PERAN SERTIFIKASI SEBAGAI TOLAK UKUR GUR

PERAN SERTIFIKASI
SEBAGAI TOLAK UKUR GURU PROFESIONAL
Oleh :
Nina Safitri
Leonard Simangunsong
Program Studi Pendidikan Matematika, FTMIPA
Universitas Indraprasta PGRI Jakarta
Abstrak : Dalam UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dijelaskan bahwa
guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak
usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pengakuan kedudukan
guru sebagai tenaga professional itu di buktikan dengan sertifikat pendidik. Namun
demikian, sertifikasi tidak bisa serta merta di jadikan tolak ukur bahwa guru tersertifikasi
dapat di katakan guru profesional.
Kata Kunci : guru, sertifikasi, profesionalisme, dan tunjangan profesi.
PENDAHULUAN
Secara definisi kata “guru” bermakna sebagai pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih , menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada jalur pendidikan formal. Definisi guru tidak temuat dalam UU No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), dimana didalam UU ini
profesi guru dimasukkan ke dalam rumpun pendidik. Namun didalam UU No.14 Tahun
2005 tentang Guru dan Dosen, di jelaskan bahwa guru adalah pendidik profesional
dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sesungguhnya guru dan pendidik merupakan dua hal yang berbeda maknanya. Kata
pendidik (Bahasa Indonesia) merupakan padanan kata educator (Bahasa Inggris). Di
dalam kamus Webster kata educator berarti educationist atau educationalist yang
padanannya dalam bahasa Indonesia adalah pendidik, spesialis di di bidang pendidikan,
atau ahli pendidikan. Kata guru (bahasa Indonesia) merupakan padanan dari kata teacher
(bahasa Ingris). Di dalam kamus WebsterI, kata teacher bermakna sebagai “the person
who teach, especially in school” atau guru adalah seseorang yang mengajar, khususnya di
sekolah.
Kini, penyandang profesi guru telah mengalami perluasan perspektif dan pemaknaannya.
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 tahun 2008 tentang Guru, sebutan guru
mencakup : (1) guru itu sendiri, baik guru kelas, guru bidang studi, maupun guru
bimbingan dan konseling atau guru bimbingan karir; (2) guru dengan tugas tambahan
sebagai kepala sekolah dan (3) guru dalam jabatan pengawas. Sebagai perbandingan atas
“cakupan” sebutan guru ini, di Filipina, seperti tertuang dalam Republic Act 7784, kata

guru (techers) dalam makna luas adalah semua tenaga kependidikan yang
menyelenggarakan tugas-tugas pembelajaran di kelas untuk beberapa mata pelajaran,
termasuk praltik atau seni vokasional pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
(elementary and secondary level). Istilah guru juga mencakup individu-individu yang
melakukan tugas bimbingan dan konseling, supervisi pembelajaran di institusi pendidikan

atau sekolah-sekolah negeri dan swasta, teknisi sekolah, administrator sekolah, dan
tenaga layanan bantu sekolah (supporting staf) untuk urusan-urusan administrative. Guru
juga bermakna lulusan pendidikan yang telah lulus ujian negara (government
examination) untuk menjadi guru, meskipun belum secara aktual bekerja sebagai guru.
Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk
multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi
kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Menurut Muhamad Nurdin (2004:20)
persyaratan guru yang profesional adalah sehat jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu
pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, mempunyai tujuan, mampu merencanakan
dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuninya.
Kesembilan syarat penting bagi guru profesional ini secara garis besar dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu persyaratan administratif, akademis dan
kepribadian. Persyaratan administratif adalah persyaratan yang harus dimiliki oleh
seorang guru yang ingin menjadi profesional dalam kaitannya dengan persyaratan legal

