas kesalahan tahun pajak yang
sama namun terbit dalam beberapa tahun.
Target tax ratio sebesar 16% pada tahun 2015 ini, tentu menjadi capaian yang berat
ditambah DJP sudah lebih dulu salah langkah dalam mengambil kebijakan. Fokus pada
pelayanan yang tidak diikuti dengan dua langkah lainnya ternyata berdampak buruk dan
terakumulasi ditahun berikutnya. Jika DJP ingin segera berbenah tentu saja pelayanan
perpajakan, upaya meningkatkan potensi keterauditan, dan peningkatan kualitas hasil
audit harus bersamaan dijalankan dan tidak bersifat parsial. Ini untuk menghindari hasil
edukasi yang tidak optimal dan persepsi negatif wajib pajak. Perbaikan ini masih sangat
mungkin dilakukan, dengan syarat ketiga hal tersebut diatas dilakukan bersamaan dan
simultan.
Referensi
Alm, James; Jones, Michael L.; and McKee, Michael. 2007. Taxpayer Services And Tax
Compliance. USA: Economic Faculty Publications.
Amin, Hidayat. 2014. Potensi Pajak Dan Kinerja Pemungutannya. Jakarta: BKF.
Asian Development Bank. 2009. Indonesia Critical Development Constraints.
"Public service must be more than doing a job efficiently and honestly, it must be a complete dedications to the
people and to thevnation" – Margaret Chase Smith
S
ejak
tahun
2007
Direktorat
Jenderal
pajak
berusaha
meningkatkan
pelayanannya terhadap wajib pajak. Banyak langkah yang dilakukan. Tentu
kita ingat bagaimana DJP berusaha menggaungkan layanan unggulan, layanan
pengiriman formulir SPT kepada wajib pajak, Penyuluhan, Asistensi, layanan
dropbox, hingga repot-repot membentuk satuan tim kerja konsultasi bergilir yang
akrab disebut help desk. Semaraknya semangat pelayanan tentu tidak luput dari
pemberian reward bagi unit kerja dengan kinerja pelayanan terbaiknya. Satu dekade
terakhir ini Direktorat Jenderal Pajak juga menjadi sorotan sebagai roda utama
pengumpul penerimaan negara. Segala jenis upaya hingga problematikanya menjadi
bahasan menarik dari obrolan di warung kopi sampai meja akademisi. Besarnya
penerimaan negara dari perpajakan yang sampai 75% mungkin cukup membuat
bangga bagi fiskus, hanya saja tentu tidak demikian bagi selain mereka. Dengan
peningkatan upaya pelayanan perpajakan seharusnya bisa meningkatkan capaian
target, namun hal ini seperti jauh dari harapan. Rasio penerimaan pajak terhadap
Produk Domestik Bruto yang disebut tax ratio juga terus melorot dari 13,3% di tahun
2008 menjadi hanya 12,2% ditahun 2014. Ironis memang disaat pelayanan yang
diharapkan mampu meningkatkan atensi wajib pajak justru seperti berakhir sia-sia.
Akhir-akhir ini Pemerintah coba mendorong tax ratio yang digadang-gadang harus
16%. Namun melihat bagaimana track record DJP sebelumnya tentu lonjakan seperti
ini sangat sulit direalisasikan, terbukti hingga semester I DJP baru mampu memenuhi
sekitar 30% dari total target yang ada. Realistiskah? atau ada hal lain yang perlu DJP
lakukan? Ternyata ada sebuah persepsi penting yang coba dikemukakan oleh James
Alm, dkk dimana justru tax service memberi dampak negatif terhadap tingkat
kepatuhan. Ada beberapa pilihan bagaimana sebuah instansi pemungut pajak dalam
meningkatkan
kepatuhan
yaitu
diantaranya
dengan
meningkatkan
pelayanan
perpajakan, meningkatkan potensi audit perpajakan, dan optimasi kualitas audit
perpajakan. Namun ketiga hal tersebut harus dilakukan bersamaan untuk memberi
hasil yang optimal. Dengan hanya fokus pada pelayanan saja sedang kedua hal
lainnya
tetap
atau
bersifat
ceteris
paribus
ternyata
menurunkan
kepatuhan
perpajakan, begitu juga dengan 2 hal lainnya yang tidak akan optimal jika dijalankan
sendiri-sendiri. Oleh karena itu penting bagi pemerintah untuk memperhatikan ketiga
hal tersebut dan coba untuk menerapkannya secara simultan.
Pertama, peningkatan pelayanan perpajakan seperti yang dilakukan DJP hingga 5 tahun
terakhir ini merupakan langkah besar dimana DJP berusaha membentuk citra dan
mengupayakan langkah persuasif bagi wajib pajak agar memenuhi kewajibannya.
