BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sekam Padi - Uji Pendahuluan Kapasitas Abu Sekam Padi Dalam Mengadsorpsi Timbal Dan Kadmium

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sekam Padi

  Menurut Badan Pusat Statistik (2011), Indonesia memiliki sawah seluas 12,84 juta hektar yang menghasilkan padi sebanyak 65,75 juta ton. Limbah sekam padi yang dihasilkan sebanyak 8,2 sampai 10,9 ton. Potensi limbah yang besar ini hanya sedikit yang baru dioptimalkan. Secara tradisional, sekam padi biasanya hanya digunakan sebagai bahan bakar konvensional (Danarto, et al., 2010).

  Sekam padi merupakan bagian pelindung terluar dari padi (Oryza

  sativa ). Dari proses penggilingan dihasilkan sekam sebanyak 20-30%, dedak 8-

  12% dan beras giling 52% bobot awal gabah (Hsu dan Luh, 1980). Pada proses penggilingan padi, sekam akan terpisah dari butiran beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan. Karena bersifat abrasif, nilai nutrisi rendah, bulk

  density rendah, serta kandungan abu yang tinggi membuat penggunaan sekam

  padi terbatas. Diperlukan tempat penyimpanan sekam padi yang luas sehingga biasanya sekam padi dibakar untuk mengurangi volumenya. Jika hasil pembakaran sekam padi ini tidak digunakan, akan menimbukan masalah lingkungan (Hsu dan Luh, 1980).

  Salah satu proses alternatif untuk meningkatkan manfaat sekam padi adalah dengan pirolisis. Pirolisis merupakan proses dekomposisi suatu zat/ material yang dilakuan pada suhu relatif tinggi. Hasil pirolisis sekam padi berupa char mengandung karbon dan silika dengan komposisi tergantung pada kondisi pirolisis (Danarto, et al., 2010).

  3 Sekam padi mempunyai bulk density 96 sampai 160 kg/m .

  Penggilingan sekam padi dapat meningkatkan bulk density dari 192 menjadi

  3

  384 kg/m Dengan pembakaran pada kondisi tertentu dapat menghasilkan abu sekam padi yang lebih mudah dihaluskan (Hsu dan Luh, 1980).

2.1.1 Komposisi Sekam Padi dan Abu Sekam Padi

  Sekam padi terdiri unsur organik seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Selain itu, sekam padi juga mengandung unsur anorganik, berupa abu dengan kandungan utamanya adalah silika 94-96%. Selain itu, juga terdapat komponen lain seperti Kalium, Kalsium, Besi, Fosfat, dan Magnesium (Hsu dan Luh, 1980). Komposisi anorganik dari abu sekam padi berbeda, tergantung dari kondisi geografis, tipe padi, dan tipe pupuk yang digunakan (Shukla, 2011).

  Material karbon yang mempunyai pori disebut juga karbon aktif. Pengaktifan dapat dilakukan dengan dua cara, yakni dengan cara fisika dan kimia. Biasanya, pengaktifan secara fisika dengan cara karbonisasi terhadap bahan dasar, karbonisasi dan aktifasi terjadi secara bersamaan dan pada temperatur yang rendah. Dengan aktifasi, pori baru terbentuk tapi pada saat yang bersamaan ukuran pori meningkat menjadi lebih besar sehingga

  2

  menghasilkan luas area permukaan yang tinggi, sekitar 1500 m /g. Karbon aktif diketahui mempunyai struktur pori yang beragam, menurut IUPAC, klasifikasi pori karbon yakni mikropori (jari-jari < 1 nm), mesopori (1 nm < d

  < 25 nm) dan makropori (d > 50 nm). Mikro dan mesopori dari karbon aktif mempunyai kapasitas yang baik sebagai adsorben (Mdoe dan Mkayula, 2002).

