BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian dan Fungsi Makanan - Higiene Sanitasi serta Pemeriksaan Escherichia coli dan Rhodamin B pada Makanan Jajanan di Sekolah Dasar (SD) Kelurahan Timbang Deli Kecamatan Medan Amplas Tahun 2013
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian dan Fungsi Makanan
Menurut WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Terdapat 3 (tiga) fungsi makanan yaitu (Chandra, 2007): 1.
Makanan sebagai sumber energi karena panas dapat dihasilkan dari makanan seperti juga energi
2. Makanan sebagai zat pembangun karena makanan berguna untuk membangun jaringan tubuh baru, memelihara dan memperbaiki jaringan tubuh yang sudah tua
3. Makanan sebagai zat pengatur karena makanan turut serta mengatur proses alami, kimia dan proses faal dalam tubuh.
Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan harus diperhatikan. Kualitas makanan mencakup ketersediaan zat-zat gizi yang dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan (Mulia, 2005).
2.2 Pengertian Makanan Jajanan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 492/Menkes/SK/VII/2003 tentang Pedoman Persyaratan Higiene Sanitasi Makanan Jajanan, makanan jajanan adalah makanan dan minuman yang diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi umum selain yang disajikan jasaboga, rumah makan/restoran dan hotel.
7
2.3 Higiene Sanitasi Makanan Jajanan
2.3.1 Pengertian Higiene Sanitasi
Untuk mencegah terjadinya keracunan pangan, harus dijaga standar higiene yang ketat. Secara estetika makanan akan enak jika dijadikan secara higienis. Tujuan utama dari menjaga higiene makanan adalah (Gaman dkk, 1992): 1.
Mencegah makanan terkontaminasi oleh bakteri penyebab keracunan makanan 2. Mencegah perbanyakan bakteri penyebab keracunan yang terdapat pada pangan
Sanitasi makanan adalah upaya-upaya yang ditujukan untuk kebersihan dan keamanan makanan agar tidak menimbulkan bahaya keracunan dan penyakit pada manusia. Tujuan dari upaya sanitasi makanan adalah (Chandra, 2007): 1.
Menjamin keamanan dan kebersihan makanan 2. Mencegah penularan wabah penyakit 3. Mencegah beredarnya produk makanan yang merugikan masyarakat 4. Mengurangi tingkat kerusakan atau pembusukan pada makanan.
Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor makanan, orang, tempat dan perlengkapannya yang dapat atau mungkin dapat menimbulkan penyakit atau gangguan kesehatan (Kepmenkes RI, 2003).
2.3.2 Prinsip Higiene Sanitasi Makanan
Terdapat 6 (enam) prinsip higiene sanitasi makanan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 yaitu: 1.
Pemilihan Bahan Makanan a.
Bahan makanan mentah (segar) yaitu makanan yang perlu pengolahan sebelum dihidangkan seperti:
1. Daging, susu, telor, ikan/udang, buah dan sayuran harus dalam keadaan baik, segar dan tidak rusak atau berubah bentuk, warna dan rasa, serta sebaiknya berasal dari tempat resmi yang diawasi.
2. Jenis tepung dan biji-bijian harus dalam keadaan baik, tidak berubah warna, tidak bernoda dan tidak berjamur
3. Makanan fermentasi yaitu makanan yang diolah dengan bantuan mikroba seperti ragi atau cendawan, harus dalam keadaan baik, tercium aroma fermentasi, tidak berubah warna, aroma, rasa serta tidak bernoda dan tidak berjamur.
b.
Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang dipakai harus memenuhi persyaratan sesuai peraturan yang berlaku.
c.
Makanan olahan pabrik yaitu makanan yang dapat langsung dimakan tetapi digunakan untuk proses pengolahan makanan lebih lanjut yaitu :
1. Makanan dikemas
a) Mempunyai label dan merk
b) Terdaftar dan mempunyai nomor daftar
c) Kemasan tidak rusak/pecah atau kembung
d) Belum kadaluwarsa
e) Kemasan digunakan hanya untuk satu kali penggunaan 2.
Makanan tidak dikemas
a) Baru dan segar
b) Tidak basi, busuk, rusak atau berjamur
c) Tidak mengandung bahan berbahaya
2. Penyimpanan Bahan Makanan a.
Tempat penyimpanan bahan makanan harus terhindar dari kemungkinan kontaminasi baik oleh bakteri, serangga, tikus dan hewan lainnya maupun bahan berbahaya.
b.
Penyimpanan harus memperhatikan prinsip first in first out (FIFO) dan first
expired first out (FEFO) yaitu bahan makanan yang disimpan terlebih dahulu
dan yang mendekati masa kadaluarsa dimanfaatkan/digunakan lebih dahulu.c.
Tempat atau wadah penyimpanan harus sesuai dengan jenis bahan makanan contohnya bahan makanan yang cepat rusak disimpan dalam lemari pendingin dan bahan makanan kering disimpan ditempat yang kering dan tidak lembab.
d.
Penyimpanan bahan makanan harus memperhatikan suhu sebagai berikut :
Tabel 2.1 Penyimpanan Bahan Makanan Berdasarkan Suhu No Jenis bahan Digunakan dalam waktu makanan 3 hari atau 1 minggu atau 1 minggu atau kurang kurang lebih1 Daging, ikan, udang -5 C s/d 0 C -10 C s/d -5 C > -10 C dan olahannya
2 Telur, susu dan
5 C s/d 7 C -5 C s/d 0 C > -5 C olahannya
3 Sayur, buah dan
10 C
10 C
10 C minuman
4 Tepung dan biji
25 C atau
25 C atau suhu
25 C atau suhu suhu ruang ruang ruang Sumber: Permenkes RI No.1096/MENKES/PER/VI/2011 e. Ketebalan dan bahan padat tidak lebih dari 10 cm f. Kelembaban penyimpanan dalam ruangan : 80% – 90% g.
