Merajut Kembali Postulat postulat tentan
Merajut Kembali Postulat-Postulat tentang Hubungan
Pemerintah-Warga Negara
♦)
Dr. Edy Suhardono (Executive Director)
I. Postulat Nasionalisme
Nasionalisme dapat saja menjadi substitusi bagi suatu "negara dunia", apabila didudukkan sebagai
proses konvergensi yang bergerak dari bawah; dalam arti bahwa penemuan identitas nasional melalui
nasionalisme tidak semata diperlakukan sebagai realitas statik sebagaimana yang biasa ditimbulkan oleh
peran kekuasaan negara yang eksesif. Negara harus diperlakukan tak lebih sebagai sebuah instrumen, yang
keberadaannya tergantung pada kebaikan hati warga negara, dan bukan sebaliknya. Dalam contoh, bukan
karena Kartu Tanda Penduduk (KTP) lantas negara “menciptakan” warga negara, tetapi karena individuindividu warga negaralah -- melalui kontrak sosial sebagaimana disebutkan Rousseau – negara diakui
eksistensinya. Bertentangan dengan postulat ini jika seseorang digaruk dan diamankan hanya karena
terbukti tidak membawa KTP.
Sebelum ada kedaulatan negara, kedaulatan sendiri adalah hak fundamental bagi setiap orang.
Pasal 1 dari The International Covenant on Civil and Politic Rights menyatakan: ”Semua orang mempunyai
hak untuk menentukan diri. Dengan dasar kebenaran dari hak ini, orang bebas menentukan status
politiknya dan bebas memenuhi baik aspirasi ekonomi, sosial maupun budaya mereka”. Kedaulatan
adalah
hak
esensial
dalam
konteks
perjuangan
gerakan
otonomi
bangsa-bangsa
Page
1
pribumi/pedalaman/jajahan.
♦
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Secara
fundamental,
gerakan
otonomi
merupakan
bentuk
aksi
kolektif
kaum
pribumi/pedalaman/jajahan untuk menentukan bahasa sendiri, budaya dan tradisi yang ingin mereka
pertahankan; memutuskan soal bagaimana tanah dan sumber-sumber hayati dikembangkan dan dikelola;
memilih bentuk pemerintahan, praktik religius, resolusi konflik dan pemenuhan kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan upah kerja. Jadi semua gerakan otonomi digerakkan oleh motivasi
mencapai kedaulatan ketika “kemerdekaan” gagal menghantarkan mereka pada tujuan ini.i
Pertanyaannya kemudian, jika kemerdekaan tidak memadai bagi pencapaian kedaulatan, lantas
apa yang sebaiknya kita usahakan agar makna kemerdekaan sungguh dapat dirasakan seluruh umat
manusia dan, dalam konteks kita, dirasakan oleh setiap manusia Indonesia? Jika salah satu aspek dari
kemerdekaan adalah penghapusan imperialisme bangsa asing, dimana nasionalisme terbukti berperan di
dalamnya, maka upaya yang harus diusahakan agar imperialisme asing tidak berganti wajah menjadi
imperialisme lokal, dan agar imperialisme tidak tercipta justru oleh nasionalisme; menjadi hal yang
memerlukan pemikiran lanjut.
Salah satu pemikir, Elwert,ii menunjukkan bahwa kaum nasionalis hanya menginginkan sebuah
bangsa untuk dirinya sendiri, bukan untuk yang lain. Pandangan nasionalisme yang partikularistik-lokal ini
disanggah oleh Mazziniiii yang tidak saja mendirikan, tetapi telah mengilhami berdirinya Angkatan Muda
Italia, Angkatan Muda Jerman, Swis, Polandia, Bohemia dan Argentina. Visi Mazzini berpijak pada
nasionalisme global: ia melihat manusia-manusia tidak lebih hanyalah sebagai unit-unit pasukan
humanitas. Metafora ini menekankan universalisme yang ekstrim dari nasionalisme, dimana kemerdekaan
bangsa tidak dipandang sebagai penunjang bagi pencapaian otonomi atau kehendak individu.
Sedang Peter Tayloriv merangkum dunia yang dimaksudkan kaum nasionalis pada tingkatan global,
nasional dan individual. Pertama, kaum nasionalis global yang memandang dunia sebagai suatu mosaik
bangsa-bangsa yang menemukan harmoni ketika semua terbebas dari restriktsi negara bangsa. Kedua,
kaum nasionalis nasional yang memandang bangsa-bangsa sebagai unit-unit dengan suatu homogeneitas
budaya yang didasarkan pada sejarah dan konteks tertentu, yang masing-masing menuntut adanya negara
merdeka dalam keberadaannya yang tidak teralienasi. Ketiga, kaum nasionalis individual yang
Page
dan yang di dalamnya mereka memperoleh kemerdekaan.
2
memandang bahwa individu-individu memiliki bangsa, yang mempersyaratkan loyalitas utama mereka,
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Dari rangkuman diatas, nasionalisme agaknya bukanlah suatu partikularisme, tetapi universalisme.
Sebagaimana diperjelas oleh Peter Taylor,v satu dunia kita merupakan “the nemesis of interterritoriality”.
Dunia bangsa-bangsa masih mungkin menjadi satu dunia, jika dunia itu adalah satu dunia nanionalis.
Batasan nasionalisme di sini dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada aspek universal – sebuah tata
dunia – dari nasionalisme.
Kendati ada kebanggan akan kewilayahan negara yang luas, yang sering menciptakan atribut
tentang sebuah “kebesaran bangsa”, kenyataannya keluasan ini justru tidak menguntungkan bagi proses
konvergensi yang memungkinkan terjadinya penemuan identitas nasional bagi individu. Salah satu
penjelasannya, kemerdekaan suatu bangsa bukanlah awal dari proses pemisahan (seksesi) bangsa, tetapi
awal dari emansipasi bangsa. Untuk mencapai itu, kemerdekaan bangsa saja tidaklah cukup karena di
dalam bangsa merdeka masih terdapat kaum pribumi /pedalaman/terjajah yang tidak mau konform
terhadap garis-garis ideal nasional, meski mereka tidak memiliki identitas nasional yang lain.
Kaum semacam ini sebenarnya lebih memilih berintegrasi ke dalam suatu bangsa ketimbang
melakukan pemisahan dan menjadi non-nasional. Kalaupun pemisahan itu terjadi, maka soal martabat
geografis-politis tidak dapat diberberlakukan pada mereka. Artinya, jika sekelompok rakyat yang
mendefinisikan diri sebagai warga suatu bangsa akhirnya melakukan pemisahan dari bangsa tertentu, ada
kemungkinan lain mereka juga memisahkan diri dari sesuatu yang lain tanpa harus mempertimbangkan
status geografis-politis mereka.
Jadi agaknya bukan pemisahan, dan juga bukan penaklukan, yang akan mengganggu proses
konvergensi, dimana suatu bangsa baru memperoleh “nasionalisasi”nya. Bahkan pada tingkat persepsi
negara menurut individu, sikap untuk berubah dapat menentukan derajat
uniformitas nasional.
Pemisahan, pada gilirannya, akan membenamkan negara untuk selalu memperbolehkan terjadinya banyak
perbedaan di dalam masyarakat. Dan ini bukan hal yang langka, sebab banyak kaum nasionalis sejati
secara eksplisit malahan memberikan tempat dan penghargaan bagi keberadaan komunitas yang
heterogen.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita membuang jauh motivasi untuk sekadar memperoleh kesan
melalui imperialisme lokal; dan menindaklanjuti kemerdekaan itu dengan memproduksi tindakan-tindakan
3
dan penyelesaian-penyelesaian terhadap deprivasi di antara warga negara Republik Indonesia akan
Page
macho dari label kemerdekaan sementara pada saat yang sama kita justru melakukan ritual penindasan
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
kedaulatan. Sudah saatnya kita kembali ke apa yang diamanatkan para founding fathers kita yang telah
mencanangkan lambang negara “bhineka tunggal ika”. Langkah kongkrit pertama untuk itu ialah
menanggalkan sama sekali slogan “demi persatuan dan persatuan” yang secara eksesif sering kita
ucapkan, dan menggantikannya dengan slogan “demi keanekaragaman dan kebhinekaan”.
II. Postulat tentang Perlawanan Rakyat
Jika rejim penguasa mulai menunjukkan ketakutan akan gelombang anarkisme, maka hal ini
mengisyaratkan, rejim itu sedang mengawali kejatuhannya. Bagi penguasa dan pemodal secara
konsepsional anarkisme memuat ideologi tentang kebebasan berserikat, kebebasan berbagi pekerjaan dan
produk.vi
Winstanley,vii pencetus reformasi agraria pada abad ketujuh-belas, meyakini bahwa tanah yang
ada di suatu wilayah negara harus dibagi-bagi di antara semua warga, tak terkecuali. Sedang Godwin,
dalam bukunya yang berjudul 'Political Justice' (1793), bersikukuh bahwa otoritas bersifat nir-alamiah dan
bahwa kejahatan sosial akan muncul dan berkembang jika manusia tak bebas mengembangkan
kehidupannya sendiri menurut bimbingan daya nalarnya.
Penulis masalah-masalah politik Perancis, Pierre-Joseph Proudhon,viii membahas secara mendalam
ikhwal anarkisme, dan menganjurkannya sebagai fondasi bagi setiap gerakan sosial-politik. Dalam
pemikiran Proudhon, anarkisme sedikit memiliki kemiripan dengan sosialisme. Lantas ia menekankan
pentingnya penghapusan hak-hak milik pribadi dan pelepasan kendali pihak pemodal atas cara produksi
para pekerja. Selain itu, Proudhon menganjurkan pemerintah yang bersistem federal, yang terdiri atas
serikat-serikat petani dan pekerja industri. Teori Proudhon begitu mempesona para teoritisi di kemudian
hari. Di antara mereka adalah tiga penulis Rusia, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, dan Emma Goldman;
Enrico Malatesta di Italia; Georges Sorel di Perancis; dan Paul Goodman di Amerika Serikat. Mereka
mengelaborasikan konsep-konsep anarkisme dengan mengacu pada buku Proudhon.
Ada beberapa kecenderungan di dalam anarkisme. Salah satunya, pendapat bahwa satu-satunya
cara untuk mengubah masyarakat adalah melalui terrorisme. Malatesta,ix misalnya, mengemukakan
Page
melansir sejumlah pembunuhan politik.
4
"propaganda melalui tindakan" (propaganda by the deeds), ialah suatu pandangan yang pada akhirnya
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Pemikir lain, termasuk Sorel,x mengkombinasikan antara tujuan-tujuan anarkisme dengan
orientasi politik serikat pekerja industri, yang dalam gerakannya dikenal sebagai gerakan anarchosyndicalism. Alat utama dalam gerakan ini adalah pemogokan masal. Dengan gerakan itu, para anarchosyndicalist berharap dapat mencapai tujuannya, yakni dengan cara menghapuskan kapitalisme dan status
negara, dan mendirikan unit-unit pekerja produksi yang terorganisir.
Revolusi ekonomi dan sosial yang disulut Revolusi Industri di Inggris memberikan inspirasi bagi
rebakan teori-teori politik seperti anarkisme, komunisme, dan sosialisme. Para pendukung tiga gerakan ini
pertama kali menembakkan gagasan tentang adanya hasrat dasar dari sebuah tatanan politik apapun:
kekuasaan. Namun demikian, segera para anarkis memisahkan diri dari dari dua isme itu. Sementara
komunisme ingin mengendalikan negara dengan menjadi penguasa, para anarkis justru ingin
menghapuskan negara sama sekali. Di sinilah perbedaan prinsip antara anarkisme dan komunisme.
Perilaku membangkang agaknya lebih tepat sebagai ciri kaum anarkis. Sedang kaum komunis lebih tepat
didudukkan sebagai saingan penguasa rejim kapitalis, utamanya pada hasrat untuk mengkonstrasikan
kekuasaan di satu tangan atau golongan.
Anarkisme berlangsung terus sebagai gerakan masal hingga akhir Perang Dunia Kedua. Gerakan ini
berakar di Spanyol, dimana para anarkis memainkan peran aktif dalam Perang Sipil Spanyol. Gerakan ini
akhirnya surut karena sukses komunisme dalam Revolusi Rusia, dan karena tekanan terhadap para anarkis
oleh pemerintah Fascist di Italia dalam tahun 1920-an, dan Jerman dalam tahun 1930-an.
Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis, dengan deklarasi tentang hak-haknya, melahirkan
pemahaman baru bahwa individu mempunyai hak yang harus dihormati oleh negara. Dalam setting politik
yang lebih demokratis ini, terbukalah mata pikiran orang bahwa kombinasi antara pemerintahan politik
dan pemodal tidak akan menjawab kebutuhan para pekerja, kecuali mereka harus ditekan. Berangkat dari
sini, mendesak untuk mengorganisir para pekerja ke dalam serikat pekerja dan perdagangan untuk
menepiskan tekanan-tekanan yang mereka tanggung karena ulah para politisi dan pengusaha kapitalistik.
