MAKNA FABLES KARYA JEAN DE LA FONTAINE D

PERAN FABLES KARYA JEAN DE LA FONTAINE (1621-1694)
DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER ANAK
Tania Intan

Pada awal abad ke XVII, Prancis mengalami banyak masalah, mulai dari perang
agama, bencana dan kelaparan, hingga instabilitas politik (Blondeau, 2004:22).
Setelah peristiwa pembunuhan yang menimpa Henri IV pada tahun 1610,
istrinya, Marie de Médicis, berusaha mengembalikan wibawa kerajaan.
Putranya, Louis XIII, menjadi raja pada tahun 1617-1643, dan kekuasaan itu
selanjutnya diwariskan kepada Louis XIV, Roi de soleil, ‘Raja Matahari’ yang
memerintah dengan kekuasaan tak terbatas mulai tahun 1661-1715 (Husen,
2001:33). Selama masa itu, Prancis menjadi negara yang terkuat di seluruh Eropa
berkat penerapan prinsip monarki absolut. Segala aspek kehidupan masyarakat
berada di bawah pengawasan raja, termasuk juga semua hal yang berkaitan
dengan bahasa dan sastra.
Pada periode Klasisisme, genre karya sastra utama yang menarik minat
publik adalah drama serta tulisan yang bersifat moralis. Melalui media tersebut,
para sastrawan Prancis diberi tugas untuk mengajari masyarakat agar menjadi
pribadi yang bermoral, elegan dalam bertindak, serta berperilaku terpuji
(Lagarde et Michard, 1970:8). Salah satu karya moralis yang dikenal luas
masyarakat Prancis saat itu adalah Fables karya Jean de La Fontaine, yang

mempresentasikan tokoh binatang untuk menggambarkan kondisi masyarakat
pada umumnya. Melalui sajak-sajaknya, sang penyair menertawakan perilaku
manusia dengan menggunakan gaya bahasa yang unik dan mudah dipahami. Ia
membongkar segala ambisi, keegoisan, ketamakan, dan sifat-sifat buruk manusia
lainnya. Karya ini juga merupakan satir politik dan kritik sosial. Seperti yang
terlihat dalam beberapa puisinya, La Fontaine pun tidak luput mempertanyakan
kebijakan yang dibuat Louis XIV dan juga kalangan atas di istana (Aksa,
1990:17).
Kisah Hidup Jean de la Fontaine
Jean de La Fontaine lahir di Château-Thierry pada tanggal 8 Juli 1621 dan
meninggal di Paris tanggal 13 April 1694. Ia adalah seorang penyair besar
Prancis yang terutama dikenal dengan Fables dan Contes. Karya-karyanya yang
beragam mulai dari puisi, drama dan opera, menunjukkan ambisinya sebagai

seorang moralis. La Fontaine terinsipirasi oleh para pengarang fabel YunaniRomawi. Kumpulan Fables pertamanya terdiri dari buku I-VI yang ditulis tahun
1668, kemudian yang kedua tahun 1678, dan yang terakhir tahun 1694. Ia
mengolah dengan baik sajak-sajaknya yang sarat dengan pesan moral, walaupun
seringkali pada kesan pertama, hal-hal implisit itu tidak terlalu terlihat dengan
baik.
Jean de La Fontaine berasal dari keluarga borjuis, sebagai putra dari

Charles de La Fontaine dan Françoise Pidoux. Ia memiliki seorang adik bernama
Claude dan saudari tiri, Anne de Jouy, anak dari pernikahan pertama sang ibu.
Tempat tinggal keluarga itu kemudian menjadi museum Jean de La Fontaine,
cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah Prancis sejak tahun 1887 hingga
saat ini.
Pada masa remajanya, Jean melanjutkan studi di bidang hukum di Paris
dan meraih gelar sarjana pada tahun 1649. Sebelum lulus, ayah Jean
menjodohkan putranya itu dengan Marie Héricart, dan mereka pun menikah
pada tahun 1647. Setelah memiliki seorang anak laki-laki, Jean merasa jenuh
dengan perkawinan yang diatur orang tuanya itu. Dengan segera, ia melebur
dalam pergaulan kaum libertin (orang-orang bebas) Paris. Sejak itulah, Jean
mulai fokus menulis. Namun tulisan pertamanya, sebuah teks drama berjudul
L’Eunuque yang dipublikasikan pada tahun 1654, sama sekali tidak menarik
perhatian publik.
Dalam menata karirnya, Jean berada dalam perlindungan Fouquet,
menteri keuangan Louis XIV dan sering menulis untuknya. Namun sejak
kejatuhan sang menteri dari kabinet raja pada tahun 1661, Jean de La Fontaine
lalu bekerja untuk Duchesse d’Orléans. Karyanya Contes (1665), yang meniru
karya Arioste dan Boccace, meraih kesuksesan besar. Jean lalu berteman dengan
para tokoh terkenal Prancis masa itu seperti Madame de La Fayete, La

