Identifikasi Perayapan Tanah Soil Creepi
Identifikasi Perayapan Tanah (Soil Creeping) Penyebab Longsor Di Distrik Ilaga
Kabupaten Puncak, Papua
ABSTRAK
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting, sering juga disebut
gerakan massa (mass movement), hal tersebut merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi
akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak yang dapat
ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk
dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor
sehingga dapat menjadi rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian
longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran
geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat
diketahui penggunaan lahan seperti apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Distrik Ilaga ada 2 macam yaitu rayapan tanah (soil
creeping) lalu yang terdapat pada beberapa lokasi dan penurunan muka tanah yakni amblesan (subsidence)
yang terjadi pada 3 lokasi berbeda yakni Kp Kimak, Kp Tagaloa, dan Kp Kago. Gerakan perayapan tanah
(Soil Creeping) merupakan suatu proses perpindahan masa batuan atau tanah akibat gaya berat (gravitasi).
Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian ahli geologi karena dampaknya banyak menimbulkan
korban jiwa maupun kerugian harta benda. Tidak jarang pemukiman yang dibangun di sekitar perbukitan
kurang memperhatikan masalah kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses-proses geologi yang terjadi di
kawasan tersebut sehingga secara tidak sadar potensi bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam
jiwanya.
Kata kunci : mass wasting, landslide, soil creeping, geologi
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tanah mempunyai peranan penting pada suatu lokasi pekerjaan konstruksi. Tanah
merupakan pondasi pendukung suatu bangunan, atau bahan konstruksi dari bangunan itu seperti
tanggul waduk, atau terkadang sebagai penyebab gaya luar pada bangunan seperti tembok atau
dinding penahan tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi mempunyai karakteristik dan
sifat yang berbeda. Tanah sebagai dasar berdirinya suatu bangunan sering mengalami pergerakan
tanah, khususnya pada tanah dengan kondisi lunak. Di Indonesia, masalah pergerakan tanah
terjadi karena berbagai faktor, diantaranya keadaan geografi, topografi, morfologi, struktur
geologi, sifat kerembesan tanah, dan daerah potensi gempa. Hal ini masih ditunjang dengan
1
minimnya kesadaran masyarakat akan bahaya gerakan tanah dengan melakukan tindakan yang
memicu terjadinya kelongsoran tanah.
Bencana alam merupakan peristiwa alam yang dapat terjadi setiap saat dimana saja dan
kapan saja, yang menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat.
Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang umumnya terjadi di wilayah
pegunungan (mountainous area), terutama di musim hujan yang dapat mengakibatkan kerugian
harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya
seperti perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial
masyarakatnya dan menurunnya perekonomian di suatu daerah.
Gerakan perayapan tanah (Soil Creeping) merupakan suatu proses perpindahan masa
batuan atau tanah akibat gaya berat (gravitasi). Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian
ahli geologi karena dampaknya banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda.
Tidak jarang pemukiman yang dibangun di sekitar perbukitan kurang memperhatikan masalah
kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses-proses geologi yang terjadi di kawasan tersebut
sehingga secara tidak sadar potensi bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam jiwanya.
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran
kasar dan halus, jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup
lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring
ke bawah.
Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya ikat
(kohesi) tanah atau batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah atau batuan dapat terlepas
dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya
membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah atau batuan dapat disebabkan
oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah atau batuan maupun
rekahan yang intensif dari masa tanah atau batuan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang
dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran tanah dapat terdiri dari berbagai faktor yang
kompleks seperti kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah atau batuan karena masuknya
air hujan, tutupan lahan serta pola pengolahan lahan, pengikisan oleh air yang mengalir (air
permukaan), ulah manusia seperti penggalian dan lain sebagainya.
Kabupaten Puncak adalah sebuah kabupaten di Provinsi Papua, Indonesia. Kabupaten ini
dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008,
2
bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Ditrik Ilaga merupakan salah
satu dari 8 distrik lainnya yang ada di Kabupaten Puncak Papua. Luas wilayah Kabupaten
Puncak sebesar 8.055 km2, total kepadatan penduduk kabupaten puncak mencapai 60.294 jiwa
dan terletak pada ketinggian 2700 mdpl. Curah hujan Distrik Ilaga Kabupaten puncak mencapai
4000-4500mm dengan kelembapan 80%. Distrik Ilaga menjadi daerah dengan potensi bencana
longsor, dikarenakan pada daerah tersebut terletak pada dataran tinggi dan banyaknya topografi
curam berpotensi longsor dalam skala kecil bahkan besar pada daerah-daerah tertentu.
Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor tersebut, maka
identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan agar dapat diketahui
penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor pada daerah-daerah di
Indonesia serta sebagai langkah awal pencegahan kejadian longsor nantinya dan merupakan
langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor. Identifikasi
daerah kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor
dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah
terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap
karakteristik lahan dan geologinya.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui karakter dan pola longsor yang terjadi di daerah Distrik Ilaga.
2.
Mengidentifikasi pergerakan tanah (soil creeping) dan mengevaluasi penyebabpenyebab terjadinya longsor di Distrik Ilaga.
3.
Menentukan fakfor-faktor penyebab utama terjadinya longsor di Ilaga, Puncak.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari seminar ini adalah memberikan informasi tentang
gambaran penyebab-penyebab longsor berdasarkan kejadian longsor yang telah terjadi sehingga
mampu menjadi rujukan dalam pencegahan dan mitigasi bencana tanah longsor.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tanah Longsor
Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan
atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Peristiwa tanah
longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada
lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan
menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah.
Berdasarkan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa
tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai massa tanah atau
material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak
sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang
pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam
volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-bentuk erosi lainnya (erosi
lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode
yang sangat pendek. Sedangkan menurut Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis
gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan (debris
avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan
(seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun
lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau penimbunan.
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting
yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa
batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi.
Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih
rendah. Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa
faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan
lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antar mineral akan semakin
lemah, sehingga memungkinkan partikel- partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain
4
itu air juga akan menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk
menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.
2.2 Tipe longsor
Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya dapat
dibagi menjadi 6 (enam) jenis yaitu :
5
6
Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan
permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan
tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor
daya dukung tanahnya ataupun pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif
cepat. Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah
(pada sistem akuifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik, sedangkan tekanan antar
batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun. Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada
daerah dataran yang dibangun oleh batuan atau tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).
2.3 Macam tipe longsoran aliran lambat (slow flowage)
Slow flowage adalah jenis mass wasting yang gerakannya sangat lambat dan tidak dapat dilihat
oleh mata, meskipun dapat diketahui gejala-gejalanya. Menurut (John Wiley & Sons,2004) Gejalagejala mass wasting antara lain daerahnya miring dan terdapat pepohonan yang batangnya bengkok ke
atas. Peristiwa mass wasting jenis ini dikenal dengan istilah rayapan massa (creep), jika material yang
merayap hanya berwujud tanah maka rayapan tersebut dinamakan rayapan tanah (soil creep).
1. Rayapan (Creep): perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng dengan
pergerakan yang sangat lambat.
2. Rayapan tanah (Soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng
3. Rayapan talus (Talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material talus/scree.
4. Rayapan batuan (Rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-blok batuan.
5. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari
limbah batuan.
6. Soil fluction/Liquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material
debris batuan yang jenuh air.
Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan menjadi beberapa
macam atau tipe antara lain :
7
1.
Jenis jatuhan
Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas tebing.
Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng terjal.
2.
Longsoran
Longsoran yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan bidang
longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan bidang longsoran
melengkung, biasanya gerakannya cepat dan mematikan karena tertimbun material
longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran mendatar gerakannya
perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya.
3.
Jenis aliran
Jenis aliran yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air. Kecepatan aliran
bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis materialnya. Umumnya gerakannya
di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa
tempat bahkan sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api.
Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
4.
Gerakan tanah gabungan
Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran dengan aliran
atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang banyak terjadi di
beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup tinggi.
2.4 Penyebab Longsor
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan
tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan
pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alami dan
manusia. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor
dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor,
yaitu :
A. Faktor alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
a.
Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, lereng
yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan lipatan), gempa
bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang
8
berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi,
tektonik).
b.
Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan tanah
pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.
c.
Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan di atas normal)
d.
Keadaan topografi: lereng yang curam.
e.
Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam,
pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah tanah pada sungai
f.
Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di
tanah kritis.
B. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :
a.
Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b.
Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c.
Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d.
Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang
menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah menjadi
lembek
e.
Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f.
Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g.
Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga
RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
h.
Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin terjal
akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.
i.
Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu
beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau
material longsoran lama pada tebing.
j.
Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran.
Arsyad (1989) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan bergeraknya
sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume
9
tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau
mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran
akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :
a.
Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah,
b.
Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan lunak,
yang akan menjadi bidang luncur.
c.
Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air dapat berupa
tanah
liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi, atau dapat juga berupa
lapisan
batuan.
Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis merupakan
kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal,
sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan
tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng
(Surono, 2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi,
keadaan vegetasi, curah hujan atau hidrologi, dan aktivitas manusia di wilayah tersebut.
Berdasarkan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981), faktor-faktor penyebab
terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut :
a. Topografi atau lereng,
b. Keadaan tanah atau batuan,
c. Curah hujan atau keairan,
d. Gempa atau gempa bumi,
e. Keadaan vegetasi atau hutan dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan
besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah longsor
ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor- faktor ini satu sama lainnya. Pada dasarnya
sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang
membentuk lahan miring. Lereng atau lahan yang kemiringannya melampaui 20˚ (40%),
umumnya berbakat untuk bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang
10
miring berpotensi untuk longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian longsor,
dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu:
a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak.
b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi.
c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Agustus 2014, pada
periode KKN antar semester 2014 dengan lokasi penelitian dan pengambilan data di daerah
kejadian longsor Distrik Ilaga Kabupaten Puncak.
