BOOK Umbu Tagela Orientasi ke dalam profesi keguruan Bab II

(1)

23

BAB II

GURU SEBAGAI PROFESI PENDIDIK

2.1 Guru sebagai Tenaga Kependidikan

Pada hakekatnya jabatan guru merupakan profesi tenaga pendidikan pada lembaga pendidikan. Guru adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dalam pengelolaan organisasi pendidikan. Pencapaian hasil pendidikan sebagaimana yang diharapkan, diperlukan kegiatan pengembangan manajemen sumberdaya guru. Masih ada anggapan bahwa jabatan tenaga kependidikan belum sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai profesi yang utuh, dan bahkan banyak orang berpendapat bahwa guru merupakan sebuah jabatan semi profesional atau profesi yang baru muncul (emerging profession) karena belum semua ciri profesi dapat dipenuhi (Etzioni, 1985).

Namun apa yang dinyatakan Etzioni (1985) berbeda dengan jabatan guru di negara lain, termasuk profesi guru di Indonesia. Bahkan di zaman penjajahanpun status guru sudah mendapat tempat terhormat di masyarakat. Untuk memperkuat jabatan guru sebagai profesi, secara de jure profesi ini diakui sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Hal ini bermakna jabatan ini menuntut pendidikan yang khusus, dalam jangka waktu lama, dan memiliki kualifikasi dan keahlian khusus.

Semiawan (1998) membagi profesi kependidikan ke dalam tiga hierarki, yaitu: (1) tenaga profesional, (2) tenaga semiprofesional, dan (3) tenaga paraprofesional, yang dijelaskannya bahwa tenaga profesional adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya sarjana atau setara dengan S1, dan memiliki wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pengendalian pendidikan/ pengajaran.


(2)

24

Tenaga kependidikan yang termasuk dalam kategori ini juga berwenang membina tenaga kependidikan yang lebih rendah jenjang profesionalnya, misalnya guru senior membina guru yang lebih junior. Namun dengan berjalannya waktu yang menuntut adanya standardisasi tenaga kependidikan, maka tenaga kependidikan untuk jenjang SD diasuh oleh guru yang sekarang berpendidikan S1, tenaga kependidikan untuk jenjang SMP/SMA/SMK diasuh oleh guru yang berijasah S1, tenaga kependidikan jenjang pendidikan S1 diasuh guru yang sudah berpendidikan S2, tenaga kependidikan S2 harus diasuh oleh guru yang berpendidikan S3, dan tenaga kependidikan S3 harus diasuh oleh guru yang berpendidikan S3 dan memiliki jenjang akademik guru besar (profesor).

Tenaga semiprofesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan tenaga kependidikan D III atau setara yang berwenang mengajar secara mandiri, tetapi harus melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi profesionalnya, baik dalam merencanakan, melaksanakan, menilai maupun mengendalikan pengajaran. Tenaga paraprofesional merupakan tenaga kependidikan yang berkualifikasi pendidikan D II ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengendalian pendidikan/pengajaran. Dengan demikian, tenaga kependidikan yang belum mencapai S1 termasuk dalam kategori guru yang belum profesional. Oleh sebab itu, bagi tiap guru dituntut memiliki profesionalisme yang tinggi, yang diatur dalam undang-undang bahwa pekerjaan kependidikan merupakan profesi yang menuntut profesionalisme penuh dalam bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya. Uwes (2003) mengemukakan tiga bidang yang harus dikuasai oleh guru yang profesional dalam menjalani profesinya, yaitu: (1) ahli dalam bidang pengajaran, (2) terampil dalam bidang penelitian, dan (3) memiliki kompetensi dalam pengabdian kepada masyarakat. Selain dari tiga bidang tersebut, guru juga harus memiliki kemampuan memberi bimbingan kepada siswa dan melaksanakan tugas administrasi lainnya. Timbulnya maksud tersebut antara lain terungkap dari harapan masyarakat agar semua tenaga kependidikan meningkatkan kemampuannya dalam pemberian pelayanan tugas pengajaran dan tugas-tugs lainnya secara lebih profesional.


(3)

25

2.1.1 Apakah “Profesi” itu?

Secara etimologis, istilah “profesi” diambil dari bahasa Inggris “profession” yang diartikan sebagai jabatan atau pekerjaan yang tetap dan teratur untuk memperoleh nafkah, yang membutuhkan pendidikan atau latihan khusus di bidang kependidikan dan keguruan sebagaimana tertera dalam Webster’s New World Dictionary yaitu: “Profession is a vocation or occupation requiring advanced training in some liberal art or science and usually involving mental rather than manual work, as teaching, engineering, writing, etc., especially, medicine, law, or theology.

2.1.2 Kriteria Suatu Profesi

Usaha suatu jenis pekerjaan atau jabatan untuk memperoleh status dan pengakuan sebagai suatu “profession” tidaklah mudah. Demikian pula profesi guru yang harus memenuhi kriteria tertentu. Law & Glover (2000) mengajukan klasifikasi guru dalam 3 kategori sebagai berikut: 1) Acquisition of specialized technique supported by a body of theory. 2) Development of career supported by an association of colleagues. 3) Establishment of community recognition of professional status. Ketiga kategori itu diperinci menjadi 10 kriteria bagi profesi sebagai berikut:

Kategori pertama: memiliki spesialisasi dengan latar belakang teori yang luas, mencakup: 1) Pengetahuan umum yang luas. 2) Keahlian khusus yang mendalam.

Kategori kedua: merupakan karir yang dibina secara organisatoris, mencakup: 1) Keterikatan dalam organisasi profesional. 2) Memiliki otonomi jabatan. 3) Mempunyai kode etika jabatan. 4) Merupakan karya bakti selama hidup.

Kategori ketiga: diakui masyarakat sebagai pekerjaan yang mempunyai status profesi, mencakup: 1) Memperoleh dukungan masyarakat. 2) Mendapat pengesahan dan perlindungan hukum. 3) Mempunyai persyaratan kerja yang sehat. 4) Mempunyai jaminan hidup yang layak.


(4)

26

Dihubungkan dengan pekerjaan atau jabatan guru di Indonesia, apakah jika sudah memenuhi kriteria tersebut, dapatkah jabatan guru disebut sebagai “profesi”?

