Demokrasi Religius Paradoks atau Sintesi

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

Demokrasi Religius: Paradoks atau Sintesis?

Penelusuran terhadap Pemikiran Abdolkarim Soroush
Oleh Edisius Riyadi

Tulisan ini membahas pemikiran Abdolkarim Soroush tentang demokrasi religius
yang sebagian besar didasarkan pada bab 9 bukunya yang berjudul, Reason, Freedom,
and Democracy in Islam.1 Konsep demokrasi religius yang dilontarkan oleh Soroush
mengandung paling tidak empat tesis utama, yaitu:
1. Perpaduan agama dan demokrasi adalah cerminan dari perpaduan antara akal
dan wahyu.2
2. Perpaduan agama dan demokrasi hanya dapat dimengerti dalam kerangka
epistemologi di luar agama.
3. Jika terjadi benturan nilai antara demokrasi dan agama, maka agamalah yang
harus menyesuaikan diri pada nilai-nilai demokrasi itu, bukan sebaliknya.
4. Pemerintahan atau negara demokrasi religius mengandaikan adanya masyarakat
agama yang rasional, dan memiliki “rasionalitas kolektif” dan bukan semata

“rasionalitas individual”.

Untuk memamahi maksud Soroush dengan gagasannya itu, kita perlu
memadukannya dengan problem internal dalam pemerintahan demokrasi agama


Paper seminar kuliah “Filsafat Islam Kontemporer”, Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei
2008. Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer. Penulis dapat dihubungi di:
ediriyadi.arete@gmail.com, ediriyadi.terre@gmail.com; HP: +62 8111 878 938.
1 Lihat Addolkarim Soroush, Reason, Freedom, and Democracy in Islam, Terj. Mahmoud Sadri dan
Ahmad Sadri, New York: Oxford University Press, 2000. Lihat juga edisi terjemahan bahasa
Indonesianya, Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, dengan pengantar edisi Indonesia oleh Haidar
Bagir, Terj. Abdullah Ali, Bandung: Mizan, 2002. Penulis memakai referensi dalam bahasa Inggris.
2 Tentang perpaduan antara nalar dan wahyu, lihat uraian pada bab 8.

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

1

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”


Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

itu, yang oleh Soroush sendiri dilihat berlipat tiga, yaitu:3 (1) problem keselarasan
antara kepuasan rakyat dan restu Tuhan; (2) keseimbangan antara urusan agama
dan non-agama; (3) perbuatan yang benar baik terhadap rakyat maupun terhadap
Tuhan. Ketiga problem ini bisa dibaca sebagai hubungan antara demokrasi dan
agama, yang sakral dan yang profan, antara nalar dan wahyu, yang sesuai dengan
ketiga tesis di atas.
Yang menarik untuk kita kaji adalah tesis Soroush nomor tiga di atas. Nilainilai demokrasi yang dimaksudkannya adalah seperti keadilan, hak asasi manusia
dan kekuasaan yang terbatas. Kekuasaan, menurut Soroush, harus diabdikan pada
pemenuhan keadilan dan hak asasi manusia. Bisa dikatakan, keadilan dan hak asasi
manusia adalah dua pembatas utama bagi praktik kekuasaan yang absolut dan
sewenang-wenang. Kekuasaan yang berdasarkan agama baru bisa bernilai
demokratis sejauh kekuasaan itu menjadikan dua hal itu sebagai pilar politiknya.
Pada gilirannya, kedua pilar itu juga akan berpengaruh pada praktik
kegamaan secara bijaksana dan tulus, bukan karena rasa takut dan terpaksa. Bukan
juga karena kepatuhan bodoh semata. Semakin agama dipraktikkan demikian,
semakin rasional dia, dan semakin rasional agama, semakin kompatibel ia dengan
demokrasi. Kalau demokrasi didasarkan pada pengandaian antropologis yang

negatif tentang manusia ala Hobbesian, maka agama mendasarkan diri pada
pengandaian antropologis yang positif. Dengan demikian, gagasan demokrasi
religius merupakan perpaduan antara dimensi positif dan negatif manusia. Karena
itu, bentuk pemerintahan yang demikian adalah bentuk pemerintahan yang
manusiawi (karena mencakup keseluruhan aspek manusia), rasional, demokratis,
agamis, dan fair.

