Perjuangan Feminisme Islam Melawan Ketim

PERJUANGAN FEMINISME ISLAM (ISLAMIC FEMINISM) MELAWAN
KETIMPANGAN GENDER DI INDIA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Islam dan Dunia Internasional

Nama Kelompok
Lutfi Makrifatul Jannah

201310360311238

Ayu Tri Winarni

201310360311220

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
2015

Lutfi Makrifatul Jannah (238) & Ayu Tri Winarni (220)

Ilmu Hubungan Internasional Fak. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Abstract
Gender is one of the social problems that are specifically fighting for the
supremacy of women in everyday life, especially in the areas of socio-political to
the fullest. Classical Islamic thought that is often criticized, with the argument that
the classical Islamic discourse is based on the arguments and assumptions that are
discriminatory, and in turn give birth, standardize and preserve the unequal gender
relations between men and women. Women were seen as being imperfect, weak
intellectual ability, emotional, not rational. In turn, all of the above trying to be
analyzed back, because the real Qur'an teaches that Islam came to give comfort,
peace of life (rahmatan lil 'alamin). Islam is essentially a religion that is very
friendly to women, for Feminism Islam (Islamic Feminism) gender issue as a
social problem of unequal needs and requires completion.
Abstrak
Gender merupakan salah satu permasalahan sosial yang secara khusus berjuang
untuk supremasi perempuan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam bidang
sosial politik secara maksimal. Pemikiran Islam klasik yang sering mendapatkan
kritikan, dengan argumen bahwa wacana Islam klasik didasarkan pada dalil-dalil
dan asumsi yang diskriminatif, dan pada gilirannya melahirkan, standarisasi dan

melestarikan relasi gender yang tidak setara antara laki-laki dan perempuan.
Perempuan dipandang sebagai makhluk yang tidak sempurna, kemampuan
intelektual yang lemah, emosional, tidak rasional. Pada gilirannya, semua hal di
atas berusaha untuk dianalisis kembali, karena sesungguhnya Al-Qur'an
mengajarkan bahwa Islam datang untuk memberikan kenyamanan, ketenangan
hidup (rahmatan lil 'alamin). Islam pada dasarnya merupakan agama yang sangat
ramah terhadap perempuan, bagi Feminisme Islam (Islamic Feminism)
permasalahan gender sebagai problematika sosial yang timpang perlu dan
membutuhkan adanya penyelesaian.
Keywords: Keadilan dan Kesetaraan Gender, Feminisme Islam

PENDAHULUAN
India merupakan salah satu negara dengan jumlah populasi terbesar di
dunia. Pada abad ke-21 ini, India telah muncul sebagai kekuatan ekonomi Asia
baru, tidak hanya dibidang ekonomi melainkan dibidang militer dan perpolitikan
internasional yang pengaruhnya semakin menguat. Semakin suksesnya di India
diberbagai bidang tersebut tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran masyarakat
didalamnya, kemudian yang menjadi pertanyaan ialah sejauh mana peran aktif
perempuan dalam perkembangan India sebagai negara yang sedang berkembang
dan pertumbuhan ekonomi yang pesat? Karena sejauh ini, ternyata India menjadi

salah satu negara dengan tingkat presentase ketimpangan gender yang cukup
tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan masih berlakunya sistem kasta dan ajaran
Catur Warna dalam Hindu. Adanya hak-hak istimewa yang diperoleh dalam
pergaulan adat dan masih dianggapnya status yang dipandang lebih tinggi atau
lebih rendah berdasarkan keturunan menjadi bukti lain adanya ketidakadilan
gender di India.
Ketidakadilan gender yang terjadi di India lebih kerap dialami oleh kaum
perempuan. Dikutip dari “PM India: Aborsi Bayi Perempuan Mempermalukan
Bangsa” (2011), perempuan yang menikah di India menghadapi tekanan besar
untuk menghasilkan ahli waris laki-laki, yang dilihat sebagai pencari nafkah
sedangkan anak perempuan hanya dipandang sebagai beban bagi keluarga karena
akan membutuhkan mas kawin yang besar kelak ketika menikah. Akibatnya rasio
anak jenis kelamin turun secara drastis padahal nilai-nilai sosial akan tercermin
dari hal tersebut. Adanya tindakan diskriminasi dan kesenjangan hak wanita di
India yang berakar dari tradisi dan budaya membuat masyarakat mengagungkan
kaum laki-laki dan menomor duakan perempuan. Munculnya gerakan feminisme
di India kemudian menjadi salah satu bentuk protes dan emansipasi perempuan
yang terkucilkan. Gerakan feminisme ini mengklaim telah menjadi pelopor untuk
kesetaraan dan keadilan bagi kaum perempuan, ranah utama yang menjadi
tuntutannya ialah seputar hak untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan,

perlakuan yang setara.

