DARI HERMENEUTIK KE SEMIOTIK POS STRUKTU
DARI HERMENEUTIK KE SEMIOTIK POS-STRUKTURAL:
KE ARAH PENGEMBANGBIAKAN MAKNA
Oleh Aprinus Salam1
***
Menganalisis dan/atau memaknai karya sastra itu tergantung asumsi-asumsi
awal (premis-premis dasar) teoretis yang dibangun atau dipilih sesuai dengan tujuan,
niat, kepentingan, keperluan-keperluan strategis, atau mungkin tuntutan-tuntutan
tekstual dalam memaknai karya sastra. Pilihan tersebut bersifat subjektif, walaupun
atas nama kepentingan akademis, mungkin tergantung selera dan minat, dan setiap
analisis bertangung jawab secara internal di dalam dirinya. Tujuan pemaknaan,
misalnya, bisa bersifat semata-mata satu eksplorasi akademis terhadap hal-hal di balik
yang tak terkatakan (yang tersembunyi) dalam sebuah karya sastra, tetapi tidak
tertutup kemungkinan bahwa tujuan pemaknaan sebagai sesuatu yang “bertujuan
lain”, sesuatu kesengajaan untuk “membongkar” sesuatu yang terselubung, sesuatu
yang tak terbaca atau tak tampak. Dengan demikian, pada dasarnya analisis dan atau
pemaknaan terhadap karya sastra memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Persoalan muncul ketika seseorang secara khusus diminta mengetahui selukbeluk atau asal muasal asumsi-asumi awal (premis-premis dasar) teoretis yang dipilih
dalam memulai dan memaknai karya sastra. Pengetahuan ini dituntut agar seseorang
tidak tumpang tindih atau mungkin berlawanan dalam pemahamannya tentang
premis-premis tersebut sehingga operasi-operasi analisis dalam perspektif teoretis
tertentu tidak memenuhi sasaran. Kemungkinan lain adalah bahwa seseorang
mengetahui beberapa konsep dasar teoretis tertentu, tetapi tidak begitu lihai
bagaimana mengoperasikannya, atau tidak begitu paham apa saja yang perlu
diuraikan berkaitan dengan operasi teori tersebut.
Secara klasik, premis-premis tersebut ditentukan oleh pilihan terhadap
orientasi analisis (pemaknaan), apakah memberikan perhatian pada orientasi ekspresif
(kepengarangan), orientasi objektif, orientasi mimetis, dan orientasi pragmatis
(Abrams, 1979). Dalam sejarah teori dan praktik analisis sastra Indonesia, keempat
1
Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
2
praktik analisis tersebut cukup dominan, terutama praktik anasilis objektif
(struktural). Bahkan hingga kini buku-buku teori analisis dengan orientasi analisis
struktural objektif ini masih ditulis, dicetak ulang, dan dipelajari. 2 Walaupun akhirakhir ini sudah menunjukkan keragaman dan variasi, masih banyak mahasiswa
menulis skripsi dalam orientasi pendekatan struktural objektif ini. Pilihan orientasi
tersebut secara lebih khusus menentukan pilihan-pilihan teoretis yang relevan agar
operasi analisis menjadi lebih maksimal. Akan tetapi, sangat mungkin untuk
keperluan dan tujuan tertentu, seseorang dalam memaknai karya sastra melakukan
kombinasi-kombinasi orientasi. Kombinasi tersebut juga bersifat strategis, sekali lagi
tergantung derajat keperluan dan tujuan dalam memaknai karya sastra.
Kategori orientasi analisis (pendekatan) seperti telah disinggung di depan,
walaupun dikonseptualisasikan lebih belakangan, secara inheren telah menggiring
premis-premis dasar analisis dengan sejumlah teori dan cara pemaknaan. Dalam
menganalisis dan memaknai dengan orientasi ekspresif, misalnya, salah satu asumsi
awal yang perlu dikemukakan adalah seberapa jauh institusi dan struktur sosial
pengarang berpengaruh terhadap karya sastra, atau seberapa jauh karya sastra
merupakan media bagi pengarangnya untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, atau
opini. Berdasarkan pertanyaan itu, seseorang diminta secara luas memiliki
pengetahuan yang bersifat sosiologis atau bahkan psikologis terhadap segala sesuatu
berkaitan dengan pengarang. Terdapat semacam tuntutan agar interpretasi
(pemaknaan) sesuai seperti yang dimaksukan pengarang, atau makna teks dapat
diacukan dengan maksud pengarang. Orientasi dengan tekananan objektif, dengan
derivasi teori-teori seperti semiotik dan postrukrutalisme, misalnya, berasumsi awal
bahwa teks adalah sesuatu yang otonom. Jadi, tidak lagi perlu dikaitkan dengan
makna yang dimaksudkan pengarang.
Saat ini, tampaknya orientasi yang cukup dominan adalah orientasi objektif
(sebagai kajian tekstual) dan pragmatis (fungsi, peranan, pengaruh, dan implikasiimplikasi resepsi lainnya). Secara inheren orientasi ini berkolaborasi secara luas, dan
melahirkan teori-teori sastra yang beragam, seperti struktural objektif, teori semiotik,
2
Misalnya saja karya-karya Pradopo (1988, 1995, 2002), Nurgiyantoro (1995), dan Sayuti (2000).
3
hemeneutik, sosiologi, psikologi (psikoanalisis), resepsi, dan sebagainya. Berkat
munculnya para pemikir yang radikal, dan tentu karena perkembangan premis-premis
yang dibangun dengan paradigma filosofi yang berbeda, teori ini juga melahirkan
teori-teori
seperti
semiotik-postruktural,
postrukturalisme,
posmodern-isme,
poskolonialisme, teori-teori wacana, dan sebagainya.
Tulisan ini hanya membicarakan salah satu dari perkembangan mutakhir teori
sastra modern, yakni kesinambungan teori hermeneutik dan semiotik-postruktural.
Pilihan terhadap konsep dasar teori ini dikarenakan teori ini memberikan ruang
pemaknaan yang luas dan telah membuka “jalan buntu” bagi teori-teori pemaknaan
sebelumnya.
***
Dalam pengertian sederhana hermeneutik dapat diartikan sebagai cara
memahami dan mengerti karena sebelum terjadi mengerti ada proses interpretasi.
Dalam proses interpretasi tersebut ada sejumlah masalah yang menuntut penjelasan,
yakni siapa subjek yang berbicara, mediasinya, ataupun siapa pula yang menerima
informasi tersebut. Palmer (1969) memberikan rincian hermeneutika sebagai cara
meng-kata-kan, sebagai cara menerangkan, dan sebagai cara menerjemahkan dari satu
bahasa ke bahasa lain sehingga informasi yang terkandung dalam satu bahasa dapat
dimengerti oleh penerima/ pendengar/pembaca. Pada awalnya, keterangan itu
dimaksudkan sebagai satu usaha mentransformasikan "bahasa langit" (pada umumnya
seperti yang tertulis dalam “teks-teks suci”) ke "bahasa bumi”, dan biasanya batasan
tradisional ini dianggap benar.
Dengan berkembangnya berbagai jenis, bentuk, dan kepentingan penggunaan
bahasa (tulis), maka dalam banyak hal pengertian di atas tentu sudah tidak memadai
lagi. Apalagi semakin banyak gugatan yang mempersoalkan akurasi proses
transformasi tersebut, siapakah pembicara/penulis “bahasa langit” tersebut, siapa
yang paling berotoritas menjadi Hermes, apakah satu bahasa bisa diterjemahkan ke
bahasa lain secara tepat dan benar, siapakah pula penerima/pembaca teks tersebut,
dan sebagainya. Hal tersebut juga belum mempersoalan “misi” atau pesan baik yang
4
disampaikan secara terbuka maupun tersembunyi oleh teks, konteks tranformasi,
bahkan implikasi-implikasi berkaitan dengan persoalan penafsiran.
Memang, pada awalnya, arti atau konsep hermeneutik disejajarkan dengan
istilah penafsiran (interpretation). Akan tetapi, dalam sejarah perjalanannya,
keduanya dibedakan dalam tataran teleologis. Penafsiran biasanya disejajarkan
dengan praktik interpretasi itu sendiri, sedangkan hermeneutik mengacu pada tujuan,
prinsip, dan kriteria dari praktik interpretasi. Dalam pengertian tersebut,
hermeneutika dapat disebut sebagai teori interpretasi.
Secara umum, konsep hermeneutika dipahami dalam dua pengertian. Pertama,
hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan kedua,
hermeneutika dipahami sebagai suatu penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang
tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami. Ada satu pandangan yang mencoba
mengakomodasi
kedua
pengertian
tersebut,
yakni
suatu
pandangan
yang
mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana suatu kata,
bahasa, atau peristiwa yang telah ditulis (tertulis) dapat dipahami dan menjadi
bermakna pada saat teks tersebut dibaca kembali di waktu yang lebih kemudian,
berdasarkan aturan-aturan atau asumsi-asumsi metodologis aktivitas pemahaman.
Akan tetapi, pandangan yang mencoba mengakomodasi perbedaan peradigma
hermeneutik tersebut masih terlalu berambisi untuk mengklarifikasi persoalan
kebenaran sebuah penafsiran.
