BOOK Umbu Tagela Orientasi ke dalam profesi keguruan Bab VI

(1)

109

BAB VI

ETIKA PROFESI KEGURUAN

6.1 Apakah Etika Profesi itu?

6.1.1 Pengertian Etika

Dalam filsafah, etika adalah suatu studi evaluasi tentang perilaku manusia ditinjau dari prinsip-prinsip moral atau kesusilaan (Ethics in philosophy is the study and evaluation of human conduct in the light of moral principles). Etika yaitu tentang filsafat moral mengenai nilai, perilaku dan yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang benar. Secara singkat dapat dirumuskan, bahwa Etika adalah suatu sistem prinsip-prinsip kesusilaan atau moral, yang merupakan “standard” atau norma-norma bertindak bagi orang-orang dalam suatu profesi, misalnya dalam profesi kedokteran, keguruan, dan sebagainya.

6.1.2 Etika Profesi

Bertolak dari formulasi di atas, maka Etika profesi (professional ethics) adalah prinsip-prinsip atau norma-norma kesusilaan dan moral yang merupakan “pedoman” bagi sikap dan perilaku anggota-anggota profesi. Yang tercakup dalam perilaku etika melingkupi segi-segi: 1) Pertanggungjawaban (responsibility). 2) Pengabdian (dedication). 3) Kesetiaan (loyalitas). 4) Kepekaan (sensitivity). 5. Persamaan (equality). 6. Kepantasan (equity).

Mengacu uraian di atas, maka dapatlah dirumuskan bahwa etika profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan “pedoman” bertindak bagi para anggota profesi di bidang keguruan, dalam hal ini adalah para guru. Yang dimaksudkan dengan “guru” di sini, ialah semua orang yang memiliki wewenang keguruan, yang bertanggung jawab dalam pendidikan.


(2)

110

Dalam proses pendidikan, banyak unsur-unsur yang terlibat agar proses pendidikan dapat berjalan dengan baik. Salah satunya adalah guru sebagai tenaga pendidik. Pendidik harus memiliki etika yang sesuai dengan kode etik profesi keguruan.

6.2 Prinsip-Prinsip Dasar Etika Profesi Keguruan

Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa etika profesi keguruan adalah ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan yang merupakan “pedoman” bertindak bagi para guru. Ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan inilah yang mengatur bagaimana seharusnya guru itu bersikap, bertindak atau berbuat secara profesional. Timbul pertanyaan, ketentuan-ketentuan moral atau kesusilaan apakah yang dijadikan “pedoman” bagi perilaku para anggota profesi keguruan itu?

Dalam hubungan ini kita bertolak dari dua prinsip dasar etika sebagai berikut:

6.2.1 Prinsip Universalistik

Yang dimaksudkan dengan prinsip etika ini, adalah yang sifatnya universal bagi semua orang. Prinsip ini bertolak dari pandangan tentang hakekat manusia itu. Secara filosofis dikatakan, bahwa manusia itu adalah makhluk individu yang keberadaannya tidak terlepas daripada sesamanya dan pada galibnya tak dapat terlepas dari Tuhan Penciptanya. Inti dari manusia itu adalah kata-hati (conscience) yang berfungsi sebagai instansi yang menimbang dan memutuskan apakah sesuatu perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah di hadapan sesamanya maupun dengan Tuhannya. Hal ini menyangkut tanggung jawab, bukan hanya terhadap diri sendiri, melainkan juga terhadap sesama manusia dan pada akhirnya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Adapun realisasi dari hal ini, ialah kesadaran akan hukum cinta kasih terhadap Tuhan, sesama manusia, seperti terhadap diri sendiri. Dalam hubungan ini Kristus telah bersabda:


(3)

111

“Hendaklah engkau mengasihi Tuhanmu Allah dengan sebulat hatimu, dengan seluruh jiwamu, dengan segenap akal budimu, dengan segenap tenagamu. Hendaklah engkau mengasihi pula sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum ini tergantunglah seluruh hukum taurat dan nabi-nabi.”

Santo Paulus pun telah menegaskan, “Hukum cinta kasih adalah hukum pokok. Jika kita telah memenuhi hukum ini, maka kita akan memenuhi hukum-hukum lainnya juga ... cinta kasih tidak mendatangkan kejahatan, karena itu di dalam cinta kasih terpenuhilah seluruh hukum.”

