contoh Naskah Akademik Undang undang ten

Naskah Akademik Undang-undang tentang
larangan merokok
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH MALUKU
TENTANG LARANGAN MEROKOK
DAFTAR ISI
I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
B. IDENTIFIKASI MASALAH
C. TUJUAN, DAN KEGUNAAN
D. METODE
II.

KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS
B. KAJIAN TERHADAP ASAS (PRINSIP)
C. KAJIAN TERHADAP KONDISI YANG ADA

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU
III.

ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. KONDISI HUKUM YANG ADA
B. KETERKAITAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN DAERAH
C. HARMONISASI SECARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL
IV.

LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS

A. LANDASAN FILOSOFIS
B. LANDASAN SOSIOLOGIS
C. LANDASAN YURIDIS
V.

JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP

MATERI MUATAN


A. JANGKAUAN
B. ARAH PENGATURAN
C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
1. Ketentuan Umum (Pengertian istilah, dan frasa)
2. Materi yang akan diatur
3. Ketentuan sanksi
4. Ketentuan peralihan
VI.

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Konstitusi Indonesia Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 menyebulkan bahwa Negara indonesia
berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya kehidupan masyarakat di dalamnya terbentuk

dalam bingkai ajaran agama. Secara ideal sebagai negara yang beragama, akan lebih mudah
mengatur masyarakat yang tertib dari ganguan atau penyakit yang di akibatkan karena rokok.
Ajaran setiap agama pasti sepakat bahwa keberadaan rokok dapat dapat mengancam jiwa
manusia baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun kenyataan yang ada, negara kita
sampai sekarang belum dapat membuat payung hukum tentang undang-undang larangan
merokok. Hal ini tidak lepas dari banyaknya kepentinga politik yang ada di dalamnya.
Perlu disadari bahwa adanya tuntutan masyarakat untuk membuat Peraturan
hukum/undang-undang tentang larangan merokok, jangan disalah-artikan bahwa itu adalah
keinginan/kepentingan sebagian umat Islam dalam rangka menerapkan syariat Islam. Tuntutan
dibentuknya UU tentang Larangan merokok lebih dikarenakan bahaya rokok itu sendiri dalam
kehidupan manusia.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Rokok pada hakekatnya dapat membahayakan
kesehatan jasmani dan rohani, dapat
mendorong terjadinya gangguan dalam ketertiban masyarakat, serta mengancam kehidupan masa
depan generasi bangsa, yang pada gilirannya akan merusak kehidupan berbangsa, bermasyarakat,
dan bernegara.
2. Untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, diperlukan turut campur atau pelibatan daerah
dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagai penyelenggara pemerintah yang
berfungsi dalam bidang legislasi nasional, memandang perlu untuk mengajukan usul inisiatif

rancangan undang-undang yang mengatur tentang larangan merokok.
3. Adapun sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan tentang larangan merokok ini, akan tercermin dalam batang tubuh rancangan
undang-undang ini.
C. TUJUAN, KEGUNAAN, DAN SASARAN
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan diatas, maka
penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk memberikan latar belakang, arahan dan dukungan dalam perumusan
pengaturan, dan pengendalian rokok dengan segala
dimensinya
secara
menyeluruh,
terpadu, dan berwawasan lingkungan.
2. Berguna sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang
tentang Larangan merokok, dengan memberikan uraian tentang aspek pengaturan pengendalian
penguna rokok dengan segala dimensinya, di masa kini dan masa yang akan dating.

BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
A. KAJIAN TEORITIS


Merokok dewasa ini menjadi sala satu gaya hidup atau life style manusia baik pria
maupun wanita tanpa mengenal usia. Mudahnya mengakses rokok menjadi sala satu dampak
pesatnya pertumbuhan penguna rokok , hal ini kemudian berdampak negatif bagi kesahatan
tubuh penguna rokok dan juga lingkuangan sekitar. Efek rokok tidak hanya berdampak pada
penguna rokok yang aktif akan tetapi juga berdampak pada orang yang tidak merokok atau
perokok pasif. Suburnya produksi rokok disebabkan karena banyaknya perusahan-perusahan
penghasil rokok yang tersebar di lingkungan masyarakat dan kuranya pengawasan dari
pemerintah.
1. Rokok dan Zat Ediktif
a. Rokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga 120 mm (bervariasi
tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang berisi daun-daun tembakau yang telah
dicacah. Rokok dibakar pada salah satu ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat
dihirup lewat mulut pada ujung lainnya.
b. Zat Adiksi yaitu :
1. ACROLEIN ; zat berbentuk cair tidak berwarna diperoleh dengan mengambil cairan dari
glyceril atau dengan mengeringkannya. Pada dasarnya zat ini pasti sangat mengganggu
kesehatan.
2. KARBON MONOXIDA ; gas yang tidak berbau. Zat ini dihasilkan dari pembakaran

