BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA SHIKARU DAN OKORU, SEMANTIK SERTA SINONIM - Analisis Fungsi Dan Makna Verba “Shikaru” Dan “Okoru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita “Shikaru” To “Okoru” No Imi To Kinou No Bunsek

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA SHIKARU DAN OKORU, SEMANTIK SERTA SINONIM

2.1 Verba Bahasa Jepang

2.1.1 Pengertian Verba

  Terdapat beberapa definisi verba antara lain menerangkan tentang pemakaianya didalam konteks kalimat dan mengklasifikasikannya. Penulis mencoba menggunakan definisi verba bahasa Jepang. Sebelum menelaah fungsi bahasa Jepang secara umum dan pemakaian verba shikaru dan okoru, penulis akan menerangkan pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber. Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambar proses, perbuatan atau keadaan, yang juga disebut kata kerja (Poerwadarmita, 2005:1260).

  Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi dilihat dari kanjinya: 動く ugoku, dou ‘bergerak’ 詞

  kotoba, shi ‘kata’

  動詞 doushi ‘kata yang bemakna gerak’

  Doushi adalah kata kerja yang berfungsi menjadi predikat dalam suatu

  kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42). Nomura dan koike berpendapat hampir sama dengan Sutedi. Mereka mengatakan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, sama dengan adjektiva-i dan adjektiva-na menjadi salah satu jenis yougen.

  Kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan (katsuyou) dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat (Nomura dalam Sudjianto, 2004:149).

2.1.2 Jenis-jenis Verba

  Dalam buku Dasar-dasar linguistik bahasa Jepang (Sutedi, 2003:27), verba dalam bahasa Jepag digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada bentuk konjungsinya.

  a.

  Kelompok I Kelompok I disebut dengan 五段動詞 (godan-doushi) , karena kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang yaitu :

  あ、い、う、え、お ‘a-i-u-e-o’, cirinya yaitu verba yang berakhiran (gobi) huruf う、つ、る、く、す、む、ぬ、ぶ、ぐ ’u-tsu-ru-ku-su-mu-nu-bu-gu’. Contoh : 買う ka-u ‘membeli‘ 立つ ta-tsu ‘berdiri‘ 売る u-ru ‘menjual‘ 書く ka-ku ‘menulis‘ 泳ぐ oyo-gu ‘berenang‘ 読む yo-mu ‘membaca’ 死ぬ shi-nu ‘mati’ 遊ぶ aso-bu ‘bermain’

  話す hana-su ‘berbicara’ b.

  Kelompok II Kelompok II disebut dengan 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah yang berakhiran suara e-ru disebut kami ichidan-doushi atau yang berakhiran i-ru disebut shimo ichidan-doushi.

  Contoh : 見る mi-ru ‘melihat/menonton’ 起きる oki-ru ‘bangun’ 寝る ne-ru ‘tidur’ 食べる tabe-ru ‘makan’ c.

  Kelompok III Verba kelompok III ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut 変格動詞 (henkaku-doushi) diantaranya terdiri dari dua verba yaitu : Contoh : する suru ‘melakukan’ 来る kuru ‘datang’

  Dalam buku A Dictionary Of Basic Japanese Grammar (Makino Seichi dan Tsutsui Michio,1997:582-584) mengklasifikasikan verba secara semantik menjadi lima jenis yaitu :

  1. Verba Stative ( yang menyatakan diam/tetap)

  Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersamaan dengan verba bantu-iru.

  Contoh : いる iru ‘ada’ できる dekiru ‘dapat ‘ 要る iru ‘membutuhkan’

  2. Verba Continual (yang menyatakan selalu, terus menerus) Verba ini berkonjugasi dengan verba bantu-iru untuk menunjukkan aspek pergerakan.

  Contoh : 食べる taberu ‘makan’ -------- 食べている tabete iru ‘sedang makan’ 飲む nomu ‘minum’ -------- 飲んでいる nondeiru ‘sedang minum’

  3. Verba punctual (yang menyatakan tepat pada waktunya) Verba ini berkonjungsi dengan verba bantu -iru untuk menunjukkan tindakan atau perbuatan yang berulang-ulang atau suatu tingkatan/posisi setelah melakukan suatu tindakan atau penempatan suatu benda. Contoh : 知る shiru ‘tahu’ ---------- 知っている shitte iru ‘mengetahui’ 打つ utsu ‘memukul’ ---------- 打っている utteiru ‘memukuli’

