Pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Uin Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat Madzhab Hanafi tentang perempuan menikah tanpa wali.

PANDANGAN DOSEN FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SUNAN AMPEL SURABAYA TERHADAP PENDAPAT
MADZHAB HANAFI TENTANG PEREMPUAN MENIKAH
TANPA WALI
SKRIPSI
Oleh :
Moh Muhibudin
NIM. C01211093

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Program Studi Hukum Keluarga
(Ahwal Al-Syakhsiyah)
SURABAYA
2017

ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah Dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi Tentang
Perempuan Menikah Tanpa Wali”. Dua hal yang akan menjadi fokus penelitian,

Pertama; Pandangan Perkawinan Tanpa Wali Menurut Madzhab Hanafi, Kedua;
Pandangan Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Tentang Hukum Nikah Tanpa
Wali Menurut Madzhab Hanafi.
Jenis data dalam penelitian ini merupakn hasil penelitian kualitatif yaitu
mengemukakan, menggambarkan dan menguraikan seluruh permasalahanpemasalahan yang ada bersifat penjelasan dalam kaitannya pandangan dosen
fakultas Syariah dan Hukum terhadap pendapat madzhab Hanafi tentang
perempuan menikah tanpa wali. Sumber data yang diambil dalam penelitian ini
diantaranya data sekunder, data primer, wawancara terhadap responden, maupun
data pendukung lainnya yang bertujuan sebagai pelengkap dalam penelitian ini.
Madzhab hanafi menyatakan bahwa dalam melaksanakan perkawinan
tidak perlu memakai wali, perkawinan dianggap sah. Menurut madzhab Hanafi,
seorang perempuan yang merdeka, dewasa, dan berakal ketika menikahkan
dirinya sendiri dengan seorang laki-laki maka perkawinan perempuan tersebut
diperbolehkan. Dan menurut madzhab Hanafi, keterangan-keterangan yang
mensyaratkan adanya wali dalam perkawinan itu tidak dapat dijadikan alasan
untuk mewajibkan perempuan menikah harus disertai wali, artinya tiap-tiap
perempuan boleh menikahkan dirinya sendiri tanpa wali.
Saran-saran yang bisa diberikan oleh penulis yakni, perkawinan adalah
suatu hal yang sakral dan baik apabila didasari dengan tujuan yang baik pula,
sehingga nantinya dalam menjalani perkawinan kedepannya tidak menimbulkan

masalah. Di antara salah satu sahnya sebuah perkawinan adalah wali, maka
hendaknya memenuhi rukun dan syarat perkawinan dengan mendatangkan
seorang wali untuk menikahkan seorang perempuan meskipun itu berupa wali
hakim yang ditunjuk olek keluarga sebagai wali perkawinan apabila dari pihak
keluarga tidak bisa menjadi wali untuk suatu perkawinan.

vii

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ...................... ...............................................................

i

PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................

ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................

iii

PENGESAHAN ...........................................................................................

iv

MOTTO .......................................................................................................

v

PERSEMBAHAN ........................................................................................

vi

ABSTRAK ...................................................................................................

vii


KATA PENGANTAR ..................................................................................

viii

DAFTAR ISI ................................................................................................

ix

DAFTAR TRANSLITASI............................................................................

x

BAB I : PENDAHULUAN ...........................................................................

1

A. Latar Belakang Masalah ...............................................................

1


B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ..................................

8

C. Rumusan Masalah .........................................................................

8

D. Kajian Pustaka ..............................................................................

9

E. Tujuan Penelitian ..........................................................................

12

F. Kegunaan Hasil Penelitian ............................................................

12


G. Definisi Operasional .....................................................................

13

H. Metode Penelitian .........................................................................

13

I. Sistematika Pembahasan ..............................................................

18

BAB II : TEORI KETENTUAN WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM DAN
MASLAH}AH MURSALAH .........................................................

19

A. ketentuan Umum Wali Nikah ......................................................

19


1. Pengertian Wali Nikah ...........................................................

19

2. Macam-Macam Wali Nikah..................................................

24

3. Syarat dan Rukun Wali Nikah ...............................................

29

4. Kedudukan Wali dalam Pernikahan ......................................

33

ix

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id


B. Teori Maslahah dalam Hukum Islam ............................................

36

BAB III: PANDANGAN DOSEN FAKULTAS SYARI’AH UIN SURABAYA
TERHADAP PENDAPAT MADZHAB HANAFI TENTANG NIKAH
TANPAWALI ..............................................................................
39
A. Perempuan Menikah tanpa Wali Menurut Madhzab Hanafi ........
39
B. Pandangan Dosen Fakultas Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya tentang
Nikah tanpa Wali Menurut Madhzab Hanafi ...............................

39

1. Pandangan Madzhab Hanafi.....................................................

39


2. Pandangan Dosen Fakultas Syariah Tentang Nikah Tanpa Wali
Menurut Madhzab Hanafi ........................................................

42

a) Dr. H. Abdul Kholiq Syafaat, MA...............................................

42

b) M. Hasan Ubaidillah, SHI, M.Si .........................................

43

c) Nabiela Naily, S.Si.,M.H.I ..................................................

44

d) Drs. H.Sam’un, M.Ag ..........................................................

46


e) Dr. Makinuddin, S.H M.Ag .................................................

47

f) Nurul Asiya Nadhifa, M.H.I ................................................

48

g) H. Abd Rouf, M.Pd.I ....................................................................

49

BAB IV: ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP PANDANGAN DOSEN
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SUNAN AMPEL
SURABAYA TERHADAP PENDAPAT MADZHAB HANAFI
TENTANG PEREMPUAN MENIKAH TANPA WALI .................
51
A. Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel
Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi


Tentang Perempuan

Menikah Tanpa Wali ......... .................................................................

51

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi
Tentang Perempuan Menikah Tanpa Wali ..........................................

55

BAB V PENUTUP .......................................................................................

