BAHASA PERCAKAPAN YESUS budaya. doc

1|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016

BAHASA PERCAKAPAN YESUS

Teguh Hindarto
Kitab Ibrani 7:14 mengatakan, “Sebab telah diketahui semua orang, bahwa
Junjungan Agung kita berasal dari suku Yehuda dan mengenai suku itu Musa tidak
pernah mengatakan suatu apa pun tentang imam-imam”. Yesus secara antropologis
adalah manusia pada zamannya. Manusia yang lahir di dalam kebudayaan Yahudi.
Oleh karenanya kita dapat melihat rekam jejak percakapan Yesus dalam ungkapanungkapan Ibrani yang tertulis dalam Kitab Perjanjian Baru Yunani al., Efata
(terbukalah, Mrk 7:34) Talita kumi (anak gadis, bangunlah, Mrk 5:41), Eli-Eli lama
sabakhtani (El-ku,El-ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? Mat 27:46)?
Kita tidak menampik bahwa ada ragam bahasa di Yerusalem di zaman Mesias
hidup sebagaimana terekam dalam 19:20 sbb: “Banyak orang Yahudi yang
membaca tulisan itu, sebab tempat di mana Yesus disalibkan letaknya dekat kota
dan kata-kata itu tertulis dalam bahasa Ibrani, bahasa Latin dan bahasa
Yunani”. Ada tiga bahasa yang bereksistensi zaman itu, Ibrani (plus Aramaik),
Latin dan Yunani. Namun jangan lupa, fungsi dan kedudukan bahasa itu tidak
sama. Talmud mengatakan sbb: “Empat bahasa memiliki nilai masing-masing:
Bahasa Ibrani untuk nyanyian, Latin untuk peperangan, Aramaik untuk nyanyian


2|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
penguburan dan Bahasa Ibrani untuk percakapan” (Jerusalem Talmud, Tracate
Sotah 7:2, 30a)1. Pernyataan Talmud ini merobohkan asumsi yang dibangun selama
ini bahwa bahasa Ibrani adalah bahasa yang telah mati dan digantikan oleh bahasa
Aramaik sebagaimana pernyataan beberapa literatur berikut:
Encyclopedia Britannica 2007 : “Spoken in ancient times in Palestine, Hebrew
was supplanted by the western dialect of Aramaic beginning about the 3rd century
BC; the language continued to be used as a liturgical and literary language,
however. It was revived as a spoken language in the 19th and 20th centuries and is
the official language of Israel. The history of the Hebrew language is usually
divided into four major periods: Biblical, or Classical, Hebrew, until about the 3rd
century BC, in which most of the Old Testament is written; Mishnaic, or Rabbinic,
Hebrew, the language of the Mishna (a collection of Jewish traditions), written
about AD 200 (this form of Hebrew was never used among the people as a spoken
language); Medieval Hebrew, from about the 6th to the 13th century AD, when
many words were borrowed from Greek, Spanish, Arabic, and other languages;
and Modern Hebrew, the language of Israel in modern times.” (Bahasa Ibrani yang
digunakan pada jaman kuno di Palestina, digantikan oleh dialek barat dari bahasa
Aram pada sekitar permulaan abad ke 3 SM.; tetapi bahasa itu (Ibrani) tetap
digunakan sebagai bahasa liturgi dan literatur. Bahasa itu hidup kembali sebagai

bahasa pembicaraan pada abad 19 dan 20, dan merupakan bahasa resmi dari Israel.
Sejarah dari bahasa Ibrani biasanya dibagi dalam 4 periode besar: bahasa Ibrani
Biblika atau Klasik, sampai sekitar abad 3 SM., dalam mana sebagian besar dari
Perjanjian Lama ditulis; bahasa Ibrani Mishnaik atau Rabbinik, bahasa dari Mishna
(suatu koleksi / kumpulan dari tradisi Yahudi), ditulis sekitar tahun 200 M. (bentuk
bahasa Ibrani ini tidak pernah dipakai di antara bangsa itu sebagai bahasa
pembicaraan); bahasa Ibrani abad pertengahan, dari sekitar abad ke 6 sampai abad
ke 13 M., pada waktu banyak kata-kata dipinjam dari bahasa Yunani, Spanyol dan
Arab, dan bahasa-bahasa lain; dan bahasa Ibrani Modern, bahasa dari Israel pada
jaman modern).

