Dewan yang Tidak merangkap Aspiratif
Dewan yang Tidak Aspiratif
FAJAR KURNIANTO
Sikap anggota dewan kian hari semakin naif. Di tengah sorotan mata rakyat, berbagai
kebijakan yang dikeluarkan justru tidak mencerminkan sebagai wakil-wakil rakyat, penjelmaan
rakyat, untuk kepentingan rakyat, melainkan sosok-sosok egois, berbuat semaunya sendiri,
moralitas rendah, dan makin tidak peduli aspirasi rakyat. Sibuk memuaskan hasrat kepentingan
pribadi, keinginan sendiri, dan miskin empati atas nasib jutaan rakyat yang hidup susah,
menderita, dan tidak berdaya.
Menjadi anggota dewan memang tidak berarti menjadi malaikat. Dalam pengertian, ia
tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Anggota dewan tetaplah
manusia biasa yang tetap memiliki kecenderungan pada hal-hal yang secara manusiawi
dipandang menyenangkan, mengenakkan, dan nikmat dirasakan. Adakah orang yang tidak
senang ketika ditawari proyek miliaran bahkan trilyunan rupiah? Adakah orang yang tidak
senang diberi fasilitas yang super mewah? Adakah yang tidak senang jika dijanjikan kantor baru
yang lebih nyaman?
Anggota dewan tetaplah manusia biasa yang tentu saja tidak akan menolak ditawari
semua itu. Masalahnya, anggota dewan memiliki ikatan dengan konstituen yang tiada lain adalah
rakyat yang memilih dan mengantarkannya hingga menjadi anggota dewan. Ada amanah yang
tengah diembannya. Amanah yang justru mereka janjikan sendiri akan dipenuhi jika sudah
terpilih menjadi anggota dewan. Beberapa di antara mereka malah telah membuat kontrak sosial.
Jika kemudian rakyat melakukan protes terhadap anggota dewan, dengan berbagai alasannya, itu
tiada lain karena adanya amanah atau kontrak sosial itu sendiri.
Artinya, dalam segala kebijakan yang dilahirkan oleh anggota dewan, selalu terbuka
untuk saran dan kritik. Dan, anggota dewan, karena adanya amanah dan kontrak sosial itu tidak
bisa mengelak atau menampiknya. Ini tanggung jawab moralnya. Dengan adanya kritik dan saran
ini, berarti anggota dewan tidak bisa seenaknya saja membuat kebijakan sebelum melihat dan
mempertimbangkan banyak hal, seperti efektivitas, penghematan anggaran, fungsi, dan
urgensitas. Rakyat berharap seperti itu. Untuk kebijakan-kebijakan yang sifatnya terkait dengan
persoalan-persoalan sekunder, sebaiknya ditangguhkan lebih dulu. Jika terjadi perubahan, bisa
saja dibatalkan.
Rencana pembangunan gedung DPR baru, misalnya, perlu dilihat dari sisi efektivitas,
penghematan anggaran, fungsi, dan urgensitas. Apakah gedung baru itu akan membuat kerja
anggota dewan lebih efektif? Maksudnya, pekerjaan-pekerjaan legislasi saat ini yang harus
diselesaikan akan cepat terselesaikan. Dari segi penghematan anggaran, apakah harga Rp. 1,2
trilyun untuk gedung baru DPR itu secara kalkulasi anggaran terhitung hemat? Karena, dari
kalkulasi lain ditemukan bahwa pembangunan gedung itu hanya menelan biaya Rp. 500-600
miliar. DPR perlu menjelaskan secara transparan kenapa bisa keluar angka Rp. 1,2 trilyun itu.
Dari sisi fungsi, tentu saja gedung baru lebih baik. Ruang yang luas untuk menerima
tamu, ruang kantor anggota dewan yang nyaman, diharapkan bisa meningkatkan kerja dan
kinerja legislasinya. Apalagi jika kemudian mempertimbangkan bahwa gedung baru itu akan
bertahan lebih lama, ditaksir 50 tahun lebih. Tapi dari sisi urgensitasnya juga tidak boleh
terlupakan. Apakah untuk saat ini pembangunan itu terkategori sangat mendesak? Tidak bisakah
itu ditunda, atau bahkan malah dibatalkan sama sekali, dengan semaksimal mungkin melakukan
perombakan dan perbaikan terhadap gedung lama. Artinya, gedung baru bukan sesuatu yang
urgen untuk saat ini. Akan lebih baik jika anggaran gedung itu dialihkan untuk program-program
kerakyatan, seperti perbaikan sekolah-sekolah yang rusak, infrastruktur yang rusak, dan
seterusnya.