  4. Verba Volitional (yang menyatakan bukan kemauan)

  Verba ini biasanya tidak memiliki bentuk ingin, bentuk perintah, dan bentuk kesanggupan. Diklasifikasikan menjadi verba yang berkenan dengan emosi atau perasaan dan verba yang tidak berkenaan dengan emosi atau perasaan. Contoh: 愛する aisuru ‘mencintai, berkenaan dengan perasaan’ 聞こえる kikoeru ‘kedengaran/terdengar, tidak berkenaan dengan perasaan’

  5. Verba Movemen (yang menyatakan pergerakan) Verba ini menunjukkan pergerakan.

  Contoh : 走る hashiru ‘berlari’ 行く iku ‘pergi’

  Dalam buku Pengantar Linguistik Bahasa Jepang (Shimizu, 2000:45), verba dalam bahasa Jepang dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

  1. Jidoushi 自動詞 (verba Intransitif) Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita.

  Pengertian dilihat dari huruf kanjinya yang bermakna kata yang bergerak sendiri. Contoh : 変わる kawaru ‘tukar’ 起きる okiru ‘bangun’ 寝る neru ‘tidur’ 入る hairu ‘masuk’ 集まる atsumaru ‘berkumpul’

  流れる nagareru ‘mengalir’

  2. Tadoushi 他動詞 (verba transitif) Verba yang memiliki objek penderita. Pengertian dilihat dari makna kanjinya yang bermakna “kata yang digerakkan yang lain”, jadi ada gerakan dari subjek. Contoh: 起こす okosu ‘membangunkan’ 寝かす nekasu ‘menidurkan’ 入れる ireru ‘memasukkan’ 集める atsumeru ‘mengumpulkan’ 流す nagasu ‘mengalirkan’

  3. Shodoushi (所動詞)

  Shodoushi merupakan kelompok verba (doushi) yang memasukkan

  pertimbangan pembicara, maka tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif. Selain itu, shodoushi tidak memiliki bentuk perintah dan ungkapan kemauan (ishi hyougen). Diantara verba-verba yang termasuk kelompok ini, kelompok doushi yang memiliki makna potensial seperti ikeru dan kireru yang disebut 可能動詞 kanou doushi ‘verba potensial’. Contoh : 見える mieru ‘terlihat’ 聞こえる kikoeru ‘terdengar’ 行ける ikeru ‘dapat pergi’

2.1.3 Fungsi verba

  Pada umumnya verba berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak diakhir kalimat.

  Contoh : 私は漢字を書く。 Watashi wa kanji o kaku.

  ‘Saya menulis kanji’.

  Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzukugo (Sudjianto, 2004:159). Contoh : 1. 壁に地図が張ってある kabe ni chizu ga hatte aru.

  ‘Di dinding ada peta tergantung’. 2. 先生に漢字を書いてもらう Sensei ni kanji o kaite morau.

  ‘Guru menuliskan saya kanji’. Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat, dalam bentuk kamus selalu diakhiri dengan vocal /u/ (Sudjianto,

  2004:149). Contoh : 1.これアミルさんが書く絵です。 kore wa Amirusan ga kaku e desu.

  ‘Ini adalah gambar yang digambarkan oleh tuan Amir’.

  2. 私はエアコンがある自動車がほしいです。 Watashi wa eakon ga aru jidousha ga hoshiidesu.

  ‘Saya ingin mobil yang memiliki AC’.

2.2 Pengertian Verba Shikaru dan Okoru

2.2.1 Pengertian Verba Shikaru

  Verba shikaru adalah verba yang termasuk ke dalam kelompok I 五段動詞 (goudan-doushi). Berikut akan dijelaskan tentang pengertian dan pemakaian dari verba shikaru tersebut : a.

  Dalam buku Effective Japanese Usage Guide, Hirotase dan Masayoshi (1994) menyebutkan bahwa: 目上の人が目下の人の良くない態度や行いに対し、良い方向にみら びこう、直させようと強く注意することです。「怒る」よりも理性 的な感じて、必ずとうていの相手があります.

  Me ue no hito ga me shita no yokunai taido ya okonai ni taishi, yoi houkou ni michibikou naosaseyou to tsuyoku chuui suru kiti desu. [okoru] yori mo riseiteki na kanji de, kanarazu tokutei no aite ga arimasu. ‘Shikaru mirip dengan definisi okoru, namun lebih disengaja dan rasional,

  seperti dalam memarahi seseorang dengan tujuan untuk mengoreksi perilaku yang salah, sementara okoru lebih emosional dan spontan.

  Penggunaan shikaru mengharuskan adanya orang lain yang merupakan objek perhatian pembicara.’ Contoh :

  Sensei wa, benkyouo shinai gakusei o shikatta.

