human law power and justice hukum harus

human, law, power, & justice
hukum harus menjadi senjata yang paling disegani

Cari

Menu utama
Langsung ke konten utama
Langsung ke konten sekunder


Legal Opinion



Kajian Ilmiah

Arsip Tag: peran TNI AL dalam Penegakan
Hukum
UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA TERTENTU DIWILAYAH
PERAIRAN LAUT INDONESIA

MELALUI OPTIMALISASI PERAN TNI

ANGKATAN LAUT DALAM BIDANG
PENEGAKAN HUKUM
Ditulis pada Maret 9, 2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang Masalah

Negara Kesaruaan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan[1] yang sebagian besar
wilayahnya berbentuk perairan, dimana indonesia berada diantara dua benua yakni benua
Asia dan Australia dan dua samudra, yakni Samudra Hindia dan Samudra Pasifik sehingga
indonesia disebut juga nusa diantara laut atau sering diistilahkan dengan nusantara[2].
Sebagai negara kepulauan menurut Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang
Hukum Laut (United Nations Convention on the law of the sea) 1982 indonesia memiliki
kedaulatan atas perairan yang ditutup oleh atau terletak disebelah dalam dari garis pangkal
lurus kepulauan yang disebut sebagai perairan kepulauan[3]. Adapun total luas wilayah
indonesia adalah 7.9 juta km² yang terdiri dari 1.8 juta km² wilayah daratan dan 3.2 juta km²

wilayah laut teritorial serta 2.9 juta km² laut perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)[4],
dengan demikian total wilayah perairan Indonesia adalah 77% dari seluruh luas Indonesia,
atau tiga kali luas wilayah daratan Indonesia[5].
Sebagaimana ciri negara berkembang dengan populasi penduduk yang besar ditambah
dengan struktur geografis yang dikelilingi oleh laut, maka laut menjadi tumpuan sebagian
besar penduduk Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama masyarakat di daerah
pesisir, selain itu bagi negara kepulauan seperti indonesia, laut memiliki posisi yang strategis
dan potensi yang luar biasa baik dalam bidang ekonomi, pertahanan, maupun keamanan.
Meskipun demikian, wilayah perairan indonesia juga tidak terlepas dari berbagai
permasalahan yang timbul baik dari dalam negeri maupun dari luar seperti illegal fishing,
illegal logging, pembajakan, maupun illegal migration. Mengingat pentingnya wilayah
perairan laut, maka penjagaan dan pengamanan menjadi syarat mutlak guna menegakan
kedaulatan dan yurisdiksi negara diwilayah perairan laut serta mewujudkan ketahanan
nasional.
Dalam rangka wemujudkan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam alenia keempat
pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban Dunia, maka negara
berkewajiban melaksanakan pembangunan nasional dengan aman, damai, adil, dan
demokratis. Guna mewujudkan kondisi yang aman dan damai, upaya pengamanan dan

penegakan hukum di wilayah perairan laut menjadi sangat penting dan strategis untuk
dilaksanakan. Misalnya penegakan hukum di bidang perikanan merupakan hal yang sangat
penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan
sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan
secara berkelanjutan[6].

Bagi negara Indonesia yang sebagian wilayahnya berupa perairan, TNI Angkatan Laut
memegang peranan yang besar dalam melakukan pengamanan dan penjagaan diwilayah
perairan laut, dimana secara universal TNI Angkatan Laut memiliki tiga peran yaitu peran
militer, peran polisionil, dan peran diplomasi. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka
menegakkan hukum di laut, melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional, serta
memelihara keamanan dan ketertiban di laut. Secara yuridis formal ketiga peran ini telah
diimplementasikan dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
tugas TNI Angkatan Laut[7], hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Undang-undang No. 34
Tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa TNI Angkatan Laut bertugas
melaksanakan tugas di bidang pertahanan, menegakan hukum dan menjaga keamanan di
wilayah laut yurisdiksi nasional, serta melakukan diplomasi angkatan laut. Oleh karena itu,
TNI Angkatan Laut dituntut untuk mampu melaksanakan peran dan tugasnya secara
maksimal dalam rangka menegakan kedaulatan dan hukum diwilayah laut.
Bahwa dalam upaya pengamanan dan penegakan hukum di wilayah perairan laut indonesia

terdapat tiga instansi yang berwenang yang masing-masing didukung oleh undang-undang
tersendiri, ketiga instansi tersebut yakni
1. Kepolisian Negara Republik indonesia, dimana berdasarkan pasal 13 dan 14 huruf g
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
bahwa kepolisian berwenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana
sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya.
2. TNI Angkatan Laut, dimana berdasarkan pasal 9 Undang-undang No. 34 Tabun 2004
tentang TNI, menyatakan bahwa selain melaksanakan tugas di bidang pertahanan,
TNI Angkatan Laut juga bertugas menegakan hukum dan menjaga keamanan di
wilayah laut yurisdiksi nasional. disamping itu dalam pasal 17 Peraturan Pemerintah
No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP beserta penjelasannya ditegaskan
bahwa penyidikan dalam perairan Indonesia, zona tambahan, landas kontinen dan
zona ekonomi eksklusif Indonesia, dilakukan oleh Perwira TNI Angkatan Laut dan
penyidik lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang yang mengaturnya
3. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), dimana berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf b
KUHAP, yang dimaksud dengan penyidik adalah pejabat kepolisian dan penyidik
pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Selain itu
Wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan penyidikan tindak pidana
diwilayah perairan laut juga secara tegas dinyatakan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur baik mengenai wilayah perairan laut indonesia