Itulah sebabnya, dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, paradigma
hermeneutika mengalami pergeseran yang cukup penting dari fungsinya sebagai satu
kerangka epistemologis menuju ke satu kecenderungan yang lebih menekankan aspek
ontologis. Kecenderungan ini dapat disaksikan pada karya-karya Heidegger dan
Gadamer,
dengan pandangan bahwa hermeneutika tidak harus selalu tenggelam
dalam satu pergulatan metodis dan teoretis dalam rangka menentukan salah benarnya
sebuah penafsiran. Akan tetapi, hermeneutika justru harus mengklarifikasi ke-ada-an
yang ada di balik metode dan keterbatasan setiap klaim kebenaran pemahaman
manusia.
5
Asumsi ini berangkat berkat munculnya kesadaran baru dari para pemikir ilmu
kemanusiaan, termasuk di dalamnya seni dan sastra, terutama penolakan dan
pembongkaran terhadap kooptasi filsafat positivisme yang menekankan pada satu
ukuran kebenaran mutlak, objektif/teruji, empirik, dan rasional. Pergeseran penting
ini juga menandai keberpihakan dan rasa percaya diri ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kepada dirinya sendiri yang selama ini ditelikung oleh rezim ilmu-ilmu eksakta.
***
Sebagaimana dapat dipahami, pada umumnya teks (tertulis) merupakan fiksasi
atau pelembanggaan sebuah wacana lisan ke dalam bentuk tulisan (Ricoeur, 1989:
145).
Diperkirakan ada sebuah pembayangan bahwa sebuah wacana, sebelum
diekspresikan ke dalam bahasa lisan, biasanya sudah "ada" dan "tersusun" dalam diri
pembicara (katakanlah semacam langue dalam konsep Saussurian). Pada tataran ini,
dapat dikatakan bahwa hubungan antara pikiran, bahasa, dan wacana tidak bisa
dipisahkan sepenuhnya. Hubungan-hubungan itu merupakan salah satu agenda pokok
hermeneutik, yaitu mengkaji pikiran dan perasaan yang dilembagakan dalam bahasa
tulis, sementara pembicara tidak lagi berada di tempat.
Masih ada hal yang perlu dipersoalkan jika teks adalah sebuah wacana lisan
yang dibekukan dalam bahasa tulis. Kalau teks adalah rekaman sebuah wacana lisan
ke dalam bentuk tulisan, misalnya saja catatan seorang mahasiswa terhadap kuliah
tertentu dari seorang dosennya, bukankah hal itu tidak lebih semacam fiksasi dari
sebuah wacana yang diabadikan dalam format tulisan. Di sini dibedakan antara
aktivitas menulis sebagai aktivitas merekam atau mencatat, dibanding menulis
sebagai satu proses yang lebih kompleks dibanding aktivitas mencatat atau merekam.
Memang, catatan kuliah atau transkripsi sebuah rapat tetap layak dipelajari dari sudut
kepentingan tertentu. Akan tetapi, tulisan tersebut dibedakan berdasarkan kriteriakriteria di dalam dirinya sehingga perbedaan tersebut tidak selayaknya dikacaukan.
Kesalahkaprahan ini tampaknya menimbulkan serentetan kerancuan dalam mengkaji
fenomena “tekstual” sehingga sejumlah kajian yang berdatakan “tulisan”, misalnya
yang terdapat dalam karya sastra atau media massa, tidak ditempatkan
kedudukan yang semestinya.
dalam
6
Perlu ditegaskan bahwa teks dikatakan teks hanya ketika seorang penulis
mencoba mengemukakan gagasannya “secara sadar” dan sengaja, bukannya
transkripsi dari sebuah wacana. Istilah secara sadar tertulis dalam tanda petik karena
konsep “sadar” atau “tidak sadar” memerlukan penjelasan tersendiri (Dengan ingatan
pada konsep psikonalisis baik yang dikembangkan oleh Freud maupun Jung).
Artinya, pada dasarnya, seseorang ketika menulis berdimensi ganda. Ada sisi-sisi
sadar seperti maksud/tujuan dan kepentingan penulisan, tetapi ada sisi-sisi tak sadar
seperti penguasaan sistem abstrak kebahasaan ala Saussure (atau ketaksadaran
kolektif dalam perspektif Jungian, struktur tak sadar dalam perspektif Freudian,
ketaksadaran bahasa dalam istilah Lacan),3 yakni dalam hal ini terutama parole.
Dalam teori bahasa, teks tidak lain merupakan himpunan huruf yang
membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati
oleh masyarakat pemakai bahasa bersangkutan sehingga sebuah teks dapat
mengungkapkan maksud dan arti tertentu (Bdk. Silverman, 1994: 73). Namun,
sebuah teks tidak pernah dapat mengungkapkan sesuatu secara lengkap. Hal ini
terjadi karena ketika teks itu ditulis, penulis disadari atau tidak mengeksekusi satu
diksi/kata tertentu, maka secara langsung mengesampingkan diksi yang lain. Dalam
proses seleksi dan eksekusi tersebut ada berbagai hal yang mengondisikan pilihanpilihan (Foucault, 1977). Jika dikaitkan dengan proses-proses “tujuan” dan
“kepentingan” pemaknaan penulis, maka situasi tersebut dapat disebut sebagai ruang
permainan tersendiri antara penulis dengan pemaknaan teks yang ditulisnya.
Masalahnya adalah bahwa sebuah tulisan tentu tidak dimaksudkan dibaca oleh
penulisnya sendiri. Ketika teks itu sampai ke pembaca, pembaca tidak harus
berkesesuaian dengan makna yang dirancang oleh penulis. Itu pula sebabnya, banyak
teks yang pada mulanya tidak dapat dipahami dan dimengerti, semakin ditafsirkan
dengan cara-cara tertentu, semakin memperlihatkan keragamanan arti. Sebagai
implikasinya, apa dan bagaimana pun upaya penafsiran dan atau pemaknaan terhadap
3
Hal tersebut disinggung untuk sekadar memperlihatkan titik-titik presentuhan antara satu teori dengan
teori lain karena sama-sama dalam paradigma struktural. Akan tetapi, bukan berarti teori tersebut
memiliki paradigma teoretik yang sama. Dikemudian hari, terutama teori Freud, dan kemudian
dikembangkan oleh Lacan, menjadi salah satu embiro penting bagi munculnya teori-teori posstruktural.
7
sebuah teks, tidak akan pernah sepenuhnya lengkap, kecuali dalam perspektif
bagaimana teks itu ditafsirkan. Tidak ada sebuah interpretasi, selengkap apa pun,
dapat menafsirkan pemaknaan suatu teks secara benar dan utuh, dia terus berproses
menemukan jalannya ke wilayah-wilayah baru, ke kemungkinan-kemungkinan lain.
Dalam teori hermeneutik, pada umumnya disepakati bahwa luas cakupan
hermeneutik berkisar pada tiga hal, yaitu dunia teks (the world of the text), dunia
pengarang (the world of the author), dan dunia pembaca (the world of the reader),
atau biasa disebut triadik hermeneutik. Hermeneutik berbicara mengenai hampir
semua hal yang berkaitan dengan tiga hal tersebut mencakup teks, pembacaan,
pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan situasi atau kondisi
paradigmatik pemaknaan pembaca ataupun pengarang.
Dalam cakupan itulah hermeneutik menjadi sangat berhubungan dengan
semiotik. Semiotik membahas "satu wilayah" yang lebih spesifik dengan hanya
memberikan fokus perhatian pada teori tentang peranan, fungsi, dan cara kerja tandatanda yang terdapat pada teks. Seperti diketahui, teori semiotik yang pada mulanya
dikembangkan oleh Saussure, dan Peirce di sisi lain, bergerak dalam paradigma
struktural. Tesis utama semiotik struktural adalah bahwa alam dunia dapat dipahami
selama manusia mampu mengungkapkan adanya struktur yang menjamin keteraturan,
atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Konsep ini juga
melegitimasi hubungan oposisi biner, seperti kemudian dikembangkan oleh LeviStrauss, yang kemudian menjadi mapan, suatu pemahaman yang lebih menekankan
pada aspek epistemologi.
Pendekatan strukturalis, dalam pengaruh positivisme, memang melahirkan
banyak penafsiran, tetapi berujung pada satu tuntutan pada pemaknaan tunggal. Di
sini terjadi satu hegemoni dan monopoli kebenaran. Alasannya adalah bahwa terdapat
satu sistem struktur yang mapan di balik tanda-tanda (kebahasaan) dalam teks.
Hubungan biner antara teks di dunia nyata dan maknanya di dunia ide adalah baku
dan tidak dapat diganggu gugat.
