Komunikasi interpersonal berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara ibu dan anak berkebutuhan khusus tunarungu : studi kasus keluarga di SLB Ngelom Taman Sidoarjo.

(1)

Komunikasi Interpersonal BerbasisMetode Maternal Reflektif (MMR)

antaraIbudanAnakBerkebutuanKhususTunarungu(StudiKasusSiswadi SLB

Ngelom TamanSidoarjo)

SKRIPSI

DiajukanKepadaUniversitas Islam NegeriSunanAmpel Surabaya GunaMemenuhi Salah SatuSyaratMemperolehGelarSarjanaIlmuKomunikasi (S.I.Kom.)Dalam

BidangllmuKomunikasi

Oleh:

LailatulFitri NIM. B36213052

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI 2017


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Lailatul Fitri, B36213052, 2017. Komunikasi Interpersonal Berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara Ibu dan Anak Berkebutuan Khusus Tunarungu (Studi Kasus Keluarga di SLB Ngelom Taman Sidoarjo). SKRIPSI Program Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Dakah dan Komunikasi Uin Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci : Komunikasi interpersonal, Metode Maternal Reflektif, Tunarungu

Proses pembelajaran dialami sepanjang hayat seorang manusia serta dapat berlaku di manapun dan kapanpun. Dalam konteks keluarga, ibu mendidik anaknya supaya dapat belajar dan patuh pada orang tua, guru, agama dan negara, dan semua itu berawal dari komunikasi

Dalam penelitian ini ada hal yang dikaji yakni proses komunikasi interpersonal antara ibu dan anak berkebutuhan khusus tunarungu menggunakan Metode Maternal Reflektif.

Berdasarakan uraian di atas, melalui penelitian ini diharapkan orang tua memainkan peran ganda dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan anaknya. Dimana ibu akan menangkap ungkapan anak yang berkata kurang jelas dan kurang sempurna melalui mimik wajah dan tingkah laku kemudian si ibu membahasakan dengan bahasa yang biasa dilakukan.

Dalam hal ini, seorang ibu akan memulai berkomunikasi dengan anaknya menggunakan sentuhan terlebih dahulu dan menatap matanya agar anak fokus kepada ibu, setelah anak fokus, mulailah ibu berkomunikasi menggunakan bahasa atau simbol yang diciptakan atau dikehendaki dengan mencontohkan gerakan sesederhana mungkin bersamaan dengan mengucapkan sedikit keras dan jelas di mulut agar ibu dan anak saling memahami. Komunikasi tersebut berlangsung berulang hingga anak memahami maksud ibu begitupun sebaliknya. Ibu juga harus cepat menangkap respon anak yang mencoba memberi feed back atau hanya sekedar menirukan apa yang dilakukan ibu. Komunikasi ini dilakukan berulang dan juga setiap hari guna melatih berkomunikasi lebih jelas dan lancar.

Dalam komunikasi interpersonal menggunankan Metode Maternal Reflektif ini peneliti memberikan artian bahwa selain dari ibu dan keluarga inti, penerimaan yang baik dari orang sekitar dan orang-orang yang sebelumnya tidak mengetahui tentang keadaan tunarungu akan menjadikan anak tidak malu untuk menunjukkan jati dirinya. Komunikasi Interpersonal Ibu dan anak menggunkan Metode Maternal Reflektif yang dilaksanakan oleh ibu dan anak yang telah di teliti ini lebih disukai oleh ibu dan anak, karena selain mudah dan bebas, komunikasi seperti ini dapat cepat membuat anak berkebutuhan khusus dapat berbicara dengan sedikit jelas.


(7)

DAFTAR ISI

JUDUL PENELITIAN... i

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN TIM PENGUJI ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah dan Fokus Penelitian ... 7

C. Tujuan penelitian ... 7

D. Manfaat penelitian ... 7

E. Kajian Hasil Penelitian Terdahulu ... 8

F. Definisi Konsep ... 9

G. Kerangka Pikir Penelitian ... 13

H. Metode Penelitian ... 15

1. Pendekatan dan Jenis penelitian... 15

2. Subyek, Obyek dan Lokasi Penelitian ... 15

3. Jenis dan Sumber Data ... 15

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 16

5. Teknik Pengumpulan Data ... 17

6. Teknik Analisis Data... 18

I. Sistematika Pembahasan ... 18

BAB II : KAJIAN TEORITIS A. Kajian Pustaka 1. Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu ... 20

2. Komunikasi Anak berkebutuhan Khusus Tunarungu ... 28

3. Metode Maternal Reflektif ... 30

B. Kajian Teori 1. Teori Iteraksionisme simbolik ... 36


(8)

BAB III : PAPARAN DATA PENELITIAN

A. Profil Data ... 45

1. Deskripsi Subyek Penelitian ... 45

2. Deskripsi Obyek Penelitian ... 50

3. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 51

B. Deskripsi Hasil 1. Bentuk Verbal dan Non Verbal dalam Penyampaian Komunikasi ... 54

2. Pemahaman Ibu dan Anak dalam Penerimaan Pesan ... 58

3. Umpan balik Ibu dan anak ... 59

4. Efek ibu dan anak setelah menerima pesan ... 61

BAB IV: INTERPRESTASI HASIL PENELITIAN A. Analisis Data Penelitian ... 70

B. Konfirmasi dengan Teori ... 77

BAB V : PENUTUP A. Simpulan ... 82

B. Rekomendasi... 84

Daftar Pustaka ... 85

Biodata Penulis ... 86


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak akan lepas dari individu lain. Sudah menjadi kodrat manusia hidup berdampingan dengan individu lain, oleh sebab itu manusia tidak terlepas dari berbagai bentuk komunikasi.

Kalau dua orang terlibat dalam komunikasi, misalnya dalam bentuk percakapan, maka komunikasi akan terjadi atau berlangsung selama ada kesamaan makna mengenai apa yang dipercakapan. Kesamaan bahasa dalam percakapan itu belum tentu menimbulkan kesamaan makna. Dengan lain perkataan, mengerti bahasanya saja belum tentu mengerti makna yang dibawakan oleh bahasa itu. Jelas bahwa percakapan kedua orang tadi dapat dikatakan komunikatif apabila keduanya selain mengerti bahasa juga mengerti makna dari yang dipercakapkan.1

Komunikasi adalah suatu proses interaksi yang secara langsung dilakukan oleh perorangan dan bersifat pribadi melalui medium (tidak langsung) atau tidak (menggunakan medium). Kegiatan-kegiatan seperti

1 Onong Uchjana Effendy,

Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 9.


(10)

2

percakapan tatap muka face to face communication, percakapan melalui

telepon, surat menyurat merupakan salah satu bentuk komunikasi.2

Salah satu jenis komunikasi yang sering terjadi adalah komunikasi interpersonal atau komunikasi antarpribadi. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila banyak orang yang menganggap bahwa komunikasi interpersonal mudah dilakukan semudah orang berjalan dan tidur.

Deddy Mulyana mengemukakan komunikasi antarpribadi adalah komunikasi yang terjadi antara dua orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung baik secara verbal ataupun non verbal. Dalam komunikasi antarpersonal, karena situasinya tatap muka, tanggapan komunikan dapat segera diketahui. Umpan balik dalam komunikasi seperti itu bersifat langsung.3

Komunikasi merupakan menyampaian informasi kepada seseorang dengan harapan dapat dengan mudah dalam menyampaikan dan menerima pesan. Namun akan menjadi berbeda apabila seseorang mempunyai keterbatasan fisik, atau salah satu dari organ tubuh tersebut tidak berfungsi seperti anak berkebutuhan khusus tunarungu, maka akan meyebabkan kesulitan dalam menjalin komunikasi.

Anak berkebutuhan khusus (dulu di sebut sebagai anak luar biasa) di definisikan sebagai anak yang memerlukan pendidikan dan layanan khusus

2

Liliweri Alo, Komunikasi Antar Pribadi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), h. 8. 3 Onong Uchjana Effendy,

Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001), h. 15.


(11)

3

untuk mengembangkan potensi kemanusiaan mereka secara sempurna. Penyebutan sebagai anak berkebutuhan khusus, dikarenakn dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, anak ini membutuhkan bantuan layanan pendidikan, layanan sosial, layanan bimbingan dan konseling, dan berbagai jenis layanan lainnya yang bersifat khusus4. Yang termasuk ABK antara lain yaitu tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, dan anak dengan gangguan kesehatan.

Anak yang memiliki hambatan atau gangguan pendengaran merupakan salah satu kategori anak berkebutuhan khusus. Penyandang kelainan pendengaran atau tunarungu, yaitu seorang yang mengalami kehilangan kemampuan pendengaran, baik sebagian maupun keseluruhan.

Pada umumnya, seseorang yang menderita tunarungu juga menderita tunawicara. Hal ini berkaitan erat dengan proses perkembangan bahasa yang harus dilalui seorang anak. Jika ketajaman pendengaran terbatas, akan menghalangi proses peniruan bahasa semasa-anak-anak. Proses peniruan hanya terbatas secara visual. Sebab pada anak-anak penyandang tunarungu, segala bentuk ransang suara tidak dapat diterima dengan baik. Alhasil mereka pun sulit menghasilkan suara seperti yang ada di sekitarnya.5

Cara berkomunikasi mereka antara lain dengan menggunakan bahasa isyarat. Bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan menggabungkan

4

Drs.H.AbuAhmadi, psikologibelajar, (Jakarta: PT Rinekacipta, 2008), hal 52 5

Ratih Putri Pratii, Afin Martiningsih, Kiat Sukses Mengasuh Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media), hal. 27.


(12)

4

perkataan dengan makna dasar. Terkadang setiap wilayah atau Negara menggunakan bahasa isyarat yang berbeda satu sama lain.

Menjadi orangtua dengan anak yang sulit berkomunikasi menggunakan verbal perlu melengkapi diri dengan pengetahuan bahasa isyarat. Si anak dan orang tua sama-sama belajar tentang bahasa isyaratsehingga bisa tercapai hubungan komunikasi yang baik dan lebih memudahkan hubungan keduanya dalam hal pengasuhan dan lainnya.6

Selain itu anak tunarungu juga menggunakan alat bantu yang lebih baik seperti penggunaan alat bantu dengar hearing aids. Cara ini lebih menekankan pada pembacaan gerak bibir (lip reading). Metode ini menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar dan bertutur kata yang baik dan membutuhkan latihan pendengaran yang dapat melatih anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.

Cara lain yang digunakan anak tunarungu yaitu membaca gerak bibir ini cocok bagi anak yang memiliki kosensentrasi tinggi pada bibir penutur bahasa. Gerak bibir ini lebih menekankan pada penglihatan yang baik. Karena etika berkomunikasi kita harus berkonsentrasi pada gerak bibir yang di ucapkan oleh penutur bahasa kita dengan seksama. Dalam situasi ini penutur bahasa harus berada ditempat yang terang dan dapat dilihat dengan jelas.