3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan
Peralatan yang digunakan adalah Perangkat Keras (hardware) terdiri dari personal
computer dan printer. Perangkat lunak (software) terdiri dari ArcView 3.2, Mapsource, dan MsOffice, selain itu dalam pengambilan data bio-fisik lapangan juga digunakan suunto clinometer,
meteran, GPS (Global Positioning System) Garmin 12 XL, kamera digital, kalkulator, dan alat
tulis.
Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan diantaranya adalah peta digital Kabupaten
Puncak hasil Interpretasi Citra satelit (landsat SPOT 5) tahun 2012 berbagai layer dan Peta
Geologi Lembar Papua Skala 1: 100.000
3.3 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data spatial dan data atribut (data curah hujan) yang
diperoleh dari beberapa instansi terkait. Pengamatan dilakukan di lokasi longsor, adapun data
peta yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :
a.
Peta Rupa Wilayah Administratif Kabupaten Puncak Tahun 2012 skala 1:25.000
diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Puncak.
b.
Peta Rupa Jenis Tanah Kabupaten Puncak Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh
dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Puncak.
11
c.
Peta Rupa Geologi Kabupaten Puncak Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh dari
Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Puncak.
d.
Data Atribut Kejadian Longsor di Kawasan Puncak, Papua diperoleh dari KPH Papua
e.
Peta Titik Lokasi Kejadian Longsor Hasil Pengolahan Data Pemetaan di Lapangan
dengan Menggunakan GPS.
3.4 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan
Pengumpulan data di lapangan dilakukan secara langsung melalui kegiatan survey dan
pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan dokumentasi yang bertujuan mencatat sifatsifat fisik di lapangan. Pengamatan dan pengumpulan data lapangan dilakukan setelah faktorfaktor penyebab terjadinya tanah longsor dapat teridentifikasi. Proses identifikasi dan pemilihan
parameter yang diamati berdasarkan atas kondisi wilayah penelitian dan hasil kajian pustaka.
Dalam hal ini pertimbangan teoritis (hasil studi pustaka) dan faktor kondisi fisik wilayah
penelitian menjadi acuan dalam menetapkan berbagai faktor penyebab tanah longsor. Kondisi
wilayah yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan suatu parameter antara lain :
1)
Kondisi Longsor (landslide), yaitu : tipe longsor, kondisi zona (wilayah) di sekitar
lokasi atau titik longsor, dan luasan area kejadian longsor.
2)
Keadaan vegetasi yaitu : jenis vegetasi tutupan lahan (land cover) dan jenis tanaman.
3)
Karakteristik fisik tanah, yaitu : ketebalan tanah (solum), tekstur tanah, dan struktur tanah
pada lokasi kejadian longsor
4)
Kelerengan yaitu slope (kemiringan lereng)
5)
Bentang Lahan (landform), yaitu : material longsor, bentang lahan (bentuk lahan)
6)
Penggunaan lahan (landuse), yaitu : kebun campuran, tegakan campuran, semak belukar,
dan lading atau tegalan.
7)
Usaha Konservasi, yaitu : upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya
bahaya longsor : pembuatan teras, pembuatan saluran air, dan pembangunan.
3.5 Pengolahan Data
Pengolahan data adalah merupakan tahapan pekerjaan menyusun dan merangkaikan
berbagai jenis data menjadi satu susunan data yang sistematik dan terinci menurut fungsi,
12
klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya. Data yang diperoleh dikelompokkan menurut
jenisnya. Data yang diperoleh terdiri dari :
1.
Data atribut hasil analisis data spatial.
2.
Data bio-fisik hasil pengukuran, pengamatan, dan pengujian di lapangan (tekstur tanah,
struktur tanah, kemiringan lereng, ketebalan tanah)
3.
Data sosial, ekonomi dan budaya, jumlah penduduk, produktivitas pertanian, mata
pencaharian, budaya dan agama, dan sebagainya
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran umum lokasi
a. Letak dan Luas
Kabupaten Puncak adalah sebuah kabupaten di Provinsi Papua, Indonesia. Kabupaten ini
dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008,
bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Ditrik Ilaga merupakan salah
satu dari 8 distrik lainnya yang ada di Kabupaten Puncak Papua. Luas wilayah Kabupaten
Puncak sebesar 8.055 km2 , total kepadatan penduduk kabupaten puncak mencapai 60.294 jiwa
dan terletak pada ketinggian 2700 mdpl. Curah hujan Distrik Ilaga Kabupaten puncak mencapai
4000-4500 mm dengan kelembapan 80%. Distrik Ilaga menjadi daerah dengan potensi bencana
longsor, dikarenakan pada daerah tersebut terletak pada dataran tinggi dan banyaknya topografi
curam berpotensi longsor dalam skala kecil bahkan besar pada daerah-daerah tertentu. Lokasi
pengamatan dilakukan di Distrik Ilaga Kabupaten Puncak, Papua. Wilayah distrik tersebut
terletak disebelah utara kabupaten Puncak.
b. Karakteristik tanah
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan, terdapat
beberapa jenis tanah di Distrik Ilaga, dengan jenis tanah yang memiliki luasan terbesar yaitu
asosiasi latosol coklat dan latosol kemerahan (50,01%) dan kompleks latosol merah kekuningan
latosol coklat kemerahan dan litosol (38,4 %), serta sebaran tanah Inceptisol pada daerah-daerah
dataran tinggi sebersar (25,01%) (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Statistik, 2010).
13
c. Batuan dan Geologi
Secara geologis sebagian besar lahan Kabupaten Puncak tersusun dari batuan gunung api
berupa produk gunung api muda dan gunung api tua (lempung lanaunan, lanau lempungan,
lempung pasiran dan bongkah pasiran) yang meliputi 36 % wilayah, batuan sedimen (47 %
wilayah), serta sedikit gamping, endapan permukaan, dan batuan intrusi.
Berdasarkan Peta Digital Sebaran Geologi Kabupaten Puncak, jenis batuan induk dan
jenis tanah di Distrik Ilaga ialah :
No
Jenis Tanah
ketinggian (m)
Presentase (%)
1.
Lempung Lanaunan
2640
25,5
2.
Lanau lempungan
2508
23,5
3.
Lempung pasiran
2256
34,5
4.
Bongkah pasiran
2316
16,5
Total
100
Sumber : Peta Sebaran Geologi Teknik Ditrik Ilaga, Survey KKN PPM UGM 2014
4.2 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor
14
Kejadian longsor di Distrik Ilaga terjadi di 3 Desa yaitu Kampung Kago, Kampung
Kimak, Kampung Tagaloa. Kejadian beberapa kasus terjadi pada bukit dengan dataran cukup
curam, terutama dengan tingkat kemiringan 60-70 %.
4.3 Karakteristik Longsor Pada Distrik Ilaga
Berdasarkan hasil pengamatan ketika survey lokasi, terdapat 2 karakteristik longsor yang
ditemukan, yaitu 1) Rayapan Tanah (Soil Creeping) dan 2) penurunan tanah atau amblesan
(subsidence). Tipe longsor rayapan tanah (soil creeping) merupakan tipe gerakan tanah luncuran
ke bawah berupa perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang umumnya berbentuk lengkung
(rotasional). Rayapan Tanah juga dapat diartikan sebagai jenis tanah longsor yang bergerak
lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus, jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat
dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang
telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Contoh gambar terjadinya longsoran akibat rayapan tanah (Soil Creeping)
Menurut Wahyu Wilopo dan Priyono Suryanto ( 2005) sistem pertanaman dengan model
agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang efisien. Konsep
kesetimbangan air dalam agroforestri mendudukan agroforestri pada posisi yang strategis untuk
mengurangi peluang peran air dalam terjadinya tanah longsor. Namun, pemilihan jenis pohon
atau tegakan pun harus disesuaikan dengan kondisi tiap daerah serta harus memperhatikan aspek
litologis, geologis, ekonomis, dan kelerengannya. Hal ini dikarenakan kejadian longsor juga
ternyata terjadi pada daerah dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang
15
memiliki kerapatan tinggi seperti pada kasus longsor di Kp.Tagaloa. Pepohonan yang terdapat
pada lokasi longsor tersebut diantaranya adalah pohon Jeruk, pohon beringin, serta pohon-pohon
penghasil kayu dan rumpun bambu. Keadaan penutupan vegetasi berupa tegakan campuran yang
memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata malah menambah beban lereng terutama
ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat. Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak
menancap pada batuan dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut
ditimpa hujan yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin
kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal inilah yang
menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya menyebabkan longsor.
Gambar : Kelerengan distrik Ilaga
4.4 Kemiringan Lereng dan Topografi
Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor adalah
kemiringan lereng. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor, dimana makin
curam lereng, makin besar dan makin cepat longsor terjadi. Kemiringan dan panjang lereng juga
merupakan 2 unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi
(Arsyad, 1989). Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila lereng
semakin curam atau semakin panjang, apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran
permukaan meningkat, sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula, dan lereng yang semakin
panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar. Selanjutnya, Wahyunto
(2003) menambahkan bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng,
makin tinggi kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya.