Jauh sebelum feminisme lahir, islam telah meluruskan pandangan
ideologi jahiliyah, perbudakan yang berakibat penghancuran moral serta
pelecehan yang berujung pada krisis kepribadian. Laki-laki dan perempuan berada
di muka bumi ini mempunyai tugasnya masing-masing. Tugas itu bisa berupa
tugas alami atau kodrati dan tugas yang melekat padanya karena bangunan atau
konstruksi sosial, adat, agama dan masyarakat di mana mereka huni. Feminisme
Islam kemudian muncul sebagai gerakan yang membawa representasi hubungan
antara agama dan gender. Salah satu gerakan feminisme islam di India adalah
Muslim Women’s Right Network (MWRN) dan Bharatiya Muslim Mahila
Andolan (BMMA) yang berupaya mendukung dan memperjuangkan hak-hak
perempuan Muslim.
Ketimpangan Gender di India
Backman (2008) mengatakan bahwa India merupakan salah satu negara di
Asia yang mengalami ketimpangan gender paling serius saat ini, selain itu India
juga merupakan negara yang masih sangat kental unsur-unsur kebudayaannya
seperti dalam sistem sosial yiatu kasta. Dalam sistem tersebut (kasta), tergambar
adanya tingkatan dan batasan-batasan di dalam kehidupan sosial dan politik.
Terkait kondisi seperti itu, kaum perempuan sangat sulit berpartisipasi baik

dibidang sosial, ekonomi maupun politik. Hal tersebut menjadi sebab terjadinya
diskriminasi terhadap kaum perempuan di India. Pendahuluan Perjuangan
kesetaraan gender sedang menjadi isu global yang sangat menarik perhatian dunia.
Pada tahun 1957 diadakan sidang umum PBB untuk pertama kalinya,
mengeluarkan

sebuah

resolusi

tentang

partisipasi

perempuan

dalam

pembangunan, yang disusul dengan resolusi tahun 1963 yang secara khusus
mengakui peranan perempuan dalam pembangunan sosial ekonomi nasional.

Perjuangan perempuan muncul dari adanya kesadaran perempuan akan
ketertinggalannya dibandingkan dengan laki-laki dalam berbagai aspek. Untuk
mengejar ketertinggalannya tersebut telah dikembangkan konsep (emansipasi)
antara perempuan dan laki-laki yang diawali dengan timbulnya gerakan-gerakan
global yang dipelopori oleh perempuan.
Laporan Bank Dunia, Poverty and Gender in India, Khotimah (2009)
mencatat bahwa India merupakan salah satu dari sedikit negara Asia di mana andil

pekerja perempuan dalam sektor formal menurun dalam dasawarsa terakhir ini,
yang disertai dengan pertumbuhan hebat di sektor informal sebagai sumber utama
pekerjaan kaum perempuan urban. Di antara rumah tangga urban miskin, hampir
semua perempuan bekerja dalam pekerjaan yang berkisar dari usaha pengumpulan
kain perca sampai kerja bangunan, hingga produksi industri rumah tangga.
Semuanya dilakukan dalam kondisi yang menawarkan sedikit sekali keamanan
kerja, khususnya jam kerja panjang, kecilnya peluang menambah penghasilan
pribadi, dan kondisi kerja yang keras atau tidak sehat. Ketidakadilan gender yang
kerap dan rentan terjadi di India ialah dalam kehidupan rumah tangga, perempuan
di India juga dibedakan oleh kenyataan bahwa mereka ialah bagian dari komunitas
agama yang berbeda dan hukum khusus antara Hindu, Muslim, Kristen dan Parsi.
Namun, komunitas utama yang menggambarkan dan menyajikan pemasalahan

batas-batas hak perempuan ialah Hindu-Muslim.
Sejak masa perjuangan kemerdekaan, tokoh nasional India Mahatma Ghandi
telah menyerukan persamaa hak bagi perempuan karena tugas pertama setelah
India merdeka ialah menyusun konstitusi tanpa memandang jenis kelamin lakilaki atau perempuan. Namun sayangnya, dalam praktek sehari-hari masih banyak
terjadi pelamggaran hak wanita terutama karena tradisi dan budaya yang telah
mengakar lama di India. Salah satunya ialah budaya dowry, sistem dowry (mahar)
ialah pemberian yang dilakukan oleh pihak pengantin perempuan kepada pihak
pengantin laki-laki ketika menikahkan anaknya. Dowry dapat berupa uang tunai,
barang-barang elektronik, perhiasan atau barang-barang berharga lain sesuai
dengan permintaan dari pihak laki-laki. Menurut hasil studi Dalmia dan Lawrence
(2005) menyatakan bahwa ada hubungan yang kuat antara status hirarki dan
jumlah transfer dari keluarga wanita ke pihak keluarga laki-laki. Semakin tinggi
kasta pengantin laki-laki maka ia akan menerima dowry dengan jumlah yang
tinggi pula, begitupun dengan kebalikannya.
Permasalahan kemudian muncul saat pihak pengantin laki-laki tidak
berhenti meminta meskipun anak-anak mereka sudah menikah. Pihak perempuan
menjadi sangat terpaksa memberikan apa yang diminta pihak laki-laki dengan
harapan agar anaknya diperlakukan dengan baik telah tinggal bersama keluarga
pengantin laki-laki. Budaya dowry ini telah menyebar hampir di seluruh bagian