  Abu sekam padi berwarna putih keabuan, yang mengandung silika (Si

2 O) dengan kisaran 86,9-97,3% (Widwiastuti, et al., 2013). Merupakan

  oksida berpori, bersifat inert, dan area permukaan yang luas (Kolasinski,

  2

  2008). Luas area permukaan dari silika adalah 50-430 m /g (Widwiastuti, et al., 2013)

2.2 Logam berat dan pencemaran lingkungan Logam berat dapat mencemari lingkungan udara, tanah maupun air.

  Masuknya logam berat ke dalam badan air dapat melalui proses alami maupun diakibatkan oleh perbuatan manusia (Mulia, 2005). Logam berat dapat menyebabkan pencemaran lingkungan dan berpengaruh pada kesehatan manusia karena bersifat toksik, dapat terakumulasi pada rantai makanan dan bersifat persisten (Igwe dan Abia, 2007). Beberapa jenis logam seperti timbal dan kadmium dengan konsentrasi relatif kecil dapat membahayakan makhluk hidup (Mulia, 2005).

  Logam terbagi dua, yakni logam berat yang mempunyai berat 5 gram

  3

  atau lebih untuk tiap cm dan logam ringan yang beratnya kurang dari 5 gram

  3

  tiap cm . Ada istilah logam trace yakni logam yang dalam keadaan alami berjumlah sangat sedikit (Darmono, 1995).

2.2.1 Timbal

  2.2.1.1 Manfaat

  Timbal (plumbum atau timah hitam) sering digunakan sebagai bahan pelapis atau coating karena sifatnya yang tahan terhadap peristiwa korosi.

  Penggunaan timbal adalah untuk produksi baterai pada kendaraan bermotor, kabel, amunisi, dan industri percetakan tinta (Darmono, 1995).

  2.1.1.2 Toksisitas

  Gejala yang khas dari keracunan timbal adalah gastroenteritiss, merupakan reaksi rangsangan garam timbal terhadap mukosa saluran cerna.

  Selain itu, juga dapat menyebabkan anemia, karena timbal dapat berikatan dengan eritrosit sehingga sel darah merah mudah pecah dan berpengaruh terhadap sintesis Hb Disamping itu, dapat menyebabkan encefalopati, yakni kerusakan sel endotel kapiler darah otak sehingga protein dapat masuk ke dalam otak (Darmono, 1995).

  Di dalam tubuh, timbal bersirkulasi dalam darah setelah diabsorbsi dari usus, kemudian didistribusikan dalam jaringan lunak seperti tubulus ginjal dan sel hati. Timbal terdeposit dalam tulang, rambut, gigi. Di mana 90% terdeposit dalam tulang (Darmono, 2001).

2.2.2 Kadmium

2.2.2.1 Manfaat

  Kadmium bersifat tahan terhadap korosi sehingga banyak digunakan sebagai penstabil dalam pembuatan polivinil klorida. Selain itu, mempunyai sifat yang tahan panas sehingga bagus untuk campuran dalam pembuatan keramik, dan juga dapat digunakan dalam pelapisan logam lain untuk pencegahan korosi (Darmono, 1995). Kebanyakan kadmium merupakan produk samping dari pengecoran seng, timah atau tembaga. Kadmium banyak digunakan pada industri pelapisan logam, pigmen, batrai, dan plastik (Darmono, 2001). Sehingga, limbah industri yang mengandung kadmium sering mencemari perairan.

2.2.2.3 Toksisitas

  Kadmium dapat menyebabkan resiko terhadap kerusakan pembuluh darah. Beberapa efek yang ditimbulkan oleh kadmium adalah kerusakan ginjal, liver, sistem imunitas, sistem susunan saraf dan darah. Kadmium dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi maupun pencernaan. Setelah kadmium diabsorbsi maka akan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Hati dan ginjal merupakan tempat deposit 50% dari total kadmium yang masuk ke dalam tubuh. Waktu paruh kadmium dalam jaringan sekitar 5-10 tahun dalam hati, sedangkan waktu paruhnya 16-33 tahun dalam ginjal (Darmono,1995).