  ‘Guru memarahi siswa yang tidak belajar’ b. Dalam buku Ruigigo Tsukaiwake Jiten / 類義語使い分け辞典 (Tian

  Zhonkui.et al: 1998) membahas verba shikaru sebagai berikut : 相手の言動。振る舞い。態度などが、悪いと強く注意し改めさせる。

  

Aite no gendou. Furumai. Taido nado ga, warui to tsuyoku chuuishi

aratamesaseru.

  ‘Memperbaiki dan memperingatkan perilaku lawan, tingkah laku dan sikap yang tidak baik’ Contoh : 注意してたつもりなんだけど、うっかりして先生に叱られちゃった。 Chuuishite tatsumori nandakedo, ukkari shite sensei ni shikararechatta.

  ‘Bermaksud untuk hati-hati, tapi karena ceroboh dimarahi oleh guru.’ c. Dalam buku Tsukaikata No Wakaru Ruigo Reikai Jiten / 使い方のわかる

  類語例会辞典(Satou Norimasa: 1994) Satou Norimasa mendefinisikan verba shikaru sebagai berikut : 相手の日をとがめ、きびしく注意する。 Aite no hi o togame, kibishiku chuui suru.

  ‘Memperingatkan kesalahan lawan’. Satou Norimasa memberi batasan definisinya sebagai berikut : 相手の非を指摘、説明し、きびしく注意を与える意。 Aite no hi o shiteki, setsumeishi, kibishiku chuui o ataeru i.

  ‘Memberi peringatan dan menjelaskan kesalahan lawan.’

  Contoh : 先生は、勉強をしない学生を叱った。 Sensei wa, benkyou o shinai gakusei o shikatta.

  ‘Guru memarahi murid yang tidak belajar.’ d. Dalam kamus online situs https://dbms.ninjal.ac.jp menyebutkan pengertian

  shikaru adalah sebagai berikut :

  ‘memarahi, menegur,mencela atau memperingatkan dengan keras akan tingkah laku atau tindak-tanduk yang tidak baik dari bawahan.’ Contoh : いたずらをして先生にしかられた。 Itazura o shite sensei ni shikarareta.

   dimarahi oleh guru karena melakukan kenakalan.’

2.2.2 Pengertian Verba Okoru

  Verba okoru adalah verba yang termasuk ke dalam kelompok I 五段動詞 (goudan-doushi). Berikut akan dijelaskan tentang pengertian dan pemakaian dari verba okoru tersebut : a.

  Dalam buku Effective Japanese Usage Guide, Hirotase dan Masayoshi (1994) menyebutkan bahwa:

  1.

  不輸快だ、気に入らない、不満だ、腹が立つなどの感情をがまんできずに 表面に出すことです。

  Fuyukai da, ki ni irenai, fuman da, hara ga tatsu nado no kanjou o gaman deki zuni hyoumen ni dasu koto desu.

  ‘Untuk menunjukkan perasaan seperti ketidaksenangan, ketidakpuasan, atau marah karena ketidakmampuan untuk mentolerir sesuatu.’ Contoh : 彼は、自分の思い通りにならないとすぎに怒る。 Kare wa, jibun no omoi ri ni nara nai to sugini okoru.

  ‘Dia marah dengan sangat mudah jika sesuatu tidak seperti yang diinginkan.’ 2. 目上の人が目下の人の良くない態度や行いに腹を立て、強く感情に注意す

  ることです。

  Me ue no hito ga me shita ni hito no yokunai taido ya okonai ni hara o tate, tsuyoku kanjouteki ni chuui suru koto desu.

  ‘Untuk seseorang teguran atau teguran dalam kemarahan. Okoru tidak boleh digunakan untuk menunjukkan kecaman dari seseorang yang lebih tua atau dari status sosial yang unggul.’ Contoh : 私は、父の大切な本に落書きをして怒られた。 Watashiwa, chichi no taisetsu na hon ni rakugaki shite okorareta.

  ‘Saya dimarahi ayah saya karena saya menulis sesuatu di bukunya yang berharga.’ b. Dalam buku Ruigigo Tsukaiwake Jiten / 類義語使い分け辞典 ( Tian Zhonkui.et al: 1998) membahas verba okoru sebagai berikut :

  下位のものの言動。態度などに我慢しきれず、感情を一滴に爆発させる。

  Kai no mono no gendou. Taido nado ni gaman shikirezu, kanjou o itteki ni bakuhatsu saseru .

  ‘Untuk menunjukkan prilaku orang yang berkedudukan rendah. Sikap yang tidak

  Contoh : ものの道理もわからない子供が生意気を言ったって、怒ってるんです。 Mono no douri mo wakaranai kodomo ga namaiki o ittatte, okotterundesu.

  ‘Biarpun anak kecil berkata kasar yang tidak mengerti suatu hal kebenaran pun, saya marahi.’ c.