India, hingga pada suatu ketika mengakibatkan adanya demonstrasi yang
dilakukan kaum perempuan India yang menuntut pemerintah mengambil langkahlangkah untuk mengatasi permasalahan ini. Budaya yang seperti ini secara
bertahap terus-menerus terjadi dan menimbulkan permasalahan lain, banyak yang
kemudian menganggap anak perempuan hanya sebagai beban dalam keluarga oleh
sebab itu kelahirannya tidak begitu diinginkan karena nantinya hanya akan
menghabiskan materi dan uang. Rendahnya status wanita di India maka pada
akhirnya banyak calon orang tua yang melakukan aborsi atau pembunuhan
terhadap bayi yang diketahui berjenis kelamin perempuan.
Dahlburg (1994) menunjukkan bahwa di pedesaan India praktek-prakter
aborsi dan pembunuhan bayi masih dianggap sebagai diskursus yang biasa saja,
mereka beranggapan bahwa membunuh bayi perempuan bukanlah dosa besar.
Menurut sensus statistik, “Dari 972 perempuan untuk setiap 1.000 laki-laki pada
tahun 1901 .. . ketidakseimbangan gender miring ke 929 perempuan per 1.000
laki-laki. ... Dalam hampir 300 dusun miskin daerah Usilampatti Tamil Nadu,
sebanyak 196 perempuan meninggal dalam keadaan mencurigakan [tahun
1993] ... Beberapa diberi makan kering, gabah yang tertusuk batang tenggoroknya
mereka, atau dibuat untuk menelan bubuk pupuk beracun. Yang lainnya menahan
dengan handuk basah, dicekik atau diizinkan untuk mati kelaparan.” Banyak
wanita yang menjalani tes penentuan jenis kelamin bayi mereka dan
menggugurkannya jika mengetahui jika diketahui janin tersebut perempuan.

Karlekar (1995) seperti dikutip Schneider (2009) menemukan bahwa Di Rajasthan
dan Uttar Pradesh, biasanya untuk anak perempuan untuk porsi makan jauh lebih
sedikit dari anak laki-laki dan dapat memiliki makanan mereka setelah pria dan
anak laki-laki selesai menyantap makanan. Mobilitas yang lebih besar di luar
rumah memberikan anak laki-laki kesempatan untuk membeli makanan buahbuahan daripada menyimpan uang sakunya. Dalam urusan kesehatan, tidak sedikit
pula biasanya anak laki-laki yang memiliki preferensi lebih dihabiskan untuk
membeli pakaian daripada anak perempuan.
Feminisme
Feminisme adalah istilah yang ditujukan kepada kebangkitan para wanita
untuk menunjukkan persamaan hak dengan laki-laki dan menekankan pada

otonomi wanita. Istilah feminisme muncul karena para wanita mulai ada
kesadaran bahwa wanita-wanita juga perlu adanya pengakuan di lingkungan
sosial. Tujuan dari feminisme tersebut supaya wanita mendapatkan pekerjaan
yang layak, mendapatkan pengakuan yang lebih di lingkungan sosial, dan
mendapatkan hak-hak untuk berpolitik.
Feminisme di era globalisasi ini dapat dikatakan juga dengan istilah
emansipasi wanita. Kaum wanita sendiri sudah lama mulai mempunyai kesadaran
untuk memperjuangkan pembebasan dirinya dari ketidakadilan. Istilah feminisme
mulai disosialisasikan pada majalah Century pada musim semi tahun 1914 dan

sejak 1910 an kata feminisme yang berakar dari kata bahasa Perancis sudah kerap
dipergunakan, kata feminisme pertama kali diperkenalkan pada tahun 1880 an
untuk menyatakan perjuangan perempuan menuntut hak politiknya. Aktor utama
dalam perjuangan feminisme yaitu Hubertine Auclort, saat itulah feminisme mulai
diperkenalkan di negara Eropa dan Amerika. Feminisme abad ke 19, ditandai
dengan perjuangan menuntut hak-hak politik

dan hukum, khususnya hak

memlilih, hak mendapat upah, dan hak atas hukum lainnya sebagai warga negara.
Feminisme abad ke 20, perjuangan feminisme mulai berkembang pada bidang
ekonomi. (Nunuk dan Murniati, 2004: 28-29).
Agama Islam sudah memaparkan penjelasan tentang persamaan hak dan
kewajiban bagi laki-laki dan perempuan sudah terdapat dalam Al Qur’an dan
Rasulullah SAW. Islam sudah lebih lama menjelaskan permasalahan wanita
secara khusus dan detail. Islam bukan hanya menyamakan hak dan kewajiban
untuk perempuan dan laki-laki. Bahkan, Islam berusaha untuk mengembalikan
perempuan kembali ke fitrahnya sebagai perempuan dan manusia. Hal ini dapat
dibuktikan dalam firman Nya:
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);