Rochefoucault, Racine, Molière, dan Boileau. Ia pun mulai menyusun kumpulan
puisinya, Fables. Yang dilakukan Jean de La Fontaine sebenarnya adalah
menuliskan kembali dengan gaya yang lebih menarik karya-karya di masa
lampau dari Esope, penulis fabel Yunani, dan Phèdre, pendongeng Latin. Jean
menggambarkan kehidupan manusia dan tatanan masyarakat dengan
mengeksplorasi adegan-adegan yang dilakoni para binatang (atau pun manusia)
yang ia gunakan sebagai simbol, mulai dari rubah, gagak, serigala, hingga semut
dan jangkrik.
Selain Fables dan Contes, karya-karya Jean de La Fontaine yang lain adalah
L’Eunuque (1654), Adonis (1669), Les Rieurs du Beau-Richard (1659), Élégie aux

nymphes de Vaux (1660), Ode au roi (1663), Les Amours de Psyché et de
Cupidon (1669), Recueil de poésies chrétiennes et diverses (1671), Poème de la captivité
de Saint Malc (1673), Daphné (1674), Poème du Quinquina (1682), Ouvrages de prose
et de poésie (1685), dan Astrée (1691).
Penyair ini jatuh sakit pada akhir 1692 karena menderita tuberkulosis dan
meninggal pada 13 April 1695.
I.
Simbolisasi Kehidupan Manusia melalui Perilaku Tokoh Binatang
Secara umum, fabel adalah suatu karya sastra mengenai dunia binatang,

tumbuhan, atau mahluk tak bernyawa. Jenis cerita ini selalu mengandung pesan/
amanat, karena tujuan utama fabel adalah menyampaikan pelajaran moral dan
budi pekerti kepada pembacanya. Pesan pengarang tersebut biasanya
disampaikan melalui analogi tindakan para tokoh (Keraf, 1994:140).
Yang membedakan fabel yang ditulis Jean de La Fontaine dengan penulispenulis fabel lainnya adalah kualitas kesastraan yang tinggi dan konteks sejarah
yang kuat. Fabel di masa sebelumnya hanya dikenal sebagai salah satu jenis
dongeng yang dibacakan pada anak-anak sebelum tidur, atau diajarkan guru di
sekolah dasar dan menengah pada siswa untuk mengenalkan retorika maupun
pembelajaran bahasa Latin.
Les Fables choisies, mises en vers par M. de La Fontaine (Fabel Terpilih, Ditulis
dalam Sajak oleh Jean de La Fontaine) ditulis antara tahun 1668 hingga 1694.
Seperti namanya, koleksi dongeng yang ditulis berbentuk puisi ini kebanyakan
menggambarkan hewan antropomorfk dan mengandung moralitas pada bagian
awal atau akhir teks. Fabel ini ditulis untuk tujuan pendidikan, seperti yang
ditegaskan penyair tersebut, "Saya menggunakan hewan untuk mendidik
manusia." Moralitas berupa ungkapan terpisah yang terdapat di dalam karyakaryanya diakui hingga kini sebagai peribahasa yang dikenal oleh masyarakat
Prancis, seperti:
- Para penjilat hidup dari mereka yang mendengarkannya (Le Corbeau et le
Renard),
- Alasan yang paling kuat selalu menjadi yang terbaik (Le Loup et l’Agneau)

- Lebih baik menderita daripada mati (La Mort et le Bûcheron)
- Kesabaran dan waktu lebih berguna daripada kemarahan (Le Lion et le Rat)
- Kewaspadaan adalah sumber dari keamanan (Le Chat et un vieux Rat)
- Ular kecil lama kelamaan akan menjadi besar (Le Petit Poisson et le Pêcheur)
- Satu yang kau miliki lebih baik daripada dua yang akan kau terima (Le Petit
Poisson et le Pêcheur)

-

Pekerjaan adalah harta karun (Le Laboureur et ses Enfants)
Bantulah dirimu sendiri, maka langit akan membantumu (Le Chartier
embourbé)
Karya yang paling singkat adalah yang terbaik (Discours à M. le duc de La
Rochefoucauld)
Jangan menjual kulit beruang sebelum berburu (L'Ours et les deux
Compagnons)

Pada bagian selanjutnya, akan dipaparkan beberapa fabel yang paling terkenal
karya Jean de La Fontaine dengan pembahasannya.
a. Le Corbeau et Le Renard (Si Gagak dan si Rubah)


Maître Corbeau, sur un arbre perché,
Tenait en son bec un fromage.
Maître Renard, par l'odeur alléché,
Lui tint à peu près ce langage:
Et bonjour, Monsieur du Corbeau,
Que vous êtes joli! Que vous me semblez beau!
Sans mentir, si votre ramage
Se rapporte à votre plumage,
Vous êtes le Phénix des hôtes de ces bois.
À ces mots le Corbeau ne se sent pas de joie,
Et pour montrer sa belle voix,
Il ouvre un large bec, laisse tomber sa proie.
Le Renard s'en saisit, et dit: Mon bon Monsieur,

Apprenez que tout faaeur
Vit aux dépens de celui qui l'écoute.
Ceae leçon vaut bien un fromage sans doute.
Le Corbeau honteux et confus
Jura, mais un peu tard, qu'on ne l'y prendrait plus.