58

A. Kesimpulan .........................................................................................

58

B. Saran-saran ..........................................................................................

59

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

x

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan paling sempurna dari seluruh
ciptaan Allah SWT di muka bumi ini. Pada hakikatnya manusia diciptakan oleh
Allah SWT sebagai mahluk sosial, yaitu keberadaannya dalam kehidupan di
dunia ini tidaklah mungkin untuk bisa sendiri tanpa bantuan dan peran dari orang
lain. Hal ini juga dikarenakan Allah SWT telah menjadikan makhluk-makhlukNya diciptakan secara berpasangan agar mereka saling mengenal dan melengkapi
antara yang satu dengan yang lainnya. Ini semua dapat dilihat dalam firman
Allah SWT yang berbunyi :

.‫ﱠ ﺗﺬ ﱠﺮون‬

‫ﺷﻲءﺧ ﻘ ﺎزوﺟﯿ‬

‫و‬

Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
riyat 49). 1
mengingat (kebesaran Allah). (Q.S. Adz – Dza>
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2
Perkawinan minimalnya memiliki lima tujuan umum yakni; membentuk
keluarga, tujuan reproduksi (penerusan generasi), pemenuhan kebutuhan biologis
(seks), menjaga kehormatan, dan ibadah. 3

1

Departemen Agama RI.,Al-Qur’an dan Terjemah Al-Hikmah, (Bandung : Diponegoro, t.t.), 415
Pasal 1 Undang – Undang Nomor 1 Tahun 174 Tentang Pernikahan..
3
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan1 Dilengkapi UU Negara Muslim Kontemporer,
(Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2005), 38.
2

1

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Memandang begitu pentingnya perkawinan maka para ulama terdahulu
merasa perlu untuk memperhatikan secara cermat lembaga perwalian. Menurut
mereka, keberadaan wali dalam perkawinan merupakan hal penting, khususnya
bagi perempuan dan anak-anak, untuk memelihara kemaslahatan dan menjaga
hak-hak mereka yang sering diabaikan oleh kaum laki-laki, baik sebelum atau
sesudah akad nikah. Keberadaan wali dipandang lebih berpengalaman dapat
memilihkan pasangan yang sesuai dan paling baik bagi perempuan 4, karena
pentingnya masalah perwalian ini, para ulama

membahasnya secara rinci

pengertian wali, macam-macam wali, sampai dengan urutan para wali secara
hirarkis.
Dalam suatu pernikahan, konsep perwalian ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan, sebab hal ini merupakan salah satu dari syarat legal dalam
pernikahan Islam yang harus dipenuhi. Dalam pandangan empat madzhab fikih
terdapat kesepakatan (pendapat para ulama) bahwa sebuah perkawinan
dipandang sah menurut agama apabila disertai wali, akan tetapi di kalangan
ulama terdapat pandangan yang berbeda terhadap wali, mengenai perbedaan
tentang apakah wali nikah tersebut merupakan syarat atau rukun perkawinan. 5
Dalam buku tentang Hukum Perkawinan 1, Khoirudin Nasution mengutip
dari catatan Sahnun yang bersumber

dari Ibnu Wahab disebutkan, bahwa

pendapat imam Malik terkait wali nikah masih dualisme yang cukup sulit untuk

4

Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>
mi wa Adillatuhu>
, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 187.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1975),
53.
5

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

dijelaskan. Pada satu sisi imam Malik menyuruh menceraikan perkawinan tanpa
wali, namun membolehkan kalau ada izin wali atau pemerintah. 6
Di sisi lain ketika menjelaskan izin wali atau pemerintahan dalam
pandangan imam Malik, Sahnun mengungkapkan, “perkawinan menjadi
sempurna dengan persetujuan wali”. Tetapi imam Malik menolak dengan tegas
perempuan yang menikahkan dirinya sendiri. 7 Sebaliknya, juga disebutkan ada
suatu riwayat yang mewajibkan hadirnya wali ketika akan nikah namun itu hadis

mauqu>
f. Oleh karenanya Khoirudin Nasution menyimpulkan bahwa, imam Malik
mewajibkan hadirnya wali pada waktu akan nikah, sekaligus menikahkan
putrinya, tetapi dalam kondisi tertentu cukup dengan izin. 8
Menurut imam As Syafi’i, kehadiran wali menjadi salah satu rukun nikah,
yang berarti tanpa kehadiran wali ketika melakukan akad nikah perkawinan tidak
sah. Bersamaan dengan kewajiban wali dalam perkawinan, wali juga dilarang
mempersulit perkawinan wanita yang ada di bawah perwaliannya sepanjang
wanita mendapat pasangan sekufu. 9 Adapun perkawinan seorang janda harus ada
izin secara tegas dari yang bersangkutan. Keharusan ini didasarkan pada kasus
perkawinan yang ditolak Nabi karena dikawinkan oleh wali dengan seorang yang
disenangi dan tidak diminta persetujuan terlebih dahulu. Demikian juga beliau
menulis hadis yang menyatakan seorang janda lebih berhak pada dirinya dari
pada walinya. 10

6

Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2005), 70.
Ibid., 71.
8
Ibid., 73.
9
Ibid., 83-84.
10
Ibid., 89.

7

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

Ibnu Quda>
mah, berdasarkan Hadis nabi, dalam perkawinan harus ada wali,
selanjutnya beliau menyebutkan, bahwa wali merupakan rukun nikah dan dalam
prosesi pelaksanaan akad, wali diharuskan hadir. Keharusan ini menurut Ibnu
Quda>
mah, berdasarkan hadis nabi, bahwa dalam perkawinan harus ada wali.
11

.‫ﻻ ﺎح إﻻﱠ ﺑﻮ ﻲ وﺷﺎھﺪي ﺪل‬

hadis yang dipegang sejumlah ilmuan, bahwa yang dipentingkan dalam
perkawinan adalah izin wali, bukan kehadirannya, oleh Ibnu Quda>
mah ditepis
dengan mengatakan, hadis yang mengharuskan adanya wali bersifat umum yang
berarti berlaku untuk semua, sementara hadits yang menyebut hanya butuh izin
adalah hadis yang bersifat khusus. Dalil umum harus didahulukan daripada dalil
khusus. 12
Berbeda dengan pendapat ulama-ulama di atas, imam Abu Hanifah, alSha’bi’, dan al-Zuhri berpendapat, bahwa perempuan dapat menikahkan dirinya
sendiri tanpa campur tangan wali. Sedangkan Da>
wud Az-Za|>
hiri membedakan
antara janda dan gadis, janda dapat menikahkan dirinya sendiri sedangkan gadis
harus disertai wali. Menurut Abu Saur, sesungguhnya yang dipersyaratkan adalah
bukan adanya wali yang menikahkan, namun izin dari wali tersebut. Apabila
perempuan telah mendapatkan izin dari wali untuk menikah, maka ia dapat
menikahkan dirinya sendiri. 13

11

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Kitab An-Nikah,(Damaskus: Dar Al-Fikr, t.t.), 229
Khoirudin Nasution, Hukum Perkawinan 1 (Yogyakarta: Academia Tazzafa, 2005), 89-90.
13
Muhammad Ib Isma’il As-San’ani,Subulas-Salam Syarh Bulugal – Maram Min‘Abdillahal Ahkam, (Damaskus: Dar Al-Fikr,t.t.), 17.