2.1.3 Profesionalisasi Jabatan Guru

Bagi profesi guru di Indonesia yang pembinaannya pertama-tama oleh dan dari guru yang bersangkutan, hendaklah senantiasa berjuang agar terpenuhi kriteria profesional tersebut, serta berusaha terus meningkatkannya. Perjuangan dan usaha ke arah terpenuhinya kriteria profesional tersebut, serta terwujudnya syarat-syarat menjadi guru sebagaimana diuraikan di muka, merupakan kegiatan-kegiatan dalam rangka profesionalisasi jabatan atas pekerjaan guru. Dalam rangka ini organisasi profesional di bidang Kependidikan atau Pendidikan (seperti PGRI/Persatuan Guru Republik Indonesia dan lain-lain) perlu mengintensifkan usahanya dalam memprofesionalisasikan jabatan guru daripada memperpolitisasikannya. 2.2 Profesionalisme Guru

2.2.1 Pengertian Profesionalisme

Istilah profesionalisme berasal dari kata professional yang dasar katanya adalah profession. Menurut Purwanto (2002) profesional berarti persyaratan yang memadai sebagai suatu profesi. Tilaar (1999) menyatakan pengertian profesional memiliki tiga makna yaitu: (1) sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, (2) memerlukan kepandaian khusus untuk menjalankannya, (3) mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya (lawan dari amatir). Supriyadi (1998) dan Danim (2002) menyatakan kata profesional merujuk pada dua hal, yaitu: 1) Orang yang menyandang suatu profesi, orang yang biasanya melakukan pekerjaan secara otonom dan mengabdikan diri pada pengguna jasa disertai rasa tanggung jawab atas kemampuan profesionalnya, atau penampilan seseorang yang sesuai dengan ketentuan profesi. 2) Kinerja atau performance seseorang dalam melakukan pekerjaan yang sesuai dengan profesinya. Pada tingkat tinggi, kinerja itu dimuati unsur-unsur kiat atau seni (art) yang menjadi ciri tampilan profesional seorang penyandang profesi.


(5)

27

Usman (2001) menyatakan istilah profesional dapat diartikan sebagai “Usaha untuk menjalankan salah satu profesi berdasarkan keahlian dan keterampilan yang dimiliki seseorang, maka ia mendapat imbalan pembayaran berdasarkan standar profesi”. Selanjutnya istilah profesi dapat diketahui dari empat sumber makna, yaitu makna etimologi, makna terminologi, makna sosiologi, dan makna ideologi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1)

Secara etimologi, profesi berasal dari bahasa Inggris profession atau dalam bahasa Latin profecus, yang artinya mengakui, pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melaksanakan pekerjaan tertentu.

2)

Secara terminologi, profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan yang

mensyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang penekanannya pada pekerjaan mental, bukan pekerjaan manual. Kemampuan mental disini menurut Danim (2002) adalah “adanya persyaratan pengetahuan teoretis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.” Merujuk pada definisi ini, pekerjaan yang menggunakan keterampilan manual atau jasmaniah, meskipun tarafnya tinggi tidak digolongkan dalam profesi.

3)

Secara sosiologi Carr-Saunders (dalam Law & Glover, 2000) mengemukakan bahwa: “Profession may perhaps be defined as an occupation based upon specialized intellectual study and training. The purpose of which is to supply skilled service or advice to other for definite fee or salary. Pakar sosiologi lainnya Millerson dalam Whitty (2006) menyebutkan bahwa seorang profesional: (1) “… the use a skills based in theoretical knowledge, (2) education and training in those skills certified by examination, (3) a code of professional conduct oriented towards the “public good”, (4) a powerful professional organization.

4)

Sedangkan Law & Glover (2000) memberikan batasan berikut: “.... that a

profession is vocation of some practice is founded upon an understanding of theoretical structure of some department of learning or science. Menurut Purwanto (2002): “Profesi menunjukkan suatu kepercayaan (to profess means to trust), bahkan suatu keyakinan


(6)

28

(to belief in) atas suatu kebenaran (ajaran agama) atau kredibilitas seseorang, dan menunjukkan suatu pekerjaan atau urusan tertentu (a particular business).” Law & Glover (2000) mempersepsikan bahwa profesi itu hanya merupakan jenis model atau tipe pekerjaan ideal saja, karena dalam realitanya bukanlah hal yang mudah untuk mewujudkannya,” namun tetap dapat diwujudkan, bila dilakukan dengan sungguh-sungguh.

5)

Secara ideologi pekerjaan profesi menekankan pada tanggungjawab dan pelayanan tertentu, bukan sekedar pekerjaan yang mendatangkan keuntungan pribadi. Ada kode etik yang memberi pertimbangan secara otomatis dalam membedakan pekerjaan mana yang tergolong pekerjaan profesi dan mana yang bukan, serta diantara para praktisi profesional diikat dalam suatu organisasi profesi dengan cakupan yang luas.

Rumusan definisi profesi yang singkat dan sederhana ini mengandung sejumlah makna yang masih perlu dikaji lebih lanjut agar dapat dipahami. Menurut Makmun (1996) ada beberapa komponen yang terkandung dalam definisi profesi, yaitu: (1) pernyataan atau janji yang terbuka, (2) mengandung unsur pengabdian, dan (3) suatu jabatan atau pekerjaan. Blackington dalam Makmun (1996) menyatakan suatu profesi digambarkan secara sederhana sebagai lapangan kerja yang terorganisir, tidak diragukan karena fungsi dari kinerja yang sudah sepenuhnya mendapat pengakuan.

Dari definisi yang telah dikemukakan di atas penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan profesi adalah suatu jenis pekerjaan yang bukan dilakukan dengan mengandalkan kekuatan fisik, tetapi menuntut pendidikan yang tinggi bagi orang-orang yang memasukinya, serta dilandasi oleh ilmu dan keterampilan khusus dan mendapat pengakuan dari orang lain.

Selanjutnya patut kiranya dikemukakan istilah profesionalisme. Istilah ini diangkat dari bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal berarti “sifat-sifat profesional” (Danim, 2002). Anoraga & Suyati (1995) menyatakan “profesionalisme merupakan perilaku, tujuan atau rangkaian kualitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu profesi.” Profesionalisme


(7)

29

mengandung pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber kehidupan. Hammer, et al (2003) mendefinisikan profesionalisme sebagai: “the conduct, aims or qualities that characterize or mark a profession or professional person”.