Pada suatu hari, si gagak sedang berada di atas pohon dan di paruhnya terdapat
sepotong keju yang tampak lezat. Si rubah yang lewat pun tertarik dengan
aroma harum keju itu dan menyapa si burung hitam dengan ramah. Ia memujimuji penampilan si gagak yang tampan, yang menurutnya, bulu-bulu burung itu
sangat mengkilap dan mengingatkannya pada legenda burung feniks.
Mendengar kata-kata sanjungan itu, si gagak ingin membuka mulutnya untuk
menunjukkan bahwa ia pun bersuara indah. Namun sepotong keju di paruh
gagak terjatuh, dan dengan segera rubah meraihnya sambil lari menjauh. Si
rubah tidak lupa menasihati bahwa pujian seringkali membahayakan. Si gagak
yang malu hati dan kecewa pun bersumpah, meskipun terlambat, bahwa ia tidak
akan pernah lagi diakali seperti itu.
Pada kisah ini, si rubah telah mengetahui kelemahan si gagak (dan
manusia pada umumnya) yaitu senang dipuji. Ia memulai rayuannya dari aspek
penampilan (vous me semblez beau, ‘Anda tampak tampan’), kemudian
melanjutkannya dengan membuat perbandingan yang tidak masuk akal di
antara gagak yang berbulu hitam dengan feniks, burung mitologis yang
berwarna merah keemasan (dalam legenda, burung feniks diketahui hanya
dapat mati bila terbakar, tapi ia pun akan hidup kembali dari abu tubuhnya).
Meskipun tahu bahwa komparasi yang dibualkan si rubah itu sungguh tidak
rasional, si burung tetap merasa senang hatinya. Hal ini pun membuatnya lupa

diri terlebih saat si rubah ingin mendengar suaranya, yang pastinya sangat
merdu.
Kesenangan semu itu tiba-tiba buyar dengan terjatuhnya sepotong keju
ketika si gagak membuka paruhnya. Hal ini relevan dengan nasihat yang
disampaikan rubah, bahwa tout faaeur vit aux dépens de celui qui l'écoute, ‘semua
penjilat hidup bergantung pada mereka yang mau mendengarnya’. Dengan kata
lain, si rubah telah mendapat keuntungan karena pandai memuji, dan si gagak
merugi karena ia dapat tertipu oleh kata-kata manis itu. Seandainya saja si gagak
mengabaikan pujian dari si rubah, ia tidak akan membuka paruhnya dan keju itu
tentu tidak akan jatuh.

Dalam konteks sosio-politik Prancis masa itu, La Fontaine seperti ingin
mengingatkan pada para pembacanya, terutama raja dan para pejabat negara,
untuk tidak terbuai oleh laporan atau kata-kata yang tidak sesuai dengan
kenyataan. Untuk mencapai keinginannya, banyak orang licik akan melakukan
apapun dengan cara apapun, termasuk memuji-muji dan menyatakan hal-hal
yang ingin didengar oleh lawan bicaranya. Memang sudah menjadi sifat dasar
manusia yang senang bila disanjung dan dipuja, meskipun dalam hatinya ia tahu
bahwa sanjungan itu palsu adanya. Pujian yang tidak tulus itu kemudian bisa
mendatangkan kerugian bila kita tidak berhati-hati.

Pada akhir cerita fabel ini, si gagak yang malu dan kecewa menyatakan
bahwa ia merasa jera, sehingga ia berjanji untuk lebih hati-hati agar peristiwa
seperti yang dialaminya tidak terjadi lagi, qu'on ne l'y prendrait plus. Secara
tersirat, si burung hitam ini tidak akan lagi mudah mempercayai pernyataan
orang yang belum jelas kebenarannya.
b. La Cigale et la Fourmi (Si Jangkrik dan si Semut)

La cigale ayant chanté
Tout l'été,
Se trouva fort dépourvue
Quand la bise fut venue.
Pas un seul petit morceau
De mouche ou de vermisseau.
Elle alla crier famine
Chez la Fourmi sa voisine,
La priant de lui prêter

Quelque grain pour subsister
Jusqu'à la saison nouvelle.
Je vous paierai, lui dit-elle,

Avant l’août, foi d'animal,
Intérêt et principal.
La Fourmi n'est pas prêteuse,
C'est là son moindre défaut.
Que faisiez-vous au temps chaud?
Dit-elle à ceae emprunteuse.
Nuit et jour à tout venant,
Je chantais, ne vous déplaise.
Vous chantiez? j'en suis fort aise,
Eh bien! dansez maintenant.

Fabel tentang si Jangkrik dan si Semut merupakan puisi pertama dari 124 kisah
yang ditulis La Fontaine. Karya ini dipersembahkan untuk Dauphin, putra Louis
XIV dan Marie-Thérèse, yang baru berusia 6 tahun. Seperti yang ditulis La
Fontaine pada bagian prolog, kehidupan kedua binatang yang tergambar dalam
kisah ini mencerminkan karakter manusia pada umumnya.
Si jangkrik yang selama musim panas hanya bernyanyi dan berpesta, baru
menyadari bahwa angin musim dingin mulai menghampirinya. Ia sama sekali
tidak memiliki apapun untuk dimakan. Si jangkrik pun mendatangi rumah si
semut untuk meminjam sedikit makanan hingga musim berganti, dan tidak lupa

ia berjanji akan segera membayarnya sebelum bulan Agustus, beserta bunga
pinjaman. Namun si semut tidak percaya begitu saja. Ia tahu benar sifat si
jangkrik yang hanya pandai menyanyi siang dan malam tapi tidak pandai
berburu. Ia membiarkan si jangkrik dalam kondisi kelaparan, sebagai pelajaran
untuk kehidupan selanjutnya.
Dalam dunia nyata, binatang seperti juga manusia dan tumbuhan,
bertahan hidup dengan cara beradaptasi pada berbagai kondisi musim dan alam
sekitarnya. Demikian pula dengan dua serangga kecil, jangkrik dan semut, yang
kebiasaan hidupnya menjadi faktor penentu kelanjutan kehidupan mereka. Si
jangkrik yang hanya pandai menyanyi sepanjang musim panas, ayant chanté
tout l'été, tidak suka bekerja atau mengumpulkan makanan. Ia mulai merasa
bahwa kesulitan akan menimpanya saat menyadari musim dingin telah tiba.
Untuk menyelesaikan masalah ini, si jangkrik mengambil jalan pintas