Persoalannya adalah siapa yang berhak menetapkan klaim kebenaran dan
kebakuan tersebut. Sebagai ilustrasi, tidak ada seorang pun yang berhak menyamakan
8
arti dan makna kata salju, baik sebagai ikon maupun terutama sebagai simbol, bagi
orang Eskimo dan bagi orang Indonesia. Ada belasan penyebutan (kata) yang berarti
(bermakna) salju bagi orang Eskimo, tetapi bagi orang Indonesia tidak lebih salju,
benda putih dingin-beku, yang barangkali sebagian besar orang Indonesia hanya
melihatnya di film. Imajinasi dan makna salju di antara dua bangsa tersebut pasti
berbeda. Apakah orang Eskimo lebih benar, dan orang Indonesia salah. Apakah orang
Indonesia harus seperti orang Eskimo dalam memahami salju, atau sebaliknya, atau
bahkan seperti yang didefinisikan dalam kamus paling standar sekalipun. Paradigma
semiotik struktural tampaknya tidak lagi dapat menjawab pertanyaan dan masalah
tersebut dengan meyakinkan.
Hermeneutika menjembatani jarak ruang waktu antara penulis dan pembaca.
Penjembatanan itu tidak lantas menganggap dalam suatu dialog langsung penafsiran
tidak diperlukan. Yang ingin ditekankan adalah bahwa hermeneutik menitikberatkan
kajiannya pada penafsiran teks. Padahal, berdasarkan kenyataan, adalah hal yang sulit
untuk
mendapatkan
asal-usul
data
teks
yang
lengkap,
juga
mengenai
penulis/pengarangnya. Kemustahilan kelengkapan itu menyebabkan terpisahnya
keberadaan teks dan pengarang. Dengan terpisahkan teks dan pengarangnya, dan dari
situasi sosial yang melahirkannya, berimplikasi bahwa sangat mungkin sebuah teks
tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pembaca. Apalagi
asumsi ini didukung bahwa sebuah teks ditulis ketika pengarangnya berada dalam
satu situasi dan kondisi tertentu yang berbeda dengan situasi dan kondisi lainnya.
Persoalan lain muncul dikarenakan adanya jarak dan perbedaan bahasa, tradisi,
dan cara berpikir antara teks dan pembaca, karena bahasa dan muatannya tidak dapat
dipisahkan dengan lingkungan kultural tempat bahasa itu hidup. Berpikir tidak dapat
dipisahkan dari bahasa, dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan
pemikiran (cara berpikir). Dalam masalah ini, dapat dipahami jika jumlah tafsiran
terhadap sebuah teks demikian beragam. Tidak ada penafsiran tunggal terhadap
sebuah teks. Setiap penafsiran selalu terikat oleh lingkungan sosial, kultural, bahkan
ideologi pembacanya. Inilah apa yang biasa disebut sebagai kontekstualisasi
pemahaman atau penafsiran dan ataupun pemaknaan.
9
Pengantaran di atas diperlukan dalam rangka penekanan pada otonomi teks dan
semakin pentingnya kedudukan pembaca. Suatu teks yang dipublikasikan, maka
otomatis teks itu bersifat otonom, artinya dapat ditafsirkan dalam kerangka makna
pembacanya. Seperti telah dibahas oleh Ricoeur,
ada beberapa hal yang perlu
ditekankan berkaitan dengan teks. Sebuah teks sekurang-kurangnya mengandung tiga
dunia makna; (1) dunia "di belakang teks", yaitu latar belakang historis-kultural yang
melahirkan teks, (2) dunia "di dalam teks", yaitu ide-idea atau kenyataan-kenyataan
yang dicipta oleh teks itu sendiri, (3) dunia "di depan teks", yaitu kesadaran baru
yang tercipta setelah pembaca, dengan latar belakang wawasan dan pemahamannya,
membaca teks. Dalam proses ini biasanya terjadi peleburan wawasan antara wawasan
yang dikandung oleh teks dengan wawasan pembaca, dalam istilah Gadamer disebut
sebagai fusion of horizon.
Sementara itu, pada umumnya penafsir menghadapi teks menurut tahapan
berikut. (1) Pre-understanding, yaitu pembaca/ penafsir menghadapi teks dengan
prasangka (seperti juga diingatkan oleh Gadamer) atau hipotesis tertentu. Situasi ini
menjelaskan mengapa sebuah penafsiran menjadi tidak pernah bersih. (2)
Explanation, yaitu terjadinya pengaitan-pengaitan secara vertikal antara teks dengan
latar belakangnya, juga relasi horisontal antara bagian yang satu dengan bagianbagian yang lain dalam teks, (Pengertian ini mendapat penegasan bahwa setiap teks
adalah interteks). (3) Understanding, yaitu mengaitkan semua itu dengan konteks
baru pembaca, dengan wawasan pribadinya. Setelah proses ini, bisanya diikuti suatu
kesadaran baru yang sangat mungkin akan mengubah pandangan penafsir terhadap
kandungan teks.
Konsep prangsangka (prejudice) perlu mendapat keterangan tersendiri. Hal itu
dimaksud untuk dialamatkan kepada bukan saja kepada pembaca, tetapi kepada teks
itu sendiri. Ada tiga konsep prasangka yang perlu dipahami, berasal dari tiga tokoh
yang dikenal sebagai three masters of prejudices, yaitu Freud, Marx, dan Nietzsche.
Pelajaran dari Freud adalah bahwa menurutnya alam tak sadar (unconciuous) setiap
pengarang dan juga pembaca pasti turut berperan dalam memandang dan menafsirkan
10
realitas. Padahal alam tak sadar adalah suatu rekonstruksi dan strukturasi sosial,
politik, budaya tertentu yang justru "lebih menentukan" dari alam kesadaran manusia.
Dari Marx kita belajar untuk selalu mewaspadai determinasi faktor ekonomi
dan politik kesadaran pengarang dan pembaca, bahwa setiap tafsiran tidak mustahil
dimanipulasi oleh kepentingan ekonomi dan atau politik. Adapun dari Nietzsche
adalah peringatan bahwa setiap orang itu pada dasarnya memiliki dorongan untuk
menguasai orang lain. Dengan demikian, kita perlu waspada dalam memahami suatu
teks dan jenis komunikasi apa pun, karena di dalamnya, sekecil apapun, pasti terbersit
maksud untuk mempengaruhi dan menundukkan orang lain, dan pengarang atau
penafsir ingin dikatakan dirinya hebat. Di samping itu, sadar atau tidak pada diri
setiap orang ada keinginan untuk dianggap paling benar (Hidayat, 1996: 18-20).
Dikemudian hari, tampaknya Foucault (1977) mengembangkan secara lebih
terprogram sikap berprasangka tersebut dengan teori wacananya, suatu analisis
penafsiran yang mencoba membongkar relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang
terlanjur menskenario pada kemungkinan-kemungkinan suatu wacana mendapat
legitimasi pembenaran. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa wacana-wacana
non-diskursif tampaknya justru menjadi hal utama dalam teori-teori penafsiran
mutakhir. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap suatu wilayah taksadar memainkan peranan penting bukan saja bagi lahirnya sebuah teks, tetapi juga
proses penafsiran itu sendiri.
***
Berangkat dari tergugatnya semiotik struktural, para pos-strukturalis, yang
dipelopori oleh Barthes (dalam bukunya yang lebih kemudian, 1970 dan 1975) dan
Derrida (1978 dan 1981), mengembangkan apa yang disebut semiotik pos-struktural.
Di sini perlu dikatakan bahwa teori-teori hermeneutik seperti yang telah dibicarakan
sekilas di atas seolah berjalan beriringan (kalau tidak membuka jalan) bagi teori-teori
yang dikembangkan oleh Barthes dan Derrida.
Semiotika pos-struktural datang dengan konsep yang berkebalikan dengan
gagasan strukturalisme. Pos-struktural berkeyakinan bahwa tidak ada struktur yang
tetap dan mapan di balik realitas kebahasaan atau aktualitas tekstual. Struktur selalu
11
bergeser tak henti karena yang ada adalah strukturasi, suatu proses yang bergerak
terus. Di samping itu,
penekanan strukturalisme pada aspek-aspek sinkronik
dianggap ahistoris (tidak menyejarah) karena justru menolak hakikat bahasa dan
hakikat manusia yang menyejarah (berkebudayaan), dan di sini pula pentingnya
diakronik. Itu pula sebabnya, tidak jarang pemahaman strukturalisme dianggap “antihumanis”, “anti sejarah”.
Semiotik struktural lebih menekankan aspek langue. Suatu hal yang
membedakan dengan semiotik pos-struktural yang justru lebih mementingkan parole,
dan karenanya lebih bersifat individual daripada kolektif. Semiotik pos-struktural
menganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser tak henti
dan tak terkontrol. Dengan demikian, tak ada yang disebut pusat dan tak ada asal usul
yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas
karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan
penanda-petanda adalah arbitrer. Barthes bahkan menegaskan bahwa petanda selalu
mempunyai banyak arti, tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjuk dengan
bunyi yang menunjuknya sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda
bersifat polisemi dan hubungan petanda dapat bergeser terus menerus dari
penandanya. Petanda selalu berkembang biak (proliferasi) atau diseminasi.
