Analisis Unsur Intrinsik dan Ekstrinsik (2)

NOVEL
ATHEIS
Analisis Unsur Intrinsik Dan Unsur Ekstrinsik Novel “Atheis”
Karya Achdiat Kartamihardja

Sita Puspitaningtyas
XI Aksel 02
14

Analisis Unsur Intrinsik Dan Unsur Ekstrinsik Novel “Atheis”
Karya Achdiat Kartamihardja
Judul Novel

: Atheis

Pengarang

: Achdiat Karta Mihardja

Penerbit


: PT Balai Pustaka

Tahun terbit : Cet. 11 Tahun 1990
Tebal Halaman: 308 halaman
Sinopsis

:

Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampung di kota
Bandung, Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat
saleh. Sejak kecil hidupnya ditempuh dengan ajaran agama Islam yang kuat. Iman
Islamnya sangat tebal.
Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah
agama. Semua tentang ajaran agama Islam makin menempel terus dalam hatinya.
Sampai – sampai Hasan menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.
Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota
Bandung dengan tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor
pemerintah,sebagai penjual tiket kapal di Kota Praja.
Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya
mengubah jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya

saat bersekolah di Sekolah Rakyat. Suatu hari, Rusli mengajak untuk bertamu ke
rumahnya, hingga pada akhirnya ia bertemu dengan Kartini, yang merupakan
saudara angkat Rusli, dan jatuh hati kepadanya. Hasan jadi sering mampir ke
tempat Rusli, dan mulailah Hasan masuk dalam pergaulan Rusli dan Kartini, yang
merupakan aktivis ideologi marxis.

2

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sederhana di desanya walaupun
berada di tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Terutama
menyangkut keimanan yang selama ini sanggup dipegang teguh olehnya. Ia
semakin sering berkumpul dalam forum-forum diskusi marxis Rusli dan kawankawannya, ia juga semakin akrab dengan mereka, perlahan Hasan meninggalkan
gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis sangat bertentangan dengan
pemahaman keagamaan Hasan. Walaupun pada awalnya Hasan pernah berusaha
keras melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya dengan menyadarkan Rusli
untuk kembali ke jalan yang benar. Ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan
kalah berdebat dan ia pun menyerah. ia terus bergabung dalam lingkunagan
marxis itu dan terus terpengaruh. Suatu saat ketika ia kembali ke rumah orang
tuanya di Desa Panyeredan bersama Anwar (salah seorang rekan marxisnya yang
paling gila), ia berani berterus terang pada orang tuanya tentang pemahaman

keimanan barunya. Hingga pada akhirnya, orang tua Hasan marah besar dan
kemudian mengusirnya.
Sebenarnya Hasan tidak secara utuh mengikuti pemahaman yang diajarkan
Rusli. Keberadaan Kartinilah yang menjadi pendorong baginya untuk terus berada
dalam komunitas marxisme tersebut. Hingga akhirnya Hasan menikahi Kartini
dan pada awal pernikahanya tentu berjalan bahagia. Namun tak lama, Hasan dan
Kartini mulai sering bertengkar, dan pertengkaran ini pun berujungkan
perpisahan. Penyebabnya adalah ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup modern
Kartini. Ternyata masih ada sisa tentang ajaran-ajaran keimanan masalalu
dihatinya. Dan pertentangan pemikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan.
Ditambah penyakit TBC yang menggerogotinya akibat kebiasaannya dahulu yang
kurang memperhatikan kesehatannya karena lebih mementingkan sembahyang.
Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat
buruk pada Kartini. Mengetahui hal itu, emosinya memuncak dan dengan gelap
mata ia mencari Anwar yang padahal saat itu tentara Jepang( Kusyu Heiho )
sedang beroperasi dan kemudian menuduhnya sebagai mata-mata. Hasan pun mati
oleh terjangan peluru tentara Jepang.

