Tinjauan Historis atas Perkembangan Tele

Tinjauan Historis atas Perkembangan Televisi Swasta:
Proses Pembentukan Kepentingan Pokok Pelaku Industri Televisi dan Refleksinya
Oleh Rizal Assalam1
Setahun menjelang Pemilu 2014, Remotivi mencatat ada tiga partai yang masif dan
sewenang-wenang mengeksploitasi stasiun televisi untuk kepentingan kelompoknya. Padahal
untuk bisa bersiaran, stasiun televisi menggunakan frekuensi milik publik yang diamanatkan
UU Penyiaran agar dapat digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat, bukan
segelintir konglomerat atau partai. (Wawancara, Roy Thaniago)2
Penggunaan

frekuensi

sebagai

landasan

operasionalisasi

penyiaran

televisi


memungkinkan isi siaran untuk dapat menjangkau khalayak yang lebih luas melampaui
berbagai platform media lainnya. Selain dari aspek spasial frekuensi tersebut, daya jangkau
televisi juga bersifat ‘menembus’, dalam arti konten media yang memasuki ruang pribadi,
meluas, dan tersebar secara cepat ke ruang-ruang keluarga tanpa diundang (Rianto, dkk,
2012: 7). Dengan merujuk pada landasan operasionalisasi penyiaran televisi melalui
frekuensi tersebut, maka televisi memiliki daya pengaruh yang signifikan, meminjam istilah
Herman dan Chomsky (2002), dalam merekayasa kesadaran (manufacturing consent).
Atas dasar pertimbangan di atas, maka pengamatan atas televisi menjadi menarik
terutama melihat perkembangan televisi pasca Orde Baru. Hal ini terkait dengan
perkembangan televisi swasta pasca Orde Baru yang menunjukkan adanya kecenderungan
konsentrasi kepemilikan. Berdasarkan hasil pengumpulan data oleh Lim (2012: 7), terlihat
bagaimana kepemilikan televisi swasta yang bersiaran secara nasional terkonsentrasi ke
dalam lima kelompok. Lima kelompok tersebut terdiri dari MNC Group (RCTI, Global Tv
dan MNC Tv), EMTEK Group (SCTV dan Indosiar), TransCorp (Trans Tv dan Trans 7),
Bakrie Group (Tv One dan ANTV) dan Media Group (Metro Tv)
Konsentrasi kepemilikan pada dasarnya melanggar prinsip-prinsip pokok dalam
media massa. Prinsip-prinsip yang dimaksud yaitu keberagaman isi (diversity of content) dan
keberagaman kepemilikan (diversity of content). Secara lebih spesifik dalam konteks televisi,
1 Pernah dimuat dalam Rizal Assalam, “Modal, Negara, dan Televisi: Refleksi atas Akumulasi Modal dalam

Industri Televisi Indonesia” (2 Bagian), http://remotivi.or.id/pendapat/modal-negara-dan-televisi-refleksi-atasakumulasi-modal-dalam-industri-televisi-indonesia
dan
http://remotivi.or.id/pendapat/modal-negara-dantelevisi-refleksi-atas-akumulasi-modal-dalam-industri-televisi-indonesia-0.
2 Redaksi, “Roy Thaniago: Jangan Pilih Partai Perampok Frekuensi Publik!”, Rumahpemilu.org, 07 April 2014,
diakses pada tanggal 21 Nopember 2014 pukul 00.51 WIB, http://www.rumahpemilu.org/in/read/5281/RoyThaniago-Jangan-Pilih-Partai-Perampok-Frekuensi-Publik

1

monopoli atas penggunaan frekuensi pada dasarnya tidak diperkenankan karena frekuensi itu
sendiri merupakan ruang publik (public domain) dan mengancam demokrasi ketika
disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
Dampak politik turunan terkait konsentrasi kepemilikan berdasarkan asumsi-asumsi di
atas terbukti apabila merujuk pada temuan penelitian Remotivi (2014). Penelitian tersebut
menunjukkan adanya kecenderungan bias dalam program berita dan program non-berita pada
media televisi mengikuti masing-masing kecenderungan politik pemilik. Pada intinya,
temuan penelitian tersebut menjadi pembuktian empiris bagaimana televisi dalam kerangka
konsentrasi kepemilikan cenderung menjadi instrumen terkait kepentingan politik pemilik
media. Hal ini misalnya kecenderungan konten pada Metro Tv yang bias kepentingan Partai
Nasdem, Tv One yang identik sebagai saluran Partai Golkar atau RCTI, Global Tv dan MNC
Tv yang terkait kepentingan politik pragmatis pemiliknya, Hary Tanoe.

Permasalahan tersebut pada dasarnya dapat diatasi apabila merujuk pada regulasi
terkait penyiaran yang berlaku, yaitu UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (selanjutnya
disebut UU Penyiaran 2002). Pada dasarnya, aturan-aturan yang dimuat dalam UU Penyiaran
2002 relatif menunjukkan spirit demokrasi dan desentralisasi penyiaran, seperti soal aturan
sistem penyiaran berjaringan dan pembatasan kepemilikan (Rianto, dkk, 2012: 22-25).
Meskipun secara substansi UU Penyiaran 2002 mendorong demokratisasi media, namun pada
tataran implementasi aturan-aturan tersebut belum terlaksana secara konsisten. Selain itu,
kelemahan lainnya adalah terdapat kekurangan atas aturan-aturan teknis yang belum
dispesifikasi.3
Apabila pada tataran implementasi mengacu pada esensi UU Penyiaran 2002 secara
konsisten, maka sejatinya persoalan-persoalan khususnya yang terkait dengan media televisi
pada paparan di atas dapat diatasi. Pada titik ini solusinya menjadi sederhana, yaitu
mendorong konsistensi regulator dalam mengimplementasikan aturan-aturan dalam UU
Penyiaran 2002. Hal tersebut khususnya dalam mengatasi permasalahan yang saling terkait
antara sentralisasi penyiaran, konsentrasi kepemilikan, dan bias kepentingan pemilik dalam
konten siaran. Namun sejauh pembacaan penulis, pokok permasalahannya tidak sekedar
urusan teknis-prosedural, melainkan terkait erat dengan kepentingan pelaku industri televisi.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, tinjauan Armando (2011: 150-173) dan Rianto,
dkk (2012: 46-47) mengenai proses penyusunan rancangan UU Penyiaran 2002, proses
persidangan sampai akhirnya disahkan menunjukkan bagaimana pelaku industri televisi

3 Masalah spesifikasi aturan-aturan teknis tersebut pada gilirannya terkait erat dengan konsistensi implementasi
UU Penyiaran, sebagaimana akan ditunjukkan pada uraian selanjutnya.