  Dalam buku Tsukaikata No Wakaru Ruigo Reikai Jiten / 使い方のわかる類語例 会辞典(Satou Norimasa: 1994) Satou Norimasa mendefinisikan verba okoru sebagai berikut : 腹を立てる。 Hara o tateru.

  ‘Menjadi marah’. Mengenai verba okoru ini Satou Norimasa memberikan batasan definisinya secara rinci antara lain sebagai berikut : a.

  表情や声、動作などで、たんいんにも腹をたてている状態がわ かる。

  Hyoujou ya koe, dousa nadode, tannin nimo hara o tateteiru joutai ga wakaru.

  ‘Marah yang bisa dilihat dari ekspresi wajah, suara, gerakan dan lain- lain, sehingga orang lainpun tau kondisi seperti itu sedang marah.’ b.

  「足を踏まれて怒る」のように、直接的、物理的なげんいんに よることが多い。

  [ashi o fumarete okoru no youni, chokusetsuteki, butsuritekina gennin ni yoru koto ga ooi].

  ‘marah yang diluapkan secara langsung atau spontan dan kebanyakan penyebabnya bersifat fisik. Seperti “marah karena kaki terinjak”.

  c.

  「父の怒られた」のように、叱る意でも用いられる。 [Chichi no okorareta] no you ni, shikaru i demo mochiirareru.

  ‘Dapat digunakan ketika akan memarahi, seperti “dimarahi ayah”.

  d.

  Dalam kamus online situs https://dbms.ninjal.ac.jp menyebutkan pengertian okoru adalah sebagai berikut : “Marah mempunyai perasaan tidak puas, tidak senang terhadap orang lain atau mengungkapkannya ke luar karena tidak bisa menahannya lagi.” Contoh: 失礼なことばかり言われて怒ってしまった。 Shitsureina kotobakari iwarete okotte shimatta.

  ‘karena dikata-katai yang tidak sopan saya pun marah.’

2.3 Definisi Semantik

  Kata semantik dalam bahasa Indonesia (Inggris : semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda) yang berarti tanda atau lambang. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau “melambangkan”. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang disini sebagai padanan kata dari sema itu adalah tanda linguistik. Seperti yang dikemukan oleh Ferdinand De Saussure (Chaer, 1994:285) bahwa setiap tanda linguistik terdiri dari dua komponen yaitu : (1) komponnen yang mengartikan yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa. Misalnya, (Perancis : significant, Inggris : signifier) dan (2) komponen yang diartikan atau makna dari tidak lain daripada konsep atau makna sesuatu tanda bunyi. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang ditandai atau yang dilambanginya adalah sesuatu yang berada diluar bahasa yang lazim disebut referen atau hal yang ditunjuk.

  Kata semantik itu kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Atau dengan kata lain, bidang studi linguistik yang mempelajari makna atau arti bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa : fonologi, gramatikal dan semantik.

  Selain istilah semantik dalam sejarah linguistik ada pula digunakan istilah lain seperti semiotika, semiologi, semasiologi, sememik, dan semik untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Namun, istilah semantik lebih umum digunakan dalam studi linguistik karena istilah-istilah yang lainnya itu mempunyai cakupan objek yang lebih luas, yakni mencakup makna tanda atau lambang pada umumnya. Termasuk tanda-tanda lalu lintas, kode morse, dan tanda-tanda ilmu matematika. Sedangkan cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal.

  Semantik memegang peranan penting dalam berkomunikasi. Karena bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi adalah tidak lain untuk menyampaikan suatu makna (Sutedi, 2003:103). Misalnya seseorang menyampaikan ide dan pikiran kepada lawan bicara, lalu lawan bicaranya bisa memahami apa yang disampaikan.

  Hal ini disebabkan karena ia bisa menyerap makna yang disampaikan dengan baik.

  Semantik tidak hanya membahas kata-kata yang bermakna leksikal saja, tetapi juga membahas makna kata-kata yang tidak bermakna bila tidak dirangkaikan dengan kata lain seperti partikel atau kata bantu, yang hanya memiliki makna gramatikal.

  Objek kajian semantik antara lain adalah makna kata (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antara satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan makna kalimat (bun no imi).

  1. Makna kata satu persatu Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya. Dalam bahasa jepang banyak sinonim (ruigigo) dan sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu persatu disebabkan oleh masih minimnya buku-buku dan kamus yang bertuliskan bahas Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

  2. Hubungan antar makna kata dengan kata yang lainnya (relasi makna) Relasi makna adalah hubungan antar dua atau lebih kata sehubungan dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu.