Dalam berkomunikasi, anak tunarungu salah satunya menggunakan Metode Maternal Reflektif (MMR) Metode ini memiliki ciri bahwa

6


(13)

5

percakapan itu terkait dengan kegiatan melakukan sesuatu bersama antara ibu atau orang lain dengan anak (bersifat alamiah), serta menerapkap metode tangkap dan peran ganda. Metode tangkap dan peran ganda maksudnya adalah bahwa ibu atau orang lain menangkap ungkapan anak, kemudian membahasakannya serta menanggapi ungkapan tersebut, sehingga tercipta suatu percakapan.7

Metode ini mengedepankan model pembelajaran ibu kepada anak. Ibu berperan aktif dalam memberi rangsangan kepada anak, yaitu dengan membangun komunikasi secara langsung berupa pertanyaan yang mengarah pada aktivitas sehari-hari yang dialami anak.

Menurut Sunarto, Metode Mathernal Reflektif adalah suatu pembelajaran yang mengikuti bagaimana anak mendengar sampai menguasai bahasa ibu, bertitik tolak pada bahasa dan kebutuhan komunikasi anak dan bukan pada program aturan bahasa yang perlu diajarkan atau di drill menyajikan bahasa sewajar mungkin kepada anak baik secara ekspesif dan reflektif, menuntut agar anak yang reflektif segala permasahan bahasanya.8

Penelitian ini penting karena komunikasi interpersonal anak tunarungu berbeda dengan cara komunikasi orang lain pada umumnya, kebanyakan dari mereka menggunakan bahasa isarat sebagai bahasa yang mereka gunakan

7

Hernawati, Tati. Juni 2007, “Pengembangan Kemampuan Berbahasa dan Berbicara Anak

Tunarungu”. JASSI_anakku Volume 7, No. 1,

http://103.23.244.11/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196302081987032-TATI_HERNAWATI/jurnal.pdf

8

Linawati, Ririn. Agustus 2012, “Journal of Early Childhood Education Papers”. Belia Volume 1, No. 1, file:///C:/Users/WINDOWS/Downloads/3654-1-7496-1-10-20141014%20(4).pdf


(14)

6

sehari-hari, sebab mereka kesulitan dalam bekomunikasi maupun memberikan

feed back. Apalagi bagi seorang ibu, yang biasanya anak balita normal saja

harus dengan penuh kesabaran mengenalkan bahasa, komunikasi serta interaksi kepada anak, lain halnya ketika anak tersebut mempunyai hambatan yakni tunarungu. Selain itu untuk mengetahui bagaimana komunikasi antara ibu dan anak berkebutuhan khuusus tunarungu serta untuk mengetahui bahasa ibu yang gunakan dalam mendidik anak tunarungu.

Dengan berdasarkan penjelasan di atas tentang Metode Maternal Reflektif serta komunikasi anak tuna rungu, dirasa penting untuk pengembangan keilmuan ilmu komunikasi serta untuk mengetahui bagaimana Metode Maternal Reflektif dalam komunikasi interpersonal ibu dan anak

tunarungu. Untuk itu peneliti tertarik untuk memahami tentang “Komunikasi Interpersonal Berbasis Metode Maternal Reflektif (MMR) antara Ibu dan Anak Berkebutuhan Khusus Tunarungu (Studi Kasus Siswa di SLB Ngelom Taman Sidoarjo)”


(15)

7

B. Rumusan Masaah dan Fokus Penelitian

1. Bagaimana proses komunikasi menggunakan Metode Maternal Reflektif dalam komunikasi interpersonal orangtua dan anak tuna rungu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dirumuskan peneliti di atas, maka beberapa tujuannya adalah mendeskripsikan proses komunikasi interpersonal antara orang tua dengan anak ABK Tunarungu menggunakan Metode Maternal Reflektif di Desa Ngelom.

D. Manfaat Penelitian

Suatu penelitian tentu akan memiliki manfaat bagi peneliti maupun orang pihak lain yang akan menggunkannya. Oleh karena itu, maka penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi penelitian komunikasi serta diharapkan mampu menjadi pembanding untuk penelitian-penelitian komunikasi lainnya.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapka dapat memberi masukan bagi masyarakat yang membutuhkan pengetahuan berkenaan dengan penelitian ini. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan rujukan bagi orang masyarakat mengenai komunikasi yang efektif.


(16)

8

E. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu dapat memberikan gambaran ilmu kepada peneliti, agar penelitian dapat dilakukan dengan maksimal. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang ditemukan oleh peneliti antara lain:

Skripsi berjudul “Analisis Proses Komunikasi Interpersonal Guru SLB Dan Siswa Tunarungu Dalam Meningkatkan Kemandirian Anak Berkebutuhan Khusus

(Studi Deskriptif Pada Guru dan Siswa SLB Negeri Cicendo Bandung)”. Karya dari

Bunga indah pratiwi tahun 2015.Persamaan pada fokus penelitian yaitu komunikasi interpersonal.Sedangkan perbedaan penelitian terletak pada subyek penelitian, dalam hal ini penelitian dilakukan pada ibu dan anak.

Skripsi berjudul “Pesan Kedisiplinan Dalam Proses Belajar Mengajar Di SLB (B-C) Ayodiatulada Surabaya (Studi Kasus Pada Anak Tunarungu Low Vasion)”.Karya Ilmanudin shofi tahun 2013.Persamaan dalam penelitian ini terletak pada subyek penelitian, yaitu anak tuna rungu.Sedangkan perbedaannya terletak pada fokus penelitian, dalam hal ini komunikasi interpersonal.

Skripsi berjudul ”Komunikasi Antar Pribadi Guru Terhadap Murid (Studi Deskriptif Kualitatif Komunikasi Antar Pribadi Guru Terhadap Murid Dalam Membentuk Kepercayaan Diri Siswa di SLB ABCD Bakti Sosial Simo Pada Tingkat SMP Tahun Ajaran 2013/2014), karya Totok pristiyanto. Persamaan dalam penelitian ini terletak pada fukus penelitian dalam hal ini komunikasi antar pribadi. Sedangkan perbedaan terletak pada subyek guru terhadap murid, dalam hal ini penelitian akan dilakukan pada ibu dan anak.


(17)

9

Skripsi berjudul ”Peranan Komunikasi Antarpribadi Dalam Membentuk

Konsep Diri (Studi Kasus Tentang Layanan Konseling Individual Konselor Terhadap Pembentukan Konsep Diri Siswa/i Tunarungu Di SLB - B Karya Murni Kota

Medan)”. Karya Oloan hendra ricky silalahi tahun 2011. persamaan dalam penelitian ini terletak pada focus penelitian, yakni komunikasi antarpribadi. Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini terletak pada konsep diri, dalam penelitian ini Metode Maternal Reflektif.

Skripsi berjudul “Konsep Diri Dan Komunikasi Interpersonal Siswa

Tunarungu Kelas III Di SDLB Negeri Bekasi Jaya”.Karya Vivi septian haryono tahun 2013.Persamaan dalam penelitian ini terletak pada subyek penelitian yakni siswa tuna rungu.Sedangkan perbedaan dalam penelitian ini terletak pada konsep diri, dalam penelitian ini Metode Maternal Reflektif.

F. Definisi konsep penelitian Komunikasi interpersonal

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) merupakan

komunikasi yang belangsung dalam situasi tatap muka antar dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun pada kerumunan orang.

Menurut Bittner yang menerangkan bahwwa komunikasi antarpribadi berlangsung apabila pengirim menyampaikan informasi berupa kata-kata kepada penerima, dengan menggunakan medium suara manusia (human-voice).Sedangkan menurut Barnlund mendefinidikan komunikasi antarpribadi


(18)

10

sebagi pertemuan antara dua, tiga orang atau mungkin empat orang, yang terjadi sangat spontan dan tidak bersruktur.9

Komunikasi interpersonal merupakan proses transaksi (berkelanjutan) yang selektif, sistematis dan unik, yang membuat kita mampu merefleksikan dan mampu membangun pengetahuan bersama orang lain.10

Metode maternal reflektif

Melihat keterbatasan anak tunarungu dalam berbahasa maka, diperlukan metode yang tepat untuk membelajarkan bahasa pada anak tunarungu.Salah satu metode yang dapat digunakan yaitu Metode Maternal Reflektif (MMR).Metode ini mengedepankan model pembelajaran ibu kepada anak.Ibu berperan aktif dalam memberi rangsangan kepada anak, yaitu dengan membangun komunikasi secara langsung berupa pertanyaan yang mengarah pada aktivitas sehari-hari yang dialami anak. Menurut Sunarto, Metode Mathernal Reflektif adalah suatu pembelajaran yang mengikuti bagaimana anak mendengar sampai menguasai bahasa ibu, bertitik tolak pada bahasa dan kebutuhan komunikasi anak dan bukan pada program aturan bahasa yang perlu diajarkan atau di drill menyajikan bahasa sewajar mungkin kepada anak baik secara ekspesif dan reflektif, menuntut agar anak yang reflektif segala permasahan bahasanya.11

9

Wiryanto, PengantarIlmu Komunikasi, (Jakarta: PT. Grasindo, 2001), h. 31-32. 10

Julia, T Wood, Komunikasi Interpersonal Interaksi Keseharian Edisi 6, (Jakarta: Salemba Humanika, 2013), h. 23.

11Linawwati, Ririn. Agustus 2012, “Journal of Early Childhood Education Papers”.Belia Volume 1,


(19)

11

Dalam metode ini, percakapan berlangsung secara alamiah, naluriahmenggunakan metode tangkap, memainkan peran ganda artinya si ibu akan menangkap ungkapan anak yang berbahasa dengan kata-kata yang tidak jelas dan tidak sempurna, lewat ekspresi wajah, tingkah laku kemudian si ibu

akan membahasakan dengan satu pegangan “apa yang ingin kamu lakukan biasanya kami katakana seperti ini”. Keadaan ini berlangsung berulang-ulang dan setiap waktu sehingga si anak akan dengan perlahan memahami bahasa komunikasi dan lama kelamaan antara anak dan ibu terjain satu ucapan percakapan yang saling menghendaki.12

Anak Tunarungu

Kekurang mampuan atau kehilangan pendengaran dapat disebabkan oleh kecacatan yang dialami sejak lahir.Ketulian sjak lahir ini sering kali membawa dampak pada kecacatan bicara atau tuna wicara. Deteksi dini dapat dilakukan pada saat usia bayi. Sebelum keluar dari rumah sakit, jika memang ada faktor resiko, misalnya lahir premature, berat badan bayi rendah, toksoplasma.13

Istilah gangguan pendengaran (hearing impaired) tak terbatas pada

individu dengan kehilangan pendengaran yang sangat berat.Istilah ini mencakup keseluruhan gangguan pendengaran, yang tidak hanya meliputi anak tuli saja, tetapi mencakup juga anak dengan kehilangan pendengaran

12 Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu dan Tunawicara, (Jogjakarta: Javalitera, 2012). h. 63. 13


(20)

12

yang sangat ringan, yang memungkinkan dia mengerti pembicaraan tanpa kesulitan berarti.Jika dihubungkan dengan tingkat kehilangan pendengarannya, gangguan pendengaran secara luas terdiri dari tingkat ringan, sedang, berat, dan sangat berat.Istilah gangguan pendengaran mencakup kedua istilah yaitu kurang pendengaran (hard of hearing) dan tuli

(deaf).

Orang yang tuli adalah orang yang mengalami ketidakmampuan mendengar, sehingga mengalami hambatan dalam memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan menggunakan alat Bantu dengar. Sedangkan orang yang kurang pendengaran adalah seseorang yang mengalami ketidakmampuan untuk mendengar sehingga mengalami kesulitan, tetapi tidak menghalangi orang tersebut dalam memahami pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan menggunakan alat bantu dengar.14

14

Aprilia, I as Dia a, , “ Educati g The Deaf: Psychology, Pri ciples, a d Practices.


