TUGAS HUKUM BISNIS PARIWISATA ID

TUGAS HUKUM BISNIS PARIWISATA
NAMA

: PASCALIANO MANUGETE

NIM

: 2012235036

KELAS

: PBU 8 BATCH 3 UPW

1. KEJAHATAN
Menurut B. Simandjuntak kejahatan merupakan “suatu tindakan anti sosial yang
merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan, yang dapat menimbulkan kegoncangan
dalam masyarakat.” Sedangkan Van Bammelen merumuskan:
Kejahatan adalah tiap kelakuan yang bersifat tidak susila dan merugikan, dan
menimbulkan begitu banyak ketidaktenangan dalam suatu masyarakat tertentu,
sehingga masyarakat itu berhak untuk mencelanya dan menyatakan penolakannya atas
kelakuan itu dalam bentuk nestapa dengan sengaja diberikan karena kelakuan

tersebut.

diantara para sarjana. R. Soesilo membedakan pengertian kejahatan secara juridis
dan pengertian kejahatan secara sosiologis. Ditinjau dari segi juridis, pengertian
kejahatan adalah suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan undangundang.
Ditinjau dari segi sosiologis, maka yang dimaksud dengan kejahatan adalah
perbuatan atau tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat
merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan, ketentraman dan
ketertiban.
J.M. Bemmelem memandang kejahatan sebagai suatu tindakan anti sosial
yang menimbulkan kerugian, ketidakpatutan dalam masyarakat, sehingga dalam
masyarakat terdapat kegelisahan, dan untuk menentramkan masyarakat, negara
harus menjatuhkan hukuman kepada penjahat.
M.A. Elliot mengatakan bahwa kejahatan adalah suatu problem dalam
masyarakat modem atau tingkah laku yang gagal dan melanggar hukum dapat
dijatuhi hukurnan penjara, hukuman mati dan hukuman denda dan seterusnya.
W.A. Bonger mengatakan bahwa kejahatan adalah perbuatan yang sangat
anti sosial yang memperoleh tantangan dengan sadar dari negara berupa pemberian
penderitaan.
Menurut Paul Moedikdo Moeliono kejahatan adalah perbuatan pelanggaran

norma hukum yang ditafsirkan atau patut ditafsirkan masyarakat sebagai perbuatan
yang merugikan, menjengkelkan sehingga tidak boleh dibiarkan (negara bertindak).

J.E. Sahetapy dan B. Marjono Reksodiputro dalam bukunya Paradoks Dalam
Kriminologi menyatakan bahwa, kejahatan mengandung konotasi tertentu,
merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas
dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun
pasif), yang dinilai oleh sebagian mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai suatu
perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial dan atau perasaan hukum yang
hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu.
KORUPSI
Korupsi (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak,
menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) menurut Transparency
International adalah perilaku pejabat publik, baik politikus|politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan
menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb:
perbuatan melawan hukum;
penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;

memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:
memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);
penggelapan dalam jabatan;
pemerasan dalam jabatan;
ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya.
Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan
dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang
diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya
pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja.
Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan
antara korupsi dan kriminalitas|kejahatan.


Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi
atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di satu tempat namun ada
juga yang tidak legal di tempat lain.
KORUPSI SEBAGAI SUATU BENTUK KEJAHATAN
Aspek kejahatan (delik)
Delik atau disebut juga perbuatan yang dapat dihukum, atau disebut juga peristiwa pidana, sering
dianalogikan dengan pengertian "Strafbaar feit" yaitu suatu kelakuan manusia yang diancam
dengan pidana oleh peraturan undang-undang. Jadi merupakan kelakuan yang secara umum
dilarang dengan ancaman pidana. (Vos , 1950 : 25)
"Delik" atau juga dikenal sebagai "Strafbaar feit " menurut Pompe adalah : suatu pelanggaran
yang dilakukan karena kesalahan di pelanggar dan diancam dengan pidana untuk
mempertahankan tata hukum , menyelamatkan kesejahteraan umum.
Berdasarkan hukum positif adalah suatu kejadian yang oleh undang-undang dirumuskan sebagai
perbuatan yang dapat dihukum.
Jonkers merumuskan delik sebagai kelakuan yang melawan hukum yang dilakukan dengan
sengaja (opzet) ataupun alpa (culpa) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Delik mempunyai sifat melarang atau mengharuskan suatu perbuatan tertentu dengan ancaman
pidana kepada yang melakukannya. Delik harus ditujukan pada hal-hal :
1. Memperkosa suatu kepentingan hukum atau menusuk suatu kepentingan hukum.
2. Membahayakan suatu kepentingan hukum :