3


UNSUR INTRINSIK
1. Tema
Tema mayor novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha
Esa, tentang kehidupan agama seseorang yang setengah-setengah. Seperti dalam
kutipan:
“Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di
dunia ini berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir batin, antara kita
sebagai manusia dengan sesama makhluk kita dengan alam beserta pencintanya.
Dan penyelenggaraan semua perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik –
baiknya, seadil – adilnya, seindah – indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun
sepraktis – praktisnya, dan semanfaat – manfaatnya bagi kehidupan
segenapnya.” (Atheis: 8)
Hal ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan
Tuhannya, manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya.
Sementara yang merupakan tema minor adalah masalah etika dan agama.
Dalam novel ini kita menemukan adanya pertentangan etika dan masalah agama
antar tokoh-tokohnya. Goyahnya kepercayaan yang dialami Hasan karena ucapan
Rusli, ia menjadi lebih merasa sebagai atheis. Kebimbangan si Hasan tampak pada
kutipan berikut:
“Sejak malam Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku seolah-olah terombangambing di antara riang dan bimbang. Riang aku, apabila terkenang-kenang

kepada Kartini yang sejak malam itu makin mengikat hatiku saja. Tapi
bimbanglah aku, apabila aku teringat-ingat kepada segala pemandangan dan
pendirian Rusli, yang sedikit banyaknya memengaruhi juga pikiran dan
pendirianku” (Atheis:114)
Kepercayaannya semakin goyah semenjak ia mulai kenal dengan Kartini,
wanita yang membuatnya jatuh hati. Hasan yang tadinya membatasi pergaulan
dengan perempuan, merasa kaget dengan kenyataan hidup bebas yang
diperlihatkan Kartini yang kemudian dinikahinya dengan harapan bisa
mengembalikannya ke jalan yang benar. Harapan ini malah membuahkan hal yang
sebaliknya, ia sendiri tenggelam dalam ketidakbenaran.

4

2. Alur
Pada novel Atheis, Alur ceritanya adalah sebagai berikut :
a) Penyelesaian (Bagian I)
Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar kematian Hasan. Bagian
ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari bagian XIV dan XV.
Maksudnya adalah ketika Hasan meninggalkan rumah dan mencari Anwar,
kemudian Hasan malah ditembak mati oleh tentara Jepang.

“Hasan telah meninggal dunia. Di mana ia dikubur? Entahlah. Kapan
tewasnya? Entahlah. Selaku orang sakit oleh seorang juru rawat,
demikianlah Kartini ditopang dan dibimbing oleh Rusli. Saya mengintil di
sampingnya” (Atheis: 9)
b) Peleraian (Bagian II)
Bagian II merupakan kisah pertemuan antara pengarang dengan Hasan.
Pada bagian ini “aku” sebagai tokoh pengarang bukan Hasan.
“Baru satu bulan saya berkenalan dengan Hasan. Pada suatu malam
datang lagi ia ke rumahku” (Atheis: 12).
Bagian II juga bercerita tentang naskah Hasan
“Semalam-malaman itu saya baca naskah Hasan itu sampai tamat.
Rupanya itu sebuah Dichtung und Wahrheit dengan mengambil sebagai
pokok lakom dan pengalaman Hasan sendiri. Jadi semacam
“autobiographical novel. Inilah naskahnya” (Atheis: 14)
c) Perkenalan (Bagian III)
Bagian ini merupakan isi naskah dari Hasan dimana pengarang mulai
memperkenalkan siapa dan dari mana tokoh utama Hasan dengan tokoh
“Aku” sebagai Hasan.
“Di salah sebuah rumah setengah batu itulah tinggal orang tuaku, Raden
Wiradikarta” (Atheis: 15)

Untuk menemani Hasan, orang tuanya mengambil Fatimah menjadi anak
pungut.