2

melalui organisasi kelasnya melakukan berbagai manuver politik. Manuver tersebut seperti
melalui pengerangkaan (framing) berita, penayangan iklan, demonstrasi hingga uji materi
(judicial review). Puncaknya adalah ketika pelaku industri televisi mengajukan uji materi
terhadap UU Penyiaran 2002 pada 5 Maret 2003.
Pada perkembangannya, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi
terhadap UU Penyiaran 2002 memberikan dampak yang signifikan terhadap prospek
demokratisasi media pasca Orde Baru. Secara garis besar, keputusan MK pada dasarnya
masih mempertahankan spirit demokrasi dan desentralisasi penyiaran dengan menolak
sebagian besar gugatan-gugatan pelaku industri terkait pasal-pasal yang dianggap oleh
penggugat dapat memberangus kebebasan pers dan menghambat perkembangan industri. 4
Namun, keputusan yang terkait dengan kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI),
khususnya dalam aspek regulasi dan perizinan—sebagaimana akan dijelaskan pada tulisan ini
—menjadi persoalan penting terkait konsistensi UU Penyiaran 2002 sebagai dampak uji
materi.
Berdasarkan pembacaan penulis mengenai historisitas pers, khususnya televisi,

manuver politik pelaku industri televisi di atas merupakan konsekuensi logis ketika merujuk
pada kepentingan apa yang terdapat di dalamnya. Singkatnya, regulasi yang mengandung
spirit demokratisasi media dan desentralisasi penyiaran pada dasarnya merupakan ancaman
atas status quo terkait kepentingan pokok pelaku industri televisi. Sementara itu, keputusan
MK terkait kewenangan KPI dalam kerangka manuver pelaku industri televisi tersebut,
sebagaimana akan dijelaskan pada tulisan ini, menjadi dasar persoalan teknis-prosedural
implementasi UU Penyiaran 2002. Artinya, pemahaman atas persoalan konsentrasi
kepemilikan dan dampak politik turunannya dalam kerangka persoalan teknis-prosedural
serta soal pengurangan kewenangan KPI perlu ditempatkan, pertama-tama, dalam konteks
kepentingan pokok pelaku industri televisi yang terdapat di dalamnya.
Untuk itu, tulisan ini akan melakukan tinjauan historis secara mendalam atas
perkembangan televisi dalam konteks ekonomi-politik Orde Baru. Tulisan ini juga akan
dilengkapi dengan studi kasus atas historisitas UU Penyiaran 1997 dan 2002 secara singkat
untuk memberikan refleksi konkret atas tinjauan historis sebelumnya. Dalam struktur
penjelasan tersebut, akan terlihat bagaimana kepentingan pokok pelaku industri televisi
terbentuk sejak Orde Baru. Kepentingan pokok inilah yang kemudian menjadi dasar
persoalan terkait demokratisasi penyiaran sebagaimana dimuat dalam UU Penyiaran 2002—
4 Gugatan-gugatan tersebut seperti regulator penyiaran yang dianggap sebagai reinkarnasi Departemen
Penerangan, ketentuan izin penyiaran (termasuk soal pencabutan perizinan), pembatasan jangkauan siaran. Lihat
Ade Armando, Televisi Jakarta di Atas Indonesia, Yogyakarta: Bentang, 2011, halaman 189-198.


3

sebagai regulasi yang sejauh ini masih berlaku. Dalam kerangka UU Penyiaran 2002 tersebut
akan terlihat bagaimana upaya untuk menyusun landasan serta praktek demokratisasi
penyiaran terhalangi oleh tembok kepentingan pokok pelaku industri televisi.
Berdasarkan kerangka pikir di atas, pertanyaan yang relevan adalah bagaimana
proses perkembangan awal televisi swasta? Bagaimana kepentingan pokok pelaku industri
televisi terbentuk dalam kerangka tersebut? Pertanyaan tersebut perlu dijawab untuk
memahami fenomena yang terjadi saat ini secara menyeluruh. Artinya, pengabaian atas
kepentingan pokok pelaku industri televisi dalam kerangka persoalan teknis-prosedural UU
Penyiaran 2002 akan mempersulit dalam melihat akar permasalahan yang melandasinya.
Selain itu, hal tersebut juga terkait upaya menentukan strategi pokok perlawanan dalam
merebut kembali ruang publik yang dikuasai oleh segelintir kelompok.
Konteks Kelahiran Televisi Swasta: Berakhirnya Jurnalisme Politis, Imperatif Ekonomi
dan Kondisi Turunannya
Untuk menjelaskan kelahiran televisi swasta yang didalamnya memuat proses
pembentukan kepentingan pokok pelaku industri televisi, hal tersebut perlu terlebih dahulu
mengelaborasi konteks yang melatarbelakanginya. Dalam hal ini, disertasi Dhakidae (1991)
dapat menjadi pijakan awal dalam menguraikan historisitas pers sejak tradisi awalnya. Dalam

penelusuran Dhakidae, tradisi awal jurnalisme di Indonesia sejak kelahirannya yang ditandai
melalui Medan Prijaji tahun 1903 memiliki karakter politis—atau yang disebut sebagai
jurnalisme politik. Shiraishi (1990), sebagaimana dikutip oleh Dhakidae (1991: 11),
menganalogikan tradisi tersebut sebagai, “jurnalisme adalah pergerakan dan pergerakan
adalah jurnalisme, bahwa pemimpin pergerakan lahir dari jurnalis dan juga sebaliknya”.
Tradisi jurnalisme politik tersebut berakhir seiring dengan perubahan-perubahan
struktural yang terjadi pada institusi media. Perubahan-perubahan struktural tersebut seperti
integrasi ke dalam ekonomi global yang mendorong perkembangan iklan, kemajuan
teknologi, integrasi industri pers dengan industri lainnya, dan konstruksi komoditas kembar
(twin commodities).5 Pada titik ini, perubahan-perubahan struktural tersebut kemudian
5 Dalam disertasinya, Dhakidae menjelaskan bahwa konstruksi komoditas kembar terkait dengan perkembangan
koran (sebagai bentuk pers pertama yang dominan) yang melampaui bentuk awalnya sebagai wadah
(assemblage) pesan/informasi menjadi medium 1) pertukaran komoditas (commodity exchange) dan medium 2)
nilai tukar itu sendiri. Dalam penjelasan selanjutnya, perkembangan tersebut diistilahkannya sebagai lompatan
kuantum (quantum leap) dari koran sederhana (simple newspaper) menjadi koran sebagai objek pertukaran
melalui kapasitasnya dalam 1) memproduksi audiens dan 2) menjual audiens kepada pengiklan barang-barang
konsumsi dan jasa. Kombinasi kedua penjelasan tersebut yang menjadi fondasi konsep komoditas kembar, yaitu
karakter ganda yang terdapat dalam satu komoditas. Karakter ganda yang dimaksud adalah komoditas koran
untuk memproduksi audiens (koran sebagai komoditas yang dipertukarkan atau commodity exchange) dan
komoditas audiens untuk ‘dijual’ kepada pengiklan (aspek nilai tukar). Lihat Daniel Dhakidae, “The State, The