Penyimpanan bahan makanan olahan pabrik makanan dalam kemasan tertutup disimpan pada suhu + 10 C. h.
Tidak menempel pada lantai, dinding atau langit-langit dengan ketentuan sebagai berikut: i.
Jarak bahan makanan dengan lantai : 15 cm ii.
Jarak bahan makanan dengan dinding : 5 cm iii.
Jarak bahan makanan dengan langit-langit : 60 cm 3. Pengolahan Makanan
Pengolahan makanan adalah proses pengubahan bentuk dari bahan mentah menjadi makanan jadi/masak atau siap santap, dengan memperhatikan kaidah cara pengolahan makanan yang baik yaitu: a.
Tempat pengolahan makanan atau dapur harus memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi untuk mencegah risiko pencemaran terhadap makanan dan dapat mencegah masuknya lalat, kecoa, tikus dan hewan lainnya.
b.
Menu disusun dengan memperhatikan: i.
Pemesanan dari konsumen ii.
Ketersediaan bahan, jenis dan jumlahnya iii.
Keragaman variasi dari setiap menu iv. Proses dan lama waktu pengolahannya v. Keahlian dalam mengolah makanan dari menu terkait c. Pemilihan bahan sortir untuk memisahkan/membuang bagian bahan yang rusak/afkir dan untuk menjaga mutu dan keawetan makanan serta mengurangi risiko pencemaran makanan. d.
Peracikan bahan, persiapan bumbu, persiapan pengolahan dan prioritas dalam memasak harus dilakukan sesuai tahapan dan harus higienis dan semua bahan yang siap dimasak harus dicuci dengan air mengalir.
e.
Peralatan 1)
Peralatan yang kontak dengan makanan
a) Peralatan masak dan peralatan makan harus terbuat dari bahan tara pangan (food grade) yaitu peralatan yang aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan.
b) Lapisan permukaan peralatan tidak larut dalam suasana asam/basa atau garam yang lazim terdapat dalam makanan dan tidak mengeluarkan bahan berbahaya dan logam berat beracun seperti : i.
Timah Hitam (Pb) ii.
Arsenikum (As) iii.
Tembaga (Cu) iv. Seng (Zn) v. Cadmium (Cd) vi.
Antimon (Stibium) dan lain-lain
c) Talenan terbuat dari bahan selain kayu, kuat dan tidak melepas bahan beracun.
d) Perlengkapan pengolahan seperti kompor, tabung gas, lampu, kipas angin harus bersih, kuat dan berfungsi dengan baik, tidak menjadi sumber pencemaran dan tidak menyebabkan sumber bencana (kecelakaan).
2) Wadah penyimpanan makanan
a) Wadah yang digunakan harus mempunyai tutup yang dapat menutup sempurna dan dapat mengeluarkan udara panas dari makanan untuk mencegah pengembunan (kondensasi).
b) Terpisah untuk setiap jenis makanan, makanan jadi/masak serta makanan basah dan kering.
3) Peralatan bersih yang siap pakai tidak boleh dipegang di bagian yang kontak langsung dengan makanan atau yang menempel di mulut.
4) Kebersihan peralatan harus tidak ada kuman Eschericia coli (E.coli) dan kuman lainnya.
5) Keadaan peralatan harus utuh, tidak cacat, tidak retak, tidak gompal dan mudah dibersihkan.
f.
Persiapan pengolahan harus dilakukan dengan menyiapkan semua peralatan yang akan digunakan dan bahan makanan yang akan diolah sesuai urutan prioritas.
g.
Pengaturan suhu dan waktu perlu diperhatikan karena setiap bahan makanan mempunyai waktu kematangan yang berbeda. Suhu pengolahan minimal 90 C agar kuman patogen mati dan tidak boleh terlalu lama agar kandungan zat gizi tidak hilang akibat penguapan.
h.
Prioritas dalam memasak 1)
Dahulukan memasak makanan yang tahan lama seperti goreng-gorengan yang kering 2)
Makanan rawan seperti makanan berkuah dimasak paling akhir
3) Simpan bahan makanan yang belum waktunya dimasak pada kulkas/lemari es
4) Simpan makanan jadi/masak yang belum waktunya dihidangkan dalam keadaan panas
5) Perhatikan uap makanan jangan sampai masuk ke dalam makanan karena akan menyebabkan kontaminasi ulang
6) Tidak menjamah makanan jadi/masak dengan tangan tetapi harus menggunakan alat seperti penjepit atau sendok
7) Mencicipi makanan menggunakan sendok khusus yang selalu dicuci i.
Higiene penanganan makanan 1)
Memperlakukan makanan secara hati-hati dan seksama sesuai dengan prinsip higiene sanitasi makanan 2)
Menempatkan makanan dalam wadah tertutup dan menghindari penempatan makanan terbuka dengan tumpang tindih karena akan mengotori makanan dalam wadah di bawahnya.
4. Penyimpanan Makanan Jadi/Masak a.
Makanan tidak rusak, tidak busuk atau basi yang ditandai dari rasa, bau, berlendir, berubah warna, berjamur, berubah aroma atau adanya cemaran lain.
b.
Memenuhi persyaratan bakteriologis berdasarkan ketentuan yang berlaku.
1) Angka kuman E. coli pada makanan harus 0/gr contoh makanan. 2) Angka kuman E. coli pada minuman harus 0/gr contoh minuman.
c.