- concrete delicten : mislnya kejahatan membahayakan keamanan umum bagi orang atau barang,
pemalsuan, manipulasi sehingga menimbulkan kerugian
- abstract delicten : misalnya sumpah palsu, penghasutan , dsb.
Delik merupakan bentuk perbuatan hukum, yang seharusnya melindungi kepentingan hukum.
Kepantingan hukum yang diaksud adalah : kepentingan negara, masyarakat dan individu.
Kepantingan ini dapat berubah seiring dengan waktu.
Perkembangan paradigma kejahatan antara kejahatan konvensional ke bentuk kejahatan
inkonvensional berdampak pada perkembangan rumusan delik yang diatur dalam konstitusi dasar
maupun dalam undang-undang organic.
Risalah penjelasan undang-undang membuat ukuran delik berkembang menjadi "rechtdelicten"
(kejahatan) dan "westdelicten"(pelanggaran).
Ilmu pengetahuan menjelaskan bahwa kejahatan (rectdelicthten) merupakan perbuatan dalam
keinsyafan batin manusia yang dirasa sebagai perbuatan tidak adil disamping itu juga sebagai
perbuatan tiding adil menurut undang-undang.
Elemen dasar untuk menentukan bahwa secara legal suatu perbuatan melawan kepentingan
hukum harus mengandung unsur :
- bagian objective yang terdiri dari perbuatan dan akibat, merupakan kejadian yang menentang
hukum positifsebagai ansir melawan hukum (onrechtmatige) yang dapat dihukum dengan pidana
- bagian subyektif yang merupakan anasir kesalahan delik.
Pompe membagi rumusan perbuatan dalam 3 elemen strafbaar faith :

1. wederecthtelijkheid ( unsur melawan hukum)
2. schuld (unsur kesalahan)
3. subsociale (unsur bahaya / gangguan / merugikan)

Elemen subsociale menambahkan doktrin dalam hukum pidana untuk menyempurnakan
konstruksi pemikiran mengenani dasar penjatuhan pidana terhadap suatu perbuatan yang
merugikan kepentingan masyarakat / negara.
Subsociale adalah suatu keadaan psikologis yang berakibat timbulnya kegelisahan dalam
masyarakat, kacau, dsb, sebagai akibat suatu delik, sehingga perangkat negara tidak mampu lagi
mengendalikan dan mempertahankan tertib masyarakat.
Korupsi - kejahatan - kesengajaan
Kejahatan pada umumnya dilakukan dengan kesengajaan. Kesengajaan adalah manifestasi dari
keinsyafan pasti, dimana subyek hukum sdar bahwa melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam stlelsel hukum pidana disebutkan bahwa kesengajaan adalah kesalahan.
Asas legalitas (asas nullum delictum) yang secara tradisional merupakan sendi utama hukum
pidana ,yang digunakan untuk memasukkan suatu perbuatan ke dalam kriteria kejahatan,
meskipun asas legilitas ini seringkali tidak mampu menjerat suatu tindak pidana inkonvensional
untuk dikenai sanksi. Korupsi sebagai bentuk kesengajaan yang dilakukan oleh subyek hukum
untuk kepentingan pribadi jelas-jelas mengandung sifat melawan hukum dan seringkali tak
tersentuh karena belakunya asas legalitas. Maka dipandang perlu interpretasi yang luas untuk