4

mentransformasikan jurnalisme politik menjadi jurnalisme profesional dengan watak
ekonomistik menggantikan watak politik.
Transformasi watak jurnalisme ini merupakan pijakan yang penting dalam memahami
babak baru jurnalisme dan institusi media secara luas, termasuk dalam hal ini persoalanpersoalan yang dipaparkan di awal. Pada momen tersebut institusi media menjadi entitas
dengan tujuan ekonomistis—yaitu, akumulasi kapital—dengan watak jurnalisme profesional
di dalamnya. Tradisi jurnalisme politik itu sendiri mencapai titik akhir pada tahun 1974 dan
1978. Narasi-narasi yang berkembang setelahnya lebih menunjukkan watak profesional
dalam jurnalisme yang meninggalkan tradisi politik.
Berdasarkan pembacaan penulis, imperatif atau dorongan ekonomi merupakan faktor
pokok yang menggerakkan transformasi karakter jurnalisme di atas. Wujud imperatif
ekonomi dalam konteks media massa adalah perkembangan iklan (advertisement). Untuk
memahami perkembangan iklan, hal tersebut perlu dilihat dalam konteks situasi ekonomipolitik Indonesia yang lebih luas, terutama pada tahun 1970an (Dhakidae, 1991: 30).
Situasi ekonomi-politik Indonesia pada tahun 1970an ditandai dengan integrasi
ekonomi Indonesia ke dalam struktur ekonomi global. Integrasi tersebut dijalankan seiring
dibukanya peluang investasi asing melalui UU Penanaman Modal Asing tahun 1967.
Perkembangan ekonomi Indonesia sejak momen tersebut ditandai dengan kebangkitan
industri-industri besar. Pada konteks itulah muncul kebutuhan yang lebih besar atas iklan

sebagai suatu moda utilisasi produk-produk industri (Dhakidae, 1991: 28-30). Singkatnya,
iklan di sini menjadi perantara industri media yang sedang berkembang dengan sektor
industri lainnya.6
Hal yang perlu dicatat terkait perkembangan iklan tersebut adalah bahwa iklan itu
sendiri bukan merupakan fenomena yang tipikal Orde Baru. Lebih jelasnya, merujuk pada
penjelasan Dhakidae (1991: 31-32), iklan pada rentang waktu 1950-1960 pra Orde Baru telah
menjadi bagian industri media, namun belum memainkan peranan yang signifikan. Sementara
itu, periode 1970an menandai peranan iklan yang lebih signifikan karena berada dalam
konteks integrasi industri media dengan sektor industri lainnya.
Pada titik inilah konsep komoditas kembar menjadi relevan, di mana audiens pada
konteks ini merupakan komoditas yang diciptakan (invented commodity). Relevansi
Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry”, Disertasi
Doktoral, Amerika Serikat, Cornell University, 1991, halaman 21-22.
6 Dalam penjelasan Dhakidae, “industri koran tidak terpisah kaitannya dengan industri lainnya. Asosiasi antara
industri berita dengan industri lainnya yang secara progresif semakin erat mulai berkembang secara masif pada
awal tahun 1970an. Pada titik ini dimulailah era ekonomi periklanan, bahwa iklan menetapkan suatu gerak baru
industri”. Lihat ibid., halaman 543.

5


komoditas kembar dalam hal ini adalah bahwa audiens sebagai invented commodity hanya
dapat dimungkinkan ketika terdapat keterkaitan antara perkembangan industri media dengan
kebangkitan industri-industri besar. Lebih jelasnya, keterkaitan hal tersebut dilihat dari 1)
kemajuan teknologi industri media yang memungkinkan perluasan jangkauan audiens dan 2)
industri-industri besar yang membutuhkan moda utilisasi produk-produk industri. Artinya,
dilihat dari sudut pandang kebutuhan atas moda utilisasi produk-produk industri, maka
strategi kerja sama dengan media yang memiliki jangkauan audiens yang luas menjanjikan
efisiensi dan efektivitas dalam memasarkan produk-produk industri.7 Konteks imperatif
ekonomi inilah yang menjadi prakondisi awal kelahiran televisi swasta.
Pembentukan prakondisi ekonomi di atas dibarengi dengan strategi depolitisasi oleh
negara. Artinya, manifestasi atas prakondisi ekonomi di atas dimungkinkan ketika negara
melakukan skema politik represif melalui strategi depolitisasi atas media massa secara luas.
Strategi depolitisasi tersebut dijalankan melalui operasi pemberedelan terhadap pers yang
kritis terhadap kebijakan pemerintah. Hal tersebut dialami, misalnya oleh Nusantara, Harian
KAMI, Indonesia Raya, Abadi, Harian Rakyat dan berbagai pers dalam tradisi jurnalisme
politik lainnya dalam rentang waktu 1974-1978 (Hill, 2011: 37). Kontrol politik terhadap pers
juga dijalankan oleh negara melalui kewajiban mekanisme SIUPP yang diperkenalkan sejak
tahun 1982.8 Selain itu, upaya depolitisasi juga dilakukan dengan ‘membersihkan’ anggotaanggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang berhaluan ideologi Kiri.
Sampai pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa berakhirnya jurnalisme politik yang
digantikan oleh jurnalisme profesional didorong oleh perkembangan imperatif ekonomi serta

dibarengi oleh skema politik represif negara. Kondisi inilah yang menjadi konteks umum
kelahiran televisi swasta. Lebih jelasnya, kelahiran televisi swasta berada pada kondisi di
mana tradisi jurnalisme secara umum berorientasi pada tujuan ekonomistis dalam kerangka
integrasi industri media dengan industri sektor lainnya.

7 Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Armando dan Mutmainnah, bahwa “swastanisasi sistem pertelevisian di
suatu negara adalah bagian dari proses perluasan pasar bagi para industrialis yang berada di negara-negara maju.
Itu diperlukan bukan saja sebagai sarana promosi barang-barang yang mereka hasilkan, namun juga sebagai
sarana penyebaran nilai yang akan mendukung kehadiran sistem yang menguntungkan dominasi ekonomi
mereka”. Lihat Ade Armando dan Nina Mutmainnah, Basis Ekonomi Kebijakan Pertelevisian Swasta di
Indonesia, Laporan Penelitian Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, 1993, halaman 24.
8 Mekanisme SIUPP yang dimaksud di sini adalah peraturan pemerintah sebagai syarat dalam mendirikan usaha
penerbitan, dalam hal ini pers. Syarat yang perlu dipenuhi terdiri dari berbagai dokumen perizinan, misalnya
bukti-bukti dukungan dari seluruh organisasi profesi baik ditingkat daerah atau nasional dan surat izin dari
kalangan sipil dan militer serta surat keterangan pendukung dari bank pemodal dan perusahaan percetakan.
Dengan dihapuskannya mekanisme SIUPP maka prosedur untuk mendirikan usaha penerbitan menjadi relatif
mudah tanpa prosedur panjang. Lihat David T. Hill, Pers di Masa Orde Baru, (Gita Widya Laksmini
Soerjoatmodjo, Penerjemah), Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, halaman 53-54.