12

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Adanya wali bagi perempuan pada awalnya memang dimaksudkan untuk
memberikan hak-hak mereka, pada kenyataanya perlindungan tersebut berubah
menjadi lembaga yang mendominasi dan membatasi kebebasan yang seharusnya
dimiliki oleh perempuan. Hal ini terbukti oleh pandangan mayoritas ulama yang
menyatakan bahwa perempuan yang hendak menikah harus melalui perantara
wali. Bahkan menurut sebagian mereka terdapat konsep yang disebut wali

mujbir, yaitu wali yang mempunyai hak untuk menikahkan anak perempuannya
dengan siapa saja yang ia kehendaki tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan
dari anak perempuan tersebut. 14
Apabila untuk menikah seorang perempuan harus menggunakan wali, maka
mungkinkah perempuan menjadi wali dalam akad nikah? Sebagaimana perbedaan
pendapat dalam hal keberadaan wali, ulama juga berbeda pendapat mengenai
perempuan dapat menjadi wali atau tidak. Menurut jumhur ulama termasuk
ulama Sha>
fi’iyah, perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri dan
menikahkan orang lain, baik dengan cara menjadi wali atau menjadi wakil orang
lain. Sedang Ulama H{ana>
fiyah berpendapat bahwa perempuan dapat menikahkan
dirinya sendiri dan dapat menjadi wali bagi anaknya yang masih kecil serta
menjadi wakil dari orang lain untuk menikahkan. 15
Di Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak
diterangkan secara terperinci siapa yang berhak menjadi wali nikah, hanya
disebutkan dalam pasal 6 ayat 215 ayat 316 dan ayat 417 UU perkawinan yang

14

Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Isla>
mi wa Adillatuhu>
, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), 188 dan
191.
15
Ibid., 196 dan 200.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

menggap bahwa wali adalah izin dari orang tua itupun bila calon mempelai baik
laki-laki maupun perempuan yang belum dewasa (di bawah 21 tahun) bila dewasa
21 (dua puluh satu) tahun ke atas tidak diperlukan izin dari orang tua. 16
Ketentuan wali dalam hukum pernikahan di Indonesia dapat ditemukan
pada

Kompilasi Hukum Islam mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 23. Wali

merupakan rukun (hal yang mesti ada) dalam suatu perkawinan. Namun akhirakhir ini, muatan yang ada dalam KHI mendapat respon dari kalangan
masyarakat, terutama yang bersifat mengkritisi. Respon kebanyakan datang dari
para pejuang gender dan para feminis. Salah satu di antaranya adalah Siti
Musdah Mulia. Siti Musdah Mulia menyebut, bahwa pada dasarnya harus ada
pembaharuan ditubuh KHI.
Dengan latar belakang perbedaan pendapat di antara ulama madzhab fiqih
tentang wali nikah perempuan, yang disebabkan oleh perbedaan penafsiran dan
pemahaman dalil-dalil mengenai wali nikah, disamping juga dipengaruhi oleh
perbedaan wilayah sosial dan kondisi kultural, maka akan sangat menarik apabila
dibawa kepada wilayah kenyataan pada dewasa ini.
Dengan melihat latar belakang dosen Fakultas Syari'ah UIN Sunan Ampel
Surabaya yang notabene berbeda dan berasal dari berbagai pesantren dan
perguruan tinggi di Indonesia,. Hal ini tentu akan bisa melahirkan persepsi dan
cara pandang yang menarik untuk dijadikan bahan pertimbangan. Hal tersebut,
mendorong penyusun ingin melakukan sebuah penelitian tentang Pandangan

16

Moh. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta: Ind- Hillco, 1985), 184 -185.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap
pendapat madzhab Hanafi tentang perempuan menikah tanpa wali.
Dalam penelitian ini penyusun mengangkat pandangan Dosen Fakultas
Syari'ah UIN Sunan Ampel Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi
Tentang Perempuan Menikah Tanpa Wali, karena di Fakultas Syari'ah terfokus
mengkaji Hukum Islam yang di dalamnya termasuk hukum keperdataan di antara
lain membahas hukum seputar pokok-pokok pernikahan dan hal-hal yang
berkaitan dengan pernikahan termasuk wali nikah baik menurut hukum Islam
maupun hukum positif.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah ditulis di atas terdapat
beberapa masalah dalam penelitian ini. Adapun masalah-masalah tersebut
dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Pendapat Madzhab Hanifah tentang wali nikah bagi perempuan.
b. Pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya
tentang pendapat madzhab Hanafi terhadap wali nikah bagi perempuan.
c. Tinjauan Hukum Islam terhadap pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya tentang pendapat madzhab Hanifah
terhadap wali nikah bagi perempuan.

2. Batasan Masalah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

Batasan masalah disini bertujuan untuk menetapkan batasan-batasan
masalah yang akan diteliti dan objek mana yang tidak termasuk dalam
pembahasan, sehingga pembahasan menjadi lebih terarah dan tidak
menyimpang dari fokus penelitian, maka dari itu penulis memfokuskan
dengan batasan masalah sebagai berikut:
a.

Pendapat dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel
Surabaya Tentang Pendapat Madzhab Hanafi terhadap Wali Nikah Bagi
Perempuan.

b. Tinjauan hukum Islam terhadap pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel tentang pendapat madzhab Hanafi Terhadap
Wali Nikah Bagi Perempuan.

C. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana Pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya terhadap pendapat madzhab hanafi tentang wali nikah bagi
perempuan?

2.

Bagaimana pandangan hukum islam terhadap pandangan dosen Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat
madzhab Hanafi tentang wali nikah bagi perempuan?

