BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gula 2.1.1. Pengertian Gula - Analisa Kandungan Rhodamin B dan Formalin pada Gula Merah Serta Pengetahuan dan Sikap Pedagang di Pasar Tradisional Kecamatan Medan Baru Tahun 2013

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gula

  2.1.1. Pengertian Gula

  Gula adalah suatu karbohidrat sederhana yang menjadi sumber energi dan komoditi perdagangan utama. Gula paling banyak diperdagangkan dalam bentuk kristal sukrosa padat. Gula digunakan untuk mengubah rasa menjadi manis pada makanan atau minuman. Gula sederhana, seperti glukosa (yang diproduksi dari sukrosa dengan enzim atau hidrolisis asam), menyimpan energi yang akan digunakan oleh sel.

  Gula sebagai sukrosa diperoleh dari nira tebu, bit gula, atau aren. Meskipun demikian, terdapat sumber-sumber gula minor lainnya, seperti kelapa. Sumber-sumber pemanis lain, seperti umbi dahlia, anggir, atau jagung, juga menghasilkan semacam gula/pemanis namun bukan tersusun dari sukrosa. Proses untuk menghasilkan gula mencakup tahap ekstrasi (pemerasan) diikuti dengan pemurnian melalui distilasi (penyulingan).

  2.1.2. Jenis – Jenis Gula

  Gula mempunyai bentuk, aroma dan fungsi yang berbeda. Berikut ini beberapa jenis gula untuk memudahkan dalam pengolahan dan penggunaan yg tepat (Dewi, 2012).

  1. Gula Pasir (Granulated Sugar) Gula jenis ini terbuat dari sari tebu yang mengalami proses kristalisasi. Warnanya ada yang putih dan kecoklatan (raw sugar). Karena ukuran butiranya seperti pasir, gula jenis ini sering disebut gula pasir. Biasanya digunakan sebagai pemanis untuk masakan, minuman, kue atau penganan lain.

  2. Gula Pasir Berbutir Kasar (Crystallized Sugar) Gula ini memiliki bentuk butiran yang agak besar, lebih besar dari gula pasir.

  Biasanya digunakan untuk taburan pada kue yang dipanggang seperti kue kering, karena tidak meleleh pada suhu oven. Gula jenis ini banyak dijumpai dengan penampilan yang berwarnawarni.

  3. Gula Kastor (Caster Sugar) Memiliki ukuran butiran lebih halus dari gula pasir. Warnanya putih bersih. Gula ini paling sering digunakan untuk bahan campuran pada pembuatan cake, kue kering

  (cookies) atau pastry karena mudah larut/bercampur dengan bahan lain. Membuat gula ini cukup mudah, hanya dengan memasukkan gula pasir ke dalam kantong plastik.

  Kemudian dipukul – pukul lalu disaring/diayak. Hasil saringan/ayakan tersebut sudah menjadi gula kastor.

  4. Gula Bubuk (Icing Sugar atau Confectioners Sugar) Gula ini mengalami proses penghalusan sehingga berbentuk bubuk. Kadang disebut juga dengan tepung gula. Karena mudah larut, gula ini cocok digunakan untuk membuat krim atau menjadi taburan pada cake atau kue kering. Gula bubuk ada yang mengandung pati jagung sehingga tidak mudah menggumpal.

  5. Gula Donat Gula ini memang khusus digunakan untuk taburan donat. Teksturnya berbentuk tepung halus dan warnanya putih. Keistimewaannya, gula ini rasanya dingin di mulut karena mengandung mint dan tidak basah apabila terkena minyak. Kadang, gula ini juga digunakan untuk membalur kue kering (cookies) contohnya kue Putri Salju.

  6. Gula Dadu (Cube Sugar) Gula ini berbentuk dadu dan mempunyai mutu yang baik. Biasanya dipakai sebagai pemanis pada minuman teh atau kopi.

7. Brown Sugar

  Gula jenis ini adalah gula pasir yang proses pembuatannya belum selesai dan dibubuhi molasses sehingga berwarna kecoklatan. Gula ini beraroma karamel dan rasanya legit, tidak semanis gula pasir. Penggunaan gula jenis ini pada cookies membuatnya menjadi lebih lembut dibandingkan dengan menggunakan gula pasir. Ada beberapa macam Brown Sugar yaitu Soft/Light Brown Sugar dan Dark Brown Sugar.

  8. Gula Palem (Palm Sugar) Disebut juga gula semut. Berasal dari nira/sari batang bunga pohon aren. Berbutir seperti pasir halus dan berwarna coklat. Gula ini memiliki bau yang khas. Biasanya gula jenis ini digunakan untuk membuat fruit cake atau juga untuk campuran cookies.

  9. Gula Jawa Gula ini dibuat dari nira/sari bunga pohon kelapa (batang manggar). Umumnya gula jenis ini berbentuk silinder kecil atau seperti mangkuk kecil karena dicetak dengan batok kelapa. Di beberapa daerah gula ini sering disebut gula merah.