  Misalnya pada verba 「話す」hanasu ‘berbicara’「言う」iu ‘berkata’ 「 し ゃ べ る 」 shaberu ‘ngomong’ 「 食 べ る 」 taberu ‘makan’, ketiga verba pertama dikelompokkan ke dalam 「 言 葉 を 発 す る 」 kotoba o hassuru ‘bertutur’, sedangkan taberu tidak termasuk kedalamnya.

  3. Makna Frase Merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 「本 を読む」hon o yomu 'membaca buku', 「靴を買う」kutsu o kau 'membeli sepatu' , dan 「 腹 が 立 つ 」 hara ga tatsu '(perut berdiri=marah)’ merupakan suatu frase. Frase “hon o yomu” dan “kutsu o kau” dapat dipahami cukup dengan mengetahui makna kata hon, kutsu, kau, o ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa “nomina+o+verba”. Jadi frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidoori no imi). Tetapi untuk frase “hara ga tatsu” meskipun seseorang memahami makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara diomatikalnya (kan youteki imi).

  4. Makna Kalimat Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya.

  Misalnya, kalimat “watashi wa yamada san ni megane o ageru” (saya memberi kacamata pada Yamada) dengan kalimat “watashi wa yamada san

  

ni tokei o ageru” (saya memberi jam pada Yamada), jika dilihat dari

  strukturnya kalimat tersebut sama, tetapi makna nya berbeda. Hal ini disebabkan makna kata megane dan tokei berbeda. Maka makna kalimat ditentukan oleh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.

2.3.1 Jenis-jenis Makna dalam Semantik

  Menurut (Chaer, 1994:59) jenis atau tipe makna dapat dibedakan berdasarkan kriteria atau sudut pandang, yakni :

1. Berdasarkan jenis makna semantik, makna dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

  Makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referensinya, makna yang sesuai dengan observasi alat indera, atau makna yang sungguh- sungguh nyata dalam kehidupan kita. Contohnya: kata Tikus, makna leksikalnya adalah sebangsa binatang pengerat yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit tifus. Makna nampak jelas dalam kalimat “tikus mati diterkam kucing” atau “panen kali ini gagal akibat serangga hama tikus”, kata tikus pada kedua kalimat itu jelas merujuk kepada binatang tikus, bukan kepada yang lain. Tetapi dalam kalimat yang menjadi tikus di gudang kami ternyata berkepala hitam bukanlah dalam makna leksikal karena tidak merujuk kepada binatang tikus melainkan kepada seorang manusia. Sedangkan makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat adanya proses gramatikal atau proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi. Contoh proses afiksasi / ter- / pada kata / angkat /dalam kalimat “batu seberat itu terangkat juga oleh adik”, awalan ter- pada kata terangkat melahirkan makna “dapat”, dan dalam kalimat “ketika balok itu ditarik, papan itu terangkat ke atas”, melahirkan makna gramatikal “tidak sengaja”. Contoh reduplikasi dapat dilihat pada kata pulpen yang bermakna “sebuah pulpen”, menjadi buku-buku yang bermakna “banyak buku”.

  Sedangkan contoh komposisi dapat dilihat pada kata sate ayam tidak sama dengan sate madura. Yang pertama menyatakan asal bahan, yang kedua menyatakan asal tempat. Begitu juga dengan komposisi orang tua asuh. Yang pertama menyatakan anak yang diasuh, sedangkan yang kedua menyatakan orang tua yang mengasuh.

  2. Berdasarkan ada tidaknya pada sebuah kata atau leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna non-referensial.

  Makna referensial adalah makna dari kata-kata yang mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata lain. Contoh : kata lemari dan kasur, disebut bermakna referensial karena kedua kata itu mempunyai referen yaitu sejenis perabot rumah tangga.

  Sedangkan kalau kata-kata itu tidak memiliki referen, maka kata itu disebut kata bermakna non-referensial. Contoh : kata jika dan meskipun tidak memiliki referen, jadi kata tersebut bermakna non-referensial. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang termasuk kata penuh seperti lemari dan kasur termasuk kata-kata referensial, sedangkan yang termasuk kata tugas seperti preposisi, konjugasi dan kata tugas lain adalah kata-kata yang bermakna non-referensial.

  3. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau leksem, dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

  Makna denotatif pada dasarnya sama dengan makna referensial, sebab makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Karena itu sering disebut sebagai makna sebenarnya. Contoh : kata wanita dan perempuan. Karena kata-kata ini mempunyai denotasi yang sama, yaitu manusia dewasa bukan laki-laki. Walaupun kata perempuan mempunyai nilai rasa yang rendah, sedangkan kata wanita mempunyai nilai rasa yang tinggi. Makna tambahan pada suatu kata yang sifatnya memberi nilai rasa baik positif maupun negatif disebut makna konotasi.