yang tidak sempurna dari unsur zat karbon. Jika karbon monoxida ini masuk ke dalam
tubuh dan dibawa oleh hemoglobin ke dalam otot-otot tubuh. Satu molekul hemoglobin
dapat membawa empat molekul oksigen. Apabila didalam hemoglobin itu terdapat
karbon monoxida, berakibat seseorang akan kekurangan oksigen.
3. NIKOTIN ; cairan berminyak tidak berwarna. Zat ini bisa menghambat rasa lapar. Jadi
menyebabkan seseorang merasa tidak lapar karena mengisap rokok.
4. AMMONIA ; gas yang tidak berwarna, terdiri dari nitrogen dan hidrogen. Memiliki bau
yang sangat tajam dan merangsang. Zat ini sangat cepat memasuki sel-sel tubuh dan
kalau disuntikkan sedikit saja pada aliran darah akan membuat pingsan atau koma.
5. FORMIC ACID ; cairan tidak berwarna, tajam baunya, bisa bergerak bebas dan dapat
membuat lepuh.
6. HYDROGEN CYANIDE ; gas tidak berwarna, tidak berbau dan tidak ada rasa. Zat ini
paling ringan dan mudah terbakar. Cyanide mengandung racun berbahaya dan jika
dimasukkan langsung ke dalam tubuh akan berakibat kematian.
7. NITROUS OXIDE ; gas tidak berwarna dan jika diisap dapat menyebabkan hilangnya
pertimbangan dan membuat rasa sakit. Zat ini awalnya adalah untuk zat pembius pada
saat operasi.
8. FORMALDEHYDE ; gas tidak berwarna dan berbau tajam. Gas ini bersifat pengawet
dan pembasmi hama.
9. PHENOL ; zat ini terdiri dari campuran kristal yang dihasilkan dari distilasi zat-zat

organik misalnya kayu dan arang. Phenol bisa terikat didalam protein dan menghalangi
kerja enzyme.
10. ACETOL ; zat ini adalah hasil dari pemanasan aldehyde dan menguap dengan alkohol.
11. HYDROGEN SULFIDE ; gas yang mudah terbakar dan berbau keras. Zat ini
menghalangi oxidasi enxym (zat besi berisi pigmen).

12. PYRIDINE ; cairan tidak berwarna dan berbau tajam. Zat ini mampu mengubah alkohol
sebagai pelarut dan pembunuh hama.
13. METHYL CHLORIDE : merupakan campuran zat-zat bervalensa satu atas mana
hidrogen dan karbon sebagai unsur utama. Zat ini merupakan compound organis yang
sangat beracun dan uapnya bersifat sama dengan pembius.
14. METHANOL ; cairan ringan yang mudah menguap dan terbakar. Jika diminum dan
diisap dapat berakibat pada kebutaan dan kematian.
15. TAR ; cairan kental berwarna coklat tua atau hitam didapatkan dengan cara distilasi kayu
dan arang juga dari getah tembakau. Zat inilah yang menyebabkan kanker paru-paru.
B. PRAKTIK EMPIRIS
merokok dalam kehidupan masyarakat di Indonesia sepertinya sudah tidak asing lagi.
Saat ini, rokok dikonsumsi oleh remaja, orang dewasa, hingga orangtua yang sudah berumur,
kesadaran masyarakat kita tentang bahaya merokok masih sangat minim. Dari segi kehidupan
soasial, rokok sangat mempengaruhi kehidupan social. Biasanya seseorng megomsumsi rokok di

akibatkan karena pergaulan, keluarga. Masyarakat kita belum sadar bahwa dengan mengonsumsi
rokok, mereka hanya mendapatkan banyak kerugian, untuk itu pemerintah daerah diharapkan
dapat mencari solusi terbaik untuk kasus-kasus yang di akibatkan karena mengosumsi rokok.
C. KAJIAN TERHADAP ASAS YANG TERKAIT DENGAN NORMA
Analisis terhadap penentuan asas-asas ini harus memperhatikan’ berbagai aspek bidang
kehidupan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, yang berasal
dari hasil penelitian, dalam hal ini yaitu asas-asas yang relevan terhadap larangan merokok,
yaitu asas keseimbangan kesehatan dan kemanfaatan umum, keterpaduan, serta keadilan,
1. ASA KESEIMBANGAN KESEHATAN
Sebagaimana diuraikan di Bab Pendahuluan, bahwa Rokok pada dasarnya sebenarnya
adalah suatu bahan yang antara lain mengandung zat adiksi, dimana didalamnya juga berisi
ethanol, yang kalau penggunaannya tidak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam UU No.
23/1992 tentang Kesehatan, sangat berbahaya untuk kesehatan manusia. Oleh karena itu, untuk
mengatur kedua komoditi yang bersifat positif dan negatif ini, dipergunakan asas keseimbangan
kesehatan.
2. Asas Kemanfaatan Umum
Pengendalian merokok dilaksanakan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kepentingan kesehatan pribadi maupun umum. Di samping itu pengendalian merokok ini
juga diarahkan untuk tidak merugikan kepentingan daerah kerja, baik di pertanian/perkebunan,
maupun di industri minuman. Oleh sebab itu, didalam rancangan undang-undang ini, salah