Sebagaimana dinyatakan oleh Makmun (1996) bahwa profesionalisme guru mengandung unsur kepribadian, keilmuan dan keterampilan. Dengan demikian kemampuan profesional tentu saja meliputi ketiga unsur tersebut walaupun tekanan yang lebih besar terletak pada unsur keterampilan sesuai dengan peran yang dikerjakan. Karenanya Danim (2002) menyatakan “manusia profesional memiliki beberapa sifat yang berbeda dengan manusia yang tidak profesional meskipun berada pada pekerjaan dan di ruangan kerja yang sama.”

Supriyadi (1998) menyatakan istilah profesionalisme merujuk pada derajad penampilan individu sebagai seorang profesional atau penampilan pekerjaan sebagai sebuah profesi. Oleh karenanya profesionalisme dapat dimaknai sebagai mutu dan tindak-tanduk yang merupakan ciri dari sebuah profesi atau ciri orang yang profesional. Sahertian (1994) berpendapat profesionalisme berkaitan dengan komitmen para penyandang profesi tersebut untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya secara terus-menerus, mengembangkan strategi baru dalam bertindak melalui proses pembelajaran yang berkelanjutan. Pendapat senada dikemukakan Whitty (2006) yang menyatakan: “professionalism ... commitment to the occupational organization, and dedication to being master knowledge and skillfull provider of service stemming from the knowledge upon which the occupation is based.” Sementara itu Friedson dalam Whitty (2006) mendefinisikan: “professionalism as commitment to professional deal and career. Dalam The American Heritage Dictionary yang dikutip Danumihardja (2003) dinyatakan bahwa: “Profesionalisme merupakan status, metode, karakteristik, atau standar tertentu untuk menghasilkan dan/atau ukuran bagi kualitas karya, produk dan jasa yang dihasilkan oleh seorang yang profesional di dalam menjalankan tugas di bidangnya.”


(8)

30

Akhirnya disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian profesionalisme adalah semua sifat yang mencirikan kinerja dari seorang profesional dalam melaksanakan profesinya. Pencapaian derajad profesionalisme yang tinggi, membutuhkan profesionalisasi.

Danumihardja (2003) dan Danim (2002) menyatakan ada tujuh tahapan menuju status profesional, yang dirangkum sebagai berikut:

Pertama, penentuan spesialisasi bidang pekerjaan sesuai dengan pengetahuan dan keterampilan khusus yang dimiliki oleh seseorang.

Kedua, penentuan tenaga ahli yang memenuhi persyaratan untuk menjalankan pekerjaan sesuai dengan pengetahuan khusus yang dimiliki oleh tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya. Ketiga, penentuan pedoman sebagai landasan kerja disebut sebagai standar

perilaku tenaga kerja dalam menjalankan pekerjaannya, yang disebut sebagai etika kerja.

Keempat, peningkatan kreativitas kerja sebagai usaha menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi profesi itu sendiri maupun bagi masyarakat yang membutuhkan pelayanannya.

Kelima, penentuan tanggungjawab profesional di dalam menjalankan pekerjaannya.

Keenam, pembentukan organisasi kerja untuk mengatur tenaga kerja yang terdapat dalam organisasi.

Ketujuh, memberikan pelayanan pada masyarakat dan penilaian dari pengguna jasa untuk menentukan pelayanan kerja sebagai pelayanan profesional.

2.2.2 Karakteristik Profesionalisme

Uraian tentang profesi, profesional, profesionalisme dan profesionalisasi yang sebenarnya sudah memberi gambaran secara nyata tentang sifat khas atau karakteristik dari profesi. Telaah tentang karakteristik


(9)

31

profesi telah banyak dilakukan para pakar yang meminatinya, namun menurut Law & Glover (2000) “Tidak ada kesimpulan hasil kajian para pakar tersebut mengenai perangkat karakteristik sebuah profesi.”

Kualitas kerja yang prima, pelayanan yang memuaskan, jaminan ketetapan dan kecepatan waktu, kesetiaan dan kecintaan pada profesi adalah beberapa contoh karakteristik profesionalisme dalam sektor publik/bisnis dan kehidupan sehari-hari (Simamora, 1997). Ornstein & Levine dalam Soetjipto dan Kosasi (1999) menyatakan paling sedikit ada 14 karakteristik jabatan atau pekerjaan yang layak disebut sebagai sebuah profesi. Karakteristik umum sebuah jabatan yang layak disebut profesi adalah:

1)

Melayani masyarakat, merupakan faktor karir yang akan dilaksanakan sepanjang hayat (tidak ganti-ganti pekerjaan).

2)

Memerlukan bidang ilmu dan keterampilan tertentu di luar jangkauan khalayak ramai (tidak tiap orang dapat melakukan).

3)

Menggunakan hasil penelitian dan aplikasi dari teori ke praktik (teori baru dikembangkan dari hasil penelitian).

4)

Memerlukan pelatihan khusus dengan waktu yang panjang.

5)

Terkendali berdasarkan lisensi baku dan atau mempunyai persyaratan masuk (untuk menduduki jabatan tersebut memerlukan izin tertentu atau ada persyaratan khusus yang ditentukan untuk dapat mendudukinya).

6)

Otonomi dalam membuat keputusan tentang ruang lingkup kerja tertentu

(tidak diatur oleh orang luar).

7)

Menerima tanggungjawab terhadap keputusan yang diambil dan unjuk kerja yang ditampilkan berhubungan dengan layanan yang diberikan (langsung, bertanggung jawab terhadap apa yang diputuskannya, tidak dipindahkan ke atasan atau instansi yang lebih tinggi). Mempunyai sekumpulan unjuk kerja yang baku.

8)

Mempunyai komitmen terhadap jabatan dan klien; dengan penekanan terhadap layanan yang akan diberikan.

9)

Menggunakan administrator untuk memudahkan profesinya; relatif bebas dari supervisi dalam jabatan (misalnya dokter memakai tenaga administrasi bagi klien, sementara tidak ada supervisi dari luar pekerjaan dokter itu sendiri).