  4. Berdasarkan ketepatan maknanya, makna dapat dibedakan menjadi makna kata dan makna istilah.

  Makna kata sering disebut sebagai makna bersifat umum, sedangkan makna istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Hal ini dapat dilihat dari contoh dalam bidang kedokteran kata tangan dan lengan, digunakan sebagai istilah untuk pengertian yang berbeda. Makna tangan adalah “pergelangan”, sedangkan dalam bahasa umum tangan adalah “pergelangan sampai ke pangkal bahu”. Sebaliknya dalam bahasa umum tangan dan lengan dianggap bersinonim (maknanya sama).

  5. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dibedakan menjadi makna asosiatif, idiomatik, kolokatif dan sebagainya.

  Makna asosiatif sesungguhnya sama dengan perlambang-lambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Contohnya kata melati digunakan sebagai perlambang kesucian, kata merah digunakan sebagai perlambang keberanian, dan kata srikandi digunakan sebagai perlambang kepahlawanan wanita.

  Berbeda dengan makna idiomatik, kata idiom berarti satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frase maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Contoh frase menjual rumah bermakna “si pembeli menerima rumah dan si penjual menerima uang”, tetapi menjual gigi bukan bermakna si pembeli menerima gigi dan si penjual menerima uang”, melainkan bermakna “tertawa keras-keras”. Sehingga dapat disimpulkan bahwa makna idiomatik adalah makna sebuah satuan bahasa (kuat, frase atau kalimat) yang menyimpang dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Sedangkan makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai tempat yang sama dalam sebuah frase. Contoh frase gadis itu cantik dan pemuda itu tampan. Kita tidak dapat menyatakan gadis itu tampan atau pemuda itu cantik, karena pada kedua kalimat itu maknanya tidak sama walaupun informasinya sama.

2.3.2 Manfaat Mempelajari Semantik

  Manfaat yang kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 1994:11). Bagi seorang wartawan, seorang reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengetahui semantik.

  Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum, tanpa pengetahuuan akan konsep-konsep polisemi, homonimi, denotasi, konotasi dan nuansa-nuansa makna tentu akan sulit bagi mereka untuk dapat menyampaikan informasi secara tepat dan benar.

  Bagi mereka yang berkecipung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas sastra, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk menganalisis bahasa atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan manfaat teoritis dan juga manfaat praktis.

  Manfaat teoritis karena dia sebagai guru bahasa harus pula mempelajari dengan sungguh-sungguh akan bahasa yang diajarkannya. Teori-teori semantik ini akan mencoba menolongnya memahami dengan lebih baik konsep-konsep bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis akan diperolehnya berupa kemudahan bagi dirinya dalam mengajarkan bahasa itu kepada murid-muridnya.

  Seorang guru bahasa, selain harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mengenai segala aspek bahasa, juga harus memiliki pengetahuan teori semantik secara memadai. Tanpa pengetahuan ini dia tidak akan dapat dengan tepat menjelaskan perbedaan dan persamaan semantik antara dua buah bentuk kata, serta bagaimana menggunakan kedua bentuk kata yang mirip itu dengan benar.

  Sedangkan bagi orang awam atau orang kebanyakan pada umumnya, pengetahuan yang luas akan teori semantik tidaklah diperlukan. Tetapi pemakaian dasar-dasar semantik tentunya masih diperlukan untuk dapat memahami dunia di sekelilingnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan. Semua informasi yang ada di sekelilingnya, dan yang juga harus mereka serap, berlangsung melalui bahasa, melalui dunia lingual. Sebagai manusia yang bermasyarakat tidak mungkin mereka bisa hidup tanpa memahami alam sekitar mereka yang berlangsung melalui bahasa.

2.4 Pengertian Sinonim

  Secara etimologi kata sinonimi atau disingkat sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’, dan syn yang berarti ‘dengan’.

  Maka secara harfiah kata sinonimi berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’ (Chaer, 1994:82).

  Sementara menurut Tarigan (1993:78) kata sinonim terdiri dari sin (“sama” atau “serupa”) dan akar kata onim ”nama” yang bermakna “sebuah kata yang dikelompokkan dengan kata-kata lain di dalam klasifikasi yang sama berdasarkann makna umum. Dengan perkataan lain : sinonim adalah kata-kata yang mengandung arti pusat yang sama tetapi berbeda dalam nilai kata. Atau secara singkat : sinonim adalah kata-kata yang mempunyai denotasi yang sama tetapi berbeda dalam

  konotasi .