dengan cara mengiba-iba di depan rumah si semut, elle alla crier famine chez
la Fourmi sa voisine. Tapi teringat pada harga dirinya, si jangkrik pun
menyatakan niatnya meminjam makanan untuk persiapan menghadapi
musim dingin berupa lalat dan cacing, de mouche ou de vermisseau, atau
beberapa butir biji-bijian, quelque grain. Ia bukan hendak meminta-minta
pada tetangganya itu.
Demi meyakinkan si semut, si jangkrik lalu berjanji, bahkan
bersumpah atas nama sesama binatang, Je vous paierai, lui dit-elle, Avant
l’août, foi d'animal, Intérêt et principal. Sebagaimana manusia yang berhutang,
si jangkrik juga memahami bahwa ia untuk membalas budi, ia harus
membayar bunga tambahan selain dari jumlah makanan yang ia pinjam.
Bulan Agustus menjadi batas pengembalian yang ia janjikan, sebagai akhir
musim panas, yang diyakininya akan menjadi masa yang berpihak padanya.
Si semut sebenarnya merupakan binatang yang baik hati, tapi ia bukan
sosok yang suka memberi pinjaman, La Fourmi n'est pas prêteuse, C'est là son
moindre défaut. Hanya itulah sifatnya yang dianggap kurang baik. Semut
adalah hewan yang rajin bekerja, ramah, peduli pada sesamanya, namun
sangat hemat. Ia menganggap memberi pinjaman adalah sebuah bentuk
pemborosan. Terlebih si jangkrik diketahuinya adalah emprunteuse, (orang)
yang suka meminjam. Dengan klasifkasi yang tegas ini, terlihat bahwa
hubungan di antara yang meminjam (emprunteuse) dan yang dipinjam
(prêteuse) tergantung pada ada atau tidak adanya kesepakatan di antara
mereka mengenai pinjaman. Dalam hal ini, si semut mengetahui bahwa si
jangkrik tidak memiliki kemampuan untuk mengembalikan apa yang sudah
atau akan dipinjamnya. Serangga itu hanya bisa menyanyi sepanjang siang
dan malam. Oleh karenanya, si semut pun terpaksa harus bersikap tega
menolak permintaan si jangkrik. Dengan sindiran, ia juga menyuruh
tetangganya itu untuk menikmati sisa hidupnya dengan menari, Eh bien!
Dansez maintenant.
Meskipun memberikan pesan moral yang baik dan menarik, kisah si
jangkrik dan si semut ini ternyata dikritisi oleh para pembacanya, salah satunya
oleh Jean-Henri Fabre (1823-1915) dalam Souvenirs Entomologiques yang
menguraikan kesalahan-kesalahan dalam puisi La Fontaine di atas. Pada
kenyataannya, jangkrik tidak memakan lalat atau cacing, apa lagi biji-bijian.
Selain itu, pada akhir musim panas menjelang musim gugur dan musim dingin,
jangkrik biasanya mati karena tidak dapat bertahan hidup dalam suhu rendah.
Di sisi lain, semut adalah binatang karnivora, ia juga tidak makan biji-bijian.

Berarti dalam fabel ini terdapat hal-hal yang tidak logis dan tidak sesuai realita.
Namun pembela La Fontaine, René Bray, bersikeras bahwa penyair itu adalah
seorang naturalis yang kaya dengan fantasi. Seluruh karyanya memiliki nilai
tinggi, jadi tidak perlu membesar-besarkan nyata atau tidaknya poin-poin yang
ia lukiskan di sana.
Dalam kehidupan masyarakat Prancis abad 17, memang ada golongan
yang gaya hidupnya mencerminkan perilaku si jangkrik, yaitu kaum libertin,
termasuk di dalamnya para seniman. Mereka dianggap selalu bersenang-senang,
menghabiskan penghasilan mereka dalam satu malam, dan malas bekerja.
Namun di saat krisis dan tidak lagi memiliki uang untuk makan, mereka akan
melakukan apapun, termasuk menjual idealisme seni mereka, demi
menyenangkan sang majikan (raja dan kaum bangsawan).
c.

Le Loup et l’Agneau (Si Serigala dan si Domba)

La raison du plus fort est toujours la meilleure.
Nous l’allons montrer tout à l’heure.
Un Agneau se désaltérait
Dans le courant d’une onde pure.
Un Loup survient à jeun qui cherchait aventure,
Et que la faim en ces lieux aairait.
Qui te rend si hardi de troubler mon breuvage?
Dit cet animal plein de rage:
Tu seras châtié de ta témérité.
Sire, répond l’Agneau, que votre Majesté
Ne se meae pas en colère;

Mais plutôt qu’elle considère
Que je me vas désaltérant
Dans le courant,
Plus de vingt pas au-dessous d’elle;
Et que par conséquent en aucune façon
Je ne puis troubler sa boisson.
Tu la troubles, reprit ceae bête cruelle,
Et je sais que de moi tu médis l’an passé.
Comment l’aurais-je fait si je n’étais pas né?
Reprit l’Agneau, je tète encor ma mère,
Si ce n’est toi, c’est donc ton frère :
Je n’en ai point. C’est donc quelqu’un des tiens:
Car vous ne m’épargnez guère,
Vous, vos bergers, et vos chiens.
On me l’a dit: il faut que je me venge.
Là-dessus au fond des forêts
Le Loup l’emporte, et puis le mange,
Sans autre forme de process