(10)

32

10)

Mempunyai organisasi yang diatur anggota profesi sendiri.

11)

Mempunyai asosiasi profesi dan atau kelompok “elite” untuk mengetahui dan mengakui keberhasilan anggota, misalnya keberhasilan tugas dokter dievaluasi dan dihargai organisasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), bukan Departemen Kesehatan.

12)

Mempunyai kode etik untuk menjelaskan hal-hal yang meragukan/ menyangsikan yang berkait layanan yang diberikan.

13)

Mempunyai kadar kepercayaan yang tinggi dari public dan kepercayaan diri tiap anggota (anggota masyarakat selalu meyakini dokter lebih tahu tentang penyakit pasien yang dilayaninya).

14)

Mempunyai status sosial dan ekonomi yang tinggi (bila dibandingkan dengan jabatan lainnya).

Whitty (2006) mengemukakan bahwa guru atau guru yang profesional memiliki beberapa kriteria yaitu:

1)

To have high expectations of themselves and of all pupils.

2)

To accept accountability.

3)

To take personal and collective responsibility for improving their skills and subject knowledge.

4)

To seek to base decisions on evidence of what works in schools in the United Kingdom and internationally.

5)

To work in partnerships with other staff in schools.

6)

To welcome the contribution that parent, business and others outside a school can make to its success, and

7)

To anticipate change and promote innovation.

Selanjutnya Hammer et al (2003) mengemukakan karakteristik profesional sebagai berikut:

1)

Use of the professional organization as a major reference, that is, using professional colleagues as the major source of professional ideas and judgments in practice.


(11)

33

2)

Belief in service to the public, that is, one's professional practice is

indispensable to society and benefits the public.

3)

Belief in self-regulation, that is, one's peers are the best qualified to judge one's work.

4)

Sense of calling to the field, that is, dedication to the profession regardless of extrinsic rewards.

5)

Autonomy, that is, one can make professional decisions without external pressures from clients, non-professionals, and employers.

Tidak berbeda jauh dengan karakteristik tersebut di atas, Sanusi dkk. (1991) mengemukakan ciri utama jabatan yang layak disebut sebagai profesi itu sebagai berikut:

1)

Jabatan yang memiliki fungsi dan signifikansi sosial yang menentukan (crusial).

2)

Jabatan yang menentukan keterampilan/keahlian tertentu.

3)

Keterampilan/ keahlian yang dituntut jabatan itu didapat melalui pemecahan masalah dengan menggunakan teori dan metode ilmiah.

4)

Jabatan itu berdasarkan pada batang tubuh disiplin ilmu yang jelas,

sistematik, eksplisit yang bukan hanya sekedar pendapat khalayak umum.

5)

Jabatan itu memerlukan pendidikan di pendidikan tinggi dengan waktu yang cukup lama.

6)

Proses pendidikan untuk jabatan itu juga merupakan aplikasi dan sosialisasi nilai-nilai profesional itu sendiri.

7)

Dalam memberikan layanan kepada masyarakat, anggota profesi itu berpegang teguh pada kode etik yang dikendalikan oleh organisasi profesi.

8)

Tiap anggota profesi mempunyai kebebasan dalam memberi judgement terhadap masalah profesi yang dihadapinya.

9)

Dalam praktik melayani masyarakat, anggota profesi otonom dan bebas dari campur tangan orang luar.


(12)

34

10)

Jabatan ini mempunyai prestise yang tinggi di masyarakat, dan oleh karenanya memperoleh imbalan yang tinggi pula.

Sementara itu Law & Glover (2000) mengajukan beberapa unsur essensial profesi, yaitu: ”Suatu dasar teori sistematis, adanya kewenangan yang diakui oleh klien; sanksi dan pengakuan masyarakat atas kewenangan ini, adanya kode etik yang mengatur hubungan dari orang-orang profesional dengan klien dan teman sejawat, dan adanya kebudayaan profesi atau nilai-nilai, norma, dan lambang-lambang.

Kochman dalam Usman (2001) memberikan 12 kriteria pekerjaan yang bersifat profesi, yaitu:

1)

Membutuhkan persiapan yang relatif lama dan menjurus.

2)

Disertai beberapa kegiatan intelektual yang ulung dan anggota memiliki pengetahuan dan kecakapan mengkhusus.

3)

Menentukan standar relatif tinggi untuk diterima sebagai anggota profesi.

4)

Pekerjaannya merupakan karir seumur hidup.

5)

Diwakili oleh organisasi-organisasi profesi yang efektif.

6)

Mempunyai otonomi yang luas dan dalam banyak hal menentukan standarnya sendiri.

7)

Berbakti untuk perluasan pengetahuan dalam bidangnya.

8)

Memberikan prioritas yang tinggi pada pelayanan.

9)

Mengutamakan perbaikan diri dan perkembangan dalam usaha-usaha pelayanan.

10)

Melindungi kesejahteraan anggotanya.

11)

Membutuhkan ijin atau sertifikat untuk berpraktik.

12)

Mendasarkan praktiknya pada prinsip etik yang dirumuskan dengan jelas.

Selanjutnya Law & Glover (2000) mengulas khusus pendapat Lieberman yang menggambarkan beberapa karakteristik dari profesi. Menurut Lieberman profesi merupakan jenis pelayanan atau pekerjaan yang khas,


(13)

35

bersifat definitive yakni jelas batas cakupan bidang garapannya, serta merupakan jenis layanan yang sangat penting atau amat dibutuhkan oleh kliennya, mendapatkan pengakuan masyarakat (a unique, definite, and essential service, public acceptance).

Berbagai karakteristik yang dikemukakan para pakar, khususnya tenaga kependidikan dipandang memenuhi semua sifat profesional. Sutisna (1991) mengutip pendapat More menyebutkan ciri seorang profesional itu adalah:

1)

Menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaan.

2)

Terikat oleh panggilan hidup dan dalam hal ini memperlakukan pekerjaannya sebagai perangkat norma kepatuhan dan perilaku.

3)

Anggota organisasi profesional yang formal.

4)

Menguasai pengetahuan yang berguna dan keterampilan atas dasar latihan spesialisasi atau pendidikan yang khusus.

5)

Terikat oleh syarat kompetensi, kesadaran prestasi dan pengabdian.

