SEKOLAH LUAR BIASA SEBAGAI BENTUK LEMBAG

SEKOLAH LUAR BIASA SEBAGAI BENTUK LEMBAGA PENDIDIKAN KHUSUS

Oleh Yuswan
SEJARAH
Seiring perkembangan kebijakan dalam dunia pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus, tak terasa kita dihadapkan situasi adanya fakta yang membutuhkan kearifan
bersama. Dewasa ini dalam berbagai peraturan dikenal istilah bentuk Pendidikan Khusus
bagi anak berkebutuhan khusus, sementara di lapangan dikenal nama lembaga pendidikan
SLB, SDLB, SMPLB dan SMALB.
Pendidikan Khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik emosional
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (Pasal 127 PP
No. 17 Th. 2010). Adapun bentuk satuan pendidikan terdiri dari TKLB, SDLB, SMPLB
dan SMALB (Pasal 133 PP No. 17 Th. 2010). Begitu juga pasal 133 ayat 4 memberikan
kemudahan bahwa Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara
terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan.
Akan tetapi saat ini masyarakat masih cenderung lebih mengenal istilah Pendidikan Luar
Biasa dari pada istilah Pendidikan Khusus bagi anak berkelainan (UU No: 2 Tahun
1989). Begitu juga fakta di masyarakat saat ini nama lembaga pendidikannya juga masih
digunakan sebutan Sekolah Luar Biasa (sesuai pasal 23 UU No: 4 tahun 1950). Sekolah
Luar Biasa yang ada pada umumnya menyelenggarakan jenjang pendidikan TKLB, SDLB,

SMPLB dan SMALB dalam satu lembaga pendidikan.
Situasi ini muncul karena adanya perbedaan kemampuan dalam memahami
perkembangan kaidah normatif atau aturan yuridis formal (perundang-undangan).
Walaupun

demikian

pada

prinsipnya

semua

baik,

ini

hanya

karena


perbedaan pemahaman dan orientasi dalam memilih istilah tersebut yakni ada yang dari
segi effektifitas dan ada dari segi effisiensi.
Mari kita telusuri alur asal muasal penggunaan nama PLB dengan lembaga pendidikan
dalam bentuk SLB, hingga keberadaan jenis pendidikan khusus dengan satuan
pendidikan dalam bentuk TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB.
Penggunaan istilah Luar Biasa berawal dari Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 yang
pemberlakuannya ditetapkan dengan Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 1954. Pasal 6 ayat (2) menunjuk secara langsung bahwa pendidikan dan pengajaran
luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan. Selanjutnya masih
Undang-Undang nomor 4 tahun 1950 melalui pasal 7 ayat 5 menjelaskan bahwa layanan
pendidikan dan pengajaran luar biasa bermaksud memberi pendidikan dan
pengajaran kepada orang-orang yang dalam keadaan kekurangan, baik jasmani maupun
rokhaninya, supaya mereka dapat memiliki kehidupan lahir bathin yang layak. Adapun
yang dimaksud oleh ayat 5 diatas dijelaskan bahwa orang-orang yang dalam keadaan
kekurangan jasmani atau rokhaninya ialah orang-orang yang buta, tuli, bisu, imbeciel,
atau yang mempunyai cacat-cacat jasmani atau rokhani lainnya. Jadi lebih menunjuk pada
suatu sistem atau proses bukan tempat secara fisik.
Dimanakah proses layanan pendidikan dan pengajaran luar biasa itu diberikan ?
Jawabnya ada bermacam-macam tergantung kemampuan kita memahaminya. Mari kita

cermati pasal 22 dan pasal 23 UU No 4 Tahun 1950. Pasal 22 menekankan bahwa di
sekolah-sekolah rendah dan sekolah luar biasa tidak dipungut uang sekolah maupun uang
alat-alat pelajaran. Pasal 22 ini memberi peluang menafsirkan makna kata sekolah luar
biasa sebagai sistem atau lembaga bahkan tempat secara fisik. Sebagaimana dirinci lebih
lanjut dalam pasal 23 bahwa " Disemua sekolah Negeri, kecuali sekolah rendah
dan sekolah luar biasa, murid-murid membayar uang sekolah yang ditetapkan menurut
kekuatan orang tuanya".
Jadi dapat disimpulkan bahwa kata Sekolah Luar Biasa dapat diartikan sebagai:
1. Sistem atau lembaga bila dikaitkan dengan kebijakan teknis.
2. Tempat atau fisik bila dikaitkan dengan keberadaan unsur-unsurnya.
Demikian pula penggunaan istilah pendidikan dan pengajaran luar biasa juga mengalami
perkembangan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1989 pasal 8 ayat (1)
yakni "Warga negara yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental berhak memperoleh
pendidikan luar biasa". Pasal ini menunjuk makna bahwa pendidikan luar biasa sebagai
proses pendidikan dan bentuk fisik tindakan pendidikannya. Sementara pasal 11 ayat (1)
memberikan bukti bahwa "Jenis pendidikan yang termasuk jalur pendidikan
sekolah salah satunya adalah pendidikan luar biasa.