Puisi ini berkisah tentang relasi di antara yang kuat dan yang lemah. Yang kuat,
si serigala, bertemu dengan si lemah, seekor domba muda, di tepi danau. Si
serigala yang telah lama tidak mendapatkan makanan bersorak dalam hatinya
melihat sang calon mangsa. Dengan kasar dan penuh nada kemarahan, ia
menegur domba yang menurutnya telah berani mengotori tempatnya minum.
Karena merasa takut, domba yang malang itu meminta maaf meskipun
sebenarnya ia tidak mengerti atas tuduhan tersebut.
Si serigala terus mengancam dengan cara mengingatkan bahwa setahun
yang lalu ia mendengar si domba pernah menjelek-jelekkan dirinya. Si domba
yang bingung dengan tuduhan itu, sedapat mungkin mencoba menyampaikan
bahwa ia tidak pernah melakukan hal tersebut, terlebih setahun yang lalu
dirinya masih bayi. Sangat tidak mungkin baginya melakukan hal tercela pada si
serigala. Namun demikian, si serigala menolak semua alasan itu. Kalaupun
bukan si domba yang memburuk-burukkan namanya, bisa jadi pelakunya
adalah saudara si domba. Siapapun itu, bagi si serigala, semua sama saja, semua
memusuhinya, mulai dari keluarga domba, para penggembala, dan terutama
anjing-anjing. Karena itulah, tanpa banyak membuang waktu lagi, si serigala

menyerang si domba, membawanya ke hutan dan memakannya. Mereka tidak
perlu lagi berdebat, karena si serigala sudah terlalu lapar.
Dalam fabel ini, moralitas atau pesan moral ditulis di bagian awal puisi,
bahwa la raison du plus fort est toujours la meilleure, ‘Alasan dari yang terkuat
adalah yang terbaik’. Peringatan ini menunjukkan bahwa sebenar apapun
argumentasi dari pihak yang lemah, ia tidak akan berdaya menghadapi
lawannya yang kuat. Dengan demikian, pembaca telah memahami bahwa di
dalam puisi ini akan ada semacam debat kusir yang hasilnya bisa ditebak
dengan mudah, yaitu pihak yang kuat akan selalu menang.
Si domba yang kehausan bermaksud menghilangkan dahaganya di tepi
sebuah danau yang jernih airnya, namun ia malah dipertemukan dengan sang
algojo, seekor serigala yang sedang kelaparan. Campur tangan takdir dalam hal
ini sangat kuat. Si domba yang masih sangat muda itu sebenarnya bisa lari dari
serigala yang lemah dan lapar, tapi karena rasa takut menguasai dirinya, si
domba tidak dapat beranjak dari tempat itu. Kurangnya pengalaman hidup dan
kemudaan si domba dimanfaatkan dengan baik oleh si serigala untuk
mengintimidasi. Qui te rend si hardi de troubler mon breuvage?‘Siapa yang
membuatmu begitu lancang mengacaukan tempat minumku?’
Meskipun sangat jelas bahwa danau dan airnya yang bening itu bukan milik
siapapun, si serigala melakukan klaim atas tempat tersebut dengan memberi
penekanan bahwa si domba telah melakukan kesalahan besar berupa intrusi/
penerobosan sehingga ia patut dihukum, Tu seras châtié de ta témérité.
Dengan menyadari posisinya yang tersudut dan peluangnya yang
sangat kecil untuk selamat dari situasi ini, si domba mencoba melunakkan
hati si serigala dengan menyanjungnya melalui penyebutan ‘Sire’ dan ‘Votre
Majesté’, sebutan yang biasa ditujukan pada raja. Ia juga meminta maaf atas
kesalahannya yang merasa haus dan ingin minum di tempat itu. Si domba
berusaha tetap obyektif dan menerangkan bahwa jarak di antara mereka
cukup jauh, jadi tidak mungkin ia mengeruhkan air minum si serigala.
Si binatang jahat, la bête cruelle, mengerti bahwa ia membual, namun ia
tetap berusaha memanfaatkan situasi yang akan menguntungkan dirinya ini. Dia
pun menambahkan tuduhan tentang kesalahan si domba lainnya, yaitu pada
tahun lalu ia mendengar bahwa si domba menjelek-jelekkan dirinya. Lagi-lagi si
domba mencoba mengingatkan si serigala bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.
Pada saat ini saja umurnya masih sangat muda, yang berarti setahun lalu ia baru
saja lahir, je tète encor ma mère, ‘saya masih menyusu pada ibu.’ Tidak mau
mendengar alasan itu, si serigala tidak lagi peduli siapa yang bersalah,