satunya memperhatikan dengan sungguh-sungguh asas kemanfaatan untuk publik (umum) secara
komprehensif.
3. Asas Keterpaduan dan Keserasian
Penyelenggaraan pengendalian dan keserasian dalam pengendalian para perokok,
dilaksanakan secara seimbang dalam mewujudkan keserasian untuk berbagai kepentingan baik
kepentingan kesehatan, kepentingan ekonomis (pajak dan cukai), maupun kepentingan
ketenagakerjaan.
4. Asas Keadilan
Penyelenggaraan pengendalian penguna rokok, dilakukan merata kesemua lapisan
kegiatan masyarakat di seluruh Indonesia, dan setiap warga
negara
berhak

memperoleh kesempatan yang sama untuk memperoleh lapangan pekerjaan, khususnya
pada pabrik-pabrik rokok . Pemerintah dapat menarik pajak untuk kepentingan pembangunan
kesehatan, dan hak asasi manusia yang diatur, dan diakui, serta dilindungi dalam Pasal 28 H ayat
(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dijabarkan dalam
undang-undang No. 19 tahun 1992.
D. KAJIAN TERHADAP KONDISI YANG ADA
Pengesumsi rokok pada saat ini sudah menjadi masalah yang kompleks, yang

akibatnya fatal bagi pengunanya msalah yang di akibatkan karena merokok ini untuk sakarng ada
yang menderita kanker tengorokokan, paru-paru dan lain sebagainya. Sudah sering terungkap
bahwa merokok hanya akan memberikan efek negatif bagi pengunanya, bahkan pada
beberapa kasus justru berakibat pada kematian, namun setiap tahun jumlah pecandu rokok bukan
berkurang, justru semakin meningkat.
KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU
Kajian terhadap implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Rancangan
Undang-Undang tentang Larangan merokok, akan memiliki implikasi, baik terhadap aspek
kehidupan masyarakat, maupun terhadap aspek beban keuangan negara.
1. Aspek Kehidupan Masyarakat;
Penggunaan rokok dalam kehidupan masyarakat, seringkali didasari oleh motif-motif sosial,
antara lain seperti untuk meningkatkan prestige, atau adanya pengaruh pergaulan dan perubahan
gaya hidup. Selain itu, aspek sosial lainnya, seperti sistem norma dan nilai (keluarga dan
masyarakat), juga menjadi kunci dalam permasalahan penguna rokok.
Oleh sebab itu, hadirnya suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk UndangUndang yang mengatur tentang Larangan merokok ini adalah suatu keniscayaan, karena akan
berdampak sangat positif bagi kehidupan masyarakat.
Peranan negara dalam menciptakan lingkungan yang bersih dari penyalahgunaan rokok
menjadi sangat vital. Bentuk peraturan dan regulasi tentang penguna rokok, serta
pelaksanaan yang tegas, menjadi kunci utama penanganan masalah rokok ini.
Selain itu, yang tidak kalah penting adalah, peranan provider kesehatan dalam

mempromosikan kesehatan terkait masalah rokok, baik sosialisasi di tingkat masyarakat, maupun
advokasi pada tingkatan decision maker.
2. Aspek Beban Keuangan Negara;
Sebagaimana dimaklumi bersama, bahwa penerapan sistem baru, apalagi yang berkaitan
dengan diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang
yang mengatur tentang larangan merokok, dipastikan akan memiliki dampak terhadap aspek
beban keuangan daerah.
Namun, dalam hal ini, kewajiban penyelenggara daerah, khususnya yang duduk di
Legisiatif dan Eksekutif, harus berusaha semaksimal mungkin untuk mengatur kehidupan
masyarakat, dalam rangka pencapaian masyarakat yang tertib, aman, dan damai, serta
sejahtera. Aspek beban keuangan negara yang dikeluarkan dari Anggaran Belanja Daerah
(ABD), mulai dari pembuatan Naskah Akademik, dan draf RUU tentang Larangan merokok
yang melibatkan banyak pihak sebagai stake- holder.

Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan antara para wakil rakyat di Senayan dengan
Pemerintah, yang tentunya memerlukan dana, pengusul sangat yakin bahwa beban keuangan
daerah ini sangat tidak berarti dengan manfaat yang akan diperoleh jika RUU tentang Larangan
merokok ini, menjadi Undang-Undang dan mengikat seluruh warga di daerah provinsi Maluku.