3

Lihat Bab 8.

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

2

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

Paradoks “Pemerintahan Demokrasi Religius”: Kritik terhadap Soroush dan

Jawaban-Baliknya

Gagasan pemerintahan atau negara demokrasi religius Soroush mendapatkan kritik
yang tajam dari sejumlah pemikir politik. Salah satu yang terkemuka adalah Hamid
Paidar (“The Paradox of Islam and Democracy”, Kiyan, No. 19.) Menurut para
pengkritiknya, gagasan demokrasi religius itu sama sekali tidak masuk akal karena
watak agama yang sama sekali tidak mungkin akomodatif dengan demokrasi di
satu sisi, dan watak demokrasi yang sama sekali bertentangan dengan watak agama
di sisi lain.
Menjawab para pengkritiknya, Soroush mengatakan dan memperlihatkan
kekeliruan mendasar di balik pendapat mereka, yang mengandung asumsi antara
lain: (1) Mereka menyamakan demokrasi dengan liberalisme ekstrem; (2)
Jurisprudensi agama (syariat) dipangkas dari fondasinya, dikutip di luar konteks,
dan kemudian diajukan sebagai dalil; dan yang terpenting (3) Mereka menyamakan
“pemerintahan demokrasi religius” dengan “pemerintahan jurisprudensi religius”
(fiqih).
Paidar mengatakan bahwa “Islam dan demokrasi tidak dapat disatukan, jika
Islam tidak sepenuhnya disekulerkan.” Artinya, agama harus dilucuti dari watak
sakralnya agar sesuai dengan demokrasi. Tampak sekilas bahwa gagasan ini sesuai
dengan gagasan Soroush sendiri (lihat tesis nomor 3 di atas).4 Tetapi, sebenarnya

tidak. Paidar dan kawan-kawannya memandang demokrasi identik dengan
liberalisme, sementara agama sama sekali tidak mempunyai watak liberal. Tidak
ada kebebasan dalam agama. Padahal, kata Soroush, ada diktum teologi:
“pengekangan pada diri sendiri berarti tidak ada pengekangan”. Itu berarti bahwa
pengekangan dalam agama justru merupakan penjamin kebebasan. Dan unsur

Juga lihat kata pengantar editor untuk buku ini, di mana Soroush termasuk dalam kubu revivalisme
refleksif yang merupakan implikasi dari “sekularisasi dari luar”.

4

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

3

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

dasar demokrasi adalah keadilan, hak asasi manusia, dan pembatasan kekuasaan.

Ketiga unsur dasar demokrasi itu kompatibel dengan agama, atau paling tidak
agama bisa menyesuikan diri dengan ketiga unsur itu.
Kritik Paidar yang kedua adalah terkait dengan klaim kebenaran dalam
agama. Paidar berangkat dari posisi bahwa Islam adalah agama kebenaran. Sebagai
agama kebenaran, ia tidak dapat berdamai dengan kebenaran lain untuk hal yang
sama. Karena itu, tidak mungkin ia bisa demokratis. Jawaban Soroush adalah bahwa
sifat demokrasi dalam agama tidak bergantung pada relativitas kebenaran,
melainkan pada toleransi terhadap pandangan yang berbeda-beda beserta para
pendukungnya. Toleransi itu sendiri tidak berarti melepaskan seseorang dari
keimanannya akan kebenaran tertentu. Menurut Soroush, “Orang boleh saja
menganggap suatu ide benar-benar salah seraya menilai pembawanya tidak
bersalah, terhormat, dan bahkan terpuji.” Untuk memperkuat posisi ini, Soroush
mengutip Jay Newman,5 bahwa toleransi adalah menyangkut orang beriman, bukan
keimanan. Toleransi adalah menyangkut subjek, bukan ide atau ajaran.
Demokrasi,