Perbuatan atau tindakan para profesional di bidang keguruan yang berdasarkan cinta kasih (sebagai prinsip etika yang universalistik) pada hakekatnya mengandung (1) pengabdian/dedikasi yang tulus dan (2) pengorbanan yang ikhlas, baik pengorbanan waktu, tenaga, pikiran dan segala-galanya ... bahkan sampai rela mengorbankan jiwa raganya ... demi Tuhan. Para guru yang berprinsipkan “cinta kasih” sebagai “pedoman” perilakunya akan ikhlas “mengkorbankan dirinya” dalam menunaikan tugas profesionalnya.

6.2.2 Prinsip Nasionalistik

Prinsip etika profesi keguruan yang nasionalistik, adalah yang sifatnya nasional bagi guru-guru se Indonesia. Prinsip etika yang dimaksudkan adalah “Pancasila”, dasar dan falsafah Negara serta “way of life” Bangsa Indonesia termasuk para guru Indonesia.

Sebagai warga negara Indonesia, para guru Indonesia dalam praktek profesionalnya haruslah Pancasilais, berbuat atau bertindak sesuai dengan sila-sila Pancasila, yaitu (1) Berketuhanan yang Maha Esa, (2) Berperikemanusiaan, (3) Berjiwa nasional, dan (4) Demokratis, serta (5) Berkeadilan sosial.

6.3 Kode Etika Profesi Guru Indonesia

Mengacu pada kedua prinsip dasar etika tersebut, dapatlah disusun suatu kode etika khusus bagi profesi keguruan di Indonesia.


(4)

112

6.3.1 Apakah “Kode” Etika itu?

Terlebih dahulu akan dijelaskan tentang apakah “kode etika” itu? Kode, adalah kumpulan peraturan-peraturan atau norma-norma perilaku atau perbuatan profesional (Code is a set of rules for or standards of professional practices or behavior... .” Jadi kode etika suatu profesi, adalah sekumpulan peraturan-peraturan atau norma-norma kesusilaan bagi perbuatan atau perilaku orang-orang dalam suatu profesi.

Kode etika profesi keguruan adalah kumpulan peraturan-peraturan atau norma-norma kesusilaan bagi para guru sebagai “pedoman” bersikap, berbuat atau bertindak dalam praktek keguruan. Bagi para guru Indonesia, hal itu telah tersirat (implisit) dalam prinsip-prinsip dasar etika baik yang universalistik maupun nasionalistik, sebagaimana diuraikan di atas.

Akan tetapi supaya lebih jelas, maka “pedoman” bertindak para guru yang terlibat dalam profesi keguruan itu perlu dirumuskan dan tersusun dalam format yang disebut Kode Etika Profesi Keguruan.

6.3.2 Kode Etika Profesi Guru Indonesia

Bagi guru-guru Indonesia yang sedang berjuang untuk lebih memprofesionalisasi jabatan guru di Indonesia, penyusunan dan perumusan suatu Kode Etika keguruan yang “up to date” mutlak perlu. Berdasarkan analisis interaksi guru dalam profesinya serta berpegang pada prinsip dasar etika tersebut, maka penyusunan suatu kode etika bagi guru-guru Indonesia, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

(1) Guru dan Peserta didik

Dalam hubungannya dengan peserta didik, guru harus:

1)

Berlaku jujur, adil dan penuh kasih sayang terhadap peserta didik.

2)

Mengadakan evaluasi yang objektif dan memberi rekomendasi

yang benar tentang peserta didik.

3)

Tidak boleh diskriminatif dalam perlakuan terhadap peserta didik.

4)

Mendasarkan tindakannya atas pertimbangan fakta-fakta yang


(5)

113

5)

Memberi kritik-kritik sehat terhadap peserta didik secara pribadi.

6)

Menjaga dan memelihara hubungan baik dengan peserta didik.

7)

Menghindarkan pertikaian dengan dan diantara peserta didik.

8)

Melindungi peserta didik terhadap iktikad-iktikad buruk.

9)

Membantu peserta didik dalam kesulitan-kesulitan yang berhubungan dengan pendidikan dan pembelajaran.

10)

Tidak boleh memeras atau mencari keuntungan-keuntungan yang tidak halal dari peserta didik.

(2) Guru dan Orang Tua Peserta didik

Dalam hubungannya dengan orang tua para peserta didik, guru harus:

1)

Menjaga dan memelihara hubungan baik dengan orang tua/wali

peserta didik.