16
Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk longsor, hal
ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng
terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk pemukiman, dan perkantoran maupun semak
belukar terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat
mengakibatkan tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan
tanah atau rayapan tanah (soil creeping). Kondisi litologi atau bahan induk yang berupa batuan
dan tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan tanah. Serta
kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya gerakan
tanah atau kelongsoran (kecepatannya tergantung dari tekstur dan struktur tanah).
4.5 Karakteristik Tanah
Berdasarkan hasil tumpangsusun (overlay) antara peta lokasi kejadian longsor dan peta
tanah tinjau, terdapat 3 jenis tanah yang ditemukan pada lokasi kejadian longsor yaitu jenis tanah
gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan, dan jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol serta Inceptisol keabuan. Jenis tanah yang
paling luas ditemukan di distrik Ilaga adalah jenis gabungan antara latosol coklat dan latosol
kemerahan. Tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang
gembur dan tetap dari atas sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Tanah ini
mempunyai tingkat permeabilitas yang tinggi, sifat tersebut menyebabkannya mempunyai
tingkat kepekaan terhadap erosi yang kecil. Menurut Arsyad (1971), beberapa sifat-sifat tanah
lainnya yang mempengaruhi bencana longsor adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik,
sifat lapisan bawah, kedalaman tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Tekstur, struktur tanah, dan
kedalaman tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah
oleh air.
Tanah lempung sangat mudah menyerap atau meresapkan air hujan terutama dalam
kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan batuan terutama batuan
gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini memiliki komposisi sebagian besar
lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir
merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah
berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap
air pada perbukitan atau punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi
mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada musim hujan dengan curah
17
hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan
dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor.
Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung liat dalam
jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori
lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran
permukaan dan erosi yang hebat atau sering disebut sebagai longsor.
Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu berlebihannya
kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai penahan, seperti pepohonan.
Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi (tidak sarang) akan memiliki tingkat kestabilan
yang tinggi pula. Tanah di lokasi kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai
dengan butiran kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau
granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat daripada yang
berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal ini menyebabkan struktur
tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama
yang akhirnya berdampak pada terjadinya longsor.
4.6 Pergerakan Tanah
Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan
dengan terjadinya gempa yang memicu gerakan tanah. Menurut masyarakat setempat kejadian
longsor didahului dengan terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah ini memicu terjadinya
lungsuran material longsor berupa tanah dan batuan yang berasal dari badan lereng perbukitan
Gunung kelabu. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain kondisi
lapisan tanah berupa lempung, lempung berpasir, yang mempunyai sifat mengembang (swelling
clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi kering sangat rentan terhadap terjadinya
gerakan tanah. Berdasarkan prinsip fisika-kimia lempung, interaksi antara lapisan tipis lempung
dan air (clay water interaction) merupakan fenomena fisika-kimia tanah lempung yang sangat
menarik. Masuknya air di antara fraksi lempung atau partikel ikatan silikat lempung tertentu
terutama montmorillonite, vermiculite, dan illite, akan menyebabkan membesarnya jarak antar
fraksi lempung dan mengakibatkan kenaikan volume tanah atau mengembang (Hermawan & Tri
Endah Utami, 2003).
18
Akibat dari peristiwa gerakan tanah terjadi banyak sekali kerusakan pada bangunan
pemukiman penduduk karena terjadinya pergeseran pondasi bangunan berupa retakan-retakan
atau patahan yang terlihat jelas pada beberapa kejadian longsor seperti di Kp. Kimak, Kp.
Tagaloa, Kp. Kago. Umumnya kasus longsor dengan patahan akibat gerakan tanah ini
berkarakteristik longsor berupa rayapan tanah (Soil creeping). Adapun terjadinya amblesan pada
kejadian longsor tersebut telah membentuk suatu gawir dengan tanah turun sedalam 0,5-4 m.
kejadian pergerakan tanah terjadi cukup lama seiring cuaca pada kondisi sekitar. Amblesan atau
rayapan tanah ini dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah
sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Penurunan
lapisan tanah ini biasa terjadi secara alami dalam waktu yang lama (lambat). Akan tetapi, proses
ini dapat berjalan lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung
tanahnya. Akibat beban di atasnya, lapisan tanah ini akan termampatkan dan permukaan tanah di
atasnya akan menurun. Pada kasus kejadian longsor di Distrik Ilaga, terjadinya dengan
karakteristik amblesan atau penurunan tanah ini selain dipicu adanya gerakan tanah juga
dikarenakan padatnya pemukiman di sekitar lokasi kejadian longsor yang membebani lereng
misalnya yang terjadi di Kp. Kimak dan Kp Tagaloa.
4.7 Geologi atau Batuan Induk
Menurut Sutikno (2000), struktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor
adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan,
sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring. Berdasarkan interpretasi Peta Geologi
Lembar Beoga, Kabupaten Puncak daerah penelitian terletak pada wilayah patahan dan sesar
(fault) terutama pada kawasan Gunung Kelabu serta memiliki struktur geologi berupa antiklin
dan sinklin yang terdapat pada Formasi Jayawijaya. Selain itu, adanya lapisan batupasir tufaan
dan batu lempung yang kedap air menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian,
karena lapisan batuan tersebut berperan sebagai bidang lincir gerakan tanah.
19
Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik tanah atau batuan, susunan
dan kedudukan batuan, serta struktur geologi. Struktur geologi atau batuan merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya longsor. Menurut Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi
andesit dan breksi merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air.
Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai bidang gelincir
untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur
tanah lempung pasiran maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi
rawan longsor.
Lereng-lereng di lokasi kejadian longsor pada permukaannya juga tertutup tanah lempung
pasiran hasil pelapukan lapisan batu andesit dan breksi andesit. Adapun sifat tanah lempung
pasiran ini bersifat plastis dalam kondisi basah atau dapat mengembang. Namun, dalam kondisi
kering lapisan tanah ini menjadi pecah-pecah. Oleh karena itu, ketika musim hujan tiba, air hujan
cenderung mengalir melalui lereng-lereng curam yang ada di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak
ini. Namun, selama melalui lereng ini air hujan ini tak dapat meresap lebih dalam karena
terhalang oleh batuan andesit. Akibatnya, air hujan akan terakumulasi di sekitar lereng dan akan
terus mendorong lapisan tanah lempung yang ada di atasnya hingga terjadilah peristiwa longsor.
Faktor tekstur tanah turut berperan sebagai pemicu longsor dalam kaitannya dengan
kondisi geologis yang ada. Tanah bertekstur lempung berpasir dan dikombinasikan dengan
20
batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta dengan kemiringan yang curam, maka
akan menjadikan daerah tersebut rawan longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam
meningkatkan infiltrasi tanah. Jika tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi
lebih berat.
Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang
menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah penelitian tersusun dari
breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan batupasir serta lempung hitam yang
bagian permukaannya telah mengalami pelapukan berupa lempung pasiran dan lempung lanauan
yang cukup tebal. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang
mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa
hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka air
yang masuk akan tertahan dan tanah pada kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir
menjadi longsor.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1.
Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Distrik Ilaga ada 2 macam yaitu rayapan
tanah (soil creeping) lalu yang terdapat pada beberapa lokasi dan penurunan muka tanah
yakni amblesan (subsidence), yang terjadi pada 3 lokasi berbeda yakni Kp Kimak, Kp
Tagaloa, dan Kp Kago.
2.
Slow flowage adalah jenis mass wasting yang gerakannya sangat lambat dan tidak dapat dilihat
oleh mata, meskipun dapat diketahui gejala-gejalanya.
Gejala-gejala mass wasting antara lain
daerahnya miring dan terdapat pepohonan yang batangnya bengkok ke atas. Peristiwa mass
wasting jenis ini dikenal dengan istilah rayapan massa tanah (creep), jika material yang merayap
hanya berwujud tanah maka rayapan tersebut dinamakan rayapan tanah (soil creep).
3.
Faktor penyebab terjadinya rayapan tanah tanah (soil creeping) di lokasi ini antara lain
kondisi lapisan tanah berupa lempung dan lempung berpasir yang mempunyai sifat
mengembang (swelling clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi kering sangat
rentan terhadap terjadinya rayapan tanah.
21
b. Saran
1.
Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi penyebab longsor dan
upaya konservasi dalam mencegah terjadinya longsor di Ditrik Ilaga, Kabupaten
Puncak, Papua.
2.
Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi pencegahan
longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan.
3.
Rencana pemerintah untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal pada kawasan
rawan longsor perlu segera direalisasikan untuk mencegah timbulnya korban jiwa pada
bencana yang akan datang.
22
DAFTAR PUSTAKA
Agus Setyawan, Wahyu Wilopo, Supriyanto Suparno. 2006. Mengenal Bencana Alam Tanah
Longsor dan Mitigasinya. http://www.io.ppi- jepang.org/article.php?1d=196 [1 oktober
2014].
Anonim. 2007. Pencegahan Gerakan Tanah Dengan Identifikasi Zona Rentan. http://www.dinfokom-jatim.go.id/news.php?id=11029 [30 september 2014]
Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo, Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M. 2001. Aplikasi Citra
Satelit Dalam Penentuan Dareah Rawan Bencana Longsor. Pusat Penelitian Geoteknologi
LIPI, Bandung.
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia. Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi. Jakarta.
[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen Bencana
Tanah Longsor. http://www.pikiran- rakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm [30
oktober 2014].
[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan Gerakan
Tanah. http://www.merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.htm [30
september 2014].
Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Pusdi Kebumian
LEMLIT UNDIP, Semarang.
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.