  10. Gula Aren Terbuat dari nira/sari bunga pohon aren. Aromanya lebih khas daripada gula jawa.

  Umumnya berwarna lebih gelap dari gula jawa. Gula aren sering disebut gula merah.

  11. Gula Tebu Gula tebu merupakan gula yang diambil dari nira tanaman tebu. Warnanya kecoklatan sama seperti gula jawa dan gula aren. Gula tebu juga disebut gula merah.

  12. Gula Batu Gula ini bentuknya seperti bongkahan kecil batu dan butirannya kasar. Rasanya tidak semanis gula pasir tetapi cita rasanya lebih legit. Gula ini meleleh perlahan.

  Biasanya digunakan untuk minuman atau membuat kue. Supaya lebih mudah larut, sebaiknya gula batu dihaluskan dahulu sebelum digunakan.

  13. Gula Maltosa (Maltose Sugar) Merupakan hasil fermentasi tepung beras (padi – padian) yang telah mengalami perendaman, pengeringan, pemanganggan dan penggilingan. Bentuknya seperti madu, berwarna kuning, kental dan rasanya lebih manis dari madu. Gula maltosa ini memberikan rasa yang nikmat setelah dioleskan pada bebek/ayam panggang. Gula ini dijual dalam kemasan botol di pasar swalayan.

  14. Karamel (Caramel) Dibuat dengan memanaskan gula pasir sampai gula meleleh dan berwarna kuning kecoklatan. Karamel mempunyai keharuman yg khas.

  15. Gula Jeli (Jelly Mallow) Yaitu larutan gula yang berwarna kuning kental sehingga mirip dengan jeli (jelly).

  Biasanya larutan gula ini digunakan sebagai campuran dalam membuat butter cream. Dijual dalam kemasan plastik dan mudah diperoleh di toko – toko bahan makanan.

2.2. Gula Merah

2.2.1. Pengertian Gula Merah

  Gula merah adalah gula yang berwarna kekuningan atau kecoklatan. Gula ini terbuat dari cairan nira yang dikumpulkan dari pohon kelapa, aren, tebu dan lontar. Nira merupakan cairan manis yang terdapat di dalam bunga tanaman aren, kelapa, tebu dan lontar yang pucuknya belum membuka dan diperoleh dengan cara penyadapan. Cairan nira yang dikumpulkan kemudian direbus secara perlahan sehingga mengental lalu dicetak dan didinginkan. Setelah dingin maka gula merah siap dikonsumsi atau dijual kepada orang lain (Rahmadianti, 2012).

  Gula ini memiliki banyak sekali varian bergantung pada jenis bahan dasar yang digunakan. Meskipun sama – sama nira, namun bisa berasal dari pohon yang berbeda – beda. Kualitas gula yang dihasilkan serta rasanya berbeda antara satu pohon dengan pohon lainnya.

2.2.2. Jenis – Jenis Gula Merah

  Istilah gula merah biasanya diasosiasikan dengan segala jenis gula yang dibuat dari nira yaitu cairan yang dikeluarkan dari bunga pohon dari keluarga palma, seperti kelapa, aren, tebu dan lontar. Berikut ini adalah jenis – jenis gula merah yaitu (Rahmadianti, 2012) :

  1. Gula Kelapa (Gula Jawa) Gula merah yang paling banyak ditemui adalah gula Jawa atau gula kelapa. Nira pohon kelapa disadap, diolah, dan dicetak dalam bambu (gula Jawa bentuk silinder) atau tempurung kelapa (gula Jawa bentuk batok). Gula kelapa banyak digunakan masyarakat Jawa untuk bahan baku kecap manis, pemanis minuman, dodol, kinca, atau kue. Warna cokelatnya lebih tua dibanding gula aren dan biasanya agak kotor, sehingga harus disaring terlebih dahulu. Klasifikasi kelapa menurut taksonomi adalah sebagai berikut ; Kingdom: Plantae (Tumbuhan), Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil), Sub Kelas: Arecidae, Ordo: Arecales, Famili: Arecaceae (suku pinang-pinangan), Genus: Cocos, Spesies: Cocos nucifera L.

  2. Gula Aren Gula aren hampir sama dengan gula Jawa. Bedanya, gula aren diambil dari nira pohon aren (enau atau kolang-kaling) dan berwarna cokelat cerah. Bentuknya ada yang silindris dan ada yang berbentuk batok runcing, namun biasanya dibungkus dengan daun kelapa kering. Sebagian orang lebih menyukai gula aren untuk membuat kue karena dianggap lebih harum, enak, dan bersih. Klasifikasi aren menurut taksonomi adalah sebagai berikut ; Kingdom: Plantae (Tumbuhan), Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil), Sub Kelas: Arecidae, Ordo: Arecales, Famili: Arecaceae (suku pinang-pinangan), Genus: Arenga, Spesies: Arenga pinnata Merr.