formal. Di Indonesia, persyaratan yang demikian ini (khususnya bagi lembaga pendidikan
formal) menjadi sangat menentukan. Bahkan kualitas seseorang dapat dilihat dari ijazah
serta sertifikat keilmuan yang dimilikinya. Dalam konteks keindonesiaan, persyaratan
administratif merupakan alah satu persyaratan yang sangat penting. Persyaratan akademis
adalah persyaratan yang harus dimiliki seorang guru yang ingin menjadi profesional
dalam kaitannya dengan kapabilitas dan kualitas intelektual.Persyaratan akademis juga
merupakan syarat yang sangat penting bagi seorang guru profesional. Persyaratan ini
sangat menentukan keberhasilan proses pendidikan yang dilaksanakannya. Kesuksesan
pendidikan bukan hanya menjadi beban dan tanggung jawab murid sebagai pencari
ilmu, akan tetapi justru gurulah yang memegang peran dominan. Karena jika guru secara
akademis sudah tidak memadai, maka dengan sendirinya keterampilan untuk mengajar,
kemampuan penguasaan materi pengajaran, dan bagaimana mengevaluasi keberhasilan
murid tidak dimiliki secara akurat dan benar. Hal ini jelas sangat merugikan proses
pendidikan yang bukan hanya berakibat fatal bagi seorang murid, melainkan bagi seluruh
murid atau bahkan seluruh stakeholder pendidikan.
Persyaratan kepribadian adalah persyaratan yang harus dimiliki guru yang ingin menjadi
profesional dalam kaitannya dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan seharihari. Guru adalah seseorang yang harus digugu dan ditiru, khususnya oleh murid. Sebagai
seseorang yang harus digugu dan ditiru, dengan sendirinya mensyaratkan secara internal
bahwa seorang guru harus memiliki kepribadian dan perilaku yang baik. Dalam hal ini
bukan hanya dalam kaitannya dengan tradisi, kesopanan, dan unggah-unggah di

masyarakat setempat, akan tetapi juga nilai-nilai keagamaan. Sebagai seorang guru yang
profesional tidak ada alasan lain kecuali berakhlak yang mulia, baik dalam kaitannya
dengan orang lain (murid dan masyarakat), diri sendiri, lingkungan (alam sekitar), dan
tentunya dengan Allah swt. Berakhlak baik dengan Allah belum menjadi jaminan bahwa
seoran guru telah berakhlak mulia dengan masyarakat, dengan dirinya atau dengan
lingkungan. Demikian juga sebaliknya, berakhlak baik dengan dirinya belum tentu
menjadi jaminan berakhlak mulia dengan lingkungan, masyarakat dan Allah swt.
Menurut Tatty S.B. Amran (1994:139) untuk mengembangkan profesional
diperlukan KASAH adalah
akronim
dari Knowledge
(pengetahuan),
Ability (kemampuan), Skill (keterampilan), Attitude (sikap diri), dan Habit (kebiasaan
diri).
Menurut Muhammad Hatta (1954:5), yang dimaksud pengetahuan adalah sesuatu yang
didapat dari membaca dan pengalaman. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan
yang didapat dengan jalan keterangan (analisis).

Pengetahuan menurut Saefudin Ansari (1991:45) dapat dibedakan menjadi empat macam
yaitu (1) pengetahuan biasa, yaitu pengetahuan tentang hal-hal biasa, kejadian sehari-hari,

yang selanjutnya disebut pengetahuan; (2) pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang
mempunyai sistem dan metode tertentu, yang selanjutnya disebut ilmu pengetahuan; (3)
pengetahuan filosofis, yaitu semacam ‘’ilmu’’ istimewa yang mencoba menjawab istilahistilah yang tidak terjawab oleh ilmu-ilmu biasa, yang sering disebut sebagai filsafat; (4)
pengetahuan teologis, yaitu pengetahuan tentang keagamaan, pengetahuan tentang
pemberitahuan dari Tuhan.
Dalam pengembangan profesionalisme guru, menambah ilmu pengetahuan adalah hal
yang mutlak. Kita harus mempelajari segala macam pengetahuan, akan tetapi kita juga
harus mengadakan skala prioritas. Kenapa demikian? Karena dalam menunjang
keprofesionalan kita sebagai guru, menambah ilmu pengetahuan tentang keguruan sangat
perlu. Namun bukan berarti kita hanya mempelajari satu disiplin ilmu saja. Semakin
banyak ilmu pengetahuan yang kita pelajari, semakin banyak pula wawasan kita tentang
berbagai ilmu.
Ability (kemampuan) terdiri dari dua unsur, yaitu yang biasa dipelajari dan yang
amaliah. Pengetahuan dan keterampilan adalah unsur kemampuan yang biasa dipelajari,
sedangkan yang alamiah orang menyebutnya dengan bakat. Jika orang hanya
mengandalkan bakat saja tanpa mempelajari dan membiasakan kemampuannya, maka dia
tidak akan berkembang. Karena
bakat
hanya
sekian