1

Dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting Aramaic Myth,
http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm

3|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
The Interpreter’s One-Volume Commentary on the Bible: “After the exile the
everyday language of the Jews came to be Aramaic, ... At first they added it to their
own Hebrew speech and then gradually they gave up using Hebrew except in

worship. ... Before that time the development of the 2 languages was perhaps more
or less parallel. But in the following cents. Aramaic grew to be the official language
of the successive great Assyrian, Neo-Babylonian, and Persian empires. ... When
the Assyrian began their conquests of the Near Eastern world they found Aramaic
dialects spoken over so many of the conquered areas that they began to use a
simplified form of the language for administrative, military, and business
communication. ... When the Chaldeans and later the Persians took over the power
they continued this practice. Even under the successors of Alexander the Great,
Greek only slowly pushed back but did not eliminate Aramaic as the universal
language of the Near East” (Setelah pembuangan, bahasa sehari-hari dari orangorang Yahudi menjadi bahasa Aram, ... Mula-mula mereka menambahkan bahasa
Aram pada bahasa Ibrani mereka sendiri, dan lalu secara bertahap mereka berhenti
menggunakan bahasa Ibrani selain dalam ibadah. ... Sebelum waktu itu
pengembangan dari 2 bahasa itu mula-mula mungkin kurang lebih paralel / sama.
Tetapi dalam abad-abad setelahnya bahasa Aram bertumbuh menjadi bahasa resmi
dari kekaisaran-kekaisaran Asyur, Neo-Babilonia, dan Persia. ... Pada waktu Asyur
memulai penaklukan mereka terhadap dunia Timur Dekat, mereka mendapati
dialek Aram digunakan di begitu banyak daerah sehingga mereka mulai
menggunakan bentuk yang disederhanakan dari bahasa itu untuk komunikasi
administratif, militer, dan bisnis. ... Pada waktu orang-orang Kasdim dan
belakangan orang-orang Persia mengambil alih kekuasaan, mereka melanjutkan

praktek ini. Bahkan di bawah pengganti dari Alexander yang Agung, bahasa
Yunani hanya secara perlahan-lahan mendesak, tetapi tidak menghapuskan bahasa
Aram sebagai bahasa universal dari Timur Dekat) - hal 1197-1198.
Encyclopedia Britannica 2007: “Aramaic is thought to have first appeared among
the Aramaeans about the late 11th century BC. By the 8th century BC it had become
accepted by the Assyrians as a second language. The mass deportations of people
by the Assyrians and the use of Aramaic as a lingua franca by Babylonian
merchants served to spread the language, so that in the 7th and 6th centuries BC it
gradually supplanted Akkadian as the lingua franca of the Middle East. It

4|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
subsequently became the official language of the Achaemenian Persian dynasty
(559–330 BC), though after the conquests of Alexander the Great, Greek displaced
it as the official language throughout the former Persian empire. Aramaic dialects
survived into Roman times, however, particularly in Palestine and Syria. Aramaic
had replaced Hebrew as the language of the Jews as early as the 6th century BC.
Certain portions of the Old Testament - i.e., the books of Daniel and Ezra - are
written in Aramaic, as are the Babylonian and Jerusalem Talmuds. Among the
Jews, Aramaic was used by the common people, while Hebrew remained the
language of religion and government and of the upper class. Jesus and the Apostles