6

Pada perkembangannya, imperatif ekonomi kemudian membentuk kondisi lain yang
memperkuat kebutuhan atas televisi swasta. Penjelasan atas hal tersebut dapat dilihat melalui
tinjauan atas perkembangan teknologi komunikasi dan kondisi-kondisi turunannya.
Perkembangan awal teknologi yang memperluas daya jangkau wilayah siaran ditandai
dengan diluncurkannya satelit komunikasi ‘Sistem Komunikasi Satelit Domestik’ (SKSD)—
yang kemudian dinamakan ‘Satelit Palapa’—pada tahun 1976 (Armando, 2011: 77).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diartikan bahwa bentuk atau perwujudan imperatif
ekonomi sebagai prakondisi awal yang dibarengi oleh skema politik represif negara ditopang
oleh perkembangan infrastruktur teknologi.
Keterkaitan antara imperatif ekonomi dengan perkembangan teknologi komunikasi
dapat ditelusuri dengan melihat motivasi utama di belakang program SKSD pada tahap-tahap
awal, yaitu didasarkan oleh pertimbangan bisnis (Dahlan, 1987: 32 sebagaimana dikutip dari
Armando, 2011: 78). Motivasi tersebut terkait dengan prasyarat yang harus dipenuhi untuk
menarik investor asing menanamkan modal dan berbisnis di Indonesia. Prasyarat yang
dimaksud adalah adanya sistem telekomunikasi yang baik yang dapat memperluas daya
jangkau wilayah siaran.
Perkembangan teknologi komunikasi inilah yang menjadi dasar terbentuknya kondisi
yang memperkuat kebutuhan atas televisi swasta. Penjelasan hal tersebut dapat merujuk pada
uraiannya Armando (2011: 104-114). Kondisi yang dimaksud dalam hal ini adalah kebutuhan
atas pilihan konten alternatif. Kebutuhan tersebut pada dasarnya terbentuk seiring dengan
kehadiran teknologi parabola dan kaset yang memungkinkan penonton untuk mendapat
pilihan konten alternatif, terutama konten hiburan. Sementara itu, tayangan-tayangan TVRI
dianggap cenderung membosankan dan penuh dengan muatan propaganda politik-ideologi—
yang kemudian dipersepsikan sebagai kegagalan TVRI. Meskipun demikian, kebutuhan atas
pilihan konten alternatif tersebut, berdasarkan analisis penulis, hanya sebatas kondisi
pelengkap atas kondisi yang lebih fundamental, yaitu imperatif ekonomi.
Sampai pada titik ini menjadi jelas keterkaitan antara kebutuhan atas moda utilisasi
produk-produk industri, iklan, dan perkembangan teknologi komunikasi. Hal ini apabila
dikaitkan dengan penjelasan sebelumnya mengenai kebutuhan atas moda utilisasi produkproduk industri, maka perkembangan teknologi komunikasi tersebut merupakan infrastruktur
yang penting bagi keberlangsungan ekonomi industri. Lebih jelasnya, iklan yang berperan
dalam memasarkan produk-produk industri terkait dengan infrastruktur teknologi yang
memungkinkannya beroperasi. Hal tersebut menjadi lebih signifikan ketika didukung oleh

7

infrastruktur teknologi komunikasi dengan daya jangkau siaran yang luas yang mampu
memasarkan produk industri melalui iklan secara efektif dan efisien.
Sementara itu, kondisi turunan dari imperatif ekonomi yang diperantarai oleh
perkembangan teknologi komunikasi menjadi faktor penguat kebutuhan atas televisi swasta.
Lebih jelasnya, kondisi tersebut dapat muncul ketika didahului oleh perubahan-perubahan
pada struktur ekonomi dalam konteks yang lebih luas. Hal tersebut dapat dicontohkan pada
kelahiran SKSD yang didasari oleh motif ekonomistis. Sementara itu, kehadiran sistem satelit
pada gilirannya memunculkan kebutuhan atas pilihan konten alternatif. Dengan demikian,
maka menjadi jelas bahwa imperatif ekonomi merupakan faktor pokok dalam konteks ini.
Sejauh ini dapat disimpulkan bahwa kelahiran televisi swasta berada dalam kondisi
telah dibentuknya infrastruktur yang memungkinkan perluasan daya jangkau. Dalam sudut
pandang ekonomistis, bagi pelaku industri televisi dengan daya jangkau nasional melalui
perantara teknologi komunikasi pada dasarnya menjanjikan keuntungan. Hal tersebut
sebagaimana mekanisme penghitungan yang menjadi dasar pertimbangan pihak pengiklan,
yaitu Cost Per Rating Point (Ishadi SK, 2014: 50-52). Pada intinya, mekanisme tersebut
bertujuan untuk mengukur tingkat efektivitas 1) harga sebuah spot iklan dan 2) pemasangan
iklan itu pada spot tersebut. Singkatnya, semakin luas daya jangkau siaran maka akan
semakin efektif daya pengaruh iklan.
Hal ini kemudian menunjukkan relevansi komoditas kembar pada konteks televisi
dalam kaitannya dengan penjelasan mengenai keuntungan yang didapat berdasarkan daya
jangkau siaran. Artinya, komodifikasi atas audiens menjadi faktor penggerak industri televisi.
Hal tersebut sebagaimana konstruksi invented commodity adalah untuk dipertukarkan dengan
penerimaan iklan. Pada titik ini, penjelasan Sudibyo dan Patria (2013: 53) menjadi relevan,
bahwa “kebangkitan industri pertelevisian di Indonesia adalah bagian penting dari kisah
lebih besar tentang kebangkitan modal dari era otoriter ke demokrasi”. Artinya, terdapat
suatu keterkaitan antara kebangkitan industri-industri besar, iklan, perkembangan teknologi,
dan kebutuhan atas televisi swasta.
Hal tersebut dapat diperjelas dengan melihat pergeseran pola pemasangan iklan yang
semakin didominasi oleh televisi. Pergeseran tersebut dapat mengacu pada tabel berikut:
Tabel 3
Perbandingan Belanja Iklan Untuk Beragam Media, 1990-19939
(dalam persentase)
9 Data diambil dari penelitian Ade Armando dan Nina Mutmainnah, op. cit., halaman 104.

8

Surat Kabar
Majalah
Radio
Bioskop
Tv
Media Luar
Total (juta)