2.3 Adsorpsi

  Adsorpsi merupakan suatu proses dimana komponen pindah dari suatu fase ke fase lainnya dengan melintasi beberapa pembatas. Atau perpindahan zat dari pelarut menuju penyerapnya (LaGrega, et al., 2001). Menurut Benjamin (2002), adsorpsi adalah akumulasi dari suatu substansi pada atau didekat permukaan. Substansi yang terserap disebut dengan adsorbat, sedangkan bahan yang menyerap disebut dengan adsorben. Perpindahan bahan organik atau anorganik pada sisi permukaan adsorben terjadi dalam empat proses yaitu tranpor bulk fluid, film transport, difusi intrapartikel, physical attachment Menurut LaGrega, et al., (2001), proses adsorpsi dapat dilihat pada Gambar 1.

   Gambar 1. Proses Adsorpsi

2.3.1 Pembagian Adsorpsi

  2.3.1.1 Adsorpsi fisika

  Dalam adsorpsi fisika, melibatkan gaya van der waals yang menyebabkan molekul adsorbat terikat secara lemah dengan permukaan adsorben, dan proses ini berlangsung cepat dan bersifat refersibel (Madan dan Tuli, 2007). Proses adsorpsi fisika terjadi tanpa memerlukan energi aktivasi (energi untuk bereaksi), sehingga proses tersebut membentuk banyak lapisan (multilayer) pada permukaan adsorben. Kecepatan adsorpsi tergantung dari kecepatan difusi dari adsorbat terhadap permukaan adsorben dan tidak tergantung dari sisi spesifik adsorben (Selwood, 1962).

  2.3.1.2 Adsorpsi kimia

  Adsorpsi kimia terjadi karena adanya reaksi kimia antara molekul- molekul adsorbat dengan permukaan adsorben dan berlangsung lambat, bersifat ireversibel dan hanya membentuk satu lapisan (monolayer) (Madan dan Tuli 2007). Adsorpsi kimia (chemisorptions) selalu disertai dengan pertukaran elektron pada adsorben dan tergantung terhadap temperatur (Selwood, 1962).

2.3.2 Faktor yang mempengaruhi adsorpsi

  Menurut Al-Anber (2011), beberapa faktor yang mempengaruhi adsorpsi, yakni: − Luas permukaan adsorben, semakin luas area permukaan adsorben, maka kapasitas adsorpsinya juga semakin meningkat.

  − Ukuran partikel adsorben, semakin kecil ukuran partikel adsorben maka akan memperlambat difusi internal.

  − Waktu kontak, semakin lama waktu kontak maka proses adsoprsi akan semakin baik.

  − Kelarutan adsorbat dalam air atau limbah, adsobat yang kurang larut dalam limbah akan semakin mudah untuk diserap oleh adsorben.

  − Afinitas pelarut terhadap adsorben, jika permukaan adsorben bersifat kurang polar, maka substansi yang kurang polar akan lebih mudah diadsorpsi. − Ukuran molekul adsorbat dan ukuran pori adsorben, molekul adsorbat yang berukuran besar jika masuk ke dalam pori adsorben yang ukuran lebih kecil, maka akan menurunkan kapasitas adsorpsi. − Kemampuan ionisasi adsorbat − pH, ionisasi adsorbat tergantung pada pH, sehingga dapat mempengaruhi adsorpsi.

  − Efek konsentrasi awal adsorbat, dengan konsentrasi tinggi, kemampuan adsorsi lebih sedikit, hal ini berhubungan dengan proses kompetitif difusi adsorbat terhadap pori adsorben yang tersedia

  − Efek dosis adsorben, adsorpsi akan semakin efektif jika adsorben yang digunakan semakn banyak Total zat yang teradsorpsi adsorben disebut dengan densitas adsorbsi, dengan symbol q. Densitas adsorpsi dapat berupa masa zat yang terserap per

  2 luas area (mg/m ) atau per masa adsorben (mg/g) (Benjamin, 2002).