  3. Gula Tebu Gula tebu diambil dari nira tanaman tebu. Kualitas gula merah tebu sangat ditentukan oleh kegiatan penanganan pasca pemotongan batang tebu. Makin lama batang tebu disimpan, maka produk gula merahnya cenderung berwarna kecoklat – coklatan hingga hitam. Klasifikasi tebu menurut taksonomi adalah sebagai berikut ; Kingdom: Plantae (Tumbuhan), Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh), Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji), Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga), Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil), Sub Kelas: Commelinidae, Ordo: Poales, Famili: Poaceae (suku rumput-rumputan), Genus: Saccharum, Spesies: Saccharum officinarum L.

  4. Gula Semut Gula semut atau palm sugar atau gula palem adalah gula kelapa atau gula aren dalam bentuk kristal atau bubuk, sehingga kadang juga disebut gula kristal.

  Penggunaannya lebih praktis karena mudah larut, plus tahan lama karena kering. Gula ini bisa ditambahkan ke jamu atau minuman hangat, adonan roti, kue, atau makanan lainnya.

  Bisa juga dijadikan taburan atau pengganti gula pasir.

2.2.3. Manfaat Gula Merah Terhadap Kesehatan

  Tambahan gula merah pada makanan dan minuman tidak hanya membuatnya menjadi lezat, namun juga sehat. Setiap seratus gram gula merah mengandung 4 mg zat besi, 90 mg kalsium dan karoten serta laktoflavin. Kandungan gula pada gula merah lebih rendah jika dibandingkan dengan gula pasir sehingga sangat baik untuk penderita diabetes atau bagi mereka yang ingin menurunkan kadar lemak tak jenuh di dalam tubuhnya. Selain itu tidak ditemukan kolesterol di dalam gula merah. Nutrisi mikro yang lain adalah thiamine, nicotinic acid, riboflavin, niacin, ascorbatic acid, vitamin C, vitamin B12, vitamin A, vitamin E, asam folat, protein kasar dan juga garam mineral.

  Gula merah memiliki sifat hangat dan memiliki rasa manis alami. Di dalamnya terkandung unsur yang bersifat menguatkan limpa, menambah darah, meredakan nyeri, memperlancar peredaran darah dan menghangatkan lambung. Juga bermanfaat untuk mengatasi anemia, batuk, typhus, dan lepra.

  Keunggulan gula merah yang lain adalah proses larutnya ke dalam cairan tubuh berlangsung dalam tempo yang lama (perlahan-lahan). Karena itu, gula merah mampu memberikan energi dalam rentang waktu yang lebih panjang. Selain itu, riboflavin yang terkandung di dalam gula merah dapat membantu melancarkan metabolisme dan memperbaiki sel sehingga membuat stamina tetap prima.

  Gula merah juga sangat baik bagi kaum lanjut usia yang mengalami serapan mikronutrien dan multivitamin yang rendah. Gula merah juga dapat memberikan manfaat positif kepada wanita yang baru melahirkan atau memiliki siklus menstruasi yang tidak teratur.

2.3. Bahan Tambahan Pangan (BTP)

2.3.1. Pengertian Bahan Tambahan Pangan (BTP)

  Bahan Tambahan Makanan (BTM) atau sering pula disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP) adalah bahan yang ditambahkan ke dalam makanan untuk mempengaruhi sifat ataupun bentuk makanan. Bahan Tambahan Makanan itu bisa memiliki nilai gizi, tetapi bisa juga tidak. Menurut ketentuan yang ditetapkan, ada beberapa kategori Bahan Tambahan Makanan. Pertama Bahan Tambahan Makanan yang bersifat aman, dengan dosis yang tidak dibatasi, misalnya pati. Kedua, Bahan Tambahan Makanan yang digunakan dengan dosis tertentu, dan dengan demikian dosis maksimum penggunaanya juga telah ditetapkan. Ketiga, bahan tambahan yang aman dan dalam dosis yang tepat, serta telah mendapatkan izin beredar dari instansi yang berwenang, misalnya zat pewarna yang sudah dilengkapi sertifikat aman (Yuliarti, 2007).

  Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 secara umum adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai bahan makan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009).

2.3.2. Bahan Tambahan Pangan Yang Diizinkan

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, golongan Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang diizinkan diantaranya sebagai berikut :

  1. Antioksidan (antioxidant) adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi. Contohnya : asam askorbat dan asam eritrobat serta garamnya untuk produk daging, ikan, dan buah-buahan kaleng. Butil hidroksi anisol (BHA) atau butil hidroksi toluen (BHT) untuk lemak, minyak, dan margarin.

  2. Antikempal (anticaking agent) adalah tambahan makanan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang berupa serbuk, tepung, atau bubuk. Contohnya : aluminium silikat serta magnesium karbonat untuk susu bubuk dan krim bubuk

  3. Pengatur keasaman (acidity regulator) adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengasamkan, menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman makanan. Contohnya : asam klorida untuk bir, dan asam fumarat untuk jeli.

  4. Pemanis buatan (artificial sweetener) adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi. Contohnya : sakarin dan siklamat.

  5. Pemutih dan pematang tepung (flour treatment agent) adalah bahan tambahan makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan. Contohnya : asam askorbat dan aseton peroksida.