are believed to have spoken Aramaic, and Aramaic-language translations
(Targums) of the Old Testament circulated. Aramaic continued in wide use until
about AD 650, when it was supplanted by Arabic” (Bahasa Aram dianggap mulamula muncul di antara orang-orang Aram sekitar akhir abad 11 SM. Pada abad 8
SM. bahasa itu diterima oleh orang-orang Asyur sebagai bahasa yang kedua.
Pembuangan masal bangsa itu oleh orang-orang Asyur dan penggunaan bahasa
Aram sebagai lingua franca oleh pedagang-pedagang Babilonia menyebabkan
penyebaran dari bahasa itu, sehingga pada abad ke 7 dan ke 6 SM. bahasa itu
menggantikan bahasa Akadian sebagai lingua franca dari Timur Tengah. Setelah
itu, bahasa itu menjadi bahasa resmi dari dinasti Persia Achamenian (559-330 SM.),
sekalipun setelah penaklukan dari Alexander yang Agung, bahasa Yunani
menggantikannya sebagai bahasa resmi di seluruh kekaisaran Persia. Tetapi dialek
Aram tetap hidup pada jaman Romawi, khususnya di Palestina dan Syria. Bahasa
Aram telah menggantikan bahasa Ibrani sebagai bahasa dari orang-orang Yahudi
pada abad 6 SM. Bagian-bagian tertentu dari Perjanjian Lama - misalnya kitabkitab Daniel dan Ezra - ditulis dalam bahasa Aram, sama seperti Talmud-talmud
Babilonia dan Yerusalem. Di antara orang-orang Yahudi, bahasa Aram digunakan
oleh orang-orang biasa, sementara bahasa Ibrani tetap tinggal sebagai bahasa
agama dan pemerintahan dan dari orang-orang kelas atas. Yesus dan rasul-rasul
dipercaya telah berbicara dalam bahasa Aram, dan terjemahan-terjemahan bahasa
Aram (Targum-targum) dari Perjanjian Lama beredar. Bahasa Aram terus
digunakan secara luas sampai sekitar tahun 650 M., pada waktu bahasa itu

digantikan oleh bahasa Arab).

5|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
Kemunculan Yesus di Sinagoga Nazaret dimana Dia membaca dari Kitab Yesaya
61 dan menjelaskan Yesaya 61 yang mengandung pelajaran yang berharga
mengenai penggunaan bahasa Ibrani sebagai bahasa percakapan dan mengajar, Di
kemudian hari, saat Targum diperlukan dalam ibadah Yahudi, diikuti dengan
bentuk penjelasan atas pembacaan tersebut demikian: “Pentateukh Ibrani
dibacakan...satu ayat waktu itu. Kemudian diterjemahkan secara lisan tanpa
keterangan terhadap teks tertulis...terjemahan tersebut diulangi dengan suara
yang rendah dibandingkan pembaca. Semua tindakan pencegahan ini untuk
memastikan khalayak yang tidak terpelajar tidak menyalahpahami terjemehan
Aramaik atas Torah yang asli”2. Namun tidak satupun yang dituliskan sumber di
atas dilakukan saat peristiwa Yesus membaca Kitab Yesaya 61. Pertama “dia
berdiri untuk membaca” kemudian dia bersiap dan “mulai membaca bagi
mereka...kata-kata yang memukau” (Luk 4:16, 20-22).
Tidak ada kata-kata kosong yang diikuti dengan suara yang rendah atau terjemahan.
Hanya pembacaan biasa dari Kitab Suci berbahasa Ibrani yang diikuti dengan
penjelasan yang tegas kepada pendengar sehingga mudah dimengerti oleh
semuanya. Fakta di atas merobohkan asumsi bahwa pembacaan Torah di sinagoga

adalah menggunakan Targum Aramaik.
Kasus logat orang-orang Galilea yang khusus (distinctive Galilean accent) menjadi
bukti berikutnya untuk menunjukkan eksistensi bahasa Ibrani sebagai bahasa
percakapan di zaman Yesus. Mengingat orang-orang Yahudi Yerusalem berbicara
bahasa Ibrani jenis Oxford, sementara orang Galilea berbicara dengan tipe bahasa
Ibrani Scotlandia – maka pengucapannya bahasa Ibraninya berbeda dari sekitarnya.
The Universal Jewish Encyclopedia menuliskan hal ini dalam penelitian mengenai
orang-orang Galilea, “pengucapan bahasa Ibrani yang demikian berbeda dari
orang-orang Yahudi yang berada di Yudea”3
Talmud menyatakan bahwa: “orang-orang Yudea...jelas dalam bahasa
mereka...namun orang-orang Galilea...tidak jelas dalam bahasa mereka...satu kali
beberapa orang Galilea datang mencari sesuatu dan berkata ‘siapa yang memiliki
2