Hermawan dan Tri Endah Utami. 2003. Proses Soil Softening pada Bidang Diskontinuitas:
Faktor Utama Longsoran Besar. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei
2003. Hal 44-51.
Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau Jawa Tahun 2001.
BPPT. Jakarta.
Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Paripurno, ET. 2006. Pengenalan Longsor Untuk Penanggulangan Bencana. Di dalam: [UNDP]
United Nation Development Program. Pustaka Pelajar dan Oxfam B.G., penerjemah;
23
Purwowidodo. 2003. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan : Mengenal Tanah. Laboratorium
Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Sumberdaya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol
Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.
Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi
Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.
Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan
Tanah. Jakarta.
_______. 2001. Tanah Longsor Goyang Pulau Jawa. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi. Bandung.
Wahyono.2003. Evaluasi Geologi Teknik Atas kejadian Gerakan Tanah di Kompleks Perumahan
Lereng Bukit Gombel-Semarang. Kasus Longsoran Gombel, 8 Februari 2002. Buletin
Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 32-43
Wahyu Wilopo, Priyono Suryanto. 2005. Agroforestri Alternatif Model Rekayasa Vegetasi Pada
Kawasan Rawan Longsor. J Hutan Rakyat 7 (1) : 1-15.
Wulandary, Anna. 2004. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah Terhadap Kondisi Sub DAS
Cisadane Hulu Meliputi Aliran Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Mempergunakan
Model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model). Skripsi .
24
Kabupaten Puncak, Papua
ABSTRAK
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting, sering juga disebut
gerakan massa (mass movement), hal tersebut merupakan perpindahan massa batuan, regolith, dan tanah
dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi. Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi
akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih rendah. Mengingat dampak yang dapat
ditimbulkan oleh bencana tanah longsor, maka identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk
dilakukan agar dapat diketahui penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor
sehingga dapat menjadi rujukan dalam mitigasi bencana longsor berikutnya. Identifikasi daerah kejadian
longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor dengan faktor persebaran
geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah terjadinya longsor, sehingga dapat
diketahui penggunaan lahan seperti apa yang sesuai pada setiap karakteristik lahan dan geologinya.
Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Distrik Ilaga ada 2 macam yaitu rayapan tanah (soil
creeping) lalu yang terdapat pada beberapa lokasi dan penurunan muka tanah yakni amblesan (subsidence)
yang terjadi pada 3 lokasi berbeda yakni Kp Kimak, Kp Tagaloa, dan Kp Kago. Gerakan perayapan tanah
(Soil Creeping) merupakan suatu proses perpindahan masa batuan atau tanah akibat gaya berat (gravitasi).
Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian ahli geologi karena dampaknya banyak menimbulkan
korban jiwa maupun kerugian harta benda. Tidak jarang pemukiman yang dibangun di sekitar perbukitan
kurang memperhatikan masalah kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses-proses geologi yang terjadi di
kawasan tersebut sehingga secara tidak sadar potensi bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam
jiwanya.
Kata kunci : mass wasting, landslide, soil creeping, geologi
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Tanah mempunyai peranan penting pada suatu lokasi pekerjaan konstruksi. Tanah
merupakan pondasi pendukung suatu bangunan, atau bahan konstruksi dari bangunan itu seperti
tanggul waduk, atau terkadang sebagai penyebab gaya luar pada bangunan seperti tembok atau
dinding penahan tanah. Tanah yang terdapat di permukaan bumi mempunyai karakteristik dan
sifat yang berbeda. Tanah sebagai dasar berdirinya suatu bangunan sering mengalami pergerakan
tanah, khususnya pada tanah dengan kondisi lunak. Di Indonesia, masalah pergerakan tanah
terjadi karena berbagai faktor, diantaranya keadaan geografi, topografi, morfologi, struktur
geologi, sifat kerembesan tanah, dan daerah potensi gempa. Hal ini masih ditunjang dengan
1
minimnya kesadaran masyarakat akan bahaya gerakan tanah dengan melakukan tindakan yang
memicu terjadinya kelongsoran tanah.
Bencana alam merupakan peristiwa alam yang dapat terjadi setiap saat dimana saja dan
kapan saja, yang menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat.
Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang umumnya terjadi di wilayah
pegunungan (mountainous area), terutama di musim hujan yang dapat mengakibatkan kerugian
harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya
seperti perumahan, industri, dan lahan pertanian yang berdampak pada kondisi sosial
masyarakatnya dan menurunnya perekonomian di suatu daerah.
Gerakan perayapan tanah (Soil Creeping) merupakan suatu proses perpindahan masa
batuan atau tanah akibat gaya berat (gravitasi). Longsoran tanah telah lama menjadi perhatian
ahli geologi karena dampaknya banyak menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda.
Tidak jarang pemukiman yang dibangun di sekitar perbukitan kurang memperhatikan masalah
kestabilan lereng, struktur batuan, dan proses-proses geologi yang terjadi di kawasan tersebut
sehingga secara tidak sadar potensi bahaya longsoran tanah setiap saat mengancam jiwanya.
Rayapan Tanah adalah jenis tanah longsor yang bergerak lambat. Jenis tanahnya berupa butiran
kasar dan halus, jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat dikenali. Setelah waktu yang cukup
lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang telepon, pohon, atau rumah miring
ke bawah.
Faktor internal yang menjadi penyebab terjadinya longsoran tanah adalah daya ikat
(kohesi) tanah atau batuan yang lemah sehingga butiran-butiran tanah atau batuan dapat terlepas
dari ikatannya dan bergerak ke bawah dengan menyeret butiran lainnya yang ada disekitarnya
membentuk massa yang lebih besar. Lemahnya daya ikat tanah atau batuan dapat disebabkan
oleh sifat kesarangan (porositas) dan kelolosan air (permeabilitas) tanah atau batuan maupun
rekahan yang intensif dari masa tanah atau batuan tersebut. Sedangkan faktor eksternal yang
dapat mempercepat dan menjadi pemicu longsoran tanah dapat terdiri dari berbagai faktor yang
kompleks seperti kemiringan lereng, perubahan kelembaban tanah atau batuan karena masuknya
air hujan, tutupan lahan serta pola pengolahan lahan, pengikisan oleh air yang mengalir (air
permukaan), ulah manusia seperti penggalian dan lain sebagainya.
Kabupaten Puncak adalah sebuah kabupaten di Provinsi Papua, Indonesia. Kabupaten ini
dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008,
2
bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Ditrik Ilaga merupakan salah
satu dari 8 distrik lainnya yang ada di Kabupaten Puncak Papua. Luas wilayah Kabupaten
Puncak sebesar 8.055 km2, total kepadatan penduduk kabupaten puncak mencapai 60.294 jiwa
dan terletak pada ketinggian 2700 mdpl. Curah hujan Distrik Ilaga Kabupaten puncak mencapai
4000-4500mm dengan kelembapan 80%. Distrik Ilaga menjadi daerah dengan potensi bencana
longsor, dikarenakan pada daerah tersebut terletak pada dataran tinggi dan banyaknya topografi
curam berpotensi longsor dalam skala kecil bahkan besar pada daerah-daerah tertentu.
Mengingat dampak yang dapat ditimbulkan oleh bencana tanah longsor tersebut, maka
identifikasi daerah kejadian tanah longsor penting untuk dilakukan agar dapat diketahui
penyebab utama longsor dan karakteristik dari tiap kejadian longsor pada daerah-daerah di
Indonesia serta sebagai langkah awal pencegahan kejadian longsor nantinya dan merupakan
langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor. Identifikasi
daerah kejadian longsor juga penting untuk mengetahui hubungan antara lokasi kejadian longsor
dengan faktor persebaran geologi (batuan, patahan, lipatan) dan penggunaan lahan di daerah
terjadinya longsor, sehingga dapat diketahui penggunaan lahan apa yang sesuai pada setiap
karakteristik lahan dan geologinya.
1.2 Tujuan
1.
Mengetahui karakter dan pola longsor yang terjadi di daerah Distrik Ilaga.
2.
Mengidentifikasi pergerakan tanah (soil creeping) dan mengevaluasi penyebabpenyebab terjadinya longsor di Distrik Ilaga.
3.
Menentukan fakfor-faktor penyebab utama terjadinya longsor di Ilaga, Puncak.
1.3 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari seminar ini adalah memberikan informasi tentang
gambaran penyebab-penyebab longsor berdasarkan kejadian longsor yang telah terjadi sehingga
mampu menjadi rujukan dalam pencegahan dan mitigasi bencana tanah longsor.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tanah Longsor
Menurut Suripin (2002) tanah longsor merupakan bentuk erosi dimana pengangkutan
atau gerakan masa tanah terjadi pada suatu saat dalam volume yang relatif besar. Peristiwa tanah
longsor dikenal sebagai gerakan massa tanah, batuan atau kombinasinya, sering terjadi pada
lereng-lereng alam atau buatan dan sebenarnya merupakan fenomena alam yaitu alam mencari
keseimbangan baru akibat adanya gangguan atau faktor yang mempengaruhinya dan
menyebabkan terjadinya pengurangan kuat geser serta peningkatan tegangan geser tanah.
Berdasarkan Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005) menyatakan bahwa
tanah longsor boleh disebut juga dengan gerakan tanah. Didefinisikan sebagai massa tanah atau
material campuran lempung, kerikil, pasir, dan kerakal serta bongkah dan lumpur, yang bergerak
sepanjang lereng atau keluar lereng karena faktor gravitasi bumi.