(21)

13

G. Kerangka Pikir Penelitian

Bagan 1.1

Teori interaksionisme simbolik George Herbert Mead

Interaksionisme simbolik merupakan perspektif teoritis Amerika yang nyata dikembangkan oleh para ilmuan psikologi sosial di Universitas Chicago, yang berakar pada filsafat pragmatis.Ini merupakan perspektif yang luas daripada teori yang spesifik dan berpendapat bahwa komunikasi manusia terjadi melalui pertukaran lambang-lambang beserta maknanya. Perilaku

Interaksi simbolik Proses

komunikasi

Komunikasi interpersonal

Metode Maternal Reflektif (MMR)

Ibu dan Anak Tunarungu

Teknik komunikasi


(22)

14

manusia dapat dimengerti dengan mempelajari bagaimana para individu memberi makna pada informasi simbolik yang mereka pertukarkan dengan pihak lain. Interaksionisme didasarkan pada pemikiran bahwa para individu bertindak terhadap objek atas dasar pada makna yang dimiliki objek itu bagi mereka, makna ini berasal dari interaksi sosial dengan seseorang teman dan makna ini dimodifikasi melalui proses penafsiran.15

George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolis ini.Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu.Menurut paham ini, masyarakat muncul dari percakapan bagi paham interaksi simbolis.16

Mead menyerang paham dualism pikiran-tubuh atau mind-body. Ia

mendefinisikan kata “I” merupakan kecenderungan yang bersifat menurutkan

kata hati mengenai respons individual kepada pihak lain. Sebaliknya, kata

“me” merupakan menyatunya orang lain dengan siapa orang telah berinteraksi

di mana orang mengambil alih ke dalam dirinya. Kata “me” merupakan pandangan atau pendapat individual bagaimana orang lain meihat dirinya, sikap-sikap orang lain yang ia mengasumsikannya. Konsep yang penting bagi Mead ialah mengenai pengambilan peran atau role taking, kemampuan dari

15

Muammad Budyatna, Leila Mona Ganiem, Teori Komunikasi Antarpribadi (Jakarta: Kencana, 2011), h. 189.

16


(23)

15

diri individu untuk bertindak secara sosial terhadap dirinya seperti terhadap orang lain. Mead memahami mengenai pikiran sebagai sosial, yang berkembang melalui komunkasi dengan orang lain.17

H. Metode Penelitian

1. Pendekatan dan jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dan jenis penelitian kualitatif yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.

2. Subyek, obyek dan lokasi penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi subyek adalah 2 orang tua dan 2 anak tunarungu, sedangkan yang menjadi objek penelitian ini adalah komunikasi interpersonal, bagaimana para ibu menggunakan Metode Maternal Reflektif dalam berkomunikasi. Sedangkan lokasi penelitian kali ini bertempat di Taman Sidoarjo.

3. Jenis dan sumber data

Jenis data dalam penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:

a. Data Primer adalah data yang langsung dan segera diperoleh dari sumber data. Sumber data tersebut adalah ibu dan anak tunarungu. b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber secara tidak langsung, dalam penelitian ini data sekunder berupa buku-buku yang

17 Muammad Budyatna, Leila Mona Ganiem

, Teori Komunikasi Antarpribadi (Jakarta: Kencana, 2011), h. 190.


(24)

16

menunjang seperti buku tentang komunikasi interpersonal, komunikasi anak tunarungu dan tentang metode maternal reflektif.

4. Tahap-tahap penelitan

Tahap-tahap yang ditempuh oleh peneliti adalah sebagai berikut: a. Mencari dan Menentukan topik yang menarik

Pada awal bulan September 2016 peneliti mencari hal yang menarik di sekitar tempat tinggal, kebetulan sekitar tiga kilometer dari tempat tinggal ada sekolah luar biasa. Peneliti berpikir bagaimana cara ibu dan anak tunarungu saat berkomunikasi. Anak normal biasa aja dalam mengajari bicara saja harus penuh kesabaran.Setelah membaca buku-buku dan sharing ke kakak yang telah wisuda, peneliti memutuskan untuk mengambil fenomena tersebut.

b. Menentukan model analisis yang sesuai dengan tema

Komunikasi ibu dan anak sangat erat kaitannya dengan komunikasi interpersonal.Maka dari itu, paradigma penelitian ini adalah menggunakan pendekatan interkasi simbolik. Salah satu model analisis yang sesuai dengan tujuan penelitian yakni memperoleh realita di lapangan sedalam-dalamnya adalah dengan metode kualitatif

c. Observasi dan Klasifikasi Data

Setelah menentukan fenomena yakni tentang anak tunarungu, ini menghasilkan beberapa klasifikasi seputar hal tersebut, yaitu mengenai penggunaan metode maternal reflektif dalam komunikasi interpersonal antara ibu dan anak tunarungu. Kemudian fenmena tersebut


(25)

17

diklasifikasikan sesuai kejadian yang akan dianalisis yaitu bagaimana komunikasi ibu dengan anak tunarungu.

5. Teknik Pegumpulan data

Data dan informasiyang di peroleh dari pihak-pihak terkait dalam hal ini orang tua atau murid, buku-buku atau referensi lain yang berhubungan dengan seseorang yang di teliti. Teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:

a. Metode observasi

Observasi adalah pengumpulan data dengan cara pengamatan langsung pada suatu kegiatan yang sedang berlangsung untuk mengumpulkan data atau fakta.Dalam penelitian kali ini, peneliti langsung mendatangi langsung rumah orang tua dan anak yang menggunkan MMR.

b. Metode wawancara

Dalam metode ini pengumpuan data dengan cara bertanya langsung dengan ibu dari seorang tuna rungu untuk mencari informasi. c. Dokumentasi

Tahap dokumentasi ini merupakan pengumpulan data yang mengacu pada dokumen seperti buku-buku pedoman, buku bacaan, jurnal sebagai acuan yang akan digunanakan untuk mendapatkan kajian teoritis sebagai dasar teori di dalam melakukan analisis perancangan.


(26)

18

6. Teknik analisis data

Pada fase ini merupakan proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dideskripsikan. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil kesimpulan-kesimpulan yang benar melalui proses pengumpulan, penusunan, penyajian dan penganalisaan data hasil peneliti yang berwujud kata-kata. Setelah itu peneliti berusaha untuk menganalisa data dengan menyusun kata-kata kedalam tulisan yang lebih luas.

7. Teknik Pemeriksaan dan Keabsahan Data

Dalam hal ini peneliti berusaha memperoleh data sedalam-dalamnya dengan mengunjungi tempat bersekolah anak tunarungu tersebut. Dari situ akan diperoleh data tentang anak tunarungu serta tempat tinggalnya. Setelah itu peneliti akan observasi langsung kerumah anak tersebut untuk mendapatkan temuan-temuan ang valid.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam proposal penelitian terdapat beberapa penyajian pembahasan, yaitu sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai latar

belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, hasil penelitian terdahulu, definisi konsep penelitian, kerangka pikir penelitian, metode penelitian dan sistematiaka pembahasan.

Bab II: Kajian Teoritis. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai kajian


(27)

19

sesuai dengan penelitian ini. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori yang berkaitan denganhubungan interpersonal

Bab III : Penyajian Data. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai

deskripsi subyek penelitian dan deskripsi data penelitian.

Bab IV : Analisis Data. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai temuan

penelitian dan konfirmasi temuan dengan teori.

Bab V : Penutup. Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai simpulan dan


(28)

20

BAB II

KAJIAN TEORITIS

A. KAJIAN PUSTAKA

1. Anak ABK Tunarungu

Anak-anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada umumnya. Seorang anak-anak dikatakan anak-anak berkebutuhan khusus jika ia mengalami gangguan baik pada sensori maupun indranya. Akibatnya, ia akan mengalami kesulitan atau keterlambatan dalam proses tumbuh kembang. Selain itu, ia tidak memiliki keinginan seperti anak normal yang memiliki mimpi untuk masa depannya.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan anak berkebutuhan khusus.Istilah anak berkebutuhan khusus sebenarnya merupakan istilah terbaru yang digunakan dan merupakan terjemahan dari child with special

needs yang telah digunakan secara luas di dunia internasional, yang sebelumnya

digunakan istilah anak cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang dan anak luar biasa. Selain itu ada istilah yang berkembang secara luas yaitu difabel atau kependekan dari difabel ability.

Sejalan dengan perkembangan pengakuan terhadap hak asasi manusia, termasuk anak-anak “istimewa” ini, digunakanlah istilah anak berkebutuhan khusus. Penggunaan istilah anak berkebutuhan khusus ini membawa konsekuensi cara pandang yang berbeda dengan istilah anak luar biasa yang mungkin masih


(29)

21

sering digunakan. Jika pada istilah luar biasa lebih mengibaratkan pada kondisi fisik, mental, emosi-sosial anak, pada istilah kebutuhan khusus lebih dititkberatkan pada kebutuhan anak untuk mencapai prestasi sesuai dengan potensinya.1

Yang termasuk jenis anak berkebutuhan khusus yakni tunanetra, tuna rungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak berbakat dan anak dengan gangguan kesehatan.2

Dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada anak berkebutuhan khusus tunarungu.Tunarungu berasal dari kata “tuna” yang berarti rusak, rugi, atau

kurang dan “rungu” yang berarti pendengaran.Jadi, secara sederhada tunarungu

dapat diartikan sebagai orang yang mengalami kerusakan pada sistem pendengaran.

Amin mengemukakan bahwa anak tunarungu adalah mereka yang mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya sebagian atau seluruh organ pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembanganna sehingga memerlukan bimbingan pendidikan khusus.3

Penderita tunarungu adalah mereka yang memiliki hambatan perkembangan indra pendengar. Tunarungu tidak dapat mendengar suara atau bunyi, dikarenakan tidak mampu mendengar suara atau bunyi, kemampuan berbicara pun kadang

1

Laili S Cahya, Buku Anak Untuk ABK, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 4. 2

Meita Shanty, Strategi Belajar Khusus Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 26.

3Esthy Wikasanti,

Pengembangan Life Skill untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Maxima, 2014), h. 12.


(30)

22

terganggu.Sebagaimana kita ketahui, keterampilan berbicara sering kali ditentukan oleh seberapa sering seseorang mendengar orang lain berbicara.Akibatnya anak-anak tunarungu sekaligus memiliki hambatan bicara dan benjadi bisu. Untuk berkomunikasi dengan orang lain mereka menggunakan bahasa bibir atau bahasa isyarat. Sebagaimana anak tunanetra, mereka memiliki potensi perkembangan yang sama dengan anak-anak lain yang tidak mengalami hambatan perkembangan apapun.4

Kekurang mampuan atau kehilangan pendengaran dapat disebabkan oleh kecacatan yang dialami sejak lahir.Ketulian sejak lahir ini seringkali membaa dampak pada kecacatan bicara atau tunawicara. Deteksi dini dapat dilakukan pada saat usia bayi sebelum keluar dari rumah sakit, jika memang factor resiko, misalnya lahir premature, berat badan bayi rendah dan toksoplasma. Kemudian dapat dilakukan pemeriksaan lanjutan saat bayi berusia tiga bulan, untuk memastiakan ada atau tidakna gangguan pendengaran.