Seabad kemudian, upaya-upaya pengorganisasian semacam ini dianggap pemerintah sebagai
konspirasi kriminal, dan harus ditumpas. Setapak demi setapak, disokong oleh para politisi kubu liberal dan
Page
kerja lebih baik, jam kerja lebih pendek, dan kesejahteraan sosial dipenuhi.
5
para pengusaha yang tahu diri, serikat-serikat itu bermunculan dan diakui. Tuntutan mereka akan kondisi
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Hukum utama tentang perburuhan pertama kali, the Health and Morals of Apprentices Act,,
dicanangkan di Inggris Raya pada tahun 1802. Bangsa-bangsa lain di Eropa baru melansir legislasi yang
sama beberapa dasawarsa berikutnya. Hukum yang mengatur pembatasan jam kerja bagi orang dewasa
pertama kali muncul di Swis pada tahun 1848. Jerman mempelopori bidang ini dengan melansir asuransi
kesehatan, kompensasi pekerja, dan pensiun pada hari tua pada tahun 1880-an, justru tatkala Otto von
Bismarck berkuasa. Compulsory arbitration bagi para pekerja dikenal di New Zealand pada tahun 1890-an.
Undang-undang tentang pembatasan jam kerja untuk pekerja anak diawali oleh India pada tahun 1881,
tetapi undang-undang yang sama untuk orang dewasa baru diterima tiga dasawarsa berkutnya.
Kebanyakan produk hukum ini dirancang sesuai dengan situasi khusus dalam lokalitas yang terbatas.
Pemberlakuan hukum tentang para pekerja yang mencakup semua aspek dalam hubungan pemilik modalpekerja tidak dapat direalisasikan hingga akhir Perang Dunia II.
Di Amerika Serikat sendiri hampir tidak ada perundangan buruh, kecuali untuk pembatasan jam
kerja, sampai masa Depresi sesudah tahun 1930-an. Namun, kode perburuhan yang komprehensif untuk
pertama kalinya muncul di Perancis antara tahun 1910 dan 1927. The Mexican Constitution tahun 1917
dan the German Weimar constitution tahun 1919. keduanya memuat formulasi menyeluruh tentang
kondisi para pekerja. Departmen-departemen dan kementerian tenaga kerja dibentuk untuk menangani
legislasi tenaga kerja di Kanada dalam tahun 1900, di Perancis dalam tahun 1906, di Amerika Serikat dalam
tahun 1913, di Inggris dalam tahun 1916, dan di Jerman tahun 1918. Departemen-departemen ini dibentuk
di beberapa negara industri sesudahnya dan di negara-negara merdeka di Afrika dan Asia dalam dasawarsa
1940-an dan 1950-an. Hal penting yang perlu dicatat sebagaimana ditunjukkan sejarah, minat pada
anarkisme tetap tinggal sebagai suatu ideal, yang senantiasa memberi sinyal bahwa sedang terjadi
konsentrasi kekuasaan, baik pada pemerintahan maupun ekonomi.
III. Postulat tentang Hak Membangkang
Golput sebagai sikap protes politik lebih merupakan suatu bentuk ketidakpatuhan (civil
disobedience) simbolik, dan sebagai aksi politik lebih merupakan perlawanan langsung terhadap apa yang
Page
sebagai penolakan terhadap keseluruhan sistem hukum dan pemerintahan.
6
dipersepsikan kalangan kritis dalam masyarakat sebagai ketidakadilan secara hukum; ketimbang, misalnya,
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Unsur-unsur yang mendukung resistensi semacam ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa
legitimasi dari pelaksanaan suatu produk perundangan (dalam hal ini undang-undang tentang pemilu)
pantas diblokir, dan dengan melakukan perlawanan, para pendukung Golput memandang diri mereka
sebagai pengemban prinsip atau ideal yang bernilai lebih luhur yang dengan sendirinya dapat mematahkan
produk perundangan yang ada.
Maka Golput sebagai civil disobedience pada dasarnya adalah suatu bentuk “tindakan kriminal
politis yang direstui” karena fungsinya sebagai protes. Dengan kesediaan menanggung semua risiko
terkena sangsi hukum, para “pembangkang hukum” ini berharap dapat menawarkan sebuah model moral
yang pada gilirannya dapat memprovokasi mayoritas atau kalangan pemerintahan untuk melakukan
perubahan-perubahan mendasar melalui perubahan hukum dan kebijakan publik. Hal yang perlu
dikedepankan di sini ialah bahwa kualifikasi utama dari gerakan ini diukur melalui ketidakpatuhan yang
diwujudkan dalam aksi anti kekerasan.
Sejarah agaknya juga menunjukkan, kebanyakan kepeloporan perubahan politik yang
menggunakan bentuk civil disobedience semacam ini justru mampu melemparkan rejim yang sedang
memerintah dari kursi kekuasaannya, kendati dari perbandingan antarperistiwa sejarah tradisi civil
disobedience kian melemah dari waktu ke waktu.xi Namun, manakala massa mulai merasakan bahwa
mereka sedang diperintah oleh raja, diktator bahkan tiran, kemungkinan yang paling implikatif dan logis ini
bakal menjadi kenyataan.
Kepastian ini digambarkan dengan sangat tepat oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant, dengan
pernyataannya: "Adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk melawan penyalahgunaan
kekuasaan, kendati perlawanan ini akan dianggap tak lebih sebagai kesia-siaan (It is the duty of the people
to bear any abuse of the supreme power, even though it should be considered to be unbearable).xii Adapun
istilah civil disobedience sendiri pertama kali dicetuskan oleh Henry David Thoreau.xiii Thoreau dalam
bukunya yang berjudul "Civil Disobedience". Buku, yang terbit tahun 1846 itu, pada awal hingga
pertengahan abad keduapuluh menjadi textbook bagi gerakan-gerakan resistensi melawan ketidakadilan
di kalangan gerakan nasionalis India, Africa, dan Latin America. Mahatma Gandhi di India membaca dan
Perlawanan tanpa kekerasan memiliki kecenderungan kuat untuk menawarkan nilai-nilai baru bagi
7
pemerintahan dan kelompok-kelompok konservatif yang anti perubahan. Biasanya penguasa bereaksi
Page
memformulasikan dokrinnya tentang perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintah kolonial Inggris.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
dengan menggunakan kekerasan fisik dan teror untuk mempertahankan diri. Contoh dalam sejarah,
pelopor perjuangan anti-kekerasan Amerika, pemimpin pembelaan hak-hak sipil Martin Luther King, Jr.,
terbunuh pada tahun 1968, sebagaimana Gandhi pada 1948. Tetapi, ibarat aliran air yang melewati bukit
cadas, gerakan anti kekerasan dapat mencapai tujuan-tujuannya. Inggris meninggalkan India, dan hukum
tentang hak-hak sipil akhirnya diberlakukan di Amerika Serikat.
Tonggak sejarah abad 20-an memberikan sejumlah contoh gerakan civil disobedience selain yang
dilakukan Gandhi dan King. Gelombang protes di Amerika Serikat terhadap Perang Vietnam tahun 1960-an
adalah contoh yang bagus. Gerakan pembebasan kaum wanita tahun 1970-an adalah contoh lain. Juga
gelombang protes kaum muda di Paris yang hampir menumbangkan pemerintah Perancis pada tahun
1968 dan protes kaum kulit hitam Afrika Selatan yang berhasil menanggalkan politik apartheid.. Dan masih
banyak lagi contoh tentang keberhasilan gerakan protes tanpa kekerasan.
Formalisme Pemilu nampaknya masih memberi ruang bagi aksi protes. Masalahnya tinggal apakah
pihak pemrotes mampu bertahan untuk berada pada satu nuansa ekspresi sebagaimana dimaui
pemerintah: seolah-olah mencoblos. Pergeseran dari posisi ini nampak akan berakibat munculnya
tindakan kekerasan pada kedua belah pihak, pemerintah maupun Golput sendiri. Dan jika hal ini terjadi,
sangat gamblang terbayangkan. Pemerintah akan berada pada posisi sebagai “tuhan” yang berhak
menentukan siapa yang disebut “pendosa” dan siapa yang harus masuk “neraka”.
IV. Postulat tentang Kemerdekaan Bangsa
Dalam khasanah hubungan antarbangsa, kemerdekaan menunjuk pada status hubungan di antara
dua bangsa atau lebih. Jika suatu bangsa sepenuhnya terpisah, dan dapat dibedakan, dari bangsa lain,
bangsa itu berhak mendeklarasikan diri sebagai bangsa merdeka. Inilah makna yang selama ini terkandung
di balik kata “kemerdekaan bangsa”.
Di penghujung abad ke-20 ini telah ratusan bangsa merdeka. Hampir semua bangsa merdeka
berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-bangsa yang keanggotaanya terdiri dari bangsa-bangsa
merdeka sehingga PBB lebih tepat disebut “perserikatan di antara bangsa merdeka”. Sebagai konsekuensi,
Page
Padahal, sejarah bangsa-bangsa memperlihatkan, umumnya bangsa merdeka berdiri di atas tanah bangsa-
8
perserikatan ini tidak memperhitungkan keberadaan bangsa-bangsa pribumi /pedalaman /jajahan.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
bangsa pribumi/pedalaman/jajahan, yang selama praktik imperialisme mereka terusir, teraniaya, bahkan
terbunuh, sebagai tumbal bagi supremasi bangsa merdeka.xiv
Sejarah juga menunjukkan, di seluruh dunia praktik pemunahan telah membersihkan bangsabangsa pribumi/pedalaman/jajahan beserta budaya mereka. Di banyak negara bangsa-bangsa pribumi/
pedalaman/jajahan (orang suka menyebut mereka “suku primitif”) -- jika mereka masih tersisa –
diperlakukan sebagai kaum minoritas. Tak terkecuali, di negara-negara kampiun demokratis sekalipun,
kaum minoritas tidak diakui dan diterima oleh kaum mayoritas dengan kultur dominannya. Di banyak
negara di dunia mayoritas cenderung mengendalikan dan menggeneralisir kaum minoritas kedalam
bingkai bangsa “merdeka”. Dalam hal ini bangsa Indian dan Aborigin adalah contoh yang tak terbantahkan.
Dan ketika ber-reaksi terhadap perlakuan semacam ini, bangsa pribumi/pedalaman/jajahan selalu di-klaim
dan dituduh oleh pemerintah negara merdeka sebagai kaum separatis, GPK, gerakan anti-integrasi, atau
klindestain.
Hawaii dengan kasus bangsa Hawaii adalah contoh yang sempurna. Meski merupakan negara
adikuasa dan merupakan bangsa merdeka terkuat di dunia, Amerika Serikat hampir tidak
memperhitungkan Hawaii. Laporan-laporan dan data demografik yang berkaitan dengan studi bangsa
Hawaii menunjukkan sejarah penyalahgunaan hak-hak sipil, kemiskinan yang akut, dan statistik kesehatan
yang sama parahnya dengan yang di negara-negara dunia ketiga.
Sampai di sini nampak, kemerdekaan ternyata bukan jaminan bahwa orang Hawaii, juga kaum
pribumi/pedalaman/jajahan lainnya, dapat menerima dan berkuasa untuk mengendalikan tanah adat
mereka atau memungkinkan hak-hak religius tradisional, sipil, politik, sosial dan ekonomi mereka dihargai
dan dilindungi. Gambaran global menunjukkan, pada setiap negara merdeka, kaum pribumi /pedalaman/
jajahan terus dimarjinalisasikan, dijadikan obyek rasisme, dan kalau perlu dilenyapkan, baik dengan
program genocide maupun ethnocide.xv Di Indonesia, peristiwa Timika merupakan contoh.
Pada kasus Hawaii, seandainya kelak Hawaai merdeka, mereka tetap saja akan dikendalikan oleh
individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang sekarang mengendalikan politik negara (Amerika) dan
yang sekarang diuntungkan berkat penindasan terhadap rakyat Hawaii. Meski populasi mereka sekarang
sekitar 20%, sebagai minoritas mereka tak akan pernah berpengaruh terhadap mayoritas dominan di
Page
9
Amerika Serikat.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
V. Antara Postulat dan Realitas Pemerintah
Hasil sidang CGI di Tokyo, 16-17 Juli 1997 menghasilkan janji pinjaman sebesar 5.299 miliar dolar
AS untuk tahun anggaran 1997/1998. Pertanyaannya, apakah “janji” itu selalu harus dibaca sebagai
peningkatan kepercayaan CGI pada pihak pemerintah Indonesia? Sejauh mana besaran angka yang
dijanjikan itu dijamin tidak justru akan menjadi justifikasi pemerintah untuk membersihkan diri dari
gelombang kritik, utamanya yang menyangkut penyelewengan anggaran, kebocoran-kebocoran dana
pembangunan, praktik monopoli, dan nepotisme?