2)

Menjaga dan memelihara nama baik orang tua/keluarga peserta didik.

3)

Berlaku jujur dan adil terhadap orang tua peserta didik.

4)

Memelihara informasi-informasi tentang orang tua/keluarga peserta didik.

5)

Memberi informasi yang benar tentang peserta didik kepada orang tuanya.

6)

Menjalin kerjasama yang baik dengan orang tua/wali peserta didik.

(3) Guru dan Masyarakat

Dalam hubungannya dengan masyarakat, guru harus :

1)

Memupuk kerjasama dengan masyarakat khususnya di bidang pendidikan.

2)

Mengindahkan adat istiadat dalam masyarakat.

3)

Bangga dan menaruh hormat kepada masyarakat.

4)

Tidak menipu dan menarik keuntungan yang tidak halal dari masyarakat.


(6)

114

(4) Guru dan Rekan-rekan se Profesi

Dalam hubungannya dengan rekan-rekan guru lainnya, guru harus:

1)

Memelihara dan mengembangkan rasa kolegialitas/

kesetiakawanan.

2)

Jujur dan toleran terhadap rekan-rekan guru lainnya.

3)

Menghargai rekan-rekan yang membantunya mencapai sukses.

4)

Memperhatikan nasib rekan-rekan guru lainnya.

5)

Tidak boleh merendahkan posisi/ kedudukan atau meremehkan karya-karya rekan lainnya.

6)

Tidak boleh memberi atau menerima suap/sogokan untuk menolong diri atau rekan-rekan lain guna memperoleh suatu posisi atau promosi (kenaikan tingkat/pangkat).

(5) Guru dan Profesi Keguruan

Dalam hubungannya dengan profesinya, guru harus:

1)

Bersikap dan bertindak profesional.

2)

Bergairah dalam karya pengabdiannya sebagai guru.

3)

Berusaha memelihara dan meningkatkan mutu profesi keguruan.

4)

Tidak boleh melakukan hal-hal yang mencemarkan martabat

guru.

5)

Menghindarkan penyalahgunaan profesi dan menjunjung tinggi martabat guru.

6)

Tidak boleh mendiamkan perbuatan yang mencemarkan martabat guru.

7)

Merasa bangga akan profesinya.

8)

Mempergunakan cara-cara yang jujur dan wajar dalam pembinaan suatu posisi atau promosi.

9)

Tidak boleh menggunakan profesinya untuk tujuan-tujuan komersial (dagang).

10)

Menghindarkan suap bagi kepentingan pribadi atau untuk mencapai suatu posisi atau promosi.


(7)

115

11)

Dapat menyimpan rahasia-rahasia jabatan.

12)

Bersikap terbuka (open minded) terhadap inovasi-inovasi yang baru.

13)

Berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan organisasi profesionalnya.

14)

Mempopulerkan kode etika profesi keguruan diantara rekan-rekan dan berusaha mengefektifkan perwujudannya.

15)

Tidak boleh mengkhianati profesinya dengan berpindah (exodus) ke profesi lain.

(6) Guru dan Atasannya

Dalam hubungan dengan atasannya (pimpinan sekolah, pimpinan kantor, pimpinan pendidikan dan esalon-esalon di atasnya) yang membina dan melindunginya, guru harus:

1)

Mengindahkan keputusan-keputusan atasan.

2)

Menghormati dan bangga terhadap atasannya.

3)

Tidak memfitnah, menghasut dan mengadu domba.

4)

Mengindahkan saluran-saluran hirarkhis dalam struktur jabatan.

5)

Melaporkan pekerjaan dan mengajukan

permohonan-permohonan dengan sejujur-jujurnya.

6)

Tidak boleh memainkan peran “munafik” terhadap atasannya. (7) Guru dan Tuhan

Dalam interaksinya yang hakiki yaitu hubungannya dengan Tuhan, para guru Indonesia yang Pancasilais sejati, harus:

1)

Senantiasa bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

2)

Menunaikan kewajiban-kewajiban agamanya sesuai dengan ajaran-ajaran agama yang dianutnya.

3)

Toleran terhadap penganut agama-agama lain.

4)

Menghormati orang-orang lain yang menunaikan ibadah keagamaan.


(8)

116

5)

Tidak boleh memaksakan keyakinan agamanya kepada orang-orang lain.