2.3.3 Isoterm adsorpsi

  Isoterm adsorpsi merupakan hubungan kesetimbangan antara konsentrasi pada fase cair dan konsentrasi pada partikel adsorben pada suhu tertentu. Model isotherm Langmuir dan Freudlich umum digunakan pada adsorpsi cairan dengan konsentrasi rendah. Isotherm Langmuir berdasarkan sisi ikatan yang terdistribusi secara homogen diseluruh permukaan adsorben, dimana adsorpsi terjadi pada satu lapisan (monolayer), serta adsorpsinya bersifat refersibel (LaGrega, et al., 2001). Sedangkan isotherm Freudlich berdasarkan adsorpsi pada banyak lapisan (fisisorpsi) Model isotherm ini mengasumsikan bahwa adsorpsi terjadi secara fisika (Sembodo, 2005).

2.4 Study Pendahuluan Abu Sekam Padi Sebagai Adsorben

  Penelitian terdahulu yang memanfaatkan abu sekam padi sebagai adsorben logam yakni yang telah dilakukan oleh El-Said, et al., (2012). Selain itu, penelitian tentang penggunaan abu sekam padi sebagai adsorben logam tembaga juga pernah dilakukan oleh Astuti, et al., (2011).

2.5 Spektrofotometri Serapan Atom

  Spektrofotometri serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom-atom netral, dan sinar yang diserap biasanya sinar tampak atau sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2008).

  Prinsip dari spektrofotometer serapan atom adalah atom-atom pada keadaan dasar mampu menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, yang umumnya adalah panjang gelombang pada radiasi yang akan dipancarkan atom-atom itu bila kembali ke keadaan dasar dari keadaan eksitasi. Jika cahaya pada panjang gelombang tertentu dilewatkan nyala yang mengandung atom- atom yang bersangkutan maka sebagian cahaya itu akan diserap dan banyaknya penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom pada keadaan dasar yang berada dalam nyala. Lampu yang digunakan disebut dengan lampu katode rongga dan katode tersebut dilapisi dengan logam yang akan dianalisis. Kerugian teknik ini adalah lampu harus diganti setiap unsur yang akan dianlisis berbeda dan hanya satu unsur yang dapat dianalis pada satu waktu (Watson, 2005).

  Spektrofotometri serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur-unsur logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat sekelumit (ultratrace). Cara analisis ini memberikan kadar total unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung pada bentuk molekul logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis sekelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tinggi (batas deteksi kurang dari 1 ppm), pelaksanaanya relatif sederhana, dan interferensinya sedikit (Gandjar dan Rohman, 2008).

  Metode spektrofotometri serapan atom berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu, tergantung pada sifat unsurnya. Cahaya pada panjang gelombang ini mempunyai cukup energi untuk mengubah tingkat elektronik suatu atom.

  Transisi elektronik suatu unsur bersifat spesifik. Dengan absorpsi energi, berarti memperoleh lebih banyak energi, suatu atom pada keadaan dasar dinaikkan tingkat energinya ke tingkat eksitasi (Khopkar, 1985).

  Bagian instrumentasi spektrofotometer serapan atom adalah sebagai berikut: a. Sumber Sinar

  Sumber sinar yang digunakan adalah lampu katoda berongga (hollow

  cathode lamp) . Lampu ini terdiri atas tabung kaca tertutup yang mengandung

  suatu katoda dan anoda. Katoda berbentuk silinder berongga yang dilapisi dengan logam tertentu (Gandjar dan Rohman, 2008).

  b. Tempat Sampel Dalam analisis dengan spektrofotometer serapan atom, sampel yang akan dianalisis harus diuraikan menjadi atom-atom netral yang masih dalam keadaan azas.