  Perlu diperhatikan bahwa pengertian kesamaan makna yang digunakan dalam membicarakan sinonim tidak mesti sama secara utuh. Kadang-kadang sebuah kata kata dapat cocok dalam kalimat tertentu, tetapi sinonim kata itu akan membuat kalimat itu tidak enak didengar. Misalnya, kata makan cocok digunakan dalam kalimat “Para pekerja bangunan sedang makan nasi ransum kiriman majikannya”. Akan tetapi bersantap yang merupakan sinonim kata itu terasa kurang pas.

  Istilah sinonim dipakai karena pertindihan pada kata-kata yang bersinonim itu cukup sehingga menyebabkan kemiripan fungsi kata-kata yang bersinonim itu. Kata jejaka dan kata duda dalam bahasa Indonesia memiliki banyak kemiripan mengenai cirri-cirinya kecuali dalam status perkawinan. Pertindihan yang tidak luas itu tidak masuk dalam sinonim karena adanya perbedaan yang mendasar pada kata-kata itu. Memang kedua kata itu memiliki persamaan bahwa yang dimaksud ialah seorang manusia yang berjenis kelamin laki-laki, tetapi persamaan itu tidak pernah dihiraukan orang, justru perbedaanya yang menjadi pusat perhatian yakni perbedaan status perkawinannya.

  Menurut Djajasudarma (1999:42) ada tiga batasan untuk sinonim, yaitu :

  1. Kata-kata dengan referen ekstra linguistik yang sama

  2. Kata-kata yang memiliki makna yang sama

  3. Kata-kata yang dapat disulih dalam konteks yang sama Tiap-tiap ahli bahasa membagi sinonim berbeda-beda. Dibawah ini akan diuraikan penggolongan sinonim menurut beberapa ahli bahasa:

1. Pembagian sinonim dengan mengikuti Palmer dalam Djajasudarma

  (1999:40) sebagai berikut : a. Perangkat sinonim yang salah satu anggotanya berasal dari bahasa daerah atau bahasa asing dan yang lainnya, yang terdapat didalam bahasa umum. Misalnya, konde dan sanggul, domisili dan kediaman, khawatir dan gelisah.

  b.

  Perangkat sinonim yang pemakaiannya bergantung kepada langgam dan laras bahasa. Misalnya, dara, gadis, dan cewek; mati, meninggal, dan wafat.

  Pemakaian kosakata langgam dan laras bahasa yang berbeda akan menghasilkan kalimat yang tidak apik (ill-formed). Misalnya, “Cewek yang tinggal di rumah besar itu kemarin wafat”. c.

  Perangkat sinonim yang berbeda makna emotifnya, tetapi makna kognitifnya sama. Misalnya, negarawan dan politikus; ningrat dan feodal.

  d.

  Perangkat sinonim yang pemakaiannya terbatas pada kata tertentu (keterbatasan kolokasi). Misalnya, telur busuk, nasi basi, mentega tengik, susu asam, baju apek, busuk, basi, tengik, asam dan apek memiliki makna yang sama, yakni buruk, tetapi tidak dapat saling menggantikan karena dibatasi persandingan yang dilazimkan.

  e.

  Perangkat sinonim yang maknanya kadang-kaddang tumpang-tindih. Misalnya, buluh dan bamboo; bumbu dan rempah-rempah; bimbang, cemas, dan sangsi; nyata dan kongkret.

  2. sinonim menurut pembagian Colliman dalam Djajasudarma (1999:39-

  41) membagi jenis sinonim menjadi Sembilan, dan bila kita lihat contohnya di dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut : a.

  Sinonim yang salah satu annggotanya memiliki makna yang lebih umum (generik), bandingkan misal, menghidangkan dan menyediakan atau menyiapkan; kelamin dengan seks. Sinonim yang salah satu anggotanya memiliki unsur makna yang lebih intensif. Misal, jenuh dan bosan; kejam dan bengis; imbalan dan pahala.

  b.

  Sinonim yang salah satu anggotanya lebih menonjolkan makna emotif.

  Misal, mungil dan kecil; bersih dan ceria; hati kecil dan hati nurani.

  c.

  Sinonim yang salah satu anggotanya bersifat mencela atau tidak membenarkan. Misal, boros dan tidak hemat; hebat dan dahsyat; mengamat-amati dan memata-matai (di dalam bahasa Sunda dikenal ujaran bodo ‘bodoh’ dan hese ngarti gancang poho ‘sulit mengerti cepat lupa’). d.

  Sinonim yang salah satu anggotanya menjadi istilah bidang tertentu. Misal, plasenta dan ari-ari; ordonansi dan peraturan; disiarkan dan ditayangkan.

  e.

  Sinonim yang salah satu anggotanya lebih banyak dipakai didalam ragam bahasa tulisan. Misal, selalu dan senantiasa; enak dan lezat; lalu dan lampau; bisa dan racun.

  f.