kata

Soroush,


mengharuskan

seseorang

mengalihkan

padangannya dari bumi “akal” ke langit “sebab-sebab”.6 Akal berhubungan dengan
alasan, dan alasan berhubungan dengan bukti kebenaran atau kesalahan. Tetapi,
sebab-sebab berhubungan dengan proses perkembangan suatu kebenaran atau
kesalahan. Keyakinan yang salah mempunyai sebab-sebab, tetapi bukan alasan.
Secara teoretis kita bisa saja membentuk kepercayaan yang salah, tetapi tidak
mungkin membuktikannya. Oleh karena itu, kita dapat berempati dengan pemasok
keyakinan yang salah karena mereka terperangkap dalam jaring sebab-sebab yang
telah menyebabkan mereka mencintai ide-ide tertentu, yang kesalahannya tidak
mereka sadari. Meskipun demikian, bergabung dengan mereka dalam keyakinan
Jay Newman, “The Idea of Religious Tolerance”, American Philosophy Quarterly 15, 3 (1978), dalam
Soroush, ibid.
6 Tentang perbedaan penting antara akal (alasan) dan sebab, Soroush mempunyai tulisan yang bagus
dan dikutipnya kembali dalam bukunya ini, “Cause and Reason” dan “Reason and Freedom” dalam
More Comprehensive than Ideology (1992), dikutip dalam ibid., Bab 9, catatan kaki nomor 12.

5

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

4

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

yang salah adalah tidak mungkin. Kita dapat menyerang “alasan-alasan” mereka.
Tetapi, dari perspektif “sebab-sebab”, kita dapat memaklumi kecenderungan
mereka terhadap keyakinan itu.
Berkaitan dengan itu, Soroush mengajukan sebuah tesis (tesis keempat) yaitu
bahwa pemerintahan atau negara demokrasi religius mengandaikan adanya
masyarakat agama yang rasional, dan memiliki “rasionalitas kolektif” dan bukan
semata “rasionalitas individual”. Kalau iman bergerak pada tataran “rasionalitas
individual”, maka agama beroperasi pada tataran “rasionalitas kolektif”. Karena itu,
yang ditekankan dalam keberagamaan seseorang adalah ketulusan dan autentisitas.
Manusia bisa saja dipaksa untuk bertindak secara serempak, tetapi mereka tidak

mungkin dipaksa memahami agama secara seragam. Mereka bisa dipaksa untuk
beriman, tetapi tidak mungkin dipaksa untuk menerima iman dalam hati mereka.

Demokrasi Religius vs. Demokrasi Jurisprudensi

Kalau para pengkritiknya berdiri di atas landasan yang menyamakan demokrasi
dan liberalisme, maka para filsuf politik justru melihat demokrasi sebagai antitesis
dari kebebasan dan liberalisme. Demokrasi merupakan pemerintahan yang
mengedepankan hukum. Hukum menentang kebebasan mutlak, tetapi tidak
terhadap demokrasi. Hal itu juga berlaku bagi hukum agama; hukum agama tidak
bisa membatasi demokrasi. Justru realitas plural agama dan mazhab jurisprudensi
agama mendorong kesesuaian antara agama dan demokrasi.
Tetapi, ada keberatan pada beberapa pemikir kontemporer. Menurut mereka,
demokrasi disokong oleh hukum yang mengikuti keinginan manusia, sedangkan
pemerintahan agama berdasar pada ketentuan wahyu Tuhan yang sudah tetap.
Artinya, yang pertama adalah demokrasi, sedangkan yang kedua adalah teokrasi.
Bagaimana memadukan antara demokrasi dan teokrasi? Jawaban Soroush adalah
sebagai berikut. Kita harus membedakan secara tegas antara “pemerintahan

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.


5

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

demokrasi religius” dengan “pemerintahan demokrasi jurisprudensi”. Unsur
mendasar dari religi atau agama adalah iman, sementara jurisprudensi tidak harus
mengandaikan adanya iman. Kalau iman mengimplikasikan adanya kebebasan
(iman tanpa kebebasan itu tidak mungkin), maka jurisprudensi belum tentu
mengandaikan
“kepasrahan