menggunakan asas legalitas tersebut.
Korupsi sebagai suatu bentuk kejahatan.
Pembentuk undang-undang menjelaskan tentang korupsi sebagai suatu kejahatan dimana pada
umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas
mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang (pegawai negeri) atau
karena kedudukan istimewa pada jawatan umum yang secara tidak patut atau menguntungkan
diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga dapat dikualifier sebagai tindak pidana
korupsi dengan segala akibatnya berhubungan dengan hukum pidananya dan hukum acaranya.
Keseluruhan perumusan dalam hal tindak pidana korupsi interpretasi terhadap perbuatan tersebut
merupakan penarikan, perluasan perumusan dari sekedar aturan dalam KUHP.
Dari segi perbuatan dan akibat yang timbul , korupsi mengandung elemen :
1. tindakan yang menimbulkan kerugian negara / perekonomian negara
2. tindakan melibatkan pejabat negara dengan suap menyuap :
- didahului dengan hadiah / janji
- tidak melaporkan kejadian tersebut
3. tindakan penyalahgunaan kewenangan : - pemerasan, - proyek tidak sehat
Sebagai suatu bentuk kejahatan, korupsi memiliki Subyek hukum , yakni :
1. setiap orang
2. seorang pemborong / pemegang proyek dan penjual barang
3. pejabat

4. hakim / aparat hukum
Sebagai suatu bentuk kejahatan, dalam tindakan Korupsi terkandung unsur :
a. Melawan hukum
Korupsi mengandung unsur melawan hukum (wederechstelijk) dalam arti luas yaitu meliputi
perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan tertulis dan juga norma-norma kesopanan yang
lazim atau bertentangan dengan keharusan dalam pergaulan hidup untuk bertindak lebih cermat
kepada orang lain , barang orang lain atau hak orang lain, behkan termasuk di dalamnya

pengertian melawan hukum (BW 1365) atau onrechtmatige daad.
Diartikan melawan hukum dalam arti luas adalah untuk memperoleh pembuktian tentang
perbuatan yang dapat dihukum atau memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
daripada memenuhi ketentuan untuk membuktikan terlebih dahulu adanya kejahatan /
pelanggaran , serta dalam kelanjutannya mempermudah penuntutan / pemeriksaan di siding
pengadilan.
DR. Andi Hamzah dalam "Korupsi di Indonesia masalah dan pemecahannya " pengertian
melawan hukum adalah : tidak mempunyai hak sendiri untuk menikmati keuntungan (korupsi)
tersebut. Di sisi lain, yurisprudensi MA no. 42 K / Kr / 1965 tanggal 8 Januari 1966 dalam
pertimbangannya tentang hilangnya sifat melawan hukum :
Seseorang yang telah melakukan korupsi dapat dibuktikan tidak dapat dipidana dikarenakan
hilangnya sifat melawan hukumnya karena :

-kepentingan umum dilayani
-Negara tidak dirugikan
-Terdakwa tidak menikmati keuntungan.
b. Memperkaya diri sendiri
Memperkaya artinya : suatu perbuatan yang dilakukan sehingga harta miliknya sendiri atau
orang lain atau suatu badan menjadi bertambah dalam arti jumlah maupun nilai. Misalnya :
dilakukan dengan mengambil, menjual, mendepositokan, meminjamkan, mempergunakan dan
lain-lain dan perbuatan tersebut dimaksud bersifat melawan hukum.Bagi seorang tersangka /
terdakwa diberi kesempatan untuk membuktikan perihal pertambahan harta tersebut.
c. Secara langsung / tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Keuangan negara adalah : keuangan daerah atau badan yang menggunakan modal atau
kelonggaran -kelonggaran dari negara atau dana yang diperoleh untuk kepentingan sosial,
kemanusiaan, dll, subsidi dari pemertintah pusat maupun daerah.
Untuk membuktikan kerugian keuangan negara ini dapat dimintakan keterangan ahli seperti
BPKP (Badan Keuangan dan Pembanguan), dll.
Perekonomian negara adalah : segala usaha pemerintah demi kemakmuran rakyatnya yang
meliputi usaha-usaha di bidang pertanian, industri, perdagangan, perhubungan , dll.
Contohnya : untuk melindungi perindustrian dalam negari pemerintah telah mengambil tindakan
yang dikenal dengan nama proteksionisme untuk melindungi perkembangan industri dalam
negeri terhadap industri negara lain , sehingga industri dalam negeri dapat menjadi komoditi