5

d) Konflik 1 (Bagian IV-V)
Hasan berjumpa dengan sahabat lamanya, Rusli dan Kartini, yang
menurutnya mereka telah melenceng dari agama (atheis). Hasan bertekad
untuk menyadarkan kedua orang itu, perdebatan pun tidak terhindarkan.
“Keluarlah kata-kata dari mulutku sebagai pembukaan untuk memukul
Rusli dengan agama.” (Atheis: 83)
e) Konflik 2 (Bagian VI-V)
Tekad Hasan gagal. Hasan tak mampu berbuat banyak. Pendapat Rusli
mampu mempengaruhi Hasan. Pikiran dan hati Hasan

juga terus

mengarah pada Kartini. Makin hari makin bertambah teman Rusli yang
dikenal Hasan antara lain Anwar yang juga atheis.
“Kalau menurut saya” sambung Anwar, “Tuhan itu adalah aku sendiri”

(Atheis: 138)
Hasan tidak menyukai sikap Anwar saat mereka bertemu.
f) Konflik 3 (Bagian VI-VIII)
Hasan ahirnya benar-benar terjerumus pada pergaulan atheis. Ia mulai
tertarik pada omongan Rusli tentang ajaran marxisme.
“Dan apa salahnya, kalau mereka sudah pernah mengemukakan
pendapat, bahwa Tuhan itu madat, kenapa sekarang aku harus hiraukan
benar, kalau mereka berpendapat, bahwa Tuhan itu teknik.”(Atheis: 153)
Hasan tidak mampu lagi membendung cintanya kepada Kartini. Hasan
sudah meninggalkan solat, tidak berpuasa, bahkan tidak segan-segan
mengusir peminta-minta.
“ Sembayang hanya kadang-kadang saja lagi kulakukan, yaitu apabila aku
merasa berat tertimpa oleh tekanan kesedihan yang tak terpikul lagi oleh

6

batinku. Puasa sama sekalu sudah kupandang sebagai perbuatan yang
sesat.” (Atheis: 168)
g) Konflik 4 (Bagian IX-XI)
Hasan pulang kampung dan berdebat dengan ayahnya.

“Betapa tidak bijaksananya aku bercekcokan dengan ayah tadi malam.
Sesungguhnya serasa remuk jiwaku kini” (Atheis: 206)
Ayahnya mengetahui bahwa anaknya tidak patuh lagi terhadap orang tua
dan ajaran agama, lalu mengambil keputusan untuk memutuskan
hubungan dengan putranya.
Pada bagian XI diceritakan Hasan yang telah menikahi Kartini.
“Kami kawin dengan sangat sederhana” (Atheis: 216)
h) Konflik 5 (Bagian XII)
Kartini menemukan surat-surat yang membuatnya tidak percaya terhadap
Hasan. Rumah tangga Hasan penuh dengan pertengkaran.
“Surat itulah pangkal perselisihan dan percekcokan yang terus menerus
antara kami. Pangkal mula neraka yang sekarang sedang membakar
aku.” (Atheis: 220)
i) Klimaks (Bagian XII-XIII)
Hasan bertengkar hebat dengan Kartini hingga Kartini dipukuli olehnya.
“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam
seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya.
Tar!Tar! Kutempeleng Kartini” (Atheis: 228)
j) Penyelesaian (Bagian XIV, XV, dan I)
Mengetahui ayahnya meninggal, Hasan mulai sadar untuk kembali ke

jalan yang benar.

7

“Bagaimana hendak kutebus dosaku? Bagaimana hendak kubuktikan
kesalahan hatiku terhadap segala perbuatanku terhadap ayahku itu?
Bagaimana…?” (Atheis: 292)
Pada bagian ini juga diceritakan Kartini yang pergi meninggalkan rumah
tanpa sepengetahuan Hasan.
“Sore itu, setelah berkelahi dengan Hasan, Kartini dengan bersedih hati
lalu meninggalkan rumahnya. Hasan lagi ke belakang, ketika Kartini
menyelinap diam-diam meninggalkan rumahnya” (Atheis: 262)
Saat itu, tanpa sengaja, ia mengetahui bahwa Kartini pernah ke
penginapan bersama Anwar. Hasan pun mencari Anwar dan ingin
melabraknya. Tanpa memperdulikan tanda bahaya tentara Jepang, ia pun
tertembak karena disangka mata-mata.Akhirnya, ia jatuh tersungkur
berlumuran darah, pahanya sebelah kiri tertembus peluru.
“Ia bergegas terus. Dalam gelap gulita. Tiba-tiba.. Tar!Tar!Tar! Hasan
jatuh tersungkur. Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah
kiri” (Atheis: 308)

