REKLAMASI PANTAI SINGAPURA RUSAK LINGKUN

REKLAMASI PANTAI SINGAPURA
RUSAK LINGKUNGAN INDONESIA
Categories: Berita
Reklamasi pantai dan pulau-pulau kecil di wilayah Singapura telah menyebabkan
perluasan wilayah Singapura dalam tingkat yang signifikan, sehingga berpotensi
bergesernya batas teritorial negara tetangganya, termasuk Indonesia. Proyek perluasan
wilayah darat yang dilakukan negara kecil ini dalam kurun waktu panjang dapat
diartikan sebagai upaya aneksasi (penggabungan) terselubung terhadap wilayah
teritorial dan kedaulatan Republik Indonesia.
Hal ini seharusnya ditanggapi oleh pemerintah secara serius dan harus segera diagendakan
dalam perbincangan antar negara di kawasan ASEAN, karena hal itu menyangkut prinsipprinsip hubungan bertetangga.
Dengan adanya proyek reklamasi kawasan pantainya, saat ini Singapura mengalami
penambahan seluas 100 kilometer persegi. Hingga tahun 2010 diperkirakan wilayah teritorial
Singapura akan bertambah 160 Km persegi. Akibat perluasan wilayah itu, wilayah perairan
internasional termasuk lebar jalur pelayaran antara Singapura dan Batam akan tergeser.
Perubahan itu otomatis juga akan menggeser masuk wilayah perairan Indonesia, karena lebar
jalur pelayaran akan dihitung dari titik terluar garis pantai. Hal itu sebagai upaya merugikan
dan aneksasi terselubung.
Pencurian Pasir
Reklamasi Singapura dengan mengimpor pasir dari Riau dalam kurun waktu 24 tahun (19782002 telah menimbulkan banyak kerugian, bukan saja aspek teritorial tapi juga ekonomi,
perdagangan dan lingkungan hidup.

Dalam kurun waktu itu kerugian yang dialami Indonesia telah mencapai 42,38 milyar dollar
Singapura atau Rp. 237,328 trilyun. Kerugian ini akibat selisih antara yang tercatat di
Singapura dan tercatat di Indonesia. Selain itu ekspor pasir laut pada saat ini sudah memasuki
kawasan Malaysia dengan kerugian sebesar 3,09 milyar dollar Singapura. Para analis pecinta
lingkungan Batam mencatat pula paling tidak ada 29 kali kapal hilir mudik pembawa ribuan
meter kubik pasir laut dari Riau setiap harinya menuju Singapura, di mana kapasitas muat
kapal berkisar antara 1.000-4.000 meter kubik sekali angkut.
Sama Aset BUMN
Kebutuhan Singapura untuk pengadaan pasir laut dari Indonesia 1,8 milyar meter kubik,
masih akan berlangsung sampai tahun 2010. Apabila pengelolaan ekspor pasir laut masih
seperti pola lama, maka ekspor pasir laut pada masa 10 tahun yang akan datang dari
Indonesia, dapat diperkirakan sebesar 167 juta meter kubik, atau senilai 13,68 milyar dollar
Singapura atau 76,608 trilyun. Jumlah ini kalau dibandingkan sama dengan penjualan aset
aset seluruh BUMN selama 12 tahun.

Untuk mengatasi kenyataan tersebut, pemerintah telah berusaha menyusun suatu regulasi
dalam suatu Peraturan Pemerintah (PP). Namun PP tersebut masih membuka peluang
terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang disebabkan oleh adanya rumusan yang masih
memberikan kelonggaran pada para kuasa penambangan, yang telah mempunyai izin untuk
tetap melanjutkan penambangan di daerah konservasi, sampai masa berlakunya izin

penambangan berakhir.
Jadi saat ini perlu segera disusun Undang-undang Ekploitasi dan Ekspor Pasir yang secara
khusus mengatur masalah pengelolaan dan ekspor pasir laut dan di darat. Undang-undang ini
diharapkan bisa mempermudah pengawasan dalam tata niaga pasir dan memberikan
perlindungan lingkungan serta teritorial.
Hal ini jauh lebih efektif dan transparan dibandingkan eksploitasi dan ekspor pasir yang
hanya dilindungi oleh Peraturan Pemerintah, mengingat terjadinya banyak intervensi di
dalam penyusunan PP tersebut. Diduga hal itu pula sebabnya mengapa PP belum juga
disahkan oleh pemerintah.
Pemerintah Malaysia bahkan telah melarang pengusahanya untuk tidak mengekspor pasir laut
ke Singapura karena ia sadar dengan pengerukan pasir laut akan merusak lingkungan. Tapi
tidak demikian bagi Indonesia, diberhentikannya ekspor pasir oleh Malaysia membuat
pengusaha Indonesia senang karena tidak ada lagi pesaing di bisnis ekspor pasir laut. Padahal
lingkungan hidup untuk kepentingan anak cucu kita yang dipertaruhkan.
http://www.menlh.go.id/reklamasi-pantai-singapura-rusak-lingkungan-indonesia/
rabu 18.32

Dampak Reklamasi Laut Singapura
Rabu, 02 Oktober 2013 | 03:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mustakim, penulis