kebebasan.
secara

Dalam

sukarela”,


pemerintahan

sementara

dalam

demokrasi

religius,

pemerintahan

ada

demokrasi

jurisprudensi ada “pengabdian secara terpaksa”. Karena itu, secara normatif
Soroush menganjurkan: “Pemerintahan agama atas masyarakat beriman yang kritis
yang menjunjung tinggi kebebasan dan dinamisme pemahaman agama haruslah
menjadi masyarakat demokratis.” Mengapa? Karena, “Kebebasan inheren dan
pluralitas keimanan yang tidak mungkin diubah, dan dinamisme pemahaman
agama adalah selaras dengan, bahkan membutuhkan, demokrasi.”
Di lain pihak, demokrasi religius dapat diperkuat dengan perlindungan
terhadap peraturan agama (syariat), melalui tiga hal: (1) melalui proteksi identitas
masyarakat agama; (2) melalui pengembangan disiplin legal; melemahkan para
tiran; mempersamakan hak kaum nigrat dan rakyat biasa; mendukung kebaikan
publik atas kepentingan perorangan; menjamin kecilnya perusakan moral terhadap
hak-hak, kewajiban, keadilan, dan kesederajatan bagi semua warga negara; (3)
melalui pemupukan tiga sensitivitas provokatif yang menguntungkan dalam
masyarakat (yaitu telaah yang berani, rasional dan kritis) terhadap jurisprudensi
dan agama.
Persoalan berikutnya adalah bahwa apakah demokrasi religius itu bisa
dipertanggungjawabkan secara rasional? Jawaban Soroush jelas: ya. Rasionalitas
demokrasi

sudah

jelas

dengan

sendirinya.

Agama

juga

dapat

dipertanggungjawabkan secara rasional. Rasionalitas demokrasi religius terletak
pada fakta bahwa “Manusia dengan kehendak dan pemahaman independen,
kebebasan dan kesadaran yang sempurna, mengambil kesimpulan dari prinsipprinsip etika yang pragmatis dari agama mereka (seperti melarang alkohol dan

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

6

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

berjudi dalam masyarakat Islam). Meskipun sumber prinsip-prinsip ini diyakini
sebagai ilahiah, prinsip ini memang diperuntukkan dan diidamkan oleh manusia.
Dengan demikian, langit dan bumi berdamai.”

Demokrasi Religius dan Moralitas

Demokrasi tanpa moralitas tidak mungkin. Klaim-klaim demokrasi pada dasarnya
merupakan klaim moral. Boleh dibilang, moralitas adalah penjaga demokrasi.
Sementara, moralitas itu sendiri mendapatkan kekuatannya oleh agama. “Agama,
sebagai benteng moralitas, dapat bertindak sebagai penjamin terbaik bagi
demokrasi,” kata Soroush. Suatu masyarakat agama yang sensitif terhadap
kerusakan moral dan kejujuran lebih siap untuk menjadi saksi dan hakim bagi para
pemimpinnya dan menjadi kritikus yang lebih waspada terhadap penyalahgunaan
kekuasaan.
Moralitas yang bersumber pada agama lebih berdaya dobrak karena persis
menyentuh wilayah paling dalam pada diri manusia, yaitu batin (iman). Menurut
Soroush, demokrasi tumbuh dan berhasil lebih baik di negeri di mana agama
mendapatkan tempat yang layak, tetapi bukan pemerintahan agama (teokrasi).
Nilai-nilai moral akan tetapi steril, bahkan rusak, selama nilai-nilai itu tidak
mendapatkan bentuk disiplin praktis dan metode aplikasi yang efektif. Nilai-nilai
itu mendapatkan ranah aplikasinya dalam praktik keagamaan.

Penutup: Kesimpulan dan Catatan Kritis

Jadi terdapat hubungan antara agama dan demokrasi, wahyu dan akal, iman dan
moralitas, masyarakat demokratis dan masyarakat agama, norma moral dan norma
agama. Itulah simpulan umum dari keseluruhan uraian di depan. Rinciannya
kurang lebih sebagai berikut:

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

7

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

Pertama, pemerintahan demokrasi religius bukanlah sebuah bentuk yang
paradoks melainkan lebih merupakan hasil sintesis antara pemerintahan demokrasi
sekular murni di satu sisi dan pemerintahan teokrasi di sisi lain. Kalau
pemerintahan demokrasi sekular murni selalu bergelut dengan dibuang atau
tidaknya unsur metafisik dari politik, pemerintahan teokrasi justru mengandalkan
diri pada hal itu. Kalau yang pertama mendasarkan diri pada moralitas kontraktual,
maka pemerintahan teokrasi mengandalkan diri pada moralitas “perjanjian”
(Soroush mengadopsi ide Richard Niebuhr). Kalau yang pertama bisa menyeleweng
kepada tirani mayoritas, maka yang kedua sangat potensial menjadi totaliter dan
dikator minoritas. Demokrasi religius mensintesis kedua tegangan itu. Tetapi,
sebenarnya hasil akhirnya bukan berupa sebuah sintesis, melainkan sebuah
hubungan berupa peregangan dan penyusutan, sebuah metode epistemologis yang
dipakai Soroush dalam keseluruhan proyek intelektualnya.
Kedua, demokrasi tanpa hukum itu tidak mungkin. Demokrasi membutuhkan
hukum, termasuk hukum agama. Tetapi, menyamakan hukum (termasuk
jurisprudensi agama) dengan demokrasi tentu merupakan suatu kekeliruan
epistemologis. Jadi, jurisprudensi agama (syariat) bisa menjadi bagian dari
demokrasi, tetapi syariat itu sendiri bukanlah demokrasi, dan tidak pasti menjamin
demokrasi.
Ketiga, demokrasi tanpa moralitas pada dasarnya bukan lagi demokrasi.
Keutamaan demokrasi justru terletak pada klaim-klaim moralnya. Moralitas itu
makin mendapatkan keampuhannya dalam bingkai agama dan praktik keagamaan.
Kata Soroush, “Moralitas agama akan menjadi penjamin demokrasi: hak-hak kaum
beriman untuk menerima agama Tuhan tidak akan melemahkan sifat pemerintahan
agama yang demokratis, duniawi, dan rasional.”
Soroush tampak sangat gemilang mempertahankan tesisnya tentang kaitan
antara agama dan demokrasi, dan kemungkinan bagi pemerintahan demokrasi
religius. Ia berhasil mengatasi kritik para lawannya yang melihat agama sebagai

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

8

Paper presentasi “Filsafat Islam Kontemporer”

Dosen: Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer

berwatak tidak demokratis karena mendasarkan diri pada wahyu, dan bukan pada
kehendak atau kesepakatan rakyat. Ia menjawab permasalahan ini dengan
membedakan antara agama dan jurisprudensi agama, antara hukum dan demokrasi,
dan antara kedua gabungan hal itu. Menganggap jurisprudensi agama sebagai
sosok keseluruhan agama adalah suatu kekeliruan besar. Menyamakan hukum dan
demokrasi juga jelas merupakan suatu cacat epistemologis. Demokrasi memang
mungkin tidak bisa berdamai dengan jurisprudensi agama (syariat), karena
jurisprudensi itu bersandarkan pada wahyu semata, jadi pada firman Tuhan, dan
bukan pada hasil debat, diskursus, kesepakatan, analisis, bersama rakyat. Tetapi,
demokrasi sangat mungkin berkait-kelindan dengan agama, karena selain keduanya
memuat moralitas tertentu yang menunjang kebaikan manusia, juga karena
keduanya dapat diperiksa secara rasional.
Sebagaimana kata Soroush dalam wawancaranya dengan Mahmoud Sadri
dan Ahmad Sadri, dengan mengandalkan perangkat epistemologisnya yaitu
“perluasan dan penyempitan” (atau perenggangan dan perapatan), ia ingin
“memurnikan agama, menjadikannya lebih kurus dan ringan.” Dengan kata lain, ia
ingin membuat agama menjadi lebih ramping dengan cara menyaring, mengupas,
dan menghapus lapisan-lapisan yang tidak diperlukan dari wajah agama.
Sebagai catatan dan kesimpulan terakhir, Soroush tetap berpegang teguh
pada tesisnya, terutama tesis nomor 3 di atas, bahwa agama perlu “disesuaikan”
dengan

demokrasi

jika

terjadi

benturan.

Tetapi,

penyesuaian

itu

tidak

mengorbankan esensi agama itu sendiri. Penyesuaian itu terbatas pada apa yang
dikatakannya sebagai “sekularisasi dari luar”, yaitu pada aspek praktiknya
(praksis), dan pada aspek pemahaman manusia terhadap agama itu (aspek
epistemologisnya), tapi bukan pada esensinya (dimensi ontologisnya).

Pascasarjana STF Driyarkara, Jakarta, 6 Mei 2008.

9