persen
saja
menuju
keberhasilan. Sedangkan orang yang berhasil dalam mengembangkan profesionalisme itu
ditunjang oleh ketekunan dalam mempelajari dan mengasah kemampuannya. Oleh karena
itu, potensi yang ada pada kita harus terus diasah.
Kemampuan paling dasar yang diperlukan adalah kemampuan dalam mengantisipasi
setiap perubahan terjadi. Oleh karena itu, seorang guru yang profesional tentunya tidak
ingin ketinggalan dalam percaturan global. Dengan demikian, ia harus mengantisipasi
perubahan itu dengan banyak membaca supaya bertambah ilmu pengetahuannya.
Menurut Jeannette Vos (2003:87), jika seoran guru ingin bertambah luas pengetahuannya,
maka ia harus menggunakan dunia ini sebagai ruang kelasnya. Untuk mengembangkan
profesionalisme guru supaya berpengetahuan luas tentunya dibutuhkan kemauan. Seperti
sebuah ungkapan, ‘’kalau ada kemauan, pasti ada jalan’’, maka segala sesuatu harus
ditunjang terlebih dahulu oleh kemauan keras supaya berhasil.
Keterampilan (skill) merupakan salah satu unsur kemampuan yang dapat dipelajari pada
unsur penerapannya. Suatu keterampilan merupakan keahlian yang bermanfaat untuk
jangka
panjang.Keterampilan
merupakan the

requisite
knowledge
and
abilityi. Sebetulnya banyak sekali keterampilan yang dibutuhkan dalam pengembangan
profesionalisme, tergantung pada jenis pekerjaan masing-masing. Keterampilan mengajar
merupakan pengetahuan (knowledge) dan kemampuan (ability) yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas guru dalam pengajaran. Menurut Nurdin (2004:144-146) bagi
seorang guru yang tugasnya mengajar dan peranannya di dalam kelas, keterampilan yang
harus dimiliki anatar lain: pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur lingkungan,
partisipan, ekspeditur, perencana, supervisor, motivator, penanya, evaluator dan konselor.
Sedangkan menurut Bafadal (1992:37) keterampilan yang harus dimiliki oelh seorang
guru adalah: (1) keterampilan merencanakan pengajaran, (2) keterampilan
mengimplementasikan pengajaran, (3) keterampilan menilai pengajaran.
Attitude (sikap diri) seseorang terbentuk oleh suasana lingkungan yang
mengitarinya. Seorang anak pasti mulai belajar tentang dirinya melalui lingkungan yang
terdekat, yaitu orang tua. Oleh karena itu, masa kecil adalah masa peniruan, di mana
setiap gerak gerik yang dilihatnya akan dia tiru. Oleh karena itu, sikap diri perlu

dikembangkan (tentunya yang baik). Salah satu contoh bila kita di rumah sangat ramah
terhadap keluarga, besar kemungkinan di sekolah pun kita akan bersikap ramah terhadap

anak didik dan teman sejawat. Dengan demikian, kita biasa melihat bahwa sikap diri
merupakan kepribadian seseorang. Menurut Zuhairini (1991:186) kepribadian adalah
hasil dari sebuah proses sepanjang hidup. Kepribadian bukan terjadi secara tibatiba, akan tetapi terbentuk melalui perjuangan hidup yang sangat panjang. Apakah dia
berkepribadian muslim, apakah seseorang itu berkepribadian baik atau buruk, kuat atau
lemah, beradab atau biadab, semua itu sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Dengan
demikian, faktor pendidikan sangat mempengaruhi kualitas kepribadian seseorang, yang
di dalamnya ada guru yang juga mempunyai kepribadian yang baik.
Habit (kebiasaan diri) adalah suatu kegiatan yang terus menerus dilakukan yang tumbuh
dari dalam pikiran. Pengembangan kebiasaan diri harus dilandasi dengan kesadaran
bahwa usaha tersebut membutuhkan proses yang cukup panjang. Kebiasaan positif di
antaranya adalah menyapa dengan ramah, memberi pujian kepada anak didik dengan
tulus, menyampaikan rasa simpati, menyampaikan rasa penghargaan kepada kerabat,
teman sejawat atau anak didik yang berprestasi dan lain-lain.
Ciri dan karakteristik dari proses mengajar sebagai tugas profesional guru adalah sebagai
berikut :
a. Mengajar bukanlah hanya menyampaikan materi pelajaran saja, akan tetapi merupakan
pekerjaan yang bertujuan dan bersifat kompleks. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang
guru profesional diperlukan latar belakang pendidikan yang sesuai, yaitu latar belakang
pendidikan keguruan.
b. Seorang guru harus memiliki bidang keahlian yang jelas, yaitu mengantarkan siswa ke