karena semua pihak bersalah di matanya. Kalau bukan si domba pelakunya,
pasti saudara si domba yang mencoreng nama baiknya, Si ce n’est toi, c’est
donc ton frère, ‘Kalau bukan kamu, pasti saudaramu.’ Baginya tidak penting
bila bukan si domba muda pelakunya, dengan tanpa keraguan, si domba
telah divonis bersalah untuk hal yang tidak dilakukannya.
Anti-klimaks dari debat ini adalah keputusan si serigala bahwa
dirinya harus membalas dendam, il faut que je me venge. Terlepas dari jenis
kesalahan yang dibuat si domba atau pun pelaku yang sebenarnya dari
kekeliruan yang tidak jelas itu, si serigala tetap menghukum si domba
dengan mengabaikan fakta-fakta yang ada, sans autre forme de procès, ‘tanpa
proses apa pun lagi.’ Dua hal yang didapatkan si serigala terungkap pada
akhir cerita, yaitu makanan untuk memuaskan rasa laparnya, dan
kemenangan mutlak atas debat dengan si domba.
Dalam konteks realita, seperti yang telah dipaparkan di awal, Jean de
La Fontaine hidup di masa Louis XIV, raja Prancis yang kekuasaannya
nyaris tanpa batas. Diam-diam penyair ini menyindir proses peradilan yang
kerap dilakukan dengan absurd dan semena-mena oleh raja. La Fontaine
menunjukkan bahwa ia tidak setuju dengan kebiasaan raja yang gemar
menghukum tanpa ampun orang-orang yang tidak disukainya, terlebih
mereka yang berani melawannya. Perlawanan defensif si domba
menempatkannya pada posisi terdakwa (le coupable), dan serangan bertubitubi si serigala menunjukkan tempatnya sebagai pihak penuntut
(l’accusateur). Hal ini memperlihatkan bagaimana situasi yang kerap terjadi
di ruang pengadilan pada masa pemerintahan Louis XIV. Kondisi tersebut
bergeser menjadi lebih buruk, karena si domba kemudian menjadi korban
dan si serigala menjadi algojonya.
Penyebutan ‘Sir’ ‘Tuan’ dan ‘Votre Majesté’ ‘Yang Mulia’ dalam puisi
Le Loup et l’Agneau adalah tanda-tanda yang sangat jelas menunjukkan jarak
dan relasi pertentangan di antara kedua binatang. Betapapun keras si lemah
berusaha mempertahankan diri, perlawanannya menjadi sia-sia karena si
kuatlah yang pasti akan selalu menang.
d.

La grenouille qui voulait se faire aussi grosse que le bœuf (Katak yang ingin
menjadi sebesar Kerbau)

Une Grenouille vit un Bœuf
Qui lui sembla de belle taille.
Elle, qui n'était pas grosse en tout comme un œuf,
Envieuse, s'étend, et s'enfe, et se travaille,
Pour égaler l'animal en grosseur,
Disant: «Regardez bien, ma sœur;
Est-ce assez? Dites-moi; n'y suis-je point encore?
- Nenni. - M'y voici donc? - Point du tout. - M'y voilà?
- Vous n'en approchez point.» La chétive pécore
S'enfa si bien qu'elle creva.
Le monde est plein de gens qui ne sont pas plus sages:
Tout bourgeois veut bâtir comme les grands seigneurs,
Tout petit prince a des ambassadeurs,
Tout marquis veut avoir des pages.

Fabel di atas menceritakan kisah seekor katak yang merasa iri pada si kerbau,
binatang besar yang tampak begitu gagah dan memukau di matanya. Ia pun
berlatih dengan berbagai cara supaya tubuhnya dapat menjadi sebesar kerbau. Si
katak pun dinasihati bahwa apa yang ia lakukan tidak bijak. Di dunia manusia
hal yang sama pun terjadi. Seringkali manusia tidak puas dan tidak bersyukur
untuk apa yang ia miliki. Kritik dalam puisi ini sebenarnya ditujukan La
Fontaine kepada kalangan istana dan agamawan, yang dikenal kerap membuat
intrik dan strategi untuk mencapai posisi yang lebih tinggi. Cerita sederhana
tentang si katak yang ingin menjadi sebesar kerbau ini, seperti fabel lainnya,
merupakan kisah lama yang pernah ditulis Esope dan Phèdre. Meskipun ada

atmosfer komikal di dalamnya, fabel ini lebih cenderung bersifat satire tentang
sifat iri dan ambisi yang ada pada diri setiap manusia.
Si katak yang berukuran normal seperti katak pada umumnya, qui n'était
pas grosse en tout comme un œuf, ‘yang ukurannya tidak besar hanya seperti
sebuah telur’, terkagum-kagum pada tubuh si kerbau qui lui sembla de belle taille,
‘yang menurutnya memiliki ukuran yang bagus’. Seperti manusia biasa yang
memandang takjub pada sesuatu yang tidak dimilikinya, si katak pun merasa iri,
envieuse. Sifat tersebut bukan hanya berkaitan dengan kedengkian tapi juga
ambisi yang sangat tinggi.
Personifkasi yang digunakan La Fontaine dalam fabel ini bukan hanya
berkaitan dengan karakter tokoh binatang yang menyerupai manusia, tapi juga
bagaimana nama mereka ditulis dengan huruf besar (Grenouille dan Boeuf), dan
mereka melakukan percakapan, seperti yang terjadi di antara si katak yang ingin
menjadi sebesar kerbau, dengan katak lainnya, ‘ma soeur’, ‘saudara
(perempuan)ku’.
Dialog di antara mereka pun terus berlanjut karena si katak yang ingin
menjadi sebesar kerbau itu melatih tubuhnya dengan berolahraga pour égaler
l’animal en grosseur, ‘untuk menyamai besarnya (tubuh) si binatang (kerbau)’. Ia
pun ingin tahu pendapat katak lainnya tentang hasil latihannya, namun selalu
dijawab secara negatif dan tidak apresiatif: Nenni, ’Tidak’, Point du tout ‘sama
sekali tidak’, Vous n'en approchez point ‘mendekati pun tidak’. Pada akhirnya, si
katak yang ingin menjadi sebesar kerbau itu menyerah, La chétive pécore s'enfa si
bien qu'elle creva. Ia menyadari bahwa usahanya untuk menjadi sebesar kerbau
sia-sia belaka.
Bagian pesan moral terletak di akhir fabel mengingatkan pembaca bahwa
le monde est plein de gens qui ne sont pas plus sages, ‘dunia ini penuh dengan
manusia yang tidak bijaksana’. Manusia yang tidak bijaksana dalam konteks
tersebut adalah manusia yang menjalani hidup seperti si katak yang ingin
menjadi sebesar kerbau. Mereka terdiri dari kaum borjuis, para pangeran dan
bangsawan (bourgeois, petit prince, marquis). Kaum high class ini tentunya telah
mapan secara sosial-ekonomi, tapi ternyata mereka masih mengharapkan hal-hal
yang berada jauh di luar jangkauannya (kekayaan, jabatan), dan bersedia
melakukan segala cara untuk dapat mencapainya. Secara umum, fabel ini
merupakan sebuah apolog, yaitu kisah yang memiliki tujuan untuk memberi
pelajaran moral yang diformulasikan secara eksplisit dan argumentatif.