yang handal di negeri sendiri dan diharapkan mampu menembus pasaran luar negeri.
Mengimpor dari luar negeri apalagi tidak membayar bea masuk akan merugikan perekonomian
negara. Walau akibat korupsi tidak selalu dapat menimbulkan kerugian negara secara langsung ,
tetapi harus diperhatikan luasnya dampak korupsi yaitu kerugian dari segi birokrasi , sosial,
budaya, dan akan mengurangi daya tahan nasional sehingga akibatnya berpengaruh besar pada
sektor-sektor strategis pembangunan bangsa.
Dampak negatif korupsi dirasakan meluas dalam kehidupan masyarakat dikarenakan selain
menggerogoti kredibilitas pemerintah juga merusal disiplin dan moral bangsa. Maka pelaku
tindak pidana korupsi sudah seharusnya dituntut.
Percobaan dalam melakukan korupsi diatur sebagai delik tersendiri dengan sanksi yang sama
dengan jika perbuatan tersebut selesai dilakukan.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJAHATAN KORUPSI
Secara kodrati manusia adalah makhluk pribadi dan makhluk sosial, yang dalam

perkembangannya sarat dengan aneka kebutuhan.
Dari sudut pandang seorang ahli dibidang sosiologi dan manajemen, Abraham Maslow , dalam
relasi sosial , "kebutuhan" merupkan hal penting yang memotivasi seseorang melakukan
pekerjaan.
Maslow mengemukakan suatu hierarkhi kebutuhan manusia dari tingkat yang paling tinggi
hingga tingkat dasar yakni : Kebutuhan aktualisasi diri, harga diri, sosial, keamanan, fisiologi.

Dengan kata lain, teori Maslow ini menggambarkan bahwa manusia sebagai pribadi yang
bereksistensi dalam kodratnya sebagai makhluk sosial memiliki serangkaian kebutuhan yang
tidak terbatas pada sandang, pangan, papan (perumahan) saja.
Motivasi pemenuhan kebutuhan ini, dalam proses sosial merupakan motif dasar pada perilaku
seseorang .
Perubahan peradaban manusia kearah modernisasi, telah meninggalkan struktur sosial yang
tradisional (closed social stratification) menjadi struktur sosial masyarakat modern (open social
stratification). Peralihan ini membawa dampak manusia cenderung ingin menduduki stratifikasi
yang paling atas dalam kehidupan sosial. Adalah hal yang manusiawi karena pada status sosial
tinggi identik dengan prestasi, prestige dan previelege yang berkaitan erat dengan pemenuhan
berbagai kebutuhan hidup. Secara eksplisit perubahan system sosial tampak pada gaya hidup,
perubahan tata nilai, dsb.
Kecenderungan yang demikian inilah menyebabkan kehidupan sosial yang notabene dipengaruhi
kondisi politik dan ekonomi suatu negara secara makro menuntut seseorang untuk dinamis
mencari upaya tertentu yang berujung pada kekayaan.
Orientasi sosial yang semula hanya sebatas pemenuhan kebutuhan kekerabatan antar manusia
mengalami pergeseran dengan menempatkan kekayaan dan keuangan sebagai dasar membangun
relasi sosial. Patologi kejahatan menempatkan manipulasi sebagai salah satu cara mencapai
tujuan sesuai orientasi tersebut. Penelitian kriminologi menemukan timbulnya berbagai kejahatan
sebagai manifestasi kelemahan birokrasi yang berdifusi dengan perkembangan ilmu dan
teknologi.
Sebagai suatu system sosial , Indonesia adalah negara hukum bercorak "Welfare State" yang
secara integral diwujudkan melalui tujuan negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4 ( yakni : memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abdi dan keadilan sosial……..) secara normative menjadi legalisasi keterlibatan pemerintah
dalam berbagai bidang kehidupan.
Indonesia dengan sistem pemerintahan yang menganut doktrin Trias Politika , membagi
keberadaan lemabga birokrasi dalam distribusi kekuasan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.System sosial ini diharapkan mampu mengakomodir proses sosial pada
heterogenitasnya masyarakat Indonesia dan aneka hierarkhi kebutuhan sehingga orientasi
terhadap kekayaan ditujukan pada nilai kesejahteraan umum sebagimana tujuan negara
Indonesia.
Aspek majemuk dalam perilaku yang bersifat koruptif, motif-motif di bidang politik , telah
memberi petunjuk bahwa korupsi dapat dilakukan dalam berbagai bentuk dan disebabkan
beberapa faktor , yakni (1) dari struktur sosial dan system sosial, (2) dari orientasi sosial pada
kekayaan kebendaan dan keuangan (3) dari perubahan sosial dan modernisasi (4) dari kelemahan
system birokrasi.
Terdapat korelasi antara kejahatan, pemerintahan, politik, ekonomi dan keuangan. Motif sebagai
kegiatan yang terselubung menyebabkan korupsi sulit dikendalikan. Ketika korupsi bersentuhan