Tayangan iklan mengenai promosi pariwisata Singapura di sebuah televisi swasta
kelihatannya biasa-biasa saja, tapi di dalamnya terkandung provokasi yang perlu mendapat
perhatian, yaitu adanya reklamasi laut Singapura yang ditujukan untuk memperluas wilayah
daratannya. Demikian juga penjelasan pejabat Singapura, Caroline Seah, Direktur
Pembangunan Industri Otoritas Konservasi dan Perencanaan Penggunaan Lahan Singapura,
di hadapan sejumlah wartawan Indonesia (4 September). "Setelah reklamasi selesai, luas
daratan Singapura akan mencapai 760 km persegi, dari luas daratan Singapura tahun 1960
yang hanya 584 km persegi."
Persoalannya, Indonesia, yang berbatasan laut langsung dengan Singapura, pasti akan
terpengaruh, atau hal itu akan berdampak terhadap perbatasan laut kedua negara. Mungkin ini
salah satu sebab mengapa Singapura belum mau menyelesaikan perbatasan laut kedua negara
secara keseluruhan, mengingat Singapura mempunyai program reklamasi lautnya untuk 10
tahun ke depan. Kalau melihat posisi pulau Singapura, reklamasi pasti mengarah ke
perbatasan laut dengan Indonesia. Belum lagi masalah ekosistem laut yang terganggu.
Selain itu, konon tanah untuk reklamasi sebelumnya juga diambil dari pulau-pulau Indonesia

yang berbatasan dan menimbulkan abrasi, bahkan mengakibatkan kemungkinan
tenggelamnya pulau tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman arti sebuah pulau
terdepan Indonesia yang berbatasan dengan negara lain, dan hanya memikirkan keuntungan
ekonomi sesaat. Hal ini diperkuat dalam berita Kompas (13 Mei) bahwa garis perbatasan

wilayah antara RI dan Singapura di Provinsi Kepulauan Riau mendesak direklamasi karena
terus tergerus abrasi, baik alamiah maupun karena tindakan manusia seperti pengerukan pasir
laut.
Indonesia perlu mengambil dua tindakan sekaligus terhadap aksi reklamasi Singapura
tersebut. Tindakan pertama lebih bersifat ke arah intern Indonesia; jangan sampai tanah untuk
reklamasi diambil (walaupun misalnya dibeli) dari tanah di pulau-pulau terdepan Indonesia,
yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Perlu ada sosialisasi pemahaman
kepada masyarakat, jangan sampai menggali tanah atau pasir di pulau-pulau terdepan
Indonesia tersebut lalu dijual kepada pihak pengembang Singapura. Pengawasan aparatur
pemerintah harus lebih diintensifkan. Di sinilah ujian ada-tidaknya kehadiran pemerintah atau
negara. Kalau sampai terjadi aparat pemerintah tidak tahu atau terjadi pembiaran, ini
merupakan cerminan kelemahan pemerintah kita yang dimanfaatkan oleh Singapura.
Tindakan kedua harus meminta kepada pemerintah Singapura sesegera mungkin atau dalam
kesempatan pertama untuk menghentikan kegiatan reklamasi tersebut. Kalau dalam bahasa
lunaknya, meminta keterangan dari pemerintah Singapura mengenai masalah reklamasi
tersebut. Tidak ada jaminan bahwa reklamasi tersebut tidak berdampak terhadap perbatasan
laut kedua negara yang belum maupun yang sudah terselesaikan, mengingat kemungkinan
besar reklamasi tersebut mengarah ke perbatasan laut dengan Indonesia. Hal ini berarti
mengancam dan membahayakan wilayah perbatasan Indonesia, yang merupakan bentuk
ancaman non-militer yang perlu disadari.

Di sini, sifat tenggang rasa atau ewuh pekewuh harus dibuang jauh-jauh. Jangan sampai,
karena takut hubungan kedua negara terganggu, Indonesia tidak mau bereaksi alias diam saja.
Jangan sampai mewariskan persoalan kepada anak-cucu karena masalah reklamasi tersebut,
apabila pada suatu waktu membicarakan kembali perbatasan laut yang belum terselesaikan.
Kalau Indonesia baru bereaksi setelah lautan menjadi daratan, itu sudah terlambat. Secara de
facto, Singapura telah menguasai, menduduki, dan mengelolanya. Apalagi Singapura telah
mempunyai langkah pembangunan 10 tahun ke depan. Penyelesaiannya lebih rumit dan tidak
mudah, memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang mahal, dan belum tentu Singapura
mau menyelesaikannya lewat Mahkamah Internasional. Di sini terlihat dan terbaca kelicikan
atau kepandaian Singapura berdiplomasi. Atau, Singapura malah menganggap, tanpa
perjanjian perbatasan laut dengan Indonesia, Singapura pun tetap dapat hidup lebih leluasa.
Untuk sopan santun, seharusnya Indonesia, sebagai negara terdekat dan berbatasan langsung
yang akan mendapat dampaknya, diberi tahu lebih dulu oleh Singapura, tidak melalui
wawancara dengan wartawan. Seharusnya Singapura meminta izin terlebih dulu. Analoginya,
waktu kita mau membuat rumah mengurus IMB, minimal memberi tahu tetangga kiri-kanan.
Di sini terlihat arogansi Singapura. Ini dapat dipakai dalih oleh Singapura seandainya suatu
waktu Indonesia memberikan reaksinya yang sudah terlambat. "Sudah kita sampaikan
melalui wartawan Indonesia, tidak ada reaksi dari pemerintah Indonesia." Jadi, diplomasi
melalui jalur ketiga ini perlu juga kita cermati dan tanggapi.


http://www.tempo.co/read/kolom/2013/10/02/822/Dampak-Reklamasi-LautSingapura rabu 18.32