D. Kajian Pustaka
Pembahasan yang spesifik mengenai Pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Tentang Pendapat Ulama Madzhab Hanafi
Terhadap Wali Nikah Bagi Perempuan saat ini belum penulis temukan. Adapun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

penelitian pustaka yang sedikit berhubungan dengan pembahasan karya tulis ini
adalah sebagai berikut:

Pertama, skripsi karya Yuni Hasrishul Umamah pada tahun 2000 dengan
judul, Status Wali Nikah Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i Serta

Relevansinya Dengan Kompilasi Hukum Islam, skripsi ini berisi

pendapat

Madzhab Ha>
nifah bahwa wali nikah bukan merupakn rukun perkawinan bagi
wanita yang sudah dewasa, artinya jika perkawinan tersebut tidak ada wali maka
nikahnya tetap sah, sedangkan menurut Imam Sha>
fi’i wali nikah merupakan
rukun daripada perkawinan dan hukumnya wajib. Menurut

KHI wali nikah

merupakan rukun dari perkawinan, hal itu tercantum dalam pasal 14 dan 19 serta
dalam pasal 71 pada huruf e antara ketiga pendapat tersebut terdapat relevansi
yakni dari sudut bahwa wali mempunyai peran yang sangat urgen, terutama pada
waktu akad, wali nikah dibutuhkan kehadiranya untuk mewakili pihak
perempuan melakukan ijab kepada mempelai pria. 17

Kedua, skripsi karya Muhammad Zubaidillah Fahmi pada tahun 2003
dengan judul Perwalian Dalam Nikah (Studi Komparatif Pemikiran imam Abu

Hanifah dan Imam Syafi’i), skripsi ini berisi tentang kesamaan imam Abu
Hanifah dan imam Syafi’’i dalam perwalian nikah dalam tataran lain mereka
berbeda pendapat yaitu menurut Imam Abu Ha>
nifah wanita yang berakal boleh
melakukan akad nikah nikah sendiri, baik gadis atau janda. Sementara imam
syafi’i berbeda dan membedakan antara janda dan gadis, wewenangnya untuk

17

Yuni Hasrishul Umamah, “Status Walinikah Menurut Imam Abu Hanifah Dan Imam
Syafi’i Serta Relevansinya Dengan Kompilasi Hukum Islam” (Skripsi - IAIN Sunan Ampel,
Surabaya, 2000)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

memilih dan menentukan pasanganya ada pada walinya, sedangkan janda ada
pada keduanya. 18

Ketiga, skripsi karya Mashudianto Fakultas Syari’ah pada tahun 2009
dengan judul, Nikah Tanpa Wali Dan Saksi (Studi Analisis Terhadap Pemikiran
hiri tentang
Mazhab Az-Za>
hiri), skripsi ini berisi tentang pendapat mazhab az-Za>
nikah tanpa wali dan saksi, yaitu pendapat pertama membolehkan dan pendapat
kedua tidak membolehkan. Masing-masing dari dua pendapat yang berbeda yang
berbeda tersebut didasarkan pada dalil-dalil al-Quran dan hadis yang mereka
gunakan secara tekstual, tanpa menggunakan tafsiran akal, juga menggunakan

qiyas dan ijma’. Metode tekstual pada madzhab az-Za>
hiri ini memiliki kekuatan,
yaitu terjaganya fatwa mereka dari aturan-aturan syariah. Namun kelemahanya,
sulit sekali memecahkan masalah baru yang tidak ada teksnya di dalam al-Quran
dan Hadis. 19

Keempat, skripsi karya Chalimatus Sya’diyah Nailul Afkar pada tahun
2011 dengan judul, Studi Komparatif Antara Persepsi Dosen Hukum Perkawinan

Islam Laki-Laki Dan Perempuan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tentang Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidup. Skripsi berisi tentang
presepsi dosen hukum perkawinan Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya bahwa
perempuan mempunyai kebebasan dalam memilih pasangan hidup, akan tetapi
kebebasan itu harus bersyarat, dimana anak perempuan harus berunding terlebih

18

Muhammad Zubaidillah Fahmi, “Perwalian Dalam Nikah (Studi Komparatif Pemikiran
Imam Abu Hanifah Dan Imam Syafi’i)” (Skripsi - IAIN Sunan Ampel, Surabaya, 2003)
19
Mashudianto, “Nikah Tanpa Wali dan Saksi (Studi Analisis Terhadap Pemikiran Mazhab
Az-Zahiri)”(Skripsi - IAIN Sunan Ampel,Surabaya, 2009)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

dahulu kepada ayahnya. Sedangkan untuk ayah atau wali hendaknya tidak
memaksa keinginanya kepada anak perempuan untuk menikah. 20
Dari hasil kajian pustaka di atas pendapat madzhab Hanifah tentang wali
nikah memang sudah sering dibahas tapi terdapat perbedaan yang jelas, hal ini
disebabkan penulis meneliti pandangan dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum
UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat madzhab Hanafi tentang
perempuan yang menikah tanpa wali.

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui pendapat Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel
Surabaya Terhadap Pendapat Madzhab Hanafi Tentang Wali Nikah Bagi
Perempuan.
2. Mengetahui tinjauan Hukum Islam Terhadap Pandangan Dosen Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya Tentang Pendapat Madzhab
Hanafi Terhadap Wali Nikah Bagi Perempuan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan baik
20

Chalimatus Sya’diyah Nailul Afkar “Studi Komparatif Antara Persepsi Dosen Hukum
Perkawinan Islam Laki-Laki Dan Perempuan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Tentang Hak Perempuan Memilih Pasangan Hidup” (Skripsi - IAIN Sunan Ampel, Surabaya,
2011)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

dalam aspek keilmuan (teoritis) maupun dalam aspek terapan praktis.
1. Aspek Teoritis
a.

Untuk memperkaya khazanah keilmuan terutama yang berkaitan dengan
pendapat Ulama Madhzab Hanafi tentang wali bagi perempuan.

b.

Menambah ilmu pengetahuan, serta dapat dijadikan acuan bagi penelitipeneliti lain atau kalangan yang ingin mengkaji masalah ini pada suatu
saat nanti.

2. Aspek Praktis
a. Memberikan kontribusi intelektual dalam rangka turut berpartisipasi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu pengetahuan seputar
wali nikah.
b. Memberikan pemahaman serta wacana terhadap masyarakat tentang
pendapat yang membolehkan nikah tanpa wali di samping pendapat yang
melarangnya dan memberikan indikasi pemahaman tentang hukum Islam
yang selalu memiliki sifat fleksibel sehingga cocok dengan konteks
sekarang.