Istilah sekolah luar biasa dalam perundang-undangan terakhir digunakan


dalam

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2000 pasal 3 poin e nomor 10
(sub e) intinya memberikan amanah bahwa Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah
Otonom
salah
satunya
adalah
berkewajiban
atas
terselenggaranya
penyelenggaraan sekolah luar biasa.
Perkembangan lebih lanjut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tidak lagi menggunakan istilah Pendidikan Luar Biasa melainkan menggunakan istilah
Pendidikan Khusus. Pasal 32 ayat (1) memberikan batasan bahwa "Pendidikan khusus
merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau
memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa". Pendidikan khusus dalam konteks ini
cenderung dapat dipahami sebagai proses layanan.
KENTYATAAN SAAT INI

Ketentun teknis penyelenggaraan pendidikan khusus di Indonesia yang berlaku saat ini
termuat dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan. Pasal 130 ayat (1) mengatur bahwa "Pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah". Selanjutnya ayat (2) memberikan keleluasaan bahwa
"Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui satuan pendidikan khusus,
satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan
keagamaan".
Secara teknis bahwa "Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jalur formal
diselenggarakan melalui satuan pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan
satuan pendidikan menengah (pasal 132) ".
Adapun ketentuan mengenai bentuknya ada ketentuan dalam pasal 133 bahwa :
1. Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkelainan untuk pendidikan
anak usia dini berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau sebutan lain untuk
satuanpendidikan yang sejenis dan sederajat.
2. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan
dasar terdiri atas:
sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis
dan sederajat; dan
2) sekolah menengah pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan

pendidikan yang sejenis dan sederajat.
1)

3. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang pendidikan
menengah adalah Sekolah Menengah Atas Luar Biasa, Sekolah Menengah Kejuruan
Luar Biasa, atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.

Oleh karena itu dituntut analisa yang komprehensif dalam memilih organisasi
kelembagaan terkait layanan pendidikan khusus sebagaimana ketentuan dalam PP No. 17
Tahun 2010 pasal 133 ayat (4) dimana "Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat
dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis
kelainan". Perhatikan makna berikut ini :
1. Terintegrasi Antarjenjang maksudnya sebuah lembaga pendidikan yang
menyelenggarakan beberapa jenjang sesuai kebutuhan dan kemampuannya. Jadi
sebuah lembaga yang menyelenggarakan jenjang Pra sekolah, Pendidikan Dasar
dan Pendidikan Menengah secara bersama-sama dalam satu wadah organisasi.
2. Sedangkan terintegrasi antarjenis kelainan maksudnya sebuah lembaga
pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan bagi peserta didik dari beberapa
jenis penyandang kelainan.
3. Jadi penyelenggaraan satuan pendidikan khusus terintegrasi antarjenjang

pendidikan dan/atau antarjenis kelainan dapat dipahami sebagai sebuah lembaga
pendidikan
yang
menyelenggarakan
pendidikan
dari
jenjang
Pra
sekolah, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah untuk memberikan layanan
pendidikan bagi peserta didik yang meliputi semua jenis kelainan.
Inilah bentuk satuan pendidikan khusus yang sebenarnya secara yuridis formal paling
pas.
Adapun menurut jenis kelainannya juga diakui adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) yang
menyelenggarakan semua jenjang untuk satu jenis ketunaan sehingga muncul istilah atau
nama dari :







SLB A sekolah untuk anak tunanetra,
SLB B sekolah untuk anak runguwicara,
SLB C sekolah untuk anak tunagrahita,
SLB D sekolah untuk anak tunadaksa,
SLB E sekolah untuk anak tunalaras.

Kenyataan ini karena APK Pendidikan Khusus sangat rendah, sehingga kalau
diselenggarakan secara terpisah kurang efektif dan kurang efisien karena jumlah siswa
sedikit. Dilain pihak juga ada peluang menyulitkan guru sebagai pendidik karena
rombelnya sedikit jam pelajaran sedikit sehingga cenderung kurang jam mengajar .
Hal ini dapat dimaknai secara historis adanya hubungan penggunaan nama Pendidikan
Luar Biasa (PLB), Sekolah Luar Biasa (SLB), Pendidikan Khusus, dan satuan pendidikan
TKLB, SDLB, SMPLB dan SMALB.
Semoga dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan tenaga pendidik dan kependidikannya
karena selama ini ada kecenderungan simpang siurnya status dan tugas guru yang
bertugas di satuan Pendidikan Khusus. Statusnya guru SDLB mengajarnya SDLB, SMPLB
bahkan SMALB sehingga bermasalah pada saat dihadapkan pada urusan DAPODIK.

KESIMPULAN

1. Istilah Pendidikan Luar Biasa dan Sekolah Luar Biasa digunakan pada saat sistem
Pendidikan Nasional diatur dengan UU Nomor 5 Tahun 1950 dan UU Nomor 2
tahun 1989 serta PP Nomor 25 Tahun 2000.
2. Istilah Pendidikan Khusus digunakan setelah pengelolaan dan penyelenggaraan
diatur dengan UU No. 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 17 Tahun 2010.
3. Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara terintegrasi
antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan dengan analisa dari segi
efektifitas dan efisiensinya .
4. Dibutuhkan kebijakan yang bijaksana sehingga efektifitas dan efisiensi dalam
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan khusus dapat terwujud.
5. Bila kurang hati-hati dalam memilih lembaga pendidikannya tidak menutup
kemungkinan memunculkan masalah baru bagi guru-gurunya.
Sekian ini hanya sekedar persepsi saja. Semoga bermanfaat...