1990
50.1
14.7
16.4
1.3
8.0
9.5
639

1991
43.1
10.9
12.6
1.1
25.4
6.9
835

1992
36.7
9.3
9.7
1.0
38.0
5.4
1027

1993
32.3
8.7
10.2
0.8
43.4
4.5
1179

Berdasarkan data pada tabel di atas, maka menjadi jelas bahwa televisi berkembang menjadi
suatu industri yang memiliki potensi besar dalam menciptakan profit di antara berbagai
platform lainnya. Hal tersebut pada dasarnya dilatarbelakangi oleh faktor kekuatan daya
jangkau televisi—sebagaimana dijelaskan di awal tulisan.
Untuk memahami bagaimana bentuk pengoperasian daya jangkau wilayah siaran yang
telah diperluas—sebagai dampak perkembangan teknologi komunikasi—perlu ditempatkan
pada konteks pola penyiaran awal televisi swasta. Pada awalnya, sistem penyiaran yang
berlaku pada televisi swasta adalah Sistem Saluran Terbatas (SST). Sistem penyiaran ini
bersifat terbatas dalam arti ruang lingkup penyiaran dibatasi pada wilayah lokal. Dalam kata
lain, maka pada awalnya wilayah penyiaran dalam sistem penyiaran televisi swasta awal
tidak mencakup wilayah nasional, melainkan terbatas pada wilayah-wilayah lokal tertentu.
Perubahan pola penyiaran terjadi ketika TPI memanfaatkan fasilitas dan transmisi
TVRI sehingga dapat bersiaran secara nasional yang dimulai pada Januari 1991 (Armando,
2011: 120-121). Hal ini kemudian mendorong stasiun televisi swasta lain untuk dapat
menjangkau wilayah siaran secara lebih luas, mencakupi wilayah nasional. Pada akhirnya,
melalui penyewaan atas transponder Satelit Palapa, RCTI mulai resmi melakukan siaran
dengan daya jangkau nasional dengan dikeluarkannya SK No. 1286/1991 oleh Dirjen RTF
pada Juni 1991. Hal ini kemudian diikuti oleh pemberian izin terhadap televisi swasta yang
sebelumnya hanya diizinkan melakukan siaran lokal dapat memperluas jangkauannya melalui
sistem satelit yang ditetapkan pada 18 Januari 1993.10 Dalam catatan Armando, hal tersebut
menandai berakhirnya sistem jaringan dan dimulainya sentralisasi penyiaran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kombinasi antara perluasan daya jangkau
wilayah siaran dalam kerangka sentralisasi penyiaran dengan mekanisme hitung iklan di atas
10 Pemberian izin tersebut dalam pembacaan Prasetya merefleksikan perkembangan regulasi yang kontradiktif.
Hal ini misalnya Surat Keputusan Menteri Penerangan No 111/1990 yang menjelaskan tentang pembagian
Stasiun Penyiaran Televisi Swasta Pendidikan yang diberikan otoritas bersiaran nasional dan Stasiun Televisi
Swasta Umum yang hanya boleh bersiaran lokal, sementara Surat Keputusan Menteri Penerangan Nomor 84A
tahun 1992 dan Nomor 04A/1993 mengatur tentang perubahan siaran saluran terbatas menjadi siaran nasional.
Lihat Wisnu Prasetya, “Membaca Gerak Industri Televisi”, Remotivi 25 Nopember 2014, diakses pada tanggal
25 Nopember 2014 pukul 15.59 WIB, http://remotivi.or.id/pendapat/membaca-gerak-industri-televisi

9

merupakan proses perkembangan awal televisi swasta yang membentuk kepentingan pokok
pelaku industri televisi. Kepentingan pokok tersebut berkisar pada daya jangkau siaran yang
meliputi wilayah nasional serta keleluasaan dalam perizinan penggunaan frekuensi. Lebih
jelasnya, daya jangkau siaran yang meliputi wilayah nasional dalam aspek ekonomi
menjanjikan profit bagi pelaku industri penyiaran. Hal ini sebagaimana daya jangkau tersebut
menjadi landasan bagi pengiklan untuk memasang iklannya. Selain aspek ekonomi di atas,
daya jangkau siaran tersebut juga pada gilirannya memberikan basis kekuatan yang signifikan
bagi pemilik dalam merekayasa kesadaran sesuai dengan kepentingan politiknya.
Kelahiran Televisi Swasta dan Perkembangannya: Tinjauan Dalam Kerangka PolitikRegulasi
Refleksi atas kepentingan pokok pelaku industri di atas menjadi lebih jelas ketika
ditempatkan pada kerangka politik-regulasi. Tarik-ulur kepentingan dalam konteks politikregulasi inilah yang dapat memperjelas landasan persoalan teknis-prosedural UU Penyiaran
2002 sebagaimana dijelaskan pada awal tulisan. Untuk itu, pada bagian ini akan menyoroti
soal perdebatan dalam kerangka politik-regulasi untuk melihat refleksi atas kepentingan
pokok pelaku industri televisi.
Kelahiran televisi swasta dalam hal ini ditempatkan sebagai titik pijak untuk
mengantarkan analisis pada konteks politik. Kelahiran televisi swasta ditandai dengan
diberikannya izin siaran kepada Bambang Trihatmodjo yang mendirikan RCTI dan
mengudara secara resmi pada 24 Agustus 1989. Pendirian televisi swasta lainnya kemudian
diikuti oleh TPI pada tahun 1990 di bawah kepemilikan Tutut Hardiyanti Rukmana, SCTV
pada tahun 1990 di bawah kepemilikan Henry Pribadi dan Sudwikatmono—juga Halimah
Trihatmojo sebagai pemegang saham. Kemudian, ANTV pada tahun 1993 di bawah
kepemilikan Aburizal Bakrie, dan Indosiar pada tahun 1995 di bawah kepemilikan Sudono
Salim (Armando, 2011: 115).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses pembentukan prakondisi ekonomi
dibarengi dengan intervensi politik negara. Artinya, peran variabel politik di sini juga menjadi
signifikan. Dalam konteks televisi, intervensi politik dilakukan oleh negara melalui
pembatasan perizinan penyiaran hanya sebatas pada jejaring kekuasaan Suharto.11 Hal ini
11 Misalnya Bambang Trihatmojo dan Tutut Hardiyanti Rukmana yang merupakan anak Suharto, Henry Pribadi
dan Sudwikatmono yang merupakan pengusaha dekat dengan Cendana, Halimah Trihatmojo sebagai menantu
Suharto, kemudian Sudono Salim melalui Salim Group yang merupakan konglomerat Tionghoa dan sahabat
Suharto dan Aburizal Bakrie sebagai konglomerat bisnis dengan jejaring politik yang cukup kuat. Lihat Agus
Sudibyo dan Nezar Patria, “Ditempa Pertarungan Modal: Industri Pertelevisian di Indonesia PascaOtoritarianisme”, Jurnal Prisma Vol. 32 No.1, 2013, halaman 55.

10

dapat diartikan bahwa bentuk penguasaan awal atas televisi swasta pada dasarnya merupakan
bentuk akomodasi terbatas Suharto terhadap dorongan liberalisasi ekonomi—integrasi ke
dalam struktur ekonomi global—yang tidak dapat dihindari (Sudibyo dan Patria, 2013: 54).12
Dengan demikian, maka perkembangan awal televisi swasta pada dasarnya berada di bawah
hegemoni politik negara.13
Konteks hegemoni politik negara inilah yang mengerangkai persoalan dalam
menyusun regulasi awal yang bertujuan untuk mengendalikan industri penyiaran. Singkatnya,
refleksi atas basis ekonomi kepentingan pelaku industri televisi yang terbentuk sejak Orde
Baru terlihat ketika dikontraskan dengan kebutuhan publik atas adanya suatu regulasi yang
mengatur media siar, terutama dalam hal pengelolaan frekuensi. Kebutuhan tersebut
sebagaimana terkait dengan geliat perkembangan industri televisi, terutama berdasarkan
pertumbuhan pemasukan iklan. Sementara itu, kebutuhan atas regulasi tersebut berada dalam
kondisi masih dominannya hegemoni negara.
Dalam hal ini, pokok-pokok yang terdapat dalam RUU tahun 1997 memuat soal
pembatasan masa berlaku izin stasiun televisi swasta dan pembatasan daya jangkau siaran.
Dalam hal daya jangkau, disebutkan bahwa wilayah jangkauan siaran televisi swasta dibatasi
hanya 50% dari jumlah penduduk Indonesia (Armando, 2011: 138). Sementara untuk
menjangkau 50% jumlah penduduk yang belum terlingkupi disyaratkan melalui perantaraan
stasiun-stasiun televisi lokal. Secara garis besar, maka dapat dikatakan bahwa RUU tersebut
berupaya untuk melembagakan sistem jaringan dan mengontrol penggunaan frekuensi.
Terkait kontrol atas penggunaan frekuensi, izin penyelenggaraan televisi swasta
dibatasi sehingga hanya berlaku selama lima tahun dan dapat diperpanjang setelah melalui
proses evaluasi. Pengaturan perizinan sebagaimana diatur dalam RUU Penyiaran tahun 1997
tidak dijalankan oleh pemerintah, melainkan melalui badan regulasi penyiaran di luar
pemerintahan, yaitu Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N).
BP3N itu sendiri memiliki kewenangan kontrol melalui pemberian dan pencabutan izin
televisi swasta.
Aturan-aturan yang dimuat dalam RUU tersebut, dengan jelas, membatasi ruang gerak
televisi-televisi swasta yang telah melakukan siaran dengan daya jangkau nasional. Hal ini
12 Hal ini sebagaimana dorongan liberalisasi ekonomi tersebut memuat imperatif ekonomi yang menjadi
landasan terbentuknya kebutuhan atas televisi swasta sebagai moda utilisasi produk-produk yang lebih
signifikan dibanding kanal media lainnya. Dalam kerangka tersebutlah Suharto melakukan akomodasi terbatas
terhadap kelahiran televisi swasta. Artinya, televisi swasta dimungkinkan sejauh berada dalam jangkauan
kontrol negara.
13 Aspek lainnya pada konteks ini adalah penempatan televisi swasta sebagai alat untuk mendukung legitimasi
pemerintahan. Hal ini seperti melalui kontrol atas konten-konten berita yang ditekan untuk tidak ‘terlalu kritis’.