maupun mengenai tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.
Keadaan yang demikian ini menimbulkan tumpang tindih (overlapping) kewenangan dalam
bidang penyidikan terhadap tindak pidana tertentu yang terjadi diwilayah perairan laut, hal ini
mengakibatkan ketidakefektifan upaya pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut
apabila penegakan hukum ditangani oleh instansi terkait secara sektoral tanpa ada koordinasi.
Seperti kasus tindak pidana illegal fishing yang dilakukan oleh kapal berbendera Malaysia
yang dinakhodai oleh Mr. Chat berkewarganegaraan Thailand diwilayah Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia di perairan selat malaka, dimana Penyidikan atas kasus ini sebelumnya
dilakukan oleh Kepolisian Perairan (Polair) Polda Sumatra Utara, kemudian setelah diketahui
bahwa berdasarkan pasal 73 ayat (2) Undang-Undang No. 43 tahun 2009, TNI Angkatan Laut
dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan yang lebih berhak atas kasus tersebut, maka

selanjutnya kasus ini diserahkan kepada Penyidik TNI Angkatan Laut untuk di proses lebih
lanjut[8].
Dalam contoh kasus diatas terlihat adanya kesan bahwa pihak kepolisian terlalu memaksakan
agar perkara tersebut disidik oleh Penyidik kepolisian tanpa melakukan koordinasi dengan
instansi terkait lainya yang juga berwenang atas perkara itu, hal ini mencerminkan penegakan
hukum yang lemah dan tidak optimal serta lebih menonjolkan kepentingan sektoral. Oleh
karena itu untuk menjamin kepastian hukum diperlukan metode penegakan hukum yang
bersifat spesifik dengan pembagian kewenangan yang jelas sehingga masing-masing instansi

dapat menjalankan kewenanganya tanpa memunculkan egosektoral.
Sehingga dari uraian diatas, penulis merasa tertarik untuk membahas tentang penanganan
perkara tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut Indonesia, khususnya yang
berhubungan dengan peranan TNI Angkatan Laut dalam bidang penegakan hukum dalam
menangani perkara yang terjadi di wilayah perairan laut sebagai objek penelitian dalam
kajian ilmiah penulis. Adapun penelitian menganai penanganan tindak pidana diwilayah
perairan laut Indonesia ini disusun dalam bentuk karya tulis ilmiah berupa makalah yang
diberi judul “Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Tertentu Diwilayah Perairan Laut
Indonesia Melalui Optimalisasi Peran TNI Angkatan Laut Dalam Bidang Penegakan
Hukum”.
B.

Identifikasi Masalah

Titik tolak permasalahan yang menjadi acuan dalam penelitian ini meliputi dua hal, yakni
1. Bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
diwilayah perairan laut Indonesia?
2. Apakah hambatan yang dihadapi oleh TNI Angkatan Laut dalam pemberantasan
tindak pidana diwilayah perairan laut indonesia?
3. Bagaimana cara mengoptimalkan Peran TNI Angkatan Laut dalam bidang penegakan

hukum guna melakukan pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut
indonesia?
C.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan dalam upaya meningkatkan
efektifitas penanganan tindak pidana diwilayah perairan laut indonesiai yang dilakukan oleh
TNI Angkatan Laut. Secara lebih spesifik tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
diwilayah perairan laut Indonesia.
2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa yang dihadapi TNI Angkatan Laut dalam
pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut Indonesia.
3. Merekomendasikan bagaimana seharusnya cara mengoptimalkan Peran TNI Angkatan
Laut dalam bidang penegakan hukum guna melakukan pemberantasan tindak pidana
diwilayah perairan laut indonesia.

D.

Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian dalam penulisan makalah yang dilakukan oleh penulis dibagi menjadi dua,
yaitu :
1. Manfaat Secara Teorotis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam
bidang akademis, khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dibidang
ilmu hukum.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran secara menyeluruh
pelaksanaan penegakn hukum diwilayah perairan laut indonesia.
2. Manfaat Secara PraktisPenelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi
lembaga-lembaga penegak hukum yang terkait, khususnya lembaga Kepolisian, TNI
Angkatan laut, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam upaya pemberantasan tindak
pidana diwilayah perairan laut indonesia. Serta sebagai bahan pertimbangan bagi
pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam mengambil kebijakankebijakan strategis terkait penegakan kedaulatan dan penegakan hukum diwilayah
perairan laut indonesia.

BAB II
TINDAK PIDANA TERTENTU DIWILAYAH PERAIRAN LAUT INDONESIA
A.


Wilayah Perairan Laut Indonesia

Wilayah perairan laut indonesia meupakan bagian yang tidak terpisahkan dari wilayah negara
kesatuan republik indonesia secara keseluruhan. Menurut undang-undanga No. 43 tahun 2008
Tantang Wilayah negara, bahwa wilayah Negara Republik Indonesia meliputi wilayah darat,
wilayah perairan, dasar laut, dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya, termasuk
seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya[9]. Adapun wilayah perairan
indonesia meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial[10]. Selain itu
indonesia juga memiliki wilayah yurisdiksi diwilayah perairan laut di luar laut teritorial yang
meliputi Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana atas
wilayah yurisdiksi ini indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Berdasarkan konvensi internasional, yakni Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the law of the sea) 1982, wilayah
perairan laut suatu negara harus tunduk dan berdasarkan konvensi ini, dimana konvensi PBB
Tentang hukum laut tahun 1982 ini telah diratifikasi oleh indonesia dengan undang-undang
No. 17 Tahun 1985. Selanjutnya pada Tahun 1996 Indonesia telah mengundangkan Undangundang No. 6 tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia, dimana pasal 3 ayat (1) Undangundang Perairan Indonesia menegaskan bahwa wilayah perairan meliputi laut teritorial
Indonesia, perairan kepulauan, dan perairan pedalaman. Dengan demikian secara yuridis
Formal menurut Konvensi PBB Tentang Hukum Laut 1982, Undang-undang No. 43 Tahun