arah tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu kegagalan guru dalam membelajarkan siswa
berarti kegagalan membentuk satu generasi manusia.
c. Agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang keahliannya,
diperlukan tingkat pendidikan yang memadai. Oleh karena itulah seorang guru bukan
hanya tahu tentang what to teach, akan tetapi juga paham tentang how to teach.
Kemampuan semacam itu tidak mungkin datang dengan sendirinya, akan tetapi hanya
mungkin didapatkan dari suatu proses pendidikan yang memadai dari satu lembaga
pendidikan yang khusus yaitu lembaga pendidikan keguruan.
d. Tugas guru adalah mempersiapkan generasi manusia yang dapat hidup dan berperan
aktif di masyarakat. Oleh sebab itu tidak mungkin pekerjaan seorang guru dapat
melepaskan dari kehidupan sosial.
e. Pekerjaan guru bukanlah pekerjaan yang statis, akan tetapi pekerjaan yang dinamis,
yang selamanya harus sesuai dan menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
Kompetensi merupakan perilaku rasional guna mencapai tujuan yang dipersyaratkan
sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Dengan demikian suatu kompetensi ditunjukkan
oleh penampilan atau unjuk kerja yang dapat di pertanggungjawabkan (rasional) dalam
upaya mencapai tujuan. Sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang harus
di miliki oleh seorang guru, meliputi kompetensi pribadi, kompetensi professional, dan
kompetensi social masyarakat.

a. Kompetensi Pribadi
Guru sering dianggap sebagai sosok yang memiliki kepribadian ideal. Oleh karena itu,
pribadi guru sering dianggap sebagai model atau panutan (yang harus digugu dan ditiru).
Sebagai seorang model guru harus memiliki kompetensi yang berhubungan dengan
pengembangan kepribadian (personal competencies).

b. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kompetensi atau kemampuan yang berhubungan dengan
penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat
penting karena langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan.
c. Kompetensi Sosial Kemasyarakatan
Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan guru sebagai anggota masyarakat dan
sebagai makhluk sosial, meliputi: (1) kemampuan untuk berinteraksi dan berkomunikasi
dengan teman sejawat untuk meningkatkan kemampuan profesional; (2) kemampuan
untuk mengenal dan memahami fungsi-fungsi setiap lembaga kemsyarakatan dan; (3)
kemampuan untuk menjalin kerja sama baik secara individual maupun secara kelompok.
Kedudukan guru sebagai tenaga professional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi

warga Negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Pengakuan kedudukan guru
sebagai tenaga professional itu di buktikan dengan sertifikat pendidik. Pengakuan yang
sama juga berlaku untuk tenaga kependidikan lain yang berpredikat profesional. Atau
yang biasa di kenal dengan sertifikasi.
Pengertian sertifikasi secara umum mengacu pada National Commision on Educatinal
Services (NCES) disebutkan “Certification is a procedure where by the state evaluates
dan reviews a teacher candidate’s credentials and provides him or her a license to
teach”. Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru.
Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru.
Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik
pendidikan yang berkualitas.
Dasar utama pelaksanaan sertifikasi adalah Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang disahkan tanggal 30 Desember 2005. Pasal yang
menyatakannya adalah pasal 8 : guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pasal lainnya adalah Pasal 11 ayat (1)
menyebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada
guru yang telah memenuhi persyaratan. Landasan hukum lainnya adalah Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi bagi Guru dalam Jabatan
yang ditetapkan pada tanggal 4 Mei 2007.
Maksud sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada guru.
Sertifikat pendidik diberikan kepada guru yang telah memenuhi standar profesional guru.
Guru profesional merupakan syarat mutlak untuk menciptakan sistem dan praktik
pendidikan yang berkualitas. Sedangkan sertifikat pendidik adalah sebuah sertifikat yang
ditandatangani oleh perguruan tinggi penyelenggara sertifikasi sebagai bukti formal
pengakuan profesionalitas guru yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Dalam Undang-undang Guru dan Dosen legalitas yang diperoleh dari uji kompetensi
disebut sertifikat pendidik. Pendidik yang dimaksud disini adalah guru dan dosen. Proses
pemberian sertifikat pendidik untuk guru disebut sertifikasi guru dan untuk dosen disebut
sertifikasi dosen.
Pelaksanaan suatu kegiatan besar secara nasional seperti sertifikasi guru ini, tentunya
mempunyai tujuan dan manfaat bagi guru. Sertifikasi guru bertujuan untuk :

a. Menentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan
mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
b. Meningkatkan proses dan mutu hasil pendidikan.
c. Meningkatkan martabat guru.
d. Meningkatkan profesionalitas guru.
Dengan kata lain tujuan sertifikasi untuk meningkatkan mutu dan menentukan kelayakan
guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.
Adapun manfaat yang nantinya akan dirasakan setelah sertifikasi guru dilaksanakan dapat
dirinci sebagai berikut :
a. Melindungi profesi guru dari praktik-praktik yang tidak kompeten, yang dapat merusak
citra profesi guru.
b. Melindungi masyarakat dari praktik-praktik pendidikan yang tidak berkualitas dan
tidak profesional.
c. Menjadi wahana penjaminan mutu bagi LPTK, dan kontrol mutu dan jumlah guru bagi
pengguna layanan pendidikan.
d. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan (LPTK) dari keinginan internal dan
tekanan eksternal yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang berlaku.
e. Meningkatkan kesejahteraan guru dengan adanya tunjangan profesi.
Peranan sertifikasi untuk guru/dosen adalah supaya lebih memahami hak dan
kewajibannya dalam serpti yang tercantum dalam UU No.14/2005 pasal 14 ayat 1 antara
lain : (1) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial; (2) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan
prestasi kerja; (3) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas
kekayaan intelektual; (4) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi; (5)
memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang
kelancaran tugas keprofesionalan; (6) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian
dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai
dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan; (7)
memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas; (8)
memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi; (9) memiliki kesempatan
untuk berperan dalam menentukan kebijakan pendidikan; (10) memperoleh kesempatan
untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi akademik dan kompetensi; dan/atau
(11) memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.
PEMBAHASAN
Menurut Fadlur Rahman, salah seoarang guru di sekolah berbasis Pendidikan Karakter,
SD/SMP Insan Teladan, guru professional adalah guru yang mampu menjabarkan dan
mengimplementasikan apa yang di tulis nya dalam rencana pembelajaran mengerti anak
baik dari sisi kejiwaan dan yang terpenting mampu mengembangkan setiap potensi anakanak didiknya, tugas guru bukan membuat anak dari bodoh menjadi pintar, tapi melihat
bakat, mengembangkan potensi dan membimbing anak didiknya kearah yang lebih baik
sesuai dengan minat, bakat, dan potensinya.
Seorang pendidik yang telah memiliki sertifikat, maka secara langsung orang akan
menyimpulkan bahwa ia adalah seorang pendidik yang profesional. Indikasinya, karena ia
telah lulus ujian kompetensi. Namun demikian tidak ada jaminan bahwa seorang pendidik
yang telah lulus ujian kompetensi akan menjadi pendidik yang profesional, meskipun
tataran ideal yang diharapkan dari adanya ujian kompetensi tersebut adalah untuk
menciptakan pendidik yang profesional.

Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan
telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan
sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang
Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan
itulah banyak persoalan muncul.
Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang
belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut
berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak
alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang
disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai
yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru,
sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana
cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman
sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah
minimal guru sudah mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30
Desember 2005. Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu
mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat,
pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan
melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan
lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru
seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya
untuk meningkatkan kualitas tidak saja bersandar pada lembaga pendidikan melainkan
juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan publik.
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan
fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai
saat ini belum menempuh pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar
tetapi bukan berlatar belakang pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para
guru yang selama ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan
kecintaannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pendidikan menjadi takut
kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak memiliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga mereka menjadi latah,
cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan
mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang informasi
tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah tidak
memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga
pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat
menyelesaikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan
dari pekerjaannya sebagai pengajar.
Jika dilihat dari manfaat dan peran sertifikasi itu sendiri, maka seharusnya sertifikasi
dapat menjembatani pencapaian tujuan pendidikan nasional dan peningkatan
profesionalisme pendidik. Namun kenyataan di lapangan, masih belum sesuai dengan
harapan.