Hal tersebut sejalan dengan teori hermeneutika
modern. Hermeneutik
memandang makna sebuah teks selalu lebih luas daripada apa yang dimaksud oleh
penulisnya. Kemungkinan tafsir atas sebuah teks nyaris tak terbatas dan tidak bisa
dikontrol oleh siapapun. Artinya, pemapanan makna adalah sesuatu yang imposibel
karena suatu penafsiran, dalam kerangka pemaknaan, terhadap teks memang tidak
pernah selesai (lihat juga Valdes, 1987: 60-64, dengan 7 prinsip hermenetika
fenomeneolgisnya). Karena itu objektivitas yang diteriakkan oleh para positivis
strukturalis dianggap sebagai suatu kemustahilan dalam masalah ketunggalan makna
yang tidak sepenuhnya relevan bagi semua orang. Dalam kehidupan sehari-hari ketika
kita membaca sebuah teks bukan didorong karena teks tersebut ditulis oleh orang lain,
tetapi lebih karena kita membutuhkannya, bahkan dalam pengertian pribadi. Kita
12
menganggap karena teks itu mempunyai sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita
sekarang.
Permasalahan di atas akan menjadi lebih kompleks jika teks yang ditafsirkan
dan dimaknai itu adalah teks sastra. Seperti telah disinggung, kompleksitas pertama
dikarenakan teks sastra dalam banyak hal berdimensi parole. Ada “ekspresi-ekspresi
individuali” yang membuat setiap teks sastra memberikan tanda-tanda non-diskursif.
Walaupun sesuatu yang berdimensi parole, dalam banyak hal yang lain, teks sastra
juga memiliki kedekatan sebagai langue atau sistem tanda yang memisahkan dirinya
dengan parole. Paling tidak, dalam situasi tersebut, penulisan teks sastra tidak
sepenuhnya mampu mempertahankan
spontanitasnya, terutama berkat peranan
fiksasi dan pelembagaan bahasa. Salah satu tugas penafsiran adalah menghidupkan
atau merekonstruksi sebuah teks dalam jaringan interaksi antara pembicara/penulis,
pendengar/pembaca, dan situasi batin teks agar sebuah tulisan tidak teralienasi. Di
lain pihak, semiotika pos-struktural memiliki kegairahan semaksimal mungkin dalam
galaksi
jaringan kode-kode petanda yang saling berangkai antara satu dengan
lainnya, seperti berpetualang menikmati satu wilayah baru dan bernafsu menikmati
wilayah baru lainnya, dalam suatu teks.
Komplesitas kedua yang menambah problem pemaknaan adalah bahwa teks
sastra pada umumnya sangat memanfaatkan bahasa konotatif dan metaforis, bahasa
yang berdiri di antara kutup ikonik yang riil dan kutup simbolik yang abstrak.
Kelebihan lain dari bahasa konotatif dan metaforis yang dimanfaatkan teks sastra
karena bahasa konotatif dan atau metaforis mampu mengakomodasi pemahaman dan
penfasiran baru sehingga aktualitas teks seolah selalu terjaga. Di samping itu, bahasa
konotatif dan metaforis mampu menjembatani ikatan emosional dan pemahaman
kognitif sehingga kata dapat berfungsi ganda (lihat juga Ricoeur, 1967 dan 1989).
Dalam sebuah puisi, misalnya, bila ditemukan kata meja hijau,
secawan
anggur, atau titian rambut dibelah tujuh, maka kata tersebut bergerak dari yang
ikonik hingga ke yang abstrak simbolik. Persoalannya adalah bahwa gerakan dari
yang ikonik hingga ke abstrak simbolik itu tidak ada aturan mainnya. Tidak jauh
berbeda antara permainan pemaknaan penulis dan teks yang ditulis, maka dalam
13
situasi ini terjadi suatu permainan pembaca dan kemungkinan ke arah petandapetanda yang “ada” ke mana dan di mana sejauh dapat dijelajahi. Sangat mungkin
setiap permainan itu memang ada aturan mainnya, tetapi apa yang terjadi dalam
setiap permainan, tidak ada yang bisa mengatur atau menentukan. Dia bergerak bebas
dalam koridor aturan permainan itu.
Pada sisi lain, koridor ini pulalah yang dapat disebut sebagai kontekstualisasi
permainan. Satu konteks aturan main hanya berlaku untuk satu konteks aturan main
tertentu, demikian seterusnya. Orang Indonesia akan membaca satu teks tertentu
dalam koridor kontekstualisasi aturan main yang dimilikinya sesuai dengan nilainilai, norma-norma, tanda-tanda ikonik, indeksial, dan simbolik bahasa yang dialami
dan menjadi dirinya, wawasan pengalaman sejarah kebudayaannya, dan pada tingkat
tertentu tujuan dan kepentingan pemaknaan itu sendiri.
Hal itu pun masih
bermasalah, orang Indonesia yang mana, orang Jawa-Indonesia, orang MelayuIndonesia, atau orang Dayak-Indonesia, dan sebagainya. Belum lagi dipertanyakan
kemungkinan apakah pembaca itu perempuan atau laki-laki, orang yang dibesarkan di
pantai atau di pegunungan, dan seterusnya.
Situasi ini berujung pada satu konsep, seperti diingatkan Derrida, tidak ada
makna di luar konteks. Konsep ini mengingatkan kita bahwa konsep kebenaran
pemaknaan bukan karena adanya sandaran terhadap fakta empirik, tetapi yang lebih
penting dari itu adalah respons kontekstual terhadap setiap teks itu sendiri, siapa pun
ia.
Dalam
perspektif
ini
dapat
dikatakan
bahwa
semiotik
pos-struktural
mengakomodasi keunikan keberadaan manusiawi dan memenangkan individualitas
atas kolektivitas.
Lebih jauh Derrida memberi pelajaran bahwa semua teks memiliki ambiguitas
fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Derrida
menegaskan bahwa ada banyak cara dalam membaca dan memahami teks, bahkan
apa yang tercatat dalam teks dapat menimbulkan keragaman pemahaman pada saat
yang sama sekalipun. Konsep Derrida yang dikenal dengan dekonstruksi itu adalah
suatu cara pemahaman yang membebaskan dari usaha pemaknaan tunggal yang
dikonstruksi oleh budaya hegemonik atau oleh strukturasi kelembanggaan formal
14
yang mementingkan bentuk-bentuk wacana diskursif. Salah satu tugas dekonstruksi
adalah membebaskan pemaknaan teks, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas
teks, serta menunjukkan kontradiksi internal, dan menunjukkan kelemahannya. Hal
inilah yang disebut sebagai kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities)
yang terdapat dalam teks.
Hal di atas senada dengan yang dikatakan Eco (1990), ia menyarankan agar
bahasa (teks) dipahami dan diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis,
terbuka, dan memungkinkan masuknya entri-entri baru, tidak sepeti kamus yang
relatif tertutup. Perbedaan pentingnya adalah bahwa tafisiran "konvensional"
(struktural) cenderung menempatkan bahasa sebagai sistem yang tertutup dan statis.
Model ini dianggap tidak mampu lagi menangani apa yang disebut sebagai "semiosis
tak terbatas" (unlimited semiosis, dalam hal ini Eco mengadopsi gagasan Peirce),
sebuah kenyataan bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan
suatu teks selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya.
Model ensiklopedia akan sesuai dengan jaringan tanpa pusat karena akan selalu
memberi kesempatan bagi hadirnya entri-entri baru, makna-makna baru.
Perlu digarisbawahi bahwa dalam proses interpretasi yang menuju pemaknaan,
walaupun tidak pernah sampai, yang penting bukan apa yang tertulis dalam teks,
tetapi perjuangan yang penting justru mengelaborasi makna-makna sebanyak
mungkin dari yang tidak dikatakan/tidak tertulis oleh teks. Dalam bahasa semiotik
pos-struktural, bukan memburu atau merebut makna, tetapi justru menunda makna,
sampai entah kapan. * * *
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London-New York: Oxford
University Press.
Barthes, Roland. 1975. The Pleasure of the Text. New York: Hill and Wang.
Derrida, 1978. Writing and Difference. London: Routledge & Kegan Paul.
Derrida, 1981. Posisition. London: Athlone Press.
Eco, Umberto. 1990. The Limits of Interpretation. Bloomington and Indianapolis:
Indiana University Press.
15
Foucault, Michel. 1977. The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences.
London: Tavistock Publications Limited.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Palmer, R. E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schielmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
Ricoer, Paul, 1976. Interpretation Theory: Dicourse and the Surplus of Meaning. Fort
Worth: Texas Christian University Press.
Ricoeur, Paul. 1989. Hermeneutics and The Human Science. (Tr. John B. Thomson).
Cambridge: Cambridge University Press.
Sayuti, Suminto A.. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Silverman, Hugh J. 1994. Textualities, Between Hermeneutics and Deconstruction.
London: Routledge.
Valdes, Mario J. 1987. Phenomenological Hermeneutics and The Study of Literature.
Toronto: University of Toronto Press.