2008, dan Undang-undang No. 6 Tahun 1996 wilayah perairan laut Indonesia meliputi laut
Teritorial dimana Indonesia memiliki kedaulatan penuh, dan Wilayah Yurisdiksi yang
meliputi Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan, diaman pada
wilayah yurisdiksi ini indonesia memiliki hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainya.
1.

Laut Terirorial dan Perairan Kepulauan

Laut Terirorial adalah jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari garis pangkal
kepulauan Indonesia, sedangkan Perairan Kepulauan adalah semua perairan yang terletak
pada sisi dalam garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman atau jaraknya
dari pantai. Dimana bedasarkan Konvensi internasional dan Undang-undang Tentang Wilayah
Negara, negara Pantai memiliki kedaulatan penuh atas laut teritorial dan perairan kepulauan.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang
Hukum Laut (United Nations Convention on the law of the sea) 1982 bahwa negara
kepulauan memiliki kedaulatan atas perairan yang ditutup oleh atau terletak disebelah dalam
dari garis pangkal lurus kepulauan yang disebut sebagai perairan kepulauan.
Meskipun demikian, negara pantai harus memberikan hak lintas damai bagi kapal-kapal asing
yang hendak berlayar melalui laut teritorial dan Perairan kepulauan[11]. Adapun yang
dimaksud dengan lintas yaitu navigasi[12] melalui laut teritorial dan perairan kepulauan

untuk keperluan
1. melintasi laut tersebut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat
berlabuh di tengah laut atau fasilitas pela-buhan di luar perairan pedalaman.
2. berlalu ke atau dari perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut
atau fasilitas pelabuhan tersebut
2.

Zona Tambahan

Pengaturan tentang Landas Kontinen secara internasional terdapat dalam UNCLOS 1982,
yakni pada Section IV, article 33. Zona Tambahan adalah zona yang lebarnya tidak melebihi
24 mil laut yang diukur dari garis pangkal tempat dimana lebar laut teritorial diukur. Dimana
negara pantai dapat melakukan pengawasan yang diperlukan untuk mencegah pelanggaran
peranturan-perundang-undangan nasionalnya dibidang bea cukai, fiskal, imigrasi, dan saniter.
3.

Landas Kontinen

Pengaturan tentang Landas Kontinen secara internasional terdapat dalam UNCLOS 1982,
yakni pada Part IV, article 76 sampai article 85. Landas Kontinen adalah meliputi dasar laut
dan tanah di bawahnya dari area di bawaa permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial,
sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau
hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial
diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling
jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis
kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter. Sampai saat ini pengaturan mengenai landas
kontinen masih didasarkan pada undang-undang No. 1 tahun 1973, dimana pasal 2 undangundang ini menyatakan bahwa penguasaan penuh dan hak eksklusif atas sumber daya alam
dilandas kontinen ada pada negara. Dalam melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
sumberdaya alam di landas kontinen hahus mengindahkan kepentingan pertahanan dan

keamanan nasional, perhubungan, telekomonikasi, transmisi listrik dibawah laut, perikanan
maupun riset-riset ilmiah[13].
4.

Zona Ekonomi Eksklusif

Secara internasional wilayah Zona Ekonomi Eksklusif pertama kali diperkenalkan oleh
United Nation Convention on the law of the sea (UNCLOS) 1982, yakni pada Part V, article
55 sampai article 75. Sebelum konvensi hukum laut 1982 diratifikasi dengan undang-undang
No. 17 tahun 1985, indonesia telah mengundangkan undang-undang No. 5 tahun 1983
Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dimana tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia ini merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut, utamanya yang menyangkut
keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut dapat
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya[14].
Menurut undang-undang N0. 5 Tahun 1983, bahwa Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia yang meliputi dasar laut,
tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari
garis pangkal laut laut teritorial Indonesia. Dimana apabila Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia tumpang tindih dengan zona ekonomi eksklusif negara-negara yang pantainya
saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas zona ekonomi eksklusif
antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara Republik
Indonesia dan negara yang bersangkutan[15].
Konvensi Hukum laut 1982 dan undang-undang No. 5 tahun 1983 menetapkan, bahwa negara
pantai mempunyai hak-hak tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, yakni
1. Hak berdaulat untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi, pengelolaan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan non hayati dari dasar laut dan tanah di
bawahnya serta air di atasnya dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk eksplorasi dan
eksploitasi ekonomis zona tersebut, seperti pembangkitan tenaga dari air, arus dan
angin
2. Yurisdiksi untuk melakukan
a. pembuatan dan penggunaan pulau-pulau buatan, instalasi-instalasi
dan bangunan-bangunan lainnya
b. penelitian ilmiah mengenai kelautan
c. perlindungan dan pelestarian lingkungan taut
meskipun demikian, indonesia sebagai negara pantai harus menjamin kebebasan pelayaran
dan penerbangan internasional secara damai serta kebebasan pemasangan kabel dan pipa
bawah laut yang diakui sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional yang berlaku.
B.