Jika argumentasi untuk menepis keberatan ikhwal kenaikan pinjaman semata didasarkan pada
angka pertumbuhan, maka sebenarnya bukan hanya pemerintah Indonesia, pemerintah negara manapun
di dunia ini mempunyai kecenderungan alamiah untuk terus tumbuh, berkembang dan berkuasa. Maka
sebutan “eksesif”, barangkali, paling tepat untuk menggambarkan kecenderungan ini.
Premis di atas dapat diuji dengan fakta bahwa setiap individu dalam korp pemerintahan --tak
terkecuali kalau kita masuk di dalamnya-- gampang termotivasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi
yang mengarah ke sindrom personifikasi posisi/jabatan kepemerintahan. Dan justru dari mekanisme
psikologis ini pertumbuhan beranjak. Sayangnya, tidak seperti yang terjadi pada sebagian besar dari kita
yang berada di luar pagar pemerintahan --pada posisi diperintah-- motivasi untuk mendahulukan
kepentingan-kepentingan pribadi di antara pelaku-pelaku dalam korp pemerintah tak jarang berakibat luas
pada terciptanya kesengsaraan hidup banyak warga. Ada beberapa indikator untuk mengidentifikasi
sindrom sosio-psikologis ini:xvi
Pertama, selain muncul dalam kebanggaan jika jumlah pinjaman luar negeri makin besar,
personifikasi jabatan kepemerintahan nampak jelas tatkala berlangsung penentuan anggaran belanja dan
pengadaan tenaga kerja (pegawai negeri). Kenaikan anggaran belanja pertama-tama ditentukan oleh
estimasi anggaran tahun berikutnya (yang jumlahnya pasti lebih besar) yang didasarkan pada anggaran
pengeluaran tahun terakhir. Sedang pembengkakan hutang dari tahun ke tahun, sama halnya dengan
pembengkakan anggaran belanja, selalu akan dilarikan ke alasan pertumbuhan ekonomi. Di sini terjadi
Page
hutang diklaim sebagai “demi pertumbuhan”.
10
lingkaran setan argumentasi yang tiada ujung: pertumbuhan membutuhkan hutang, sementara besarnya
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Penerimaan terus-menerus yang berakibat pada pembengkakan jumlah pegawai negeri tidak akan
berdampak pada kuantitas dan kualitas pelayanan publik, tetapi justru pada jumlah penerimaan upah yang
relatif makin rendah dari waktu ke waktu. Standard gaji pegawai negeri, yang selama ini diketahui rendah,
tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi tentang kas negara yang terbatas, tetapi dengan argumentasi
tentang perhitungan yang menghasilkan nilai akhir begitu kecil lantaran terlalu besarnya rasio antara
pembilang dan penyebut. Harapan tentang peningkatan jumlah dan mutu pelayanan publik juga tidak akan
terpenuhi dengan penambahan pegawai negeri. Sebab, para agen pemerintah ini, sama halnya dengan
warga negara yang lain, adalah juga para pencari kerja biasa, yang senantiasa berjuang demi
kepentingannya sendiri.
Teori psikopolitik menjelaskan fenomena ini sebagai implikasi dari kondisi, dimana setiap orang
yang menduduki jabatan kepemerintahan memiliki hasrat dan termotivasi, untuk meningkatkan
kesejahteraan pribadi. Karena itu, begitu sulit untuk mengendalikan kecenderungan ini. Fakta di lapangan
bahkan memperlihatkan, adalah mustahil untuk membendung laju pertumbuhan kekuasaan yang eksesif,
kecuali jika muncul tekanan dari luar kalangan pemerintah yang, baik kekuatan maupun daya hambatnya,
seimbang dengan laju pertumbuhan pemerintah. Akan lebih mustahil lagi berharap bahwa kalangan
pemerintah sendirilah yang harus mengerem laju pertumbuhannya.
Kedua, personifikasi jabatan kepemerintahan dilihat dari menguatnya kontrol pemerintah
terhadap warga negara. Sebagaimana sifat kebanyakan manusia, pada diri para pelaku di jajaran
pemerintahan ada hasrat yang begitu kuat akan kekuasaan. Semua agen pemerintah akan
memperlihatkan peningkatan pertumbuhan kekuasaan yang semula dipercayakan oleh rakyat sebagai
persoalan pertumbuhan kekuasaan yang terjadi pada pribadi-pribadi dalam korp itu. Pada gilirannya,
personil pejabat pemerintah akan menggunakan kekuasaannya untuk menarik pajak, iuaran, atau bentuk
pungutan lain (yang mungkin illegal), untuk mengumpulkan dana yang peruntukannya bersifat ambigu;
semata agar para warga senantiasa berada dalam genggaman kekuasaaan dan kendali mereka. Belajar dari
filem koboi, kita dapat menggambarkan kenyataan ini sebagai adegan koboi yang merampok uang milik
Indian, yang pada gilirannya akan digunakan untuk membeli persenjataan guna merampok lagi Indian itu.
jabatan
kepemerintahan
diejawantahkan
dalam
upaya
untuk
menyembunyikan setiap operasi yang dianggap rahasia (militer, polisional) agar tidak diketahui warga
11
personifikasi
negara. Karena warga negara dianggap dapat menimbulkan trouble kalau dibiarkan mengetahui segala
Page
Ketiga,
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
sesuatunya, agen pemerintah cenderung menyembunyikan operasi-operasi internalnya, termasuk di
dalamnya pembiayaan, dan memperlakukannya sebagai rahasia negara. Implikasinya, agen-agen
pemerintah yang bergerak tak sepengetahuan publik cenderung mengabaikan pelanggaran hak-hak asasi
publik dan cenderung menggunakan dana untuk bertindak secara tak terkendali.
Keempat, sejalan dengan pertumbuhannya, para pejabat pemerintah cenderung memanfaatkan
segala bentuk ambiguitas untuk kepentingannya sendiri. Lebih dari faktor mana pun, peranan ambiguitas
menjadi basis bagi korp pemerintahan untuk tumbuh dan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Secara
esensial, semua program yang diprakarsai pihak pemerintah senantiasa didefinisikan secara ambigu.
Operasi-operasi yang dilakukan didasarkan pada persyaratan dan argumentasi yang serba kabur.
Dalam kaitannya dengan pendanaan, persoalan ini menjadi sangat serius karena anggaran belanja
yang dicanangkan pemerintah pertama-tama ditentukan berdasarkan jumlah yang “dikeluarkan pada
tahun sebelumnya”. Dan untuk menguatkan argumen agar anggaran itu disetujui DPR/Perlemen, ada
justifikasi-justifikasi yang biasanya dikemukakan, seperti:
Pertama, justifikasi “demi Departemen Pertahanan”. Sebagaimana kita tahu, Departemen ini
terdiri dari pasukan dan perlengkapan. Tiga perempat anggaran biasanya dialokasikan pada pembelanjaan
perlengkapan dan hanya seperempat sisanya untuk kesejahteraan personil pasukan. Sebagian anggaran
belanja biasanya diberi judul untuk “maintenance”, “operation”, untuk riset, etc. Menurut kajian-kajian
tentang penggunaan anggaran militer, pada praktiknya anggaran ini lari ke pelayanan sipil, kontrak
personil, dan kontrak pemerintah.
Oleh sebab itu, pertanyaan “seberapa banyak satuan mata uang yang diperlukan untuk
pertahanan” tidak pernah dapat dijawab secara tepat oleh seorang pun, meskipun dari sini dapat
ditafsirkan lebih dalam bahwa “pertahanan” itu berarti keamanan kerja, profit making, dan, umumnya,
pemenuhan kebutuhan pribadi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pertanyaan “seberapa bagus
peralatan yang harus tersedia untuk angkatan bersenjata kita?” juga sulit dijawab. Haruskah lebih baik dari
yang dimiliki musuh? Ini pertanyaan bolong yang paling sulit dijawab. Sebab, tidak ada warga negara sipil
yang tahu persis tentang apa saja yang dipunyai pihak musuh. Lagi pula, inisiatif gagasan itu hanya datang
Kalau begitu, bagaimana pemerintah menentukan soal seberapa bagus peralatan yang harus
12
dipunyai negara? Pada esensinya, ini ditentukan oleh kemajuan teknologi dan kemampuan pemasaran
Page
dari kalangan pemerintahan.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
para kontraktor yang ditunjuk pemerintah. Bahkan dapat saja kita membelanjakan bertrilyun-trilyun
rupiah untuk sedikit saja persenjataan atau, boleh jadi, kita akhirnya menemukan barang rongsokan meski
para kontraktor secara persuasif mengatakan bahwa kita telah melakukan langkah-langkah progresif
dalam teknologi.
Justifikasi kedua yang biasanya dikemukakan adalah anggaran untuk memerangi kemiskinan.
Padahal terbukti di banyak negara, justifikasi semacam ini merupakan satu dari deretan kegagalan proyek
monumental. Proyek yang sering diberi judul “Perang melawan Kemiskinan” terbukti justru lebih merusak
jutaan kehidupan warga yang dimiskinkan lantaran mereka tetap saja tinggal dalam kemiskinan
(struktural) dibandingkan keadaan sebelum ada maklumat perang kemiskinan. Sesudah maklumat perang
mereka bukan saja tambah miskin, tetapi juga menjadi sangat tergantung dan tidak berdaulat.
Ketiga, kalkulasi legislasi dalam pemberantasan obat terlarang, seperti ectacy, adalah contoh
justifikasi lain untuk mencairkan anggaran. Untuk menghukum sejumlah kecil pemakai obat terlarang
semua warga masyarakat harus mengorbankan kebebasan dan tunduk di bawah perintah polisi negara.
Juga justifikasi ketika pemerintah menentukan regulasi ekonomi. Setiap regulasi tidak pernah memakai
prosedur pre-test dan post-test sehingga setiap kegagalan regulasi tidak pernah dilaporkan dan diketahui
publik, tetapi, ironisnya, segera ditindaklanjuti dengan regulasi baru.
Yang terpenting dari semua cermatan di atas ialah, biasanya berhasil-tidaknya semua program -dalam perspektif warga negara-- bukan menjadi concern pokok pemerintah. Yang lebih diutamakan
dengan semua proyek itu ialah terjadinya penyaluran tenaga kerja, promosi dan arisan jabatan personil,
pemanfaatan dana, dan penciptaan aktivitas-aktivitas pembunuh kebosanan. Jika ada di antara agen
pemerintah yang menaruh perhatian pada kegagalan proyek, maka motivasi yang menggerakkannya tentu
bukan concern, tetapi ketakutan akan munculnya kesulitan lebih besar yang bakal datang, berupa tekanan
warga negara dan media massa.
Rekomendasi psikopolitik yang dapat diajukan untuk mengantisipasikan personifikasi kepejabatan
semacam ini, dan untuk mengimplementasikan realisasi janji pinjaman yang lebih besar dari tahun
sebelumnya, ialah bahwa tidak ada jalan lain, kecuali pemerintah harus menerima kehadiran oposisi,
Page
menawarkan konsep-konsep alternatif mereka.
13
memperkuat daya tawar media massa, dan memberi angin kepada gerakan-gerakan pembaharuan untuk
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
VI. Postulat tentang Hak Bersuara dan Mengemukakan Pendapat
Sensor adalah peninjauan dan pengendalian terhadap informasi dan gagaan yang beredar di
antara orang per orang di suatu komunitas. Di jaman moderen sensor menunjuk pada pengujian atas
buku, majalah, pertunjukan, filem, progam radio dan televisi; juga laporan berita, dan media komunikasi
lain, sepanjang bertujuan untuk menjauhkan atau menekan bagian-bagian pemikiran tertentu agar tidak
menjadi obyektif atau dirasa ofensif. Jadi, rasionale dari sensor adalah, ia diperuntukkan bagi proteksi atas
tiga lembaga sosial basis: keluarga, agama dan negara.xvii
Hingga sekarang, sensor secara kuat diberlakukan dalam pelbagai bentuk kelembagaan termasuk
kelembagaan-kelembagaan di masyarakat demokratik yang paling maju sekalipun. Pertengahan abad ke20, perubahan revolusioner dalam sikap sosial dan kendali sosietal memperlemah eksistensi dan kekuatan
sensor di banyak negara demokratik; meski demikian, semua bentuk sensor belum secara universal
dihilangkan. Dewasa ni banyak pribadi, utamanya para warga negara yang termasuk dalam kategori kaum
libertarian, memperjuangkan suatu “new permissiveness” dalam seni dan media massa; mereka
mengklaimnya
sebagai hambatan yang memperbebal rasa-pirasa publik, mengkorupsi semua rasa
kejujuran dan sipilitas, dan bahkan menghojat peradaban.
Di abad ke-20, sebagaimana tergurat dalam lembar sejarah, kondisi kebebasan dari pelbagai
sensor menjadi sebentuk kelangkaan di dunia. Para penguasa terus dan terus memberlakukan penekanan
(represi), penindasan (supresi), dan penganiayaan (opresi). Meski demikian, hal ini, boleh jadi, dapat
dipertimbangkan sebagai sinyal dari kemajuan politik dan sosial yang, di mana pun di dunia ini, pada
tingkatan lip-service sengaja dibayarkan guna menggapai garis-garis ideal tentang kebebasan. Yang perlu
dicatat, tak satu negara pun secara terbuka mengijinkan sensor sebagai hal yang terkait erat dengan
kebijakan di bidang keagaman, intelektual, kesenian atau politik.