(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut
fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang
lurus;tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum 30:30)
Terdapat dua kategori pemahaman tentang feminisme (Zulfahani Hasyim, 2012:
44) yakni (1) Feminisme Radikal. Istilah ini muncul sejak pertengahan tahun 1970
an dimana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”.

Feminis Radikal memiliki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang
tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori
pluralisme negara. Dalam pandangan Islam meletakkan perempuan pada urusan
rumah tangga dan pengasuhan anak dan Islam lebih menempatkan laki-laki dalam
bidang kekuasaan politik, (2) Feminisme Liberal. Feminisme ini mempunyai
pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara
penuh dan Individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan
berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Dalam
pandangan Islam, Feminisme Liberal ini mempunyai banyak kerancuan karena
dalam pemahaman feminisme liberal ini kebebasan individual perempuan itu
sendiri. Sedangkan dalam Islam, memiliki beberapa peraturan untuk seorang
perempuan karena aturan tersebut demi menjaga kehormatan perempuan tersebut
seperti menutup aurat dan menjaga pergaulan dari campuran antara laki-laki dan
perempuan.
Tuhan yang merupakan sang Maha Pencipta Segala Nya termasuk
pencipta antara laki-laki dan perempuan. Seperti dahulu, ketika Allah SWT
menciptakan manusia pertama kali yaitu Adam. Hawa pun diciptakan juga oleh
Allah SWT karena Dia Maha Mengetahui bahwa Adam akan menjadi kesepian
jika Adam sendirian. Oleh karena itu, Allah SWT menciptakan Hawa sebagai
perempuan agar menjadi pasangannya yang selalu menemani Adam dalam
keadaan apapun selama di Bumi. Dalam peristiwa ini, sudah terbukti bahwa lakilaki tidak akan menjadi superior tanpa adanya perempuan sebagai pasangannya.
Islam sangat mengakui kedudukan dan kedaulatan perempuan. Bahkan
dalam agama Islam, perempuan diletakkan pada kedudukan paling terhormat,
sehingga dalam Islam memerintahkan seorang anak untuk mematuhi seorang ibu
sebanyak tiga kali lipat dan yang terakhir menghormati ayahnya. Di masa
Jahiliyah, masyarakat menganggap anak perempuan adalah aib keluarga bahkan
mereka membunuh anak perempuannya dan dalam hal itu Islam sangat menentang
perbuatan masyarakat Jahiliyah. Dalam Islam perempuan dan laki-laki juga
mempunyai kesamaan hak dalam mendapatkan pahala dan siksaan, selain itu
mempunyai kewajiban untuk beribadah. Seperti yang terdalam dalam Qur’an
Surat An Nisa disebutkan bahwa:

ّ َ‫ق ِم ْنهَسسا َزوْ َجهَسسا َوب‬
‫ث ِم ْنهُ َمسسا ِر َجس ًال َكثِسسيرًا َونِ َسسا ًء‬
َ ‫س َوا ِحس َد ٍة َوخَ لَس‬
ٍ ‫َّا أَّههَسسا النّاسُ اتّقُسسوا َربّ ُك ُم الّ ِذي خَ لَقَ ُك ْم ِم ْن نَ ْف‬
ّ ‫اَ الّ ِذي تَ َسا َءلُونَ بِ ِه َو ْالَرْ َحا َم إِ ّن‬
ّ ‫َواتّقُوا‬
﴾١:‫اَ َكانَ َعلَ ْي ُك ْم َرقِيبًا ﴿النساء‬
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah
menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang
biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada
Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta
satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya
Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An Nisa: 1)
Islam sangat memperdulikan permasalahan wanita di dunia. Jika tidak,
Allah SWT tidak akan mungkin menciptakan Surat An Nisa yang seluruh surat
Nya membahas tentang perempuan. Di dalam Qur’an juga disebutkan beberapa
kali bahwa sebagai seorang anak mempunyai kewajiban menghormati ibunya. Hal
ini terdapat di dalam Surat Luqman ayat 14 yang artinya bahwa:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua
orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah
yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu”.
Di Islam pun memberikan hak untuk perempuan turut serta berpartisipasi
dalam sosial dan politik seperti mengikuti musyawarah mufakat dan pengadilan,
sebagaimana yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an di Surat Al-Taubah ayat 71
yang menyebutkan bahwa:
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi auliya (penolong) bagi sebahagian yang lain.
Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah
dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Kata “Auliyah” mempunyai arti sebagai penolong yang maksudnya adalah
bukan hanya urusan dalam rumah tangga, namun juga urusan dalam
kemasyarakatan maupun politik negara (Zulfahani Hasyim, 2012: 44). Meskipun,