Penyelesaian kemudian dipotong dan diletakkan pada bagian I.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Atheis beralur mundur
atau flash back. Pada dasarnya bab pertama adalah bab penutup sebagai
penyambung dari bab terakhir. Kematian hasan dan penyesalan kartini adalah
kesimpulan cerita secara keseluruhan.

8

3. Latar
Latar meliputi latar tempat, waktu, dan suasana.
a) Latar tempat
Begitu banyak latar tempat terjadinya peristiwa yang digambarkan dalam
novel ini. Seperti Kampung Panyeredan, Kota Garut, Bandung, Rumah
Bibi Hasan, Rumah Rusli, Bioskop, Kantor Kotapraja, Kuburan
Garawangsa, dan penginapan. Berikut kutipan untuk memperjelas:
i.

Kampung Panyeredan
Pengarang menggambarkan kehidupan yang sederhana dan dihuni
oleh orang-orang yang sederhana pula.
“... yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawayang
nyaman dan sejuk. Kampung Panyeredan namanya. Kampung ini
terdiri dari kurang dua ratus rumah besar kecil” (Atheis: 14)

ii.

Kota Garut
Kota Garut merupakan tempat dimana orang tua Hasan tinggal.
“Di lereng gunung Telaga Boda di tengah-tengah pergunungan
Priangan yang indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik
hijau pohon-pohon jeruk Garut... ” (Atheis: 14)

iii.

Kota Bandung
Bukti bahwa latar tempat peristiwa berada di Kota Bandung adalah:
“Seperti kebanyakan rumah di kota dingin seperti Bandung, serambi
muka ditutup dengan kaca” (Atheis: 42)

b) Latar waktu
Latar waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940an ketika Belanda dan Jepang
menduduki Indonesia. Sampai massa menjelang proklamasi. Hal ini
dibuktikan dari tanggal pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12
Februari 1941.
“Kuhitung dengan jari: Februari, Maret … tiga tahun setengah kira-kira
sejak 12 Februari 1941. Sejak aku kawin dengan Kartini. Banyak sekali
kejadian dalam tempo kurang lebih 40 bulan itu” (Atheis: 217)
Selain itu, saat Hasan dibunuh oleh tentara Jepang karena dianggap matamata membuktikan tahun 1940an dimana Jepang menduduki Indonesia.

9

Selain itu juga terdapat latar waktu lainnya :
i.

Sore hari
Sore hari saat Hasan pergi ke rumah Rusli.
“ Agak panas sore ini” kata Rusli. “ (Atheis: 49)
Hasan berada di stasiun, ia hendak pulang ke rumahnya di Tegallega.
“Matahari sedang mengundurkan diri, pelan dan hati-hati seperti
pencuri yang hendak menghilang ke dalam gelap”(Atheis: 277).

ii.

Malam Hari
Saat Hasan ke rumah “Aku” (Pengarang)
“Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku. Seperti biasanya
pada malam hari, ia memakai mantel gabardin hijau tua yang
tertutup lehernya” (Atheis: 12)
Saat Anwar menginap di rumah Hasan.
“Malam itu, setelah kenyang makan, Anwar lantas bermohon diri
hendak mencari bantalnya” (Atheis: 182).

c) Latar Suasana
i.