6)

Memperoleh otonomi berdasarkan spesialisasi teknis yang tinggi sekali.

Schien dalam Law & Glover (2000) mengemukakan kriteria pekerja profesional sebagai berikut:

1)

Bekerja full-time di bidang profesinya dan sebagai sumber penghidupan. Di sini secara implisit suatu pengertian bahwa seorang profesional tidak boleh bekerja lebih banyak diluar dan menomorduakan tugas utamanya.

2)

Memiliki motivasi yang kuat untuk bekerja dalam bidangnya, yang

merupakan dasar bagi pilihan jabatan tersebut, sehingga jabatan itu dikerjakan dengan sepenuh hati.

3)

Memiliki pengetahuan khusus dan keterampilan yang diperolehnya dalam pendidikan yang cukup lama.

4)

Membuat keputusan dalam tindakannya demi kepentingan klien, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri atau untuk kepentingan organisasi atau golongannya. Ia harus bekerja tanpa pamrih.


(14)

36

5)

Berorientasi pelayanan kepada klien, dan yang ia pentingkan adalah bagaimana dapat melayani siswa dengan sebaik-baiknya demi kemajuan siswa itu sendiri. Seorang profesional adalah seorang yang mengabdi kepada tugasnya.

6)

Pelayanannya berdasarkan atas kebutuhan objektif klien. Tidak boleh ada motif lain tersembunyi di dalamnya. Keduanya, yaitu klien dan petugas profesional harus jujur dan terbuka, serta dapat menciptakan hubungan yang selaras demi kemajuan klien.

7)

Mempunyai otonomi dalam bertindak mengenai apa yang baik bagi klien. Ia adalah orang yang lebih tahu tentang apa yang baik bagi klien daripada klien itu sendiri.

8)

Menjadi anggota organisasi profesi yang diseleksi melalui ukuran tertentu seperti standar pendidikan, atau ukuran lain yang sejenis, memiliki keahlian yang sama, dan dalam wilayah tertentu.

9)

Memiliki pengetahuan yang spesifik.

10)

Tidak boleh mengadvertensi keahliannya untuk mendapat pasaran luas. Klienlah yang diharapkan berinisiatif untuk mencarinya.

Sebagaimana dikatakan oleh Lieberman dalam Law & Glover (2000) sifat profesional ditujukan kepada pemberian pelayanan. Pelayanan profesional itu amat menuntut kemampuan kinerja intelektual yang berbeda dengan layanan manual. Kinerja pelayanan yang cermat secara teknis, sehingga kelompok assosiasi profesi yang bersangkutan sangat memberikan jaminan bahwa anggotanya dipandang mampu untuk melakukan sendiri tugas pelayanan tersebut. Profesional itu memberikan pelayanan secara otonom, seperti misalnya seorang guru sejak tahap awal sampai akhir dari perencanaan dalam pengajaran sampai memberi nilai kepada siswa, atau seorang dokter mendiagnosis sampai pemberian terapi kepada pasien.

Bila mendapat kasus yang tidak dapat ditangani sendiri ia membuat rujukan kepada orang lain yang dianggap berwewenang atau membawa kasus tersebut ke dalam panel diskusi. Pelayanan profesional harus mengutamakan kepentingan orang lain, daripada mempertimbangkan kepentingan ekonomi


(15)

37

yang diterimanya. Profesional harus siap memberikan pelayanan kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja baik dalam keadaan dinas maupun dalam keadaan istirahat, baik dengan atau tanpa imbalan.

Sebagai konsekuensi dari otonomi profesi, seorang profesional akan menerima beban tanggung jawab pribadi secara penuh akibat tindakannya bila terjadi kekeliruan. Seorang profesional tidak dapat melemparkan tanggung jawab kepada pihak lain, harus siap menerima sanksi dari masyarakat, atasan atau sanksi hukum akibat kesalahannya. Karena keunikan profesi, maka hanya anggota asosiasi yang berhak menjalankan peran itu, dan anggota secara pribadi melalui organisasinya itu sendiri jadi pengendali dan polisi profesi yang dimulai saat penerimaan jadi anggota, mengendalikan, memberi sanksi bila diperlukan terhadap pelanggar kode etik.

Kode etik profesi yang disepakati bersama oleh semua anggota bertujuan memberikan bimbingan nurani dan pedoman bagi segala perilaku anggota. Perangkat kode etik ini selalu dipatuhi dan menjadi norma dasar dalam pemberian penghargaan atau hukuman dan pelanggan. Kode etik itu dikembangkan dan diputuskan untuk diberlakukan kepada anggota profesi melalui forum tertinggi organisasi.

Pengetahuan seorang profesional berkaitan dengan penguasaan disiplin akademik sebagai keahlian yang mendasarinya. Kompetensi pengetahuan dan keterampilannya tidak bersifat statis. Ideologi profesionalisme menuntut praktisinya selalu mengikuti perkembangan terbaru di bidangnya demi menjaga kompetensinya dan memberi layanan yang tepat pada pelanggan. Organisasi profesi memiliki jurnal dan publikasi profesional lainnya yang menyajikan berbagai karya penelitian dan kegiatan ilmiah sebagai media pembinaan dan pengembangan para anggota serta pengabdian kepada masyarakat dan khasanah ilmu pengetahuan yang menopang profesinya.

Tiap bidang pekerjaan dan jabatan harus memenuhi kriteria standar dari jabatan profesional sebagaimana disebutkan di atas, semakin terpenuhi kriteria akan semakin besar pengaruhnya pada wibawa profesi di mata masyarakat pengguna jasa profesi. Kalau beberapa ciri tersebut di atas


(16)

38

dipakai sebagai acuan, maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang koran, jelas bukan profesi. Karena pekerjaan tersebut tidak memenuhi persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang profesional.