seorang perempuan tidak boleh dijadikan sebagai seorang pemimpin dan hal ini
dibuktikan dalam Qur’an Surat An Nisa bahwa:
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang
lain (wanita)...”
(QS. An Nisa ayat 34).
Feminisme Islam: Wacana atau Gerakan Sosial?
Adanya suatu pernyataan bahwa perempuan memiliki daya yang kurang
jika dibanding dengan laki-laki, pada akhirnya mewajibkan perempuan
membentuk suatu kehidupan dimana laki-laki memiliki kekuatan dan kekuasaan
lebih dalam kehidupan sosial maupun politik. Diskriminasi yang terjadi pada
masyarakat, terlebih perempuan yang selalu mendapat perlakuan diskriminatif,
harus dikikis karena bertentangan dengan konsep kesetaraan dan keadilan serta
bertentangan juga dengan Hak Asasi Manusia. Laki-laki dan perempuan pada
dasarnya adalah seimbang, tidak ada yang lebih sempurna di mata Tuhan kecuali
ketaqwaannya. Islam juga sangat menganjurkan adanya persamaan perlakuan dan
pemberian hak baik kepada laki-laki maupun perempuan. Karena islam diyakini
sebagai agama yang memberikan perlindungan terhadap seluruh lapisan
masyarakat, maka sedikitpun islam tidak pernah menelantarkan pihak perempuan
dalam berbagai bidang. Kewajiban untuk melindungi perempuan dari segala
macam gangguan dan menjunjung tinggi martabat mereka agaknya telah menjadi
dasar sebagai langkah untuk menuntut keadilan bagi kaum perempuan.
Agama setidaknya telah menunjukkan manfaat baik dan buruknya bagi
perempuan. Menurut pendapatnya, Tomalin (t.t dalam Bradley 2011) agama dapat
menjadi sebuah bagian dari masalah juga menawarkan solusi terutama
permaslahan feminist. Oleh sebab itu, ia memperkenalkan konsep ‘feminisme
agama’ untuk menggambarkan bagaimana kaum perempuan yang beragama
memanfaatkan keyakinannya untuk menentang aspek tradisi yang selama ini
dianggap telah menindasnya. Feminisme muslim muncul diberbagai negara
belahan dunia sebagai bentuk upaya advokasi dari hak-hak perempuan. Kekuatan
agama dewasa ini sedang diupayakan menjadi resolusi konflik dan pembangunan
perdamaian baik dalam skala regional maupun global. Oleh sebab itu, tidak heran

jika banyak muncul gerakan-gerakan yang menentang permasalahan Hak Asasi
Manusia dan pengentasan kemiskinan karena agama menyediakan platform
pemersatu. Masuknya kajian agama dalam Ilmu Hubungan Internasional memang
menjadi salah satu dimensi yang lebih mengarah bersama politik dan ekonomi.
Seperti yang diungkapkan Badawi (1976), dalam konteks politik, sejarah
telah mencatat bahwa suatu ketika pada masa Umar ibn Khattab, ia pernah beradu
argumentasi dengan wanita dalam masjid, di saat itu Umar mengakui
kesalahannya dan membenarkan wanita itu. Dalam konteks sejarahnya juga banya
wanita-wanita yang memegang posisi puncak dibidang politik dan militer
misalnya yang telah diperankan Aisyah ra, menjadi pelaku-pelaku bisnis yang
profesional sehinggha menjadi top manajer dalam bidang ekonomi seperti yang
diparankan oleh Khadijah ra, dan sebagainya. Islam sebagai suatu “kerangka
ideologi” pengarusutamaan gender berprespektif islam dewasa ini telah merambah
luas kedalam suatu mainstream gerakan yang kemudian banyak orang
menyebutnya sebagai “gerakan feminisme islam”. Gerakan ini kemudian muncul
secara aktif untuk merespon isu-isu gender dalam kaitannya dengan islam, disisi
lainm mereka juga mempunyai visi yang jelas yakni guna memperjuangkan
keadilan dan kesetaraan gender. Adanya kesadaran untuk berjuang melawan
aturan-aturan dan tingkah laku moral ‘yang secara kultural’ telah mendarah
daging di kalangan masyarakat, berlandaskan kerangka pemikiran islam dan
ideologi-ideologi yang tertanam dalam diri mereka sendiri menjadikan perempuan
dalam masyarakat islam gerakan yang menonjol.
Upaya Feminisme Islam Melawan Ketimpangan Gender di India
Munculnya realitas ketidakadilan gender di masyarakat merupakan hasil
dari kebangkitan kaum perempuan di berbagai lapangan kehidupan. Dengan
berbagai argumennya, gerakan ini muncul dan menyatakan bahwa perempuan
telah ditindas oleh sebuah tradisi dan budaya yang lebih mengutamakan laki-laki
dan mengaggap perempuan sebagai makhluk nomor dua yang ditakdirkan Tuhan
hanya untuk menguguhkan tradisi tersebut. Di India, perempuan dipandang
sebagai sumber bencana dan beban bagi keluarganya sehingga kerap mendapatkan
perlakuan tidak adil dan diskriminasi hak. Barbita dan Tewari (2009) dalam
bukunya menyatakan hidup wanita berkasta sudra sangat menderita dalam