Menyedihkan
Kartini menangis karena menyesal dan sedih atas kepergian Hasan.
“ Bercucuran air matanya. Ia seakan-akan berpijak di atas dunia
yang tidak dikenalnya lagi. Hampa, kosong, serba kabur seperti di
dalam mimpi” (Atheis: 9)
Hasan menyesal karena telah membuat ayahnya semakin kecewa
karena faham barunya.
“... bahwa selama itu ia telah membikin ayahnya menderita berat,
berhubung dengan perselisihan faham yang mengenai kepercayaan
agamanya itu” (Atheis: 287)

ii.

Menegangkan
Saat pasukan Jepang menyatakan keadaan bahaya, seluruh penduduk
menjadi takut dan khawatir.

10

“Seorang keibodan berteriak-teriak sambil lari ke sana ke mari
dengan corong pengeras suara. Rrrrtt, lampu-lampu semuanya
padam. Orang-orang berlarian mencari perlindungan” (Atheis: 307)
iii.

Menakutkan
Saat Hasan dan Anwar berjalan menyusuri kuburan Garawangsa,
mereka berbincang mengenai ketahyulan pada malam jumat atau
malam selasa.
“Malam jumat? Sekarang malam apa?” (Atheis: 194).

iv.

Mengharukan
Saat Hasan berpisah dengan Rukmini karena tidak direstui orang
tuanya.
“Lambat laun kami itu diikat oleh tali cinta. Tapi alangkah
malangnya bagi kami, karena orang tuanya sama sekali tidak setuju
dengan percintaan kami itu” (Atheis: 61)

v.

Romantis
Saat Hasan dan Kartini jatuh cinta.
“Aku sangat gugup. Dan ketenangan yang terbaca pada muka Rusli
malah membikin aku tambah gugup saja. Kulihat Kartini, ia
memandang dengan lembut kepadaku” (Atheis: 129)

4. Penokohan
a) Tokoh Protagonis
Yang merupakan tokoh protagonis adalah sebagai berikut:
i. Hasan (Tokoh utama laki-laki)
i.1 Sederhana, lugu
“Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa saja,
sederhana.” (Atheis: 12).
Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.

11

i.2 Kurang teguh pendirian
“Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu
terombang – ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Kesan ia
bukan seorang pencari yang baik.” ( Atheis: 12 )
Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.
1.3 Cara berpikir belum matang dan dewasa, imannya belum mantap
“Keras aku mengucapkan nama Tuhan itu pada tiap kali aku berubah
sikap. Keras-keras, supaya bisa mengatasi suara hati dan pikiran.
Keras-keras pula nama Tuhan itu kuucapkan dalam hati. Tapi tak lama
kemudian melantur-lantur lagi pikiran itu. Sekarang malah makin
simpang siur, makin kacau rasanya” (Atheis: 97)
Watak tokoh digambarkan dengan perilaku tokoh. Tampak Hasan yang
berpikiran bahwa dengan mengucapkan nama Tuhan dengan keras
keras maka ia akan dapat mengatasi kekacauan pikirannya.
1.4 Fanatik terhadap agama
“ … berpuasa tujuh hari tujuh malam. Hasan kemudian menyelesaikan
ritualnya mandi di kali Cikapundang selama 40 kali, satu malam dan
sembahyang Isya sampai shubuh.” (Atheis: 33)
Watak tokoh digambarkan melalui perilaku tokoh yang mengikuti
aliran agama diluar ajaran secara wajar.
b) Tokoh Antagonis
Yang merupakan tokoh antagonis adalah sebagai berikut:
i. Kartini (Tokoh utama wanita)
i.1 Wanita yang modern dan bebas
“...kalau ia yang sudah mengicip-icip pelajaran dan didikan modern
sedikit,dikit, kemuda setelah ia lepas dari penjara timur kolot itu
segera menempuh cara hidup yang kebarat-baratan” (Atheis: 46)
Watak tokoh digambarkan secara langsung oleh pengarang.