G. Definisi Operasional
Adapun yang dimaksud dalam definisi operasional dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

1. Pandangan Dosen : yaitu pendapat dari dosen yang mengajar di Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya yang mengampu mata
kuliah Hukum Perkawinan, Fiqih, Ushul Fiqih, Tafsir dan Hukum Peribadatan.
2. Pendapat Madzhab Hanafi : pemikiran pengikut madzhab Hanafiah tentang
permasalahan dalam hukum Islam yakni mengenai perkawinan. Madzhab
Hanafi adalah salah satu madzhab Fiqh dalam Islam Sunni yang didirikan oleh
Imam Abu Hanafih yang bernama lengkap Abu Hanifah bin Nu’man bin
Tsabit Al-Taimi Al-Kufi, dan terkenal sebagai Madzhab yang paling terbuka
kepada ide modern.
3. Wali Nikah : Wali nikah adalah, orang laki-laki yang dalam suatu akad
pernikahan berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan.

H. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan beberapa metode dalam pengambilan
sampel dan data-datanya, hal ini bertujuan agar penulisan sistematis dapat
menjelaskan tujuan sesuai judul penulis.

1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan permasalahan di atas, data pokok yang dikumpulkan
dalam penelitian adalah data mengenai pandangan dosen Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap Pendapat Madzhab Hanafi
tentang perempuan menikah tanpa wali.
a.

Pendapat Madzhab Hanafi tentang wali nikah bagi perempuan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

b.

Pandangan Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan

Ampel Surabaya terhadap pendapat Madzhab Hanafi tentang wali nikah bagi
perempuan.
2. Sumber data
Penelitian ini termasuk dalam penelitian lapangan yang menggunakan
data-data yang langsung didapatkan dari sumber aslinya, maka dalam
pengambilan sumber data, penulis menggunakan pengumpulan bahan rujukan
data yang di bagi dalam dua bentuk yaitu: sumber primer dan sekunder.
a.

Sumber primer, yaitu hasil wawancara dengan dosen yang

mengajar di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya.
b.

Sumber Sekunder, yaitu data yang diambil dan diperoleh dari

bahan pustaka dengan mencari data atau informasi berupa benda-benda
tertulis seperti buku-buku, artikel, hard copy, dan artikel dari internet.21
Adapun data skunder yang digunakan adalah :
1) Fiqih Lima mazhab karangan Muhammad Jawad Mughniyah.
2) Fiqih Sunnah karangan Sayyid Sabiq.
3) Fiqih Islam Lengkap karangan, Sulaiman Rasjid.
4) Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam karya Siti Musdah
Mulia dan Marzani Anwar.
3. Teknik pengumpulan data
Penelitian adalah hasil dari sebuah penemuan ilmiah, sehingga teknik
dalam pengumpulan data sangat diperhatikan guna mendapatkan hasil yang
21

Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
1997), 115.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

maksimal. Pengumpulan data dalam penelitan ini menggunakan dua bentuk
teknik pengumpulan data, yaitu :
a. Wawancara
Wawancara adalah salah satu bentuk komunikasi antara peneliti dan
responden. Komunikasi berlangsung dalam bentuk tanya jawab dalam
hubungan tatap muka, sehingga gerak dan mimik responden merupan pola
media yang melengkapi kata-kata verbal, sehingga dapat menangkap
perasaan, pengalaman, emosional, motif yang dimiliki responden tersebut
yang disebut dengan in depth interview. 22 dalam pengambilan responden
penulis menerapkan metode Porposive Sampling.
b. Dokumentasi
Dokumen adalah catatan tertulis berbagai kegiatan atau peristiwa
pada waktu lalu seperti: jurnal penilitan terdahulu, literatur-literatur yang
membahas penelitian penulis dan berbagai bahan tulisan yang menjadi
acuan bagi peneliti dalam memahami objek penelitian.23
c. Responden
Responden yang dipilih oleh penulis yaitu para dosen Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya yang mengampu dalam
mata kuliah Hukum Perkawinan, Fiqih, Usul fiqih, Hukum Keluarga Islam
dan Hukum Peribadatan.

22
23

Gulo, W. Metodelogi Penelitian, ( t.tp: Grafindo, t.t), 119.
Ibid., 123.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

Data yang ada dipilih dari responden dengan bidang atau konsentrasi
tertentu, sehingga pernyataanya dapat dipertanggungjawabkan. 24 Dalam
wawancara terhadap dosen, penulis memilih dosen yang khususnya
mengajar di Prodi Hukum Keluarga Islam, Usul Fikih, Tafsir, dan dosen
lain yang dianggap memahami permasalahan ini.
4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data.
Setelah semua data yang diperlukan terkumpulkan, maka penulis
menggunakan teknik berikut ini untuk mengolah data:
a. Editing, yaitu dalam hal ini penulis akan melakukan pengeditan,
pengecekan atau pengoreksian pendapat responden yang telah dikumpulkan
serta meneliti kesempurnaannya, sehingga jelas kebenaran, kejelasan dan
konsistensi jawaban atau informasi yang didapatkan oleh penulis. 25 Penulis
memeriksa data-data yang berasal dari kitab-kitab Islam dan dan hukum
positif.
b. Organizing, yaitu mengatur dan menyusun bagian (orang dan sebagainya)
sehingga seluruhnya menjadi suatu kesatuan yang teratur. 26 Setelah data
diteliti kemudian penulis menyusun bahan dalam bagian-bagian yang
sistematis.
Apabila pengolahan data tersebut telah terselesaikan, maka penulis akan
melakukan analisis terhadap data dengan menggunakan:
a. Metode Diskriptif
24

J. Supranto, Statistik untuk Pemimpin Berwawasan Global, edisi 2, (Jakarta: Salemba Empat,
2007), 76.
25
Masruhan, Metodelogi Penelitian Hukum, (Surabaya: Hilal Pustka, 2013), 253.
26
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 803.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

Analisis dengan metode penelitian ini bermaksud untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya guna mempertegas permasalahan guna memperkuat teori-teori yang
lama atau dalam rangka menyusun teori-teori baru. 27 dalam penelitian ini
penulis menggunakan pola pikir Induktif (mempelajari sesuatu yang
bertolak dari hal-hal atau peristiwa khusus untuk menentukan hukum yang
umum) dari data – data yang diperoleh dari para dosen.