Bukan aspirasi rakyat
Sering kali terdengar suara-suara anggota dewan yang menyebut kebijakan-kebijakan
DPR adalah demi kepentingan rakyat. Padahal, tidak diketahui pasti kepentingan rakyat yang
bagaimana, karena kenyataannya rakyat justru memprotes dan menolak kebijakan itu. Rencana
pembangunan gedung DPR, misalnya, mereka sebut sebagai kepentingan rakyat. Logika mereka,
gedung baru itu akan meningkatkan performa kerja dan kinerja anggota dewan yang jika itu
terlaksana maka kepentingan rakyat akan terakomodasi dan terealisasikan. Aspirasi rakyat akan
tersalurkan secara baik ke wakil-wakilnya. Tugas-tugas legislasi pun akan terselesaikan secara
baik.
Apakah pembangunan gedung itu lahir dari aspirasi rakyat? Tentu saja tidak. Rencana itu
lahir dari dari anggota dewan periode 2004-2009 yang ironisnya diteruskan oleh anggota dewan
sekarang. Padahal, pada periode yang lalu juga menuai protes rakyat, karena dianggap
pemborosan dan tidak urgen. Jika demikian, berarti anggota dewan telah melanggar setidaknya
Pasal 71 huruf s, Pasal 79 huruf I dan j, dan Pasal 76 Undang-Undang tentang DPR, DPD, dan
DPRD, yang menyebutkan bahwa anggota DPR wajib mendengar dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. Gedung baru itu jelas bukan aspirasi rakyat, tapi hanya kemauan anggota dewan,
menurut perspektif anggota dewan, berangkat dari selera ingin mendapat fasilitas mewah tanpa
berkaca diri sudah sejauh mana kualitas kerja dan kinerja mereka yang bisa dibanggakan dan
membuat rakyat puas. Jangan main-main dengan uang rakyat.
*Artikel ini dimuat di koran Suara Pembaruan, Selasa 12 April 2011
FAJAR KURNIANTO
Sikap anggota dewan kian hari semakin naif. Di tengah sorotan mata rakyat, berbagai
kebijakan yang dikeluarkan justru tidak mencerminkan sebagai wakil-wakil rakyat, penjelmaan
rakyat, untuk kepentingan rakyat, melainkan sosok-sosok egois, berbuat semaunya sendiri,
moralitas rendah, dan makin tidak peduli aspirasi rakyat. Sibuk memuaskan hasrat kepentingan
pribadi, keinginan sendiri, dan miskin empati atas nasib jutaan rakyat yang hidup susah,
menderita, dan tidak berdaya.
Menjadi anggota dewan memang tidak berarti menjadi malaikat. Dalam pengertian, ia
tetaplah manusia yang tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan. Anggota dewan tetaplah
manusia biasa yang tetap memiliki kecenderungan pada hal-hal yang secara manusiawi
dipandang menyenangkan, mengenakkan, dan nikmat dirasakan. Adakah orang yang tidak
senang ketika ditawari proyek miliaran bahkan trilyunan rupiah? Adakah orang yang tidak
senang diberi fasilitas yang super mewah? Adakah yang tidak senang jika dijanjikan kantor baru
yang lebih nyaman?
Anggota dewan tetaplah manusia biasa yang tentu saja tidak akan menolak ditawari
semua itu. Masalahnya, anggota dewan memiliki ikatan dengan konstituen yang tiada lain adalah
rakyat yang memilih dan mengantarkannya hingga menjadi anggota dewan. Ada amanah yang
tengah diembannya. Amanah yang justru mereka janjikan sendiri akan dipenuhi jika sudah
terpilih menjadi anggota dewan. Beberapa di antara mereka malah telah membuat kontrak sosial.
Jika kemudian rakyat melakukan protes terhadap anggota dewan, dengan berbagai alasannya, itu
tiada lain karena adanya amanah atau kontrak sosial itu sendiri.