Tindak Pidana Tertentu Diwilayah Perairan Laut

Suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pada dasarnya merupakan
perbuatan yang dicela dan dilarang untuk dilakukan sebab dapat merugikan kepentingan
orang lain maupun kepentingan umum. Menurut simons, tindak pidana (Strafbaar Feit) ialah
tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan

sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakanya dan oleh UndangUndang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.[16]
Sedangkan menurut Hazewinkel Suringa tindak pidana ialah suatu kelakuan manusia (yang
meliputi perbuatan dan pengabaian) yang memenuhi rumusan yang dilarang oleh UndangUndang dan diancam dengan pidana[17]. Dengan demikian suatu perbuatan yang
dikategorikan sebagai tindak pidana adalah apabila perbuatan tersebut dilarang oleh UndangUndang dan diancam dengan pidana. Oleh karena itu segala perbuatan ataupun aktivitas yang
dilakukan diwilayah perairan laut Indonesia yang dengan tegas dinyatakan sebagai keharusan
atau larangan oleh undang-undang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang
melanggarnya adalah merupakan suatu tindak pidana.
Hukum pidana dalam ilmu hukum dibagi menjadi hukum pidana umum dan hukum pidana
khusus, pembagian ini sebagaimna ditegaskan dalam pasal 103 Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa
“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku ini juga berlaku bagi perbuatanperbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lain diancam dengan pidana, kecuali jika
oleh undang-undang ditentukan lain”
Pasal 103 KUHP ini secara tersirat menyatakan bahwa segala ketentuan didalam KUHP
merupakan ketentuan umum, sedangkan undang-undang diluar KUHP merupakan ketentuan
khusus. oleh karena itu tindak pidana juga dibagi menjadi tindak pidana umum dan tindak
pidana khusus.
Tindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang tercantum didalam KUHP beserta
perundang-undangan yang mengubah atau menambah KUHP itu, seperti Undang-undang No.
Tahun 1946 dan Undang-undang No. 73 Tahun 1948. Sedangkan tindak pidana khusus adalah
semua tindak pidana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan diluar KUHP, beserta
semua peraturan perundang-undangan pelengkapnya baik peraturan perundang-undangan
pidana maupun bukan pidana tetapi bersanksi pidana[18].
1.

Tindak Pidana di Bidang Perikanan

Secara teoritis, tindak pidana di bidang perikanan dibedakan kedalam tiga macam, yakni
Illegal fishing, Unregulated Fishing, dan Unreported Fishing.
a) Illegal Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan secara illegal diwilayah perairan atau
ZEE suatu negara, dengan tidak memiliki ijin dari negara pantai. Menurut organisasi regional
yang bergerak di bidang perencanaan dan pengelolaan perikanan yakni International Plan of
Action (IPOA), yang dimaksud dengan illegal fishing adalah kegiatan menangkap ikan
yang[19] :
1) Dilakukan oleh orang atau kapal asing pada suatu perairan yang menjadi yurisdiksi suatu
negara tanpa ijin dari negara tersebut atau bertentangan dengan peraturan perundangundangan
yang
berlaku
2) Bertentangan dengan peraturan nasional yang berlaku atau kewajiban internasional
3) Dilakukan oleh kapal yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota
organisasi pengelolaan perikanan regional, tetapi beroperasi tidak sesuai dengan ketentuan

pelestarian dan pengelolaan yang diterapkan oleh organisasi tersebut atau ketentuan hukum
internasional yang berlaku
b) Unreported Fishing atau kegiatan perikanan yang tidak dilaporkan adalah suatu kegiatan
penangkapan ikan yang :
1) Tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar kepada instansi yang
berwenang,
tidak
sesuai
dengan
peraturan
perundang-undangan
nasional
2) Dilakukan di area yang menjadi kompetensi organisasi pengelolaan perikanan regional,
namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, tidak sesuai dengan
prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.
Sedangkan menurut Aji Sularso, Unreported Fishing adalah kegiatan penangkapan ikan di
perairan wilayah atau Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara yang tidak dilaporkan
baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya[20].
c) Unregulated Fishing atau Kegiatan perikanan yang tidak diatur adalah kegiatan
penangkapan ikan yang :
1) Dilakukan pada suatu area atau stok ikan yang belum diterapkan ketentuan pelestarian dan
pengelolaan dan kegiatan penangkapan tersebut dilaksanakan dengan cara yang tidak sesuai
dengan tanggung jawab negara untuk pelestarian dan pengelolaan sumber daya ikan sesuai
hukum
internasional
2) Dilakukan pada suatu area yang menjadi kewenangan organisasi pengelolaan perikanan
regional, yang dilakukan oleh kapal tanpa kewarganegaraan, atau yang mengibarkan bendera
suatu negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, dengan cara yang tidak sesuai
atau bertentangan dengan ketentuan pelestarian dan pengelolaan dari organisasi tersebut
Secara yuridis formal, pengaturan mengenai tindak pidana perikanan di indonesia terdapat
didalam Undang-undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yang telah diperbaharui
dengan undang-undang No. 45 tahun 2009. Dimana berdasarkan Pasal 103 Undang-undang
Perikanan, tindak pidana perikanan dibagi atas 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu tindak
pidana kejahatan dibidang perikanan dan tindak pidana pelanggaran dibidang perikanan.
Adapun yang termasuk kedalam kualifikasi Tindak pidana kejahatan dibidang perikanan
adalah tindak pidana yang diatur didalam pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91,
Pasal 92, Pasal 93, dan pasal 94 Undang-undang Perikanan. Sedangkan yang termasuk
kedalam tindak pidana pelanggaran dibidang perikanan adalah tindak pidana sebagaimana
yang diatur didalam pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal
99, dan Pasal 100 Undang-undang Perikanan.
2.