Menurut Sitorus (2006), longsor (landslide) merupakan suatu bentuk erosi yang
pengangkutan atau pemindahan tanahnya terjadi pada suatu saat yang relatif pendek dalam
volume (jumlah) yang sangat besar. Berbeda halnya dengan bentuk-bentuk erosi lainnya (erosi
lembar, erosi alur, erosi parit) pada longsor pengangkutan tanah terjadi sekaligus dalam periode
yang sangat pendek. Sedangkan menurut Dwiyanto (2002), tanah longsor adalah suatu jenis
gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan (debris
avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan
(seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun
lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau penimbunan.
Tanah longsor merupakan contoh dari proses geologi yang disebut dengan mass wasting
yang sering juga disebut gerakan massa (mass movement), merupakan perpindahan massa
batuan, regolith, dan tanah dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah karena gaya gravitasi.
Setelah batuan lapuk, gaya gravitasi akan menarik material hasil pelapukan ke tempat yang lebih
rendah. Meskipun gravitasi merupakan faktor utama terjadinya gerakan massa, ada beberapa
faktor lain yang juga berpengaruh terhadap terjadinya proses tersebut antara lain kemiringan
lereng dan air. Apabila pori-pori sedimen terisi oleh air, gaya kohesi antar mineral akan semakin
lemah, sehingga memungkinkan partikel- partikel tersebut dengan mudah untuk bergeser. Selain
4
itu air juga akan menambah berat massa material, sehingga kemungkinan cukup untuk
menyebabkan material untuk meluncur ke bawah.
2.2 Tipe longsor
Menurut Naryanto (2002), jenis tanah longsor berdasarkan kecepatan gerakannya dapat
dibagi menjadi 6 (enam) jenis yaitu :
5
6
Penurunan tanah (subsidence) dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan
permukaan tanah sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan
tanah. Proses ini dapat berlangsung lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor
daya dukung tanahnya ataupun pengambilan air tanah yang berlebihan dan berlangsung relatif
cepat. Pengambilan air tanah yang berlebihan dapat mengakibatkan penurunan muka air tanah
(pada sistem akuifer air tanah dalam) dan turunnya tekanan hidrolik, sedangkan tekanan antar
batu bertambah. Akibat beban di atasnya menurun. Penurunan tanah pada umumnya terjadi pada
daerah dataran yang dibangun oleh batuan atau tanah yang bersifat lunak (Sangadji, 2003).
2.3 Macam tipe longsoran aliran lambat (slow flowage)
Slow flowage adalah jenis mass wasting yang gerakannya sangat lambat dan tidak dapat dilihat
oleh mata, meskipun dapat diketahui gejala-gejalanya. Menurut (John Wiley & Sons,2004) Gejalagejala mass wasting antara lain daerahnya miring dan terdapat pepohonan yang batangnya bengkok ke
atas. Peristiwa mass wasting jenis ini dikenal dengan istilah rayapan massa (creep), jika material yang
merayap hanya berwujud tanah maka rayapan tersebut dinamakan rayapan tanah (soil creep).
1. Rayapan (Creep): perpindahan material batuan dan tanah ke arah kaki lereng dengan
pergerakan yang sangat lambat.
2. Rayapan tanah (Soil creep): perpindahan material tanah ke arah kaki lereng
3. Rayapan talus (Talus creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari material talus/scree.
4. Rayapan batuan (Rock creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari blok-blok batuan.
5. Rayapan batuan glacier (Rock-glacier creep): perpindahan ke arah kaki lereng dari
limbah batuan.
6. Soil fluction/Liquefaction: aliran yang sangat berlahan ke arah kaki lereng dari material
debris batuan yang jenuh air.
Ditinjau dari kenampakan jenis gerakan tanah longsor dapat dibedakan menjadi beberapa
macam atau tipe antara lain :
7
1.
Jenis jatuhan
Material batu atau tanah dalam longsor jenis ini jatuh bebas dari atas tebing.
Material yang jatuh umumnya tidak banyak dan terjadi pada lereng terjal.
2.
Longsoran
Longsoran yaitu massa tanah yang bergerak sepanjang lereng dengan bidang
longsoran melengkung (memutar) dan mendatar. Longsoran dengan bidang longsoran
melengkung, biasanya gerakannya cepat dan mematikan karena tertimbun material
longsoran. Sedangkan longsoran dengan bidang longsoran mendatar gerakannya
perlahan-lahan, merayap tetapi dapat merusakkan dan meruntuhkan bangunan di atasnya.
3.
Jenis aliran
Jenis aliran yaitu massa tanah bergerak yang didorong oleh air. Kecepatan aliran
bergantung pada sudut lereng, tekanan air, dan jenis materialnya. Umumnya gerakannya
di sepanjang lembah dan biasanya panjang gerakannya sampai ratusan meter, di beberapa
tempat bahkan sampai ribuan meter seperti di daerah aliran sungai daerah gunung api.
Aliran tanah ini dapat menelan korban cukup banyak.
4.
Gerakan tanah gabungan
Gerakan tanah gabungan yaitu gerakan tanah gabungan antara longsoran dengan aliran
atau jatuhan dengan aliran. Gerakan tanah jenis gabungan ini yang banyak terjadi di
beberapa tempat akhir-akhir ini dengan menelan korban cukup tinggi.
2.4 Penyebab Longsor
Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan
tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan
pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alami dan
manusia. Menurut Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (2005), tanah longsor
dapat terjadi karena faktor alam dan faktor manusia sebagai pemicu terjadinya tanah longsor,
yaitu :
A. Faktor alam
Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain:
a.
Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, lereng
yang terjal yang diakibatkan oleh struktur sesar dan kekar (patahan dan lipatan), gempa
bumi, stratigrafi dan gunung api, lapisan batuan yang kedap air miring ke lereng yang
8
berfungsi sebagai bidang longsoran, adanya retakan karena proses alam (gempa bumi,
tektonik).
b.
Keadaan tanah : erosi dan pengikisan, adanya daerah longsoran lama, ketebalan tanah
pelapukan bersifat lembek, butiran halus, tanah jenuh karena air hujan.
c.
Iklim: curah hujan yang tinggi, air (hujan di atas normal)
d.
Keadaan topografi: lereng yang curam.
e.
Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam,
pelarutan dan tekanan hidrostatika, susut air cepat, banjir, aliran bawah tanah pada sungai
f.
Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal lahan kosong, semak belukar di
tanah kritis.
B. Faktor manusia
Ulah manusia yang tidak bersahabat dengan alam antara lain :
a.
Pemotongan tebing pada penambangan batu di lereng yang terjal.
b.
Penimbunan tanah urugan di daerah lereng.
c.
Kegagalan struktur dinding penahan tanah.
d.
Perubahan tata lahan seperti penggundulan hutan menjadi lahan basah yang
menyebabkan terjadinya pengikisan oleh air permukaan dan menyebabkan tanah menjadi
lembek
e.
Adanya budidaya kolam ikan dan genangan air di atas lereng.
f.
Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman.
g.
Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga
RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri.
h.
Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik yang menyebabkan lereng semakin terjal
akibat penggerusan oleh air saluran di tebing.
i.
Adanya retakan akibat getaran mesin, ledakan, beban massa yang bertambah dipicu
beban kendaraan, bangunan dekat tebing, tanah kurang padat karena material urugan atau
material longsoran lama pada tebing.
j.
Terjadinya bocoran air saluran dan luapan air saluran.
Arsyad (1989) mengemukakan bahwa tanah longsor ditandai dengan bergeraknya
sejumlah massa tanah secara bersama-sama dan terjadi sebagai akibat meluncurnya suatu volume
9
tanah di atas suatu lapisan agak kedap air yang jenuh air. Lapisan yang terdiri dari tanah liat atau
mengandung kadar tanah liat tinggi setelah jenuh air akan bertindak sebagai peluncur. Longsoran
akan terjadi jika terpenuhi tiga keadaan sebagai berikut :
a.
Adanya lereng yang cukup curam sehingga massa tanah dapat bergerak atau
meluncur ke bawah,
b.
Adanya lapisan di bawah permukaan massa tanah yang agak kedap air dan lunak,
yang akan menjadi bidang luncur.
c.
Adanya cukup air dalam tanah sehingga lapisan massa tanah yang tepat di atas
lapisan kedap air tersebut menjadi jenuh. Lapisan kedap air dapat berupa
tanah
liat atau mengandung kadar tanah liat tinggi, atau dapat juga berupa
lapisan
batuan.
Penyebab terjadinya tanah longsor dapat bersifat statis dan dinamis. Statis merupakan
kondisi alam seperti sifat batuan (geologi) dan lereng dengan kemiringan sedang hingga terjal,
sedangkan dinamis adalah ulah manusia. Ulah manusia banyak sekali jenisnya dari perubahan
tata guna lahan hingga pembentukan gawir yang terjal tanpa memperhatikan stabilitas lereng
(Surono, 2003). Sedangkan menurut Sutikno (1997), faktor-faktor yang mempengaruhi
terjadinya gerakan tanah antara lain : tingkat kelerengan, karakteristik tanah, keadaan geologi,
keadaan vegetasi, curah hujan atau hidrologi, dan aktivitas manusia di wilayah tersebut.
Berdasarkan Direktorat Geologi Tata Lingkungan (1981), faktor-faktor penyebab
terjadinya tanah longsor antara lain adalah sebagai berikut :
a. Topografi atau lereng,
b. Keadaan tanah atau batuan,
c. Curah hujan atau keairan,
d. Gempa atau gempa bumi,
e. Keadaan vegetasi atau hutan dan penggunaan lahan.