peradaban India, kondisi perempuan yang dianggap sebagai makhluk kedua juga
terjadi pada abad modern ini. Para ibu lebih menyukai memiliki anak laki-laki
dari pada anak perempuan. Mereka menyusui anak-anak laki-laki lebih banyak
daripada anak perempuan, anak laki-laki lebih sering dirawat oleh dokter daripada
saudaranya perempuan, selain itu anak laki-laki dididik lebih serius. Perempuan
dalam sejarah peradaban India menikah dalam kisaran umur 8-10 tahun. Mereka
(kaum laki-laki) membandingkan perempuan dengan hewan dan berada pada
kasta yang rendah. Karena pernikahan dini ini, yang memunculkan pepatah di
India “Membesarkan seorang anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon
rindang di halaman rumah orang lain.
Gerakan feminisme atau emansipasi wanita menjadi trend yang
menggejala dan bukan hanya berkembang di Barat tetapi juga menggejala
dikalangan aktifis muslim yang konsend dengan gerakan gender, yang menuntuk
persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam segala bidang. Dalam
konteks sejarah tampaknya kesadaran gender dipicu oleh perlakuan pejoratif yang
ditemukan di bebragai kawasan terutama di Eropa dan Asia pada masa pra-Islam.
Praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan mulai mengalami titik terang
setelah adanya pengakuan dan persamaan antara pria dan wanita yang mulai
diperkenalkan oleh Islam dalam teks-teks wahyu dalam al-Qur’an maupun Hadits.
Mahmood (1986 dan 1993) dalam Scheinder (2009),

The All-India Muslim

Women’s Rights Network (MWRN) merupakan salah satu gerakan feminisme
Islam yang didirikan pada tahun 1999 oleh aktivis Aen dari Mumbai Women’s
Research and Action Group (WRAG) merupakan jaringan yang paling sukses
dengan radius nasional. Setiap satu atau dua tahun, mereka mengadakan
konferensi, yang pada saat yang sama berfungsi sebagai titik pertemuan untuk
semua organisasi yang aktif dalam jaringan ini. Misalnya, pada tahun 2005,
sekitar 300 delegasi bertemu di Lucknow dan dibahas pertanyaan seperti peran
negara terhadap hak-hak perempuan, efek dari kekerasan komunal Perempuan
Muslim dan tantangan aktivis hak-hak perempuan Muslim yang dihadapi India
sekarang.
Antara tahun 1994-1998, WRAG melakukan studi ekstensif berjudul
“Perempuan & Hukum di Komunitas Muslim”, dengan tujuan untuk