I. Sistematika Pembahasan
Untuk memberikan jaminan bahwa pembahasan yang termuat dalam
penulisan ini benar-benar mengarah kepada tercapainya tujuan penelitian, maka
penulis membuat sistematika sebagai berikut:
BAB Pertama : berisi pendahuluan, bab ini mencakup latar belakang
masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan
penelitian, kegunaannya, definisi operasional dan metodologi penelitian, dari
data yang dikumpulkan, sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik
analisa data.
BAB Kedua : Berisi pembahasan mengenai wali nikah secara umum, yang
meliputi pengertian wali Nikah, macam-macam wali nikah, syarat dan rukun wali
nikah serta kedudukan wali dalam pernikahan, dan juga teori tentang maslahah
dalam hukum Islam.
27

Masruhan, Metodelogi Penelitian Hukum..., 49.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

BAB Ketiga : Pandangan dosen Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan
Ampel Surabaya terhadap pendapat Imam Abu Hanifah Tentang perempuan
menikah tanpa wali.
BAB Keempat : adalah Analisis Hukum Islam terhadap pandangan dosen
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya terhadap pendapat
Imam Abu Hanifah tentang perempuan menikah tanpa wali.
BAB Kelima : adalah penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
TEORI KETENTUAN WALI NIKAH DALAM HUKUM ISLAM
DAN MASLAHAH MURSALAH

A. Ketentuan Umum Tentang Wali Nikah
1) Pengertian Wali Nikah
Adapun yang dimaksud dengan perwalian secara terminologi para fuqaha
(pakar hukum Islam) seperti diformulasikan Wahbah al-Zuhayli ialah
“kemampuan untuk langsung bertindak dengan tanpa bergantung kepada izin
seseorang. 28 Sejalan dengan itu menurut Amir Syarifuddin, yang dimaksud
dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya
berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. 29
Kata wali berasal dari (‫ و ﯾﺎ‬-‫ ﯾ ﻰ‬-‫ )و ﻰ‬yang secara harfiah berarti yang
mencintai, teman dekat, sahabat, yang menolong, sekutu, pengikut, pengasuh
dan orang yang mengurus perkara (urusan) seseorang. 30 Atas dasar pengertian
kata wali tersebut, dapatlah dipahami dengan mudah mengapa hukum Islam
menetapkan bahwa orang yang paling berhak menjadi wali bagi kepentingan
anaknya adalah ayah. Alasannya, karena ayah adalah orang yang paling dekat,
siap menolong, bahkan yang mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Jika tidak
ada ayah, barulah hak perwaliannya diganti oleh keluarga dekat lainnya dari
pihak ayah sebagaimana dibahas panjang lebar dalam buku-buku fiqih.
Sebagian ulama, terutama dari kalangan Hanafiah, membedakan perwalian

ya ala an-nafs),
ke dalam tiga kelompok, yaitu perwalian terhadap jiwa (al-wala>

28
Wahbah
29

Az-Zuhayli, Fiqih Islam, Jakarta: Gema Insani, 2011, 178.
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia,Jakarta: PT Bumi Aksara, 2007, 69.
30
Ibid., 69.

18

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

perwalian terhadap harta (al-walay>
ah ala al-mal), serta perwalian terhadap jiwa
dan harta sekaligus (al-wala>
yah ala an-nafsi wa al-ma>
li ma”an). 31
Perwalian dalam nikah tergolong ke dalam al-wala>
yah ala an-nafs, yaitu
perwalian yang bertalian dengan pengawasan (al-isyarat) terhadap urusan yang
berhubungan

dengan

masalah-masalah

keluarga

seperti

perkawinan,

pemeliharaan dan pendidikan anak, kesehatan, dan aktivitas anak (keluarga) yang
hak kepengawasannya pada dasarnya berada di tangan ayah, atau kakek, dan para
wali yang lain. 32
Perwalian terhadap harta ialah perwalian yang berhubungan dengan ihwal
pengelolaan kekayaan tertentu dalam hal pengembangan, pemeliharaan
(pengawasan), pembelanjaan. Adapun perwalian terhadap jiwa dan harta ialah
perwalian yang meliputi unsur-unsur pribadi dan harta kekayaan, dan hanya
berada di tangan ayah dan kakek. 33
Wali nikah adalah: “orang laki-laki yang dalam suatu akad pernikahan
berwenang mengijabkan pernikahan calon mempelai perempuan”. 34Adanya wali
nikah merupakan rukun dalam akad pernikahan. Dalam Ensiklopedia Islam di
Indonesia dibahas tentang wali, yaitu wali hakim. Wali Hakim ialah wali dalam
suatu perkawinan bagi wanita yang tidak ada walinya, maka hakim setempat
yang menjadi walinya. 35Kemudian Sayid Sabiq dalam karangannya Fiqih Sunnah

31

Ibid.,
Ibid.,
33
Ibid., 135-136.
34
Departemen Agama RI, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta: Dirjen Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam, 1992/1993, 1285.
35
Ibid
32

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

7, disebutkan, wali nikah adalah suatu yang harus ada menurut syara’ yang
bertugas melaksanakan hukum atas orang lain dengan paksa. 36
Abdurrahman Al-Jaziri mendefinisikan wali nikah, sebagai berikut:

‫ﺪو ﮫ وھﻮ‬
‫ﺔا ﺪ‬
‫ﮫ‬
‫ا ﻮ ﻰ ﻲ ا ﺎح ھﻮ ا ﺪى ﻮ‬
. ‫وا ﻄﺎن وا ﺎ‬
‫وا‬
‫ا ب او ﺔ وا ﺮ ا ﺎ‬
Artinya:“Wali di dalam nikah adalah orang yang mempunyai
puncakkebijaksanaan atas keputusan yang baginya menentukan sahnya akad
(pernikahan), maka tidaklah sah suatu akad tanpa dengannya, ia adalah ayah
atau kuasanya dan kerabat yang melindungi, mu’tik, sulthan dan penguasa
yang berwenang”. 37
Dengan melihat beberapa ketentuan tentang pengertian wali di atas dapat
kita ketahui bahwa wali yang dimaksud di sini adalah orang yang mengasuh
orang yang berada di bawah perwaliannya, dan dalam hal ini cenderung pada
wali dalam suatu pernikahan. Wali adalah orang/pihak yang memberikan izin
berlangsungnya akad nikah antara laki-laki dan perempuan.Wali nikah hanya
ditetapkan bagi pihak perempuan. 38 Hal ini disebabkan karena tidak sah
perempuan melakukan pernikahan (akad nikah) baik untuk dirinya sendiri
maupun untuk orang lain, dengan dasar beberapa nash Al-Qur’an, sebagai
berikut:



‫ﮭ ﱠ در ﺔٌ وﷲ ﺰ ٌﺰ‬

‫ﮭ ﱠ ﺎ ﺮوف و ﺮ ﺎل‬

‫و ﮭ ﱠ ﺜ ا ﱠﺬي‬

Artinya:“Dan

paraperempuan mempunyai hak yang seimbang
dengankewajibannya menurut cara yang makruf, akan tetapi para
suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada isterinya,
dan Allah maha perkasa lagi maha bijaksana. (QS. Al-Baqa>
rah:
228). 39

36
Sayid
37

Sabiq, Fiqih Sunnah 7,( Jakarta: Kalam Mulia), 1990, 1.
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Figh ala>Al-Madzhabi al Arba’ah, Juz IV,( Beirut, Darl Al-Kutub
Al- Alamiyah,t.th),
38
Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam,( Jakarta: Rineka Cipta, 1994, 235).
39
Depag RI, Al-Qur‟an Terjemahan,( Semarang: Asy-Syifa), 28.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

Serta firman Allah SWT:

. ‫ﺎد وا ﺎ ﺋ‬

‫ﱠﺎ‬

‫وا‬

‫ﻮاا ﺎ ﻰ‬

‫وا‬

Artinya: “maka nikahlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan

orang-orang yang lanyak (untuk menikah) dari hamba-hamba
sahayamu yang laki-laki dan perempuan”. (QS. An-Nu>
r: 32). 40
Firman Allah SWT:

. ‫ازوا ﮭ ﱠ‬

‫ﻮ ھ ﱠ ان‬

Artinya: “maka janganlah kamu menghalangi mereka, kawin lagi dengan

bakal suaminya”. (QS. Al-Baqa>
rah: 232). 41
Kemudian Ahmad Musthofa Al-Maraghi menafsirkan ayat:

Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada Rasul-Nya,
jika kalian menjatuhkan talak karena isteri-isteri kalian hingga habis masa
Iddah nya dan bekas suami mereka atau orang lain hendak menikahi mereka
dan mereka juga menghendaki demikian, maka jangankah kalian (wali-wali
mereka) mencegah melakukan pernikahan jika keduanya sudah suka sama
suka”. 42
Dalam hal ini Al-Maraghi menjelaskan dalam firman Allah:"‫"ﺑﯾﻧﮭم‬
menunjukan bahwasanya tidak ada halangan bagi laki-laki untuk melamar
perempuan atau janda tersebut langsung kepada dirinya untuk melakukan
pernikahan. Pada saat itu diharamkan pada walinya menahan dan menghalanghalangi melakukan pernikahan dengan orang yang melamarnya. 43
Dalam “Nail Al-Autha>
r”, karangan Abu Dawud, disebutkan hadis yang
berkenaan dengan wali nikah, yaitu:

.‫م‬.‫ﺮوة ﺎﺋ ﺔ ان ا ﻲ ص‬
‫ﺎ ﮭﺎ‬
‫ﺎ ﮭﺎ ﺎط‬
‫ﺎ ﮭﺎ ﺎط‬

‫ا ﺰھﺮى‬
‫ﻮس‬
‫ﺮ اذن و ﮭﺎ‬

‫ﺎن‬
‫ا ﺎا ﺮاة‬:‫ﺎل‬

40
Ibid.,
41

282.
Ibid., 29.
Ahmad Musthafa Al Maraghi, Tafsir Al Maraghi,Bahru Abu Bakar. (Semarang: Toha Putra, Cet.
1), 311-312.
43
Ibid., 312

42

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

‫ﺮوا ﺎ ﻄﺎن و ﻲ‬

‫ﺮ ﮭﺎ ﺎ ا‬

‫ﮭﺎ ﮭﺎ ا ﮭﺮ ﺎ ا‬
‫ﺎط ﺎن د‬
(‫ﺔ ا ا ﺎﺋﻰ‬
‫و ﻲ ﮫ )رواه ھ ﺎ ا‬

Artinya: “Dari Sulaiman bin Musa dari Zuhri, dari Urwah dari Aisyah;

Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW telah bersabda: “barang
siapa diantara perempuan yang menikah tanpa izin walinya maka
nikahnya batal. Karena apabila terjadi persetubuhan maka baginya
(perempuan yang dinikahi) berhak atas mahar dengan sebab
dihalalkannya fajrinya.Demikian pula apabila terjadi pertentangan
(tenang walinya) maka Sulthan adalah wali bagi seorang yang
tidak mempunyai wali”. 44
Selanjutnya Sayid Sabiq menyertakan sebuah hadist yang dikutipnya,
sebagaimana disebutkan dalam karyanya Fiqih As-Sunah, yang berbunyi sebagai
berikut:

‫ ﺎح ا ﻮ ﻲ )رواه ا ﺪ وا ﻲ‬:‫م ﺎل‬.‫ر ﻮل ﷲ ص‬
‫ا ﻮس‬
(‫ﮭ ﺎ‬
‫ﺎن وا ﺎ و‬
‫داودوا ﺮ ﺬى وا‬
Artinya: “Dari Abu Musa, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “tidak

sah nikah tanpa wali”. 45

Dengan melihat beberapa dasar hukum yang tersebut tadi dapat
disimpulkan bahwa peranan wali dalam suatu pernikahan sangatlah penting
karena akan menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan.
2) Macam-Macam Wali Nikah
Menurut Sayyid Sabiq, dalam fiqih sunah disebutkan bahwa wali nikah itu
ada dua macam, yaitu: wali secara umum dan wali secara khusus yang dimaksud
wali secara khusus yaitu mengenai perwalian jiwa atau nyawa dan harta. dan
yang dimaksud dalam bahasan ini ialah perwalian mengenai jiwa atau nyawa
dalam perkawinan. 46

44

Abu>Dawud, sunan Abu>Dawud, Juz II, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, tt), 95.
Sayyid sabiq,Fiqih sunah,., 12.
46
Ibid., 11.
45