BAB III
ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
A. KONDISI HUKUM YANG ADA
Dalam UU No. 23/1992 tentang Kesehatan, masalah mengomsumsi rokok, tidak diatur
secara eksplisit. Dalam Pasal 44 UU No. 23/1992 berbunyi:
1) Pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif,diarahkan agar tidak
mengganggu dan membahayakan kesehatan perorangan, keluarga, masyarakat, dan
lingkungannya.
2) Produksi, peredaran, dan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif, harus memenuhi
standar dan/atau persyaratan yang ditentukan.
3) Ketentuan mengenai pengaman bahan yang mengandung zat adiktif, sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam Penjelasan Pasal 44 tersebut dikatakan bahwa:
1) Bahan yang mengandung zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya
dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya atau masyarakat sekelilingnya;
2) Penetapan standar diarahkan agar zat adiktif yang dikandung oleh bahan tersebut dapat
ditekan dan untuk mencegah beredarnya bahan palsu. Penetapan persyaratan penggunaan bahan
yang mengandung zat adiktif ditujukan untuk menekan dan mencegah penggunaan yang
mengganggu atau merugikan kesehatan orang lain;
Jika kita baca secara teliti, norma yang mengatur zat adiktif tersebut kurang jelas (implisit),
karena masih diatur secara umum. Oleh karena itu, kemudian dilahirkan UU No. 22/1997
tentang Narkotika (yang kemudian diganti dengan UU No. 35/2009) dan UU No. 5/1997
tentang Psikotropika dengan berbagai peraturan pelaksanaannya, sedangkan UU tentang
Larangan merokok yang bahayanya juga tidak kalah dengan Narkotika, dan Psikotropika,
hingga saat ini belum pernah diterbitkan.
B. HARMONISASI SECARA VERTIKAL DAN HORIZONTAL;
Harmonisasi bermula dari Rudolf Starnler (hltp://www.legalitas.org) yang mengemukakan
bahwa konsep dan prinsip-prinsip hukum yang adil mencakup harmonisasi. Dengan kata lain,
hukum akan tercipta dengan baik, jika terdapat keselarasan antara maksud, tujuan, dan
kepentingan penguasa (pemerintah), dengan masyarakat.
Badan Pembina Hukum Nasional memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai
kegiatan ilmiah untuk menuju proses pengharmonisasian. Proses pengharmonisasian, pada
hakekatnyaadalah
proses penyelarasan, penyesuaian, penyeimbangan, pensinkronisasian
hukum tertulis, yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, historis, ekonomis,dan
yuridis. Dalam praktek pembentukan suatu Undang-Undang, kita mengenal proses
harmonisasi secara vertikal, dan horizontal, yaitu;
1. Harmonisasi secara vertikal, yaitu proses penyelarasan peraturan perundang-undangan
yang berada dibawah diselaraskan dengan aturan yang ada diatasnya. Misalnya, Peraturan

Daerah, diharmonisasikan
dengan
Undang-Undang,
atau
Undang-Undang
diharmonisasikan dengan Undang-Undang Dasar;
2. Harmonisasi secara horizontal, yaitu proses penyelarasan peraturan perundangundangan yang sejajar tingkatannya. Misalnya, Peraturan Daerah diharmonisasikan
dengan Peraturan Daerah, atau Undang- Undang diharmonisasikan dengan UndangUndang.

BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS
A. LANDASAN FILOSOFIS;
merokok pada dasarnya merupakan suatu bentuk gangguan terhadap kehidupan dan
penghidupan masyarakat, oleh karena itu, secara filosofis, pembentukan RUU tentang Larangan
Merokok, merupakan bagian dari pemenuhan tujuan provinsi maluku, yaitu melindungi segenap
rakyat dan bangsa, serta seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Upaya melindungi segenap rakyat dan bangsa Indonesia, dikuatkan pula dengan hak setiap
orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya,
serta berhak atas rasa aman dari ancaman ketakutan untuk berbuat, atau tidak berbuat sesuatu,
yang merupakan hak asasi, hak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik, dan sehat, serta berhak mernperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28
G, ayat (1), dan Pasal 28 H, ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
B. LANDASAN SOSIOLOGIS;
Pertimbangan sosiologis berkaitan dengan permasalahan empiris, dan kebutuhan yang
dialami oleh masyarakat, yang menyangkut tentang pengaturan dan pengendalian Oleh karena
itu, secara sosiologis, UU tentang Larangan larangan merokok haruslah memberikan jawaban
atau solusi terhadap permasalahan yang berkaitan dengan penanganan bahaya yang diakibatkan
oleh rokok.
Sementara itu, jika kebiasaan dari sebagian masyarakat, atau di daerah-daerah tertentu
mengonsumsi rokok karena dianggap merupakan warisan tradisional (arak, tuak, Sopi, Lapen,
dll), jika dikaitkan dengan sisi agama, dimana mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim,
hukumnya haram, maka hal ini akan sangat bertolakbelakang. Aspek sosiologis lainnya, adalah
bagaimana me-“manage” dampak
negatif
dari
minuman
keras
dengan cara
pencegahan (preventive), pengurangan resiko (preparedness), daya tanggap (response), serta
upaya pemulihan (recovery), akibat merokok.
C. LANDASAN YURIDIS
Aspek yang berkaitan dengan hukum (yuridis) dalam pembentukan Rancangan Undang-Undang
tentang Larangan merokok ini, dikaitkan dengan peran hukum baik sebagai pengatur perilaku
(social control), maupun sebagai instrumen untuk penyelesaian suatu masalah (dispute solution).
Aspek yuridis ini sangat diperlukan, karena hukum, atau peraturan perundang-undangan
dapat menjamin adanya kepastian (certainty), dan keadilan (fairness) dalam penanganan
akibat mengkomsumsi rokok ini.
Dalam kaitannya dengan peran dan fungsi hukum tersebut, maka persoalan hukum yang
terkait dengan pengaturan, pengendalian, dan
pengawasan terhadap penggunaan rokok masih bersifat sektoral, dan parsial, sedangkan
kebutuhan yang sangat mendesak adalah adanya undang-undang yang menjadi payung

(umbrella), bagi semua peraturan-perundang-undangan yang ada, yaitu Peraturan Pemerintah,
dan Peraturan Daerah dibeberapa Propinsi, dan Kabupaten/Kota di Indonesia.
Oleh sebab itu, agar hubungan antar peraturan perundang-undangan yang satu
dengan lainnya dapat terjalin dengan harmonis, baik vertikal, maupun horizontal, maka
pertimbangan yuridis pembentukan suatu peraturan perundang-undangan tentang larangan
merokok dalam bentuk undang-undang, adalah suatu keniscayaan, demi menyelamatkan
generasi bangsa Indonesia kedepan.

BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN,
DAN RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
A. JANGKAUAN PENGATURAN
Lingkup atau Jangkauan pengaturan, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Larangan
Merokok ini, mencakup hal-hal sebagai berikut:
Larangan merokok;
Ruang lingkup;
Pengawasan;
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan;
Peran serta masyarakat;
Kerjasama luar negeri;
Ketentuan Pidana;
Ketentuan Umum;
Ketentuan penutup
B. ARAH PENGATURAN
Walaupun pengaruhnya terhadap individu berbeda-beda, namun terdapat hubungan antara
konsentrasi alkohol di dalam darah atau Blood Alkohol Concentration (BACj dan efeknya.
Euphoria ringan dan stimuiasi terhadap perilaku, lebih aktif seiring dengan meningkatnya
konsentrasi alkohol di dalam darah. Resiko intoksikasi (mabuk) merupakan gejala pemakaian
alkohol yang paling umum.
Penurunan kesadaran seperti koma, dapat terjadi pada keracunan alkohol yang berat,
demikian juga natas terhenti hingga kematian. Selain itu, efek jangka pendek alcohol dapat
menyebabkan hilangnya produktifitas kerja. Alkohol juga dapat menyebabkan perilaku
kriminal. Ditengarai 70% dari narapidana menggunakan alkohol sebelum melakukan tindak
kekerasan, dan lebih dari 40% kekerasan dalam rumah tangga dipengaruhi oleh alkohol.
Selain dampak negatif yang telah dijelaskan diatas tadi, mengonsumsi alkohol yang
berlebihan dalam jangka panjang, dapat menyebabkan penyakit kronis seperti kerusakan jantung,
tekanan darah tinggi, stroke, kerusakan hati, kanker saluran pencernaan, gangguan pencernaan
lain (misalnya tukak lambung), impotensi, dan berkurangnya kesuburan, meningkatnya resiko
terkena kanker payudara, kesulitan tidur, kerusakan otak dengan perubahan kepribadian dan
suasana perasaan, sulit dalam mengingat, dan tidak berkonsentrasi.
Oleh sebab itu, didalam penyusunan Rancangan undang-undang tentang Larangan
merokokini, diperlukan ketegasan tentang larangan merokok tanpa terkecuali.
C. RUANG LINGKUP MATERI MUATAN
Berbicara mengenai istilah “materi muatan” kita tidak dapat melepaskan diri
dari penciptanya yaitu A. Hamid, SA. Dalam hal ini kita tetap menghormati para ahli hukum dan
perundang-undangan seperti Irawan Suyito, Rusminah, Suhino, Yuniartro, Bagir Manan, Solly

Lubis, dll.. Di mata penulis, A. Hamid, SA adalah “Bapak Perundang-undangan Indonesia”
(paling tidak salah satunya).
Banyak sekali pendapat, teori, dan istilah yang dikembangkan oleh A.Hamid, SA, yang
berkaitan dengan dunia perundang-undangan. Salah satunya adalah istilah “materi muatan”, yang
diperkenalkannya pada tahun 1979 dalam tulisannya yang berjudul “Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan”, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dan dimuat dalam
disertasinya tahun 1990, dengan judul “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia
dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara”.
Dalam disertasinya, A. Hamid, SA mengeluh belum adanya tradisi di Indonesia untuk
menghormati ciptaan dalam bidang ilmiah dibandingkan dengan di negara-negara maju.
Menurutnya, di Belanda setiap penulis yang mengutip sesuatu karya cipta ilmiah penulis lainnya
(biasanya suatu istilah atau kata atau frasa yang mengandung makna tertentu), selalu disebutkan
biasanya dalam catatan kaki siapa pencipta istilah atau kata tersebut. Oleh A. Hamid, SA dalam
disertasinya dikutipkan berbagai istilah yang diciptakan oleh para ahli hukum dan
perundang-undangan
Belanda, misalnya van der Hoeven dengan istilahnya
“pseudowetgeving”, Mannoury dengan istilahnya “spiegelrecht”, T.Koopmans dengan istilahnya
“moditicatie” dalam kalimalnya “de wetgever streeft niet meer primair naar codificatie maar naar
modificatie”.
Adapun mengenai “materi muatan” tidaklah semudah apa yang
dibayangkan orang.
Kalau istilah “peraturan perundang-undangan” dengan segala macam seluk-beluknya barangkali
para ahli hukum tata Negara sudah banyak membicarakannya dan membahasnya, walaupun
sampai sekarang-pun belum ada kesepahaman mengenai “peraturan perundang-undangan”,
namun paling tidak, para ahli perundang-undangan telah mengeluarkan berbagai teori.
Misalnya teori “undang-undang dalam artian formil.
Dikutip dari Machmud Aziz, “Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundangundangan”. Materi pokok pelajaran dalam Diklat Penyusunan Peraturan
Perundangundangan
(Legislative
Drafting
Courses) di Departemen Kehakiman dan HAM dan
berbagai Departemen/LPND lainnya, maupun di Pemerintah Daerah/DPRD.
Istilah “materi muatan” merupakan terjemahan dari kalimat “net eigenaardig
onderwerp der wet te omscrijven” dari Torbecke dalam “Met Wetsbegrip in Nederland”, 1966,
hal.47, karangan Bohtlink/Logemann, yaitu: De Grondwet ontleent het begrip van wet enkel van
den persoon, die haarmaakt. Zij heeft de vraag opengelaten, wat moet bij ons door eene wet,
eneat kan op eene andere wijze warden vastgesteld ? Even als andere Grondwetten, heeft zij zich
onthouden het eigenaardig onderwerp der wette omschrijven.”
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945)
meminjam pemahaman tentang Undang-Undang (UU), hanyalah dari sudut pejabat atau
lembaga yang membentuknya. Undang Undang Dasar (UUD), membiarkan pertanyaan terbuka
mengenai apa yang di negara kita, harus ditetapkan dengan Undang Undang dan apa yang boleh
di ditetapkan dengan cara lain.
Demikian pula ilmu hukum tata usaha negara telah banyak mempersoalkan
kaidah-kaidah bagi teknik dan proses pembentukan berbagai jenis peraturan perundangundangan. Namun demikian, menurut A. Hamid, SA keduanya belum menyinggung secara
mendalam dan membiarkannya tanpa kejernihan mengenai rnasalah “materi muatan” peraturan
perundang-undangan yang semestinya dirnuat dalam tiap jenis peraturan perundang-undangan.