Sebagaimana disebutkan diatas, gangguan pendengaran atau tunarungu dapat disebabkan sebelum anak dilahirkan atau setelah anak dilahirkan.Sardjono menyebutkan bahwa penyebab anak tunarungu dapat dikategorikan sebagi berikut.

a. Factor sebelum anak dilahirkan (pre natal) 1) Faktor keturunan

2) Cacar air, campak

4Geniofam,

Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Garailmu, 2010), h. 20.


(31)

23

3) Terjadi toxaemia (keracunan darah)

4) Penggunaan pilkina ataun obat-obatan dalam jumlah besar 5) Kekurangan oksigen

b. Faktor-faktor saat anak dilahirkan

1) Faktor Rhesus (Rh) ibu dan anak yang sejenis

2) Anak lahir premature

3) Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)

4) Proses kelahiran yang terlalu lama c. Faktor-faktor sesudah anak dilahirkan

1) Infeksi

2) Meningitis (peradangan selaput otak)

3) Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan 4) Otitis media yang kronis

5) Terjadi ifeksi pada alat-alat pernafasan5

Berikut ini merupakan klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran:

a. Gangguan pendengaran sangat ringan (27-40dB) b. Gangguan pendengaran ringan (41-55dB)

c. Gangguan pendengaran sedang (56-70dB) d. Gangguan pendengaran berat (71-90dB)

e. Gangguan pendengaran ekstrim/tuli (di atas 91dB)6

5 Ahmad wasita,

Seluk-Beluk Tunarungu & Tunaicara Serta StrategiPembelajarannya, (Yogjakarta: Javalitera, 2012), h. 23.


(32)

24

Ciri-ciri anak yang menderita tunarungu adalah sebagai berikut: a. Tidak mampu mendengar

b. Terlambat perkembangan bahasa

c. Serig menggunakan isyarat dalam berkomunikasi d. Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara

e. Ucapan kata tidak jelas f. Kualitas suara aneh/monoton

g. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar h. Banyak perhatian terhadap getaran

i. Keluar nanah dari kedua telinga j. Terdapat kelainan organis telinga.7

Karekteristik anak tunarungu adalah sebagai berikut: a. Segi fisik

1) Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk akibat terjadinya permasalahan pada organ keseimbangan di telinga. Itulah sebabnya anak-anak-anak tunarungu mengalami kekurangseimbangan dalam aktifitas fisiknya

2) Pernapasannya pendek dan tidak teratur. Anak-anak tunarungu tidak pernah mendengarkan suara-suara dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana bersuara atau mengucapkan kata-kata dengan intonasi yang

6

Meita Shanty, Strategi Belajar Khusus Untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Familia, 2015), h. 29.

7 Geniofam,

Mengasuh dan Mensukseskan Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Garailmu, 2010), h. 21.


(33)

25

baik, sehingga mereka juga tidak terbiasa mengatur pernapasannya dengan baik, khususnya dalam berbicara.

3) Cara melihatnya agak beringas. Penglihatan merupakan salah satu indra yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu karena sebagian besar pengalamannya diperoleh melalui penglihatan. Oleh karena itu, anak-anak tunarungu juga dikenal sebagai anak visual sehingga cara melihatnya selalu menunjukkan keingintahuan yang besar dan terlihat beringas.

b. Segi bahasa

1) Miskin akan kosa kata.

2) Sulit mengartiakan kata-kata yang mengandung ungkapan atau idiomatik.

3) Tata bahasanya kurang teratur. c. Intelektual

1) Kemampuan intelektualnya normal. Pada dasarnya anak-anak tunarungu tidak mengalami permasalahan dalam segi intelektual. Namun akibat keterbatasan dalam berkomunikasi dan berbahasa, perkembangan intelektualnya menjadi lamban.

2) Perkembangan akademiknya lamban akibat keterbatasan bahasa. Seiring terjadinya kelambanan dalam perkembangan intelektualnya akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, dalam segi akademik anak tunarungu juga mengalami keterlambatan.


(34)

26

d. Sosial-emosional

1) Sering merasa curiga dan berprasangaka, sikap seperti ini terjadi akibat adanya kelainan fungsi pendengarannya. Mereka tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain sehingga anak-anak tunarungu menjadi mudah merasa curiga.

2) Sering bersikap agresif.8

Hak-hak anak tunarungu adalah sebagai berikut,

a. Hak mendapatkan perlindungan, sesuai dengan isi pembukaan UUD 1945 alenia ke-4.

b. Hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

c. Anak tunarungu sebagai warga negara Republik Indonesia mempunyai kedudukan yang sama baik dalam hokum maupun dalam pemerintahan, jadi walaupun mereka itu mempunyai kelainan dalam indra pendengarannya, tetatpi mereka berhak mendapat kedudukan yang sama seperti halnya anak yang lain dan wajib menjunjung hokum dan pemerintah.

d. Anak tunarungu berhak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak seperti halnya anak-anak yang normal.

Adapun kewajiban anak tunarungu sesuai dengan kemampuan yang ada padanya adalah sebagai berikut.

a. Kewajiban anak tunarugu akan dirinya sendiri, yang meliputi: 1) Mencintai dirinya

8


(35)

27

2) Menerima keadaan dirinya 3) Menyadari akan nasibnya

4) Memelihara kesehatan dan kebersihan dirinya 5) Berusaha mengembangkan kemampuannya b. Kewajiban bersekolah/belajar

1) Taat dan patuh pada peraturan sekolah.

2) Mengikuti seluruh kegiatan yang diselenggarakan sekolah, baik di dalam atau di luar sekolah.

3) Menghormati kepala sekolah, guru, dan mereka yang dianggap lebih tua daripadanya dan sepatutnya untuk di hormati.

4) Berbuat baik terhadap teman-teman sekelas dan teman-teman satu sekolah.

5) Menjaga citra sekolah.

c. Kewajiban dalam lingkungan keluarga 1) Patuh dan taat pada orang tua. 2) Berlaku baik terhadap saudara. 3) Mengikuti jejak anggota keluarga.

4) Ikut ambil bagian dalam tugas sebagai anggota keluarga. d. Kewajiban dalam lingkungan masyarakat

1) Menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakat, sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.


(36)

28

3) Turut ambil bagian dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kemampuan yang ada padanya.

4) Menaati peraturan masyarakat yang telah di tetapkan.9

2. Komunikasi anak tunarungu

Beberapa pendapat menyebutkan bahwa seseorang berkomunikasi menggunakan bahasa.Cara yang terbaik dalam berkomunikasi dengan berbicara.Namun dalam situasi ini yang berkomunikasi adalah anak tuna rungu.Padahal anak tuna rungu memliki masalah dalam mendengar dan berbicara. Oleh karena itu terdapat berbagai cara berkomunikasi untuk anak anak tuna rungu yang penggunaannya tergantung pada tingkat masalah pendengarannya dan penanganan awal yang telah dilakukan. Berikut adalah metode metode yang dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan anak tuna rungu :

a. Metode auditorial oral

Dalam metode ini lebih menekankan pada proses mendengar dan bertutur kata dengan menggunakan alat bantu yang lebih baik seperti penggunaan alat bantu dengar hearing aids. Metode ini tidak menggunakan bahasa isyarat atau gerakan jari yang biasa dilakukan berkomunikasi orang normal dengan anak tuna rungu.Dalam metode ini lebih menekankan pada pembacaan gerak bibir (lip reading).Metode ini menggunakan bantuan bunyi untuk mengembangkan kemampuan mendengar dan bertutur kata yang baik dan membutuhkan latihan pendengaran yang dapat melatih

9


(37)

29

anak-anak untuk mendengar bunyi dan mengklasifikasikan bunyi-bunyi yang berbeda.

b. Metode membaca gerak bibir

Metode membaca gerak bibir ini cocok bagi anak yangmemiliki kos=nsentrasi tinggi pada bibir penutur bahasa. Dalam metode ini lebih menekankan pada penglihatan yang baik.Karena etika berkomunikasi kita harus berkonsentrasi pada gerak bibir yang di ucapkan oleh penutur bahasa kita dengan seksama.Dalam situasi ini penutur bahasa harus berada ditempat yang terang dan dapat dilihat dengan jelas.

c. Metode bahasa isyarat

Bahasa isyarat digunakan secara mudah dengan menggabungkan perkataan dengan makna dasar. Terkadang setiap wilayah atau Negara menggunakan bahasa isyarat yang berbeda satu sama lain. Beberapa model bahasa isyarat antara ain yakni American Sign Language, Pidgin Sing English (PSE), Seeing Essential English ( SEE ), Signing Exact English (SEE II ), dan di Malaysia adalah Kod Tangan Bahasa Melayu (KTBM)

d. Metode komunikasi universal

Metode universal adalah metode yang menggabungkan gerakan jari, isyarat, pembacaan gerak bibir, penuturan dan implikasi audiotoris atau yang bisa dikenal dengan bahasa isyarat manual-visual.Elemen yang penting ketika menggunakan metode ini adalah penggunaan isyarat dan penuturan secara bersamaan.Dengan metode ini anak anak tuna rungu dapat memahami hal yang disampaikan menurut kemampuan masing-masing.


(38)

30

e. Penuturan isyarat

Metode ini dikembangkan dari metode pembacaan bibir.Menggunakan simbol simbol tangan yang dilambangkan ditentukan dengan bentuk bentuk tangan yang menentukanmaksud perkataan.Terdapat delapan symbol tangan yang ditentukan menurut konsonan yang berbeda dan empat symbol tangan untuk menentukan bunyi yang menyimbolkan huruf vokal.10

3. Metode Maternal Reflektif

Metode ini diciptakan dan dikembangkan oleh A Van Uden, seorang pengembang didaktik pengajaran bahasa, pakar pemikir tunarungu, psikolog, dan psikolinguistik.Ciri khas metode ini adalah berlangsungnya percakapan, pemahaman bahasa secara global, lues, komunikasi timbal balik.11

Dalam metode ini, percakapan berlangsung secara alamiah, naluriah menggunakan metode tangkap, memainkan peran ganda artinya si ibu akan menangkap ungkapan anak yang berbahasa dengan kata-kata yang tidak jelas dan tidak sempurna, lewat ekspresi wajah, tingkah laku kemudian si ibu akan

membahasakan dengan satu pegangan “apa yang ingin kamu lakukan biasanya kami katakana seperti ini”. Keadaan ini berlangsung berulang-ulang dan setiap waktu sehingga si anak akan dengan perlahan memahami bahasa komunikasi dan lama kelamaan antara anak dan ibu terjain satu ucapan percakapan yang saling menghendaki

10

Muhamad, Jamila, Special Education for Special Childern, (Jakarta: Hikmah, 2005), 11 Ahmad wasita,

Seluk-Beluk Tunarungu & Tunaicara Serta StrategiPembelajarannya, (Yogjakarta: Javalitera, 2012), h. 63.


(39)

31

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan bahasa bicara anak tunarungu adalah metode Maternal Reflektif (MMR). Metode Maternal Reflektif merupakan pengajaran bahasa ibu yang berdasarkan pada prinsip-prinsip psikolingualistik bagi anak tunarungu yang belum menguasai bahasa sama sekali.