Peran Fabel dalam Pembentukan Karakter Anak
Cerita binatang atau fabel merupakan salah satu bentuk cerita tradisional yang
menampilkan binatang sebagai tokoh cerita (Nurgiyantoro, 2013:190). Selaras
dengan pendapat tersebut, Winarni (2014:21) menyatakan bahwa fabel adalah
cerita yang menggambarkan watak dan budi manusia yang pelakunya
diperankan oleh binatang. Tokoh cerita berupa binatang tersebut diibaratkan
seperti manusia, yang berarti dapat berpikir, berinteraksi, dan memiliki
permasalahan hidup layaknya manusia. Dalam berinteraksi, mereka juga
menggunakan bahasa seperti manusia.
Menurut Sugihastuti (2013:25-26), fabel termasuk karya sastra atau teks
sastra. Melalui tokoh binatang, pengarang ingin memengaruhi pembaca agar
mencontoh tokoh yang baik dan tidak mencontoh tokoh yang tidak baik.
Berdasarkan karakter tersebut, fabel dapat dikategorikan sebagai teks persuasif
yang bertujuan membawa perubahan, agar pembaca terkesan oleh teks tersebut
sehingga bereaksi sesuai dengan yang diharapkan pengarang. Ciri persuasif
inilah yang mengantarkan fabel sebagai teks didaktis atau bermuatan
pendidikan.
Fabel mengajarkan sesuatu yang meyakinkan, yang kadang bersifat
humoristik, mengharukan, dan atau memberi informasi. Di atas semua itu,
tujuan cerita binatang ini tidak lain adalah untuk memberikan pesan-pesan
moral (Mitchell, 2003:245). Tokoh binatang dalam cerita fabel digunakan sebagai
sarana personifkasi untuk menyampaikan pelajaran moral tersebut.
Sebagai sebuah karya rekaan, meskipun juga banyak dibaca remaja dan
orang dewasa, fabel dapat dikategorikan sebagai bagian dari sastra anak.
Menurut Rukayah (2012:4), sastra anak adalah karya yang menggunakan media
bahasa baik lisan maupun tertulis bentuknya dapat berupa puisi, prosa, maupun
drama. Karya tersebut dapat ditulis oleh orang dewasa, remaja, maupun anakanak, yang secara khusus diperuntukkan pada anak-anak, sehingga dapat
dipahami anak dan mengisahkan tentang dunia yang dikenal oleh anak.
Sementara itu, Winarni (2014:2) menjelaskan bahwa sastra anak merupakan
karya yang dari segi bahasa mempunyai nilai estetis dan dari segi isi
mengandung nilai-nilai pendidikan moral yang dapat memperkaya pengalaman
jiwa bagi anak.
Sastra anak pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan sastra orang
dewasa. Keduanya sama-sama berada pada wilayah sastra yang meliputi
kehidupan dengan segala perasaan, pikiran, dan wawasan kehidupan. Hal yang
bersifat fokus pemberian gambaran kehidupan yang bermakna bagi anak yang