Jumlah kandungan logam berat atau residu pestisida, tidak boleh melebihi ambang batas yang diperkenankan menurut ketentuan yang berlaku. d.
Penyimpanan harus memperhatikan prinsip first in first out (FIFO) dan first
expired first out (FEFO) yaitu makanan yang disimpan terlebih dahulu dan yang mendekati masa kedaluwarsa dikonsumsi lebih dahulu.
e.
Tempat atau wadah penyimpanan harus terpisah untuk setiap jenis makanan jadi dan mempunyai tutup yang dapat menutup sempurna tetapi berventilasi yang dapat mengeluarkan uap air.
f.
Makanan jadi tidak dicampur dengan bahan makanan mentah.
g.
Penyimpanan makanan jadi harus memperhatikan suhu sebagai berikut:
Tabel 2.2 Penyimpanan Makanan Jadi Berdasarkan Suhu No Jenis makanan Suhu penyimpanan Disajikan Akan segera Belum segera dalam waktu disajikan disajikan lama1 Makanan kering
25 C s/d 30 C
2 Makanan basah > 60 C -10 C (berkuah)
3 Makanan cepat basi > 65 C -5 C s/d -1 C (santan, telur, susu)
4 Makanan disajikan
5 C s/d 10 < 10 C dingin C Sumber: Permenkes RI No. 1096/MENKES/PER/VI/2011 5. Pengangkutan Makanan a.
Pengangkutan bahan makanan 1) Tidak bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun (B3). 2)
Menggunakan kendaraan khusus pengangkut bahan makanan yang higienis.
3) Bahan makanan tidak boleh diinjak, dibanting dan diduduki.
4) Bahan makanan yang selama pengangkutan harus selalu dalam keadaan dingin, diangkut dengan menggunakan alat pendingin sehingga bahan makanan tidak rusak seperti daging, susu cair dan sebagainya.
b.
Pengangkutan makanan jadi/masak/siap santap
1) Tidak bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun (B3).
2) Menggunakan kendaraan khusus pengangkut makanan jadi/masak dan harus selalu higienis.
3) Setiap jenis makanan jadi mempunyai wadah masing-masing dan bertutup.
4) Wadah harus utuh, kuat, tidak karat dan ukurannya memadai dengan jumlah makanan yang akan ditempatkan.
5) Isi tidak boleh penuh untuk menghindari terjadi uap makanan yang mencair (kondensasi).
6) Pengangkutan untuk waktu lama, suhu harus diperhatikan dan diatur agar makanan tetap panas pada suhu 60 C atau tetap dingin pada suhu 40
C.
6. Penyajian Makanan a.
Makanan dinyatakan laik santap apabila telah dilakukan uji organoleptic dan uji biologis dan uji laboratorium dilakukan bila ada kecurigaan.
1) Uji organoleptik yaitu memeriksa makanan dengan cara meneliti dan menggunakan 5 (lima) indera manusia yaitu dengan melihat (penampilan), meraba (tekstur, keempukan), mencium (aroma), mendengar (bunyi misal telur), menjilat (rasa). Apabila secara organoleptik baik maka makanan dinyatakan laik santap.
2) Uji biologis yaitu dengan memakan makanan secara sempurna dan apabila dalam waktu 2 (dua) jam tidak terjadi tanda
- – tanda kesakitan, makanan tersebut dinyatakan aman.
3) Uji laboratorium dilakukan untuk mengetahui tingkat cemaran makanan baik kimia maupun mikroba. Untuk pemeriksaan ini diperlukan sampel makanan yang diambil mengikuti standar/prosedur yang benar dan hasilnya dibandingkan dengan standar yang telah baku b.
Tempat penyajian Perhatikan jarak dan waktu tempuh dari tempat pengolahan makanan ke tempat penyajian serta hambatan yang mungkin terjadi selama pengangkutan karena akan mempengaruhi kondisi penyajian. Hambatan di luar dugaan sangat mempengaruhi keterlambatan penyajian.
c.
Cara penyajian Penyajian makanan jadi/siap santap banyak ragam tergantung dari pesanan konsumen yaitu : 1)
Penyajian meja (table service) yaitu penyajian di meja secara bersama, umumnya untuk acara keluarga atau pertemuan kelompok dengan jumlah terbatas 10 sampai 20 orang. 2)
Prasmanan (buffet) yaitu penyajian terpusat untuk semua jenis makanan yang dihidangkan dan makanan dapat dilih sendiri untuk dibawa ke tempat masing-masing. 3)
Saung (ala carte) yaitu penyajian terpisah untuk setiap jenis makanan dan setiap orang dapat mengambil makanan sesuai dengan kesukaannya.
4) Dus (box) yaitu penyajian dengan kotak kertas atau kotak plastik yang sudah berisi menu makanan lengkap termasuk air minum dan buah yang biasanya untuk acara makan siang.
5) Nasi bungkus (pack/wrap) yaitu penyajian makanan dalam satu campuran menu (mix) yang dibungkus dan siap santap.
6) Layanan cepat (fast food) yaitu penyajian makanan dalam satu rak makanan (food counter) di rumah makan dengan cara mengambil sendiri makanan yang dikehendaki dan membayar sebelum makanan tersebut dimakan.
7) Lesehan yaitu penyajian makanan dengan cara hidangan di lantai atau meja rendah dengan duduk di lantai dengan menu lengkap.
d.