Faktor-faktor penyebab tersebut satu sama lain saling mempengaruhi dan menentukan
besar dan luasnya bencana tanah longsor. Kepekaan suatu daerah terhadap bencana tanah longsor
ditentukan pula oleh pengaruh dan kaitan faktor- faktor ini satu sama lainnya. Pada dasarnya
sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang
membentuk lahan miring. Lereng atau lahan yang kemiringannya melampaui 20˚ (40%),
umumnya berbakat untuk bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang
10
miring berpotensi untuk longsor. Menurut Anwar et al (2001), dari berbagai kejadian longsor,
dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak yaitu:
a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak.
b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi.
c. Lereng yang tersusun oleh blok-blok batuan.
III. METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Juli 2014 sampai dengan bulan Agustus 2014, pada
periode KKN antar semester 2014 dengan lokasi penelitian dan pengambilan data di daerah
kejadian longsor Distrik Ilaga Kabupaten Puncak.
3.2 Peralatan dan Data yang Digunakan
Peralatan yang digunakan adalah Perangkat Keras (hardware) terdiri dari personal
computer dan printer. Perangkat lunak (software) terdiri dari ArcView 3.2, Mapsource, dan MsOffice, selain itu dalam pengambilan data bio-fisik lapangan juga digunakan suunto clinometer,
meteran, GPS (Global Positioning System) Garmin 12 XL, kamera digital, kalkulator, dan alat
tulis.
Sedangkan bahan-bahan yang diperlukan diantaranya adalah peta digital Kabupaten
Puncak hasil Interpretasi Citra satelit (landsat SPOT 5) tahun 2012 berbagai layer dan Peta
Geologi Lembar Papua Skala 1: 100.000
3.3 Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data spatial dan data atribut (data curah hujan) yang
diperoleh dari beberapa instansi terkait. Pengamatan dilakukan di lokasi longsor, adapun data
peta yang dikumpulkan adalah sebagai berikut :
a.
Peta Rupa Wilayah Administratif Kabupaten Puncak Tahun 2012 skala 1:25.000
diperoleh dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Puncak.
b.
Peta Rupa Jenis Tanah Kabupaten Puncak Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh
dari Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Puncak.
11
c.
Peta Rupa Geologi Kabupaten Puncak Tahun 2005 Skala 1: 25000 yang diperoleh dari
Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Puncak.
d.
Data Atribut Kejadian Longsor di Kawasan Puncak, Papua diperoleh dari KPH Papua
e.
Peta Titik Lokasi Kejadian Longsor Hasil Pengolahan Data Pemetaan di Lapangan
dengan Menggunakan GPS.
3.4 Pengumpulan Data Bio-Fisik Lapangan
Pengumpulan data di lapangan dilakukan secara langsung melalui kegiatan survey dan
pengamatan langsung (observasi), wawancara, dan dokumentasi yang bertujuan mencatat sifatsifat fisik di lapangan. Pengamatan dan pengumpulan data lapangan dilakukan setelah faktorfaktor penyebab terjadinya tanah longsor dapat teridentifikasi. Proses identifikasi dan pemilihan
parameter yang diamati berdasarkan atas kondisi wilayah penelitian dan hasil kajian pustaka.
Dalam hal ini pertimbangan teoritis (hasil studi pustaka) dan faktor kondisi fisik wilayah
penelitian menjadi acuan dalam menetapkan berbagai faktor penyebab tanah longsor. Kondisi
wilayah yang menjadi pertimbangan untuk menetapkan suatu parameter antara lain :
1)
Kondisi Longsor (landslide), yaitu : tipe longsor, kondisi zona (wilayah) di sekitar
lokasi atau titik longsor, dan luasan area kejadian longsor.
2)
Keadaan vegetasi yaitu : jenis vegetasi tutupan lahan (land cover) dan jenis tanaman.
3)
Karakteristik fisik tanah, yaitu : ketebalan tanah (solum), tekstur tanah, dan struktur tanah
pada lokasi kejadian longsor
4)
Kelerengan yaitu slope (kemiringan lereng)
5)
Bentang Lahan (landform), yaitu : material longsor, bentang lahan (bentuk lahan)
6)
Penggunaan lahan (landuse), yaitu : kebun campuran, tegakan campuran, semak belukar,
dan lading atau tegalan.
7)
Usaha Konservasi, yaitu : upaya yang dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya
bahaya longsor : pembuatan teras, pembuatan saluran air, dan pembangunan.
3.5 Pengolahan Data
Pengolahan data adalah merupakan tahapan pekerjaan menyusun dan merangkaikan
berbagai jenis data menjadi satu susunan data yang sistematik dan terinci menurut fungsi,
12
klasifikasi maupun peruntukan penggunaannya. Data yang diperoleh dikelompokkan menurut
jenisnya. Data yang diperoleh terdiri dari :
1.
Data atribut hasil analisis data spatial.
2.
Data bio-fisik hasil pengukuran, pengamatan, dan pengujian di lapangan (tekstur tanah,
struktur tanah, kemiringan lereng, ketebalan tanah)
3.
Data sosial, ekonomi dan budaya, jumlah penduduk, produktivitas pertanian, mata
pencaharian, budaya dan agama, dan sebagainya
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran umum lokasi
a. Letak dan Luas
Kabupaten Puncak adalah sebuah kabupaten di Provinsi Papua, Indonesia. Kabupaten ini
dibentuk pada tanggal 4 Januari 2008 berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008,
bersama-sama dengan pembentukan 5 kabupaten lainnya di Papua. Ditrik Ilaga merupakan salah
satu dari 8 distrik lainnya yang ada di Kabupaten Puncak Papua. Luas wilayah Kabupaten
Puncak sebesar 8.055 km2 , total kepadatan penduduk kabupaten puncak mencapai 60.294 jiwa
dan terletak pada ketinggian 2700 mdpl. Curah hujan Distrik Ilaga Kabupaten puncak mencapai
4000-4500 mm dengan kelembapan 80%. Distrik Ilaga menjadi daerah dengan potensi bencana
longsor, dikarenakan pada daerah tersebut terletak pada dataran tinggi dan banyaknya topografi
curam berpotensi longsor dalam skala kecil bahkan besar pada daerah-daerah tertentu. Lokasi
pengamatan dilakukan di Distrik Ilaga Kabupaten Puncak, Papua. Wilayah distrik tersebut
terletak disebelah utara kabupaten Puncak.
b. Karakteristik tanah
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan langsung di lapangan, terdapat
beberapa jenis tanah di Distrik Ilaga, dengan jenis tanah yang memiliki luasan terbesar yaitu
asosiasi latosol coklat dan latosol kemerahan (50,01%) dan kompleks latosol merah kekuningan
latosol coklat kemerahan dan litosol (38,4 %), serta sebaran tanah Inceptisol pada daerah-daerah
dataran tinggi sebersar (25,01%) (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Statistik, 2010).
13
c. Batuan dan Geologi
Secara geologis sebagian besar lahan Kabupaten Puncak tersusun dari batuan gunung api
berupa produk gunung api muda dan gunung api tua (lempung lanaunan, lanau lempungan,
lempung pasiran dan bongkah pasiran) yang meliputi 36 % wilayah, batuan sedimen (47 %
wilayah), serta sedikit gamping, endapan permukaan, dan batuan intrusi.
Berdasarkan Peta Digital Sebaran Geologi Kabupaten Puncak, jenis batuan induk dan
jenis tanah di Distrik Ilaga ialah :
No
Jenis Tanah
ketinggian (m)
Presentase (%)
1.
Lempung Lanaunan
2640
25,5
2.
Lanau lempungan
2508
23,5
3.
Lempung pasiran
2256
34,5
4.
Bongkah pasiran
2316
16,5
Total
100
Sumber : Peta Sebaran Geologi Teknik Ditrik Ilaga, Survey KKN PPM UGM 2014
4.2 Penyebaran Lokasi Kejadian Longsor
14
Kejadian longsor di Distrik Ilaga terjadi di 3 Desa yaitu Kampung Kago, Kampung
Kimak, Kampung Tagaloa. Kejadian beberapa kasus terjadi pada bukit dengan dataran cukup
curam, terutama dengan tingkat kemiringan 60-70 %.
4.3 Karakteristik Longsor Pada Distrik Ilaga
Berdasarkan hasil pengamatan ketika survey lokasi, terdapat 2 karakteristik longsor yang
ditemukan, yaitu 1) Rayapan Tanah (Soil Creeping) dan 2) penurunan tanah atau amblesan
(subsidence). Tipe longsor rayapan tanah (soil creeping) merupakan tipe gerakan tanah luncuran
ke bawah berupa perpindahan massa batuan atau material lepas dari tempat yang tinggi ke
tempat yang rendah melalui suatu bidang luncur yang umumnya berbentuk lengkung
(rotasional). Rayapan Tanah juga dapat diartikan sebagai jenis tanah longsor yang bergerak
lambat. Jenis tanahnya berupa butiran kasar dan halus, jenis tanah longsor ini hampir tidak dapat
dikenali. Setelah waktu yang cukup lama longsor jenis rayapan ini bisa menyebabkan tiang-tiang
telepon, pohon, atau rumah miring ke bawah.