KE ARAH PENGEMBANGBIAKAN MAKNA
Oleh Aprinus Salam1
***
Menganalisis dan/atau memaknai karya sastra itu tergantung asumsi-asumsi
awal (premis-premis dasar) teoretis yang dibangun atau dipilih sesuai dengan tujuan,
niat, kepentingan, keperluan-keperluan strategis, atau mungkin tuntutan-tuntutan
tekstual dalam memaknai karya sastra. Pilihan tersebut bersifat subjektif, walaupun
atas nama kepentingan akademis, mungkin tergantung selera dan minat, dan setiap
analisis bertangung jawab secara internal di dalam dirinya. Tujuan pemaknaan,
misalnya, bisa bersifat semata-mata satu eksplorasi akademis terhadap hal-hal di balik
yang tak terkatakan (yang tersembunyi) dalam sebuah karya sastra, tetapi tidak
tertutup kemungkinan bahwa tujuan pemaknaan sebagai sesuatu yang “bertujuan
lain”, sesuatu kesengajaan untuk “membongkar” sesuatu yang terselubung, sesuatu
yang tak terbaca atau tak tampak. Dengan demikian, pada dasarnya analisis dan atau
pemaknaan terhadap karya sastra memiliki tujuan-tujuan tertentu.
Persoalan muncul ketika seseorang secara khusus diminta mengetahui selukbeluk atau asal muasal asumsi-asumi awal (premis-premis dasar) teoretis yang dipilih
dalam memulai dan memaknai karya sastra. Pengetahuan ini dituntut agar seseorang
tidak tumpang tindih atau mungkin berlawanan dalam pemahamannya tentang
premis-premis tersebut sehingga operasi-operasi analisis dalam perspektif teoretis
tertentu tidak memenuhi sasaran. Kemungkinan lain adalah bahwa seseorang
mengetahui beberapa konsep dasar teoretis tertentu, tetapi tidak begitu lihai
bagaimana mengoperasikannya, atau tidak begitu paham apa saja yang perlu
diuraikan berkaitan dengan operasi teori tersebut.
Secara klasik, premis-premis tersebut ditentukan oleh pilihan terhadap
orientasi analisis (pemaknaan), apakah memberikan perhatian pada orientasi ekspresif
(kepengarangan), orientasi objektif, orientasi mimetis, dan orientasi pragmatis
(Abrams, 1979). Dalam sejarah teori dan praktik analisis sastra Indonesia, keempat
1
Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya UGM, Yogyakarta.
2
praktik analisis tersebut cukup dominan, terutama praktik anasilis objektif
(struktural). Bahkan hingga kini buku-buku teori analisis dengan orientasi analisis
struktural objektif ini masih ditulis, dicetak ulang, dan dipelajari. 2 Walaupun akhirakhir ini sudah menunjukkan keragaman dan variasi, masih banyak mahasiswa
menulis skripsi dalam orientasi pendekatan struktural objektif ini. Pilihan orientasi
tersebut secara lebih khusus menentukan pilihan-pilihan teoretis yang relevan agar
operasi analisis menjadi lebih maksimal. Akan tetapi, sangat mungkin untuk
keperluan dan tujuan tertentu, seseorang dalam memaknai karya sastra melakukan
kombinasi-kombinasi orientasi. Kombinasi tersebut juga bersifat strategis, sekali lagi
tergantung derajat keperluan dan tujuan dalam memaknai karya sastra.
Kategori orientasi analisis (pendekatan) seperti telah disinggung di depan,
walaupun dikonseptualisasikan lebih belakangan, secara inheren telah menggiring
premis-premis dasar analisis dengan sejumlah teori dan cara pemaknaan. Dalam
menganalisis dan memaknai dengan orientasi ekspresif, misalnya, salah satu asumsi
awal yang perlu dikemukakan adalah seberapa jauh institusi dan struktur sosial
pengarang berpengaruh terhadap karya sastra, atau seberapa jauh karya sastra
merupakan media bagi pengarangnya untuk mengungkapkan gagasan, pikiran, atau
opini. Berdasarkan pertanyaan itu, seseorang diminta secara luas memiliki
pengetahuan yang bersifat sosiologis atau bahkan psikologis terhadap segala sesuatu
berkaitan dengan pengarang. Terdapat semacam tuntutan agar interpretasi
(pemaknaan) sesuai seperti yang dimaksukan pengarang, atau makna teks dapat
diacukan dengan maksud pengarang. Orientasi dengan tekananan objektif, dengan
derivasi teori-teori seperti semiotik dan postrukrutalisme, misalnya, berasumsi awal
bahwa teks adalah sesuatu yang otonom. Jadi, tidak lagi perlu dikaitkan dengan
makna yang dimaksudkan pengarang.
Saat ini, tampaknya orientasi yang cukup dominan adalah orientasi objektif
(sebagai kajian tekstual) dan pragmatis (fungsi, peranan, pengaruh, dan implikasiimplikasi resepsi lainnya). Secara inheren orientasi ini berkolaborasi secara luas, dan
melahirkan teori-teori sastra yang beragam, seperti struktural objektif, teori semiotik,
2
Misalnya saja karya-karya Pradopo (1988, 1995, 2002), Nurgiyantoro (1995), dan Sayuti (2000).
3
hemeneutik, sosiologi, psikologi (psikoanalisis), resepsi, dan sebagainya. Berkat
munculnya para pemikir yang radikal, dan tentu karena perkembangan premis-premis
yang dibangun dengan paradigma filosofi yang berbeda, teori ini juga melahirkan
teori-teori
seperti
semiotik-postruktural,
postrukturalisme,
posmodern-isme,
poskolonialisme, teori-teori wacana, dan sebagainya.
Tulisan ini hanya membicarakan salah satu dari perkembangan mutakhir teori
sastra modern, yakni kesinambungan teori hermeneutik dan semiotik-postruktural.
Pilihan terhadap konsep dasar teori ini dikarenakan teori ini memberikan ruang
pemaknaan yang luas dan telah membuka “jalan buntu” bagi teori-teori pemaknaan
sebelumnya.
***
Dalam pengertian sederhana hermeneutik dapat diartikan sebagai cara
memahami dan mengerti karena sebelum terjadi mengerti ada proses interpretasi.
Dalam proses interpretasi tersebut ada sejumlah masalah yang menuntut penjelasan,
yakni siapa subjek yang berbicara, mediasinya, ataupun siapa pula yang menerima
informasi tersebut. Palmer (1969) memberikan rincian hermeneutika sebagai cara
meng-kata-kan, sebagai cara menerangkan, dan sebagai cara menerjemahkan dari satu
bahasa ke bahasa lain sehingga informasi yang terkandung dalam satu bahasa dapat
dimengerti oleh penerima/ pendengar/pembaca. Pada awalnya, keterangan itu
dimaksudkan sebagai satu usaha mentransformasikan "bahasa langit" (pada umumnya
seperti yang tertulis dalam “teks-teks suci”) ke "bahasa bumi”, dan biasanya batasan
tradisional ini dianggap benar.
Dengan berkembangnya berbagai jenis, bentuk, dan kepentingan penggunaan
bahasa (tulis), maka dalam banyak hal pengertian di atas tentu sudah tidak memadai
lagi. Apalagi semakin banyak gugatan yang mempersoalkan akurasi proses
transformasi tersebut, siapakah pembicara/penulis “bahasa langit” tersebut, siapa
yang paling berotoritas menjadi Hermes, apakah satu bahasa bisa diterjemahkan ke
bahasa lain secara tepat dan benar, siapakah pula penerima/pembaca teks tersebut,
dan sebagainya. Hal tersebut juga belum mempersoalan “misi” atau pesan baik yang
4
disampaikan secara terbuka maupun tersembunyi oleh teks, konteks tranformasi,
bahkan implikasi-implikasi berkaitan dengan persoalan penafsiran.
Memang, pada awalnya, arti atau konsep hermeneutik disejajarkan dengan
istilah penafsiran (interpretation). Akan tetapi, dalam sejarah perjalanannya,
keduanya dibedakan dalam tataran teleologis. Penafsiran biasanya disejajarkan
dengan praktik interpretasi itu sendiri, sedangkan hermeneutik mengacu pada tujuan,
prinsip, dan kriteria dari praktik interpretasi. Dalam pengertian tersebut,
hermeneutika dapat disebut sebagai teori interpretasi.
Secara umum, konsep hermeneutika dipahami dalam dua pengertian. Pertama,
hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran, dan kedua,
hermeneutika dipahami sebagai suatu penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang
tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami. Ada satu pandangan yang mencoba
mengakomodasi
kedua
pengertian
tersebut,
yakni
suatu
pandangan
yang
mendefinisikan hermeneutika sebagai ilmu yang merefleksikan bagaimana suatu kata,
bahasa, atau peristiwa yang telah ditulis (tertulis) dapat dipahami dan menjadi
bermakna pada saat teks tersebut dibaca kembali di waktu yang lebih kemudian,
berdasarkan aturan-aturan atau asumsi-asumsi metodologis aktivitas pemahaman.
Akan tetapi, pandangan yang mencoba mengakomodasi perbedaan peradigma
hermeneutik tersebut masih terlalu berambisi untuk mengklarifikasi persoalan
kebenaran sebuah penafsiran.
Itulah sebabnya, dalam perkembangannya yang lebih mutakhir, paradigma
hermeneutika mengalami pergeseran yang cukup penting dari fungsinya sebagai satu
kerangka epistemologis menuju ke satu kecenderungan yang lebih menekankan aspek
ontologis. Kecenderungan ini dapat disaksikan pada karya-karya Heidegger dan
Gadamer,
dengan pandangan bahwa hermeneutika tidak harus selalu tenggelam
dalam satu pergulatan metodis dan teoretis dalam rangka menentukan salah benarnya
sebuah penafsiran. Akan tetapi, hermeneutika justru harus mengklarifikasi ke-ada-an
yang ada di balik metode dan keterbatasan setiap klaim kebenaran pemahaman
manusia.