dengan hukum, kendala yang dihadapi adalah objek dan akibat perbuatan telah melebur sebagai
suatu system budaya yang tidak mungkin dirubah tanpa komitmen dan kerangka pemahaman
ideologi yang sama dalam kehidupan bernegara.
PERKEMBANGAN HUKUM KEJAHATAN KORUPSI
A. Korupsi sebagai implementasi Hukum Pidana Khusus
Dampak dari berkembangnya peradaban manusia, berpengaruh bagi munculnya bentuk kejahatan
baru bahkan kejahatan inkonvensional. Hal ini dapat dijelaskan , bahwa manusia pada dasarnya
memiliki hasrat untuk hidup secara teratur, dan seantiasa menciptakan keteraturan.
Dalam berbagai penyelidikan ilmu tentang tingkah laku manusia , diasumsikan bahwa manusia
mencita-citakan ketertiban yang sempurna untuk membentuk masyarakat yang ideal. Tetapi
dalam praktek sehari-hari masyarakat menunjukkan fakta sosial kondisi sosial, stratifikasi sosial
dan organissi sosial yang tidak seperti digambarkan dalam variable-variabel masayarakat ideal.
Perubahan ini merupakan gejala / phenomena sosial.
Pertumbuhan beraneka ragam perilaku kejahatan menurut pengertian masyarakat, selalu
mencakup pencerminan kepentingan mayoritas warga masyarakat atau kepentingan umum.
Melalui suatu penilaian ini dibangun perumusan hukum yang mengandung norma-norma
perilaku kejahatan sebagai pencerminan nilai-nilai fundamental hukum pidana (legal terms of
crime). Ini akan terus berkembang menurut waktu dan tempat serta berubahnya formulasi
tergantung pada pengaruh perubahan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Hubungan antara kejahatan umum dan hukum pidana seringkali tidak terdapat keseragaman
batasan untuk menentukan unsur-unsur suatu kejahatan. Rumusan hukum tentang kejahatan
biasanya mengandung unsur perilaku anti sosial dengan akibat merugikan dan unsur perbuatan
yang merupakan pelanggaran norma hukum dengan disertai sikap batin yang jahat.
Namun dalam berbagai literature ditemukan bahwa rumusan kejahatan dilengkapi dengan syaratsyarat dilakukan dengan sengaja atau alpa, adanya kemampuan bertanggungjawab . Harus ada
hubungan batin yang kuat dengan perbuatan yang terjadi , terdapat hubungan kausalitas antara
perbuatan dan akibat yang dilarang, dengan diancam hukuman pidana.
Pola perilaku kejahatan inkonvensional seperti korupsi, dipandang sebagai kejahatan yang
memiliki pola dan ciri sendiri. Maka dipandang perlu tatanan hukum baru disamping berlakunya
hukum pidana materil yang sudah ada.
Hukum pidana yang dimaksudkan harus mengandung asas legalitas. Asas legalitas dalam suatu
perundang-undangan baru di luar perundangan yang sudah ada, mengandung tiga masalah
prinsipil :
a. pada dasarnya peraturan hukum pidana tidak berlaku surut, namun dalam praktek sering
terjadi sebaliknya
b. pada dasarnya, dalam penentuan perbuatan pidana harus lebih dahulu dinyatakan dengan
peraturan dalam undang-undang tidak lengkap , sehingga perlu berpegang pada hukum dengan
pengertian yang lebih luas.
c. pada dasarnya untuk penerapan peraturan hukum pidana inkonkrito tidak boleh dipergunakan
analogi , namun dalam perkembangan dari cara berpikir yang lebih maju dan mempunyai alasan
yang kuat atas timbulnya kejahatan kongkrit yang berbahaya bagi kepentingan umum dapat
digunakan analogi.
Pandangan lain menyebutkan bahwa dalam menentukan perbuatan pidana harus lebih dahulu
dinyatakan dengan menentukan perbuatan pidana harus lebih dahulu dinyatakan dengan