Tindak Pidana di Bidang Pelayaran

Secara yuridis, sebelum di undangkanya Undang-undang Pelayaran No. 21 tahun 1992 yang
sekarang telah diganti dengan. Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran,
perbuatan-perbuatan yang termasuk kedalam tindak pidana dibidang pelayaran diatur secara
eksklusif didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yakni dalam Buku Kedua,
Bab XXIX Tentang Kejahatan Pelayaran, pasal 438 sampai dengan pasal 479. Dimana
pengaturan tindak pidana di Bidang Pelayaran didalam KUHP terkualifikasi kedalam 8

macam, beberapa diantaranya adalah Pembajakan, Keterangan palsu isi surat ijin berlayar,
Pelanggaran Perjanjian, Penyerangan nahkoda.
Setelah di undangkanya Undang-undang No. 17 Tahun 2008 pengaturan mengenai Tindak
Pidana di bidang Pelayaran terdapat dalam pasal 284 sampai dengan pasal 336, dimana
cakupan pengaturanya lebih banyak ditekankan pada bidang-bidang yang berkaitan dengan
perniagaan, perizinan, dan pengangkutan. Meskipun demikian, tindak pidana di bidang
pelayaran menurut undang-undang pelayaran tidak hanya dapat dilakukan oleh manusia
sebagai subjek hukum, tetapi juga dapat dilakukan oleh korporasi. Hal ini sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 333 undang-undang pelayaran, bahwa
“Tindak pidana di bidang pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau
untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama”
Dimana penyidikan, penuntutan, pemidanaan terhadap tindak pidana di bidang pelayaran
yang dilakukan oleh korporasi dapat dilakukan terhadap korporasi maupun pengurusnya.
Selain itu penjatuhan pidana denda juga dapat diberberat sampai 3 kali penjatuhan denda
yang diatur dalam undang-undang pelayaran. Meskipun terdapat perluasan subjek dalam
undang-undang pelayaran, akan tetapi undang-undang pelayaran tindak mengatur mengenai
tindak pidana pembajakan sebagaimana yang diatur didalam KUHP.
3. Tindak Pidana Diwilayah Perairan Laut yang Berkaitan dengan Illegal Loging.
Pengaturan mengenai tindak pidana diwilayah perairan yang berkaitan dengan illegal loging
tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya terdapat dalam :
a.
Undang-undang
No.
41
tahun
1999
Tentang
kehutanan.
Pasal 50 ayat (3) huruf h undang-undang kehutanan menyatakan bahwa “setiap orang
dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersamasama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”. selain itu Pasal 50 ayat (3) huruf j juga
menyatakan bahwa setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya
yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam
kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang” adapun yang dimaksud dengan alat-alat
berat menurut penjelasan pasal 50 salah satunya adalah kapal. adapun perbuatan yang
melanggar ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda
paling banyak lima milyar rupiah sebagaimana dimaksud dalam pasal 78 ayat (9).
b.
Undang-undang
No.
17
Tahun
2008
Tentang
Pelayaran.
Pasal 294 dan 295 undang-undang pelayaran mengatur mengenai tindak pidana dalam
bidang pelayaran yang berkaitan dengan illegal loging. Dimana pasal 294 menyatakan bahwa
“Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai
dengan persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling
banyak empat ratus juta rupiah”
Sedangkan pasal 295 menyatakan bahwa “Setiap orang yang mengangkut barang barang
berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan, dipidana dengan
pidana penjara paling lama enam bulan dan denda paling banyak seratus juta rupiah

Adapun yang dimaksud dengan barang khsusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 45
meliputi kayu gelondongan, barang curah, rel dan ternak.
c. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang perlindungan Hutan.
Pasal 12 peraturan pemerintah tentang perlindungan hutan manyatakan bahwa “Setiap orang
yang mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan wajib dilengkapi bersama-sama
dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”[21]. Dengan demikian setiap orang yang
melakukan pengangkutan hasil hutan melalui wilayah laut perairan laut apabila tidak
dilengkapi dengan surat-suarat yang sah diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan denda paling banyak sepuluh milyar rupiah[22].
4. Tindak Pidana Diwilayah Perairan Laut yang Berkaitan dengan Pencemaran
Lingkungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
Pengaturan mengenai tindak pidana diwilayah perairan yang berkaitan dengan pencemaran
lingkungan pencemaran lingkungan dankonservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya tersebar didalam berbagai peraturan perundang-undangan, diantaranya terdapat
dalam :
a.
Undang-undang
No.
17
Tahun
2008
Tentang
Pelayaran
Pasal 325 ayat (1) menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air
balas, kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan perundangundangan sebagaimana dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan denda
paling banyak tiga ratus juta rupiah”. sedangkan Pasal 325 ayat (2) menyatakan bahwa “Jika
perbuatan tersebut mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan
hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak
lima ratus juta rupiah.
Pasal 326 menyatakan bahwa “Setiap orang yang mengoperasikan kapalnya dengan
mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas, dipidana dengan pidana penjara paling lama
dua
tahun
dan
denda
paling
banyak
tiga
ratus
juta
rupiah.
Pasal 329 menyatakan bahwa “Setiap orang yang melakukan penutuhan kapal dengan tidak
memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan maritime, dipidana dengan pidana penjara
paling lama dua tahun dan denda paling banyak tiga ratus juta rupiah.
b. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Menurut Undang-undang ini, tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati
dan ekosistemnya dibagi atas 2 (dua) jenis tindak pidana, yaitu tindak pidana kejahatan dan
tindak pidana pelanggaran[23]. Adapun yang termasuk kedalam kualifikasi tindak pidana
kejahatan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah tindak
pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 40 ayat (1) dan (2), yakni perbuatan atau
kegiatan yang dilakukan dengan sengaja yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan kawasan suaka alam[24] dan keutuhan zona inti taman nasional[25] serta
perbuatan-perbuatan berupa :
1) menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan
memperniagakan
satwa
yang
dilindungi
dalam
keadaan
hidup;
2) menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang
dilindungi
dalam
keadaan
mati;

3) mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di
dalam
atau
di
luar
Indonesia;
4) memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa
yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau
mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar
Indonesia
5) mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur
dan atau sarang satwa yang dillindungi.
Sedangkan yang termasuk tindak pidana pelanggaran di bidang konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya adalah tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 40 ayat
(3) dan (4), yakni perbuatan-perbuatan sebagaimana yang termasuk kedalam tindak pidana
kejahatan di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang dilakukan
karena kelalainya.
c. Undang-undang No. 5 tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
Menurut undang-undang ini, tindak pidana yang dilakukan di Zona ekonomi eksklusif
Indonesia adalah Tindak pidana kejahatan[26]. Adapun mengenai ketentuan pidana diatur di
dalam pasal 16 dan 17, yakni meliputi tindak pidana kejahatan berupa :
1) Melakukan eksplorasi, eksploitasi sumber daya alam atau kegiatan lainnya untuk
eksplorasi dengan tidak mentaati ketentuan tentang pengelolaan dan konservasi yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah
Republik
Indonesia
2) Membuat dan atau menggunakan pulau-pulau buatan atau instalasi-instalasi atau
bangunan-bangunan lainnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dengan tidak berdasarkan
izin
dari
Pemerintah
Republik
Indonesia
dan
dilaksanakan
3) Melakukan kegiatan penelitian ilmiah di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tanpa
persetujuan pemerintah indonesia dan dilaksanakan tidak berdasarkan syarat-syarat yang
ditetapkan
oleh
Pemerintah
Republik
Indonesia
4) Dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang menyebabkan rusaknya lingkungan
hidup dan/atau tercemarnya lingkungan hidup dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
5) merusak atau memusnahkan barang-barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak
pidana tersebut diatas dengan maksud untuk menghindarkan tindakan-tindakan penyitaan
terhadap barang-barang tersebut pada waktu dilakukan pemeriksaan
C. Instansi Yang Berwenang Melakukan Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Tertentu
Diwilayah Perairan laut Indonesia
Bahwa dalam upaya pengamanan dan penegakan hukum di wilayah perairan laut indonesia
terdapat tiga instansi yang berwenang melakukan penyidikan yang masing-masing didukung
oleh undang-undang tersendiri, ketiga instansi tersebut yakni Kepolisian Negara Republik
Indonesia, TNI Angkatan Laut, dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
1. Wewenang Kepolisian RI dalam Melakukan Penyidikan Terhadap Tindak
Pidana Tertentu Diwilayah Perairan Laut Indonesia
Bahwa fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat[27]. hal ini sebagaimana di tegaskan dalam

pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,
bahwa tugas pokok Kepolisian RI adalah
1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat
2. Menegakkan hukum
3. memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.
Selain itu, dalam pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, dikatakan bahwa “kepolisian Negara republik Indonesia bertugas
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainya”.
Wewenang kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik tersebut sesuai pengaturan yang
terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dimana di
dalam pasal 4 KUHAP dikatakan, bahwa Penyelidik adalah setiap pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia. Sedangkan dalam pasal 6 ayat (1) KUHAP, dikatakan bahwa penyidik
adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan Pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang. Selain berdasarkan undang-undang
kepolisian dan KUHAP wewenang kepolisian diwilayah perairan laut juga dinyatakan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur tentang tindak pidana tertentu
diwilayah perairan laut.
Pasal 72 undang-undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan menyatakan bahwa
Penyidikan dalam perkara tindak pidana di bidang perikanan, dilakukan berdasarkan hukum
acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini. Adapun yang
dimaksud dengan hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana yang terdapat didalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), sedangkan menurut KUHAP yang
berwenang melakukan penyidikan salah satunya adalah Pejabat Kepolisian Republik
Indonesia. Sedangkan pasal 73 ayat (1) undang-undang perikanan juga menyatakan bahwa
Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Perikanan, Perwira TNI Angkatan Laut, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
Selain itu pasal 282 ayat (1) undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran juga
memberikan kewenangan kepada pejabat polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang pelayaran.
Selain berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang perikanan dan
pelayaran, Kepolisian juga berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
diwilayah perairan laut indonesia yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan dan
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Hal ini sebagaimana dinyatakan
dalam pasal 94 undang-undang No. 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan Lingkungan Hidup
bahwa Kepolisian berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana lingkungan
hidup. Kewenangan serupa juga diberikan oleh Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dimana pasal 39 menyatakan bahwa
pejabat kepolisian Republi Indonesia berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
2. Wewenang TNI Angkatan Laut dalam Melakukan Penyidikan Terhadap Tindak
Pidana Tertentu Diwilayah Perairan Laut Indonesia