M. L. Klein, Palestinian Targum and Synagogue Mosaics, Immanuel 11 (1980), 37, 38;

3

The Universal Jewish Encyclopedia (New York, 1944), vol. 4, pp. 500, 501;


6|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
amar?’, ‘dasar orang Galilea bodoh!’, mereka berkata padanya, ‘apakah yang
kamu maksudkan seekor keledai (khamor) untuk ditunggangi? Atau anggur
(khamar) untuk diminum? Atau bulu domba (amar)untuk dipakai? Atau domba
(amar) untuk disembelih?”4
Dalam kasus keduanya – yaitu ‘orang-orang Yudea’ dan ‘orang-orang Galilea’ –
bahasa Ibrani yang sama, diucapkan dengan jelas. Namun orang-orang Galilea
berbicara dengan aksen/logat yang berbeda (pengucapan bahasa Ibrani yang
demikian berbeda dari orang-orang Yahudi yang berada di Yudea).
Ada asal usul historis atas perbedaan pengucapan di wilayah tersebut. Pengucapan
“shibboleth/sibboleth” adalah kasus yang dikisahkan dalam Hakim-hakim 12:6
dimana kedua suku berbicara dalam bahasa Ibrani. Namun mereka yang berasal
dari suku Gilead mengucapkan “sh” sementara mereka yang berasal dari suku
Efraim tidak dapat mengucapkan hal tersebut. Selama masa pelayanan Yesus,
naskah Gulungan Laut Mati dengan cara yang sama merefleksikan perbedaan
dialek tersebut. Ahli gulungan-gulungan kuno bernama Elisha Qimron menaruh
perhatian pada “kasus-kasus menyesatkan dari perkataan yang rusak” (illusory
cases of defective spelling).
Itu adalah aksen orang-orang Galilea yang melengkapi contoh-contoh yang sangat
menarik dari “perbedaan tradisi pengucapan” dalam bahasa Ibrani. Sebagaimana

dikatakan oleh Spolsky dan Cooper sbb: “Talmud mendiskusikan dengan
kesungguhan mengenai detail jenis kesalahan yang dibuat penduduk Galilea dalam
jenis bahasa Ibrani mereka...khususnya...pengucapan yang ceroboh yang
menuntun pada kesalahpahaman yang menggelikan”5
Dengan mantap, Matius menaruh perhatian pada aksen orang-orang Galilea, saat
Petrus menolak pada malam penangkapan Yesus sbb: "Pasti engkau juga salah
seorang dari mereka, itu nyata dari bahasamu"(Mat 26:73). Sementara NIV
menerjemahkan sbb: “Surely you are one of them, for your accent gives you
4

Erubin 53a and b, Soncino edition, vol. 5 dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew:
Busting Aramaic Myth, http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm

5

Bernard Spolsky and Robert L. Cooper, The Languages of Jerusalem (Oxford,
Clarendon Press, 1991), p. 22

7|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
away”(sesungguhnya kamu adalah salah satu dari mereka, karena logatmu