Terlepas dari semua kepentingan baik yang diboncengi maupun yang menjadi kendaraan utama
politik sensor, tulisan ini hendak menyorot biaya psikologis dari politik sensor, utamanya bagi negara kita
yang dalam pembukaan konstirusinya mencanangkan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (baca:
Page
Pertanyaannya, apakah tujuan itu bakal tercapai di bawah kangkangan politik sensor?
14
bukan “mencerdaskan bangsa” yang diimplikasikan melalui segala bentuk ikatan cendekiawan).
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Salah satu contoh kasus ketidakcerdasan kehidupan bangsa kita tergambar dalam diskursus
masyarakat (untuk tidak mengatakan “ngegosip”) tentang peristiwa 27 Juli 1996 silam. Pemerintah
cenderung menyalahkan pers asing sebagai penyebar fitnah dan berita bohong. Tetapi argumen
pemerintah tentang hal ini nampak lemah karena tindakan mempersalahkan siaran asing itu tidak disertai
dengan alternatif solusi. Kalau pun ada, solusi itu tentu berupa anjuran agar para warga negara menengok
pers dalam negeri atau anjuran untuk bersikap lebih kritis terhadap pers asing. Sayang, utamanya dalam
ranah sosial-politik, kredibilitas pers dalam negeri telah merosot hampir pada titik yang tak dapat ditolerir.
Karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan pemerintah menjadi tidak bersifat solutif; dan persis tidak
applicable dilakukan warga masyarakat. Jika, dan jika, dalam suatu kehidupan sosietal suatu pernyataan
yang dikomunikasikan oleh pihak rujukan tentang suatu solusi tidak lagi solutif, kehidupan itu condong
menuju ke arah ketidakcerdasan.
Penelitian mutakhir tentang kinerja inteligensi manusia dalam kehidupan sosietal banyak
mengeksporasi hipotesis-hipotesis, pertama bahwa inteligensi yang fleksibel cenderung dibatasi oleh
lingkup informasi yang memungkinkannya operasional. Dengan data yang tidak akurat, kecerdasan
manusia dapat dengan mudah sampai pada kongklusi yang tidak dilandasi refleksi.
Kemungkinan ini diperbesar terlebih kalau area pemikiran tertentu dianggap tidak terbuka untuk
dipertanyakan. Apalagi ketika ada sedemikian banyak batasan terhadap para anggota komunitas untuk
mendiskusikan hal-hal di luar apa yang diyakini sebagai “hasil konsensus”, meski tetap menjadi agenda
diskursus bahwa apa yang dipertimbangkan sebagai “hasil konsensus” tawar maknanya ketika komunitas
gencar mempertanyakan.
Hipotesis kedua menyebutkan bahwa ketakutan untuk melakukan “perlawanan” telah digunakan
para penguasa untuk menekan pandangan-pandangan alternatif dan melemarieskan pelecehan dan
penyalahgunaan pernyataan-pernyataan tanpa bukti (allegations). Pernyataan-pernyataan terbuka
tentang ketidaksetujuan terhadap pedoman, “teori” atau gaya kepemimpinan tertentu cenderung
dianggap oleh para penguasa sebagai perlawanan.
Dalam hal ini cuplikan-cuplikan garis-garis besar haluan dan perundangan cenderung dipakai untuk
kekuasaan otoriter dan melakukan sensor terhadap gagasan-gagasan yang dianggap di luar sistem.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Page
ketidaksetujuan. Ketakutan akan terjadinya chaos biasanya digunakan untuk menjustifikasikan struktur
15
membungkam pandangan-pandangan alternatif dan mengendalikan secara berlebihan segala nada
Hipotesis ketiga menyebutkan bahwa konsentrasi kekuasaan pada satu tangan kepemimpinan
cenderung mengejawantah dalam bentuk perilaku koersif. Hipotesis ini berangkat dari kajian psikopolitik
bahwa para penguasa cenderung menggunakan ancaman secara eksesif dalam mengendalikan sumbersumber informasi dalam komunitas semata untuk melansir perilaku-perilaku yang diinginkan. Apa yang
disebut kebijakan cenderung diartikan sebagai pandangan preseden apalagi ketika setiap anggota
komunitas diduga tidak menyetujui.
Dalam kaitan dengan hipotesis ketiga, diduga ada dikotomi dan kesenjangan antara pemikiran
individu tentang dunia sosialnya dan aplikasi pemikiran tersebut ketika diperjumpakan dengan pandangan
masyarakat. Menurut analisis psikopolitik, para figur penguasa sebagai individu cenderung mengarah pada
pemikiran, keputusan, tindakan dan penilaian yang semata berbasis pada buah pikiran terbaiknya. Bahkan
seandainya basis pemikiran ini bertentangan dengan “kekuasaan riil” yang ada, termasuk jika ini melawan
kaidah dan norma.
Acap kali kita jumpai, ketika berhadapan dengan usulan-usulan dan pemikiran baru, ungkapanungkapan dari kalangan penguasa melalui kata-kata kunci berikut: “Hal itu telah dipikirkan sejak sekian
tahun yang lalu”, atau “Telah ada konsensus tentang itu”, atau “Pandangan-pandangan semacam itu akan
kami tampung”, atau “Ada lebih banyak pandangan daripada yang kalian usulkan; kalian perlu belajar
banyak”, atau “Saya tidak mengerti, mengapa kalian tidak mau menempuh jalan yang kami tempuh”, dan
sebagainya.
Logika yang sama berlaku bagi para anggota komunitas per individu bahwa setiap orang terdorong
untuk mengikuti dan mengorganisasikan pemikiran mereka sendiri. Jadi, logis pula bahwa mereka yang tak
dilambari dengan kekuasaan resmi cenderung memberdayakan dan mengorganisir diri sendiri untuk
menerpakan usaha-usaha ke arah perubahan yang mereka inginkan.
Pada titik ini diduga ada kemungkinan kuat terjadinya “tabrakan” antara arus pemikiran penguasa
di suatu komunitas dengan para anggota komunitas. Dan jika ini senantiasa terjadi, muskil kehidupan
kehidupan yang sungguh-sungguh cerdas. Bahkan kondisi ini bakal mengarah ke terjadinya patologi yang
oleh Eric Fromm disebut sebagai “neurotic society”. Ini merupakan hipotesis keempat.
menyirtakan adanya pemikiran aktual di balik pendirian para pecinta sensor. Pertama, anjuran untuk
16
menggunakan inteligensi hanya, dan hanya, bila masih berada dalam batas lingkup “teori”, “garis-garis
Page
Dengan demikian, dalam kaitan antara sensor dan inteligensi, keempat hipotesis di atas
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
besar haluan” kebijakan, dan “kepemimpinan” yang dikonsensuskan; atau larangan agar jangan sesekali
menerapkan inteligensi itu untuk menghadapi ketiganya. Kedua, tantangan bahwa jika komunitas
melawan ketiganya, komunitas siap berhadapan dengan kondisi distres dan sikap acuh tak acuh. Distres
akan efektif dalam penggalan sesi per sesi, sedang sikap acuh tak acuh akan melingkupi keseluruhan
suasana pendirian para penguasa. Ketiga, karena gagasan-gagasan yang bernada pembangkangan
diasumsikan sebagai muncul di bawah kondisi distres tertentu dari pencetusnya –bahwa untuk berbagi
pemikiran tentang gagasan sejenis orang berangkat dari kondisi distres— postulat yang diberlakukan
kemudian ialah bahwa gagasan itu tidak akurat dan layak ditolak. Keempat, konsensus cenderung
diartikan sebagai “mengerjakan segala sesuatu yang disetujui oleh kepemimpinan yang ada”.
Karena semua pedoman, teori, konsensus dan garu besar haluan kebijakan telah dirancang untuk
memproteksi para penguasa dari kemungkinan distres akibat tekanan para anggota komunitas, tulisan ini
tidak akan mengambil posisi sebagai proteksi komunitas atas distres yang ditimbulkan para penguasa. Ada
tiga saran untuk menciptakan kehidupan yang lebih cerdas yang secara silogistis berangkat dari proposisiproposisi hipotetik di atas. Pertama, memutus semua jalur sistem otoriter dengan cara merotasikan
semua posisi kepemimpinan pada batas waktu tertentu semata untuk meyakinkan bahwa tidak akan
terbentuk “the ruling clas”. Kedua, mengurangi kebijakan “melawan”. Sebagaimana dibahas, kebijakan
yang ada cenderung memproteksi pola kepemimpinan tetapi secara psikologis mendudukkan komunitas
dalam risiko tanpa daya pada tingkat tertentu. Untuk itu, semua pernyataan tanpa bukti, yang semata
mengandalkan pada legitimasi kekuasaan,
harus dikaji oleh semacam badan yang terbentuk dan
berkembang dalam komunitas (biasanya dalam bentuk LSM). Di pihak lain, para penguasa harus bersedia
mengganti kaki tangannya yang dinilai oleh badan pengkajian telah menyalahgunakan kekuasaan. Ketiga,
karena penguasa tidak bisa sekaligus berperan sebagai “konselor” untuk kliennya (baca: komunitas), perlu
dibentuk semacam konselor independen (komisi?) yang dianggap kredibel baik di mata penguasa maupun
komunitas.
Pada contoh silang pendapat sekitar kasus peristiwa 27 Juli atau reaksi kecaman terhadap Uskup
Belo atas wawancaranya dengan Der Spiegel, nampaknya keempat hipotesis di atas cenderung
penyelenggaraan kekuasaan, utamanya melalui politik sensor, telah menghambat aktualisasi intelegensi
17
komunitas. Kita telah melakukan pemborosan demi pemborosan atas penggunaan sumber-sumber daya
Page
terverifikasikan, ialah bahwa ketidakcerdasan kehidupan yang diakibatkan oleh salah urus dalam
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
psikologis kita, yang semestinya kita peruntukkan buat melaksanakan pembangunan di segala bidang,
Page
18
justru dengan melakukan saling baku hantam yang tanpa juntrung .***
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Catatan Akhir:
i
Simak pernyataan Prof. Dr. Sartono Kartodirjo dalam Kompas (17 November, 1997).
ii
Lihat G. Elwert dalam P. Treanor (1997), "Structures
http://www.socresonline.org.uk/socresonline/2/1/8.html.
http://www.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/world.nation.htm
iii
of
Nationalism".
Lihat
Online
Document:
juga
Lihat G. Mazzini dalam P. Treanor, Ibid.
iv
Lihat P. Taylor (1989), Political Geography: Word Economy, Nation State and Locality. Harlow: Longman, hal.
175.
v
Lihat P. Taylor (1995), "Beyond Containers: Internationality, Interstateness, Interterritoriality", Progress in
Human Geography, Vol. 19, hal 1-15.
vi
Anarkisme berasal kata dalam bahasa Yunani yang berarti "tanpa pimpinan atau kepala." Istilah ini menjadi kata
kunci dalam filsafat politik di Eropa sekitar abad kesembilanbelas. Mulanya, sebagai bentuk gerakan, anarkisme
teoritis mendasarkan pendiriannya pada tulisan dua orang tokoh refromasi sosial Inggris: Gerrard Winstanley dan
William Godwin. Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1995.
vii
Ibid.
viii
Ibid.
ix
Ibid.
x
Ibid.
xi
Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1996.
xii
Ibid. Bagi Kant, garis batas yang memisahkan antara resistensi dan revolusi adalah begitu tipisnya. Maka menurut
Kant adalah jauh lebih baik jika masyarakat suatu negara memiliki orde dengan otoritas ketimbang ketiadaan orde
pun tanpa otoritas. Lantas soalnya kemudian adalah bagaimana orde itu memahkotai dirinya dengan otoritas yang
memang terlegitimasi.
xiii
Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1996.Loc. cit.
xiv
Lihat Pharr, S., Ross, L., dan Berlet, C., “Activist Issue Call to Defend Democracy and Oluralism”. Online
Document: http://newcitizen.com/ publicgood/reports/what2do.htm
xv
Lihat European Youth Centre (EYC), “Nationalism vs Multicultural Society”. Online Document:
http://www.fretch.net/~worldlib/IFLRYreports/nationalism.html#.