Langkah etis pemerintah ini merupakan sebuah angin segar sebagai upaya membangun
komunikasi antara fiskus dan wajib pajak. Penyuluhan, asistensi, hingga pelayanan
konsultasi menjadi andalan belakangan ini. Meskipun demikian ternyata dampak yang
diberikan kurang sesuai harapan. Apabila pemerintah berupaya meningkatkan pelayanan
perpajakannya, sementara di sisi lain upaya penegakan hukum dan kualitas dari upaya
penegakan hukumnya rendah maka efek yang diberikan justru akan menurunkan tingkat
kepatuhan. Hal ini nyata terjadi dimana DJP seperti instansi yang dipermainkan oleh
wajib pajak, DJP yang fokus pada pelayanan sangat lemah sekali dalam sebuah kasus
perpajakan karena mungkin saja tidak ingin kehilangan kesempatan untuk keberhasilan
upaya persuasifnya. Pelayanan yang tanpa diikuti penegakan hukum di saat yang sama
cenderung menina bobokan wajib pajak, tidak edukatif dan kurang berdaya guna. Wajib
pajak seperti diberi pengampunan terus menerus selama periode tersebut dan
cenderung membentuk wajib pajak yang selalu lalai dikemudian hari. langkah
peningkatan pelayanan harus ditindaklanjuti dengan langkah lainnya di saat yang
bersamaan seperti penjatuhan sanksi dan upaya pengawasan lainnya sehingga wajib
pajak teredukasi secara lengkap dan paham bahwa pelayanan yang diberikan saat ini
dimaksudkan untuk memberi pengetahuan dan kemudahan bagi wajib pajak untuk
memenuhi kewajiban perpajakannya. Wajib pajak juga akan paham bahwa dengan sekali
saja lalai terhadap kewajibannya maka fiskus akan segera mengenakan sanksi yang
tentu lebih memberatkan bagi wajib pajak sendiri.
Kedua, langkah penegakan hukum dengan cara meningktkan potensi keterauditan wajib
pajak. Langkah ini coba diintensifkan dalam 2 tahun terakhir dimana Account
Representative dan Fungsional Pemeriksa bersama Juru Sita Pajak bahu mambahu
menjadi ujung tombaknya. Langkah ini sebenarnya cukup terlambat karena wajib pajak
sudah terlanjur terbentuk sedemikian rupa sehingga tidak teredukasi optimal dan justru
menciptakan golongan wajib pajak yang “nakal”. Wajib pajak dalam 2 tahun terakhir
seperti dipaksa bangun dari tidur nyenyaknya dan tentu perlu upaya lebih besar untuk
meyakinkan bahwa sanksi perpajakan, penegakan hukum itu memang sudah ada sejak
lama. pengalaman fiskus yang unik dalam hal ini adalah ketika wajib pajak yang tidak
terima tiba-tiba dibangunkan dari tidurnya lalu beranggapan upaya penegakan hukum
yang sedang dilakukan sekarang mengada-ada, dibuat-buat karena pada tahun
sebelumnya wajib pajak begitu nyaman dilayani dengan baik. Harapan meningkatnya
kepatuhan wajib pajak seperti harus tertunda karena perdebatan wajib pajak – fiskus
hanya karena kesalahan langkah di tahun sebelumnya. Beberapa wajib pajak juga
terbukti semakin tidak kooperatif dengan munculnya upaya penegakan hukum ini.
Ketiga, upaya meningkatkan kualitas audit perpajakan seperti yang digalakkan dalam
setahun terakhir. Fiskus mulai ditekan untuk mencapai extra effort yang komprehensif,
tuntas, dan cepat. Fiskus dituntut menghasilkan produk audit perpajakan yang lebih
berkualitas dimana dengan satu upaya penegakan hukum sudah mampu merangkum
seluruh permasalahan perpajakan pada tahun tersebut. Hal ini dimaksudkan juga untuk
menghindari perspepsi masyarakat bahwa fiskus akan terus datang dan pergi hanya
untuk menggali kesalahan wajib pajak. Persepsi ini sangat berbahaya dan akan
membentuk wajib pajak yang retensif dan akan menghindari fiskus dikemudian hari.
Pada saat pemerintah berfokus pada pelayanan sejak tahun 2007, kualitas hasil audit
perpajakan sangat bersifat parsial dan akibatnya kesalahan wajib pajak akan terus digali
di tahun berikutnya karena tidak tuntas. Bukan hal yang aneh bila wajib pajak akan
mendapatkan himbauan, teguran, hingga surat paksa atas kesalahan tahun pajak yang
sama namun terbit dalam beberapa tahun.
Target tax ratio sebesar 16% pada tahun 2015 ini, tentu menjadi capaian yang berat
ditambah DJP sudah lebih dulu salah langkah dalam mengambil kebijakan. Fokus pada
pelayanan yang tidak diikuti dengan dua langkah lainnya ternyata berdampak buruk dan
terakumulasi ditahun berikutnya. Jika DJP ingin segera berbenah tentu saja pelayanan
perpajakan, upaya meningkatkan potensi keterauditan, dan peningkatan kualitas hasil
audit harus bersamaan dijalankan dan tidak bersifat parsial. Ini untuk menghindari hasil
edukasi yang tidak optimal dan persepsi negatif wajib pajak. Perbaikan ini masih sangat
mungkin dilakukan, dengan syarat ketiga hal tersebut diatas dilakukan bersamaan dan
simultan.
Referensi
Alm, James; Jones, Michael L.; and McKee, Michael. 2007. Taxpayer Services And Tax
Compliance. USA: Economic Faculty Publications.
Amin, Hidayat. 2014. Potensi Pajak Dan Kinerja Pemungutannya. Jakarta: BKF.
Asian Development Bank. 2009. Indonesia Critical Development Constraints.