Prinsip penyajian 1)
Wadah yaitu setiap jenis makanan di tempatkan dalam wadah terpisah, tertutup agar tidak terjadi kontaminasi silang dan dapat memperpanjang masa saji makanan sesuai dengan tingkat kerawanan makanan. 2)
Kadar air yaitu makanan yang mengandung kadar air tinggi (makanan berkuah) baru dicampur pada saat menjelang dihidangkan untuk mencegah makanan cepat rusak dan basi. 3)
Pemisah yaitu makanan yang ditempatkan dalam wadah yang sama seperti dus atau rantang harus dipisah dari setiap jenis makanan agar tidak saling campur aduk. 4)
Panas yaitu makanan yang harus disajikan panas diusahakan tetap dalam keadaan panas dengan memperhatikan suhu makanan, sebelum ditempatkan dalam alat saji panas (food warmer/bean merry) makanan harus berada pada suhu > 60 C. 5)
Bersih yaitu semua peralatan yang digunakan harus higienis, utuh, tidak cacat atau rusak.
6) Handling yaitu setiap penanganan makanan maupun alat makan tidak kontak langsung dengan anggota tubuh terutama tangan dan bibir.
7) Edible part yaitu semua yang disajikan adalah makanan yang dapat dimakan, bahan yang tidak dapat dimakan harus disingkirkan.
8) Tepat penyajian yaitu pelaksanaan penyajian makanan harus tepat sesuai dengan seharusnya yaitu tepat menu, tepat waktu, tepat tata hidang dan tepat volume (sesuai jumlah).
e.
Sampel atau contoh 1)
Setiap menu makanan harus ada satu porsi sampel (contoh) makanan yang disimpan sebagai bank sampel untuk konfirmasi bila terjadi gangguan atau tuntutan konsumen. 2)
Penempatan sampel untuk setiap jenis makanan dengan menggunakan kantong plasti steril dan sampel disimpan dalam suhu 10 C selama 1 x 24 jam. 3)
Sampel yang sudah tidak diperlukan lagi tidak boleh dimakan tetapi harus dibuang.
4) Jumlah makanan yang diambil untuk sampel sebagai berikut:
a) makanan kering/gorengan dan kue : 1 potong b) makanan berkuah : 1 potong + kuah 1 sendok sayur c) makanan penyedap/sambal : 2 sendok makan d) makanan cair : 1 sendok sayur e) nasi : 100 gram f) minuman : 100 cc
2.3.3 Syarat Higiene Sanitasi Makanan Jajanan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 942/Menkes/SK/VII/2003, persyaratan higiene sanitasi makanan jajanan adalah sebagai berikut:
1. Penjamah Makanan
Penjamah makanan jajanan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a.
Tidak menderita penyakit mudah menular, misalnya: batuk, pilek, influenza, diare, penyakit perut sejenisnya b.
Menutup luka (pada luka terbuka/bisul atau luka lainnya) c. Menjaga kebersihan tangan, rambut, kuku dan pakaian d.
Memakai celemek dan tutup kepala e. Mencuci tangan setiap kali hendak menangani makanan f. Menjamah makanan harus memakai alat/perlengkapan atau dengan alas tangan g.
Tidak sambil merokok, menggaruk anggota badan (telinga, hidung, mulut atau bagian lainnya) h.
Tidak batuk atau bersin dihadapan makanan jajanan yang disajikan dan atau tanpa menutup mulut atau hidung.
2. Peralatan Dilarang menggunakan kembali peralatan yang dirancang hanya untuk sekali pakai. Peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menyajikan makanan jajanan harus memenuhi persyaratan hygiene sanitasi sebagai berikut: a.
Peralatan yang sudah dipakai dicuci dengan air bersih dan dengan sabun b.
Lalu dikeringkan dengan alat pengering/lap yang bersih c. Kemudian peralatan yang sudah bersih tersebut disimpan di tempat yang bebas pencemaran.
3. Air, Bahan Makanan, Bahan Tambahan dan Penyajian a.
Air Air yang digunakan dalam penanganan makanan jajanan harus air yang memenuhi standar dan Persyaratan Higiene Sanitasi yang berlaku bagi air bersih atau air minum. Air bersih yang digunakan untuk membuat minuman harus dimasak sampai mendidih.
b.
Bahan Makanan dan Bahan Tambahan Makanan i.
Semua bahan yang akan diolah menjadi makanan jajanan harus dalam keadaan baik mutunya, segar dan tidak busuk, sedangkan semua bahan olahan dalam kemasan yang diolah menjadi makanan jajanan harus bahan olahan yang terdaftar di Departemen Kesehatan, tidak kadaluwarsa, tidak cacat atau tidak rusak. ii.
Bahan tambahan makanan yang digunakan dalam mengolah makanan jajanan harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. iii.
Bahan makanan dan bahan tambahan makanan jajanan siap saji harus disimpan terpisah. iv.
Bahan makanan yang cepat rusak atau cepat membusuk harus disimpan dalam wadah terpisah.
c.
Penyajian Makanan jajanan yang disajikan harus dengan tempat/alat perlengkapan yang bersih dan aman bagi kesehatan serta memenuhi persyaratan sebagai berikut: i.
Makanan jajanan yang dijajakan harus dalam keadaan terbungkus dan atau tertutup ii.
Pembungkus yang digunakan dan atau tutup makanan jajanan harus dalam keadaan bersih, tidak mencemari makanan dan pembungkus dilarang ditiup. iii.
Makanan jajanan yang diangkut, harus dalam keadaan tertutup atau terbungkus dan dalam wadah yang bersih iv.
Makanan jajanan yang diangkut harus dalam wadah yang terpisah dengan bahan mentah sehingga terlindung dari pencemaran v.
Makanan jajanan yang siap disajikan dan telah lebih dari enam jam apabila masih dalam keadaan baik harus diolah kembali sebelum disajikan.
4. Sarana Penjaja
Kontruksi sarana penjaja harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat melindungi makanan dari pencemaran dan harus memenuhi persyaratan yaitu antara lain: a.