Lihat Social Paradoxes Page. Online Document: http://www.concentric.net/~Mrcm/public/paradox.htm
xvii
Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1996.Loc. cit
Page
19
xvi
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Pemerintah-Warga Negara
♦)
Dr. Edy Suhardono (Executive Director)
I. Postulat Nasionalisme
Nasionalisme dapat saja menjadi substitusi bagi suatu "negara dunia", apabila didudukkan sebagai
proses konvergensi yang bergerak dari bawah; dalam arti bahwa penemuan identitas nasional melalui
nasionalisme tidak semata diperlakukan sebagai realitas statik sebagaimana yang biasa ditimbulkan oleh
peran kekuasaan negara yang eksesif. Negara harus diperlakukan tak lebih sebagai sebuah instrumen, yang
keberadaannya tergantung pada kebaikan hati warga negara, dan bukan sebaliknya. Dalam contoh, bukan
karena Kartu Tanda Penduduk (KTP) lantas negara “menciptakan” warga negara, tetapi karena individuindividu warga negaralah -- melalui kontrak sosial sebagaimana disebutkan Rousseau – negara diakui
eksistensinya. Bertentangan dengan postulat ini jika seseorang digaruk dan diamankan hanya karena
terbukti tidak membawa KTP.
Sebelum ada kedaulatan negara, kedaulatan sendiri adalah hak fundamental bagi setiap orang.
Pasal 1 dari The International Covenant on Civil and Politic Rights menyatakan: ”Semua orang mempunyai
hak untuk menentukan diri. Dengan dasar kebenaran dari hak ini, orang bebas menentukan status
politiknya dan bebas memenuhi baik aspirasi ekonomi, sosial maupun budaya mereka”. Kedaulatan
adalah
hak
esensial
dalam
konteks
perjuangan
gerakan
otonomi
bangsa-bangsa
Page
1
pribumi/pedalaman/jajahan.
♦
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Secara
fundamental,
gerakan
otonomi
merupakan
bentuk
aksi
kolektif
kaum
pribumi/pedalaman/jajahan untuk menentukan bahasa sendiri, budaya dan tradisi yang ingin mereka
pertahankan; memutuskan soal bagaimana tanah dan sumber-sumber hayati dikembangkan dan dikelola;
memilih bentuk pemerintahan, praktik religius, resolusi konflik dan pemenuhan kebutuhan pangan,
sandang, perumahan, pendidikan dan upah kerja. Jadi semua gerakan otonomi digerakkan oleh motivasi
mencapai kedaulatan ketika “kemerdekaan” gagal menghantarkan mereka pada tujuan ini.i
Pertanyaannya kemudian, jika kemerdekaan tidak memadai bagi pencapaian kedaulatan, lantas
apa yang sebaiknya kita usahakan agar makna kemerdekaan sungguh dapat dirasakan seluruh umat
manusia dan, dalam konteks kita, dirasakan oleh setiap manusia Indonesia? Jika salah satu aspek dari
kemerdekaan adalah penghapusan imperialisme bangsa asing, dimana nasionalisme terbukti berperan di
dalamnya, maka upaya yang harus diusahakan agar imperialisme asing tidak berganti wajah menjadi
imperialisme lokal, dan agar imperialisme tidak tercipta justru oleh nasionalisme; menjadi hal yang
memerlukan pemikiran lanjut.
Salah satu pemikir, Elwert,ii menunjukkan bahwa kaum nasionalis hanya menginginkan sebuah
bangsa untuk dirinya sendiri, bukan untuk yang lain. Pandangan nasionalisme yang partikularistik-lokal ini
disanggah oleh Mazziniiii yang tidak saja mendirikan, tetapi telah mengilhami berdirinya Angkatan Muda
Italia, Angkatan Muda Jerman, Swis, Polandia, Bohemia dan Argentina. Visi Mazzini berpijak pada
nasionalisme global: ia melihat manusia-manusia tidak lebih hanyalah sebagai unit-unit pasukan
humanitas. Metafora ini menekankan universalisme yang ekstrim dari nasionalisme, dimana kemerdekaan
bangsa tidak dipandang sebagai penunjang bagi pencapaian otonomi atau kehendak individu.
Sedang Peter Tayloriv merangkum dunia yang dimaksudkan kaum nasionalis pada tingkatan global,
nasional dan individual. Pertama, kaum nasionalis global yang memandang dunia sebagai suatu mosaik
bangsa-bangsa yang menemukan harmoni ketika semua terbebas dari restriktsi negara bangsa. Kedua,
kaum nasionalis nasional yang memandang bangsa-bangsa sebagai unit-unit dengan suatu homogeneitas
budaya yang didasarkan pada sejarah dan konteks tertentu, yang masing-masing menuntut adanya negara
merdeka dalam keberadaannya yang tidak teralienasi. Ketiga, kaum nasionalis individual yang
Page
dan yang di dalamnya mereka memperoleh kemerdekaan.
2
memandang bahwa individu-individu memiliki bangsa, yang mempersyaratkan loyalitas utama mereka,
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Dari rangkuman diatas, nasionalisme agaknya bukanlah suatu partikularisme, tetapi universalisme.
Sebagaimana diperjelas oleh Peter Taylor,v satu dunia kita merupakan “the nemesis of interterritoriality”.
Dunia bangsa-bangsa masih mungkin menjadi satu dunia, jika dunia itu adalah satu dunia nanionalis.
Batasan nasionalisme di sini dimaksudkan untuk memberikan tekanan pada aspek universal – sebuah tata
dunia – dari nasionalisme.
Kendati ada kebanggan akan kewilayahan negara yang luas, yang sering menciptakan atribut
tentang sebuah “kebesaran bangsa”, kenyataannya keluasan ini justru tidak menguntungkan bagi proses
konvergensi yang memungkinkan terjadinya penemuan identitas nasional bagi individu. Salah satu
penjelasannya, kemerdekaan suatu bangsa bukanlah awal dari proses pemisahan (seksesi) bangsa, tetapi
awal dari emansipasi bangsa. Untuk mencapai itu, kemerdekaan bangsa saja tidaklah cukup karena di
dalam bangsa merdeka masih terdapat kaum pribumi /pedalaman/terjajah yang tidak mau konform
terhadap garis-garis ideal nasional, meski mereka tidak memiliki identitas nasional yang lain.
Kaum semacam ini sebenarnya lebih memilih berintegrasi ke dalam suatu bangsa ketimbang
melakukan pemisahan dan menjadi non-nasional. Kalaupun pemisahan itu terjadi, maka soal martabat
geografis-politis tidak dapat diberberlakukan pada mereka. Artinya, jika sekelompok rakyat yang
mendefinisikan diri sebagai warga suatu bangsa akhirnya melakukan pemisahan dari bangsa tertentu, ada
kemungkinan lain mereka juga memisahkan diri dari sesuatu yang lain tanpa harus mempertimbangkan
status geografis-politis mereka.
Jadi agaknya bukan pemisahan, dan juga bukan penaklukan, yang akan mengganggu proses
konvergensi, dimana suatu bangsa baru memperoleh “nasionalisasi”nya. Bahkan pada tingkat persepsi
negara menurut individu, sikap untuk berubah dapat menentukan derajat
uniformitas nasional.
Pemisahan, pada gilirannya, akan membenamkan negara untuk selalu memperbolehkan terjadinya banyak
perbedaan di dalam masyarakat. Dan ini bukan hal yang langka, sebab banyak kaum nasionalis sejati
secara eksplisit malahan memberikan tempat dan penghargaan bagi keberadaan komunitas yang
heterogen.
Oleh sebab itu, sudah saatnya kita membuang jauh motivasi untuk sekadar memperoleh kesan
melalui imperialisme lokal; dan menindaklanjuti kemerdekaan itu dengan memproduksi tindakan-tindakan
3
dan penyelesaian-penyelesaian terhadap deprivasi di antara warga negara Republik Indonesia akan
Page
macho dari label kemerdekaan sementara pada saat yang sama kita justru melakukan ritual penindasan
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
kedaulatan. Sudah saatnya kita kembali ke apa yang diamanatkan para founding fathers kita yang telah
mencanangkan lambang negara “bhineka tunggal ika”. Langkah kongkrit pertama untuk itu ialah
menanggalkan sama sekali slogan “demi persatuan dan persatuan” yang secara eksesif sering kita
ucapkan, dan menggantikannya dengan slogan “demi keanekaragaman dan kebhinekaan”.
II. Postulat tentang Perlawanan Rakyat
Jika rejim penguasa mulai menunjukkan ketakutan akan gelombang anarkisme, maka hal ini
mengisyaratkan, rejim itu sedang mengawali kejatuhannya. Bagi penguasa dan pemodal secara
konsepsional anarkisme memuat ideologi tentang kebebasan berserikat, kebebasan berbagi pekerjaan dan
produk.vi
Winstanley,vii pencetus reformasi agraria pada abad ketujuh-belas, meyakini bahwa tanah yang
ada di suatu wilayah negara harus dibagi-bagi di antara semua warga, tak terkecuali. Sedang Godwin,
dalam bukunya yang berjudul 'Political Justice' (1793), bersikukuh bahwa otoritas bersifat nir-alamiah dan
bahwa kejahatan sosial akan muncul dan berkembang jika manusia tak bebas mengembangkan
kehidupannya sendiri menurut bimbingan daya nalarnya.
Penulis masalah-masalah politik Perancis, Pierre-Joseph Proudhon,viii membahas secara mendalam
ikhwal anarkisme, dan menganjurkannya sebagai fondasi bagi setiap gerakan sosial-politik. Dalam
pemikiran Proudhon, anarkisme sedikit memiliki kemiripan dengan sosialisme. Lantas ia menekankan
pentingnya penghapusan hak-hak milik pribadi dan pelepasan kendali pihak pemodal atas cara produksi
para pekerja. Selain itu, Proudhon menganjurkan pemerintah yang bersistem federal, yang terdiri atas
serikat-serikat petani dan pekerja industri. Teori Proudhon begitu mempesona para teoritisi di kemudian
hari. Di antara mereka adalah tiga penulis Rusia, Mikhail Bakunin, Peter Kropotkin, dan Emma Goldman;
Enrico Malatesta di Italia; Georges Sorel di Perancis; dan Paul Goodman di Amerika Serikat. Mereka
mengelaborasikan konsep-konsep anarkisme dengan mengacu pada buku Proudhon.
Ada beberapa kecenderungan di dalam anarkisme. Salah satunya, pendapat bahwa satu-satunya
cara untuk mengubah masyarakat adalah melalui terrorisme. Malatesta,ix misalnya, mengemukakan
Page
melansir sejumlah pembunuhan politik.
4
"propaganda melalui tindakan" (propaganda by the deeds), ialah suatu pandangan yang pada akhirnya
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Pemikir lain, termasuk Sorel,x mengkombinasikan antara tujuan-tujuan anarkisme dengan
orientasi politik serikat pekerja industri, yang dalam gerakannya dikenal sebagai gerakan anarchosyndicalism. Alat utama dalam gerakan ini adalah pemogokan masal. Dengan gerakan itu, para anarchosyndicalist berharap dapat mencapai tujuannya, yakni dengan cara menghapuskan kapitalisme dan status
negara, dan mendirikan unit-unit pekerja produksi yang terorganisir.
Revolusi ekonomi dan sosial yang disulut Revolusi Industri di Inggris memberikan inspirasi bagi
rebakan teori-teori politik seperti anarkisme, komunisme, dan sosialisme. Para pendukung tiga gerakan ini
pertama kali menembakkan gagasan tentang adanya hasrat dasar dari sebuah tatanan politik apapun:
kekuasaan. Namun demikian, segera para anarkis memisahkan diri dari dari dua isme itu. Sementara
komunisme ingin mengendalikan negara dengan menjadi penguasa, para anarkis justru ingin
menghapuskan negara sama sekali. Di sinilah perbedaan prinsip antara anarkisme dan komunisme.
Perilaku membangkang agaknya lebih tepat sebagai ciri kaum anarkis. Sedang kaum komunis lebih tepat
didudukkan sebagai saingan penguasa rejim kapitalis, utamanya pada hasrat untuk mengkonstrasikan
kekuasaan di satu tangan atau golongan.
Anarkisme berlangsung terus sebagai gerakan masal hingga akhir Perang Dunia Kedua. Gerakan ini
berakar di Spanyol, dimana para anarkis memainkan peran aktif dalam Perang Sipil Spanyol. Gerakan ini
akhirnya surut karena sukses komunisme dalam Revolusi Rusia, dan karena tekanan terhadap para anarkis
oleh pemerintah Fascist di Italia dalam tahun 1920-an, dan Jerman dalam tahun 1930-an.
Revolusi Amerika dan Revolusi Perancis, dengan deklarasi tentang hak-haknya, melahirkan
pemahaman baru bahwa individu mempunyai hak yang harus dihormati oleh negara. Dalam setting politik
yang lebih demokratis ini, terbukalah mata pikiran orang bahwa kombinasi antara pemerintahan politik
dan pemodal tidak akan menjawab kebutuhan para pekerja, kecuali mereka harus ditekan. Berangkat dari
sini, mendesak untuk mengorganisir para pekerja ke dalam serikat pekerja dan perdagangan untuk
menepiskan tekanan-tekanan yang mereka tanggung karena ulah para politisi dan pengusaha kapitalistik.