Contoh gambar terjadinya longsoran akibat rayapan tanah (Soil Creeping)
Menurut Wahyu Wilopo dan Priyono Suryanto ( 2005) sistem pertanaman dengan model
agroforestri mampu menyerap air secara maksimal dan penggunaannya yang efisien. Konsep
kesetimbangan air dalam agroforestri mendudukan agroforestri pada posisi yang strategis untuk
mengurangi peluang peran air dalam terjadinya tanah longsor. Namun, pemilihan jenis pohon
atau tegakan pun harus disesuaikan dengan kondisi tiap daerah serta harus memperhatikan aspek
litologis, geologis, ekonomis, dan kelerengannya. Hal ini dikarenakan kejadian longsor juga
ternyata terjadi pada daerah dengan penutupan lahan berupa tegakan tanaman keras yang
15
memiliki kerapatan tinggi seperti pada kasus longsor di Kp.Tagaloa. Pepohonan yang terdapat
pada lokasi longsor tersebut diantaranya adalah pohon Jeruk, pohon beringin, serta pohon-pohon
penghasil kayu dan rumpun bambu. Keadaan penutupan vegetasi berupa tegakan campuran yang
memiliki profil yang besar dan rapat tersebut ternyata malah menambah beban lereng terutama
ketika tanah jenuh air akibat hujan lebat. Ini dikarenakan pohon-pohon besar bila akarnya tidak
menancap pada batuan dasar akan justru membebani lereng, terutama bila lereng tersebut
ditimpa hujan yang diikuti oleh angin. Beban pohon besar yang telah miring dan tertiup angin
kencang merupakan beban dinamis yang menambah resiko longsornya tanah. Hal inilah yang
menjadikan lahan rawan terhadap gerakan tanah dan akhirnya menyebabkan longsor.
Gambar : Kelerengan distrik Ilaga
4.4 Kemiringan Lereng dan Topografi
Unsur topografi yang paling besar pengaruhnya terhadap bencana longsor adalah
kemiringan lereng. Kemiringan lereng sangat berpengaruh terhadap longsor, dimana makin
curam lereng, makin besar dan makin cepat longsor terjadi. Kemiringan dan panjang lereng juga
merupakan 2 unsur topografi yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi
(Arsyad, 1989). Hardjowigeno (1992) menyatakan bahwa erosi akan meningkat apabila lereng
semakin curam atau semakin panjang, apabila lereng semakin curam maka kecepatan aliran
permukaan meningkat, sehingga kekuatan mengangkut meningkat pula, dan lereng yang semakin
panjang menyebabkan volume air yang mengalir menjadi semakin besar. Selanjutnya, Wahyunto
(2003) menambahkan bahwa tanah longsor umumnya dapat terjadi pada wilayah berlereng,
makin tinggi kemiringan lerengnya akan semakin besar potensi tanah longsornya.
16
Namun, tidak semua lahan dengan kondisi miring mempunyai potensi untuk longsor, hal
ini tergantung pada karakter lereng terhadap respon tenaga pemicu terutama respon lereng
terhadap curah hujan. Pola penggunaan lahan untuk pemukiman, dan perkantoran maupun semak
belukar terutama pada daerah-daerah yang mempunyai kemiringan lereng terjal dapat
mengakibatkan tanah menjadi gembur yang lambat laun akan mengakibatkan terjadinya gerakan
tanah atau rayapan tanah (soil creeping). Kondisi litologi atau bahan induk yang berupa batuan
dan tanah merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya proses gerakan tanah. Serta
kandungan air permukaan juga merupakan faktor penting yang dapat memicu terjadinya gerakan
tanah atau kelongsoran (kecepatannya tergantung dari tekstur dan struktur tanah).
4.5 Karakteristik Tanah
Berdasarkan hasil tumpangsusun (overlay) antara peta lokasi kejadian longsor dan peta
tanah tinjau, terdapat 3 jenis tanah yang ditemukan pada lokasi kejadian longsor yaitu jenis tanah
gabungan latosol coklat dan latosol kemerahan, dan jenis tanah kompleks latosol merah
kekuningan latosol coklat kemerahan dan litosol serta Inceptisol keabuan. Jenis tanah yang
paling luas ditemukan di distrik Ilaga adalah jenis gabungan antara latosol coklat dan latosol
kemerahan. Tanah latosol merupakan jenis yang memiliki tekstur tanah liat, konsistensi yang
gembur dan tetap dari atas sampai bawah, serta struktur lemah sampai gumpal lemah. Tanah ini
mempunyai tingkat permeabilitas yang tinggi, sifat tersebut menyebabkannya mempunyai
tingkat kepekaan terhadap erosi yang kecil. Menurut Arsyad (1971), beberapa sifat-sifat tanah
lainnya yang mempengaruhi bencana longsor adalah tekstur, struktur, kandungan bahan organik,
sifat lapisan bawah, kedalaman tanah, dan tingkat kesuburan tanah. Tekstur, struktur tanah, dan
kedalaman tanah menentukan besar kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah
oleh air.
Tanah lempung sangat mudah menyerap atau meresapkan air hujan terutama dalam
kondisi kering. Tanah lempung ini dapat terbentuk dari hasil pelapukan batuan terutama batuan
gunung api. Tanah hasil pelapukan batuan gunung api ini memiliki komposisi sebagian besar
lempung dengan sedikit pasir dan bersifat subur. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir
merupakan jenis tanah yang mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah
berat bobotnya jika tertimpa hujan. Apabila tanah pelapukan tersebut berada di atas batuan kedap
air pada perbukitan atau punggungan dengan kemiringan sedang hingga terjal berpotensi
mengakibatkan tanah tersebut menggelincir menjadi longsor pada musim hujan dengan curah
17
hujan berkuantitas tinggi. Jika perbukitan tersebut tidak ada tanaman keras berakar kuat dan
dalam, maka kawasan tersebut rawan bencana tanah longsor.
Sedangkan pada kondisi dengan tanah liat, tanah-tanah yang mengandung liat dalam
jumlah yang tinggi dapat tersuspensi oleh butir-butir hujan yang jatuh menimpanya dan pori-pori
lapisan permukaan akan tersumbat oleh butir-butir liat. Hal ini menyebabkan terjadinya aliran
permukaan dan erosi yang hebat atau sering disebut sebagai longsor.
Longsor bisa disebabkan karena rapuhnya struktur tanah dan terlalu berlebihannya
kandungan air tanah tanpa adanya penyerap yang berfungsi sebagai penahan, seperti pepohonan.
Tanah yang memiliki tingkat kerapatan tinggi (tidak sarang) akan memiliki tingkat kestabilan
yang tinggi pula. Tanah di lokasi kejadian longsor memiliki struktur berupa butiran halus sampai
dengan butiran kasar berbentuk granular atau prisma. Tanah-tanah yang berstruktur kersai atau
granular ini lebih terbuka dan lebih sarang sehingga akan menyerap air lebih cepat daripada yang
berstruktur dengan susunan butir-butir primernya lebih rapat. Hal ini menyebabkan struktur
tanah lebih rapuh akibat tanah yang cepat jenuh air saat terjadi hujan lebat dalam waktu lama
yang akhirnya berdampak pada terjadinya longsor.
4.6 Pergerakan Tanah
Berbagai tipe dan jenis luncuran dan longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan
dengan terjadinya gempa yang memicu gerakan tanah. Menurut masyarakat setempat kejadian
longsor didahului dengan terjadinya gerakan tanah. Gerakan tanah ini memicu terjadinya
lungsuran material longsor berupa tanah dan batuan yang berasal dari badan lereng perbukitan
Gunung kelabu. Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah di lokasi ini antara lain kondisi
lapisan tanah berupa lempung, lempung berpasir, yang mempunyai sifat mengembang (swelling
clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi kering sangat rentan terhadap terjadinya
gerakan tanah. Berdasarkan prinsip fisika-kimia lempung, interaksi antara lapisan tipis lempung
dan air (clay water interaction) merupakan fenomena fisika-kimia tanah lempung yang sangat
menarik. Masuknya air di antara fraksi lempung atau partikel ikatan silikat lempung tertentu
terutama montmorillonite, vermiculite, dan illite, akan menyebabkan membesarnya jarak antar
fraksi lempung dan mengakibatkan kenaikan volume tanah atau mengembang (Hermawan & Tri
Endah Utami, 2003).
18
Akibat dari peristiwa gerakan tanah terjadi banyak sekali kerusakan pada bangunan
pemukiman penduduk karena terjadinya pergeseran pondasi bangunan berupa retakan-retakan
atau patahan yang terlihat jelas pada beberapa kejadian longsor seperti di Kp. Kimak, Kp.
Tagaloa, Kp. Kago. Umumnya kasus longsor dengan patahan akibat gerakan tanah ini
berkarakteristik longsor berupa rayapan tanah (Soil creeping). Adapun terjadinya amblesan pada
kejadian longsor tersebut telah membentuk suatu gawir dengan tanah turun sedalam 0,5-4 m.
kejadian pergerakan tanah terjadi cukup lama seiring cuaca pada kondisi sekitar. Amblesan atau
rayapan tanah ini dapat terjadi akibat adanya konsolidasi, yaitu penurunan permukaan tanah
sehubungan dengan proses pemadatan atau perubahan volume suatu lapisan tanah. Penurunan
lapisan tanah ini biasa terjadi secara alami dalam waktu yang lama (lambat). Akan tetapi, proses
ini dapat berjalan lebih cepat bila terjadi pembebanan yang melebihi faktor daya dukung
tanahnya. Akibat beban di atasnya, lapisan tanah ini akan termampatkan dan permukaan tanah di
atasnya akan menurun. Pada kasus kejadian longsor di Distrik Ilaga, terjadinya dengan
karakteristik amblesan atau penurunan tanah ini selain dipicu adanya gerakan tanah juga
dikarenakan padatnya pemukiman di sekitar lokasi kejadian longsor yang membebani lereng
misalnya yang terjadi di Kp. Kimak dan Kp Tagaloa.