  6. Pengemulasi, pemantap dan pengental (emulsifier, stabilizer, thickener) adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan. Contohnya : karagenan untuk pemantap dan pengental produk susu, gelatin dan amonium alginat untuk pemantap es krim.

  7. Pengawet (preservative) adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Contohnya : natrium benzoat untuk pengawet kecap dan saus tomat, asam propionat untuk keju dan roti.

  8. Pengeras (firming agent) adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan. Contohnya : aluminium amonium sulfat dan aluminium kalium sulfat untuk acar ketimun dalam botol, kalsium sitrat untuk apel kalengan dan sayur kalengan.

  9. Pewarna (colour) adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Contohnya : karamel untuk warna coklat, xanthon untuk warna kuning, dan klorofil untuk warna hijau.

  10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa (flavour, flavour enhancer) adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Contohnya : monosodium glutamat untuk menyedapkan rasa daging.

  11. Sekuestran (sequestrant) adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan. Contohnya : asam fosfat dan asam sitrat.

  Selain BTP yang tercantum dalam peraturan menteri tersebut masih ada beberapa BTP lainnya yang biasa digunakan dalam pangan, misalnya (Cahyadi, 2009) :

  1. Enzim, yaitu BTP yang berasal dari hewan, tanaman, atau mikroba, yang dapat menguraikan zat secara enzimatis, misalnya membuat pangan menjadi lebih empuk, lebih larut, dan lain-lain.

  2. Penambah gizi, yaitu bahan tambahan serupa asam amino, mineral, atau vitamin, baik tunggal, maupun campuran, yang dapat meningkatkan nilai gizi pangan.

  3. Humektan, yaitu BTP yang dapat menyerap lembab (uap air) sehingga mempertahankan kadar air pangan.

2.3.3. Bahan Tambahan Pangan Yang Tidak Diizinkan

  Bahan tambahan pangan yang tidak diizinkan atau dilarang menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 dan No.

  1168/Menkes/PER/X/1999 sebagai berikut (Cahyadi, 2009) :

  1. Natrium tetraborat (boraks)

  2. Formalin (formaldehyd)

  3. Minyak nabati yang dibrominasi (brominanted vegetable oils)

  4. Kloramfenikol (chlorampenicol)

  5. Kalium klorat (pottasium chlorate)

  6. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC)

  7. Nitrofuranzon (nitrofuranzone)

  8. P-Phenetilkarbamida (p-phenethycarbamide, dulcin, 4-ethoxyphenyl urea)

  9. Asam salisilat dan garamnya (salicylic acid and its salt) Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

  1168/Menkes/Per/X/1999, selain bahan tambahan di atas masih ada tambahan kimia yang dilarang, seperti rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis sintetis), dan potasium bromat (pengeras) (Yuliarti, 2007).

2.4. Zat Pewarna

  2.4.1. Pengertian Zat Pewarna

  Warna merupakan salah satu kriteria dasar untuk menentukan kualitas makanan antara lain; warna dapat memberi petunjuk mengenai perubahan kimia dalam makanan.

  Oleh karena itu, warna menimbulkan banyak pengaruh terhadap konsumen dalam memilih suatu produk makanan dan minuman sehingga produsen makanan sering menambahkan pewarna dalam produknya (Yuliarti, 2007).

  Zat pewarna makanan adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Penambahan warna pada makanan dimaksudkan untuk memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik (Winarno, 1997).

  2.4.2. Jenis Zat Pewarna

  Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis.

  1. Pewarna Alami Banyak warna cemerlang yang berasal dari tanaman dan hewan yang dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami ikut menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, dan kobalamin), merupakan bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya.

  Umumnya pewarna alami aman untuk digunakan dalam jumlah yang besar sekalipun, berbeda dengan pewarna sintetis yang demi keamanan penggunaannya harus dibatasi (Yuliarti, 2007).

Tabel 2.1. Sifat-Sifat Bahan Pewarna Alami

  

Kelompok Warna Sumber Kelarutan Stabilitas

  Karamel Cokelat Gula Air Stabil dipanaskan Anthosianin Jingga, Tanaman Air Peka terhadap merah, biru panas dan pH Flavonoid Tanpa kuning Tanaman Air Stabil terhadap panas Leucoanthosianin Tidak berwarna Tanaman Air Stabil terhadap panas Tannin Tidak berwarna Tanaman Air Stabil terhadap panas Batalain Kuning, merah Tanaman Air Sensitif terhadap panas Quinon Kuning-hitam Tanaman Air Stabil terhadap bakteria lumut panas Xanthon Kuning Tanaman Air Stabil terhadap panas Karotenoid Tanpa kuning- Tanaman/ Lipida Stabil terhadap merah hewan panas Klorofil Hijau, cokelat Tanaman Lipida dan Sensitif terhadap air panas Heme Merah, cokelat Hewan Air Sensitif terhadap panas

  Sumber : Cahyadi (2009)

  2. Pewarna Sintetis Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dalam pangan disebut permitted color atau certified color. Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur penggunaannya, yang disebut proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi, dan analisis media terhadap zat warna tersebut (Yuliarti, 2007).