Seabad kemudian, upaya-upaya pengorganisasian semacam ini dianggap pemerintah sebagai
konspirasi kriminal, dan harus ditumpas. Setapak demi setapak, disokong oleh para politisi kubu liberal dan
Page
kerja lebih baik, jam kerja lebih pendek, dan kesejahteraan sosial dipenuhi.
5
para pengusaha yang tahu diri, serikat-serikat itu bermunculan dan diakui. Tuntutan mereka akan kondisi
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Hukum utama tentang perburuhan pertama kali, the Health and Morals of Apprentices Act,,
dicanangkan di Inggris Raya pada tahun 1802. Bangsa-bangsa lain di Eropa baru melansir legislasi yang
sama beberapa dasawarsa berikutnya. Hukum yang mengatur pembatasan jam kerja bagi orang dewasa
pertama kali muncul di Swis pada tahun 1848. Jerman mempelopori bidang ini dengan melansir asuransi
kesehatan, kompensasi pekerja, dan pensiun pada hari tua pada tahun 1880-an, justru tatkala Otto von
Bismarck berkuasa. Compulsory arbitration bagi para pekerja dikenal di New Zealand pada tahun 1890-an.
Undang-undang tentang pembatasan jam kerja untuk pekerja anak diawali oleh India pada tahun 1881,
tetapi undang-undang yang sama untuk orang dewasa baru diterima tiga dasawarsa berkutnya.
Kebanyakan produk hukum ini dirancang sesuai dengan situasi khusus dalam lokalitas yang terbatas.
Pemberlakuan hukum tentang para pekerja yang mencakup semua aspek dalam hubungan pemilik modalpekerja tidak dapat direalisasikan hingga akhir Perang Dunia II.
Di Amerika Serikat sendiri hampir tidak ada perundangan buruh, kecuali untuk pembatasan jam
kerja, sampai masa Depresi sesudah tahun 1930-an. Namun, kode perburuhan yang komprehensif untuk
pertama kalinya muncul di Perancis antara tahun 1910 dan 1927. The Mexican Constitution tahun 1917
dan the German Weimar constitution tahun 1919. keduanya memuat formulasi menyeluruh tentang
kondisi para pekerja. Departmen-departemen dan kementerian tenaga kerja dibentuk untuk menangani
legislasi tenaga kerja di Kanada dalam tahun 1900, di Perancis dalam tahun 1906, di Amerika Serikat dalam
tahun 1913, di Inggris dalam tahun 1916, dan di Jerman tahun 1918. Departemen-departemen ini dibentuk
di beberapa negara industri sesudahnya dan di negara-negara merdeka di Afrika dan Asia dalam dasawarsa
1940-an dan 1950-an. Hal penting yang perlu dicatat sebagaimana ditunjukkan sejarah, minat pada
anarkisme tetap tinggal sebagai suatu ideal, yang senantiasa memberi sinyal bahwa sedang terjadi
konsentrasi kekuasaan, baik pada pemerintahan maupun ekonomi.
III. Postulat tentang Hak Membangkang
Golput sebagai sikap protes politik lebih merupakan suatu bentuk ketidakpatuhan (civil
disobedience) simbolik, dan sebagai aksi politik lebih merupakan perlawanan langsung terhadap apa yang
Page
sebagai penolakan terhadap keseluruhan sistem hukum dan pemerintahan.
6
dipersepsikan kalangan kritis dalam masyarakat sebagai ketidakadilan secara hukum; ketimbang, misalnya,
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Unsur-unsur yang mendukung resistensi semacam ini sebenarnya hendak menyatakan bahwa
legitimasi dari pelaksanaan suatu produk perundangan (dalam hal ini undang-undang tentang pemilu)
pantas diblokir, dan dengan melakukan perlawanan, para pendukung Golput memandang diri mereka
sebagai pengemban prinsip atau ideal yang bernilai lebih luhur yang dengan sendirinya dapat mematahkan
produk perundangan yang ada.
Maka Golput sebagai civil disobedience pada dasarnya adalah suatu bentuk “tindakan kriminal
politis yang direstui” karena fungsinya sebagai protes. Dengan kesediaan menanggung semua risiko
terkena sangsi hukum, para “pembangkang hukum” ini berharap dapat menawarkan sebuah model moral
yang pada gilirannya dapat memprovokasi mayoritas atau kalangan pemerintahan untuk melakukan
perubahan-perubahan mendasar melalui perubahan hukum dan kebijakan publik. Hal yang perlu
dikedepankan di sini ialah bahwa kualifikasi utama dari gerakan ini diukur melalui ketidakpatuhan yang
diwujudkan dalam aksi anti kekerasan.
Sejarah agaknya juga menunjukkan, kebanyakan kepeloporan perubahan politik yang
menggunakan bentuk civil disobedience semacam ini justru mampu melemparkan rejim yang sedang
memerintah dari kursi kekuasaannya, kendati dari perbandingan antarperistiwa sejarah tradisi civil
disobedience kian melemah dari waktu ke waktu.xi Namun, manakala massa mulai merasakan bahwa
mereka sedang diperintah oleh raja, diktator bahkan tiran, kemungkinan yang paling implikatif dan logis ini
bakal menjadi kenyataan.
Kepastian ini digambarkan dengan sangat tepat oleh filsuf Jerman, Immanuel Kant, dengan
pernyataannya: "Adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk melawan penyalahgunaan
kekuasaan, kendati perlawanan ini akan dianggap tak lebih sebagai kesia-siaan (It is the duty of the people
to bear any abuse of the supreme power, even though it should be considered to be unbearable).xii Adapun
istilah civil disobedience sendiri pertama kali dicetuskan oleh Henry David Thoreau.xiii Thoreau dalam
bukunya yang berjudul "Civil Disobedience". Buku, yang terbit tahun 1846 itu, pada awal hingga
pertengahan abad keduapuluh menjadi textbook bagi gerakan-gerakan resistensi melawan ketidakadilan
di kalangan gerakan nasionalis India, Africa, dan Latin America. Mahatma Gandhi di India membaca dan
Perlawanan tanpa kekerasan memiliki kecenderungan kuat untuk menawarkan nilai-nilai baru bagi
7
pemerintahan dan kelompok-kelompok konservatif yang anti perubahan. Biasanya penguasa bereaksi
Page
memformulasikan dokrinnya tentang perlawanan tanpa kekerasan terhadap pemerintah kolonial Inggris.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
dengan menggunakan kekerasan fisik dan teror untuk mempertahankan diri. Contoh dalam sejarah,
pelopor perjuangan anti-kekerasan Amerika, pemimpin pembelaan hak-hak sipil Martin Luther King, Jr.,
terbunuh pada tahun 1968, sebagaimana Gandhi pada 1948. Tetapi, ibarat aliran air yang melewati bukit
cadas, gerakan anti kekerasan dapat mencapai tujuan-tujuannya. Inggris meninggalkan India, dan hukum
tentang hak-hak sipil akhirnya diberlakukan di Amerika Serikat.
Tonggak sejarah abad 20-an memberikan sejumlah contoh gerakan civil disobedience selain yang
dilakukan Gandhi dan King. Gelombang protes di Amerika Serikat terhadap Perang Vietnam tahun 1960-an
adalah contoh yang bagus. Gerakan pembebasan kaum wanita tahun 1970-an adalah contoh lain. Juga
gelombang protes kaum muda di Paris yang hampir menumbangkan pemerintah Perancis pada tahun
1968 dan protes kaum kulit hitam Afrika Selatan yang berhasil menanggalkan politik apartheid.. Dan masih
banyak lagi contoh tentang keberhasilan gerakan protes tanpa kekerasan.
Formalisme Pemilu nampaknya masih memberi ruang bagi aksi protes. Masalahnya tinggal apakah
pihak pemrotes mampu bertahan untuk berada pada satu nuansa ekspresi sebagaimana dimaui
pemerintah: seolah-olah mencoblos. Pergeseran dari posisi ini nampak akan berakibat munculnya
tindakan kekerasan pada kedua belah pihak, pemerintah maupun Golput sendiri. Dan jika hal ini terjadi,
sangat gamblang terbayangkan. Pemerintah akan berada pada posisi sebagai “tuhan” yang berhak
menentukan siapa yang disebut “pendosa” dan siapa yang harus masuk “neraka”.
IV. Postulat tentang Kemerdekaan Bangsa
Dalam khasanah hubungan antarbangsa, kemerdekaan menunjuk pada status hubungan di antara
dua bangsa atau lebih. Jika suatu bangsa sepenuhnya terpisah, dan dapat dibedakan, dari bangsa lain,
bangsa itu berhak mendeklarasikan diri sebagai bangsa merdeka. Inilah makna yang selama ini terkandung
di balik kata “kemerdekaan bangsa”.
Di penghujung abad ke-20 ini telah ratusan bangsa merdeka. Hampir semua bangsa merdeka
berada dalam naungan Perserikatan Bangsa-bangsa yang keanggotaanya terdiri dari bangsa-bangsa
merdeka sehingga PBB lebih tepat disebut “perserikatan di antara bangsa merdeka”. Sebagai konsekuensi,
Page
Padahal, sejarah bangsa-bangsa memperlihatkan, umumnya bangsa merdeka berdiri di atas tanah bangsa-
8
perserikatan ini tidak memperhitungkan keberadaan bangsa-bangsa pribumi /pedalaman /jajahan.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
bangsa pribumi/pedalaman/jajahan, yang selama praktik imperialisme mereka terusir, teraniaya, bahkan
terbunuh, sebagai tumbal bagi supremasi bangsa merdeka.xiv
Sejarah juga menunjukkan, di seluruh dunia praktik pemunahan telah membersihkan bangsabangsa pribumi/pedalaman/jajahan beserta budaya mereka. Di banyak negara bangsa-bangsa pribumi/
pedalaman/jajahan (orang suka menyebut mereka “suku primitif”) -- jika mereka masih tersisa –
diperlakukan sebagai kaum minoritas. Tak terkecuali, di negara-negara kampiun demokratis sekalipun,
kaum minoritas tidak diakui dan diterima oleh kaum mayoritas dengan kultur dominannya. Di banyak
negara di dunia mayoritas cenderung mengendalikan dan menggeneralisir kaum minoritas kedalam
bingkai bangsa “merdeka”. Dalam hal ini bangsa Indian dan Aborigin adalah contoh yang tak terbantahkan.
Dan ketika ber-reaksi terhadap perlakuan semacam ini, bangsa pribumi/pedalaman/jajahan selalu di-klaim
dan dituduh oleh pemerintah negara merdeka sebagai kaum separatis, GPK, gerakan anti-integrasi, atau
klindestain.
Hawaii dengan kasus bangsa Hawaii adalah contoh yang sempurna. Meski merupakan negara
adikuasa dan merupakan bangsa merdeka terkuat di dunia, Amerika Serikat hampir tidak
memperhitungkan Hawaii. Laporan-laporan dan data demografik yang berkaitan dengan studi bangsa
Hawaii menunjukkan sejarah penyalahgunaan hak-hak sipil, kemiskinan yang akut, dan statistik kesehatan
yang sama parahnya dengan yang di negara-negara dunia ketiga.
Sampai di sini nampak, kemerdekaan ternyata bukan jaminan bahwa orang Hawaii, juga kaum
pribumi/pedalaman/jajahan lainnya, dapat menerima dan berkuasa untuk mengendalikan tanah adat
mereka atau memungkinkan hak-hak religius tradisional, sipil, politik, sosial dan ekonomi mereka dihargai
dan dilindungi. Gambaran global menunjukkan, pada setiap negara merdeka, kaum pribumi /pedalaman/
jajahan terus dimarjinalisasikan, dijadikan obyek rasisme, dan kalau perlu dilenyapkan, baik dengan
program genocide maupun ethnocide.xv Di Indonesia, peristiwa Timika merupakan contoh.
Pada kasus Hawaii, seandainya kelak Hawaai merdeka, mereka tetap saja akan dikendalikan oleh
individu-individu dan perusahaan-perusahaan yang sekarang mengendalikan politik negara (Amerika) dan
yang sekarang diuntungkan berkat penindasan terhadap rakyat Hawaii. Meski populasi mereka sekarang
sekitar 20%, sebagai minoritas mereka tak akan pernah berpengaruh terhadap mayoritas dominan di
Page
9
Amerika Serikat.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
V. Antara Postulat dan Realitas Pemerintah
Hasil sidang CGI di Tokyo, 16-17 Juli 1997 menghasilkan janji pinjaman sebesar 5.299 miliar dolar
AS untuk tahun anggaran 1997/1998. Pertanyaannya, apakah “janji” itu selalu harus dibaca sebagai
peningkatan kepercayaan CGI pada pihak pemerintah Indonesia? Sejauh mana besaran angka yang
dijanjikan itu dijamin tidak justru akan menjadi justifikasi pemerintah untuk membersihkan diri dari
gelombang kritik, utamanya yang menyangkut penyelewengan anggaran, kebocoran-kebocoran dana
pembangunan, praktik monopoli, dan nepotisme?