diurai dalam karya tersebutlah yang membedakannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat Huck (1987) bahwa sastra anak menggambarkan masalah yang
berhubungan dengan kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi
anak. Agar dapat menggambarkan masalah yang berhubungan dengan dunia
anak, maka konsekuensinya, sastra anak harus bertokoh utama anak, dengan
permasalahan khas anak yang dipahami dengan perspektif anak. Dalam hal ini
Huck (1987) mengemukakan bahwa siapapun yang menulis sastra anak tidak
perlu dipermasalahkan, asalkan dalam penggambarannya ditekankan pada
kehidupan anak yang memiliki nilai kebermaknaan bagi mereka.
Melalui pengisahan dan dialog dalam fabel, terwujud penyajian suasana
dan perilaku tokoh yang jelas, baik sifat, peran, maupun fungsinya dalam cerita.
Pada umumnya, fabel menggunakan penokohan dengan sifat tokoh yang hitam
dan putih. Artinya, setiap tokoh yang dihadirkan hanya mengemban satu sifat
utama, yaitu tokoh baik atau tokoh buruk. Hal tersebut dilakukan untuk
memudahkan identifkasi fgur yang akan menjadi panutan atau teladan.
Pembentukan watak atau karakter pada anak selain dilakukan di rumah
oleh keluarga, juga dapat ditunjang oleh pendidikan di sekolah. Pada umumnya,
kegiatan pembentukan karakter ini bertujuan untuk memberikan tuntunan pada
anak dalam mengembangkan nilai-nilai kebaikan di dalam dirinya. Hal ini
sejalan dengan pendapat Kesuma (2011:5), yang menyatakan bahwa pendidikan
karakter adalah usaha untuk mendidik anak agar mengambil keputusan yang
bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Rahmanto (2008)
dalam Azis (2014:5) menyatakan bahwa pengajaran sastra dapat membantu
pendidikan manusia secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat,
yaitu membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan pengetahuan budaya,
mengembangkan cipta dan rasa, serta menunjang pembentukan watak.
Pendidikan karakter anak memang sebaiknya tidak hanya berujung pada
pencapaian kecerdasan intelektual, tetapi juga mengarah pada pencapaian
pembentukan sikap mental, yaitu pengembangan watak positif dalam
kehidupan sehari-hari anak. Melalui pendidikan karakter dapat diajarkan baik
secara tidak langsung maupun secara eksplisit, anak akan mengenai nilai religius
dan moralitas yang dapat disisipkan dalam kegiatan membaca cerita, bermain
drama, dan sebagainya.
Penutup
Fabel sebagai puisi atau cerita pendek merupakan dongeng yang
menggambarkan watak dan budi pekerti manusia melalui tokoh binatang atau

tumbuhan. Karena memuat ilustrasi mengenai moralitas dan memiliki tujuan
yang bersifat didaktis, fabel layak dijadikan sebagai bahan ajar untuk
menanamkan pendidikan karakter pada anak. Dari fabel, anak-anak dapat
meniru sikap dan perilaku tokoh dalam cerita yang sesuai dengan norma ideal,
dan sebaliknya, menghindari sikap dan perilaku tokoh yang bertentangan
dengan norma ideal.
Walaupun ditulis 325 tahun yang lalu, Fables karya Jean de La Fontaine
masih dibaca untuk dipelajari hingga hari ini di seluruh sekolah dasar Prancis,
dan juga di negara frankofon di seluruh dunia. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa karya sastra yang baik dan bermutu tidak hanya dinikmati pada masa
penciptaannya saja tapi jauh hari setelahnya, berkat nilai-nilai kebajikan yang
bersifat universal dan masih relevan sampai sekarang. Kisah tentang La Cigale et
La Fourmi, misalnya, masih dapat diambil pelajarannya oleh pembaca untuk
dapat memilih sikap dalam menghadapi kehidupan yang semakin tak menentu.
Ambisi Jean de La Fontaine untuk mendidik manusia melalui binatang
adalah ambisi yang baik, sebagaimana pernyataan sahabatnya, Maucroix, yang
menulis kesan mendalam tentang fabulis ini di hari kematiannya. “Ia memiliki
hati yang jujur, yang paling tulus yang pernah saya kenal: tidak pernah berpurapura. Saya bahkan tidak tahu apakah ia pernah berdusta selama hidupnya.”
Daftar Acuan
Aksa, Yati Haswidi. 1990. Rubah dan Kancil Suatu Gambaran Tatanan Dunia:
Studi Perbandingan Beberapa Fabel Karya La Fontaine dan Satjadibrata.
Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Azis, Abdul.2014. Fabel sebagai Bahan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di
Sekolah Dasar. JURNAL PARAMASASTRA Vol.1 No.2. diunduh melalui
htp://ejournal.fbs.unesa.ac.id/index.php/Paramasastra/article/view/13
tanggal 3 Maret 2018.
Blondeau, Nicole et al. 2004. Liaérature Progressive du français. Paris: CLE
International.
Dwi Syafutri, Husni & Fatma Hidayati. 2016. Fabel sebagai Alternatif Pendidikan
Karakter dalam Pembelajaran Sastra Anak. Prosiding Seminar Nasional Sastra
Anak., Yogyakarta 2016. diunduh melalui htp://pbsi.uad.ac.id/wpcontent/uploads/Husni-Dwi-Syafutri-Fatma-Hidayati.pdf tanggal 12
Maret 2018.
Huck, Charlote S. 1987. Children Literature in the Elementary School New York:
Holt Rinehart.

Husen, Ida Sundari. 2001. Mengenal Pengarang-pengarang Prancis dari Abad ke
Abad. Jakarta: Grasindo.
Keraf, Gorys. 1994. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Karya Utama
Kesuma, Dharma. 2001. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Lagarde, André dan Laurent Michard. 1970. XVIIe siècle: Les Grands Auteurs du
français du Programme. Paris: Bordas.
Mitchell, Diana. 2003. Children’s Literature, an Invitation to the World. Boston:
Ablongman.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak
Cetakan Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Rukayah. 2012. Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran Sastra Anak dengan Pendekatan
Koperatif di Sekolah Dasar. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.
Sugihastuti. 2013. Tentang Cerita Anak. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Winarni, Retno. 2014. Kajian Sastra Anak Edisi 2. Yogyakarta: Graha Ilmu.
htp://www.la-fontaine-ch-thierry.net/cigale.htm
htp://www.la-fontaine-ch-thierry.net/corbrena.htm
htp://www.la-fontaine-ch-thierry.net/greboe.htm
htp://www.la-fontaine-ch-thierry.net/louagneau.htm