  c. Monokromator Monokromator merupakan alat untuk memisahkan dan memilih spektrum sesuai dengan panjang gelombang yang digunakan dalam analisis dari sekian banyak spektrum yang dihasilkan lampu katoda berongga (Gandjar dan Rohman, 2008).

  d. Detektor Detektor digunakan untuk mengukur intensitas cahaya yang melalui tempat pengatoman (Gandjar dan Rohman, 2008).

  e. Amplifier

  Amplifier merupakan suatu alat untuk memperkuat signal yang diterima

  dari detektor sehingga dapat dibaca alat pencatat hasil (Readout) (Gandjar dan Rohman, 2008).

  f. Readout

  Readout merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan

  sebagai pencatat hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi (Gandjar dan Rohman, 2008). Menurut Watson, (2005), komponen spektrofotometer serapan atom dapat dilihat pada Gambar 2.

  Gambar 2. Komponen Spektrofotometer Serapan Atom.

  Ada berbagai macam alat yang digunakan untuk mengubah sampel menjadi uap atom-atomnya, yaitu:

1. Dengan nyala (Flame)

  Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa cairan menjadi bentuk uap dan untuk proses atomisasi. Suhu yang dapat dicapai oleh nyala tergantung pada gas yang digunakan, misalnya untuk gas asetilen-udara suhunya sebesar 2200°C. Sumber nyala asetilen-udara ini merupakan sumber nyala yang paling banyak digunakan. Pada sumber nyala ini asetilen sebagai bahan pembakar, sedangkan udara sebagai bahan pengoksidasi (Gandjar dan Rohman, 2008).

  Menurut Khopkar (1985), beberapa contoh nyala yang digunakan dalam spektrofotometri serapan atom dapat dilihat pada Tabel 1:

  Tabel 1. Nyala yang Dapat Digunakan dalam Spektrofotometri Serapan Atom

  Komposisi Gas °C Hidrokarbon (methane, propane) – Udara 1950 Udara – Asetilen

  2200 Hidrogen – Oksigen 2780 Asetilen – Dinitrogen oksida 2955 Asetilen – Oksigen 3050 Propana – Oksigen 2800

  2.Tanpa nyala (Flameless) Pengatoman dilakukan dalam tungku dari grafit. Untuk mencapai atomisasi sempurna, digunakan tungku grafit yang dengan mudah mencapai

  2000-3000°K (1700 - 2700°C) dalam beberapa detik. Sejumlah sampel diambil sedikit (hanya beberapa µL), lalu diletakkan dalam tabung grafit, kemudian tabung tersebut dipanaskan dengan sistem elektris dengan cara melewatkan arus listrik pada grafit. Akibat pemanasan ini, maka zat yang akan dianalisis berubah menjadi atom-atom netral dan pada fraksi atom ini dilewatkan suatu sinar yang berasal dari lampu katoda berongga sehingga terjadilah proses penyerapan energi sinar yang memenuhi kaidah analisis kuantitatif (Gandjar dan Rohman, 2008). Tanpa nyala sering digunakan untuk logam-logam yang tidak tahan panas, seperti timbal, kadmun, raksa (Khopkar, 1985).

2.4.1 Gangguan-gangguan pada Spektrofotometri Serapan Atom

  Gangguan-gangguan (interference) pada Spektrofotometri Serapan Atom adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel (Gandjar dan Rohman, 2008). Secara luas dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yakni interferensi spektral dan interferensi kimia (Khopkar, 1985).

  Interferensi spektral disebabkan karena tumpangasuh absorpsi antara spesies pengganggu dan spesies yang diukur. Interfernsi kimia disebabkan adanya reaksi kimia selama atomisasi, sehingga mengubah sifat absorpsi (Khopkar, 1985).

  Contoh gangguan kimia adalah terdapatnya senyawa refragtorik (sukar diuraikan dengan nyala api), dengan adanya senyawa ini maka akan mengurangi jumah atom netral yang terdapat dalam nyala (Ganjar dan Rohman, 2008).