Kompas.com. Pada 14 Maret 2013, Bank Dunia meluncurkan publikasi: ”Spending More
or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia”. Publikasi itu
menunjukkan, para guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata
menunjukkan prestasi yang relatif sama. Program sertifikasi guru yang diselenggarakan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selama beberapa tahun terakhir ternyata tidak
memberi dampak perbaikan terhadap mutu pendidikan nasional. Padahal,
penyelenggaraannya telah menguras sekitar dua pertiga dari total anggaran pendidikan
yang mencapai 20 persen APBN (hal 68). Pada 2010, sebagai contoh, biaya sertifikasi
mencapai Rp 110 triliun! Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak
2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531
siswa. Hasil tes antara siswa yang diajar guru yang bersertifikasi dan yang tidak untuk
mata pelajaran Matematika, Bahasa Indonesia, serta IPA dan Bahasa Inggris
diperbandingkan. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap
hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP.
Bertolak dari temuan Bank Dunia tersebut, kelihatannya terdapat tiga implikasi penting
yang mendesak dibenahi. Pertama, bagaimana menghilangkan pola formalitas
penyelenggaraan program sertifikasi guru.
Program ini sesungguhnya tuntutan yang diamanatkan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, yang mewajibkan seluruh guru disertifikasi dan diharapkan tuntas
sebelum 2015. Upaya ini semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan
kemampuan profesional guru, yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan mutu
pendidikan nasional secara keseluruhan.
Sejak 2005, guru-guru telah diseleksi untuk mengikuti program sertifikasi berdasarkan
kualifikasi akademik, senioritas, dan golongan kepangkatan, seperti harus berpendidikan
S-1 dan jumlah jam mengajar 24 jam per minggu. Indikator ini digunakan untuk
memperhatikan kompetensi pedagogis, kepribadian, sosial, dan emosional mereka.
Sejak itu, sekitar 2 juta guru telah disertifikasi, baik melalui penilaian portofolio
pengalaman kerja dan pelatihan yang telah diperoleh ataupun melalui pendidikan dan
latihan profesi guru (PLPG) selama 90 jam. Para guru yang telah lulus disebut guru
bersertifikasi dan berhak mendapatkan tunjangan profesi sebesar gaji pokok yang
diterima setiap bulannya. Pemerintah telah mencanangkan, pada 2015 hanya guru yang
bersertifikasi yang diperbolehkan mengajar.
Dengan target tersebut, penyelenggaraan sertifikasi guru kelihatannya telah dipersepsikan
sebagai proyek besar yang keberhasilannya diukur secara kuantitatif sesuai target.
Akibatnya, proses pelaksanaannya mudah terbawa ke kebiasaan formalitas birokrasi yang
ada.
Kedua, bagaimana mengaitkan program sertifikasi guru dengan pembenahan mekanisme
pengadaan dan perekrutan calon guru di perguruan tinggi lembaga pendidikan tenaga
kependidikan (LPTK). Sesuai amanat UU, LPTK adalah perguruan tinggi yang diberi
tugas menyelenggarakan program pengadaan guru pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan/atau pendidikan menengah, serta untuk
menyelenggarakan dan mengembangkan ilmu kependidikan dan nonkependidikan.
Namun, pasca- konversi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan jadi universitas,
perhatian mereka sebagai LPTK tidak lagi terfokus ke penyiapan guru, tetapi lebih
tergoda ke orientasi non-kependidikan. Akibatnya, tugas-tugas penyelenggaraan
sertifikasi yang dibebankan kepada sejumlah LPTK tak tertangani maksimal. Bahkan,
peran dalam penyiapan calon guru tak lagi didasarkan atas perencanaan yang lebih