11

misalnya, pada aspek pembatasan atas jangkauan penyiaran menyaratkan relokasi dan
pengalihan kepemilikan stasiun-stasiun pemancar (transmisi) yang sudah didirikan oleh
stasiun-stasiun televisi swasta menjadi berbasiskan lokalitas. Syarat ketentuan teknis tersebut
dianggap ‘menyulitkan’ dan ‘memakan biaya’ bagi pelaku industri televisi. Sementara itu,
BP3N memiliki posisi strategis untuk mengendalikan jangka waktu izin penyiaran dan
mengontrol industri penyiaran dengan kewenangan untuk mencabut izin.
Potensi pembatasan ruang gerak tersebut kemudian menimbulkan resistensi yang
datang dari pelaku industri televisi. Armando (2011: 140) menunjukkan adanya resistensi
tersebut melalui laporan harian Republika (2/03/97) yang memuat rangkaian pernyataan para
pelaku industri televisi yang mengangkat isu pembatasan jangkauan siaran sebagai alasan
penolakan pelaku industri televisi atas RUU Penyiaran 1997. Resistensi ini direspon Suharto
melalui penolakan penandatanganan pengesahan RUU dan pengembalian kepada DPR.
Respon Suharto itu sendiri pada dasarnya menunjukkan besarnya kekuatan hegemoni negara
yang menjadi kekuatan di balik pelaku industri televisi swasta ketika itu. Pada akhirnya, UU
Penyiaran 1997 disahkan dengan perubahan-perubahan yang pada dasarnya mengakomodasi
keberatan-keberatan pelaku industri televisi, terutama dalam hal jangkauan siaran dan
regulator penyiaran.
UU Penyiaran 1997 yang disahkan dengan mengakomodasi kepentingan pelaku
industri televisi memberikan pengaruh terhadap dinamika perkembangan industri televisi
pasca Orde Baru. Seiring dengan dibatalkannya aturan-aturan ketat dalam UU Penyiaran
1997 yang mengatur industri televisi, khususnya dalam hal ini soal perizinan, jumlah televisi
swasta pada periode Reformasi mengalami peningkatan. 14 Lima stasiun pertama yang
mendapat izin siaran dalam rentang waktu 1998-1999 terdiri dari Trans Tv, Lativi, Metro Tv,
Global Tv, dan DVN Tv (Armando, 2011: 145). Perkembangan tersebut dapat diartikan
bahwa sepanjang rentang waktu tahun 1998 hingga tahun 2002 ketika UU Penyiaran 2002
disahkan, kondisi dunia penyiaran dalam rentang waktu tersebut ditandai dengan adanya 10
stasiun televisi swasta yang melakukan siaran secara nasional.
Pada perkembangannya, muncul kembali kebutuhan atas penyusunan regulasi terkait
penyiaran pada periode Reformasi. Kondisi yang memunculkan kebutuhan tersebut terkait
dengan pembubaran Departemen Penerangan (Deppen) melalui Keputusan Presiden No.
136/1999 oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Melalui pembubaran Deppen tersebut, terjadi
suatu kondisi kekosongan lembaga otoritas penyiaran (Armando, 2011: 152), terutama dalam
14 Hal ini terkait revisi atas peraturan Menpen yang membatasi jumlah televisi swasta hanya lima stasiun.
Revisi tersebut pada intinya terkait soal dibukanya peluang pendirian stasiun televisi lebih dari batasan
sebelumnya.

12

hal pengelolaan frekuensi. Selain itu, kebutuhan atas regulasi penyiaran yang baru juga
terkait dengan semangat Reformasi ketika itu, bahwa UU Penyiaran 1997 dianggap tidak
mengandung semangat demokratisasi.
Dalam hal ini, pokok-pokok dalam UU Penyiaran 2002 yang disahkan memuat
sejumlah perbaikan dari UU Penyiaran sebelumnya. Sementara itu, pokok-pokok yang
terdapat dalam RUU Penyiaran 2002, pada dasarnya, tidak berbeda secara signifikan dengan
RUU Penyiaran 1997 awal sebelum ditolak oleh Suharto. Dalam hal regulator, RUU
Penyiaran 2002 mengatur soal KPI sebagai regulator penyiaran yang independen di luar
pemerintahan. Selain itu juga dimuat aturan yang mewajibkan sistem penyiaran berjaringan
yang dapat mengendalikan sentralisasi penyiaran. Aturan ini juga dilengkapi dengan
pembatasan kepemilikan silang dan pemusatan kepemilikan.
Serangkaian aturan-aturan tersebut yang pada dasarnya mengandung spirit
demokratisasi media dan desentralisasi penyiaran, sebagaimana dapat diduga, menimbulkan
resistensi dari pelaku industri televisi. Apabila ditinjau, terlihat bahwa pokok-pokok resistensi
tersebut pada dasarnya merupakan keberlanjutan dari resistensi-resistensi pada UU Penyiaran
sebelumnya. Pokok-pokok resistensi tersebut berkisar pada keberatan atas pembatasan
jangkauan siaran dan keharusan untuk melakukan sistem berjaringan, pembatasan
kepemilikan dan kewenangan regulator (Rianto, dkk, 2012: 46-49 dan Armando, 2011: 160162). Dalam kata lain, pokok-pokok resistensi tersebut pada dasarnya merefleksikan ancaman
terhadap status quo terkait kepentingan pokok pelaku industri televisi yang telah terbentuk
sejak Orde Baru.
Dalam konteks tersebut pelaku industri televisi membentuk organisasi kelas—dalam
hal ini Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI)—sebagai wadah perlawanan.
Berdasarkan catatan Armando (2011: 159 dan 166), ATVSI yang di bawah koordinasi Karni
Ilyas inilah yang kemudian menjadi motor utama dalam kampanye penolakan UU Penyiaran.
Manuver politik yang dilakukan oleh ATVSI—yang bahkan sejak perancangan UU Penyiaran
pada tahun 1999—dilakukan dengan mempengaruhi opini publik sebagai upaya
mendelegitimasi UU Penyiaran itu sendiri. Upaya tersebut seperti melalui iklan, pernyataan
sikap, dan pemberitaan RUU Penyiaran dalam perspektif kepentingan pemilik modal—upaya
yang pada dasarnya menyalahgunakan penggunaan frekuensi itu sendiri.
Wujud Politik Pertahanan atas Kepentingan Pokok Pelaku Industri: Manuver Politik
dan Implikasinya