Mudah dibersihkan b.
Tersedia tempat untuk: i.
Air bersih ii.
Penyimpanan bahan makanan iii.
Penyimpanan makanan jadi/siap disajikan iv. Penyimpanan peralatan v. Tempat cuci (alat, tangan, bahan makanan) vi.
Tempat sampah c. Makanan yang dijajakan harus terhindar dari debu dan pencemaran.
2.4 Mikrobiologi Pangan
2.4.1 Pengertian Mikrobiologi Pangan
Mikrobiologi adalah suatu kajian tentang mikroorganisme. Mikroorganisme berukuran sangat kecil, biasanya bersel tunggal, tidak dapat dilihat dengan mata telanjang dan hanya dapat dilihat dengan menggunakan mikroskop. Mikroorganisme tersebar luas di alam dan dijumpai juga pada pangan. Beberapa diantaranya, jika terdapat dalam jumlah yang banyak maka dapat menyebabkan keracunan makanan (Gaman dkk, 1992).
Pencemaran mikroba pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi langsung atau tidak langsung dengan sumber-sumber pencemar mikroba, seperti tanah, air, udara, debu, saluran pencernaan dan pernafasan manusia ataupun hewan (Nurwantoro dkk, 2001).
2.4.2 Jenis-jenis Mikrobiologi Pangan
2.4.2.1 Protozoa
Protozoa merupakan binatang kecil bersel tunggal dan bersifat motil yaitu dapat melakukan gerakan sendiri. Hampir semua jenis protozoa hidup di dalam air (kolam, sungai, danau, laut dan air tanah). Protozoa makan dengan cara menelan partikel-partikel kecil makanan dan memperbanyak diri dengan pembelahan biner yaitu membelah diri menjadi dua bagian. Sebagian besar protozoa bersifat non- patogenik, namun ada beberapa spesies yang merupakan patogen, misalnya
Entamoeba histolytica dapat menyebabkan disentri amoeba, protozoa Plasmodium
menyebabkan malaria yang dapat ditularkan melalui nyamuk Anopheles, dan Toxoplasma gondii dapat menyebabkan toxoplasmosis (Gaman dkk, 1992).
2.4.2.2 Virus
Virus adalah mikroorganisme terkecil dan bersifat aseluler yaitu tidak memiliki struktur sel, terdiri atas inti asam nukleat yang dibungkus oleh selubung protein. Virus hanya dapat hidup sebagai parasit dalam sel hidup yang lebih besar (pada inangnya). Oleh karena itu virus selalu bersifat patogenik, dapat menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan dan mikroorganisme lain. Hampir semua penyakit yang disebabkan oleh virus pada manusia dapat ditularkan melalui kontak langsung, tetapi beberapa diantaranya diketahui dapat ditularkan melalui makanan dan air yang terkontaminasi (Gaman dkk, 1992). Virus penyebab penyakit pada manusia yang dapat ditularkan melalui pangan antara lain virus hepatitis, poliovirus dan virus coxsackie (Nurwantoro dkk, 2001).
2.4.2.3 Kapang
Beberapa kapang dapat menghasilkan toksin/mikotoksin yang bersifat karsinogenik yaitu dapat menyebabkan kanker yang berbahaya bagi manusia dan hewan. Contohnya adalah aflatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan A.
parasiticus dapat menyebabkan kanker hati. Pangan yang sering ditumbuhi oleh
kapang adalah produk susu, produk yang dipanggang, sari buah, biji-bijian, pakan ternak, oncom, kacang tanah, jagung dan biji kapas (Nurwantoro dkk, 2001).
2.4.2.4 Bakteri
Bakteri adalah organisme bersel tunggal terkecil yang tersebar luas di lingkungan sekitar manusia dan dapat dijumpai di udara, air, tanah, dalam usus binatang, tumbuhan, permukaan tubuh, mulut maupun hidung. Berdasarkan bentuk selnya bakteri dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yakni (Gaman dkk, 1992): 1.
Coccus yaitu berbentuk bulat 2. Bacillus yaitu berbentuk batang 3. Vibrio yaitu berbentuk batang melengkung dan pendek 4. Spirillum yaitu berbentuk koil (benang melingkar) dan panjang.
Bakteri yang paling umum digunakan sebagai indikator adanya polusi adalah
Escherichia coli dan kelompok koliform secara keseluruhan. Bakteri yang termasuk
kelompok koliform antara lain Escherichia coli, Edwarsiella, Citrobacter, Klebsiella,
Enterobacter, Hafnia, Serratia, Proteus, Arizona, Providentia, Pseudomonas dan
basil parakolon. Bakteri koliform digunakan sebagai indikator adanya polusi yang berasal dari kotoran manusia atau hewan dan menunjukkan kondisi sanitasi yang tidak baik terhadap air, makanan, susu dan produk-produk susu (Supardi dkk, 1999).
Ada sekitar 8 (delapan) jenis bakteri yang terbukti sering menyebabkan KLB (Kejadian Luar Biasa) yaitu (Arisman, 2009): 1.
Salmonella : infeksi yang terjadi akibat ingesti makanan yang mengandung bakteri hidup.