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

Sayuti Thalib dalam Hukum Keluarga Indonesia Bagi Umat Islam,
menyatakan bahwa wali itu bermacam-macam. Ada wali terhadap harta anak
yatim, ada wali untuk orang yang tidak kuat mengendalikan hartanya dan ada
yang pula bagi seorang perempuan dalam perkawinan.Yang dibicarakan di sini
adalah wali perkawinan.Wali dalam perkawinan ini disebut wali nikah.47
Menurut ajaran patrilinial, hanya pengantin perempuan saja yang
memerlukan wali nikah. Dan wali nikah itu selalu laki-laki orangnya. Wali nikah
ini pun menurut ajaran hukum perkawinan patrilinial terdiri pula atas bermacammacam:

a) Wali Nasab
.Wali nasab artinya anggota keluarga laki-laki bagi calon pengantin
perempuan yang mempunyai hubungan darah dengan calon anggota
pengantin itu. Wali nasab berhak memaksa menentukan perkawinan dan
dengan siapa seorang perempuan mesti kawin, yang kemudian wali nasab ini
disebut dengan wali mujbr.
b) Wali Hakim

Wali hakim ialah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam
bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen
Agama. Dalam hal ditemui kesulitan untuk hadirnya wali nasab atau ada
halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seseorang
calon pengantin perempuan dapat mempergunakan bantuan wali hakim baik
47

Sayuti thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia Berlaku bagi Umat Islam, (jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia), 1981,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

melalui pengadilan Agama atau tidak tergantung pada prosedur yang dapat
ditempuh.
c) Wali Hakam
Dapat juga bertindak sebagai wali, seseorang yang masih masuk keluarga
si perempuan walaupun bukan merupakan wali nasab, bukan mempunyai
hubungan darah dengan perempuan tersebut tetapi dia mempunyai pengertian
keagamaan yang dapat bertindak sebagai wali perkawinan. Dalam bilateral,
wali itu dapat saja dari keluarga bapa si calon pengantin dan dapat pula dari
keluarga pihak ibunya. Bahkan dalam pemikiran yang lebih jauh lagi dari
lingkungan penganut ajaran bilateral dalam hukum kekeluargaan Islam,
bahkan wanita pun dapat jadi wali nikah.
d) Wali Muhakam
Muhakam ialah seorang laki-laki bukan keluarga dari perempuan dan
bukan pula dari pihak penguasa, tetapi mempunyai pengetahuan keagamaan
yang baik dan dapat menjadi wali dalam perkawinan. Dalam hal sama sekali
tidak dapat lagi dicari wali dari pihak pemerintah, untuk kesempurna
perkawinan, seyogyanyalah, dipilih seseorang lain untuk menjadi wali dalam
arti Muhakam ini bagi golongan yang mensyaratkan adanya wali nikah. 48
Berbeda dengan Sudarsono, ia menyatakan bahwa dalam pernikahan terdapat
tiga macam wali, yaitu: wali mujbir, wali nasab, wali hakim.
Adapun wali mujbir (wali dengan hak memaksa) yaitu wali nikah yang
mempunyai hak memaksa anak gadisnya menikah dengan seorang laki-laki dalam

48

Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974), 66-70.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

batas yang wajar. Wali mujbir ialah mereka yang mempunyai garis keturunan ke
atas dengan perempuan yang akan menikah. Yang termasuk wali mujbir ialah
mereka yang masuk dalam garis keturunan garis patrilinial sampai seterusnya ke
atas.Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya
jika penting untuk kebaikan putrinya.
Kemudian wali nasab, yaitu wali nikah yang mempunyai hubungan keluarga
dengan calon pengantin perempuan.Wali nasab ialah saudara laki-laki sekandung,
bapak, paman beserta keturunannya menurut garis patrilinial (laki-laki).
Dan wali hakim yaitu wali yang ditunjuk dengan kesepakatan kedua belah pihak
(calon suami istri). Wali hakim itu harus mempunyai pengetahuan sama dengan
qadhi. Pengertian wali hakim ini termasuk qadhi di pengadilan. 49

Menurut Beni Ahmad Soebani, dalam bukunya Fiqh Munakahat ia membagi
wali nikah menjadi lima macam, yaitu:
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita
yang akan melangsungkan pernikahan. Wali nasab itu sendiri terbagi menjadi
dua yaitu: wali aqrab (dekat) dan wali ab‟ad (jauh). Dalam urutan tertera
tersebut, yang termasuk wali aqrab adalah wali ayah, sedangkan wali jauh
adalah kakak atau adik ayah.yang berikutnya terus kebawah menjadi wali
jauh.
b. Wali Hakim

49

Sudarsono, Sepuluh Aspek Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994.)., 237-239.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

Wali hakim adalah wali nikah yang diambil dari hakim (pejabat pengadilan
atau aparat KUA atau PPN) atau penguasa dari pemerintah.
c. Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon
istri.
d. Wali Maula
Wali maula yaitu wali yangmenikahkan budaknya, artinya majikannya
sendiri.
e. Wali Mujbir
Wali mujbir adalah wali bagi orang yang kehilangan kemampuannya,
seperti orang gila, belum mencapai umur, mumayiz termasuk yang di
dalamnya perempuan yang masih gadis maka boleh dilakukan wali mujbir
atas dirinya. 50
Sedangkan

menurut Abdurrahman al-Jaziri, bahwa jika dilihat dari

seginya, wali nikah menurut macamnya dibagi menjadi dua, yaitu: wali

mujbir dan wali ghairu mujbir;

‫ﮫاﻮ ﺔ‬
‫ﮫ‬

‫ﮫ‬

‫ﺰو‬

‫ﺮﮫ‬

‫ﺪ ﮫو‬

‫ﮫذ‬

‫ﺮ‬

‫وﻲ‬
‫ﺮ‬

.‫ﮫ ا ﻮ ﺔ ور ﺎه‬

‫ا ﻮا ﻲ ا ﻰ‬

‫ﺪون اذ ﮫ ور ﮭﺎه وو ﻲ‬
‫ﮫ‬

‫ان ﺰوج ﺬون اذن‬

Artinya:“wali dibagi menjadi dua yaitu wali mujbir yang baginya berhak

untuk menjodohkan seseorang yang berada dalam perwaliannya
meski tanpa