5
Asumsi ini berangkat berkat munculnya kesadaran baru dari para pemikir ilmu
kemanusiaan, termasuk di dalamnya seni dan sastra, terutama penolakan dan
pembongkaran terhadap kooptasi filsafat positivisme yang menekankan pada satu
ukuran kebenaran mutlak, objektif/teruji, empirik, dan rasional. Pergeseran penting
ini juga menandai keberpihakan dan rasa percaya diri ilmu-ilmu sosial dan humaniora
kepada dirinya sendiri yang selama ini ditelikung oleh rezim ilmu-ilmu eksakta.
***
Sebagaimana dapat dipahami, pada umumnya teks (tertulis) merupakan fiksasi
atau pelembanggaan sebuah wacana lisan ke dalam bentuk tulisan (Ricoeur, 1989:
145).
Diperkirakan ada sebuah pembayangan bahwa sebuah wacana, sebelum
diekspresikan ke dalam bahasa lisan, biasanya sudah "ada" dan "tersusun" dalam diri
pembicara (katakanlah semacam langue dalam konsep Saussurian). Pada tataran ini,
dapat dikatakan bahwa hubungan antara pikiran, bahasa, dan wacana tidak bisa
dipisahkan sepenuhnya. Hubungan-hubungan itu merupakan salah satu agenda pokok
hermeneutik, yaitu mengkaji pikiran dan perasaan yang dilembagakan dalam bahasa
tulis, sementara pembicara tidak lagi berada di tempat.
Masih ada hal yang perlu dipersoalkan jika teks adalah sebuah wacana lisan
yang dibekukan dalam bahasa tulis. Kalau teks adalah rekaman sebuah wacana lisan
ke dalam bentuk tulisan, misalnya saja catatan seorang mahasiswa terhadap kuliah
tertentu dari seorang dosennya, bukankah hal itu tidak lebih semacam fiksasi dari
sebuah wacana yang diabadikan dalam format tulisan. Di sini dibedakan antara
aktivitas menulis sebagai aktivitas merekam atau mencatat, dibanding menulis
sebagai satu proses yang lebih kompleks dibanding aktivitas mencatat atau merekam.
Memang, catatan kuliah atau transkripsi sebuah rapat tetap layak dipelajari dari sudut
kepentingan tertentu. Akan tetapi, tulisan tersebut dibedakan berdasarkan kriteriakriteria di dalam dirinya sehingga perbedaan tersebut tidak selayaknya dikacaukan.
Kesalahkaprahan ini tampaknya menimbulkan serentetan kerancuan dalam mengkaji
fenomena “tekstual” sehingga sejumlah kajian yang berdatakan “tulisan”, misalnya
yang terdapat dalam karya sastra atau media massa, tidak ditempatkan
kedudukan yang semestinya.
dalam
6
Perlu ditegaskan bahwa teks dikatakan teks hanya ketika seorang penulis
mencoba mengemukakan gagasannya “secara sadar” dan sengaja, bukannya
transkripsi dari sebuah wacana. Istilah secara sadar tertulis dalam tanda petik karena
konsep “sadar” atau “tidak sadar” memerlukan penjelasan tersendiri (Dengan ingatan
pada konsep psikonalisis baik yang dikembangkan oleh Freud maupun Jung).
Artinya, pada dasarnya, seseorang ketika menulis berdimensi ganda. Ada sisi-sisi
sadar seperti maksud/tujuan dan kepentingan penulisan, tetapi ada sisi-sisi tak sadar
seperti penguasaan sistem abstrak kebahasaan ala Saussure (atau ketaksadaran
kolektif dalam perspektif Jungian, struktur tak sadar dalam perspektif Freudian,
ketaksadaran bahasa dalam istilah Lacan),3 yakni dalam hal ini terutama parole.
Dalam teori bahasa, teks tidak lain merupakan himpunan huruf yang
membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati
oleh masyarakat pemakai bahasa bersangkutan sehingga sebuah teks dapat
mengungkapkan maksud dan arti tertentu (Bdk. Silverman, 1994: 73). Namun,
sebuah teks tidak pernah dapat mengungkapkan sesuatu secara lengkap. Hal ini
terjadi karena ketika teks itu ditulis, penulis disadari atau tidak mengeksekusi satu
diksi/kata tertentu, maka secara langsung mengesampingkan diksi yang lain. Dalam
proses seleksi dan eksekusi tersebut ada berbagai hal yang mengondisikan pilihanpilihan (Foucault, 1977). Jika dikaitkan dengan proses-proses “tujuan” dan
“kepentingan” pemaknaan penulis, maka situasi tersebut dapat disebut sebagai ruang
permainan tersendiri antara penulis dengan pemaknaan teks yang ditulisnya.
Masalahnya adalah bahwa sebuah tulisan tentu tidak dimaksudkan dibaca oleh
penulisnya sendiri. Ketika teks itu sampai ke pembaca, pembaca tidak harus
berkesesuaian dengan makna yang dirancang oleh penulis. Itu pula sebabnya, banyak
teks yang pada mulanya tidak dapat dipahami dan dimengerti, semakin ditafsirkan
dengan cara-cara tertentu, semakin memperlihatkan keragamanan arti. Sebagai
implikasinya, apa dan bagaimana pun upaya penafsiran dan atau pemaknaan terhadap
3
Hal tersebut disinggung untuk sekadar memperlihatkan titik-titik presentuhan antara satu teori dengan
teori lain karena sama-sama dalam paradigma struktural. Akan tetapi, bukan berarti teori tersebut
memiliki paradigma teoretik yang sama. Dikemudian hari, terutama teori Freud, dan kemudian
dikembangkan oleh Lacan, menjadi salah satu embiro penting bagi munculnya teori-teori posstruktural.
7
sebuah teks, tidak akan pernah sepenuhnya lengkap, kecuali dalam perspektif
bagaimana teks itu ditafsirkan. Tidak ada sebuah interpretasi, selengkap apa pun,
dapat menafsirkan pemaknaan suatu teks secara benar dan utuh, dia terus berproses
menemukan jalannya ke wilayah-wilayah baru, ke kemungkinan-kemungkinan lain.
Dalam teori hermeneutik, pada umumnya disepakati bahwa luas cakupan
hermeneutik berkisar pada tiga hal, yaitu dunia teks (the world of the text), dunia
pengarang (the world of the author), dan dunia pembaca (the world of the reader),
atau biasa disebut triadik hermeneutik. Hermeneutik berbicara mengenai hampir
semua hal yang berkaitan dengan tiga hal tersebut mencakup teks, pembacaan,
pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan situasi atau kondisi
paradigmatik pemaknaan pembaca ataupun pengarang.
Dalam cakupan itulah hermeneutik menjadi sangat berhubungan dengan
semiotik. Semiotik membahas "satu wilayah" yang lebih spesifik dengan hanya
memberikan fokus perhatian pada teori tentang peranan, fungsi, dan cara kerja tandatanda yang terdapat pada teks. Seperti diketahui, teori semiotik yang pada mulanya
dikembangkan oleh Saussure, dan Peirce di sisi lain, bergerak dalam paradigma
struktural. Tesis utama semiotik struktural adalah bahwa alam dunia dapat dipahami
selama manusia mampu mengungkapkan adanya struktur yang menjamin keteraturan,
atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena. Konsep ini juga
melegitimasi hubungan oposisi biner, seperti kemudian dikembangkan oleh LeviStrauss, yang kemudian menjadi mapan, suatu pemahaman yang lebih menekankan
pada aspek epistemologi.
Pendekatan strukturalis, dalam pengaruh positivisme, memang melahirkan
banyak penafsiran, tetapi berujung pada satu tuntutan pada pemaknaan tunggal. Di
sini terjadi satu hegemoni dan monopoli kebenaran. Alasannya adalah bahwa terdapat
satu sistem struktur yang mapan di balik tanda-tanda (kebahasaan) dalam teks.
Hubungan biner antara teks di dunia nyata dan maknanya di dunia ide adalah baku
dan tidak dapat diganggu gugat.
Persoalannya adalah siapa yang berhak menetapkan klaim kebenaran dan
kebakuan tersebut. Sebagai ilustrasi, tidak ada seorang pun yang berhak menyamakan
8
arti dan makna kata salju, baik sebagai ikon maupun terutama sebagai simbol, bagi
orang Eskimo dan bagi orang Indonesia. Ada belasan penyebutan (kata) yang berarti
(bermakna) salju bagi orang Eskimo, tetapi bagi orang Indonesia tidak lebih salju,
benda putih dingin-beku, yang barangkali sebagian besar orang Indonesia hanya
melihatnya di film. Imajinasi dan makna salju di antara dua bangsa tersebut pasti
berbeda. Apakah orang Eskimo lebih benar, dan orang Indonesia salah. Apakah orang
Indonesia harus seperti orang Eskimo dalam memahami salju, atau sebaliknya, atau
bahkan seperti yang didefinisikan dalam kamus paling standar sekalipun. Paradigma
semiotik struktural tampaknya tidak lagi dapat menjawab pertanyaan dan masalah
tersebut dengan meyakinkan.