12

i.2 Wanita yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/
burjuis, ia seorang Atheis.
“…Ia seolah-olah seorang wanita yang sudah pecat imannya.
Memang, ia pun sudah pecat imannya, tapi dari etika feodal dan etika
borjuis. Itu benar! Bukan begitu bung?” (Atheis: 47)
Watak tokoh digambarkan melalui dialog dari tokoh lain, yaitu melalui
percakapan antara Rusli dan Hasan.
ii. Anwar
ii.1 Cakap dan ramah
“Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti kulit orang
Cina dan matanya pun agak sipit.” (Atheis: 133)
Watak

tokoh

digambarkan

langsung

oleh

pengarang

dengan

memperhatikan penampilannya.
ii.2 Periang
“Sambil tertawa ia berjabatan dengan kami” (Atheis: 133)
Watak tokoh digambarkan melalui tindakan tokoh.
ii.3 Seorang yang kasar
“Satu kali aku pernah menempeleng seorang bujanganku” (Atheis:135)
Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu dengan tokoh lain.
ii.4 Seorang yang tidak percaya adanya Tuhan
“Kalau menurut saya, Tuhan itu adalah aku sendiri” (Atheis:138)
Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu sendiri.
iii. Rusli
iii.1 Nakal, bandel, dan bebas
“Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama, yaitu kalau
Rusli berbuat nakal, dan apabila aku sembahyang.” ( Atheis: 38 )
Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.

13

iii.2 Seseorang yang dapat menghargai orang lain dan sopan
“Tentu saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu.
Itu saya dapat mengerti dan hargai, dan memang...” ( Atheis: 99 )
iii.3 Pandai mempengaruhi orang lain dan seorang atheis
“Ah. Mengapa saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak
ada saudara!” (Atheis: 86)
Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu sendiri dengan
Hasan.
c) Tokoh Tambahan
i.

Raden Wiradikarta

: sangat saleh dan alim, tegas (Atheis: 15)

ii.

Ibu Hasan

: solehah dan alim, penyayang (Atheis: 20)

iii.

Haji Dahlan

: penasehat yang baik (Atheis: 17)

iv.

Kiyai Mahmud

: guru tarekat yang baik, bijak (Atheis: 19)

v.

Fatimah

: baik, rajin, penurut, pemalu (Atheis:178)

vi.

Bibi Hasan

: baik, rajin beribadat, sabar (Atheis: 59)

vii.

Mimi

: baik, jujur, selalu ingin tahu (Atheis:127)

viii.

Ibu Kartini

: serakah (Atheis: 47)

ix.

Pak Artasan

: penakut, percaya hal mistik (Atheis:189)

x.

Bung Parta

: pandai, percaya diri (Atheis: 149)

5. Sudut Pandang
a) Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan
Dalam novel ini pengarang menempatkan dirinya sebagai pencerita,
dimana di beberapa bagian dalam novel ( Bagian I, II, dan bab XIII ),
pengarang ikut masuk di dalam cerita tersebut. Tokoh “Aku” merupakan
pengarang yang mengamati tokoh utama (Hasan). Hal ini berarti
pengarang

menggunakan

sudut

pandang

orang

pertama

pelaku

sampingan.
“Persis pukul tiga malam, saya tamat membaca naskah Hasan itu. Entah
karena sudah lewat waktunya, entah karena ….”(Atheis, 240)

14

b) Sudut pandang orang pertama pelaku utama
Sementara pada bagian III-XII, tokoh “Aku” bukan lagi sebagai
pengarang, melainkan sebagai tokoh “Hasan”. Hal ini berdasarkan naskah
yang ditulis oleh Hasan sendiri, yang kemudian menjadi bagian dari cerita
didalam novel tersebut.
“Rupanya ceritanya itu sebuah Dichtung und Wahrheit dengan
mengambil sebagai pokok lakon dan pengalaman Hasan sendiri. Jadi
semacam autobiographical novel. Inilah naskahnya” (Atheis: 14)
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bagian III-XII novel Atheis
menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku utama. Berikut contoh
kutipan saat Hasan bertengkar hebat dengan Kartini:
“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam
seperti seekor harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya.
Tar!Tar! Kutempeleng Kartini” (Atheis: 228)
c) Sudut pandang orang ketiga
Pada bagian XIV-XV menggunakan sudut pandang yang berbeda.
Pengarang sengaja menjelaskannya pada bagian XIII:
“Kedua: stijl ‘aku’ yang dipakai dalam naskah itu akan saya ubah
menjadi stijl ‘dia’saja” (Atheis: 261)
Hal ini menjelaskan bahwa tokoh “aku” (pengarang) akan membuat suatu
naskah mengenai Hasan, namun ia tidak mengambil peran dalam naskah
itu. Berikut salah satu kutipan naskahnya:
“Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya, harus
menyatakan sesalnya, apabila orang terhadap siapa ia berbuat dosa itu
sudah tidak lagi, sudah meninggal dunia?” (Atheis: 7)
Berdasarkan