sistemis dan komprehensif. Meski secara kuantitatif Indonesia adalah salah satu negara
dengan jumlah guru terbanyak di dunia, diukur dari rasio guru-siswa, tetapi perekrutan
mahasiswa calon guru, terutama di LPTK swasta, seakan tanpa kendali. Studi UNESCO
(UIS-2009) menunjukkan, untuk jenjang SD rasio guru-siswa adalah 1:16,61, yang
berarti seorang guru hanya mengajar 16-17 siswa. Rasio ini jauh lebih rendah
dibandingkan Jepang (18,05), Inggris (18,27), bahkan Singapura (17,44). Secara
internasional, rata-rata di seluruh dunia rasionya adalah 1:27,7 atau seorang guru dengan
27-28 siswa. Keadaan serupa juga terjadi di jenjang pendidikan menengah.
Ketiga, bagaimana menyelenggarakan program sertifikasi guru agar lebih berbasis di
kelas. Selama ini mereka yang mengikuti PLPG kelihatannya tidak dirancang untuk
mengamati kompetensinya mengajar di kelas. Proses sertifikasi guru berjalan terpisah
dengan peningkatan mutu proses belajar-mengajar di kelas. Akibatnya, penyelenggaraan
program sertifikasi guru tersebut tidak berdampak pada peningkatan mutu secara
keseluruhan. Data menunjukkan, pada 2011, TIMMS (studi internasional tentang
matematika dan IPA) melaporkan, untuk matematika skor Indonesia 386, tak jauh beda
dengan Suriah (380), Oman (366), dan Ghana (331). Sementara untuk IPA, Indonesia
(406) tak jauh beda dengan Botswana (404) dan Ghana (306). Selanjutnya, studi PISA
(program penilaian siswa internasional untuk matematika, IPA, dan membaca) pun
menunjukkan Indonesia selalu berada pada urutan kelompok terendah di dunia (hal 11).
Berbeda dengan Manabo yang berjarak sekitar 300 kilometer dari Manila. Guru-guru di
pedesaan sana ternyata akan memperoleh tambahan insentif jika mereka secara nyata
berinovasi meningkatkan mutu proses belajar-mengajar (PBM) di kelas. Cara
mengukurnya sederhana. Pengawas atau penilik sekolah cukup mengamati kegiatan PBM
secara berkala; apakah terdapat persiapan yang memadai atau tidak, apakah ada media
belajar sebagai kreasi inovatif guru atau tidak, dan seterusnya. Pembinaan kesejahteraan
dan promosi karier para guru dilakukan dengan berbasiskan pada kinerja dalam
meningkatkan kualitas PBM-nya. Akhirnya, meski penyelenggaraan sertifikasi guru telah
berdampak positif terhadap peningkatan kesejahteraan guru, yakni dapat menurunkan
jumlah guru yang kerja rangkap secara drastis dari 33 persen sebelum sertifikasi ke 7
persen sesudah sertifikasi (hal 73), perubahan apa pun yang dilakukan, kurikulum apa
pun yang diberlakukan, dan kebijakan apa pun yang hendak diambil, jika tak menyentuh
perbaikan proses belajar-mengajar di kelas, hasilnya akan sia-sia.
Hal ini juga yang dirasakan salah seorang guru Sekolah Dasar di daerah Ciseeng,
Kabupaten Bogor, guru yang telah memperoleh sertifikasi dan yang belum ternyata
menunjukkan prestasi yang relatif sama, tidak ada perbedaan yang signifikan. Guru-guru
yang telah di sertifikasi hanya menang pengalaman, namun tidak ada peningkatan dalam
kualitas dalam mengajar. Proses Belajar Mengajar masih di fokuskan dengan sistem
dikte, belajar satu arah. Secara teoritis guru-guru yang telah disertifikasi memang sudah
menguasai, tapi tidak ketika turun di lapangan, atau dalam hal ini di kelas, oleh karena itu
tidak ada peningkatan kualitas yang berarti.
Selain itu, kebanyakan dari mereka mengejar sertifikasi hanya karena tergiur dengan
tawaran janji kesejahteraan guru yang salah satunya yaitu adanya tunjangan profesi gaji
pokok yang diterima setiap bulannya, belum lagi tunjangan fungsional dan fasilitas
lainnya. Motivasi nya sudah berubah, bukan lagi peningkatan kompetensi atau
peningkatan kualitas.
Tunjangan profesi ini menghabiskan APBN yang cukup besar. Dalam harian
Metropolitan yang terbit tanggal 4 April lalu, untuk tahun 2014 total APBN mencapai
Rp6 triliun yang harus di bayarkan kepada guru-guru. Mendikbud Muhammad Nuh

menjelaskan, tunjangan akan dibayar ke dalam 4 tahap triwulan. Triwulan pertama
dibayar akhir April 2014, Triwulan kedua pada akhir Juni 2014, triwulan ketiga pada
akhir September 2014, dan triwulan keempat pada akhir November 2014.
Mendikbud menambahkan, tidak semua guru akan menerima tunjangan ini walau mereka
tersertifikasi. Karena ada syarat yang harus dipenuhi, seperti telah mengajar minimal 24
jam dan tidak terikat jabatan struktural. Untuk yang non PNS, yang belum dapat
sertifikasi, itu ada tunjangan fungsional sebesar Rp300 ribu. Itu di luar gaji yayasan atau
BOS yang dikelola oleh sekolah itu sendiri, sedangkan untuk guru yang bertugas di
daerah terpencil dan wilayah khusus, maka tunjangannya mendapatkan tambahan sebesar
Rp1,5 juta.
Kenyataannya ini yang terjadi di lapangan, mayoritas pendidik berlomba-lomba untuk
sertifikasi, bukan berlomba-lomba meningkatkan kompetensi, motivasinya jelas,
tunjangan profesi. Mereka lupa hakikat dan komitmen mereka sebagai seorang pendidik.
Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja
guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum
memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru.
Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang
mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan
selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan.
Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya
kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru
non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Lantas, sejauh mana tunjangan profesi efisien dalam usaha kesejahteraan guru, sementara
jika kita tinjau kembali, yang mendapatkan tunjangan profesi adalah mereka yang sudah
PNS dan sudah tersertifikasi, sementara, gaji pokok mereka yang sudah PNS khususnya
di kota-kota besar sudah cukup besar, apalagi jika di tambah dengan tunjangan profesi.
Akibatnya, akan timbul sifat konsumtif dari PNS itu sendiri.
Kemudian jika kita tinjau, pernyataan Mendikbud di atas, terlihat ketimpangan yang luar
biasa antara guru PNS dan non PNS atau guru honorer, jika yang PNS mendapat
tunjangan sebesar gaji pokok, guru non PNS hanya menerima tunjangan fungsional
sebesar Rp300ribu atau kurang lebih hanya 10 % nya saja. Artinya disini, masih ada
ketimpangan yang luar biasa antara guru PNS dengan guru non PNS atau guru honorer.
Jadi tunjangan profesi di berikan untuk kesejahteraan ‘sebagian’ guru, bukan untuk
kesejahteraan guru.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru
bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah
bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru
memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
PENUTUP
Berdasarkan beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal berikut:
a. Guru professional adalah guru yang mampu menjabarkan dan mengimplementasikan
apa yang di tulis nya dalam rencana pembelajaran mengerti anak baik dari sisi
kejiwaan dan yang terpenting mampu mengembangkan setiap potensi anak-anak
didiknya, tugas guru bukan membuat anak dari bodoh menjadi pintar, tapi melihat