Tabel 2.2. Bahan Pewarna Sintetis yang Diizinkan di Indonesia menurut Peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 Nomor Indeks Batas Pewarna Warna Maksimum (C.I.No.) Penggunaan

  Amaran Amaranth : CI 16185 Secukupnya Food red 9

  Biru Brilliant blue 42090 Secukupnya Berlian FCF : CI

  Food red 2 Eritrosin Erithrosin : CI 45430 Secukupnya

  Food red 14 Fast Hijau FCF Green FCF : CI 42053 Secukupnya

  Food green 3 Hijau S Green S : CI 44090 Secukupnya

  Food green 4 Indigotin Indigotin : CI 73015 Secukupnya

  Food blue 1 Ponceau Ponceau 4R : CI 16255 Secukupnya

  4R Food red 7 Kuning Quineline yellow 74005 Secukupnya Kuinelin : CI Food yellow

  13 Kuning Sunset yellow 15980 Secukupnya FCF FCF : CI Food yellow 3 Riboflavina Riboflavina Secukupnya - Tartrazine Tartrazine 19140 Secukupnya

  Sumber : Peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88

Tabel 2.3. Bahan Pewarna Sintetis yang Dilarang di Indonesia menurut Peraturan Menkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88

  

Bahan Pewarna Nomor Indeks Warna (C.I.No.)

  Citrus red No.2 12156 Ponceau 3 R 16155

  Ponceau SX 14700 Rhodamin B 45170

  Guinea Green B 42085 Magenta 42510

  Chrysoidine 11270 Butter Yellow 11020

  Sudan I 12055 Methanil Yellow 13065

  Auramine 41000 Oil Oranges SS 12100 Oil Orange XO 12140 Oil Yellow AB 11380

  Oil Yellow OB 11390

  Sumber : Peraturan Menkes RI, Nomor 722/Menkes/Per/IX/88

2.4.3. Dampak Zat Pewarna

  Pemakaian bahan pewarna pangan sintetis dalam pangan walaupun mempunyai dampak positif bagi produsen dan konsumen, di antaranya dapat membuat suatu pangan lebih menarik, meratakan warna pangan, dan mengembalikan warna dari bahan dasar yang hilang atau berubah selama pengolahan, ternyata dapat pula menimbulkan hal – hal yang tidak diinginkan dan bahkan mungkin memberikan dampak negatif kesehatan manusia. Beberapa hal yang mungkin member dampak negatif tersebut terjadi apabila :

  1. Bahan pewarna sintetis ini dimakan dalam jumlah kecil, namun berulang.

  2. Bahan pewarna sintetis dimakan dalam jangka waktu lama.

  3. Kelompok masyarakat luas dengan daya tahan yang berbeda – beda, yaitu tergantung pada umur, jenis kelamin, berat badan, mutu pangan sehari – hari, dan keadaan fisik.

  4. Berbagai lapisan masyarakat yang mungkin menggunakan bahan pewarna sintetis secara berlebihan.

  5. Penyimpanan bahan pewarna sintetis oleh pedagang bahan kimia yang tidak memenuhi persyaratan.

2.5. Rhodamin B

2.5.1. Pengertian Rhodamin B

  Rhodamin B adalah pewarna terlarang yang sering ditemukan pada makanan, terutama makanan jajanan. Rhodamin B adalah zat pewarna berupa serbuk kristal berwarna merah keunguan, tidak berbau, serta mudah larut dan dalam larutan warna merah terang berfluorensi. Rhodamin B termasuk salah satu zat pewarna yang diperuntukkan sebagai pewarna kertas atau tekstil serta dinyatakan sebagai zat pewarna berbahaya dan dilarang digunakan pada produk pangan (Syah, 2005).

  Rhodamin B memiliki nama lain, di antaranya acid butirat pink B, ADC rhodamin

  

B , brilliant pink B, calcozine rhodamin BL, aizen rhodamin BH, aizen rhodamin BHC,

akiriku rhodamin B , calcozine rhodamin BX, calcozin rhodamin BXP, cerise toner,

certiqual rhodamin , cogilor red 321.10, cosmetic briliant pink bluish D conc, edicol

supra rose B , elcozine rhodamin B, geranium lake N, hexacol rhodamin B extra, rheonin

B , symulex magenta, takaoka rhodamin B, tetraetil rhodamin (Anonimous, 2011).

  Rumus molekul dari rhodamin B adalah C

  28 H

  31 N

  2 O

  3 Cl dengan berat molekul

  sebesar 479.000. Menurut Direktur Jendral Pengawasan Obat dan Makanan No.00366/C/II/1990, zat pewarna rhodamin B dinyatakan sebagai bahan berbahaya dalam obat, makanan dan kosmetika (Merlindara, 2009).

  2.5.2. Dampak Rhodamin B Terhadap Kesehatan

  Menurut Yuliarti (2007), penggunaan rhodamin B pada makanan dalam waktu yang lama (kronis) akan dapat mengakibatkan gangguan fungsi hati maupun kanker.