hal

tersebut,

dapat

disimpulkan

bahwa

pengarang

menggunakan sudut pandang orang ketiga pad bagian XIV - XV.

15

6. Amanat
Pesan-pesan yang dapat dijumpai dalam novel Atheis:
a) Kita harus mempercayai dengan sepenuh hati dan memegang teguh
pedoman hidup kita yakni sebuah agama dan juga harus percaya akan
adanya Tuhan.
b) Kita harus memiliki wawasan yang cukup luas serta berpegang teguh
pada prinsip yang kita miliki.
c) Jangan suka meniru atau menerima suatu hal baru dengan mentahmentah tanpa menyaring atau mempelajari sebelumnya.
d) Turutilah nasihat orang tua. Walaupun pendapat orang tua berbeda,
namun kita harus selalu mentaati kehendak orang tua selama keinginan
mereka itu baik. Karena sesungguhnya, tidak ada orang tua yang
menginginkan anaknya berada di jalan yang salah.
e) Kita tidak boleh terlalu mencintai dunia dan hanya mencari kebahagian
di dunia. Karena sesungguhnya orientasi manusia adalah di akhirat.
f) Jangan terlalu mudah tersulut emosi. Emosi hanya akan menambah
permasalahan.
7. Gaya Bahasa
A. Majas
a) Majas Personifikasi
Pengarang menggunakan majas personifikasi seperti :
i. “Matahari sedang mengundurkan diri pelan – pelan dan hati – hati
seperti pencuri yang hendak meninggalkan kamar untuk hilang dalam
gelap.” (Atheis: 277)
ii.“Kalau dulu aku hidup di dalam ketenangan hati seperti air di danau,
maka air itu seakan – akan sudah mendesah – desah penuh dinamik
seperti air di sungai gunung.” (Atheis: 167)

b) Majas Perumpamaan

16

i. “Suaranya menggores tajam dalam hatiku seperti suara paku diatas
batu tulis.” (Atheis: 9)
ii. “Aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor harimau yang sudah
lapar mau menyergap mangsanya.” (Atheis: 228)
iii. “Rupanya perkataan Ayah laksana jari yang melepaskan cangkolan
gramopon yang baru diputar. “ (Atheis: 16)
c) Majas Hiperbola
i. Semuanya kelihatannya sangat lesu. Serupa onggokan- onggokan
daging juga yang tak berdaya apa-apa pula.” (Atheis: 6)
B. Bahasa Asing
Pengarang juga menyisipkan bahasa Belanda, seperti :
a) “In de nood leerf men bidden” (Kesusahan hidup mendorong kita
sembahyang). (Atheis: 21)
b) “Ik ben een god in het diepst van mijn gedach ten” (Dalam pikiranku
yang sedalam – dalamnya akulah Tuhan). (Atheis: 138)
c) “Dat is het echte leven” ( itulah hidup yang sebenar – benarnya ).
(Atheis: 299)