6)

Memperlakukan tiap orang sebagai sesama makhluk Tuhan.

7)

Senantiasa merasa bertanggung jawab ke hadirat Tuhan Yang

Maha Esa melalui pertanggung-jawaban segala sesuatu yang menyangkut profesi, sesama dan pribadinya.

8)

Senantiasa mawas diri (introspeksi) sesuai dengan kehendak Tuhan.

Demikianlah beberapa perumusan tentang etika profesi keguruan yang diharapkan dapat dihayati benar oleh para guru sebagai pedoman berperilaku dalam pelayanannya kepada peserta didik dan pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia.

Soetjipto dan Kosasi (2003) di dalam Kode Etik Guru Indonesia menyatakan pokok pikiran berikut: 1) Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. 2) Guru memiliki dan melaksanakan kejujuran profesional. 3) Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan. 4) Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar. 5) Guru memelihara hubungan dengan orang tua peserta didik dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan rasa tanggung jawab bersama terhadap pendidikan. 6) Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya. 7) Guru memelihara hubungan seprofesinya, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial. 8) Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. 9) Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan.

Dalam pasal 1, ayat 4, Bab 1 UU No.14/2005, tentang Guru dan Dosen dinyatakan bahwa profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang


(9)

117

memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dalam makna profesi tersebut, terjabarkan pengertian bahwa guru memainkan peran dan tanggungjawab tertentu yang terkait dengan profesi keguruan sebagai berikut:

1)

Guru melayani masyarakat, guru merupakan karir yang dilaksanakan

sepanjang hayat.

2)

Guru memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu (tidak setiap orang dapat melakukannya).

3)

Guru menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek.

4)

Guru memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.

5)

Guru memiliki otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup

kerja (tidak diatur oleh orang luar).

6)

Guru menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil.

7)

Guru menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya.

8)

Guru mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesinya.

9)

Guru mempunyai kode etik profesi.

10)

Guru mempunyai kadar kepercayaan tinggi dari masyarakat.

Untuk memikul peran profesi keguruan, maka jabatan guru merupakan:

1)

Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.

2)

Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu khusus.

3)

Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama.

4)

Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.

5)

Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.

6)

Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin

erat.


(10)

118

Berkaitan dengan hal itu, Soetjipto dan Kosasi (2003) memilah Etika Guru Profesional sebagai berikut:

1)

Etika Guru Profesional terhadap Peraturan Perundang-Undangan Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan jelas bahwa dalam kode etik tersebut diatur agar guru di Indonesia perlu taat pada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional. Guru adalah aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku. Sebagai contoh pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan kemudian diubah lagi menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya. Guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang baru tersebut dan akan menerima tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan akan dapat memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.

2)

Etika Guru Profesional terhadap Peserta Didik

Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dalam membimbing peserta didik, Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini. Pertama, guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi peserta didiknya. Guru adalah contoh nyata bagi peserta didik. Perilaku guru hendaknya jadi teladan. Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap peserta


(11)

119

didik. Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru harus dapat mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain. Kedua, guru harus dapat mempengaruhi dan mengendalikan peserta didik. Dalam hal ini, perilaku dan pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah perilaku peserta didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi sahabat bagi peserta didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan peserta didik. Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi dalam keberagaman peserta didik. Bagi guru, keberagaman peserta didik yang dihadapinya adalah sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi perkembangan peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangannya. Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku mendidik.

Sementara itu, prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berilmu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan di masa depan. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.


(12)

120

3)

Etika Guru Profesional terhadap pekerjaan

Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai profesional, guru harus melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat. Keinginan dan permintaan ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”. Secara profesional, guru tidak boleh merasa diri sudah sempurna dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus. Bagi guru, belajar terus menerus adalah hal yang mutlak. Hal ini karena yang dihadapi adalah peserta didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya. Untuk meningkatkan mutu profesinya, secara formal guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya. Secara informal dilakukan melalui menyimak televisi, radio, koran.

4)

Etika Guru Profesional terhadap tempat kerja

Suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidak optimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal. Dalam UU No. 20/ 2003 pasal 1 dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan fasilitas sekolah yang memadai secara merata dan bermutu di seluruh jenjang pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan fasilitas yang ada dalam rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional. Di sisi lain, jika kita dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai


(13)

121

fasilitas yang memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai seorang guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa fasilitas yang memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing peserta didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi seperti ini. Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, sikap profesional guru terhadap tempat kerja juga dengan cara menciptakan hubungan harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang tua peserta didik.