Prinsip Metode Maternal Reflektif adalah “apa yang ingin kau katakan

katakanlah begini ….”.12

Pengembangan keterampilan berbahasa bicara menggunakan Metode Maternal Reflektif dapat dilakukan dengan cara-cara berikut ini.

a. Percakapan

Percakapan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu percakapan dari hati ke hati dan percakapan linguistic (bahasa).

1) Percakapan dari hati ke hati (perdati)

Percakapan dari hati ke hati (perdati) adalah percakapan yang bersifat spontan antara anak dengan orang tua, guru, orang lain atau antar-anak sendiri dalam suasana santai, rileks, akrab dan terjadi inter subjektivitas. Latihan percakapan ini dapat dilakukan sebagai berikut.

a) Anak dilatih untuk memperhatikan isi hati lawan bicara, terbuka, tanpa rasa takut dan curiga, merasa aman dan tanpa beban rasa bersalah. b) Orang tua menerapkan metode tangkap dan peran ganda, yaiu

menangkap atau memahami ungkapan anak yang mungkin dalam

12 Esthy Wikasanti,

Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Maxima, 2014), h. 87.


(40)

32

bentuk isyarat, gestur, atau dengan ucapan-ucapan yang tidak sempurna. Lalu, membahasakan perkiraan apa yang ada dalam pikiran anak tersebut sehingga tercipta suatu percakapan berdasarkan ungkapan anak.

Menurut jenisnya perdati dibedakan menjadi dua, yaitu perdati murni/bebas dan perdati melanjutkan informasi.

(1) Perdati murni/bebas

Percakapan dari hati ke hati dikatakan murni karena materi percakapan berasal dari ungkapan perasaan yang keluar dari lubuk hati anak sendiri, dan idak dipengaruhi oleh siapa pun. Disebut perdati bebas karena materi percakapannya masih sangat bebas: tentang apa saja, suasana atau situasi percakapan sangat bebas, kapan saja, dimana saja, bentuk ungkapan anak masih sangat bebas, bentuk non verbal apapun, bentuk verbal sederhana hingga bentuk yang sempurna dan lawan bicaranya bebas denga siapa saja pada saat itu bersama dengan anak.

Perdati murni atau perdati bebas umumnya terjadi pada anak tunarungu usia balita atau anak tunarungu yang belum menguasai bahasa sepatah kata pun, anak tunarungu yang baru menguasai sepatah dua patah kata, hingga anak tunarungu yang penggunaan kalimatnya yang belum sempurna. Dengan demikian, untuk menguasai kecakapan percakapan ini, anak tunarungu masih perlu dibantu dengan metode tangkap dan peran ganda.


(41)

33

(2) Percakapan dari hari ke hati (perdati) melanjutkan informasi

Disebut perdati melanjutkan informasi karena percakapan diaali dengan adanya informasi, penyampaian berita, pemberitahuan dari seseorang, dua, atau tiga anak, atau dapat juga dari guru tentang suatu hal yang tidak dialami bersama yang menyangkut pengetahuan. Itulah sebabnya, perdati melanjutkan informasi disebut juga percakapan pegetahuan. Pelaksanaan perdati melanjutkan informasi ttidak jauh berbeda dengan pelaksanaan perdati murni. Semua prinsip perdati harus tetap dipertahankan. Prinsip tersebut antara lain sebagai berikut: Percakapan harus bersikap spontan, wajar dan rileks, percakapan harus berlangsung dalam suasana akrab dan menyenangkan, percakapan harus menggunakan bahasa penghayatan, atau bahasa percakapan sehari-hari, Percakapan harus mengalir, lancar, dan fleksibel, dan percakapan harus mengandung pemupukan empati.

2) Percakapan linguistik (percali)

Percakapan linguistic percali disebut juga percakapan tata bahasa reflektif. Percakapan ini bertujuan agar penguasaan bahasa anak makin berkembang, terutama struktur bahasa sehingga sedikit demi sedikit anak akan menemukan aspek-aspek kebahasaan dalam suatu teks bacaan, baik mengenai morfologi, semantic maupun sintaksinya.


(42)

34

b. Bahasa yang dipelajari dalam situasi percakapan

Bayi yang berpendengaran normal belajar berbahasa melalui percakapan dengan orang tuanya.Ketika mengasuh bayi, ayah atau ibu tidak hanya diam, tetapi terus menerus berbicara kepada si bayi walau belum ada tanggapan verbal dari si bayi.Dalam kegiatan apapun dengan si bayi senantiasa selalu diajak bercakap-cakap karena percakapan tersebut direkam oleh bayi.

Pada tunarungu pun orang-orang terdekat harus melakukan hal yang sama dengan anak pada umumnya, namun, karena kesulitan penyandang tunarungu untuk berkomunikasi tentu perlu upaya jauh lebih banyak untuk menghayati maksud anak, kemudian menjelaskan maksudnya, memberikan bahasa yang sesuai dengan yang dimaksudkan oleh anak.13

c. percakapan sebagai bentuk penggunaan bahasa yang kaya

Kata-kata dan kalimat memperoleh maknanya dalam konteks percakapan.Dalam percakapan, seseorang memberi iformasi, meminta informasi, menanggapi, menanyakan, menyampaikan sesuatu, mengharap menjanjiakan, membantah, menyesal, minta maaf, memafkan, memberi saran, menyatakan pendapat, menolak dll.Kata-kata mendapat maknanya dalam konteks sebuah kalimat.Demikian pula kata petunjuk ini, itu, di sini, di situ, saya, kau dia, mereka dan sebagainya.

13 Esthy Wikasanti,

Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Maxima, 2014), h. 87.


(43)

35

d. Sikap wicara dalam percakapan

Hal-hal yag harus diperhatikan dalam upaya mengembangkan keterampilan percakapan anak tunarungu.

1) Hindari terus menerus memaksa anak. Misalnya dengan segala macam cara menuntut perhatiannya, artikulasi yang tidak tercela, dan mengharuskan menyusun kalimat secara sempurna. Pemaksaan seperti itu merintangi kontak dari hati ke hati dan merugikan perkembangan anak. 2) Bercakap berarti dengan sungguh-sungguh saling “mendengarkan”, saling merelakan, saling memperhatikan. Perhatian timbal balik ini tercermin dari sikap, antara lain kontak tatap mata/tatap wajah, pandangan ramah, hati terbuka, dan rasa santai yang terlihat dalam seluruh sikap kita. 3) Percakapan dengan anak, termasuk anak tunarugu, meminta keterlibatan secara sungguh-sungguh pada apa ang mereka kemukakan. Tidak berpura-pura. Kepura-puraan pasti akan segera dirasakan anak karena mereka peka akan hal ini.

e. Memanfaatkan saat yang tepat untuk percakapan.

Bahan percakapan yang dipakai hendaknya benar-benar bebas sesuai minat anak.Orang tua mempercakapkannya bersama mereka dan mengarahkan percakapan kearah yang baik, seperti mengembangkan bahasa dan kosakata, pengetahuan budaya, sopan santun, adat kebiasaan dan sebagainya.

Dalam percakapan, tidak cukup hanya membahasakan kejadian-kejadian, tetapi juga perasaan yang muncul atas terjadinya peristiwa tersebut,


(44)

36

seperti sedih, gembira, kecewa, senang, bahagia, menyesal, putus asa, penuh harap, dan lain-lain.Hal ini bermanfaat untuk memperkaya kosakata sekaligus memperkembangkan perasaan anak tunarungu.

f. Jika ungkapan anak tidak jelas

g. Apabila ada ungkapan anak tidak jelas, orangtua dapat memperjelas dengan membuat gambar, menuliskannya, memperagakannya, menggunakan pertanyaan yang terarah, melihat ke tempat kejadian, dan mengupayakan sekonkret mungkin.14

B. KAJIAN TEORI

1. Teori interaksionisme Simbolik

Teori ini di temukan oleh George Herbert Mead. Mead lahir di Headley, sebuah kota kecil di Massachusetts, di mana bapaknya adalah seorang pendeta, Everett M. Rogers. Kemudian Mead senior menjadi professor pada Oberlin College, Oiho, di mana Mead belajar pada program S-1 untuk mendapatkan

bachelor‟s degree. Pada saat itu ia mulai mempertanyakan masalah dogma agama dan mengalami kesulitan oleh keraguan dirinya mengenai agama yang dianutnya. Karena bidang falsafah dan keyakinan kristiani erat hubungannya, permasalahan agama Mead menghadapi kesulitan bagi keinginan masa depannya untuk menjadi guru besar filsafat.Mead belajar satu tahun di Harvard University, sebelum mendaftarkan diri di Universitas Leipzig berguru pada Wilhelm Wundt,

14 Esthy Wikasanti,

Pengembangan Life Skills untuk Anak Berkebutuhan Khusus, (Yogyakarta: Maxima, 2014), h. 90.


(45)

37

mengambil spesialisasi dalam teori mengenai gerak isyarat atau gesture.Mead mengatakan bahwa tindakan merupakan unit dasar ilmu sosial karena pentingnya symbol.Tindakan merupakan sosial karena hal ini ditafsirkan oleh individu lainnya. Mead juga belajar di Universitas Berlin pada Georg Simmel tetapi ia tidak menyelesaikan program doktornya. Setelah beberapa tahun mengajar di Ann Arbor, Mead pindah dari University of Michigan ke Chicago pada 1894, atas permintaan John Dewey. Di Universitas tersebut ia mengajar selama tiga puluh tujuh tahun sampai akhir hayatnya pada 1931.

Mead dan Dewey merupakan sahabat kental. Meskipun keduanya di muka umum sangat pemalu, tetapi keduanya bisa bekerja sama dan masing-masing menjadi terkenal. Mereka berdua bekerja sama di Departemen Filsafat pada University of Michigan, dan ketika Dewey ditawarkan posisi sebagai ketua Departemen pada Universitas Chicago salah satu syarat ang dimintanya membawa serta Mead dari Ann Arbor.

George Herbert Mead memiliki pemikiran orisinal dan melakukan kontribusi penting bagi ilmu sosial dengan memperkenalkan perspektif teoretis yang kemudian dikenal sebagai interaksionisme simbolik.Pandangan psikologi sosial ini dipengaruhi oleh Charles Sanders Pierce, William James, Josiah Royce, James Mark Baldwin, John Dewey dan Charles Horton Cooley, ditambah Wilhelm Wundt dan Chauncey Wirght, tetapi ini uniknya merupakan konsep Mead atau Meadian conception (Lincourt dan Hare 1973). Herbert Blumer sosiolog Chicago di kemudian hari melanjutkan gagasan Mead ke dalam versi dia sendiri mengenai interkasionisme simbolik dimana ia dengan penuh semangat bertahan terhadap


(46)

38

serangan-serangan. Ada versi lain dari teori Mead mengenai interaksi simbolik, meskipun teori Blumer mengenai ini lebih dikenal. Perspektif teoretis Mead ini terutama memiliki daya Tarik bagi para sosiolog, karena memiliki sifat dasar sosial.Untuk banyak tahun Mead menjadi psikolog sosial bagi para sosiolog.