Jika argumentasi untuk menepis keberatan ikhwal kenaikan pinjaman semata didasarkan pada
angka pertumbuhan, maka sebenarnya bukan hanya pemerintah Indonesia, pemerintah negara manapun
di dunia ini mempunyai kecenderungan alamiah untuk terus tumbuh, berkembang dan berkuasa. Maka
sebutan “eksesif”, barangkali, paling tepat untuk menggambarkan kecenderungan ini.
Premis di atas dapat diuji dengan fakta bahwa setiap individu dalam korp pemerintahan --tak
terkecuali kalau kita masuk di dalamnya-- gampang termotivasi oleh kepentingan-kepentingan pribadi
yang mengarah ke sindrom personifikasi posisi/jabatan kepemerintahan. Dan justru dari mekanisme
psikologis ini pertumbuhan beranjak. Sayangnya, tidak seperti yang terjadi pada sebagian besar dari kita
yang berada di luar pagar pemerintahan --pada posisi diperintah-- motivasi untuk mendahulukan
kepentingan-kepentingan pribadi di antara pelaku-pelaku dalam korp pemerintah tak jarang berakibat luas
pada terciptanya kesengsaraan hidup banyak warga. Ada beberapa indikator untuk mengidentifikasi
sindrom sosio-psikologis ini:xvi
Pertama, selain muncul dalam kebanggaan jika jumlah pinjaman luar negeri makin besar,
personifikasi jabatan kepemerintahan nampak jelas tatkala berlangsung penentuan anggaran belanja dan
pengadaan tenaga kerja (pegawai negeri). Kenaikan anggaran belanja pertama-tama ditentukan oleh
estimasi anggaran tahun berikutnya (yang jumlahnya pasti lebih besar) yang didasarkan pada anggaran
pengeluaran tahun terakhir. Sedang pembengkakan hutang dari tahun ke tahun, sama halnya dengan
pembengkakan anggaran belanja, selalu akan dilarikan ke alasan pertumbuhan ekonomi. Di sini terjadi
Page
hutang diklaim sebagai “demi pertumbuhan”.
10
lingkaran setan argumentasi yang tiada ujung: pertumbuhan membutuhkan hutang, sementara besarnya
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Penerimaan terus-menerus yang berakibat pada pembengkakan jumlah pegawai negeri tidak akan
berdampak pada kuantitas dan kualitas pelayanan publik, tetapi justru pada jumlah penerimaan upah yang
relatif makin rendah dari waktu ke waktu. Standard gaji pegawai negeri, yang selama ini diketahui rendah,
tidak dapat dijelaskan dengan argumentasi tentang kas negara yang terbatas, tetapi dengan argumentasi
tentang perhitungan yang menghasilkan nilai akhir begitu kecil lantaran terlalu besarnya rasio antara
pembilang dan penyebut. Harapan tentang peningkatan jumlah dan mutu pelayanan publik juga tidak akan
terpenuhi dengan penambahan pegawai negeri. Sebab, para agen pemerintah ini, sama halnya dengan
warga negara yang lain, adalah juga para pencari kerja biasa, yang senantiasa berjuang demi
kepentingannya sendiri.
Teori psikopolitik menjelaskan fenomena ini sebagai implikasi dari kondisi, dimana setiap orang
yang menduduki jabatan kepemerintahan memiliki hasrat dan termotivasi, untuk meningkatkan
kesejahteraan pribadi. Karena itu, begitu sulit untuk mengendalikan kecenderungan ini. Fakta di lapangan
bahkan memperlihatkan, adalah mustahil untuk membendung laju pertumbuhan kekuasaan yang eksesif,
kecuali jika muncul tekanan dari luar kalangan pemerintah yang, baik kekuatan maupun daya hambatnya,
seimbang dengan laju pertumbuhan pemerintah. Akan lebih mustahil lagi berharap bahwa kalangan
pemerintah sendirilah yang harus mengerem laju pertumbuhannya.
Kedua, personifikasi jabatan kepemerintahan dilihat dari menguatnya kontrol pemerintah
terhadap warga negara. Sebagaimana sifat kebanyakan manusia, pada diri para pelaku di jajaran
pemerintahan ada hasrat yang begitu kuat akan kekuasaan. Semua agen pemerintah akan
memperlihatkan peningkatan pertumbuhan kekuasaan yang semula dipercayakan oleh rakyat sebagai
persoalan pertumbuhan kekuasaan yang terjadi pada pribadi-pribadi dalam korp itu. Pada gilirannya,
personil pejabat pemerintah akan menggunakan kekuasaannya untuk menarik pajak, iuaran, atau bentuk
pungutan lain (yang mungkin illegal), untuk mengumpulkan dana yang peruntukannya bersifat ambigu;
semata agar para warga senantiasa berada dalam genggaman kekuasaaan dan kendali mereka. Belajar dari
filem koboi, kita dapat menggambarkan kenyataan ini sebagai adegan koboi yang merampok uang milik
Indian, yang pada gilirannya akan digunakan untuk membeli persenjataan guna merampok lagi Indian itu.
jabatan
kepemerintahan
diejawantahkan
dalam
upaya
untuk
menyembunyikan setiap operasi yang dianggap rahasia (militer, polisional) agar tidak diketahui warga
11
personifikasi
negara. Karena warga negara dianggap dapat menimbulkan trouble kalau dibiarkan mengetahui segala
Page
Ketiga,
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
sesuatunya, agen pemerintah cenderung menyembunyikan operasi-operasi internalnya, termasuk di
dalamnya pembiayaan, dan memperlakukannya sebagai rahasia negara. Implikasinya, agen-agen
pemerintah yang bergerak tak sepengetahuan publik cenderung mengabaikan pelanggaran hak-hak asasi
publik dan cenderung menggunakan dana untuk bertindak secara tak terkendali.
Keempat, sejalan dengan pertumbuhannya, para pejabat pemerintah cenderung memanfaatkan
segala bentuk ambiguitas untuk kepentingannya sendiri. Lebih dari faktor mana pun, peranan ambiguitas
menjadi basis bagi korp pemerintahan untuk tumbuh dan melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Secara
esensial, semua program yang diprakarsai pihak pemerintah senantiasa didefinisikan secara ambigu.
Operasi-operasi yang dilakukan didasarkan pada persyaratan dan argumentasi yang serba kabur.
Dalam kaitannya dengan pendanaan, persoalan ini menjadi sangat serius karena anggaran belanja
yang dicanangkan pemerintah pertama-tama ditentukan berdasarkan jumlah yang “dikeluarkan pada
tahun sebelumnya”. Dan untuk menguatkan argumen agar anggaran itu disetujui DPR/Perlemen, ada
justifikasi-justifikasi yang biasanya dikemukakan, seperti:
Pertama, justifikasi “demi Departemen Pertahanan”. Sebagaimana kita tahu, Departemen ini
terdiri dari pasukan dan perlengkapan. Tiga perempat anggaran biasanya dialokasikan pada pembelanjaan
perlengkapan dan hanya seperempat sisanya untuk kesejahteraan personil pasukan. Sebagian anggaran
belanja biasanya diberi judul untuk “maintenance”, “operation”, untuk riset, etc. Menurut kajian-kajian
tentang penggunaan anggaran militer, pada praktiknya anggaran ini lari ke pelayanan sipil, kontrak
personil, dan kontrak pemerintah.
Oleh sebab itu, pertanyaan “seberapa banyak satuan mata uang yang diperlukan untuk
pertahanan” tidak pernah dapat dijawab secara tepat oleh seorang pun, meskipun dari sini dapat
ditafsirkan lebih dalam bahwa “pertahanan” itu berarti keamanan kerja, profit making, dan, umumnya,
pemenuhan kebutuhan pribadi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Pertanyaan “seberapa bagus
peralatan yang harus tersedia untuk angkatan bersenjata kita?” juga sulit dijawab. Haruskah lebih baik dari
yang dimiliki musuh? Ini pertanyaan bolong yang paling sulit dijawab. Sebab, tidak ada warga negara sipil
yang tahu persis tentang apa saja yang dipunyai pihak musuh. Lagi pula, inisiatif gagasan itu hanya datang
Kalau begitu, bagaimana pemerintah menentukan soal seberapa bagus peralatan yang harus
12
dipunyai negara? Pada esensinya, ini ditentukan oleh kemajuan teknologi dan kemampuan pemasaran
Page
dari kalangan pemerintahan.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
para kontraktor yang ditunjuk pemerintah. Bahkan dapat saja kita membelanjakan bertrilyun-trilyun
rupiah untuk sedikit saja persenjataan atau, boleh jadi, kita akhirnya menemukan barang rongsokan meski
para kontraktor secara persuasif mengatakan bahwa kita telah melakukan langkah-langkah progresif
dalam teknologi.
Justifikasi kedua yang biasanya dikemukakan adalah anggaran untuk memerangi kemiskinan.
Padahal terbukti di banyak negara, justifikasi semacam ini merupakan satu dari deretan kegagalan proyek
monumental. Proyek yang sering diberi judul “Perang melawan Kemiskinan” terbukti justru lebih merusak
jutaan kehidupan warga yang dimiskinkan lantaran mereka tetap saja tinggal dalam kemiskinan
(struktural) dibandingkan keadaan sebelum ada maklumat perang kemiskinan. Sesudah maklumat perang
mereka bukan saja tambah miskin, tetapi juga menjadi sangat tergantung dan tidak berdaulat.
Ketiga, kalkulasi legislasi dalam pemberantasan obat terlarang, seperti ectacy, adalah contoh
justifikasi lain untuk mencairkan anggaran. Untuk menghukum sejumlah kecil pemakai obat terlarang
semua warga masyarakat harus mengorbankan kebebasan dan tunduk di bawah perintah polisi negara.
Juga justifikasi ketika pemerintah menentukan regulasi ekonomi. Setiap regulasi tidak pernah memakai
prosedur pre-test dan post-test sehingga setiap kegagalan regulasi tidak pernah dilaporkan dan diketahui
publik, tetapi, ironisnya, segera ditindaklanjuti dengan regulasi baru.
Yang terpenting dari semua cermatan di atas ialah, biasanya berhasil-tidaknya semua program -dalam perspektif warga negara-- bukan menjadi concern pokok pemerintah. Yang lebih diutamakan
dengan semua proyek itu ialah terjadinya penyaluran tenaga kerja, promosi dan arisan jabatan personil,
pemanfaatan dana, dan penciptaan aktivitas-aktivitas pembunuh kebosanan. Jika ada di antara agen
pemerintah yang menaruh perhatian pada kegagalan proyek, maka motivasi yang menggerakkannya tentu
bukan concern, tetapi ketakutan akan munculnya kesulitan lebih besar yang bakal datang, berupa tekanan
warga negara dan media massa.
Rekomendasi psikopolitik yang dapat diajukan untuk mengantisipasikan personifikasi kepejabatan
semacam ini, dan untuk mengimplementasikan realisasi janji pinjaman yang lebih besar dari tahun
sebelumnya, ialah bahwa tidak ada jalan lain, kecuali pemerintah harus menerima kehadiran oposisi,
Page
menawarkan konsep-konsep alternatif mereka.
13
memperkuat daya tawar media massa, dan memberi angin kepada gerakan-gerakan pembaharuan untuk
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
VI. Postulat tentang Hak Bersuara dan Mengemukakan Pendapat
Sensor adalah peninjauan dan pengendalian terhadap informasi dan gagaan yang beredar di
antara orang per orang di suatu komunitas. Di jaman moderen sensor menunjuk pada pengujian atas
buku, majalah, pertunjukan, filem, progam radio dan televisi; juga laporan berita, dan media komunikasi
lain, sepanjang bertujuan untuk menjauhkan atau menekan bagian-bagian pemikiran tertentu agar tidak
menjadi obyektif atau dirasa ofensif. Jadi, rasionale dari sensor adalah, ia diperuntukkan bagi proteksi atas
tiga lembaga sosial basis: keluarga, agama dan negara.xvii
Hingga sekarang, sensor secara kuat diberlakukan dalam pelbagai bentuk kelembagaan termasuk
kelembagaan-kelembagaan di masyarakat demokratik yang paling maju sekalipun. Pertengahan abad ke20, perubahan revolusioner dalam sikap sosial dan kendali sosietal memperlemah eksistensi dan kekuatan
sensor di banyak negara demokratik; meski demikian, semua bentuk sensor belum secara universal
dihilangkan. Dewasa ni banyak pribadi, utamanya para warga negara yang termasuk dalam kategori kaum
libertarian, memperjuangkan suatu “new permissiveness” dalam seni dan media massa; mereka
mengklaimnya
sebagai hambatan yang memperbebal rasa-pirasa publik, mengkorupsi semua rasa
kejujuran dan sipilitas, dan bahkan menghojat peradaban.