Hermeneutika menjembatani jarak ruang waktu antara penulis dan pembaca.
Penjembatanan itu tidak lantas menganggap dalam suatu dialog langsung penafsiran
tidak diperlukan. Yang ingin ditekankan adalah bahwa hermeneutik menitikberatkan
kajiannya pada penafsiran teks. Padahal, berdasarkan kenyataan, adalah hal yang sulit
untuk
mendapatkan
asal-usul
data
teks
yang
lengkap,
juga
mengenai
penulis/pengarangnya. Kemustahilan kelengkapan itu menyebabkan terpisahnya
keberadaan teks dan pengarang. Dengan terpisahkan teks dan pengarangnya, dan dari
situasi sosial yang melahirkannya, berimplikasi bahwa sangat mungkin sebuah teks
tidak komunikatif lagi dengan realitas sosial yang melingkupi pembaca. Apalagi
asumsi ini didukung bahwa sebuah teks ditulis ketika pengarangnya berada dalam
satu situasi dan kondisi tertentu yang berbeda dengan situasi dan kondisi lainnya.
Persoalan lain muncul dikarenakan adanya jarak dan perbedaan bahasa, tradisi,
dan cara berpikir antara teks dan pembaca, karena bahasa dan muatannya tidak dapat
dipisahkan dengan lingkungan kultural tempat bahasa itu hidup. Berpikir tidak dapat
dipisahkan dari bahasa, dan adanya perbedaan bahasa akan melahirkan perbedaan
pemikiran (cara berpikir). Dalam masalah ini, dapat dipahami jika jumlah tafsiran
terhadap sebuah teks demikian beragam. Tidak ada penafsiran tunggal terhadap
sebuah teks. Setiap penafsiran selalu terikat oleh lingkungan sosial, kultural, bahkan
ideologi pembacanya. Inilah apa yang biasa disebut sebagai kontekstualisasi
pemahaman atau penafsiran dan ataupun pemaknaan.
9
Pengantaran di atas diperlukan dalam rangka penekanan pada otonomi teks dan
semakin pentingnya kedudukan pembaca. Suatu teks yang dipublikasikan, maka
otomatis teks itu bersifat otonom, artinya dapat ditafsirkan dalam kerangka makna
pembacanya. Seperti telah dibahas oleh Ricoeur,
ada beberapa hal yang perlu
ditekankan berkaitan dengan teks. Sebuah teks sekurang-kurangnya mengandung tiga
dunia makna; (1) dunia "di belakang teks", yaitu latar belakang historis-kultural yang
melahirkan teks, (2) dunia "di dalam teks", yaitu ide-idea atau kenyataan-kenyataan
yang dicipta oleh teks itu sendiri, (3) dunia "di depan teks", yaitu kesadaran baru
yang tercipta setelah pembaca, dengan latar belakang wawasan dan pemahamannya,
membaca teks. Dalam proses ini biasanya terjadi peleburan wawasan antara wawasan
yang dikandung oleh teks dengan wawasan pembaca, dalam istilah Gadamer disebut
sebagai fusion of horizon.
Sementara itu, pada umumnya penafsir menghadapi teks menurut tahapan
berikut. (1) Pre-understanding, yaitu pembaca/ penafsir menghadapi teks dengan
prasangka (seperti juga diingatkan oleh Gadamer) atau hipotesis tertentu. Situasi ini
menjelaskan mengapa sebuah penafsiran menjadi tidak pernah bersih. (2)
Explanation, yaitu terjadinya pengaitan-pengaitan secara vertikal antara teks dengan
latar belakangnya, juga relasi horisontal antara bagian yang satu dengan bagianbagian yang lain dalam teks, (Pengertian ini mendapat penegasan bahwa setiap teks
adalah interteks). (3) Understanding, yaitu mengaitkan semua itu dengan konteks
baru pembaca, dengan wawasan pribadinya. Setelah proses ini, bisanya diikuti suatu
kesadaran baru yang sangat mungkin akan mengubah pandangan penafsir terhadap
kandungan teks.
Konsep prangsangka (prejudice) perlu mendapat keterangan tersendiri. Hal itu
dimaksud untuk dialamatkan kepada bukan saja kepada pembaca, tetapi kepada teks
itu sendiri. Ada tiga konsep prasangka yang perlu dipahami, berasal dari tiga tokoh
yang dikenal sebagai three masters of prejudices, yaitu Freud, Marx, dan Nietzsche.
Pelajaran dari Freud adalah bahwa menurutnya alam tak sadar (unconciuous) setiap
pengarang dan juga pembaca pasti turut berperan dalam memandang dan menafsirkan
10
realitas. Padahal alam tak sadar adalah suatu rekonstruksi dan strukturasi sosial,
politik, budaya tertentu yang justru "lebih menentukan" dari alam kesadaran manusia.
Dari Marx kita belajar untuk selalu mewaspadai determinasi faktor ekonomi
dan politik kesadaran pengarang dan pembaca, bahwa setiap tafsiran tidak mustahil
dimanipulasi oleh kepentingan ekonomi dan atau politik. Adapun dari Nietzsche
adalah peringatan bahwa setiap orang itu pada dasarnya memiliki dorongan untuk
menguasai orang lain. Dengan demikian, kita perlu waspada dalam memahami suatu
teks dan jenis komunikasi apa pun, karena di dalamnya, sekecil apapun, pasti terbersit
maksud untuk mempengaruhi dan menundukkan orang lain, dan pengarang atau
penafsir ingin dikatakan dirinya hebat. Di samping itu, sadar atau tidak pada diri
setiap orang ada keinginan untuk dianggap paling benar (Hidayat, 1996: 18-20).
Dikemudian hari, tampaknya Foucault (1977) mengembangkan secara lebih
terprogram sikap berprasangka tersebut dengan teori wacananya, suatu analisis
penafsiran yang mencoba membongkar relasi-relasi kuasa dan pengetahuan yang
terlanjur menskenario pada kemungkinan-kemungkinan suatu wacana mendapat
legitimasi pembenaran. Hal yang perlu digarisbawahi adalah bahwa wacana-wacana
non-diskursif tampaknya justru menjadi hal utama dalam teori-teori penafsiran
mutakhir. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap suatu wilayah taksadar memainkan peranan penting bukan saja bagi lahirnya sebuah teks, tetapi juga
proses penafsiran itu sendiri.
***
Berangkat dari tergugatnya semiotik struktural, para pos-strukturalis, yang
dipelopori oleh Barthes (dalam bukunya yang lebih kemudian, 1970 dan 1975) dan
Derrida (1978 dan 1981), mengembangkan apa yang disebut semiotik pos-struktural.
Di sini perlu dikatakan bahwa teori-teori hermeneutik seperti yang telah dibicarakan
sekilas di atas seolah berjalan beriringan (kalau tidak membuka jalan) bagi teori-teori
yang dikembangkan oleh Barthes dan Derrida.
Semiotika pos-struktural datang dengan konsep yang berkebalikan dengan
gagasan strukturalisme. Pos-struktural berkeyakinan bahwa tidak ada struktur yang
tetap dan mapan di balik realitas kebahasaan atau aktualitas tekstual. Struktur selalu
11
bergeser tak henti karena yang ada adalah strukturasi, suatu proses yang bergerak
terus. Di samping itu,
penekanan strukturalisme pada aspek-aspek sinkronik
dianggap ahistoris (tidak menyejarah) karena justru menolak hakikat bahasa dan
hakikat manusia yang menyejarah (berkebudayaan), dan di sini pula pentingnya
diakronik. Itu pula sebabnya, tidak jarang pemahaman strukturalisme dianggap “antihumanis”, “anti sejarah”.
Semiotik struktural lebih menekankan aspek langue. Suatu hal yang
membedakan dengan semiotik pos-struktural yang justru lebih mementingkan parole,
dan karenanya lebih bersifat individual daripada kolektif. Semiotik pos-struktural
menganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser tak henti
dan tak terkontrol. Dengan demikian, tak ada yang disebut pusat dan tak ada asal usul
yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak terbatas
karena penanda tidak mempunyai hubungan yang pasti dengan petanda. Hubungan
penanda-petanda adalah arbitrer. Barthes bahkan menegaskan bahwa petanda selalu
mempunyai banyak arti, tak ada hubungan intern antara konsep yang ditunjuk dengan
bunyi yang menunjuknya sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda
bersifat polisemi dan hubungan petanda dapat bergeser terus menerus dari
penandanya. Petanda selalu berkembang biak (proliferasi) atau diseminasi.