Artinya, dalam segala kebijakan yang dilahirkan oleh anggota dewan, selalu terbuka
untuk saran dan kritik. Dan, anggota dewan, karena adanya amanah dan kontrak sosial itu tidak
bisa mengelak atau menampiknya. Ini tanggung jawab moralnya. Dengan adanya kritik dan saran
ini, berarti anggota dewan tidak bisa seenaknya saja membuat kebijakan sebelum melihat dan
mempertimbangkan banyak hal, seperti efektivitas, penghematan anggaran, fungsi, dan
urgensitas. Rakyat berharap seperti itu. Untuk kebijakan-kebijakan yang sifatnya terkait dengan
persoalan-persoalan sekunder, sebaiknya ditangguhkan lebih dulu. Jika terjadi perubahan, bisa
saja dibatalkan.
Rencana pembangunan gedung DPR baru, misalnya, perlu dilihat dari sisi efektivitas,
penghematan anggaran, fungsi, dan urgensitas. Apakah gedung baru itu akan membuat kerja
anggota dewan lebih efektif? Maksudnya, pekerjaan-pekerjaan legislasi saat ini yang harus
diselesaikan akan cepat terselesaikan. Dari segi penghematan anggaran, apakah harga Rp. 1,2
trilyun untuk gedung baru DPR itu secara kalkulasi anggaran terhitung hemat? Karena, dari
kalkulasi lain ditemukan bahwa pembangunan gedung itu hanya menelan biaya Rp. 500-600
miliar. DPR perlu menjelaskan secara transparan kenapa bisa keluar angka Rp. 1,2 trilyun itu.
Dari sisi fungsi, tentu saja gedung baru lebih baik. Ruang yang luas untuk menerima
tamu, ruang kantor anggota dewan yang nyaman, diharapkan bisa meningkatkan kerja dan
kinerja legislasinya. Apalagi jika kemudian mempertimbangkan bahwa gedung baru itu akan
bertahan lebih lama, ditaksir 50 tahun lebih. Tapi dari sisi urgensitasnya juga tidak boleh
terlupakan. Apakah untuk saat ini pembangunan itu terkategori sangat mendesak? Tidak bisakah
itu ditunda, atau bahkan malah dibatalkan sama sekali, dengan semaksimal mungkin melakukan
perombakan dan perbaikan terhadap gedung lama. Artinya, gedung baru bukan sesuatu yang
urgen untuk saat ini. Akan lebih baik jika anggaran gedung itu dialihkan untuk program-program
kerakyatan, seperti perbaikan sekolah-sekolah yang rusak, infrastruktur yang rusak, dan
seterusnya.
Bukan aspirasi rakyat
Sering kali terdengar suara-suara anggota dewan yang menyebut kebijakan-kebijakan
DPR adalah demi kepentingan rakyat. Padahal, tidak diketahui pasti kepentingan rakyat yang
bagaimana, karena kenyataannya rakyat justru memprotes dan menolak kebijakan itu. Rencana
pembangunan gedung DPR, misalnya, mereka sebut sebagai kepentingan rakyat. Logika mereka,
gedung baru itu akan meningkatkan performa kerja dan kinerja anggota dewan yang jika itu
terlaksana maka kepentingan rakyat akan terakomodasi dan terealisasikan. Aspirasi rakyat akan
tersalurkan secara baik ke wakil-wakilnya. Tugas-tugas legislasi pun akan terselesaikan secara
baik.
Apakah pembangunan gedung itu lahir dari aspirasi rakyat? Tentu saja tidak. Rencana itu
lahir dari dari anggota dewan periode 2004-2009 yang ironisnya diteruskan oleh anggota dewan
sekarang. Padahal, pada periode yang lalu juga menuai protes rakyat, karena dianggap
pemborosan dan tidak urgen. Jika demikian, berarti anggota dewan telah melanggar setidaknya
Pasal 71 huruf s, Pasal 79 huruf I dan j, dan Pasal 76 Undang-Undang tentang DPR, DPD, dan
DPRD, yang menyebutkan bahwa anggota DPR wajib mendengar dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. Gedung baru itu jelas bukan aspirasi rakyat, tapi hanya kemauan anggota dewan,
menurut perspektif anggota dewan, berangkat dari selera ingin mendapat fasilitas mewah tanpa
berkaca diri sudah sejauh mana kualitas kerja dan kinerja mereka yang bisa dibanggakan dan
membuat rakyat puas. Jangan main-main dengan uang rakyat.
*Artikel ini dimuat di koran Suara Pembaruan, Selasa 12 April 2011