Di abad ke-20, sebagaimana tergurat dalam lembar sejarah, kondisi kebebasan dari pelbagai
sensor menjadi sebentuk kelangkaan di dunia. Para penguasa terus dan terus memberlakukan penekanan
(represi), penindasan (supresi), dan penganiayaan (opresi). Meski demikian, hal ini, boleh jadi, dapat
dipertimbangkan sebagai sinyal dari kemajuan politik dan sosial yang, di mana pun di dunia ini, pada
tingkatan lip-service sengaja dibayarkan guna menggapai garis-garis ideal tentang kebebasan. Yang perlu
dicatat, tak satu negara pun secara terbuka mengijinkan sensor sebagai hal yang terkait erat dengan
kebijakan di bidang keagaman, intelektual, kesenian atau politik.
Terlepas dari semua kepentingan baik yang diboncengi maupun yang menjadi kendaraan utama
politik sensor, tulisan ini hendak menyorot biaya psikologis dari politik sensor, utamanya bagi negara kita
yang dalam pembukaan konstirusinya mencanangkan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa (baca:
Page
Pertanyaannya, apakah tujuan itu bakal tercapai di bawah kangkangan politik sensor?
14
bukan “mencerdaskan bangsa” yang diimplikasikan melalui segala bentuk ikatan cendekiawan).
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Salah satu contoh kasus ketidakcerdasan kehidupan bangsa kita tergambar dalam diskursus
masyarakat (untuk tidak mengatakan “ngegosip”) tentang peristiwa 27 Juli 1996 silam. Pemerintah
cenderung menyalahkan pers asing sebagai penyebar fitnah dan berita bohong. Tetapi argumen
pemerintah tentang hal ini nampak lemah karena tindakan mempersalahkan siaran asing itu tidak disertai
dengan alternatif solusi. Kalau pun ada, solusi itu tentu berupa anjuran agar para warga negara menengok
pers dalam negeri atau anjuran untuk bersikap lebih kritis terhadap pers asing. Sayang, utamanya dalam
ranah sosial-politik, kredibilitas pers dalam negeri telah merosot hampir pada titik yang tak dapat ditolerir.
Karena itu, alternatif solusi yang ditawarkan pemerintah menjadi tidak bersifat solutif; dan persis tidak
applicable dilakukan warga masyarakat. Jika, dan jika, dalam suatu kehidupan sosietal suatu pernyataan
yang dikomunikasikan oleh pihak rujukan tentang suatu solusi tidak lagi solutif, kehidupan itu condong
menuju ke arah ketidakcerdasan.
Penelitian mutakhir tentang kinerja inteligensi manusia dalam kehidupan sosietal banyak
mengeksporasi hipotesis-hipotesis, pertama bahwa inteligensi yang fleksibel cenderung dibatasi oleh
lingkup informasi yang memungkinkannya operasional. Dengan data yang tidak akurat, kecerdasan
manusia dapat dengan mudah sampai pada kongklusi yang tidak dilandasi refleksi.
Kemungkinan ini diperbesar terlebih kalau area pemikiran tertentu dianggap tidak terbuka untuk
dipertanyakan. Apalagi ketika ada sedemikian banyak batasan terhadap para anggota komunitas untuk
mendiskusikan hal-hal di luar apa yang diyakini sebagai “hasil konsensus”, meski tetap menjadi agenda
diskursus bahwa apa yang dipertimbangkan sebagai “hasil konsensus” tawar maknanya ketika komunitas
gencar mempertanyakan.
Hipotesis kedua menyebutkan bahwa ketakutan untuk melakukan “perlawanan” telah digunakan
para penguasa untuk menekan pandangan-pandangan alternatif dan melemarieskan pelecehan dan
penyalahgunaan pernyataan-pernyataan tanpa bukti (allegations). Pernyataan-pernyataan terbuka
tentang ketidaksetujuan terhadap pedoman, “teori” atau gaya kepemimpinan tertentu cenderung
dianggap oleh para penguasa sebagai perlawanan.
Dalam hal ini cuplikan-cuplikan garis-garis besar haluan dan perundangan cenderung dipakai untuk
kekuasaan otoriter dan melakukan sensor terhadap gagasan-gagasan yang dianggap di luar sistem.
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Page
ketidaksetujuan. Ketakutan akan terjadinya chaos biasanya digunakan untuk menjustifikasikan struktur
15
membungkam pandangan-pandangan alternatif dan mengendalikan secara berlebihan segala nada
Hipotesis ketiga menyebutkan bahwa konsentrasi kekuasaan pada satu tangan kepemimpinan
cenderung mengejawantah dalam bentuk perilaku koersif. Hipotesis ini berangkat dari kajian psikopolitik
bahwa para penguasa cenderung menggunakan ancaman secara eksesif dalam mengendalikan sumbersumber informasi dalam komunitas semata untuk melansir perilaku-perilaku yang diinginkan. Apa yang
disebut kebijakan cenderung diartikan sebagai pandangan preseden apalagi ketika setiap anggota
komunitas diduga tidak menyetujui.
Dalam kaitan dengan hipotesis ketiga, diduga ada dikotomi dan kesenjangan antara pemikiran
individu tentang dunia sosialnya dan aplikasi pemikiran tersebut ketika diperjumpakan dengan pandangan
masyarakat. Menurut analisis psikopolitik, para figur penguasa sebagai individu cenderung mengarah pada
pemikiran, keputusan, tindakan dan penilaian yang semata berbasis pada buah pikiran terbaiknya. Bahkan
seandainya basis pemikiran ini bertentangan dengan “kekuasaan riil” yang ada, termasuk jika ini melawan
kaidah dan norma.
Acap kali kita jumpai, ketika berhadapan dengan usulan-usulan dan pemikiran baru, ungkapanungkapan dari kalangan penguasa melalui kata-kata kunci berikut: “Hal itu telah dipikirkan sejak sekian
tahun yang lalu”, atau “Telah ada konsensus tentang itu”, atau “Pandangan-pandangan semacam itu akan
kami tampung”, atau “Ada lebih banyak pandangan daripada yang kalian usulkan; kalian perlu belajar
banyak”, atau “Saya tidak mengerti, mengapa kalian tidak mau menempuh jalan yang kami tempuh”, dan
sebagainya.
Logika yang sama berlaku bagi para anggota komunitas per individu bahwa setiap orang terdorong
untuk mengikuti dan mengorganisasikan pemikiran mereka sendiri. Jadi, logis pula bahwa mereka yang tak
dilambari dengan kekuasaan resmi cenderung memberdayakan dan mengorganisir diri sendiri untuk
menerpakan usaha-usaha ke arah perubahan yang mereka inginkan.
Pada titik ini diduga ada kemungkinan kuat terjadinya “tabrakan” antara arus pemikiran penguasa
di suatu komunitas dengan para anggota komunitas. Dan jika ini senantiasa terjadi, muskil kehidupan
kehidupan yang sungguh-sungguh cerdas. Bahkan kondisi ini bakal mengarah ke terjadinya patologi yang
oleh Eric Fromm disebut sebagai “neurotic society”. Ini merupakan hipotesis keempat.
menyirtakan adanya pemikiran aktual di balik pendirian para pecinta sensor. Pertama, anjuran untuk
16
menggunakan inteligensi hanya, dan hanya, bila masih berada dalam batas lingkup “teori”, “garis-garis
Page
Dengan demikian, dalam kaitan antara sensor dan inteligensi, keempat hipotesis di atas
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
besar haluan” kebijakan, dan “kepemimpinan” yang dikonsensuskan; atau larangan agar jangan sesekali
menerapkan inteligensi itu untuk menghadapi ketiganya. Kedua, tantangan bahwa jika komunitas
melawan ketiganya, komunitas siap berhadapan dengan kondisi distres dan sikap acuh tak acuh. Distres
akan efektif dalam penggalan sesi per sesi, sedang sikap acuh tak acuh akan melingkupi keseluruhan
suasana pendirian para penguasa. Ketiga, karena gagasan-gagasan yang bernada pembangkangan
diasumsikan sebagai muncul di bawah kondisi distres tertentu dari pencetusnya –bahwa untuk berbagi
pemikiran tentang gagasan sejenis orang berangkat dari kondisi distres— postulat yang diberlakukan
kemudian ialah bahwa gagasan itu tidak akurat dan layak ditolak. Keempat, konsensus cenderung
diartikan sebagai “mengerjakan segala sesuatu yang disetujui oleh kepemimpinan yang ada”.
Karena semua pedoman, teori, konsensus dan garu besar haluan kebijakan telah dirancang untuk
memproteksi para penguasa dari kemungkinan distres akibat tekanan para anggota komunitas, tulisan ini
tidak akan mengambil posisi sebagai proteksi komunitas atas distres yang ditimbulkan para penguasa. Ada
tiga saran untuk menciptakan kehidupan yang lebih cerdas yang secara silogistis berangkat dari proposisiproposisi hipotetik di atas. Pertama, memutus semua jalur sistem otoriter dengan cara merotasikan
semua posisi kepemimpinan pada batas waktu tertentu semata untuk meyakinkan bahwa tidak akan
terbentuk “the ruling clas”. Kedua, mengurangi kebijakan “melawan”. Sebagaimana dibahas, kebijakan
yang ada cenderung memproteksi pola kepemimpinan tetapi secara psikologis mendudukkan komunitas
dalam risiko tanpa daya pada tingkat tertentu. Untuk itu, semua pernyataan tanpa bukti, yang semata
mengandalkan pada legitimasi kekuasaan,
harus dikaji oleh semacam badan yang terbentuk dan
berkembang dalam komunitas (biasanya dalam bentuk LSM). Di pihak lain, para penguasa harus bersedia
mengganti kaki tangannya yang dinilai oleh badan pengkajian telah menyalahgunakan kekuasaan. Ketiga,
karena penguasa tidak bisa sekaligus berperan sebagai “konselor” untuk kliennya (baca: komunitas), perlu
dibentuk semacam konselor independen (komisi?) yang dianggap kredibel baik di mata penguasa maupun
komunitas.
Pada contoh silang pendapat sekitar kasus peristiwa 27 Juli atau reaksi kecaman terhadap Uskup
Belo atas wawancaranya dengan Der Spiegel, nampaknya keempat hipotesis di atas cenderung
penyelenggaraan kekuasaan, utamanya melalui politik sensor, telah menghambat aktualisasi intelegensi
17
komunitas. Kita telah melakukan pemborosan demi pemborosan atas penggunaan sumber-sumber daya
Page
terverifikasikan, ialah bahwa ketidakcerdasan kehidupan yang diakibatkan oleh salah urus dalam
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
psikologis kita, yang semestinya kita peruntukkan buat melaksanakan pembangunan di segala bidang,
Page
18
justru dengan melakukan saling baku hantam yang tanpa juntrung .***
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]
Catatan Akhir:
i
Simak pernyataan Prof. Dr. Sartono Kartodirjo dalam Kompas (17 November, 1997).
ii
Lihat G. Elwert dalam P. Treanor (1997), "Structures
http://www.socresonline.org.uk/socresonline/2/1/8.html.
http://www.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/world.nation.htm
iii
of
Nationalism".
Lihat
Online
Document:
juga
Lihat G. Mazzini dalam P. Treanor, Ibid.
iv
Lihat P. Taylor (1989), Political Geography: Word Economy, Nation State and Locality. Harlow: Longman, hal.
175.
v
Lihat P. Taylor (1995), "Beyond Containers: Internationality, Interstateness, Interterritoriality", Progress in
Human Geography, Vol. 19, hal 1-15.
vi
Anarkisme berasal kata dalam bahasa Yunani yang berarti "tanpa pimpinan atau kepala." Istilah ini menjadi kata
kunci dalam filsafat politik di Eropa sekitar abad kesembilanbelas. Mulanya, sebagai bentuk gerakan, anarkisme
teoritis mendasarkan pendiriannya pada tulisan dua orang tokoh refromasi sosial Inggris: Gerrard Winstanley dan
William Godwin. Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1995.
vii
Ibid.
viii
Ibid.
ix
Ibid.
x
Ibid.
xi
Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1996.
xii
Ibid. Bagi Kant, garis batas yang memisahkan antara resistensi dan revolusi adalah begitu tipisnya. Maka menurut
Kant adalah jauh lebih baik jika masyarakat suatu negara memiliki orde dengan otoritas ketimbang ketiadaan orde
pun tanpa otoritas. Lantas soalnya kemudian adalah bagaimana orde itu memahkotai dirinya dengan otoritas yang
memang terlegitimasi.
xiii
Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1996.Loc. cit.
xiv
Lihat Pharr, S., Ross, L., dan Berlet, C., “Activist Issue Call to Defend Democracy and Oluralism”. Online
Document: http://newcitizen.com/ publicgood/reports/what2do.htm
xv
Lihat European Youth Centre (EYC), “Nationalism vs Multicultural Society”. Online Document:
http://www.fretch.net/~worldlib/IFLRYreports/nationalism.html#.
Lihat Social Paradoxes Page. Online Document: http://www.concentric.net/~Mrcm/public/paradox.htm
xvii
Lihat Compton's interactive Encyclopedia. Comptons NewMedia: A Tribune Publishing Co., 1996.Loc. cit
Page
19
xvi
http://www.visiwaskita.com e-mail: [email protected]