4.7 Geologi atau Batuan Induk
Menurut Sutikno (2000), struktur geologi yang berpotensi mendorong terjadinya longsor
adalah kontak antarbatuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya retakan, patahan, rekahan,
sesar, dan perlapisan batuan yang terlampau miring. Berdasarkan interpretasi Peta Geologi
Lembar Beoga, Kabupaten Puncak daerah penelitian terletak pada wilayah patahan dan sesar
(fault) terutama pada kawasan Gunung Kelabu serta memiliki struktur geologi berupa antiklin
dan sinklin yang terdapat pada Formasi Jayawijaya. Selain itu, adanya lapisan batupasir tufaan
dan batu lempung yang kedap air menjadi pemicu terjadinya gerakan tanah di daerah penelitian,
karena lapisan batuan tersebut berperan sebagai bidang lincir gerakan tanah.
19
Kondisi geologi yang perlu diperhatikan meliputi sifat fisik tanah atau batuan, susunan
dan kedudukan batuan, serta struktur geologi. Struktur geologi atau batuan merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan terjadinya longsor. Menurut Wilopo dan Agus (2005), batuan formasi
andesit dan breksi merupakan faktor pemicu terjadinya longsor karena sifatnya yang kedap air.
Sehingga batuan yang bersifat andesit dan breksi tersebut dapat dijadikan sebagai bidang gelincir
untuk terjadinya longsor. Dalam keadaan jenuh air pada musim hujan, ditambah dengan tekstur
tanah lempung pasiran maka pada daerah yang memiliki batuan induk bersifat andesit menjadi
rawan longsor.
Lereng-lereng di lokasi kejadian longsor pada permukaannya juga tertutup tanah lempung
pasiran hasil pelapukan lapisan batu andesit dan breksi andesit. Adapun sifat tanah lempung
pasiran ini bersifat plastis dalam kondisi basah atau dapat mengembang. Namun, dalam kondisi
kering lapisan tanah ini menjadi pecah-pecah. Oleh karena itu, ketika musim hujan tiba, air hujan
cenderung mengalir melalui lereng-lereng curam yang ada di Distrik Ilaga, Kabupaten Puncak
ini. Namun, selama melalui lereng ini air hujan ini tak dapat meresap lebih dalam karena
terhalang oleh batuan andesit. Akibatnya, air hujan akan terakumulasi di sekitar lereng dan akan
terus mendorong lapisan tanah lempung yang ada di atasnya hingga terjadilah peristiwa longsor.
Faktor tekstur tanah turut berperan sebagai pemicu longsor dalam kaitannya dengan
kondisi geologis yang ada. Tanah bertekstur lempung berpasir dan dikombinasikan dengan
20
batuan induk bersifat andesit, basalt, atau breksi, serta dengan kemiringan yang curam, maka
akan menjadikan daerah tersebut rawan longsor. Tanah bertekstur pasir berperan dalam
meningkatkan infiltrasi tanah. Jika tanah dalam keadaan jenuh air, massa tanah akan menjadi
lebih berat.
Selain itu, tanah hasil pelapukan batuan merupakan salah satu parameter yang
menentukan terjadinya longsor. Batuan dan tanah pelapukan di daerah penelitian tersusun dari
breksi vulkanik, tufa breksi, dan lava serta adanya sisipan batupasir serta lempung hitam yang
bagian permukaannya telah mengalami pelapukan berupa lempung pasiran dan lempung lanauan
yang cukup tebal. Jenis tanah yang bersifat lempung, lanau, pasir, merupakan jenis tanah yang
mudah meloloskan air. Sifat tersebut menjadikan tanah bertambah berat bobotnya jika tertimpa
hujan. Apabila tanah tersebut berada di atas batuan kedap air pada kemiringan tertentu maka air
yang masuk akan tertahan dan tanah pada kemiringan tertentu akan berpotensi menggelincir
menjadi longsor.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
1.
Karakteristik longsor (landslide) yang terjadi di Distrik Ilaga ada 2 macam yaitu rayapan
tanah (soil creeping) lalu yang terdapat pada beberapa lokasi dan penurunan muka tanah
yakni amblesan (subsidence), yang terjadi pada 3 lokasi berbeda yakni Kp Kimak, Kp
Tagaloa, dan Kp Kago.
2.
Slow flowage adalah jenis mass wasting yang gerakannya sangat lambat dan tidak dapat dilihat
oleh mata, meskipun dapat diketahui gejala-gejalanya.
Gejala-gejala mass wasting antara lain
daerahnya miring dan terdapat pepohonan yang batangnya bengkok ke atas. Peristiwa mass
wasting jenis ini dikenal dengan istilah rayapan massa tanah (creep), jika material yang merayap
hanya berwujud tanah maka rayapan tersebut dinamakan rayapan tanah (soil creep).
3.
Faktor penyebab terjadinya rayapan tanah tanah (soil creeping) di lokasi ini antara lain
kondisi lapisan tanah berupa lempung dan lempung berpasir yang mempunyai sifat
mengembang (swelling clay) apabila basah dan menyusut dalam kondisi kering sangat
rentan terhadap terjadinya rayapan tanah.
21
b. Saran
1.
Perlu dilakukannya penelitian lebih lanjut mengenai identifikasi penyebab longsor dan
upaya konservasi dalam mencegah terjadinya longsor di Ditrik Ilaga, Kabupaten
Puncak, Papua.
2.
Kerjasama antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam mitigasi pencegahan
longsor perlu terus dibina dan ditingkatkan.
3.
Rencana pemerintah untuk merelokasi penduduk yang bertempat tinggal pada kawasan
rawan longsor perlu segera direalisasikan untuk mencegah timbulnya korban jiwa pada
bencana yang akan datang.
22
DAFTAR PUSTAKA
Agus Setyawan, Wahyu Wilopo, Supriyanto Suparno. 2006. Mengenal Bencana Alam Tanah
Longsor dan Mitigasinya. http://www.io.ppi- jepang.org/article.php?1d=196 [1 oktober
2014].
Anonim. 2007. Pencegahan Gerakan Tanah Dengan Identifikasi Zona Rentan. http://www.dinfokom-jatim.go.id/news.php?id=11029 [30 september 2014]
Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo, Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M. 2001. Aplikasi Citra
Satelit Dalam Penentuan Dareah Rawan Bencana Longsor. Pusat Penelitian Geoteknologi
LIPI, Bandung.
Arsyad, Sitanala. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.
Direktorat Geologi Tata Lingkungan. 1981. Gerakan Tanah di Indonesia. Direktorat Jenderal
Pertambangan Umum. Departemen Pertambangan dan Energi. Jakarta.
[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2005. Manajemen Bencana
Tanah Longsor. http://www.pikiran- rakyat.com/cetak/2005/0305/22/0802.htm [30
oktober 2014].
[DVMBG] Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2007. Pengenalan Gerakan
Tanah. http://www.merapi.vsi.esdm.go.id/?static/gerakantanah/pengenalan.htm [30
september 2014].
Dwiyanto, JS. 2002. Penanggulangan Tanah Longsor dengan Grouting. Pusdi Kebumian
LEMLIT UNDIP, Semarang.
Hardjowigeno, Sarwono. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.
Hermawan dan Tri Endah Utami. 2003. Proses Soil Softening pada Bidang Diskontinuitas:
Faktor Utama Longsoran Besar. Buletin Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei
2003. Hal 44-51.
Naryanto, N.S. 2002. Evaluasi dan Mitigasi Bencana Tanah Longsor di Pulau Jawa Tahun 2001.
BPPT. Jakarta.
Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Paripurno, ET. 2006. Pengenalan Longsor Untuk Penanggulangan Bencana. Di dalam: [UNDP]
United Nation Development Program. Pustaka Pelajar dan Oxfam B.G., penerjemah;
23
Purwowidodo. 2003. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan : Mengenal Tanah. Laboratorium
Pengaruh Hutan. Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Sumberdaya Lahan Indonesia
dan Pengelolaannya. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen
Pertanian, Jakarta.
Sitorus, Santun R. P. 2006. Pengembangan Lahan Berpenutupan Tetap Sebagai Kontrol
Terhadap Faktor Resiko Erosi dan Bencana Longsor. Direktorat Jenderal Penataan Ruang
Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta : Andi.
Surono. 2003. Potensi Bencana Geologi di Kabupaten Garut. Prosiding Semiloka Mitigasi
Bencana Longsor di Kabupaten Garut. Pemerintah Kabupaten Garut.
Sutikno. 1997. Penanggulangan Tanah Longsor. Bahan Penyuluhan Bencana Alam Gerakan
Tanah. Jakarta.
_______. 2001. Tanah Longsor Goyang Pulau Jawa. Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi. Bandung.
Wahyono.2003. Evaluasi Geologi Teknik Atas kejadian Gerakan Tanah di Kompleks Perumahan
Lereng Bukit Gombel-Semarang. Kasus Longsoran Gombel, 8 Februari 2002. Buletin
Geologi Tata Lingkungan Vol. 13 No. 1 Mei 2003. Hal 32-43
Wahyu Wilopo, Priyono Suryanto. 2005. Agroforestri Alternatif Model Rekayasa Vegetasi Pada
Kawasan Rawan Longsor. J Hutan Rakyat 7 (1) : 1-15.
Wulandary, Anna. 2004. Pengaruh Teknik Konservasi Tanah Terhadap Kondisi Sub DAS
Cisadane Hulu Meliputi Aliran Permukaan, Erosi, dan Sedimentasi Mempergunakan
Model AGNPS (Agricultural Non Point Source Pollution Model). Skripsi .
24