13

Perkembangan selanjutnya menjadi fase yang menentukan bagi prospek demokratisasi
media dan desentralisasi penyiaran. Ketika DPR pada akhirnya tetap mengesahkan UU
Penyiaran sesuai dengan rancangan awal, terlepas dari rangkaian berbagai upaya delegitimasi
sebelumnya, pelaku industri televisi dalam hal ini menyiapkan upaya perlawanan lanjutan.
Manuver politik pelaku industri televisi memberikan dampak signifikan ketika pelaku
industri televisi mengajukan uji materi terhadap UU Penyiaran. Poin penting dari keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi tersebut adalah pengurangan kewenangan KPI.
Hasil keputusan MK terkait pengurangan kewenangan KPI pada dasarnya
menempatkan pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo)
sebagai regulator yang dominan. Dalam hal ini, kewenangan menentukan perizinan
dijalankan oleh Kemenkominfo, di sisi lain KPI lebih berperan sebatas pada pengawasan isi
siaran (Rianto, dkk, 2012: 31). Sementara itu, posisi KPI tidak sebagai regulator tunggal
melainkan ditempatkan bersama pemerintah. Meskipun demikian, peranan KPI dalam
mengatur hal-hal mengenai penyiaran hanya sebatas dalam kerangka pelaksanaan Peraturan
Pemerintah yang dibuat oleh pemerintah (Armando, 2011: 203). Artinya, pada dasarnya KPI
tidak memiliki kewenangan regulasi yang signifikan karena hasil keputusan oleh MK dalam
uji materi secara fundamental menempatkan pemerintah sebagai regulator dominan.
Pada titik ini, pengurangan kewenangan KPI terutama dalam hal penentuan regulasi
mulai menunjukkan implikasinya terhadap persoalan-persoalan demokratisasi media dan
desentralisasi penyiaran. Implikasi tersebut terlihat ketika pemerintah mengeluarkan berbagai
Peraturan Pemerintah (PP) sebagai peraturan teknis turunan dari undang-undang. Peraturan
turunan tersebut merupakan konsekuensi logis karena UU Penyiaran 2002 belum memuat
aturan-aturan teknis yang lebih spesifik. Dalam hal perizinan misalnya, PP No. 50 tentang
Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta menempatkan pemerintah sebagai penentu
utama pemberian atau pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran. Sementara posisi KPI
dalam hal ini hanya sebatas sebagai perantara permohonan perizinan tanpa kewenangan
untuk menentukan perizinan itu sendiri (Armando, 2011: 218-219).
Ketentuan perizinan ini menjadi pangkal persoalan pada konteks regulasi ketika
melihat

persoalan

pelaksanaan

sistem

berjaringan

sebagai

suatu

upaya

untuk

mendesentralisasikan penyiaran. Sistem berjaringan dalam amanat UU Penyiaran 2002 pada
dasarnya menyaratkan proses perizinan ulang di tiap daerah. Artinya, dalam sistem
berjaringan izin siaran nasional dibatalkan dan di setiap daerah harus ada izin siaran yang
khusus berlaku di daerah itu. Aturan ini ditelikung oleh PP No. 50, khususnya dalam pasal 60
(3) yang pada intinya memuat aturan bahwa izin siaran nasional yang telah ada sebelumnya
14

tidak perlu mengajukan perizinan ulang di tiap daerah, melainkan diakui keberadaannya dan
cukup dengan menyesuaikan izinnya (Armando, 2011: 227-228).
Dalam konteks politik-regulasi inilah menjadi jelas bagaimana refleksi atas
kepentingan pokok pelaku industri televisi ketika dikontraskan dengan regulasi terkait
penyiaran. Secara garis kepentingan pokok pelaku industri televisi yang telah berkembang
sejak Orde Baru sepanjang tinjauan sebelumnya terdiri dari beberapa aspek. Pertama,
keleluasaan televisi swasta dalam melakukan siaran dengan daya jangkau nasional. Kedua,
rezim regulator yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri penyiaran, termasuk dalam
hal kontrol terhadap izin penyiaran. Kedua aspek tersebut juga terkait dengan perluasan
kepemilikan televisi.
Kemudian ketiga, besarnya jaringan kapital yang melibatkan industri media, terutama
dalam hal ini televisi, yang membentuk struktur konglomerasi. Ketiga aspek kepentingan ini
yang kemudian menjadi faktor pokok yang terselubung di balik persoalan teknis-prosedural
UU Penyiaran 2002. Lebih jelasnya, manuver politik sebagai bentuk resistensi pelaku industri
televisi atas UU Penyiaran 2002 pada dasarnya merefleksikan ancaman terhadap status quo
terkait kepentingan pokok pelaku industri televisi itu sendiri.
Penyimpul: What is To Be Done
Pada titik ini dapat disimpulkan bahwa persoalan teknis-prosedural implementasi UU
Penyiaran 2002 didasari oleh kecenderungan regulator, dalam hal ini pemerintah melalui
Kemenkominfo, yang mengakomodasi kepentingan pelaku industri televisi. Kecenderungan
tersebut telah ditunjukkan melalui berbagai aturan dalam PP yang menjaga keleluasaan ruang
gerak pelaku industri televisi. Sementara itu, KPI sebagai badan independen tidak memiliki
kewenangan yang signifikan dalam mengontrol industri televisi. Kombinasi antara kedua hal
tersebut terlihat dari tidak adanya pencabutan izin penyiaran terhadap televisi-televisi yang
secara jelas memanfaatkan frekuensi sebagai saluran kepentingan politik pemilik pada
momen Pemilu 2014, sekalipun telah terdapat pembuktian empiris melalui penelitian
Remotivi (2014) dan rekomendasi yang dikeluarkan KPI.15
Secara garis besar, persoalan tersebut berada dalam kerangka perkembangan industri
televisi. Dengan mendasarkan pada kerangka tersebut, maka faktor pokok yang mendasari
15 KPI dalam hal ini mengirim surat rekomendasi kepada Kemenkominfo untuk melakukan “Evaluasi
Kelayakan Izin Penyelenggaraan Penyiaran” terhadap Metro TV dan TV One terkait pelanggaran netralitas isi
siaran. Lihat Indah Mutiara Kami, “KPI Surati Kemenkominfo Desak Evaluasi Kelayakan IPP Metro Tv dan Tv
One”, Portal Detiknews 05 Juli 2014, diakses pada tanggal 06 Nopember 2014 pukul 14.35 WIB,
http://news.detik.com/read/2014/07/05/055540/2628565/1562/kpi-surati-kemenkominfo-desak-evaluasikelayakan-ipp-metro-tv-dan-tv-one