  Namun demikian, bila terpapar rhodamin B dalam jumlah besar maka dalam waktu singkat akan terjadi gejala akut keracunan rhodamin B. Bila rhodamin B tersebut masuk melalui makanan maka akan mengakibatkan iritasi pada saluran pencernaan dan mengakibatkan gejala keracunan dengan air kencing yang berwarna merah ataupun merah muda. Menghirup rhodamin B dapat mengakibatkan gangguan kesehatan, yakni terjadinya iritasi pada saluran pernafasan. Demikian pula apabila zat kimia ini mengenai kulit maka kulit pun akan terkena iritasi. Mata yang terkena rhodamin B juga akan mengalami iritasi yang ditandai dengan mata kemerahan dan udem pada mata.

  2.5.3. Tindakan Bila Terpapar Rhodamin B

  Tindakan yang bisa dilakukan bila terpapar rhodamin B adalah sebagai berikut (Syah, 2005) :

  1. Bila terkena kulit, lepaskan pakaian, perhiasan dan sepatu penderita yang terkontaminasi atau terkena rhodamin B;

  2. Cuci kulit dengan sabun dan air mengalir sampai bersih dari rhodamin B, selama kurang lebih 15 menit sampai 20 menit. Bila perlu hubungi dokter;

  3. Bila terkena mata, bilas dengan air mengalir atau larutan garam fisilogis, mata dikedip – kedipkan sampai dipastikan sisa Rodamin B sudah tidak ada lagi atau sudah bersih. Bila perlu hubungi dokter;

  4. Bila tertelan dan terjadi muntah, letakan posisi kepala lebih rendah dari pinggul untuk mencegah terjadinya muntahan masuk ke saluran pernapasan. Bila korban tidak sadar, miringkan kepala ke samping atau ke satu sisi. Bila perlu hubungi dokter.

2.6. Zat Pengawet

  2.6.1. Pengertian Zat Pengawet Zat pengawet merupakan salah satu bentuk Bahan Tambahan Makanan (BTM).

  Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, zat pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang dapat mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau penguraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan anorganik dalam bentuk asam dan garamnya. Aktivitas – aktivitas bahan pengawet tidaklah sama, misalnya ada yang efektif terhadap bakteri, khamir, ataupun kapang.

  2.6.2. Jenis Zat Pengawet

  Menurut Cahyadi (2009), ada 2 jenis zat pengawet yaitu sebagai berikut :

  1. Zat Pengawet Anorganik Berikut adalah daftar pengawet anorganik yang diizinkan penggunaanya oleh

  Dirjen POM (Lampiran Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/1988) : 1) Belerang dioksida 2) Kalium bisulfit 3) Kalium metabisulfit 4) Kalium nitrat 5) Kalium nitrit 6) Kalium sulfit 7) Natrium bisulfit 8) Na-metabisulfit

  9) Natrium nitrat 10) Natrium nitrit 11) Natrium sulfit

  2. Zat Pengawet Organik Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada yang anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Berikut adalah daftar bahan pengawet organik yang diziinkan pemakaiannya oleh Dirjen POM (Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/1988) :

  1) Asam benzoat 2) Asam propionat 3) Asam sorbat 4) Kalium benzoat 5) Kalium propionat 6) Kalium sorbat 7) Kalsium benzoat 8) Metil-p-hidroksi benzoat 9) Natrium benzoat 10) Natrium propionat 11) Nisin 12) Propil-p-hidroksi benzoat Zat pengawet yang tidak diizinkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988 dan No. 1168/Menkes/PER/X/1999 sebagai berikut :

  1. Natrium Tetraborat (Boraks)

  2. Formalin (Formaldehyd)

  3. Kloramfenikol (chlorampenicol)

  4. Dietilpirokarbonat (diethylpyrocarbonate, DEPC)

  5. Nitrofuranzon (nitrofuranzone)

  6. Asam Salisilat (salicylic acid)

2.6.3. Dampak Zat Pengawet

  Semua bahan kimia yang digunakan sebagai bahan pengawet adalah racun, tetapi toksisitasnya sangat ditentukan oleh jumlah yang diperlukan untuk menghasilkan pengaruh atau gangguan kesehatan atau sakit. Untuk itu digunakan konsep ADI (Acceptable Daily Intake). ADI dinyatakan dalam mg/kg berat badan yang didefenisikan sebagai jumlah bahan yang masuk ke tubuh setiap harinya, bahkan selama hidupnya tanpa resiko yang berarti bagi kesehatannya. Sebagai contoh, belerang dioksida merupakan bahan pengawet yang sangat luas pemakaiannya, namun pada dosis tertentu dapat menimbulkan gangguan pada kesehatan, tetapi belum ada pengganti belerang dioksida yang sama efektifnya atau cukup memuaskan. Keracunan karena adanya belerang dioksida akan menyebabkan luka usus (Cahyadi, 2009).