2. Staphylococcus aureus : pertumbuhan bakteri di dalam makanan akan menghasilkan toksin.
3. Clostridium perferingens : toksin dilepas ke dalam lumen saluran cerna.
4. Clostridium botulinum : pertumbuhan bakteri di dalam makanan akan menghasilkan toksin.
5. Bacillus cereus : pertumbuhan bakteri di dalam makanan akan menghasilkan toksin.
6. Vibrio parahaemolyticus : infeksi terjadi karena menyantap makanan yang mengandung bakteri hidup.
7. Escherichia coli : infeksi akibat ingesti makanan yang mengandung bakteri hidup.
8. Campylobacter jejuni : infeksi akibat ingesti makanan yang mengandung bakteri hidup.
Bakteri dapat menghasilkan toksin yang bersifat membahayakan terhadap manusia. Ada dua jenis toksin yang dihasilkan oleh bakteri yaitu (Gaman dkk, 1992; Supardi dkk, 1999):
1. Endotoksin Endotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel bakteri dan akan bersifat toksis bila sel mengalami lisis. Endotoksin cenderung memiliki pengaruh lokal dan biasanya menyebabkan kerugian pada bagian tubuh di mana bakteri itu hidup. Gejala penyakit biasanya tidak tampak sampai beberapa waktu sesudah bakteri hidup masuk ke tubuh, karena diperlukan waktu sampai sel bakteri mengalami disintegrasi. Bakteri hidup harus masuk ke dalam tubuh agar dapat menyebabkan tipe penyakit ini.
2. Eksotoksin Eksotoksin yaitu toksin yang disintesis di dalam sel mikroba, kemudian dikeluarkan ke substrat di sekelilingnya. Pada kasus ini tidak harus menelan bakteri hidup, karena timbulnya penyakit hanya oleh toksin. Beberapa keracunan pangan disebabkan karena mengkonsumsi makanan yang mengandung eksotoksin yang masih tetap ada di makanan meskipun bakteri yang menghasilkannya sudah mati. Gejala penyakit biasanya dapat terlihat segera setelah eksotoksin masuk ke dalam tubuh, meskipun hal tersebut tidak berlaku pada semua kasus.
2.5 Eschericia coli
Escherichia coli merupakan bakteri facultatively anaerobic gram-negative
berbentuk batang yang termasuk kedalam family Enterobacteriaceae dan merupakan penghuni normal usus. Bakteri ini pertama kali ditemukan pada tahun 1885 dan dikenali bersifat komensal maupun berpotensi patogen. Bila Escherichia coli tersangkut di organ lain, misalnya saluran kemih maka dapat menyebabkan penyakit (Arisman, 2009).
Sel Escherichia coli memiliki panjang 2,0
- – 6,0 µm dan lebar 1,1 – 1,5 µm, tersusun tunggal, berpasangan, dengan flagella peritikus. Escherichia coli dapat tumbuh pada suhu antara 10
- – 40
C, dengan suhu optimum 37
C, sedangkan pH optimum untuk pertumbuhannya adalah pada 7,0
- – 7,5 (pH minimum pada 4,0 dan maksimum pada pH 9,0). Bila ditemukan Escherichia coli dalam jumlah yang banyak bersama tinja, maka dapat mencemari lingkungan dam merupakan indikator pencemaran air dan makanan oleh tinja (Supardi dkk, 1999).
2.5.1 Patogenesis Escherichia coli
Ada 4 (empat) kelas Escherichia coli yang bersifat enterovirulen yaitu (Hawley, 2003; Arisman, 2009): 1.
Escherichia coli Enterotoksik (ETEC) adalah penyebab utama traveller’s
diarrhea dan infantile diarrhea di negara berkembang maupun miskin. Diare
pada kasus ini berupa watery diarrhea dengan tingkat keparahan berkisar dari ringan sampai parah. Patogenesis diare tersebut berkaitan dengan enterotoksin yang dihasilkannya. ETEC menghasilkan dua jenis toksin yaitu toksin yang labil terhadap panas (heat labile toxins) dan toksin yang stabil terhadap panas (heat
stabile toxins ). Di negara-negara berkembang ETEC ditularkan melalui
pemakaian feses manusia sebagai pupuk tanaman dan umumnya terjadi pada sanitasi yang buruk.
2. Escherichia coli Enteropatogenik (EPEC) adalah penyebab utama diare kronik dan kegagalan tumbuh kembang bayi di negara-negara berkembang. EPEC tidak dianggap invasif tetapi melekat (faktor virulensi) dan menyebabkan lesi melalui pengikisan permukaan,
3. Escherichia coli Enteroinvasif (EIEC) dapat menginvasi sel-sel epitel mukosa usus sehingga menyebabkan terjadinya watery diarrhea, disentri, demam, muntah, kram, nyeri perut hebat dan tenesmus. Sebagian besar pasien memperlihatkan darah dan pus pada tinja.
4. Escherichia coli Enterohemoragik (EHEC) dapat menghasilkan suatu toksin hemoragik yang disebut verotoksin, yaitu Shigalike toxins. Infeksi ini ditandai dengan hemorrhagic colitis (diare yang jelas berdarah), sindrom uremik hemolitik (SUH) dan gagal ginjal akut. EHEC dapat dijumpai dalam makanan yang tercemar oleh feses sapi (terutama hamburger).
Escherichia coli juga dapat menyebabkan infeksi di luar saluran pencernaan
seperti: infeksi saluran kemih, abses usus buntu, peritonitis, radang empedu dan infeksi pada luka bakar (Supardi dkk, 1999).
2.5.2 Kontaminasi Escherichia coli pada Makanan dan Pencegahannya
Escherichia coli merupakan flora normal di dalam saluran pencernaan
manusia dan hewan yang dapat dengan mudah mencemari air. Oleh karena itu, biasanya kontaminasi Escherichia coli pada makanan dapat terjadi karena menggunakan air yang tercemar tersebut. Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh Escherichia coli adalah daging ayam, daging sapi, daging babi selama penyembelihan, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayur, buah-buahan, sari buah serta bahan minuman seperti susu dan lainnya. Alat-alat yang digunakan dalam pengolahan pangan juga sering terkontaminasi oleh Escherichia coli, yang berasal dari air yang digunakan untuk mencuci peralatan. Kontaminasi Escherichia coli pada makanan atau alat-alat pengolahan pangan merupakan suatu tanda praktik sanitasi yang kurang baik (Supardi dkk, 1999).