Mead menyerang paham dualism pikiran-tubuh atau mind-body.Ia

mendefinisikan kata “I” merupakan kecenderungan yang bersifat menurutkan kata

hati mengenai respons individual kepada pihak lain. Sebaliknya, kata “me” merupakan menyatunya orang lain ke dalam individu terdiri dari semua sikap orang lain dengan siapa orang telah berinteraksi dimana orang mengambil alih ke

dalam dirinya. Kata “me” merupakan pandangan atau pendapat individual

bagaimana orang lain melihat dirinya—sikap-sikap orang lain yang ia mengamsumsikannya. Konsep yang penting bagi Mead ialah mengenai pengambilan peran atau role taking, kemampuan dari diri individu untuk bertindak secara sosial terhadap dirinya seperti terhadap orang lain. Mead memahami mengenai pikiran sebagai sosial, yang berkembang melalui komunikasi orang lain. Teori Median menyatakan bahwa individu-individu mengenal atau mengetahui diri mereka melalui interaksi dengan orang-orang lain, yang berkomunikasi kepada mereka siapa mereka.

Ingat bahwa Charles Horton Cooley menciptakan istilah “looking glass self”

sebagai konsepsi diri individual dibangun dengan membayangkan bagaimana orang lain merefleksikan citra seseorang kepada dirinya. Namun demikian, cooley tidak memberikan penjelasan mengenai bagaimana diri itu dibentuk. Tetapi Mead melakukannya atau menjelaskannya.Ia berpendapat bahwa tidak seorang pun


(47)

39

dilahirkan dengan dirinya dan diri itu tidak berkembang secara naluriah. Sebaliknya, kata Mead, diri itu dikembangkan melalui proses sosial mengenai interaksi dengan orang-orang lain. Individu menginternalisasikan interpretasi dan makna dari bermacam-macam orang, khususnya didapat sejak kecil, untuk

menciptakan sebuah “generalized other”, yang dibangun dari harapan rata-rata dari banyak indidu lainnya.Manusia, secara fisiologis termasuk yang paling tak berdaya dan bergantung diantara makhluk-makhluk di dalam kerajaan hewan, mendapatkan kekuatan yang muncul yang menjadikannya rumpun manusia yang dominan di atas bumi. The generalized other ialah harapan-harapan dari orang-orang lain dengan siapa seseorang-orang berinteraksi dan yang menjadi pedoman umum bagi perilaku seseorang. Secara bertahap, individu belajar bertindak tidak hanya dalam hubungan dengan harapan-harapan dari orang-orang khusus yang sedikit jumlahnya tetapi dalam arti bagaimana individu-individu lainnya pada umumnya mengharapkan seseorang untuk berperilaku.Hakikat mengenai diri ialah refleksivitas, kemampuan untuk melihat diri sendiri sebagai objek mengenai refleksi diri sendiri.15

Mead dianggap sebagai bapak interaksionisme simbolis, karena pemikiranna yang luar biasa. Pemikiran Mead terangkum dalam konsep pokok mengenai

“mind”, “self” dan “society”. Dia mengatakan bahwa pikiran manusia

mengartikan dan menafsirkan benda-benda dan peristiwa yang dialaminya,

15 Muhammad Butyatna, Leila Mona Ganiem,

Teori Komunikasi Antarpribadi, (Jakarta: Kencana, 2013), h.188.


(48)

40

menerangkan asal mulanya dan meramalkannya. Pikiran manusia menerobos dunia luar, seolah-olah mengenalnya dari balik penampilannya.16

Paham mengenai interaksi simbolis (symbolic interactionism) adalah suatu cara berpikir mengenai pikiran (mind), diri dan masyarakat yang telah memberikan banyak kontribusi kepada tradisi sosiokultural dalam membangun teori komunikasi. Dengan menggunkan sosiologi sebagai fondasi, paham ini mengajarkan bahwa ketika manusia berinteraksi satu sama lainnya, mereka saling membagi makna untuk jangka waktu tertentu dan untuk tindakan tertentu.

George Herbert Mead dipandang sebagai pembangun paham interaksi simbolis ini.Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai hasil interaksi di antara manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respons yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu.Menurut paham ini masyarakat muncul dari percakapan yang saling berkaitan di antara individu.Karena pentingnya percakapan bagi paham interaksi simbolis.17

Mead membedakan antara dua tingkat interaksi yakni isyarat dan lambang.Blumer mengartikan tingkat-tingkat ini sebagai interaksi yang yang nonsimbolis dan interaksi yang simbolis. Baik bagi Blumer maupun Mead perbedaan itu sama. Suatu isyarat, atau yang bukan lambang, merupakan tindakan implusif dan bersifat spntan, dalam arti respons refleks.Yang berupa penunjukan diri serta penafsiran.Walaupun binatang mampu bertindak secara nonsimbolis

16 Muhamad Mufid,

Etika dan Filsafat Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 160. 17


(49)

41

(sudah tentu seperti manusia juga), namun hanya manusialah ang memiliki kemampuan untuk berinteraksi secara simbolis. Seorang manusia akan memberikan responnya kepada tindakan orang lain atas dasae makna tindakan atau lambang.18

Menurut pandangan interaksi simbolis, makna suatu objek sosial serta sikap dan rencana tindakan tidak merupakan sesuatu yang terisolasi satu sama lain. Seluruh ide paham interaksi simbolis menyatukan bahwa makna muncul melalui interaksi.Orang-orang terdekat memberikan pengaruh besar dalam kehidupan.Mereka adalah orang-orang dengan yang memiliki hubungan dan ikatan emosional seperti orang tua atau saudara.Mereka memperkenalkan dengan kata-kata baru, konsep-konsep tertentu atau kategori-kategori tertentu yang kesemuanya memberikan pengaruh kepada kita dalam melihat realitas. Orang terdekat membantu kita belajar membedakan antara diri kita dan orang lain sehingga kita terus memiliki sense of self.

Konsep diri merupakan objek sosial penting yang di definisikan dan dipahami berdasarkan jangka waktu tertentu selama interaksi antara kita dengan orang-orang terdekat.Konsep diri anda tidak lebih dari rencana tindakan anda terhadap diri anda, identitas anda,ketertarikan, kebencian, tujuan, ideology, serta evaluasi diri anda. Konsep diri memberikan acuan dalam menilai objek lain. Seluruh rencana tindakan ini berawal dari konsep diri.19

18 B Aubrey Fisher,

Teori-Teori Komunikasi,(Bandung: Remadja Karya, 1978), h.234. 19


(50)

42

2. Komunikasi interpersonal

Komunikasi interpersonal didefinisikan sebagai proses pengiriman dan penerimaan antara dua orang atau di antara sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa umpan balik seketika. dari definisi tersebut, komunikasi antarpribadi bisa berlangsung antara dua orang yang sedang berdua-duaan, seperti suami istri yang sedang berbincang-bincang, bisa terjadi antara dua orang yang saling bertemu, misalnya antara mahasiswa dan dosen pembimbing skripsinya.20

Capella mendefinisan komunikasi antarpribadi sebagai komunikasi yang berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas.21

Komunikasi antarpribadi pada hakikatnya adalah interaksi antara seorang individu dan individu lainnya tempat lambang-lambang pesan secara efektif digunakan, terutama dalam hal komunikasi antar-manusia menggunakan bahasa.22

Komunikasi antarpribadi lebih efektif berlangsung jika berjalan secara dialogis, yaitu anta dua orang saling menyampaikan dan memberi pesan sacara timbal balik.Dengan komunikasi dialogis, berarti terjadi interaksi yang hidup karena masing-masing dapat berfungsi secara bersama, baik sebagai pendengan

20

Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 4. 21 Joseph A Devito,

Komunikasi Antarmanusia, (Jakarta, Professional Books, 1997), h. 231. 22


(51)

43

maupun pembicara.Keduanya memasukkan pesan dan informasi, keduanya saling memberi dan menerima.23

Komunikasi antarpribadi juga dibedakan berdasarkan tingkat analisis yang digunakan untuk melakukan prediksi guna mengetahui apakah komunikasi itu bersifat non-antarpribadi atau antarpribadi. Menurut Miller dan Stainberg seperti dikutip dalam buku Teori Komunikasi Antarpribadi oleh Muhammad Budyatna terdapat tiga tingkatan analisis dalam melakukan prediksi, yaitu kultural, sosiologis dan psikologis.

a. Analisis pada tingkat kultural

Kultur merupakan keseluruhan kerangka kerja komunikasi berupa kata-kata, tindakan, postur, gerak, nada, suara, ekspresi wajah, penggunaan waktu dan ruang.Semuanya merupakan sistem-sistem komunikasi yang lengkap dengan makna-makna yang hanya dapat dibaca secara tepat apabila seorang akrab dengan perilaku dalam konteks sejarah, sosial dan kultural. Terdapat dua kultur yang membedakannya yakni homogeneous yang artinya

apabila orang-orang disuatu kultur berperilaku kurang lebih sama dan menilai sesuatu juga sama. Sedangkan heterogeneous yakni adanya perbedaan di

dalam pola perilaku dan nilai-nilai yang dianutnya.Jadi apabila seorang komunikator melakukan prediksi terhadap reaksi penerima atau receiver sebagai akibat menerima pesan dengan menggunakan dasar kultural.24

b. Analisis pada tingkat sosiologis

23 Nurani Soyomukti,

Pengantar Ilmu Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 143. 24


(52)

44

Analisis pada tingkat sosiologis ini apabila prediksi komunikator tentang reaksi penerima terhadap pesan-pesan yang ia sampaikan didasarkan kepada keanggotaan penerima di dalam kelompok sosial tertentu, maka komunikator melakukan prediksi melalui tingkat sosiologis.25

c. Analisis pada tingkat psikologis

Pada analisis tingkat psikologis komunikator memprediksi reaksi pihak lain atau penerima terhadap perilaku komunikasi didasarkan pada analisis dari pengalaman-pengalaman belajar individual yang unik, maka prediksi itu didasarkan pada tingkat psikologis.26

25 Muhammad Budyatna, dkk,

Teori Komunikasi Antarpribadi, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 3. 26


(53)

BAB III

PAPARAN DATA PENELITIAN

A. Profil Data

1. Deskripsi Subyek Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa orang yang menjadi informan guna melengkapi data peneliti. Informan tersebut adalah dua orang tua siswa dan dua orang siswa yang merupakan anak berkebutuhan khusus tunarungu yaitu Chelsy dan Erlina.

a. Informan I

Nama : Rosita (Ibu Chelsy).

Ibu Rosita, berusia 45 tahun, sehari-hari ia bekerja sebagai pegawai swasta

di salah satu perusahaan. Ia tak pernah menganggap anaknya berbeda dengan yang lain. Ia selalu membiarkan Chelsy bergaul dengan siapapun, hal itu dilakukannya agar chelsy tidak minder. Saat bertemu teman-temannya ia tak pernah menyembunyikan bahwa ia mempunyai anak berkebutuhan khusus. Ia mngakui terang-terangan, karena meskipun Chelsy mempunyai kekurangan, ia sangat bangga, di saat anak teman-temannya hanya bisa sekolah dan pulang, Chelsy sudah bisa menjuarai beberapa perlombaan bahkan sudah mandiri naik pesawat tanpa dampingan orang tua diusinya saat ini.


(54)

46

Ibu Rosita membesarkan Chelsy tanpa bantuan suaminya, sejak kecil Ibu Rosita dan Chelsy sama sekali tidak diperhatikan. Ibu Rosita banting tulang bekerja untuk membesarkan Chelsy dan demi pendidikan Chelsy.