mengumpulkan, mendokumentasikan dan menganalisis hukum sipil atau keluarga
yang beragam yang diterapkan untuk Muslim di India. Hal ini sering diabaikan
bahwa istilah Hukum Personal Muslim tidak mengacu pada kode hukum keluarga
dikodifikasi atau bersatu dan bahwa hukum mungkin berbeda lebih atau kurang
secara signifikan dari daerah ke daerah. Salah satu temuan proyek penelitian ini
adalah bahwa perempuan Muslim di India jelas mendukung permintaan untuk
reformasi Hukum Personal Muslim di India (Nainar 2000). Sebagai WRAG
menggambarkan pada bagian depannya, itu klaim ini, yang antara lain,
menyebabkan peningkatan kampanye naiknya kesadaran, yang akan membantu
untuk menginformasikan wanita Muslim tentang hak-hak yang dijamin dalam
Quran.
Keberanian impuls baru bagi perdebatan tentang reformasi MPL Pada
tahun 2006, sebuah organisasi baru dengan nama Bhartiya Muslim Mahila
Andolan (BMMA) didirikan untuk tujuan tertentu. BMMA mengklaim sebagai
gerakan pan-India pertama menyatukan perempuan Muslim di berbagai kasta dan
kelas yang ada di masyarakat India Muslim. Ini adalah organisasi ini yang paling
eksplisit menyatakan referensi untuk wacana global feminisme Islam dalam
perumusan tujuan dengan menyatakan bahwa BMMA berusaha “untuk
mengeksplorasi kemungkinan reformasi hukum pribadi berdasarkan dominasi
laki-laki”. Dari deskripsi diri dan pengembangan organisasi perempuan Muslim di
Mumbai, menjadi sangat jelas bahwa mereka semakin dipengaruhi oleh wacana
feminisme Islam. Pada saat yang sama, banyak dari mereka tetap berakar kuat di
akar rumput lokal dan mereka juga menganggap diri mereka sebagai bagian
integral dari nasional wom- Perkembangan sangat mirip dapat diamati berkaitan
dengan langkah organisasi perempuan India Selatan terkenal itu yang didirikan
oleh Daud Sharifa Khanam di Pudukottai di Tamil Nadu pada tahun 1987. Seperti
organisasi yang berbasis di Mumbai Awaaz-e Niswan, langkah tidak didirikan
untuk perempuan Muslim secara eksklusif. Menariknya, langkah mendedikasikan
banyak ruang di situsnya untuk diri deskripsi organisasi, asal-usulnya, motif dan
tujuan. Menurut akun ini, langkah awalnya didirikan untuk melawan diskriminasi
dan kekerasan terhadap gadis-gadis muda dan perempuan. Pada tahun 2003,
organisasi mengumumkan niatnya untuk mendirikan jamaah majelis bulanan

untuk perempuan Muslim dalam rangka untuk menyediakan mereka dengan ruang
publik untuk artikulasi dan informasi tentang interpretasi patriarki prinsip-prinsip
Islam oleh otoritas agama laki-laki. Gagasan dari jamaah perempuan juga
tampaknya menjadi reaksi terhadap frustrasi tumbuh di kalangan wanita Muslim
di Pudukottai tentang keputusan yang dibuat oleh (eksklusif laki-laki) anggota
Jamaat mengenai pertanyaan dari mas kawin, perceraian, kekerasan dalam rumah
tangga, hak asuh atau pelecehan anak. Asalkan perempuan Muslim bahkan pergi
ke kantor polisi setempat dan mencari bantuan di sana, sebagian besar keluhan
mereka ditransfer oleh petugas polisi untuk Jamaat lokal yang perempuan tidak
memiliki akses. Yang berarti bahwa Jamaats membuat pendapat mereka tanpa
mendengarkan wanita dan sebagai akibat dari ini, penilaian yang melewati mereka
sering bias dan sepihak.
Terlepas dari kenyataan bahwa mereka dihadapkan dengan oposisi yang
parah dan masalah keuangan, aktivis perempuan di Pudukottai tetap pada rencana
mereka untuk membangun sebuah masjid dan Sharifa Khanam dirinya koordinat
jaringan besar perempuan Muslim di Tamil Nadu. Jadi dikasusnya, sekali lagi,
perumusan “dari wacana transnasional gerakan lokal” hanya berfungsi untuk
menyoroti aspek-aspek tertentu dari perkembangan sedangkan berlawanan “dari
lokal gerakan untuk wacana transnasional” tampaknya sama-sama benar. Berbagai
Muslim lokal gerakan hak-hak perempuan jelas bergerak menuju wacana global
Islam feminisme, tapi ini tidak berarti bahwa mereka tidak menganggap diri
mereka sebagai bagian integral dari gerakan perempuan nasional lagi, juga tidak
berarti bahwa mereka tidak berfungsi sebagai akar rumput organisasi di tingkat
lokal atau regional lagi. Jadi, bahkan jika yang sama aktor yang terlibat, konsep
gerakan bisa merujuk ke pengaturan yang sangat berbeda, kerangka, bentuk
organisasi dan komunikasi. Strategi diskursif atau praksis feminisme Islam
memang tampaknya menjadi hanya satu, meskipun semakin important, antara
strategi diskursif lain yang terlibat dengan hak-hak aktivis perempuan Muslim di
India dalam mengejar gender-justice. Ketika masa BMMA hadir sebagai respon
terhadap kegagalan gerakan perempuan, MAN akan berpendapat bahwa
kehadirannya adalah bukti dari peningkatan ruang dalam gerakan perempuan.
Kedua perspektif menunjukkan perubahan dalam wacana tentang hak-hak

perempuan dan pendekatan yang lebih bernuansa pertanyaan sekitar agama dan
hak-hak perempuan pada umumnya, dan berusaha untuk menjembatani
kesenjangan antara feminisme sekuler dan agama.
Anggota MAN dan BMMA telah terlibat dalam perdebatan tentang
hubungan antara agama dan feminisme dan bagaimana kaitannya dengan advokasi
mereka dan untuk perumusan identitas kolektif mereka. Namun, kedua jaringan
mendekati questio yang non agama berbeda dalam cara mereka merumuskan
strategi identitiesand kolektif mereka. ni telah ditambah dengan tumbuh rasa
ketidakamanan di kalangan umat Islam karena insiden berulang agama berbasis
kekerasan, menargetkan pemuda Muslim sebagai bagian dari India ‘Perang
Melawan Teror’. Serta marginalisasi ekonomi dan politik, menciptakan situasi di
mana setiap kritik nyata atau dirasakan agama dapat dilihat sebagai serangan
terhadap 'masyarakat'. Ini menyusut ruang untuk kritik feminis dan dialog jauh.
Untuk