5)

Etika Guru Profesional terhadap teman sejawat

Dalam Kode Etik Guru disebutkan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial, yang berarti: 1) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya. 2) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa betapa pentingnya hubungan yang harmonis untuk menciptakan rasa persaudaraan yang kuat di antara sesama anggota profesi. Di lingkungan kerja, yaitu sekolah, guru hendaknya menunjukkan sikap yang ingin bekerja sama, menghargai, pengertian, dan rasa tanggung jawab kepada sesama personel sekolah. Sikap ini diharapkan akan memunculkan rasa senasib sepenanggungan, menyadari kepentingan bersama, dan tidak mementingkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dengan demikian kemajuan sekolah pada khususnya dan kemajuan pendidikan dapat terlaksana. Sikap ini hendaknya juga dilaksanakan dalam pergaulan yang lebih luas yaitu sesama guru dan di sekolah lain.


(14)

122

Dalam UU. No 14 Tahun 2005 pasal 7.1.i disebutkan bahwa ”Guru harus memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.” Pasal 41.3 menyebutkan ” Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi” Ini berarti setiap guru di Indonesia harus tergabung dalam suatu organisasi yang berfungsi sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Di Indonesia organisasi ini disebut dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dalam Kode Etik Guru Indonesia butir delapan disebutkan: Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Ini makin menegaskan bahwa setiap guru di Indonesia harus tergabung dalam PGRI dan berkewajiban serta bertanggung jawab untuk menjalankan, membina, memelihara dan memajukan PGRI sebagai organisasi profesi, baik sebagai pengurus ataupun sebagai anggota. Hal ini dipertegas dalam dasar keenam kode etik guru bahwa guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan, dan meningkatkan martabat profesinya. Peningkatan mutu profesi dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi perbandingan dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Jadi kegiatan pembinaan profesi tidak hanya terbatas pada pendidikan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja, melainkan dapat juga dilakukan setelah lulus dari pendidikan prajabatan ataupun dalam melaksanakan jabatan.


(1)

117

memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. Dalam makna profesi tersebut, terjabarkan pengertian bahwa guru memainkan peran dan tanggungjawab tertentu yang terkait dengan profesi keguruan sebagai berikut:

1)

Guru melayani masyarakat, guru merupakan karir yang dilaksanakan

sepanjang hayat.

2)

Guru memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu (tidak setiap orang dapat melakukannya).

3)

Guru menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktek.

4)

Guru memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.

5)

Guru memiliki otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup

kerja (tidak diatur oleh orang luar).

6)

Guru menerima tanggung jawab terhadap keputusan yang diambil.

7)

Guru menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya.

8)

Guru mempunyai organisasi yang diatur oleh anggota profesinya.

9)

Guru mempunyai kode etik profesi.

10)

Guru mempunyai kadar kepercayaan tinggi dari masyarakat.

Untuk memikul peran profesi keguruan, maka jabatan guru merupakan:

1)

Jabatan yang melibatkan kegiatan intelektual.

2)

Jabatan yang menggeluti suatu batang tubuh ilmu khusus.

3)

Jabatan yang memerlukan persiapan profesional yang lama.

4)

Jabatan yang memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.

5)

Jabatan yang lebih mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.

6)

Jabatan yang mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin

erat.


(2)

118

Berkaitan dengan hal itu, Soetjipto dan Kosasi (2003) memilah Etika Guru Profesional sebagai berikut:

1)

Etika Guru Profesional terhadap Peraturan Perundang-Undangan Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan jelas bahwa dalam kode etik tersebut diatur agar guru di Indonesia perlu taat pada peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional. Guru adalah aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku. Sebagai contoh pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum 1994 menjadi kurikulum 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi dan kemudian diubah lagi menjadi KTSP dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajarannya. Guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang baru tersebut dan akan menerima tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan akan dapat memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.