  Penggunaan nitrit dengan dosis tinggi dapat menyebabkan kanker. Karena pada kondisi tertentu akan terjadi reaksi antara nitrit dan beberapa amin yang secara alami terdapat dalam bahan pangan sehingga membentuk senyawa nitrosiamin yang dikenal sebagai senyawa karsinogenik. Nitrit juga merupakan senyawa yang tergolong sebagai racun, khususnya NO yang terserap dalam darah, mengubah haemoglobin manusia menjadi nitrose haemoglobin atau methaemoglobin yang tidak berdaya lagi mengangkut oksigen. Akibatnya terjadi cianosis (kulit menjadi biru), pucat, sesak napas, muntah, dan shock. Kemudian akan menjadi kematian apabila kandungan methaemoglobin lebih tinggi dari ± 70%. Beberapa efek lain pemakaian bahan pengawet yaitu iritasi lambung, iritasi kulit apabila terkena langsung, migrain, serta timbulnya reaksi alergi terhadap kulit dan mulut.

2.7. Formalin

2.7.1. Pengertian Formalin

  Formalin merupakan cairan jernih yang tidak berwarna atau hampir tidak berwarna dengan bau yang menusuk, uapnya merangsang selaput lendir hidung dan tenggorokan. Titik leleh -920C, titik didih -210C dan densitas dari formalin yakni 0,815 (pada suhu 200C). Bobot tiap mililiter ialah 1,08 gram. Dapat bercampur dalam air dan alkohol. Sifatnya yang mudah larut dalam air dikarenakan adanya elektron sunyi pada oksigen sehingga dapat mengadakan ikatan hidrogen molekul air. Memiliki konsentrasi 10 – 40% dari formaldehid. Penggunaan formalin yang sebenarnya bukan untuk makanan, melainkan sebagai antiseptik, germisida, dan pengawet non – makanan.

  Formalin secara alamiah sudah ada di alam. Dan formalin menjadi berbahaya tidak saja ketika bercampur makanan, tetapi juga dalam udara dan masuk melalui pernapasan maupun kulit. Formalin dapat bereaksi dengan hampir semua zat di dalam sel. Bereaksi terhadap kulit, bereaksi terhadap lambung, bereaksi dengan cepat terhadap selaput lendir saluran pernafasan dan pencernaan, serta cepat teroksidasi menjadi asam formiat di dalam tubuh terutama pada hati dan sel darah merah.

  Apabila digunakan secara benar, formalin akan lebih bermanfaat, misalnya sebagai antibakteri atau pembunuh kuman dalam berbagai jenis keperluan industri, yakni pembersih lantai, kapal, gudang dan pakaian, pembersih lalat dan jenis serangga lainnya. Formalin juga digunakan sebagai pencegah korosi pada sumur minyak.

  2.7.2. Ciri – Ciri Makanan yang Mengandung Formalin

  Adapun ciri – ciri makanan yang mengandung formalin (Yuliarti, 2007) yaitu sebagai berikut:

  1. Bentuknya sangat bagus, tekstur kenyal, warnanya bersih dan cerah.

  2. Tidak mudah hancur atau rusak.

  3. Tidak mudah busuk dan awet/tahan hingga beberapa hari.

  4. Beraroma menyengat khas formalin 5. Umumnya makanan yang mengandung formalin tidak akan dihinggapi lalat.

  2.7.3. Dampak Formalin terhadap Kesehatan

  Dampak formalin terhadap kesehatan dapat berupa dampak akut maupun dampak kronis yaitu (Yuliarti, 2007):

  1. Dampak Akut Efek pada kesehatan manusia langsung terlihat dalam jangka pendek biasanya terjadi akibat terpapar formalin dalam jumlah yang banyak. Seperti iritasi, alergi, kemerahan, mata berair, mual, muntah, rasa terbakar, sakit perut dan pusing bersin, radang tonsil, radang tenggorokan, sakit dada yang berlebihan, lelah, jantung berdebar, sakit kepala, dan diare. Pada konsentrasi yang sangat tinggi dapat menyebabkan kematian.

  2. Dampak Kronis

  Efek terhadap kesehatan manusia terlihat setelah terkena dalam jangka waktu yang lama dan berulang, biasanya jika mengonsumsi formalin dalam jumlah kecil dan terakumulasi dalam jaringan. Efeknya yaitu seperti mata berair, gangguan pada pencernaan, hati, ginjal pankreas, sistem saraf pusat, menstruasi, dan bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker).

2.7.4. Tindakan Bila Terpapar Formalin

  Tindakan yang bisa dilakukan bila terpapar formalin adalah sebagai berikut (Yuliarti, 2007):

  1. Bila formalin tertelan, segera minum susu atau norit untuk mengurangi penyerapan zat berbahaya tersebut. Bila diperlukan segera hubungi dokter;

  2. Bila terkena kulit, segera lepaskan pakaian, perhiasan dan sepatu yang terkena formalin. Cuci kulit selama 15 – 20 menit dengan sabun atau deterjen lunak dan air yang banyak serta pastikan tidak ada lagi bahan yang tersisa di kulit;

  3. Bila formalin mengenai mata, segera bilas mata dengan air mengalir yang cukup banyak sambil mengedip – kedipkan mata. Pastikan tidak ada lagi sisa formalin di mata. Aliri mata dengan larutan garam dapur 0,9% (seujung sendok teh garam dapur dilarutkan dalam segelas air) terus – menerus sampai penderita siap dibawa ke dokter;

  4. Bila terkena hirupan atau terkena kontak langsung formalin, tindakan awal yang harus dilakukan adalah menghindarkan penderita dari daerah paparan ke tempat yang aman. Bila penderita terkena sesak berat, gunakan masker berkatup atau peralatan sejenis seandainya dirasa perlu melakukan pernafasan buatan.