mengatasi

kebuntuan,

kedua

jaringan

menggunakan

semacam

‘esensialisme strategis’ (Spivak 1989, 1990, 1993) dan menggunakan kategori
pemersatu perempuan Muslim sebagai sarana mengerahkan hak. Penggunaan
Taktis perempuan Muslim kategori dari tangan kanan Hindu dan ulama
didominasi laki-laki dalam rangka untuk menegaskan sikap politik feminis yang
mengakui pentingnya identitas keagamaan dengan mengorbankan hak-hak
perempuan.
Kesimpulan
Perdebatan tentang hubungan antara Islam dan hak-hak perempuan telah
berlangsung sejak kasus lama, beberapa pendukung seperti Asghar Ali Engineer
dan Zeenat Shaukat Ali mengambil pendekatan ‘Islam feminis’ dan penerbitan
exten-sively pada salah tafsir patriarki Islam dan kebutuhan bagi perempuan untuk
membiasakan diri dengan teks-teks agama untuk merebut kembali hak-hak yang
telah diberikan kepada mereka dalam Islam. Penampilan kelompok perempuan
yang dipimpin Muslim dan jaringan mencerminkan sifat perubahan gerakan
perempuan serta pelebaran ruang demokrasi pada umumnya. Jaringan ini dapat
dilihat baik sebagai tanda kegagalan gerakan perempuan untuk mewakili
perempuan dari masyarakat marjinal dan untuk menangani secara memadai
dengan pertanyaan tentang agama, atau sebaliknya, sebagai akibat dari ruang yang

diciptakan oleh gerakan perempuan selama kampanye dan diri refleksi selama dua
dekade. Feminisme islam berupaya mengatasi ketidak adilan gender melalui
organisasi atau gerakan-gerakan perempuan dengan mendesak pemerintah untuk
merevisi atau mengatur kebijakannya ulang.

DAFTAR PUSTAKA
Backman, Michael. 2008. Asia Culture Shock: Bussines Crisis and Opportunity in
the Coming Years. Jakarta: PT Cahaya Insan Suci.
Khotimah, Khusnul. 2009. Diskiriminasi Gender terhadap Perempuan dalam
Sektor Pekerjaan, Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, Jurnal Studi Gender
dan Anak, Vol.4 No.1 Jan-Jun
Anwar dan Mulia. 2001. Keadilan dan Kesetaraan Jender (Perspektif Islam).
Jakarta: Tim pemberdayaan Perempuan Bidang Agama Departemen Agama RI
Nunuk A dan Murniati P. 2004. Getar Gender;Buku Pertama. Magelang:
Indonesia Tera.
Hasyim, Zulfahani. 2012. Perempuan dan Feminisme Dalam Perspektif Islam.
Muwazah, No.1, Vol.4, Hal 4, http://download.portalgaruda.org
Bradley, Tamsin. 2011. Religion and Gender In the Developing World: FaithBased Organizations and Feminism in India. United States: Palgrave Macmillan
Mukhopadhay, Maitrayee. 1994. Construction of Gender Identity: Women, the
State and Personal Laws in India. University of Sussex: The Degree of doctor of
Philosopy
Kirmani, Nadia. 2011. Beyond the Impasse: Muslim Feminism and the Indian
Women’s Movement. University of Warwick http://cis.sagepub.com diakses 08
November 2015
Spivak, Gayatri. 1989. In a Word. An Interview.Differences.1 (2): 124–56.
Babita dan Sanjay Tewari. 2009. The History of Indian Women: Hinduism ar
Crosroads With Gender
Schneider, Christina. 2009. Islamic Feminism and Muslim Women’s Rights
Activism in India: From Transnasional Discourse to Local Movement or Vice
Vesra. Journal of International Women’s Studies Volume 11 Issue 1 Gender and
Islam in Asia
Purwoko, Krisman. 21 April 2011. PM India: Aborsi Bayi Perempuan
Mempermalukan Bangsa. Republika Internasional
http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/global/11/04/21/lk0hf1pm-india-aborsi-bayi-perempuan-mempermalukan-bangsa diakses pada 07
November 2015
Poll Says Afghanistan ‘most dangerous’ for Women. 15 Juni 2015. BBC News
online http://www.bbc.com/news/world-south-asia-13773274 diakses pada 09
November 2015