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1096/MENKES/PER/VI/2011 tentang Higiene Sanitasi Jasa Boga, cemaran bakteri pada makanan seperti Escherichia coli dan sebagainya menunjukkan angka kuman
Escherichia coli 0 (nol) melalui pemeriksaan laboratorium.
Untuk mencegah pertumbuhan bakteri ini pada makanan, sebaiknya makanan disimpan pada suhu yang rendah. Bakteri ini juga relatif sensitif terhadap panas dan dapat diinaktifkan pada suhu pasteurisasi makanan atau selama pemanasan makanan (Supardi dkk, 1999). Pencegahan lainnya juga dapat dengan menjaga higiene, makanan dimasak dengan baik dan mencegah air dari kontaminasi oleh tinja/kotoran atau bila perlu air diberi perlakuan khlorinasi (Nurwantoro dkk, 1997).
2.6 Bahan Tambahan Pangan
Bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan, pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009). Menurut Permenkes RI No. 722/Menkes/PER/IX/88, bahan tambahan pangan adalah bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan merupakan ingredien khas makanan, mempuyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang dengan sengaja ditambahkan ke dalam makanan untuk maksud teknologi (termasuk organoleptik) pada pembuatan, pengolahan, penyediaan, perlakuan, pewadahan, pembungkusan, penyimpanan atau pengangkutan makanan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan (langsung atau tidak langsung) suatu komponan yang mempengaruhi sifat khas makanan.
Bahan tambahan pangan digunakan untuk mendapatkan pengaruh tertentu, misalnya untuk memperbaiki tekstur, rasa, penampilan dan memperpanjang daya simpan (Baliwati dkk, 2010). Penggunaan bahan tambahan pangan bertujuan untuk dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi dan kualitas daya simpan, membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu sebagai berikut (Cahyadi, 2009): 1.
Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan, dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membantu pengolahan. Contonya adalah pengawet, pewarna, pengeras dan lain sebagainya.
2. Bahan tambahan pangan yang dengan tidak sengaja ditambahkan ke dalam makanan (bahan yang tidak memiliki fungsi dalam makanan tersebut), baik dalam jumlah sedikit atau cukup banyak akibat perlakuan selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk produksi bahan mentah atau penangananya yang masih terus terbawa ke dalam makanan yang akan dikonsumsi. Contohnya adalah residu pestisida, antibiotik dan hidrokarbon aromatik polisiklis.
Pemakaian bahan tambahan pangan yang aman merupakan pertimbangan yang penting. Jumlah bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk digunakan dalam pangan harus merupakan kebutuhan minimum untuk mendapatkan pengaruh yang dikehendaki. Batasannya harus ditetapkan dengan memperhatikan beberapa faktor yaitu (Baliwati dkk, 2010): 1.
Perkiraan jumlah pangan yang dikonsumsi atau bahan tambahan pangan yang diusulkan ditambahkan.
2. Ukuran minimal yang pada pengujian terhadap binatang percobaan menghasilkan penyimpangan yang normal pada kelakuan fisiologisnya.
3. Batasan terendah yang cukup aman bagi kesehatan semua golongan konsumen.
Golongan bahan tambahan pangan yang diizinkan oleh Departemen Kesehatan berdasarkan Permenkes RI No. 722/Menkes/PER/IX/1988 diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Antioksidan adalah bahan tambahan makanan yang dapat mencegah atau menghambat oksidasi.
2. Antikempal adalah tambahan makanan yang dapat mencegah mengempalnya makanan yang berupa serbuk.
3. Pengatur keasaman adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengasamkan , menetralkan dan mempertahankan derajat keasaman makanan.
4. Pemanis buatan adalah bahan tambahan makanan yang dapat menyebabkan rasa manis pada makanan, yang tidak atau hampir tidak mempunyai nilai gizi.
5. Pemutih dan pematang telur adalah bahan tambahan makanan yang dapat mempercepat proses pemutihan dan atau pematang tepung sehingga dapat memperbaiki mutu pemanggangan.
6. Pengemulsi, pemantap dan pengental adalah bahan tambahan makanan yang dapat membantu terbentuknya atau memantapkan sistem dispersi yang homogen pada makanan.
7. Pengawet adalah bahan tambahan makanan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap makanan yang disebabkan oleh mikroorganisme.
8. Pengeras adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperkeras atau mencegah melunaknya makanan.
9. Pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan.
10. Penyedap rasa dan aroma, penguat rasa adalah bahan tambahan makanan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma.
11. Sekuestran adalah bahan tambahan makanan yang dapat mengikat ion logam yang ada dalam makanan.
Beberapa bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan berdasarkan Permenkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88 adalah sebagai berikut:
1. Asam Borat (Boric Acid) dan senyawanya 2.
Asam Salisilat dan garamnya (Salicylic Acid and its salt) 3. Dietilpirokarbonat (Di ethylpyrocarbonate, DEPC) 4. Dulsin (Dulcin)
5. Kalium Klorat (Potassium Chlorate) 6.
Kloramfenikol (Chloramphenicol) 7. Minyak Nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils) 8. Nitrofurazon (Nitrofurazone) 9. Formalin (Formaldehyde )
Menurut Permenkes RI Nomor 1168/Menkes/PER/X/1999, selain bahan tambahan yang di atas masih ada bahan tambahan kimia yang dilarang seperti Rhodamin B (pewarna merah), methanyl yellow (pewarna kuning), dulsin (pemanis buatan) dan kasium bromate (pengeras) (Cahyadi, 2009).