menunjukkan asal usulmu).
Dari kutipan ayat di atas kita mendapatkan dua hal sebagai bukti diri. Pertama,
orang-orang Yerusalem yang berdekatan dengan Petrus mengerti penolakkan
Petrus, meskipun mereka mencurigainya, oleh karenanya mereka semestinya
berbicara dalam bahasa yang sama dengan Petrus. Kedua, mereka mengakui logat
Galilea Petrus seperti penduduk London akan segera mengakui Skotlandia
sekarang ini. Sekalipun pengucapan tidak jelas namun menggunakan bahasa yang
sama. Tentu saja tidak ada yang mengakui logat yang berbeda jika bahasanya
berbeda.
Saat seseorang menunjukkan pada Gamaliel sebuah salinan dari terjemahan
Aramaik Kitab Ayub, yang tersedia waktu itu adalah Targum. Dengan rasa jijik
oleh kitab itu, dia berkata kepada tukang bangunan, “bakar itu di bawah
reruntuhan”6. Mengapa demikian? Ini terkait dengan pemahaman mengenai
eksistensi bahasa Aramaik. Misnah mengatakan, “Di Negeri Israel, mengapa
menggunakan lidah Aramaik? Salah satu adalah Bahasa Suci (Ibrani) atau yang
lainnya lidah Yunani”7. Bahasa Aramaik, tidak “bergengsi” dan “diperintahkan
untuk tidak dipergunakan” sebagaimana penelitian Safrai dan Stern, sementara itu
Bahasa Ibrani memiliki keduanya. Di waktu lain juga dikatakan dalam Talmud,
mengenai pelarangan untuk menyelamatkan berbagai manuskrip dalam Bahasa
Aramaik yang terbakar di hari Sabat, sementara dibandingkan dengan teks-teks

berbahasa Ibrani, itu diperbolehkan8. Meninggalkan Sinagog selama pembacaan
Kitab dalam bahasa Ibrani, dilarang. Namun tidak demikian saat pembacaan dalam
bahasa Aramaik9. Mengingat Kitab Suci dalam bahasa Aramaik saja tidak cukup,

6

b Shabbat 115a, j Shabbat 16:15c dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting
Aramaic Myth, http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm

7
Tracate Sotah 49 b dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting Aramaic Myth,
http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm
8

9

E. Levine, The Biography of the Aramaic Bible, in Z.A.T.W., vol. 94, (1982), p. 358.

Megillah 4, 4 dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting Aramaic Myth,
http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm

8|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
sementara mendengar pembacaan dalam Bahasa Ibrani, meskipun tidak mengerti
kata tersebut, adalah suatu kewajiban10.
Bagi orang-orang Yahudi, Bahasa Ibrani merupakan “Bahasa Suci” sementara
Bahasa Aramaik dianggap sebagai “Bahasa kekuatan Setan”11. Tempat bagi Bahasa
Aramaik adalah untuk “upacara penguburan”. Namun Bahasa Ibrani termasuk
urutan tinggi dari percakapan harian (untuk berbicara) dan ibadah. Sehingga bagi
seorang ayah Yahudi yang tidak berbicara kepada anaknya “dalam Bahasa Ibrani”,
mulai dari anak tersebut belum bisa berjalan sampai mengajar dia akan Torah, maka
ayah ini seolah-olah “telah menguburkan anak tersebut”12. Adapun mengenai
Bahasa Aramaik, justru berlaku sebaliknya, para rabbi malah memperingatkan
demikian: “Siapapun membuat permintaan pribadi dalam Bahasa Aramaik, para
malaikat yang melayani tidak akan menaruh perhatian, karena para malaikat tidak
mengerti Bahasa Aramaik”13.
Demikian pula para rasul khususnya Rasul Paul tetap berbicara dalam bahasa Ibrani
sebagaimana dilaporkan dalam Kitab Kisah Para Rasul berikut ini:
Kisah Rasul 21:40, “Sesudah Paulus diperbolehkan oleh kepala pasukan, pergilah
ia berdiri di tangga dan memberi isyarat dengan tangannya kepada rakyat itu;

10

D.H. Aaron in The Blackwell Reader in Judaism, ed. J. Neusner and A.J. Avery-Peck
(Blackwell, 2001), 204.
11

Zohar, Exodus 129 dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting Aramaic Myth,
http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm
12

Sifre, Deut. 46, dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting Aramaic Myth,
http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm
13

b Sota 33a; b Shabbat 12b dalam Brent Minge, Jesus Spoke Hebrew: Busting Aramaic
Myth, http://sharesong.org/JESUSSPOKEHEBREW.htm