15

keberpihakan regulator penyiaran terhadap kepentingan kelas pemodal, kelemahan
kewenangan KPI serta secara luas kegagalan implementasi UU Penyiaran 2002 terkait
dengan kepentingan-kepentingan pelaku industri televisi yang telah terbentuk sejak Orde
Baru. Kepentingan-kepentingan tersebut secara mendasar berkisar pada tiga aspek
sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya. Hal tersebut dapat diartikan bahwa resistensi
pelaku penyiaran sejak UU Penyiaran 1997 yang kemudian berkembang dalam penyusunan
UU Penyiaran 2002 hingga pengesahannya pada dasarnya merefleksikan ancaman terhadap
status quo terkait kepentingan pokok pelaku industri itu sendiri.
Dengan demikian, upaya mengatasi persoalan sentralisasi penyiaran, bias kepentingan
pemilik dalam konten media, konsentrasi kepemilikan dan persoalan turunan lainnya tidak
dapat direduksi hanya sekedar persoalan teknis-prosedural atau soal konsistensi regulator.
Sebaliknya, upaya tersebut perlu ditempatkan dalam kerangka kepentingan pelaku industri
penyiaran yang mengakar sejak Orde Baru. Artinya, upaya mengatasi persoalan-persoalan
dalam konteks ini menyaratkan perlawanan, pertama-tama, terhadap kepentingan pokok
pelaku industri televisi.
Upaya tersebut semakin mendesak, terutama dengan melihat besarnya jejaring kapital
yang membentuk struktur konglomerasi serta penunggangan kepentingan politik pemilik di
dalamnya. Hal ini sebagaimana dinamika kapital pada industri media secara luas sepanjang
periode Reformasi ditandai dengan pengambilan alih kepemilikan, merger, konvergensi, dan
sentralisasi.16 Dinamika kapital tersebutlah yang pada akhirnya membentuk struktur
konglomerasi

yang

memperluas

kekuatan

daya

pengaruh

pemilik

media

terkait

kepentingannya. Hal ini sebagaimana penjelasan Curran (1991) sebagaimana dikutip dari
Nugroho, Putri, dan Laksmi (2012: 19), bahwa “mengendalikan media telah menjadi semakin
identik dengan mengendalikan publik dalam konteks wacana, kepentingan, bahkan selera”.
Dalam kata lain, penguasaan atas media berarti membuka akses kekuasaan melalui kontrol
kesadaran publik.
Dengan menelusuri kepentingan pokok apa yang terselubung di balik pengaturan
frekuensi sebagai sasaran utama perlawanan, maka strategi yang perlu dilakukan adalah
melalui pengembalian kedaulatan publik dalam hal pengelolaan frekuensi. Melalui kerangka
16 Hal ini misalnya peralihan kepemilikan pada Tv7, Lativi, Indosiar, dan RCTI. Sementara itu, konvergensi
merupakan upaya memperluas kontrol atas proses produksi melalui penggabungan berbagai sektor usaha, tidak
hanya sektor media, melainkan lintas sektor lainnya ke dalam satu struktur manajemen. Hal ini dapat
ditunjukkan, misalnya pada Gramedia Group yang selain memiliki media cetak, televisi, radio, majalah, juga
memiliki bisnis perhotelan, menara telekomunikasi dan bisnis lainnya. Untuk data lengkap mengenai jejaring
bisnis dalam struktur konglomerasi media, lihat Merlyna Lim, “The League of thirteen: Media Concentration in
Indonesia”, Tempe, AZ: Participatory Media Lab Arizona State University and Ford Foundation, 2012, halaman
7.

16

tersebut, maka argumentasi soal penguatan kewenangan KPI sebagai perantara publik dalam
mengelola frekuensi mendapat pendasaran yang lebih kuat. Penguatan kewenangan KPI yang
dimaksud dalam hal ini secara esensial terkait kontrol terhadap penggunaan frekuensi, yaitu
kontrol atas izin penyiaran.
Strategi tersebut menjadi penting apabila melihat jalin-menjalin relasi antara negara
dengan kapital. Artinya, di satu sisi negara itu sendiri saat ini cenderung dikuasai oleh
oligarki yang mengorganisir-dirinya melalui partai politik. Di sisi lain, terdapat hubungan
kompleks antara struktur kepemilikan industri televisi dengan partai politik dalam kerangka
konglomerasi media. Artinya, upaya demokratisasi media dan desentralisasi penyiaran tidak
dapat menggantungkan dirinya pada inisiatif negara, melainkan harus bertumpu pada upaya
perlawanan publik dalam merebut ruang publik.

17

Daftar Pustaka
Buku, Penelitian dan Jurnal
Armando, Ade dan Nina Mutmainnah. Basis Ekonomi Kebijakan Pertelevisian Swasta di
Indonesia. Laporan Penelitian Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UI, 1993.
Armando, Ade. Televisi Jakarta di Atas Indonesia. Yogyakarta: Bentang, 2011.
Dhakidae, Daniel. “The State, The Rise of Capital and The Fall of Political Journalism:
Political Economy of Indonesian News Industry”, Disertasi Doktoral, Amerika
Serikat, Cornell University, 1991.
Heychael, Muhammad dan Holy Rafika Dhona, Ed, “Independensi Televisi Menjelang
Pemilu 2014: Ketika Media Jadi Corong Kepentingan Politik Pemilik”. Laporan
Riset Divisi Penelitian Remotivi (3 Bagian), Jakarta: Remotivi, 2014.
Lim, Merlyna. “The League of thirteen: Media Concentration in Indonesia”. Tempe, AZ:
Participatory Media Lab Arizona State University and Ford Foundation, 2012.
Nugroho, Yanuar, Dinita Andriani Putri dan Shita Laksmi. Memetakan Lansekap Industri
Media Kontemporer di Indonesia. Jakarta: CIPG dan HIVOS, 2012.
Putri, Dinita Andriani, dkk. Dari Konstituen ke Konsumen: Strategi Komunikasi Partai
Politik di Layar Kaca. Laporan Riset Centre for Innovation Policy and Governance,
Jakarta: CIPG, 2014.
Rianto, Puji, dkk. Dominasi Tv Swasta (Nasional): Tergerusnya Keberagaman Isi dan
Kepemilikan. Yogyakarta: PR2Media-Yayasan Tifa, 2012.
_______________. Kepemilikan Dan Intervensi Siaran: Perampasan Hak Publik, Dominasi
dan Bahaya Media di Tangan Segelintir Orang. Yogyakarta: PR2 Media, 2014.
SK, Ishadi. Media dan Kekuasaan: Televisi di Hari-Hari Terakhir Presiden Soeharto. Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2014.
Sudibyo, Agus dan Nezar Patria, “Ditempa Pertarungan Modal: Industri Pertelevisian di
Indonesia Pasca-Otoritarianisme”, Jurnal Prisma Vol. 32, No. 1, 2013.
Sumber Internet Berita
Kami, Indah Mutiara. “KPI Surati Kemenkominfo Desak Evaluasi Kelayakan IPP Metro Tv
dan Tv One”. Portal Detiknews 05 Juli 2014. Diakses pada tanggal 06 Nopember
2014

pukul

14.35

WIB.

.
18

Akuntono, Indra. “Resmi, Hary Tanoe Ajukan Mundur dari Hanura dan Dukung Prabowo”.
Kompas.com 22 Mei 2014. Diunduh pada tanggal 17 September 2014 pukul 17.22
WIB.
.

19