2.7 Pewarna Bahan Pangan
Warna pada pangan dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cara pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam atau merata. Zat warna sebenarnya sudah sejak lama dikenal dan digunakan, misalnya menggunakan daun suji atau daun pandan untuk warna hijau dan menggunakan kunyit untuk untuk warna kuning. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka telah ditemukan zat warna sintesis yang penggunaannya lebih praktis dan harganya lebih murah (Cahyadi, 2009).
Berdasarkan sumbernya, maka dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan yaitu pewarna alami dan pewarna sintesis (Cahyadi, 2009; Yuliarti, 2007).
2.7.1 Pewarna Alami
Banyak sekali bahan alami yang dapat digunakan sebagai pewarna makanan, baik yang berasal dari tanaman maupun yang berasal dari hewan, diantaranya adalah klorofil, mioglobin dan hemoglobin, anthosianin, flavonoid, tannin, betalanin,
quinon, xanthan dan karotenoid. Beberapa pewarna alami juga ikut menyumbangkan
nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin dan kobalamin), merupakan bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya. Umumnya pewarna alami aman untuk digunakan dalam jumlah yang besar sekalipun, berbeda dengan pewarna sintesis yang demi keamanan penggunaanya harus dibatasi.
Table 2.3 Sifat-Sifat Bahan Pewarna Alami Kelompok Warna Sumber Kelarutan StabilitasCaramel Cokelat Gula dipanaskan Air Stabil Anthosianin Jingga Merah Biru
Tanaman Air Peka terhadap panas dan pH Flavonoid Tanpa kuning Tanaman Air Stabil terhadap panas Leucoantho sianin Tidak berwarna
Tanaman Air Stabil terhadap panas Tannin Tidak berwarna
Tanaman Air Stabil terhadap panas Batalain Kuning Merah
Tanaman Air Sensitif terhadap panas Quinon Kuning- hitam
Tanaman Bakteria lumut Air Stabil terhadap panas
Xanthon Kuning Tanaman Air Stabil terhadap panas Karotenoid Tanpa kuning- merah Tanaman/ hewan Lipida Stabil terhadap panas Klorofil Hijau
Cokelat Tanaman Lipida Air Sensitif terhadap panas Heme Merah
Cokelat Hewan Air Sensitif terhadap panas
Sumber: Cahyadi, 2009
2.7.2 Pewarna Sintesis
Zat pewarna yang diizinkan penggunaanya dalam pangan disebut sebagai
permitted color atau certified color. Di negara maju, suatu zat pewarna buatan harus
melalui berbagai proses pengujian sebelum dapat digunakan sebagai pewarna pangan.Zat warna yang akan digunakan harus menjalani pengujian dan prosedur penggunaannya, yang disebut dengan proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi dan analisis media terhadap zat warna tersebut.
Penyalahgunaan pemakaian zat pewarna untuk bahan pangan masih sering terjadi, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit digunakan untuk mewarnai bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Adanya penyalahgunaan zat pewarna tersebut karena disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik dan disamping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan.
Bila dibandingkan dengan bahan pewarna alami, maka bahan pewarna sintesis (buatan) mempunyai beberapa kelebihan yaitu warna yang beraneka ragam, keseragaman warna, kestabilan warna, penyimpanannya lebih mudah dan lebih tahan lama. Selain daripada itu, warna dari pewarna alami biasanya jarang yang sesuai dengan warna yang diinginkan (Winarno dkk, 1980).
Berikut ini adalah bahan pewarna sintesis yang diizinkan di Indonesia berdasarkan Permenkes RI Nomor 722/Menkes/Per/IX/88.
Table 2.4 Bahan Pewarna Sintesis yang Diizinkan di Indonesia Pewarna Nomor Indeks NO Bahasa Indonesia Bahasa Inggris Warna (C.I.No.)Biru Berlian Brilliant Blue CFC; CI Food 42090 1.
Blue 2; FD & C Blue No. 1
2. Coklat HT Chocolate Brown HT 20285
3. Eritrosin Erythrosine; CI Food Red 45430
14; FD & Red No. 3
Hijau FCF Fast Green FCF; CI Food 42053 4.
Green 3; FD & C Green No.
3
5. Hijau S Food Green S; CI Food 44090 Green 4
Indigotin Indigotine; Indigo Carmine; 73015 6.
CI Food Blue 1; FD & C Blue No. 2
7. Karmoisin Carmoisine; CI Food Red 3; 14720 Azorubine
Kuning FCF Sunset Yellow FCF; CI Food 15985 8.
Yellow 3
9. Kuning Kuinolin Quinolone Yellow; Food 47005 Yellow 13; CI Acid Yellow 3
10. Merah Alura Allura Red AC; CI Food Red 16035 17; FD & C Red No. 40
11. Ponceau 4R Ponceau 4R; CI Food Red 7; 16255
Brilliant Scarlet 4R
12. Tartrazin Tartrazine; CI Food Yellow 19140 4; FD & C Yellow No. 5
Sumber: Permenkes RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 Pewarna dicampur/ditambahkan ke dalam makanan untuk menimbulkan warna tertentu yang diharapkan dapat membangkitkan selera. Namun sayangnya, tidak banyak tersedia zat pewarna seperti yang diharapkan (Arisman, 2009).
2.7.3 Zat Warna Berbahaya Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
293/MenKes/Per/V/1985, berikut ini disebutkan beberapa zat warna tertentu yang
Sumber: Permenkes RI No. 293/MenKes/Per/V/1985
15. Metanil Yellow (Ext. D&C Yellow No.1) 13065
30. Violet 6 B 42640