Secara universal TNI Angkatan Laut memiliki tiga peran yaitu peran militer, peran polisionil,
dan peran diplomasi. Peran polisionil dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum di laut,
melindungi sumberdaya dan kekayaan laut nasional, serta memelihara keamanan dan
ketertiban di laut. Secara yuridis formal ketiga peran ini telah diimplementasikan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tugas TNI Angkatan
Laut[28]. Pasal 9 Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa salah
satu Tugas TNI Angkatan Laut adalah menegakkan hukum dan menajga keamanan di wilayah
laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional
yang telah diratifikasi[29]. Adapun yang dimaksud dengan tugas menegakkan hukum dan
menjaga keamanan adalah segala bentuk kegiatan yang berhubungan dengan penegakan
hukum dilaut sesuai dengan kewenangan TNI Angkatan Laut (constabulary function) yang
berlaku secara universal dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
untuk mengatasi ancaman[30], tindakan kekerasan, ancaman navigasi, serta pelanggaran
hukum diwilayah laut yurisdiksi nasional. Adapun penegakan hukum yang dilaksanakan oleh
TNI Angkatan laut adalah terbatas dalam lingkup pengejaran, penangkapan, penyelidikan,
dan penyidikan perkara yang selanjutnya diserahkan kepada kejaksaan untuk dilakukan
penuntutan[31].
Pasal 284 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyatakan bahwa
KUHAP berlaku untuk semua tindak pidana, dengan pengecualian untuk sementara mengenai
ketentuan khusus acara pidana sebagaimana dinyatakan dalam undang-undang tertentu.
Dengan demikian pasal 6 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa penyidik adalah pejabat
kepolisian dan Pejabat pegawai negeri sipil tertentu, masih membuka kemungkinan adanya
penyidik lain selain pejabat kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu, sepanjang
mengenai perkara-perkara Khusus yang diatur dalam undang-undang tertentu yang memuat
ketentuan hukum acara pidana tersendiri. Dengan demikian maka dalam penyelesaian perkara
tertentu yang diatur dalam undang-undang tertentu dalam penerapan dan penegakan
hukumnya memuat acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (Lex Specialis)[32].
Pasal 9 huruf b undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi dasar wewenaang
TNI Angkatan laut dalam melaksanakan penegakan hukum diwilayah perairan laut. Selain itu
dasar wewenang TNI Angkatan Laut dalam melakukan pemberantasan tindak pidana
diwilayah perairan laut juga dinyatakan secara tegas dalam berbagai peraturan perundangundangan lainya yang mengatur tentang wilayah perairan laut indonesia maupun yang
mengatur secara khusus mengenai tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.
Menurut pasal 73 Undang-undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan, sebagaimana telah
diperbaharui dengan undang-undang No. 45 tahun 2009, bahwa penyidikan tindak pidana di
bidang perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI
Angkatan Laut, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Selain itu pasal 73 ayat (2)
Undang-undang No. 45 Tahun 2009 memberikan kewenang Eksklusif kepada TNI untuk
melakukan penyidikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonensia. Wewenang yang serupa juga
diberikan oleh undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran, dimana meskipun pasal
282 ayat (1) memberikan kewenangan kepada pejabat kepolisian Negara Republik Indones
dan pejabat pegawai negeri sipil untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di
bidang pelayaran, namun pasal 340 Undang-undang perikanan memberikan kewenangan
yang eksklusif kepada TNI Angkatan Laut untuk melakukan penyidikan di perairan Zona
Ekonomi Eksklusif indonesia.

Selain berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana dibidang perikanan dan
pelayaran, TNI Angkatan Laut Juga Berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana diwilayah perairan laut yang berkaitan dengan pencemaran lingkungan dan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dimana pasal 39 ayat (2) undang-undang No. 5
Tahun 1990 Tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, menyatakan
bahwa Kewenangan penyidik kepolisian dan pejabat pegawai negeri sipil dalam melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana dibidang konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, tidak mengurangi kewenangan penyidik sebagaimana yang diatur dalam
Undang-undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan Undangundang Perikanan. Sedangkan menurut pasal 14 undang-undang No. 5 uTahun 1983 tentang
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia memberikan kewenangan penuh kepada Perwira TNI
Angkatan laut untuk melakukan penyidikan penyidikan di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
Kewenangan TNI Angkatan laut dalam Melakukan penegakan Hukum diwilayah Perairan
Laut juga diperkuat oleh peraturan perundang-undangan lainya yang mengatur masalah
perairan indoneisa seperti undang-undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia,
maupun konvensi-konvensi internasional seperti United Nations Convention on the law of the
sea 1982. Pasal 24 undang-undang tentang Perairan Indonesia menegaskan bahwa
penegakan kedaulatan dan hukum di wilayah perairan Indonesia, ruang udara di atasnya,
dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum
internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adapun yang dimaksud
dengan konvensi hukum internasional salah satunya adalah Konvensi Perserikatan BangsaBangsa (PBB) Tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the law of the sea) 1982
yang telah diratifikasi dengan undang-undang No. 17 tahun 1985. Dimana dalam article 111
part (5) konvensi hukum laut 1982 menyatakan bahwa “The right of hot pursuit may be
exercised only by warships ormilitary aircraft, or other ships or aircraft clearly marked and
identifiable as being on government service and authorized to that effect” dengan demikian
TNI Angkatan laut menurut konvensi internasional berwenang melakukan penegakan
kedaulatan negara dan penegakan hukum sesuai dengan yurisdiksi negera diwilayah perairan
laut.
3. Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil dalam Melakukan Penyidikan Terhadap
Tindak Pidana Tertentu Diwilayah Perairan Laut Indonesia
Pasal 6 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menegaskan bahwa
penyidik adalah
1. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia
2. Pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undangUndang
Adapun undang-undang yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf b diatas ialah undangundang tertentu yang memuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex
spesialis). Wewenang penyidik pegawai negeri sipil dalam melakukan penyidikan tindak
pidana diwilayah perairan laut secara tegas dinyatakan dalam berbagai peraturan perundangundangan yang mengatur baik mengenai wilayah perairan laut indonesia maupun mengenai
tindak pidana tertentu diwilayah perairan laut.