peraturan dalam undang-undang yang berlaku secara umum.
Ketentuan dalam pasal 1 ayat 2 KUHP banyak menimbulkan masalah, maka perlu ditinjau
kembali asas kemanfaatan dari hukum peralihan dengan pertimbangan bahwa :
a. Tidak ada hukum yang berdiri sendiri tanpa pengaruh dari lapangan hukum yang lain,
sehingga hukum pidana akan tetap memperhatikan perkembangan hukum pada umumnya ,
bahkan lapangan hukum sendiri.
b. Dasar perubahan undang-undang yang baru adalah karena perubahan perasaan / keyakinan /
kesadaran hukum rakyat yang melalui badan pembentuk UU mengadakan UU baru , untuk
perbuatan pidana yang terjadi kemudian , sehingga perubahan UU yang karena sifatnya berlaku
sementara tidak termasuk perubahan
c. Perubahan UU baru yang menyangkut berat atau ringan ancaman pidananya tidak akan
mempunyai arti , karena di dalam praktiknya hakim tetap memegang asas kebebasan dalam
menjatuhkan pidana yang diancamkan.
d. Asas temporis delicti yang berlaku secara tertulis maupun tidak tertulis sudah menjadi asas
yang menjamin kepastian hukum serta keadilan hukum.
Dalam pandangan hukum yang lebih luas, menganggap hukum positif tidak hanya berupa
undang-undang saja akan berpendapat bahwa dibentuknya Hukum Kejahatan Korupsi sebagai
stelsel hukum pidana khusus yang mengandung penyimpangan sekalipun tidak dimuat secara
tegas dalam KUHP , adalah sangat sesuai dengan ketentuan asas Lex Specialis Derogat Legi
Generalis.
Dasar pertimbangan munculnya undang- undang baru sebagai anasir kejahatan inkonvensional
adalah atas dasar pasal 103 KUHP yang menegaskan bahwa : ketentuan dalam bab I- VIII buku
ke satu ini berlaku juga bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangan lain diancam
dengan pidana kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
B. PERKEMBANGAN HUKUM KEJAHATAN KORUPSI DI INDONESIA
Selama kurun waktu 1960 - 1970, dirasakan kenisbian dan potensi yang tinggi dari perbuatan
korupsi.. Perbuatan korupsi terus bergerak dibelakan pergolakan politik, sampai saat berakhirnya
kabinet seratus menteri pada tahun 1966.
a. Peperpu 1958 membedakan 2 jenis perbuatan korupsi , yakni : (1) perbuatan pidana korupsi
dikaitkan dengan unsur kejahatan dan pelanggaran yang dapat dikenai hukuman pokok dan
hukuman tambahan , serta (2) perbuatan korupsi yang dapat dikenai putusan perampasan
(beslag) perdata, tindakan fiscal dan pengembalian utang negara secara paksa dan penyelidikan
keuangan di bank
b. Pemerintah Kabinet Ampera berusaha keras mengatasi korupsi, dan dikeluarkanlah sarana
pemberantasan korupsi, yakni UU nomor 24 Prp tahun 1960 dilengkapi dengan Keppres nomor
228 tahun 1967 tertanggal 2 Desember 1967 yang memberikan tambahan kekuatan hukum yang
represif dan effisien untuk pemberantasan korupsi .
c. Kekhasan UU ini adalah dibentuknya Tim pemberantasan Korupsi yang dipimpin dan
dikoordinir Jaksa Agung bagi semua penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan
dan penuntutan perkara korupsi baik yang dilakukan oleh orang sipil maupun ABRI.
Menurut khazanah ilmu pengetahuan, tugas yang demikian seharusnya telah lama diprediksi
sebagai kejahatan bermotif terselubung. Bahkan korupsi pada tingkat kematangan tertentu
sanggup untuk memperkosa kepentingan pembentukan hukum baru dan mengacaukan strategi