9|Buletin IJI Vol 4/Oktober 2016
ketika suasana sudah tenang, mulailah ia berbicara kepada mereka dalam bahasa
Ibrani, katanya:...”
Kisah Rasul 26:14, “Kami semua rebah ke tanah dan aku mendengar suatu suara
yang mengatakan kepadaku dalam bahasa Ibrani: Saulus, Saulus, mengapa
engkau menganiaya Aku? Sukar bagimu menendang ke galah rangsang”
Yohanes 5:2, “Di Yerusalem dekat Pintu Gerbang Domba ada sebuah kolam, yang
dalam bahasa Ibrani disebut Betesda; ada lima serambinya”
Perhatikan semua kalimat yang saya beri cetak tebal. Dalam teks Yunani dituliskan
sbb:
τη εβραιδι διαλεκτω λεγων (te hebraidi dialektoo legoon, Kis 21:40)
λεγουσαν τη εβραιδι διαλεκτω (legousan te hebraidi dialektoo, Kis 26:14)
επιλεγομενη εβραιστι βηθζαθα (epilegomene hebraisti bethzatha, Yoh 5:2)
Apa yang dimaksudkan dengan Hebraidi Dialektoo? Mengutip pandangan J.M.
Grintz dalam Journal of Biblical Literatur, 1960, D. Bivin dan R. Blizzard
mengatakan sbb: “Penyelidikan atas tulisan Yosephus (ahli sejarah bangsa Yahudi
Abad I Ms, red) menunjukkan tanpa keraguan bahwa kapan saja Yosephus
menyebut (lidah Ibrani) dan Ebraion Dialekton (dialek Ibrani) dia selalu
memaksudkan artinya, “bahasa Ibrani” dan bukan bahasa lain”14.

14

Understanding the Difficult Word of Jesus, 2001, p.42

10 | B u l e t i n I J I V o l 4 / O k t o b e r 2 0 1 6

INDONESIAN JUDEOCHRISTIANITY INSTITUTE
Indonesian Judeochristianity Institute (IJI) adalah organisasi yang didirikan
dengan maksud dan tujuan sbb:
1. Menghadirkan Kekristenan dengan corak Semitik Yudaik sebagai akar
historisnya. Corak Semitik Yudaik tersebut dijabarkan dalam Pokok
Keimanan (Akidah/Emunah) dan Tata Peribadatan (Ibadah/Avodah) serta
Perilaku Hidup (Akhlaq/Halakah)
2. Mengisi kesenjangan materi terkait Yudaisme sebagai akar Kekristenan
awal, dalam berbagai kajian dan kurikulum Teologi
3. Melakukan berbagai kajian kritis dan teologis terhadap Kitab Suci dengan
pola pikir Ibrani
4. Menghadirkan penafsiran baru terhadap Torah dan relevansinya terhadap
Kekristenan masa kini
5. Melakukan kajian-kajian mengenai hubungan Kekristenan awal dengan
kebudayaan Semitik
6. Memperkokoh Teologi Judeochristianity

11 | B u l e t i n I J I V o l 4 / O k t o b e r 2 0 1 6
7. Membantu pemerintah dalam pembangunan mental dan spiritual bangsa
dalam rangka pembinaan manusia Indonesia seutuhnya
Sebelumnya organisasi ini bernama Forum Studi Mesianika (FSM). Berdasarkan
rapat anggota yang diselenggarakan pada tanggal 29 Juli 2012 lalu, maka Forum
Studi Mesianika (FSM) berganti nama menjadi Indonesian Judeochristianity
Institute (IJI).
Salah satu usaha untuk mencapai beberapa tujuan di atas diantaranya adalah
menerbitkan buletin berkala sebagai wujud komunikasi dan pembelajaran anggota
IJI.

Indonesian Judeochristianity Institute (IJI)
Email: derekhatov@gmail.com
Website: www.messianic-indonesia.com
Facebook:Messianic Indonesia (Indonesian Judeochristianity Institute)
Donasi dan Informasi: 0817463816