Undang-undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan, sebagaimana telah diperbaharui
dengan undang-undang No. 45 tahun 2009, memberikan wewenang kepada penyidik pegawai
negeri sipil perikanan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak pidana perikanan baik
diwilayah laut teritorial indoneisa maupun di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia[33].
Berdasarkan pasal 282 ayat (1) undang-undang No. 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran,
penyidik pegawai negeri sipil berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
dibidang pelayaran. Selain itu, dalam tindak pidana di bidang pencemaran lingkungan hidup
dan konservasi sumberdaya alam hayati diwilayah perairan laut, penyidik pegawai negeri
sipil juga diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, sebagaimana ditegaskan dalam
pasal 39 ayat (1) undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konsevasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya, pasal 94 ayat (1) undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Adapun yang dimaksud dengan penyidik pegawai negeri sipil dalam hal ini adalah pejabat
pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
tanggung jawabnya berkaitan dengan bidang-bidang tertentu yang diberi wewenang sebagai
penyidik. Misalnya penyidik yang berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana
dibidang pelayaran adalah pejabat pegawai negeri sipil di lingkungan instansi pemerintah
yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran. Begitu juga dengan
penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang menyidik tindak pidana perikanan adalah
pejabat pegawai negeri sipil pada instansi pemerintahan yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya berkaitan dengan bidang perikanan.

BAB III
METODE PENELITIAN
A.

Metode Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu
pendekatan masalah dengan meninjau peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini
yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, serta ditambah
dengan studi pustaka yang diperoleh melalui buku-buku yang berkaitan dengan peranan TNI
Angkatan Laut dalam Bidang penegakan hukum.
B.

Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan dan menganalisis data yang diberoleh berupa data sekunder yang didukung
oleh data primer mengenai berbagai masalah yang berkaitan dengan peran TNI Angkatan
Laut dalam upaya pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut Indonesia sehingga
dapat memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai peran TNI angkatan Laut
dalam bidang penegakan Hukum khususnya diwilayah perairan laut indonesia.
C.

Tahapan Penelitian

Penelitian terhadap upaya pemberantasan tindak pidana diwilayah perairan laut Indonesia
melalui optimalisasi peran TNI angkatan laut dalam bidang penegakan hukum dilakukan

melalui penelitian kepustakan (Library Research), yakni penelitian terhadap data-data
sekunder yang terdiri dari :
1. Penelitian Terhadap Bahan-bahan Hukum Primer, meliputi
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
2. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
3. Undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara
4. Undang-undang No. 34 Tahun 2004 Tentang TNI
5. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia
6. Undang-undang No. 31 tahun 2004 Tentang Perikanan yang telah di ubah
dengan undang-Undang No. 45 Tahun 2009
7. Undang-undang No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
8. Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konsevasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya
9. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup
10. Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
11. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 Tentang perlindungan hutan
12. Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP
13. Peraturan pelaksana lainya.
14. Penelitian Terhadap Bahan-bahan Hukum Sekunder.
Penelitian dilakukan terhadap bahan-bahan hukum penunjang yang memberikan penjelasan
terhadap bahan hukum primer yang didapat dari buku-buku yang ditulis para ahli dan
makalah-makalah seminar, serta bahan hukum tersier, yaitu bahan-nahan lainya yang ada
relevansinya dengan pokok permasalahan yang berupa artikel-artikel dari majalah maupun
Koran.
D.

Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah berupa Studi Kepustakaan,
yaitu segala usaha yang dilakukan oleh penulis dalam rangka menghimpun informasi yang
relevan dengan topik atau masalah yang sedang diteliti, yang diperoleh dari buku-buku
ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan,

ketetapan-ketetapan, buku tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak
maupun elektronik lain.
E.

Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disusun
secara kualitatif untuk mendapat kejelasan masalah yang dibahas dalam karya tulis ini dengan
tidak menggunakan rumus, kemudian data primer dan sekunder
BAB IV
ANALISIS PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya Pemerintah Dalam Melakukan Pemberantasan Tindak Pidana Diwilayah
Perairan Laut Indonesia
Bahwa sebagai negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya berupa perairan, laut
memiliki posisi yang strategis dan potensi yang luar biasa baik dalam bidang ekonomi,
pertahanan, maupun keamanan. Laut memiliki empat makna yang sangat strategis, yaitu
1. Sebagai sumber daya alam dan media untuk mencari nafkah
2. Sebagai pemersatu bangsa
3. Sebagai media pertahanan
4. Sebagai media perhubungan
Mengingat pentingnya wilayah laut, maka keamanan wilayah laut menjadi syarat mutlak bagi
setiap negara yang menghendaki.perdamaian, kemakmuran, dan kesejahteraan nsebab apabila
laut tidak aman, maka kelancaran perekonomian dan keamanan akan sangat terganggu[34].
Berbagai agenda dan cara telah ditempuh oleh pemerintah dalam rangka melaku