Mengenai apa yang harus dimuat dalam suatu jenis peraturan perundangundangan baru, A. Hamid, SA, yang mengeluarkan teorinya secara signitikan pada tahun 1979,
dan sebagai konseptor “materi muatan”, mengatakan bahwa berdasarkan UUD 1945 (sebelum
amandemen) ada 18 hal (butir) yang secara tegas-tegas diperintahkan oleh UUD 1945.
Akan tetapi, sesudah terjadinya Perubahan Pertama UUD 1945, Perubahan Kedua
UUD 1945, Perubahan Ketiga UUD 1945, dan Perubahan Keempat UUD 1945 (SIUM MPR
1999, ST MPR 2000, ST MPR 2001, dan ST MPR 2002), yang secara tegas-tegas harus diatur
lebih lanjut dengan undang-undang menjadi kurang lebih 40 hal (butir) yaitu:
Pasal2ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (5), Pasal 11 ayat (3), Pasal 12, Pasal 15,
Pasal 16, Pasal 17 ayat (4), Pasal 18 ayat (1), Pasal 18 ayat (7), Pasal 18A ayat (1), Pasal ISA
ayat (2), Pasal 18B ayat (1), Pasal 18B ayat (2), Pasal 19 ayat (2), Pasal 20A ayat (4), Pasal 22A,
Pasal 22B, Pasal 22C ayat (4), Pasal 22D ayat (4), Pasal 22E ayat (6), Pasal 23A, Pasal 23B,
Pasal 23C, Pasc, 23D, Pasal 23E ayat (3), Pasal 23G ayat (2), Pasal 24 ayat (3), Pasal 24A
ayat(1), Pasal 24A ayat (5), Pasal 24B ayat (4), asal 24C ayat (6), Pasal 25, Pasal 25A, Pasal 26
ayat (3), Pasal 281 ayat (5), Pasal 30 ayat (5), Pasal 31 ayat (3), & Pasal 33 ayat (5), Pasal 34
ayat (4), dan Pasal 36C.
Hal-hal lain yang harus diatur dengan undang-undang adalah yang berkaitan dengan
asas
konstitusionalisme dan asas
negara berdasar atas
hukum
(rechtsstaat).
Disamping itu, hal-hal yang membebani masyarakat, mengurangi kebebasan orang atau
yang berkaitan dengan HAM, juga merupakan materi muatan undang-undang.
Apabila ke-40 hal tersebut yang perlu diatur atau ditetapkan dengan undang-undang dirinci,
maka kita akan mendapatkan muatan undangundang yang materi-materinya dapat dirumuskan sebagai berikut:
 Yang secara tegas diperintahkan oleh UUD untuk diatur dengan UU;
 Yang mengatur lebih larijut kefenfuan ketentuan UUD dan TAP MPR;
 Yang mengatur HAM penduduk, terlepas dari kedudukannya sebagai warga negara
atau bukan;
 Yang mengatur hak dan kewajiban warga negara;
 Yang mengatur pembagian kekuasaan negara, termasuk kekuasaan peradilan dan hakim
yang bebas;
 Yang mengatur organisasi pokok lembaga-lembaga negara;
 Yang mengatur pembagian daerah negara atas daerah besar dan kecil;
 Yang mengatur siapa warga negara dan
cara memperoleh atau kehilangan
kewarganegaraan;
 Hal-hal lain yang oleh ketentuan suatu undang-undang, ditetapkan untuk diatur tebih
lanjut dengan undang-undang lain
 Yang mengatur lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang (vide Pasal
22A, UUD 1945 baru).
Menurut A. Hamid, SA dari apa yang tercantum diatas ternyata materi muatan dalam hurut
c, kemudian h, ialah yang paling luas, karena didalamnya termasuk hal-hal yang menyangkut
pengaturan disertai sanksipidana, pencabutan hak milik, dan sebagainya yang berkaitan
dengan”terganggu”-nya hak-hak asasi (HAM), dan hak-hak warganegara.