Pada organisasi pendidikan terdapat persamaan dan perbedaan cara pandang terhadap profesionalisme guru yang dipengaruhi oleh kepentingan birokrasi dan kepentingan profesional. Orientasi persamaan dan perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut:

Tabel 1. Karaktistik Dasar Persamaan dan Perbedaan Profesional dan Orientasi Birokrasi

ORIENTASI BIROKRASI ORIENTASI PROFESIONAL

PERSAMAAN Keahlian teknis

Perspektif sasaran Pendekatan tak berat sebelah

(bukan perorangan) Melayani klien

Keahlian teknis Perspektif sasaran Pendekatan tak berat sebelah

(bukan perorangan) Melayani klien PERBEDAAN

Orientasi hirarki Patuh terhadap aturan Subordinasi pada organisasi

Orientasi/acuan pada rekan sekerja Otonomi dalam pengambilan

keputusan Standar kode etik

Sumber: Hoy & Miskel, 1991 Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Bafadal & Fallon (2007) yang menyatakan bahwa masyarakat memandang terdapat perbedaan antara tenaga administrator dengan guru. Perbedaan cara pandang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


(17)

39

Sumber: Bafadall & Fallon, 2007

Gambar 3. Dichotomy Between Administrators’ and Teachers’ Views of Community

2.3 Perkembangan Profesi Kependidikan

Merujuk pada pendapat Elliot dalam Tirtamihardja dan Sulo (2000) bahwa profesi secara historis ada dua tipe, yaitu: tipe profesi sebagai status dan tipe profesi pekerjaan. Profesi sebagai status diartikan sesuatu yang secara relatif tidak begitu penting dalam organisasi kerja dan dalam melayani masyarakat, tetapi menduduki tempat yang tinggi dalam sistem sosial. Sedangkan profesi sebagai pekerjaan didasarkan pada spesialisasi pendidikan dan latihan. Hal ini oleh Elliot dipandang dari dimensi sejarah, contohnya adalah profesi pada bidang kesehatan, pendeta, keperawatan adalah profesi sebagai status, sedangkan ahli bedah digolongkan sebagai profesi pekerjaan.

Administrator

s Selling to Teachers

Power/control of

knowledge Purpose & Function Knowledge/ Sharing Support Teachers work

“for” the school Hierarchical Organization Collegiality to attain work objectives Role/integrative Trust Capacity Strengthening First Order Change

End Result Capacity Building Teacher work “with” each other

Flat Organization Collegiality to work/ feel better

Practice/General Trust Fisrt Order Change Dimension of Community Interaction


(18)

40

Richey dalam Law & Glover (2000) telah mengidentifikasi tingkat keprofesian. Reiss dan Richey masing-masing mengelompokkan pada lima tipe profesi, yaitu: (1) profesi yang sudah tua, (2) profesi baru tumbuh, (3) profesi yang sedang dalam pertumbuhan, (4) semiprofesi, dan (5) pekerjaan/jabatan yang belum jelas statusnya. Untuk lebih jelasnya tingkat pengembangan profesi dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber : Law & Glover (2000) Gambar 4. Levels of Profession

Selanjutnya Howsam et al (1976) menyatakan bahwa profesi tertua adalah hukum, kesehatan, teologi, dan guru. Profesi terbaru adalah arsitektur, insinyur (engineering) dan optometri. Pekerjaan yang segera diakui sebagai profesi (emergent professions) adalah pekerja sosial (social worker) yang masih semi profesional segera diakui sebagai profesi yang profesional.

Berdasarkan komentar Howsam, jelas guru merupakan profesi tertua. Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu kompleks, sehingga

Older Profesi ons Newer Profesions

Semi Profesions

Emergent Semi Profesions

Profesions Secondary based upon


(19)

41

untuk memasukinya diperlukan persyaratan tertentu. Ali (2002) menyatakan untuk memasuki profesi guru memerlukan persyaratan khusus, antara lain:

1)

Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu

pengetahuan yang mendalam.

2)

Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan profesinya.

3)

Menuntut adanya tingkat pendidikan dalam bidang kependidikan yang memadai.

4)

Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan.

5)

Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. Lebih lanjut Howsam et al (1976) menyatakan diperlukan perjuangan panjang yang terus menerus dan bertahap, sehingga pekerjaan yang masih bersifat semiprofesional dapat diakui sebagai pekerjaan yang menuntut profesional penuh. Berdasarkan proses tersebut ternyata untuk mencapai tingkat profesional, proses profesionalisasi terus berlangsung, dan pada masyarakat yang akan datang, hal itu semakin memegang peran yang sangat penting (Tirtamihardja dan Sulo, 2000).

Perkembangan profesi kependidikan pada masa praindustri menurut Usman (2001) belum banyak dipikirkan orang mengenai identifikasi pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai pekerjaan profesi. Guru jarang dilengkapi dengan kualifikasi khusus sesuai dengan posisi pengajar. Selama ini tugas mengajar dianggap dapat dilaksanakan oleh semua orang.

Pada awalnya, tidak terdapat konsep populer bagi bidang/ cabang kependidikan baik sebagai seni maupun sebagai ilmu pengetahuan. Namun kemudian orang berpendapat bahwa pekerjaan pendidikan di pandang sebagai sebuah profesi. Menurut Usman (2001) “walaupun masih terjadi perbedaan akan hal ini (pekerjaan mendidik), namun akhir abad ke-19 ketika para ahli pendidikan memunculkan landasan keilmuan bagi pendidikan kependidikan, maka mulai ada pengakuan bahkan posisi tenaga kependidikan dinyatakan sebagai pekerjaan profesi,” dan pekerjaan mengajar dianggap


(20)

42

sama dengan profesi lain. Aktivitas pendidikan dan pengajaran telah muncul sebagai profesi, dengan spesialisasi pada keahlian sebagai staf pengajar, dan program latihan dilakukan secara formal dengan pengorganisasian yang bersifat nasional. Lebih lanjut Wuradji (1988) mengatakannya sebagai berikut: ” Ketika pemikiran mengenai profesi kependidikan didiskusikan dan keyakinan perlunya prinsip psikologis yang melandasi proses pendidikan, maka pekerjaan mengajar dipandang sebagai profesi yang sama dengan seperti profesi lainnya. Mulailah program latihan dilakukan secara formal dengan pengorganisasian yang bersifat nasional, mendirikan akademi atau pendidikan tinggi kependidikan.”