2)

Etika Guru Profesional terhadap Peserta Didik

Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa Pancasila. Dalam membimbing peserta didik, Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini. Pertama, guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi peserta didiknya. Guru adalah contoh nyata bagi peserta didik. Perilaku guru hendaknya jadi teladan. Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap peserta


(3)

119

didik. Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru harus dapat mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain. Kedua, guru harus dapat mempengaruhi dan mengendalikan peserta didik. Dalam hal ini, perilaku dan pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah perilaku peserta didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi sahabat bagi peserta didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan peserta didik. Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi dalam keberagaman peserta didik. Bagi guru, keberagaman peserta didik yang dihadapinya adalah sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi perkembangan peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangannya. Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku mendidik.

Sementara itu, prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berilmu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan di masa depan. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.


(4)

120

3)

Etika Guru Profesional terhadap pekerjaan

Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai profesional, guru harus melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat. Keinginan dan permintaan ini berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh sebab itu, guru dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”. Secara profesional, guru tidak boleh merasa diri sudah sempurna dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus. Bagi guru, belajar terus menerus adalah hal yang mutlak. Hal ini karena yang dihadapi adalah peserta didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya. Untuk meningkatkan mutu profesinya, secara formal guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya. Secara informal dilakukan melalui menyimak televisi, radio, koran.

4)

Etika Guru Profesional terhadap tempat kerja

Suasana yang baik di tempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidak optimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal. Dalam UU No. 20/ 2003 pasal 1 dinyatakan bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan fasilitas sekolah yang memadai secara merata dan bermutu di seluruh jenjang pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan fasilitas yang ada dalam rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional. Di sisi lain, jika kita dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai


(5)

121

fasilitas yang memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Bagaimana sikap kita sebagai seorang guru? Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa fasilitas yang memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing peserta didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi seperti ini. Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata peserta didik dan mendorong peserta didik mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, sikap profesional guru terhadap tempat kerja juga dengan cara menciptakan hubungan harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang tua peserta didik.

5)

Etika Guru Profesional terhadap teman sejawat

Dalam Kode Etik Guru disebutkan bahwa guru memelihara hubungan seprofesi, semangat kekeluargaan, dan kesetiakawanan sosial, yang berarti: 1) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara hubungan sesama guru dalam lingkungan kerjanya. 2) Guru hendaknya menciptakan dan memelihara semangat kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial di dalam dan di luar lingkungan kerjanya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa betapa pentingnya hubungan yang harmonis untuk menciptakan rasa persaudaraan yang kuat di antara sesama anggota profesi. Di lingkungan kerja, yaitu sekolah, guru hendaknya menunjukkan sikap yang ingin bekerja sama, menghargai, pengertian, dan rasa tanggung jawab kepada sesama personel sekolah. Sikap ini diharapkan akan memunculkan rasa senasib sepenanggungan, menyadari kepentingan bersama, dan tidak mementingkan kepentingan sendiri dengan mengorbankan kepentingan orang lain. Dengan demikian kemajuan sekolah pada khususnya dan kemajuan pendidikan dapat terlaksana. Sikap ini hendaknya juga dilaksanakan dalam pergaulan yang lebih luas yaitu sesama guru dan di sekolah lain.


(6)

122

Dalam UU. No 14 Tahun 2005 pasal 7.1.i disebutkan bahwa ”Guru harus memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru.” Pasal 41.3 menyebutkan ” Guru wajib menjadi anggota organisasi profesi” Ini berarti setiap guru di Indonesia harus tergabung dalam suatu organisasi yang berfungsi sebagai wadah usaha untuk membawakan misi dan memantapkan profesi guru. Di Indonesia organisasi ini disebut dengan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Dalam Kode Etik Guru Indonesia butir delapan disebutkan: Guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organisasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian. Ini makin menegaskan bahwa setiap guru di Indonesia harus tergabung dalam PGRI dan berkewajiban serta bertanggung jawab untuk menjalankan, membina, memelihara dan memajukan PGRI sebagai organisasi profesi, baik sebagai pengurus ataupun sebagai anggota. Hal ini dipertegas dalam dasar keenam kode etik guru bahwa guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan, dan meningkatkan martabat profesinya. Peningkatan mutu profesi dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti penataran, lokakarya, pendidikan lanjutan, pendidikan dalam jabatan, studi perbandingan dan berbagai kegiatan akademik lainnya. Jadi kegiatan pembinaan profesi tidak hanya terbatas pada pendidikan prajabatan atau pendidikan lanjutan di perguruan tinggi saja, melainkan dapat juga dilakukan setelah lulus dari pendidikan prajabatan ataupun dalam melaksanakan jabatan.