Khusus mengenai “undang-undang dalam arti formil” yang tidak memuat materi
peraturan seperti pengesahan perjanjian dan juga penetapan anggaran pendapatan dan belanja
negara, haruslah diakui bahwa karena sifatnya itu, maka tidak diperlukan lagi adanya pengaturan
lebih lanjut, baik dengan Peraturan Pemerintah maupun dengan Keputusan Presiden, sedangkan
Materi muatan Perpu adalah sama dengan undang-undang.
Maksudnya bahwa apa yang dapat diatur dalam suatu Undang-Undang, juga dapat diatur
dalam suatu Perpu yang dibuat oleh Presiden dalam keadaan yang memaksa, karena untuk
membuat suatu UU terlalu lama padahal masalah yang harus diatasi sangat genting dan
mendesak
(vide Pasal 22 UUD Negara RI Tahun 1945).
Berdasarkan ajaran A. Hamid SA tentang “materi muatan” maupun berdasarkan ketentuan
Pasal 10 UU No. 12 Tahun 2011, maka masalah pengendalian pengkomsumsi rokok, karena
menyangkut hak-hak asasi manusia untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang sehat, dan untuk berkreasi dan berekspresi, hak dan
kewajiban warga negara, keuangan negara, dan untuk mendapatkan perlindungan terhadap hakhak asasi manusia tersebut, maka pengendalian terhadap penguna rokok, merupakan salah satu
materi muatan undang-undang ini.
Selanjutnya, mengenai ruang lingkup Materi Muatan, pada dasarnya mencakup:
1. Ketentuan Umum
Dalam ketentuan umum ini, memuat rumusan akademik mengenai
pengertian istilah, dan trasa, yaitu;
1. Istilah, adalah kata atau frasa yang dipakai sebagai nama/lambang, yang
mengungkapkan makna, konsep, proses, keadaan, atau sitat yang khas dalam bidang
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
2. Frasa, adalah satuan linguistik yang lebih besar dari kata, dan lebih kecil dari klausa, dan
kalimat. Frasa berarti juga kumpulan kata non predikat.

2. Materi Muatan Yang Akan Diatur;
Sebagaimana diuraikan di atas, maka materi muatan atau substansi
yang berkaitan dengan RUU tentang Larangan merokok, harus diatur sejak dari hulu sampai
dengan hilir, atau sejak dari produksi rokok sampai dengan penggunaannya (konsumsi),
termasuk ekspor dan impornya. Adapun materi muatan Rancangan Undang-Undang Larangan
Merokok, meliputi, antara lain:
1. a.

Larangan minuman beralkhol;

Norma yang dapat dibuat :
1. pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang larangan merokok;

1. sosialisasi dan penyadaran larangan peredaran rokok kepada masyarakat dan Pelaku
Usaha; dan
2. pembinaan kepada masyarakat dan Pelaku Usaha terhadap larangan merokok
3. b. Ruang lingkup;
Norma yang dapat dibuat :
1. Larangan merokok berlaku secara nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. memproduksi rokok dari jenis apapun
3. menjual dan membeli rokok baik langsung ataupun tidak langsung
4. mengedarkan rokok baik secara langsung maupun tidak langsung
5. meminum minuman alkohol atau yang mengandung alkohol
6. menyimpan rokok baik secara sengaja ataupun tidak sengaja.
1. c.

Pengawasan;

Norma yang dapat dibuat :
1.
2.
3.
4.

Produksi rokok
Perdagangan rokok
Pengedaran rokok
Penyimpanan rokok

1. d.

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan;

Norma yang dapat dibuat :
1. melakukan penyelidikan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang adanya
pelanggaran merokok;
2. memeriksa orang atau korporasi yang diduga melakukan pelanggaran terhadap
pelarangan merokok;
3. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi;
4. memeriksa, menggeledah, dan menyita barang bukti tindak pidana dalam pelanggaran
merokok;
5. menangkap dan menahan orang yang diduga melakukan pelanggaran merokok;
6. melakukan penyadapan yang terkait dengan pelanggaran merokok;
7. melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah
pengawasan;
8. memusnahkan rokok;
9. mengambil sidik jari dan memotret tersangka;
10. melakukan pemindaian terhadap orang, barang, binatang, dan tanaman;
11. membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan
lainnya yang diduga mempunyai hubungan dengan rokok
12. melakukan penyegelan terhadap rokok yang disita;
13. melakukan uji laboratorium terhadap sampel dan barang bukti rokok;