17

UNSUR EKSTRINSIK
Nilai nilai yang terkandung dalam novel atheis:
1. Nilai Sosial
“Terbayang-bayang olehku, bahwa persahabatan semacam itu tentu tidak
lepas dari perbuatan-perbuatan yang keji, yang haram, yang kotor.
Dalam keadaan demikian aku ingin sekali melepaskan diri dari
cengkeraman pergaulan kedua orang itu. Akan tetapi ternyatalah, bahwa
tali asmara tidak bisa dihilangkan begitu saja.” (Atheis: 146)
Setiap orang perlu adanya pergaulan. Namun dalam pergauan perlu adanya
penyaringan antara pergaulan yang baik maupun buruk. Pergaulan yang
salah hanya akan membuat seseorang tersesat pada jalan yang salah
bahkan sampai mengingkari ajaran agama.
2. Nilai Religius
“...tetapi kepada siapakah ia harus meminta maaf, menyatakan sesalnya
apabila orang terhadap siapa dia berbuat dosa itu sudah tidak ada lagi,
sudah meninggal dunia? Kepada Tuhan? Karena tuhan adalah sumber
segala cinta...” (Atheis: 7)
Manusia hanya mempunyai satu tempat untuk mengadu. Satu tempat
untuk mencurahkan rasa penyesalan terhadap perbuatan yang telah
dilakukan, yaitu hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai
dalam kutipan:
3. Nilai Pendidikan
“...beribadat tanpa bimbingan guru adalah seperti seorang penduduk
desa dilepaskan di tengah-tengah keramaian kota Jakarta atau singapur.
Ia akan tersesat. Tak ubahnya dengan sopir yang tahu jalankan mobil,
tetapi tidak tahu jaln mana yang harus ditempuh” (Atheis: 16)
Pendidikan memang dapat diperoleh darimana saja. Namun pendidikan
tidak akan ada artinya jika tidak memiliki panutan, yaitu seorang guru.
Guru sebagai seorang yang lebih berpengalaman sangat dibutuhkan untuk
dapat membentuk karakter seseorang agar tidak lekas puas dengan ilmu

18

yang diperoleh. Karena pendidikan yang tidak berkarakter sama sekali
tidak membangun bagi individu.
4. Nilai Moral
“Apa artinya bungkus kalau tidak ada isinya. Betul tidak kak? Yang kita
perlukan terutama isinya, bukan? Tapi biarpun begitu isi pun tidak akan
sempurna kalau tidak terbungkus...” (Atheis: 17)
Kita tidak bisa menilai orang dari luarnya, tetapi yang lebih penting adalah
kepribadiannya. Tidak jarang manusia menilai orang atau sesuatu dari
kulit luarnya. Namun, sesuatu akan lebih baik, jika penampilan luar dan
dalam sama baiknya.
5. Nilai Budaya
“...teman-teman kantorku bercerita tentang apa yang dinamakan mereka
‘cinta merdeka’ yang katanya banyk dilakukan oleh orang-orang barat,
artinya adlah laki-laki dan perempuan bisa hidup bersama seperti suami
istri, tetapi tidak kawin.”(Atheis: 74)
Ada perbedaan nilai budaya dalam masyarakat Indonesia dengan
masyarakat barat. Masyarakat barat menganggap hal yang biasa jika
seorang wanita tinggal bersama seorang lelaki tanpa ikatan perkawinan.
Namun masyarakat Indonesia menganggap hal tersebut sebagi perbuatan
yang tercela. Melanggar tatanan budaya timur yang dinanut Indonesia
sejak lama.

19

20

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

FREKWENSI PESAN PEMELIHARAAN KESEHATAN DALAM IKLAN LAYANAN MASYARAKAT Analisis Isi pada Empat Versi ILM Televisi Tanggap Flu Burung Milik Komnas FBPI

10 189 3

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

Pencerahan dan Pemberdayaan (Enlightening & Empowering)

0 64 2

KEABSAHAN STATUS PERNIKAHAN SUAMI ATAU ISTRI YANG MURTAD (Studi Komparatif Ulama Klasik dan Kontemporer)

5 102 24

Analisis Penyerapan Tenaga Kerja Pada Industri Kerajinan Tangan Di Desa Tutul Kecamatan Balung Kabupaten Jember.

7 76 65