Pendidikan terakhir Ibu Rosita yakni Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 22 di salah satu kota. Ia sempat berkuliah di salah satu Universitas swasta namun berhenti kuliah karena kemudian menikah. b. Informan II

Nama : Chelsy Gadis Prisyitha

Chelsy, berusia 13 tahun, duduk di kelas 5 SLB-B Bina Bangsa Ngelom. Chelsy merupakan salah satu murid SLB yang mengalami tunarungu sedang, ia termasuk berprestasi di kelasnya, ia sering mengikuti lomba-lomba hingga sampai menuju final nasional. Suatu kebanggaan baginya ia bisa naik pesawat mengikuti lomba tanpa dampingan orang tuanya. Ia termasuk leader untuk teman-temannya. Saat di kelas ia terlihat sering mempimpin doa, memimpin pelajaran dan menjadi contoh bagi teman-temannya.

Sejak kecil ia diasuh oleh ibunya sendiri, karena ibu dan ayahnya bercerai. Meskipun begitu chelsy tidak patah semangat. Ia tidak pernah minder dengan lingkungan sekitarnya, ibunya sama sekali tidak pernah menganggapnya seperti anak ABK. Bahkan ketika bertemu orang, chelsy sama sekali tidak terlihat seperti anak ABK. Prinsip ibunya bahwa anak adalah sama, tidak ada yang berbeda, haknya juga


(55)

47

sama. Ibunya membiarkan chelsy bergaul dengan teman-teman normal lainnya di lingkungan rumah dan tempat kerjanya. Ibunya juga mendidiknya agar tidak minder dengan orang lain.

Saat masih bayi Chelsy tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan Chelsy menderita tunarungu, bahkan saat masuk TK, Chelsy masuk TK formal biasanya selama dua tahun. Menginjak kelas 1 SD tiba-tiba Chelsy sakit sesak nafas dan panas tinggi, saat itulah baru diketahui kalau Chelsy menderita tunarungu. Telinga kanannya masih bisa mendengar namun yang kiri sama sekali tidak ada sisa pendengaran sama sekali. Ia termasuk kedalam tunarungu sedang.

Chelsy sangat takut dengan dokter, ia menganggap semua dokter itu jahat. Trauma ini terjadi saat Chelsy akan cabut gigi di salah satu puskesmas, saat itu dokternya marah-marah ketika menyuruh Chelsy membuka mulut, yang harusnya anak kecil dibujuk dulu supaya tidak takut dengan alat-alat kedokteran yang akan digunakan. Sejak saat itu ketika sakit Chelsy tidak mau dibawa ke dokter, hingga Ibu Rosita membujuknya dan memberi pengertian bahwa dokter itu baik, dan Chelsy memahaminya. Tapi sampai sekarang ia masih ingat siapa dokter yang membuatnya trauma saat kecil dulu.

Chelsy sangat menyukai Hello Kitty, di kamarnya penuh dengan stiker dinding hello kitty, dindingnya pun dicat dengan warna pink sesuai permintaannya.


(56)

48

c. Informan III

Nama : Chomsiyah (ibu Erlina).

Ibu chomsiyah, biasa dipanggil bukom berumur 43 tahun. bekerja sebagai seorang penjual rujak di belakang rumah sakit Siti Khodijah sedikit jauh dari rumahnya. Setiap hari ia berjualan rujak dari pagi hingga dagangan habis, biasanya hingga menjelang malam. Ia jarang sekali menemani Erlina ke sekolah, hanya mengantar dan menjemputnya saja, kalau jam sekolah Erlina pulang ia menitipkan warungnya ke adik ipar yang setiap hari juga ikut berjualan bersamanya. Sejak Erlina kecil memang ia jarang menemani dari pagi hingga siang di sekolah karena ia harus berjualan rujak, tapi hal tersebut sangat baik karena menjadikan Erlina semakin mandiri. Meskipun tidak selalu bersama ibunya, Erlina selalu ditemani ibunya, seperti kalau ada PR yang susah dan tugas tertentu dari sekolah.

Meskipun hanya penjual rujak ia tak pernah minder mempunyai anak seperti Erlina. Memang awalnya ia sedih saat pertama kali mendaftarkan Erlina sekolah , bukan karena malu atau apa, tapi karena seorang ibu tidak tega melihat anaknya masuk SLB, di saat anak-anak lain masuk sekolah TK pada umumnya. Tapi itu hanya sementara, setelah mengetahui banyak yang kurang beruntung dari pada Erlina yang secara fisik sempurna, ia sangat bersyukur di karuniai anak Erlina, karena masih ada teman-temannya yang tidak mempunyai tulang punggug hingga tidak bisa berdiri dengan tegap sempurna. Selain itu, di


(57)

49

usianya saat ini ketika teman-temannya masih sibuk dengan bermainnya, Erlina sudah bisa membanggakan orang tuanya dengan prestasi-prestasi yang didapat.

Ibu Chomsiyah menempuh pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas. Sedangkan Ayah Erlina hanya menempuh pendidikan hingga Sekolah Dasar, meskipun begitu, ia dan suaminya sangat mengerti dan menyayangi Erlina. tidak pernah ada penyesalan di dalam dirinya karena menurutnya rizqi dan hidup semuanya hanya Allah yang menentukan.

d. Informan IV

Nama : Erlina Rizky Amalia

Erlina, Berusia 12 tahun, duduk dikelas 5 SLB-B Bina Bangsa Ngelom. Erlina merupakan juara bertahan di kelasnya, setiap kenaikan kelas ia selalu mendapat peringakat satu, ia juga sama seperti Chelsy berprestasi dikelasnya dan banyak mengikuti lomba-lomba. ia termasuk murid yang patah semangat, saat ada penurunan nilai harian ia selalu marah kepada ibunya dan ingin terus belajar supaya tidak kalah dengan yang lain. Keinginannya saat ini ialah dapat naik pesawat seperti Chelsy.

Ia hidup di keluarga dan lingkungan yang harmonis, ibunya tidak pernah membandingkannya dengan kakak dan adiknya maupun anak normal lainnya. Kakak dan adiknya juga begitu sayang kepadanya. Ia juga sering mengerjakan pekerjaan rumah seperti menyapu, mencuci baju dan lain-lain, bahkan ia lebih rajin dari kakak dan adiknya.


(58)

50

Lingkungan yang begitu nyaman membuat ia sama sekali tidak minder, tetangganya banyak mempercayakan erlina sebagai teman bermain anaknya yang masih berumur 2-3 tahun dari pada anak normal lainnya.

Saat berumur 1 tahun badan Chelsy panas tinggi, saat itu juga dibawa ke dokter, dokter menyarankan untuk merujuk ke salah satu rumah sakit di Surabaya, saat itulah baru diketahui kalau Elina menderita tunarungu. Erlina termasuk dalam tunarung berat, karena sama sekali tidak ada sisa pendengaran.

Karena dekatnya dengan Chelsy, mereka berdua mempunyai kesukaan yang sama yakni Hello Kitty. Erlina juga menyukai boneka Barbie, salah satu perlombaan yang pernah ikuti di Balai Pemuda mendapat hadiah boneka Barbie saat itulah Erlina senangnya bukan main. Ibu Chomsiyah bahagia sekali melihat anaknya senang menerima hadiah itu.

2. Deskripsi Obyek Penelitian

Sesuai dengan judul penelitian, maka obyek penelitian adalah komunikasi interpersonal pada anak berkebutuhan khusus tunarungu menggunakan Metode Maternal Reflektif. Penelitian ini menitik beratkan pada proses komunikasi interpersonal anak berkebutuhan khusus tunarungu. Komunikasi interpersonal memang menjadi hal pokok yang dilakukan setiap manusia. Anak berkebutuhan khusus tunarungu pun juga pasti berkomun ikasi interpersonal, hanya saja mereka memiliki keterbatasan pendengaran yang menjadikannya sulit untuk berbicara. Lingkungan yang


(59)

51

kurang mendukung juga terkadang menghambat proses komunikasinya mengingat anak bekebutuhan khusus tunarungu berbeda dengan komunikasi dengan anak normal lainnya.

3. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di rumah orang tua wali murid dan di SLB Bina Bangsa Ngelom.

a. Lokasi penelitian pertama yakni dilakukan di SLB Bina Bngsa Ngelom, yang berada di Jl. Ngelom VI RT 03 R 03. Sekolah ini dirintis oleh yayasan yayasan Al-Islam ada tahun 1999 dari kegiatan dua orang sukarelawan yang meberikan pendidikan untuk anak tuna rungu wicara yang tak mampu pergi ke sekolah SLB karena

kekurangan biaya. Padaawal 2 siswa yang

diasuhdanbertambahmenjadi 6 siswapadaenambulanberikutnya. Indikasibahwabanyakanak tuna runguwicaradanautisme di sekitarlingkungan Taman Sidoarjo yang tidakmampumasuksekolah SLB,

yayasanmenyediakantempatuntukmenampungdanmenfasilitasikegiatan inilebihserius.Padatahun 2000 asuhanbertambahmenjadi 11 siswa, 5

siswa tuna runguwicaradan 6 siswaautis.

PadatahuninijugaKegiataninidilegalisasimenjadisebuahsekolah SLB

BinaBangsadibawahnaunganyayasan

Al-Islam.Duatahunkemudiansekolahinimenerimabantanpemerintahberupa bangunanfisikuntuksatukelas.


(60)

52

Denganswadayamasyarakatsekitardananggotayayasanakhirnyaberdiril ahbangunanpertamadenganduakelas.Tahunberjalan, kinisekolah SLB BinaBangsasudahmemiliki 12 kelastermasuk SD, SMP, dan SMA

untuk tuna runguwicaradanautis. Total siswa yang

sekarangdiasuholehsekolahini107siswadengan 17 guru pengasuh.SLB

BinaBangsadikhususkanuntukmasyarakatmiskin yang

tidakmampumembawaanak yang kurangberuntung (cacat) kesekolah formal.

b. Lokasi penelitian kedua ini dilakukan dirumah wali murid yang merupakan informan dalam penelitian terkait proses komunikasi interpersonal menggunakan Metode Maternal Reflektif, penelitian ini dilakukan di kediaman ibu Chomsiyah yang bertempat di Bebekan Timur RT 08 RW 03 No 70. Sehari-harinya Ibu Chomsiyah menghabiskan waktunya berjualan rujak di Warung yang bertempat di Bebekan Gang Masji RT 05 RW 02, tepatnya di belakang Rumah Sakit Siti Khodijah yang sebelah ada masjid besar dan pos pertemuan. Sehubungan dengan lebih banyak waktu dihabiskan di warung, oleh sebab itu peneliti melakukan penelitian di warung tempat Ibu Chomsiyah berjualan. Sebuah warung kecil sederhana yang cukup bersih meskipun berada dipinggir jalan yang setiap harinya selalu ramai, terlebih jalanan juga merupakan jalan alternatif yang biasanya menjadi pilihan pengendara saat jalan utama macet.