bakat, mengembangkan potensi dan membimbing anak didiknya kearah yang lebih
baik sesuai dengan minat, bakat, dan potensinya.
b. Tidak ada jaminan bahwa seorang pendidik yang telah lulus ujian kompetensi atau
telah tersertifikasi dapat dikatakan pendidik yang professional.
c. Tunjangan profesi di berikan untuk kesejahteraan ‘sebagian’ guru, bukan untuk
kesejahteraan guru.
DAFTAR PUSTAKA
Amran, Tatty S.BB. 1994. Kiat Wanita Meniti Karier. Jakarta: Pustaka Binaman
Presindo.
Fajar, Arnie. 2006. Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme
Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam
memaknai UU No. 14 Tahun 2005.Bandung: Disdik Jawa Barat.
Jalal, Fasli. 20006. Gaji Guru Naik Mulai Januari 2007: Take Home Pay Minimal Rp. 3
Juta. Dalam Pikiran Rakyat 6 Oktober 2006 hal. 12.
Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat menjadi Guru Profesional. Jogjakarta: Prisma Sophie.
Samani, Muclas dkk. 2006. Mengenai Sertifikasi Guru di Indonesia. Surabaya: SIC.
Sanjaya, Wina. 22005. Pembelajaran dalam Impelementasi Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Prenada Media.
Sardiman, A.M. 22001. Interaksi & Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Surayin. 2004. Tanya Jawab Undang-Undang Republik Inodneia Nomor 20 Tahun 2003
Tentang Sisdiknas. Bandung: Yrama Widya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan
Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.
Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Hamzah.2012.Profesi Kependidikan.Jakarta: Bumi Aksara
Geocities.2014.”Peran Sertifikasi Guru”, www.geocities.ws. (diakses, 8 April 2014)
Tinta guru.2013.”Analisis Profesionalisme Guru”, www.tintaguru.com. (diakses,
8 April 2014)
Sergur.2013.”Misteri Sertifikasi Guru”, www.sergur.info. (diakses, 8 April 2014)
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Dokumen yang terkait

ANALISIS KARAKTERISTIK MARSHALL CAMPURAN AC-BC MENGGUNAKAN BUTON GRANULAR ASPHALT (BGA) 15/20 SEBAGAI BAHAN KOMPOSISI CAMPURAN AGREGAT HALUS

14 283 23

TEPUNG LIDAH BUAYA (Aloe vera) SEBAGAI IMMUNOSTIMULANT DALAM PAKAN TERHADAP LEVEL HEMATOKRIT DAN LEUKOKRIT IKAN MAS (Cyprinus carpio)

27 208 2

PENGARUH KONSENTRASI TETES TEBU SEBAGAI PENYUSUN BOKASHI TERHADAP KEBERHASILAN PERTUMBUHAN SEMAI JATI (Tectona grandis Linn f) BERASAL DARI APB DAN JPP

6 162 1

OPTIMASI SEDIAAN KRIM SERBUK DAUN KELOR (Moringa oleifera Lam.) SEBAGAI ANTIOKSIDAN DENGAN BASIS VANISHING CREAM

57 260 22

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) SEBAGAI ADJUVAN TERAPI CAPTOPRIL TERHADAP KADAR RENIN PADA MENCIT JANTAN (Mus musculus) YANG DIINDUKSI HIPERTENSI

37 251 30

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN PAJAK HOTEL SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH ( DI KABUPATEN BANYUWANGI

16 118 18

PERAN PT. FREEPORT INDONESIA SEBAGAI FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA

12 85 1

THE EFFECTIVENESS OF THE LEADERSHIP'S ROLE AND FUNCTION OF MUHAMMADIYAH ELEMENTARY SCHOOL PRINCIPAL OF METRO EFEKTIVITAS PERAN DAN FUNGSI KEPALA SEKOLAH DASAR MUHAMMADIYAH METRO

3 69 100