2.8. Pengetahuan

  Pengetahuan merupakan dominan yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih lama bertahan/langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan, sebaiknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoadmojo,2003).

  Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya).

  Sebagian besar pengetahuan seseorang diperoleh melalui indra pendengaran (telinga), indra penglihatan (mata). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai intensitas atau tingkat yang berbeda-beda (Notoatmodjo, 2005).

2.9. Sikap

  Sikap adalah kecenderungan untuk berespons (secara positif atau negatif) terhadap objek (Notoatmodjo, 2003). Sikap mencerminkan kesenangan atau ketidaksenangan seseorang terhadap sesuatu. Sikap berasal dari pengalaman, atau orang yang dekat dengan kita. Mereka dapat mengakrabkan kita kepada sesuatu atau menyebabkan kita menolaknya. Sikap dapat juga ditumbuhkan dari pengalaman yang amat terbatas. Kita dapat mengambil suatu sikap tanpa mengerti situasinya yang lengkap.

  Campbell (1950) mendefinisikan sikap yakni “an individual’s attitude is

  

syndrome of respons consistency with regards to object” bahwa sikap itu suatu sindroma

  atau kumpulan gejala dalam merespon suatu stimulus atau objek, sehingga sikap itu melibatkan pikiran, perasaan, perhatian, dan gejala kejiwaan yang lain (Notoatmodjo, 2005).

  Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi adalah merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2003).

2.10. Kerangka Konsep

  Ada ditemukan Tidak Rhodamin B memenuhi dan Formalin syarat Permenkes RI

  No. 1168/ Gula Pemeriksaan Pedagang

  Menkes/ Merah Laboratorium gula merah

  Per/X/1999 Tidak ada ditemukan Memenuhi Rhodamin B syarat

   Karakteristik Pedagang gula dan Formalin merah : Jenis kelamin

  • Umur - Lama bekerja
  • Tingkat pengetahuan pedagang tentang bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin.

   Sikap pedagang terhadap penggunaan bahan tambahan pangan, zat pewarna, zat pengawet, rhodamin B dan formalin.

Dokumen yang terkait

Analisa Kandungan Rhodamin B dan Formalin pada Gula Merah Serta Pengetahuan dan Sikap Pedagang di Pasar Tradisional Kecamatan Medan Baru Tahun 2013

11 127 76

Analisa Kandungan Rhodamin B Pada Cabe Merah Giling Di Beberapa Pasar Tradisional Kota Medan Tahun 2009

8 148 81

Hubungan Karakteristik Pengetahuan dan Sikap pada Ibu Rumah Tangga dan Pedagang dengan Penggunaan Kantong Plastik di Pasar Tradisional Firdaus Kecamatan Medan Tembung Tahun 2014

9 115 129

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bahan Toksik dalam Produk Konsumen - Analisis Kandungan Timbal pada Lipstik Impor dan Dalam Negeri Serta Tingkat Pengetahuan Konsumen dan Pedagang Terhadap Lipstik di Pasar Petisah Kota Medan Tahun 2015

0 0 32

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Pasar Modern terhadap Pedagang Pasar Tradisional dan Masyarakat dalam Pengembangan Wilayah di Kecamatan Medan Area

0 0 30

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pasar Tradisional - Peranan Pasar Baru Panyabungan Terhadap Pengembangan Wilayah di Kecamatan Panyabungan Kabupaten Mandailing Natal

0 0 23

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Hygiene dan Sanitasi - Hygiene Sanitasi dan Analisa Kandungan Boraks pada Bakso Bakar yang Dijual Disekitar Sekolah Dasar di Kecamatan Medan Baru Kota Medan Tahun 2012

0 3 34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Higiene dan Sanitasi 2.1.1. Pengertian Higiene dan Sanitasi - Analisis Escherichia coli dan Higiene Sanitasi pada Minuman Es Teh yang Dijual di Pajak Karona Jamin Ginting Kecamatan Medan Baru Tahun 2013

0 0 35

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Makanan - Higiene Sanitasi serta Pemeriksaan Escherichia coli dan Rhodamin B pada Makanan Jajanan di Sekolah Dasar (SD) Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan Amplas Tahun 2013

0 0 35

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Udara 2.1.1. Pengertian Pencemaran Udara - Analisa Kadar CO dan NO2 di Udara dan Keluhan Gangguan Saluran Pernapasan Pada Pedagang Kaki Lima di Pasar Sangkumpal Bonang Kota Padangsidimpuan Tahun 2013

0 0 31