Hal tersebut sejalan dengan teori hermeneutika
modern. Hermeneutik
memandang makna sebuah teks selalu lebih luas daripada apa yang dimaksud oleh
penulisnya. Kemungkinan tafsir atas sebuah teks nyaris tak terbatas dan tidak bisa
dikontrol oleh siapapun. Artinya, pemapanan makna adalah sesuatu yang imposibel
karena suatu penafsiran, dalam kerangka pemaknaan, terhadap teks memang tidak
pernah selesai (lihat juga Valdes, 1987: 60-64, dengan 7 prinsip hermenetika
fenomeneolgisnya). Karena itu objektivitas yang diteriakkan oleh para positivis
strukturalis dianggap sebagai suatu kemustahilan dalam masalah ketunggalan makna
yang tidak sepenuhnya relevan bagi semua orang. Dalam kehidupan sehari-hari ketika
kita membaca sebuah teks bukan didorong karena teks tersebut ditulis oleh orang lain,
tetapi lebih karena kita membutuhkannya, bahkan dalam pengertian pribadi. Kita
12
menganggap karena teks itu mempunyai sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita
sekarang.
Permasalahan di atas akan menjadi lebih kompleks jika teks yang ditafsirkan
dan dimaknai itu adalah teks sastra. Seperti telah disinggung, kompleksitas pertama
dikarenakan teks sastra dalam banyak hal berdimensi parole. Ada “ekspresi-ekspresi
individuali” yang membuat setiap teks sastra memberikan tanda-tanda non-diskursif.
Walaupun sesuatu yang berdimensi parole, dalam banyak hal yang lain, teks sastra
juga memiliki kedekatan sebagai langue atau sistem tanda yang memisahkan dirinya
dengan parole. Paling tidak, dalam situasi tersebut, penulisan teks sastra tidak
sepenuhnya mampu mempertahankan
spontanitasnya, terutama berkat peranan
fiksasi dan pelembagaan bahasa. Salah satu tugas penafsiran adalah menghidupkan
atau merekonstruksi sebuah teks dalam jaringan interaksi antara pembicara/penulis,
pendengar/pembaca, dan situasi batin teks agar sebuah tulisan tidak teralienasi. Di
lain pihak, semiotika pos-struktural memiliki kegairahan semaksimal mungkin dalam
galaksi
jaringan kode-kode petanda yang saling berangkai antara satu dengan
lainnya, seperti berpetualang menikmati satu wilayah baru dan bernafsu menikmati
wilayah baru lainnya, dalam suatu teks.
Komplesitas kedua yang menambah problem pemaknaan adalah bahwa teks
sastra pada umumnya sangat memanfaatkan bahasa konotatif dan metaforis, bahasa
yang berdiri di antara kutup ikonik yang riil dan kutup simbolik yang abstrak.
Kelebihan lain dari bahasa konotatif dan metaforis yang dimanfaatkan teks sastra
karena bahasa konotatif dan atau metaforis mampu mengakomodasi pemahaman dan
penfasiran baru sehingga aktualitas teks seolah selalu terjaga. Di samping itu, bahasa
konotatif dan metaforis mampu menjembatani ikatan emosional dan pemahaman
kognitif sehingga kata dapat berfungsi ganda (lihat juga Ricoeur, 1967 dan 1989).
Dalam sebuah puisi, misalnya, bila ditemukan kata meja hijau,
secawan
anggur, atau titian rambut dibelah tujuh, maka kata tersebut bergerak dari yang
ikonik hingga ke yang abstrak simbolik. Persoalannya adalah bahwa gerakan dari
yang ikonik hingga ke abstrak simbolik itu tidak ada aturan mainnya. Tidak jauh
berbeda antara permainan pemaknaan penulis dan teks yang ditulis, maka dalam
13
situasi ini terjadi suatu permainan pembaca dan kemungkinan ke arah petandapetanda yang “ada” ke mana dan di mana sejauh dapat dijelajahi. Sangat mungkin
setiap permainan itu memang ada aturan mainnya, tetapi apa yang terjadi dalam
setiap permainan, tidak ada yang bisa mengatur atau menentukan. Dia bergerak bebas
dalam koridor aturan permainan itu.
Pada sisi lain, koridor ini pulalah yang dapat disebut sebagai kontekstualisasi
permainan. Satu konteks aturan main hanya berlaku untuk satu konteks aturan main
tertentu, demikian seterusnya. Orang Indonesia akan membaca satu teks tertentu
dalam koridor kontekstualisasi aturan main yang dimilikinya sesuai dengan nilainilai, norma-norma, tanda-tanda ikonik, indeksial, dan simbolik bahasa yang dialami
dan menjadi dirinya, wawasan pengalaman sejarah kebudayaannya, dan pada tingkat
tertentu tujuan dan kepentingan pemaknaan itu sendiri.
Hal itu pun masih
bermasalah, orang Indonesia yang mana, orang Jawa-Indonesia, orang MelayuIndonesia, atau orang Dayak-Indonesia, dan sebagainya. Belum lagi dipertanyakan
kemungkinan apakah pembaca itu perempuan atau laki-laki, orang yang dibesarkan di
pantai atau di pegunungan, dan seterusnya.
Situasi ini berujung pada satu konsep, seperti diingatkan Derrida, tidak ada
makna di luar konteks. Konsep ini mengingatkan kita bahwa konsep kebenaran
pemaknaan bukan karena adanya sandaran terhadap fakta empirik, tetapi yang lebih
penting dari itu adalah respons kontekstual terhadap setiap teks itu sendiri, siapa pun
ia.
Dalam
perspektif
ini
dapat
dikatakan
bahwa
semiotik
pos-struktural
mengakomodasi keunikan keberadaan manusiawi dan memenangkan individualitas
atas kolektivitas.
Lebih jauh Derrida memberi pelajaran bahwa semua teks memiliki ambiguitas
fundamental yang merupakan akibat dari sifat natural bahasa itu sendiri. Derrida
menegaskan bahwa ada banyak cara dalam membaca dan memahami teks, bahkan
apa yang tercatat dalam teks dapat menimbulkan keragaman pemahaman pada saat
yang sama sekalipun. Konsep Derrida yang dikenal dengan dekonstruksi itu adalah
suatu cara pemahaman yang membebaskan dari usaha pemaknaan tunggal yang
dikonstruksi oleh budaya hegemonik atau oleh strukturasi kelembanggaan formal
14
yang mementingkan bentuk-bentuk wacana diskursif. Salah satu tugas dekonstruksi
adalah membebaskan pemaknaan teks, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas
teks, serta menunjukkan kontradiksi internal, dan menunjukkan kelemahannya. Hal
inilah yang disebut sebagai kondisi yang selalu mungkin (condition of possibilities)
yang terdapat dalam teks.
Hal di atas senada dengan yang dikatakan Eco (1990), ia menyarankan agar
bahasa (teks) dipahami dan diperlakukan seperti ensiklopedia yang selalu dinamis,
terbuka, dan memungkinkan masuknya entri-entri baru, tidak sepeti kamus yang
relatif tertutup. Perbedaan pentingnya adalah bahwa tafisiran "konvensional"
(struktural) cenderung menempatkan bahasa sebagai sistem yang tertutup dan statis.
Model ini dianggap tidak mampu lagi menangani apa yang disebut sebagai "semiosis
tak terbatas" (unlimited semiosis, dalam hal ini Eco mengadopsi gagasan Peirce),
sebuah kenyataan bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan
suatu teks selalu menawarkan kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya.
Model ensiklopedia akan sesuai dengan jaringan tanpa pusat karena akan selalu
memberi kesempatan bagi hadirnya entri-entri baru, makna-makna baru.
Perlu digarisbawahi bahwa dalam proses interpretasi yang menuju pemaknaan,
walaupun tidak pernah sampai, yang penting bukan apa yang tertulis dalam teks,
tetapi perjuangan yang penting justru mengelaborasi makna-makna sebanyak
mungkin dari yang tidak dikatakan/tidak tertulis oleh teks. Dalam bahasa semiotik
pos-struktural, bukan memburu atau merebut makna, tetapi justru menunda makna,
sampai entah kapan. * * *
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1979. The Mirror and the Lamp. London-New York: Oxford
University Press.
Barthes, Roland. 1975. The Pleasure of the Text. New York: Hill and Wang.
Derrida, 1978. Writing and Difference. London: Routledge & Kegan Paul.
Derrida, 1981. Posisition. London: Athlone Press.
Eco, Umberto. 1990. The Limits of Interpretation. Bloomington and Indianapolis:
Indiana University Press.
15
Foucault, Michel. 1977. The Order of Things: An Archeology of the Human Sciences.
London: Tavistock Publications Limited.
Hidayat, Komaruddin. 1996. Memahami Bahasa Agama: Sebuah Kajian
Hermeneutik. Jakarta: Paramadina.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Palmer, R. E. 1969. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schielmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer. Evanston: Northwestern University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra
Indonesia Modern. Klaten: Dwi Dharma.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan
Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
Ricoer, Paul, 1976. Interpretation Theory: Dicourse and the Surplus of Meaning. Fort
Worth: Texas Christian University Press.
Ricoeur, Paul. 1989. Hermeneutics and The Human Science. (Tr. John B. Thomson).
Cambridge: Cambridge University Press.
Sayuti, Suminto A.. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama Media.
Silverman, Hugh J. 1994. Textualities, Between Hermeneutics and Deconstruction.
London: Routledge.
Valdes, Mario J. 1987. Phenomenological Hermeneutics and The Study of Literature.
Toronto: University of Toronto Press.