  Sinonim yang salah satu anggotanya lebih lazim dipakai di dalam bahasa percakapan. Misal, kayak dan seperti; ketek dan ketiak.

  g.

  Sinonim yang salah satu anggotanya dipakai dalam bahasa kanak-kanak.

  Misal, pipis dan berkemih; mimik dan minum; bobo dan tidur, mam (mamam) dan makan.

  h.

  Sinonim yang salah satu anggotanya biasa dipakai di daerah tertentu saja.

  Misal, cabai dan lombok; sukar dan susah; lepau dan warung; katak dan kodok; sawala dan diskusi.

2.5 Pilihan Bahasa

  Pilihan bahasa merupakan suatu perwujudan dari penggunaan sebuah bahasa tertentu oleh seorang dwibahasawan setelah ia memutuskan untuk memilih salah satu bahasa untuk menanggapi kejadian tertentu. Jika seseorang menggunakan lebih dari satu bahasa saat berkomunikasi dengan lainnya, mereka selalu memilih salah satu bahasa untuk tujuan-tujuan tertentu, orang tertentu dan menggunakan bahasa yang lain untuk tujuan lain, tempat lain dan orang lain.

  Dalam menjelaskan perilaku pemilihan bahasa pada masyarakat bilingual, Siregar (1998:50) mengemukakan beberapa hal seperti bahasa apa yang selalu digunakan dalam interaksi keluarga, atau interaksi intra kelompok etnik sendiri. Kemudian bahasa yang mana digunakan dalam interaksi inter kelompok etnik yang berbeda, lalu ciri apa yang dapat digunakan untuk menentukan pemilihan bahasa dalam situasi dan menentukan pemilihan bahasa dalam situasi lainnya. Fissman (1968) mengatakan :

  

“When speakers use two languages, they will obviously not use both inculturasi all

circumstances : in certain situations they will use one, in others, the other.”

  Maksudnya : Bila orang dapat menggunakan dua bahasa pada kenyataannya mereka tidak menggunakan kedua-dua bahasa itu dalam semua situasi. Pada situasi-situasi tertentu mereka akan menggunakan bahasa yang satu dan menggunakan yang satu lagi pada situasi yang lain.

  Untuk batasan pemilihan bahasa ini Fissman merangkai sebuah pertanyaan : “Siapa yang berbicara, bahasa apa, kepada siapa dan kapan?”. Dengan demikian bahwa pemilihan bahasa ini sangat bergantung kepada situasi, tempat, pembicara, mitra bicara, status social, jenis kelamin, dan latar belakang etnis.

  Berdasarkan konsep dari Pilihan bahasa diatas, bahwa kaitannya penulis membahas pemakaian verba shikaru dan okoru yang merupakan salah satu verba yang termasuk ke dalam pilihan bahasa terutama dalam pemilihan katanya yang sesuai dengan kontekstualnya.

Dokumen yang terkait

Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

3 113 70

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

14 146 97

Analisis Fungsi Dan Makna Verba “Shikaru” Dan “Okoru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita “Shikaru” To “Okoru” No Imi To Kinou No Bunseki

10 65 68

Analisis Pemakaian Verba Ochiru, Korobu, Dan Taoreru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik)

24 143 69

Analisis Makna Kalimat Pengandaian Bahasa Jepang Dalam Novel Noruwei No Mori (Ditinjau Dari Segi Semantik)

17 121 58

Analisis Pemakaian Verba Hataraku, Tsutomeru, Dan Shigoto Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang (Ditinjau Dari Segi Semantik) Imiron Kara Mita Nihongo No Bun Ni Okeru (Hataraku, Tsutomeru, Shigoto Suru) No Tsukaikata No Bunseki

5 125 67

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA, STUDI SEMANTIK DAN KESINONIMAN 2.1 Verba 2.1.1 Pengertian Verba - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Analisis Fungsi Dan Makna Verba Utsu Dan Tataku Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou Ni Okeru (Utsu) To (Tataku) No Kinou To Imi No Bunseki

0 1 10

Analisis Fungsi Dan Makna Fukushi Kanari Dan Zuibun Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihongo No Bunshou ni Okeru Zuibun To Kanari To Iu Fukushi No Imi To Kiinou No Bunseki

0 1 37

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA BAHASA JEPANG, PENGERTIAN VERBA MAWARU DAN MEGURU DAN STUDI SEMANTIK 2.1 Pengertian Verba - Analisis Nuansa Makna Verba “Mawaru” Dan “Meguru” Dalam Kalimat Bahasa Jepang Nihonggo Bunshou De No ‘Mawaru’ To “Meguru” No Ny

0 1 26