14. meminta bantuan tenaga ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tugas
penyidikan pelanggaran larangan merokok;
15. menghentikan penyidikan apabila tidak cukup bukti adanya dugaan pelanggaran
merokok;
16. mengajukan langsung berkas perkara, tersangka, dan barang bukti yang disita kepada
jaksa penuntut umum;
e. Peran serta masyarakat
Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah:
1) Setiap warga atau kelompok masyarakat, pimpinan institusi, lembaga swadaya masyarakat
(LSM), organisasi kemasyarakatan dapat berperan serta secara aktif untuk memberikan
masukan sekaligus pengawasan terhadap jalannya pengendalian rokok;
2) Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan, dapat melakukan gugatan
publik, atau gugatan perwakilan kelompok (class action), hak gugat LSM (legal standing), dan
gugatan oleh warga negara (citizen law suit), terhadap pelanggaran terhadap UU ini;
3) Masyarakat, termasuk organisasi sosial kemasyarakatan dapat melakukan laporan dan
pengaduan atas pelanggaran Undang-Undang ini.
4) Masyarakat, termasuk organisasi sosial
atas pelanggaran Undang-Undang ini.

kemasyarakatan

dapat memberikan informasi

f. Penegakkan Hukum dan Ketentuan Sanksi;
Norma-norma yang dapat dibuat antara lain adalah:
a. Sanksi pidana dikenakan kepada setiap orang yang melanggar
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
g. Ketentuan Peralihan
1. Ketentuan Peralihan adalah salah satu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan
yang rumusannya dapat didefinisikan “ketika diperlukan atau jika diperlukan”. Definisi
ini berarti bahwa tidak semua peraturan perundang-undangan memiliki Ketentuan
Peralihan (Transitional Provision). Substansinya bahwa Ketentuan Peralihan diperlukan
untuk mencegah kondisi kekosongan hukum akibat perubahan ketentuan dalam
perundang-undangan.
1. Khusus untuk pembentukan Undang-Undang tentang larangan merokok ini, tidak
diperlukan adanya Ketentuan Peralihan, karena memang semenjak Republik Indonesia
dibentuk pada tahun 1945, belum diterbitkan suatu Undang-Undang yang khusus
mengatur tentang Larangan merokok. Namun pengusul juga membuka diri, kalau
memang nanti dialam pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Larangan
Merokok ini diperlukan adanya Ketentuan Peralihan, dengan alasan sebelumnya ada
Keppres dan beberapa Perda yang mengatur tentang merokok.

BAB VI
PENUTUP
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang , Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, di Bab Penutup ini, diuraikan juga tentang Sub Bab mengenai
Kimpulan dan Sub Bab Saran.
A. KESIMPULAN
1. Merokok pada hakekatnya dapat membahayakan kesehatan jasmani dan rohani, dapat
mendorong terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat, serta mengancam
kehidupan masa depan generasi bangsa, khususnya bangsa Indonesia.
2. Saat ini belum ada peraturan perundang-undangan dalam bentuk Undang-Undang yang
khusus mengatur tentang Larangan Merokok, yang sudah diberlakukan berupa Keppres dan
beberapa Peraturan Daerah, baik di tingkat Propinsi, maupun di tingkat Kabupaten/Kota.
B. SARAN
1. Untuk mencegah terjadinya gangguan dan ketertiban masyarakat, dan meluasnya pemakaian
rokok, dan menyelamatkan generasi bangsa Indonesia, perlu diterbitkan Undang-Undang khusus
yang mengatur tentang Larangan merokok;
2. Untuk melaksanakan amanah Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia 1945
yang intinya, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, maka RUU tentang
Larangan merokok, hendaknya menjadi Prioritas dalam Program Legislasi Nasional tahun 2013,
dan dibahas serta diundangkan dalam Tahun 2013.

Diposkan 16th June 2015 oleh Dhino Rumlus
0

Tambahkan komentar

SELAMAT DATANG BASUDARA
 Klasik








Kartu Lipat
Majalah
Mozaik
Bilah Sisi
Cuplikan
Kronologis

1.

Mar
28

perlakuan yang sama didepan hukum
“perlakuan yang sama didepan hukum”
UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama didepan hukum”

3/28/2016

Udin Rumlus
“perlakuan yang sama didepan hukum”
UUD 1945 pasal 28 D ayat 1 “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepstian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum”

HAM adalah hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang sejak dilahirkan, bersifat universal dan
permanen yang wajib untuk dilindungi, dihargai, dan dihormati oleh siapapun dan tidak bole dikurangi
sedikitpun. Jaminan-jaminan HAM yang sering dilanggar adalah perilaku yang sama didepan hukum.
Perlakuan yang sama didepan hukum secara tegas di sebutkan dalam undang-undang dasar 1945 pasal 28
D ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepstian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. Maksut dari pasal 28 D ayat 1 UUD 1945 adalah
setiap warga negara berhak mendapatkan pengakuan dan perlindungan oleh negara, serta warga negara

berhak mendapatkan perlakuan yang adil dan sama didepan hukum tampa ada perbedaan sekalipun. Namun
melihat problem hukum saat ini terdapat banyak ketidakadilan karna bukan lagi HAM ataupun undangundang yang menjadi pegangan dalam penyelesaian perkara tetapi tergantung kekuasaan dan jabatan orang
tersebut.