(61)

53

c. Lokasi penelitian yang ketiga ini dilakukan dirumah wali murid ananda Chelsy yang merupakan informan dalam penelitian terkait proses komunikasi interpersonal menggunakan Metode Mternal Reflektif, penelitian ini dilakukan di kediaman ibu Rosita yang bertempat di Kemlaten gg 6 no 15 Surabaya. Rumah yang sederhana berpagar besi, tembok berwarna putih dan berubin warna putih, sangat bersih dan suasana dingin meski tanpa kipas angin. Tidak terlalu padat penduduk dan tertata rapi disetiap rumah-rumah di daerah tersebut seperti layaknya perumahan. Di belakang rumah dijadikan seperti toko kecil-kecilan untuk tempat jualan bahan sembako. Lingkungannya sangat nyaman karena para tetangga sangat menerima dengan baik saat peneliti pertama kali datang kerumah informan untuk mencari alamat. terlihat 2 kamar dari ruang tamu, salah satunya kamar chelsy, kamar yang bersih rapi dengan dinding berwarna pink berstiker hello kitty, lantai rumah pun sangat bersih tidak ada debu sama sekali.

B. Deskripsi hasil Penelitian

Setiap penelitian haruslah memiliki data yang kongkrit dan mampu untuk dipertanggungjaabkan. Sehingga data yang diperoleh dari penilitian data didapat dari beberapa tehnik pengumpulan data. Selain itu untuk mendapatkan hasil yang maksimal peneliti diharapkan memahami dan mampu menguraikan fokus pemasalahan yang diangkat dalam penelitiannya. Data dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara, observasi dan dokumentasi mengenai proses


(62)

54

komunikasi interpersonal antara ibu dan anak berkebutuhan tunarungu menggunakan Metode Maternal Reflektif.

Anak berkebutuhan khusus tunarungu memiliki keterbatasan dalam pendengaran yang menyebabkan tidak bisa berbicara dengan sempurna. Dalam menyampaikan pesan, anak tunarungu menggunakan bahasa-bahasa simbolik / bahasa non verbal yang telah mereka pelajari selama duduk di bangku sekolahuntuk berkomunikasi dengan lingkungannya. Berikut beberapa penuturan dari informan terkait bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dengan anak tunawicara.

1. Bentuk verbal dan non verbal dalam penyampaian komunikasi

Ketika saya melihat ibu Rosita dan Chelsy saat berbicara, ibu rosita menggunakan sentuhan terlebih dahulu untuk mengawalinya, itu kalau sedang berada berdekatan. Saat itu ketika peneliti di ruang tamu bersama ibu Rosita dan adik laki-laki Chelsy berlari ke gerbang dan Chelsy berada di depan gerbang, kalau dalam posisi agak berjauhan, ibu Rosita mencari fokus Chelsy dengan melampaikan tangan atau menggerakkan tubuhnya terlebih dahulu, selain itu ibu Rosita juga mengeraskan suara dan menggunkan seluruh wajahnya hingga sesekali menggerakkan tangannya untuk membantu memahamkan maksudnya kepada Chelsy. Ketika Chelsy berbicara kepada ibunya hanya cukup mengucapkan suara apapun ibunya langsung meresponnya dan mencoba memahami apa yang ingin diucapkan Chelsy. Penuturan ibu Rosita, ibu dari ananda Chelsy:


(1)

81

menurut paham interaksi simbolik bahwa melalui aksi dan respon yang terjasi,


(2)

82

BAB V

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil temuan dan analisis data maka penulis menyimpulkan

tentang proses komunikasi interpersonal berbasis Metode Maternal Reflektif, penulis

mempunyai kesimpulan yakni komunikasi yang dilakukan anak berkebutuan khusus

menggunakan Metode Maternal Reflektif sangat memudahkan dalam komunikasi

sekaligus melatih mengucapkan kata-kata menjadi lebih jelas, karena selain

menggunakan simbol-simbol yang dikehendaki, anak berkebutuhan khusus tunarungu

juga menggunakan mimik mulut dan wajahnya bersamaan ketika berkomunikasi.

Komunikasi interpersonal seperti ini juga memudahkan ibu, karena selain sibuk

mengurus rumah tangga ibu juga bisa mendidik anaknya dengan mudah, mengajak

berkomunikasi dengan mudah dan selalu bertukar pikiran, tidak perlu menggunakan

simbol-simbol yang telah tertulis dan paten. Ibu dan anak berkebutuhan khusus dapat

dengan leluasa menciptakan bahasa atau gerakan spontan yang diciptakan sendiri

yang saling memahami.

Dalam hal ini, seorang ibu akan memulai berkomunikasi dengan anaknya

menggunakan sentuhan terlebih dahulu dan menatap matanya agar anak fokus kepada

ibu, setelah anak fokus, mulailah ibu berkomunikasi menggunakan bahasa atau

simbol yang diciptakan atau dikehendaki dengan mencontohkan gerakan sesederhana

mungkin bersamaan dengan mengucapkan sedikit keras dan jelas di mulut agar ibu


(3)

83

memahami maksud ibu begitupun sebaliknya. Ibu juga harus cepat menangkap

respon anak yang mencoba memberi feed back atau hanya sekedar menirukan apa

yang dilakukan ibu. Komunikasi ini dilakukan berulang dan juga setiap hari guna

melatih berkomunikasi lebih jelas dan lancar.

Keluarga merupakan tempat pertama yang mengajarkan komunikasi, karena

sejak kecil, keluargalah yang mengajari huruf demi huruf, kata demi kata hingga

akhirnya bisa berbicara. Penerimaan keluarga memang sangat penting, apapun

keadaan dan kondisinya, keluarga yang pertama kali harus menerima dengan lapang.

Penerimaan yang baik akan sangat mendukung anak tunarungu untuk terus percaya

diri, karena jika keluarga tidak menerima keadaan anak, anak akan menjadi malu

sehingga tidak semangat untuk menjalankan aktifitas sehari-hari.

Lingkungan sekitar sangat berpengaruh bagi berkembangan komunikasi anak

berkebutuhan khusus tunarugu, karena selain dari keluarga inti, anak berkebutuhan

khusus juga memiliki hati nurani yang ingin juga bisa seperti anak-anak normal

lainnya, serti bergaul, berguarai, bermain, dan melakukan hal-hal sosial lainnya.

Dengan dukungan dan peneriman lingkungan yang baik akan menjadikan anak

berkebutuhan khusus semakin percaya diri. Dengan berkomunikasi interpersonal

menggunakan metode Maternal Reflektif tentunya anak berkebutuhan khusus

tunarungu semakin mudah untuk berkomunikasi, begitupun sebaliknya. Karena tidak


(4)

84

B. REKOMENDASI

Bagi anak berkebutuhan khusus tunarungu dan orang tua diharapkan labih

sabar dan menerima apa pun yang terjadi, karena di balik semua kekurangan yang

dimiliki pasti ada kelebihan yang orang lain belum tentu memilikinya.

Bagi kalangan umum diharapkan ketika bertemu atau satu lingkungan dengan

anak berkebutuhan khusus tunarungu agar tidak menganggapnya lain atau

mengucilkannya, karena memiliki kekurangan, anak tunarungu juga sama seperti


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2008. psikologiBelajar, Jakarta: PT Rinekacipta.

Alo, Liliweri. 2010. KomunikasiAntarPribadi, Bandung: PT. Citra AdityaBakti.

Budyatna, Muhammad. Ganiem, Leila Mona. 2011. TeoriKomunikasiAntarpribadi, Jakarta:

Kencana.

Cahya, Laili S. 2015. BukuAnakuntuk ABK. Yogyakarta: Familia.

Devito, Joseph A. 1997. KomunikasiAntarmanusia, Jakarta: Professional Books.

Effendy, OnongUchjana. 2001. IlmuKomunikasi, TeoridanPraktek, Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Fisher,Aubrey B, 1978. Teori-TeoriKomunikasi,Bandung: RemadjaKarya, 1978

Geniofam. 2010. MengasuhdanMensukseskanAnakBerkebutuhanKhusus, Yogyakarta:

Garailmu.

Jamila, Muhamad. 2005. Special Education for Special Childern, Jakarta: Hikmah

Morissan. 2013. TeoriKomunikasiIndividuhingga Massa, Jakarta: Kencana.

Mufid, Muhamad. 2009. EtikadanFilsafatKomunikasi, Jakarta: Kencana, 2009.

Pratiwi, RatihPutri. Martiningsih , Afin.2013.KiatSuksesMengasuhAnakBerkebutuhan

Khusus, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Shanty,Meita. 2015.StrategiBelajarKhususUntukAnakBerkebutuhanKhusus, Yogyakarta:

Familia.

Soyomukti,Nurani. 2011. PengantarIlmuKomunikasi, Jakarta: Kencana.

Wasita, Ahmad. 2012. Seluk-BelukTunarungudanTunawicara, Jogjakarta: Javalitera.

Wikasanti, Esthy. 2014. Pengembangan Life Skill untukAnakBerkebutuhanKhusus, Yogyakarta:

Maxima.

Wiryanto. 2001. PengantarIlmuKomunikasi, Jakarta: PT. Grasindo.

Wood, Julia T. 2013. Komunikasi Interpersonal InteraksiKeseharianEdisi 6, Jakarta:


(6)

86

Hernawati, Tati. Juni 2007,

PengembanganKemampuanBerbahasadanBerbicaraAnakTunarungu”.JASSI_anakkuVolume 7, No 1

http://103.23.244.11/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/196302081987032-TATI_HERNAWATI/jurnal.pdf, 8 November 2016.

Linawati, Ririn. Agustus 2012, “Journal of Early Childhood Education Papers”.Belia Volume 1, No. 1, file:///C:/Users/WINDOWS/Downloads/3654-1-7496-1-10-20141014%20(4).pdf5- November 2016.


Dokumen yang terkait

Gambaran Dukungan Keluarga yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Khusus Kota Tangerang Selatan

2 48 98

IMPLEMENTASI KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL GURU DALAM MENGAJAR ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI IMPLEMENTASI KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL GURU DALAM MENGAJAR ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLB-C1 DHARMA RENA RING PUTRA I YOGYAKARTA.

0 2 13

POLA ASUH IBU PADA KEBERHASILAN TOILET TRAINING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLB NEGERI SURAKARTA Pola Asuh Ibu Pada Keberhasilan Toilet Training Anak Berkebutuhan Khusus Di Slb Negeri Surakarta.

0 9 16

POLA ASUH IBU PADA KEBERHASILAN TOILET TRAINING ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SLB NEGERI SURAKARTA Pola Asuh Ibu Pada Keberhasilan Toilet Training Anak Berkebutuhan Khusus Di Slb Negeri Surakarta.

0 2 14

Gambaran dari dampak penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta.

0 4 150

Konstruksi Makna dan Pola Komunikasi Antara Guru dengan Anak-anak Autis di Sekolah Anak Berkebutuhan Khusus.

0 0 2

Gambaran dari dampak penggunaan Metode Maternal Reflektif (MMR) terhadap perkembangan bahasa dan komunikasi pada murid tunarungu kelas VI SLB B Karnnamanohara Yogyakarta

0 3 148

PENGARUH METODE MATERNAL REFLEKTIF (MMR) TERHADAP KEMAMPUAN MENULIS KARANGAN NARASI SISWA TUNARUNGU SMP DI SLB-B YRTRW SURAKARTA TAHUN 2014.

0 0 19

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL YANG EFEKTIF ANTARA IBU DAN ANAK

0 0 9

Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di SLB Negeri Sukoharjo

0 21 9