penegakan hukum.
Berdasarkan sejarah tumbuhnya korupsi di Amerika Serikat, memberi petunjuk dalam upaya
pemberantasan kejahatan korupsi melibatkan secara aktif berbagai komponen penyelenggara
negara dan penegak hukum. Misalnya turut melibatkan dinas perpajakan, intelijen negara, badan
legislative, team dan komisi.
d. Perubahan baru untuk menggantikan UU nomor 24 Prp tahun 1960 adalah UU nomor 3 tahun
1971, diproses dalam jangka waktu relative singkat . Rancangan diajukan oleh Menkeh pada
tanggal 11 Juli 1970 dan diteruskan oleh presiden kepada DPR Gotong Royong pada 13 Agustus
1970, disetujui oleh DPR Gotong Royong pada 12 Maret 1971 dan sahkan menjadi UU tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 29 Maret 1971.
Ciri khas dari undang-undang ini adalah :
- perbuatan pidana korupsi mengandung unsur melawan hukum formil dan materil, terdapat
ketentuan khusus tentang pengusutan, penuntutan, pemeriksaan dan putusan pengadilan dengan
maksud mempercepat prosedur penyelesaian perkara korupsi.
- Pengurangan Hak Asasi Manusia yang sangat diperlukan dalam keadaan terpaksa menjadi salah
satu ciri dari hukum pidana penyimpangan sesuai dengan kebutuhan hukum masyarakat.
- Pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa dan kewajiban penuntut umum untuk tetap
memberikan pembuktian , memberi gambaran watak hukum yang kontradiktif dan sekaligus
menjamin dua kepentingan yang saling berhadapan. Di satu pihak terdakwa telah membuktikan
bahwa tidak melakukan pidana korupsi, dan di lain pihak penuntut umum telah dapat
membuktikan tentang kesalahan terdakwa, sehingga sama-sama memberikan pembuktian meski
bertolak belakang.
e. Undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ,
merupakan perubahan UU sebelumnya gar dapat menjangkau modus operandi penyimpangan
meuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih.
Ciri khas UU ini adalah :
- bahwa subyek pelaku tindak pidana korupsi diperluas dalam bentuk orang per orang dan
koorporasi.
- lebih mengutamakan rumusan tindak pidana korupsi dalam pendekatan pelanggaran hukum
formil.
- Telah ditentukan ancaman hukumanpidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi
dan ancaman pidana mati yang merupakan ancaman pemberat pidana, pidana penjara bagi
pelaku tipikor yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian
negara.
- Dalam hal tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, dibentuklah Tim Pemberantas
tindak pidana korupsi dibawah koordinasi Jaksa Agung, sedangkan proses penyidikan dan
penuntutan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan UU no 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tipikor. Undang-undang ini dikeluarkan mengingat korupsi merupakan kejahatan
sistemik dan meluas yang selain merugikan keuangan negara juga melanggar hak-hak sosial
ekonomi masyarakat secara luas.
Hal-hal yang khas dalam UU ini antara lain :
- pembuktian terbalik bersifat "premium remedium"
- ada korelasi dan prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal
2 UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih, dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme

- negara berhak mengajukangugatan perdata terhadap harta benda terdakwa yang disembunyikan
atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh hukum tetap.
Sumber
http://hukum-dan-umum.blogspot.com/2012/04/definisi-arti-kejahatan.html
http://lentera-vita.blogspot.com/2009/10/materi-kuliah-hukum-kejahatan-korupsi-1.html