Bahkan sebelumnya Persatuan Administrator Sekolah di Amerika Serikat menetapkan enam kriteria profesi kependidikan, yaitu: 1) Berbeda dengan pekerjaan lain karena memiliki sejumlah pengetahuan yang unik, yang disukai dan dipraktikkan oleh para anggotanya. 2) Memiliki ikatan yang kuat terdiri dari para anggota dan aktif mengatur syarat memasuki profesi. 3) Memiliki kode etik yang dapat memaksa. 4) Memiliki literatur sendiri, walaupun ia mungkin menimba dari banyak disiplin akademis untuk isinya. 5) Biasanya memberi jasa kepada masyarakat dan digerakkan oleh cita-cita untuk mengatasi tujuan yang bukan mementingkan diri sendiri (Makmun, 1996).

Selanjutnya Soetjipto dan Kosasi (2003) berpendapat bahwa profesi kependidikan mempunyai dimensi yang sangat luas dan dalam, mulai dari pemahaman secara mendalam tentang wawasan yang mendasari pergaulan pendidikan antara siswa, penguasaan materi ajar sampai kepada pemahaman tentang latar keadaan (setting) di mana dalam lingkungan apa tindakan pendidikan harus dilakukan. Guru harus berbuat tepat dalam melaksanakan tugas pengajarannya, karena situasi pendidikan itu bersifat einmalig, tidak dapat terulang lagi secara persis, jadi hanya berlangsung satu kali.

Pengembangan profesionalisme guru perlu mendapat dukungan dari pemerintah, seperti dikatakan oleh Whitty (2006) pemerintah harus memiliki antusiasme terhadap pengembangan profesionalisme tersebut, yang dikatakannya pemerintah: ”… control has been retained most notably through prescription of the curriculum, school inspection and the introduction of targets


(21)

43

and performance indicators. Thus we have the apparent paradox of the free market and the strong state or so-called quasi markets”.

Sejalan dengan pendapat tersebut pemerintah telah menetapkan kebijakan yang mengatur tentang profesi kependidikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pekerjaan yang sudah menjadi sebuah profesi menuntut kinerja yang profesional dari tiap orang yang menekuninya.

Pengembangan profesi perlu didukung oleh organisasi yang menaunginya melalui kode etik. Seperti dikatakan oleh Tilaar (1999) bahwa “organisasi profesi itulah yang mempunyai dan menentukan kode etik profesi tersebut, memperjuangkan kewibawaan profesi serta kesejahteraan anggota”. Organisasi profesi berfungsi sebagai pelindung profesi, dapat meningkatkan bargaining dan menjamin otoritas anggota dalam menjalankan tugasnya agar kreativitas tetap tinggi. Apabila ingin memperkokoh profesi, tiada cara lain selain menjaga citra tenaga kependidikan. Organisasi profesi berperan sejak seorang calon berminat memasuki profesi tersebut.


(1)

38

dipakai sebagai acuan, maka jabatan pedagang, penyanyi, penari, serta tukang koran, jelas bukan profesi. Karena pekerjaan tersebut tidak memenuhi persyaratan yang harus dimiliki oleh seorang profesional.

Pada organisasi pendidikan terdapat persamaan dan perbedaan cara pandang terhadap profesionalisme guru yang dipengaruhi oleh kepentingan birokrasi dan kepentingan profesional. Orientasi persamaan dan perbedaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. berikut:

Tabel 1. Karaktistik Dasar Persamaan dan Perbedaan Profesional dan Orientasi Birokrasi

ORIENTASI BIROKRASI ORIENTASI PROFESIONAL PERSAMAAN

Keahlian teknis Perspektif sasaran Pendekatan tak berat sebelah

(bukan perorangan) Melayani klien

Keahlian teknis Perspektif sasaran Pendekatan tak berat sebelah

(bukan perorangan) Melayani klien PERBEDAAN

Orientasi hirarki Patuh terhadap aturan Subordinasi pada organisasi

Orientasi/acuan pada rekan sekerja Otonomi dalam pengambilan

keputusan Standar kode etik

Sumber: Hoy & Miskel, 1991

Pandangan tersebut sejalan dengan pendapat Bafadal & Fallon (2007) yang menyatakan bahwa masyarakat memandang terdapat perbedaan antara tenaga administrator dengan guru. Perbedaan cara pandang tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:


(2)

39

Sumber: Bafadall & Fallon, 2007 Gambar 3. Dichotomy Between Administrators’ and Teachers’ Views of

Community 2.3 Perkembangan Profesi Kependidikan

Merujuk pada pendapat Elliot dalam Tirtamihardja dan Sulo (2000) bahwa profesi secara historis ada dua tipe, yaitu: tipe profesi sebagai status dan tipe profesi pekerjaan. Profesi sebagai status diartikan sesuatu yang secara relatif tidak begitu penting dalam organisasi kerja dan dalam melayani masyarakat, tetapi menduduki tempat yang tinggi dalam sistem sosial. Sedangkan profesi sebagai pekerjaan didasarkan pada spesialisasi pendidikan dan latihan. Hal ini oleh Elliot dipandang dari dimensi sejarah, contohnya adalah profesi pada bidang kesehatan, pendeta, keperawatan adalah profesi sebagai status, sedangkan ahli bedah digolongkan sebagai profesi pekerjaan.

Administrator

s Selling to Teachers

Power/control of

knowledge Purpose & Function Knowledge/ Sharing Support Teachers work

“for” the school Hierarchical Organization Collegiality to

attain work objectives

Role/integrative Trust

Capacity Strengthening

First Order Change

End Result Capacity Building Teacher work “with” each other

Flat Organization Collegiality to work/ feel better

Practice/General Trust

Fisrt Order Change Dimension of

Community Interaction


(3)

40

Richey dalam Law & Glover (2000) telah mengidentifikasi tingkat keprofesian. Reiss dan Richey masing-masing mengelompokkan pada lima tipe profesi, yaitu: (1) profesi yang sudah tua, (2) profesi baru tumbuh, (3) profesi yang sedang dalam pertumbuhan, (4) semiprofesi, dan (5) pekerjaan/jabatan yang belum jelas statusnya. Untuk lebih jelasnya tingkat pengembangan profesi dapat dilihat pada gambar berikut:

Sumber : Law & Glover (2000) Gambar 4. Levels of Profession

Selanjutnya Howsam et al (1976) menyatakan bahwa profesi tertua adalah hukum, kesehatan, teologi, dan guru. Profesi terbaru adalah arsitektur, insinyur (engineering) dan optometri. Pekerjaan yang segera diakui sebagai profesi (emergent professions) adalah pekerja sosial (social worker) yang masih semi profesional segera diakui sebagai profesi yang profesional.

Berdasarkan komentar Howsam, jelas guru merupakan profesi tertua. Mengingat tugas dan tanggung jawab guru yang begitu kompleks, sehingga

Older Profesi ons Newer Profesions

Semi Profesions

Emergent Semi Profesions

Profesions Secondary based upon


(4)

41

untuk memasukinya diperlukan persyaratan tertentu. Ali (2002) menyatakan untuk memasuki profesi guru memerlukan persyaratan khusus, antara lain:

1)

Menuntut adanya keterampilan yang berdasarkan konsep dan teori ilmu

pengetahuan yang mendalam.

2)

Menekankan pada suatu keahlian dalam bidang tertentu sesuai dengan profesinya.

3)

Menuntut adanya tingkat pendidikan dalam bidang kependidikan yang memadai.

4)

Adanya kepekaan terhadap dampak kemasyarakatan dari pekerjaan yang dilaksanakan.

5)

Memungkinkan perkembangan sejalan dengan dinamika kehidupan. Lebih lanjut Howsam et al (1976) menyatakan diperlukan perjuangan panjang yang terus menerus dan bertahap, sehingga pekerjaan yang masih bersifat semiprofesional dapat diakui sebagai pekerjaan yang menuntut profesional penuh. Berdasarkan proses tersebut ternyata untuk mencapai tingkat profesional, proses profesionalisasi terus berlangsung, dan pada masyarakat yang akan datang, hal itu semakin memegang peran yang sangat penting (Tirtamihardja dan Sulo, 2000).

Perkembangan profesi kependidikan pada masa praindustri menurut Usman (2001) belum banyak dipikirkan orang mengenai identifikasi pekerjaan yang dapat digolongkan sebagai pekerjaan profesi. Guru jarang dilengkapi dengan kualifikasi khusus sesuai dengan posisi pengajar. Selama ini tugas mengajar dianggap dapat dilaksanakan oleh semua orang.

Pada awalnya, tidak terdapat konsep populer bagi bidang/ cabang kependidikan baik sebagai seni maupun sebagai ilmu pengetahuan. Namun kemudian orang berpendapat bahwa pekerjaan pendidikan di pandang sebagai sebuah profesi. Menurut Usman (2001) “walaupun masih terjadi perbedaan akan hal ini (pekerjaan mendidik), namun akhir abad ke-19 ketika para ahli pendidikan memunculkan landasan keilmuan bagi pendidikan kependidikan, maka mulai ada pengakuan bahkan posisi tenaga kependidikan dinyatakan sebagai pekerjaan profesi,” dan pekerjaan mengajar dianggap


(5)

42

sama dengan profesi lain. Aktivitas pendidikan dan pengajaran telah muncul sebagai profesi, dengan spesialisasi pada keahlian sebagai staf pengajar, dan program latihan dilakukan secara formal dengan pengorganisasian yang bersifat nasional. Lebih lanjut Wuradji (1988) mengatakannya sebagai berikut: ” Ketika pemikiran mengenai profesi kependidikan didiskusikan dan keyakinan perlunya prinsip psikologis yang melandasi proses pendidikan, maka pekerjaan mengajar dipandang sebagai profesi yang sama dengan seperti profesi lainnya. Mulailah program latihan dilakukan secara formal dengan pengorganisasian yang bersifat nasional, mendirikan akademi atau pendidikan tinggi kependidikan.”

Bahkan sebelumnya Persatuan Administrator Sekolah di Amerika Serikat menetapkan enam kriteria profesi kependidikan, yaitu: 1) Berbeda dengan pekerjaan lain karena memiliki sejumlah pengetahuan yang unik, yang disukai dan dipraktikkan oleh para anggotanya. 2) Memiliki ikatan yang kuat terdiri dari para anggota dan aktif mengatur syarat memasuki profesi. 3) Memiliki kode etik yang dapat memaksa. 4) Memiliki literatur sendiri, walaupun ia mungkin menimba dari banyak disiplin akademis untuk isinya. 5) Biasanya memberi jasa kepada masyarakat dan digerakkan oleh cita-cita untuk mengatasi tujuan yang bukan mementingkan diri sendiri (Makmun, 1996).

Selanjutnya Soetjipto dan Kosasi (2003) berpendapat bahwa profesi kependidikan mempunyai dimensi yang sangat luas dan dalam, mulai dari pemahaman secara mendalam tentang wawasan yang mendasari pergaulan pendidikan antara siswa, penguasaan materi ajar sampai kepada pemahaman tentang latar keadaan (setting) di mana dalam lingkungan apa tindakan pendidikan harus dilakukan. Guru harus berbuat tepat dalam melaksanakan tugas pengajarannya, karena situasi pendidikan itu bersifat einmalig, tidak dapat terulang lagi secara persis, jadi hanya berlangsung satu kali.

Pengembangan profesionalisme guru perlu mendapat dukungan dari pemerintah, seperti dikatakan oleh Whitty (2006) pemerintah harus memiliki antusiasme terhadap pengembangan profesionalisme tersebut, yang dikatakannya pemerintah: ”… control has been retained most notably through prescription of the curriculum, school inspection and the introduction of targets


(6)

43

and performance indicators. Thus we have the apparent paradox of the free market and the strong state or so-called quasi markets”.

Sejalan dengan pendapat tersebut pemerintah telah menetapkan kebijakan yang mengatur tentang profesi kependidikan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pekerjaan yang sudah menjadi sebuah profesi menuntut kinerja yang profesional dari tiap orang yang menekuninya.

Pengembangan profesi perlu didukung oleh organisasi yang menaunginya melalui kode etik. Seperti dikatakan oleh Tilaar (1999) bahwa “organisasi profesi itulah yang mempunyai dan menentukan kode etik profesi tersebut, memperjuangkan kewibawaan profesi serta kesejahteraan anggota”. Organisasi profesi berfungsi sebagai pelindung profesi, dapat meningkatkan bargaining dan menjamin otoritas anggota dalam menjalankan tugasnya agar kreativitas tetap tinggi. Apabila ingin memperkokoh profesi, tiada cara lain selain menjaga citra tenaga kependidikan. Organisasi profesi berperan sejak seorang calon berminat memasuki profesi tersebut.