Peranan Serat (Glucomannan) Dalam Pengobatan Konstipasi Fungsional Pada Anak

  BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

  Definisi konstipasi bersifat relatif, tergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan bukan disebut konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari dengan tinja yang keras dan sulit keluar, sebaiknya dianggap sebagai konstipasi. Konstipasi dapat timbul dari adanya defek pengisian

  15 maupun pengosongan di rektum.

  Konstipasi merupakan gangguan defekasi atau berkurangnya frekuensi buang air besar disertai dengan perubahan konsistensi tinja. Konstipasi merupakan suatu keluhan berupa ketidakmampuan melakukan evakuasi tinja secara sempurna, yang tercermin dari 3 aspek, yaitu berkurangnya frekuensi berhajat dari biasanya, tinja yang lebih keras dari sebelumnya dan pada palpasi abdomen teraba masa tinja (skibala) dengan atau tidak

  1 disertai enkoporesis.

  Sedangkan definisi konstipasi menurut North American Society for Pediatric

  

Gastroenterology Hepatology and Nutrition (NASPGHAN) yaitu ketidakmampuan atau

  kesulitan defekasi yang terjadi selama 2 minggu atau lebih sehingga menyebabkan penderitaan yang signifikan terhadap pasien. Konstipasi sendiri dibedakan oleh dua jenis yaitu konstipasi fungsional dan konstipasi organik, dimana konstipasi fungsional bila tidak dijumpai kelainan patologis sedangkan pada konstipasi organik bila dijumpai kelainan patologis. Untuk membedakan dua konstipasi diatas dapat dilihat pada Tabel

Tabel 2.1. Diferensial diagnosis konstipasi berdasarkan usia

  16,17

  17 Bayi Anak-anak ( > 1 tahun) Konstipasi fungsional (lebih dari 95% kasus) Penyebab organik Penyakit Hirschsprung’s Penyebab metabolik: hipotiroid, hiperkalsemi, hipokalemi, diabetes insipidus, diabetes mellitus Kista fibrosis Gluten enteropathy Spinal cord trauma or abnormalities Neurofibromatosis Keracunan logam berat Efek samping obat-obatan Keterlambatan perkembangan Sexual abuse

DIFERENSIAL DIAGNOSIS KONSTIPASI BERDASARKAN USIA

  Penyakit Hirschsprung’s Kongenital anorektal malformasi Kelainan Neurologik Encephalopathy Spinal cord abnormalities: myelomeningocele, spina bifida, tethered cord Kista fibrosis Penyebab Metabolik: hipotiroid, hiperkalsemi, hipokalemi, diabetes insipidus Keracunan logam berat Efek samping obat-obatan

2.2. Etiologi

  Kebanyakan konstipasi pada anak-anak hampir 95% akibat konstipasi fungsional, hal ini dapat dilihat pada Tabel 2.2. Konstipasi fungsional pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasaan diet, kurangnya makanan mengandung serat, kurangnya asupan cairan, kurang olah raga, gangguan perilaku atau psikologis, takut atau malu ke toilet umum. Untuk meyakinkan diagnosis konstipasi fungsional perlu diwaspadai tanda-tanda peringatan yang mungkin menunjukkan adanya kondisi patologis (organik) seperti Tabel 2.3.

Tabel 2.2. Penyebab tersering konstipasi pada anak

  1,17,18

  1

  • Fungsional • Fisura ani
  • Infeksi virus dengan ileus
  • Diet
  • Obat

  17 Table 2.3. Tanda-tanda peringatan untuk konstipasi organik pada bayi dan anak-anak.

  Gejala atau tanda peringatan Diagnosis

  Penyakit hirschsprung’s Pasase mekonium lebih dari 48 jam setelah kelahiran, kotoran bentuk kaliber kecil, gagal tumbuh, demam, diare berdarah, muntah berwarna empedu, spingter anal ketat, ampula rekti kosong padahal teraba massa tinja pada palpasi abdomen Abdomen distensi, muntah berwarna Pseudo-obstruksi empedu, ileus

  Kelainan medulla spinalis: tethered Tonus dan reflek extremitas bawah turun, hilangnya kedutan anus, pilonidal dimple cord , tumor medulla spinalis, myelomeningocele or hair tuft Kelelahan, intoleransi dingin, bradikardi, Hipotiroidism poor growth Poliuri, polidipsi Diabetes insipidus

  Kista fibrosis Diare, rash, gagal tumbuh, demam, pneumonia berulang

  Gluten enteropati Diare setelah gandum dimasukkan dalam diet

  Malformasi kongenital anorektal : Pada pemeriksaan fisik dijumpai bentuk dan posisi abnormal pada anus anus imperforata, stenosis anal, anteriorly displaced anus

2.3. Patofisiologi

  Pada orang dewasa normal, defekasi terjadi antara tiga kali setiap hari sampai tiga kali setiap minggu. Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur.

  Bayi yang minum ASI pada awalnya lebih sering berhajat di bandingkan bayi yang minum formula. Namun mendekati usia 4 bulan, apapun susu yang diminumnya, rerata buang air besar adalah dua kali per hari. Frekuensi defekasi normal pada anak terlihat

  1,17,19 pada Tabel 2.4. Patofisiologi konstipasi fungsional pada anak berhubungan dengan kebiasaan disertai fisura ani. Pengalaman nyeri berhajat ini menimbulkan penahanan tinja ketika ada hasrat untuk defekasi. Kebiasaan menahan tinja yang berulang akan mereggangkan rektum dan kolon sigmoid yang menampung tinja berikutnya. Tinja yang berada di kolon akan terus mengalami reabsorbsi air dan elektrolit dan membentuk skibala, seluruh proses akan berulang dengan sendirinya, yaitu tinja menjadi keras dan besar sehingga lebih sulit dikeluarkan melalui kanal anus, dan menimbulkan rasa sakit kemudian terjadi retensi tinja selanjutnya. Lingkaran setan terus berlangsung : tinja keras - nyeri waktu berhajat - retensi tinja - tinja makin banyak - reabsorbsi air - tinja

  1 makin keras dan makin besar - nyeri waktu berhajat - dan seterusnya. 1,17,19 Tabel 2.4. Frekuensi normal defekasi pada bayi dan anak.

  Umur Defekasi/minggu Defekasi/hari 0-3 bulan : ASI 5-40 2.9 0-3 bulan : formula 5-28 2.0 6-12 5-28 1.8 ulan

  4-21

  1.4 1-3 Tahun 3-14 1.0 > 3 tahun

2.4. Gejala Klinis

  Beberapa gejala klinis konstipasi fungsional dapat ditentukan oleh dua atau lebih gejala Kriteria Diagnostik Rome II di bawah ini, paling sedikit 12 minggu, boleh tidak

  20-24

  berurutan selama satu tahun yaitu: (1). Rasa sakit > 25 % defekasi. (2). Tinja keras atau bulatan-bulatan kecil > 25 % defekasi (3). Rasa tidak puas setelah defekasi > 25 % defekasi. (4). Rasa ada sumbatan atau ganjalan di anorektal > 25 % defekasi (5).

  Manuver manual untuk melancarkan defekasi > 25 % defekasi (misalnya, evakuasi kali per minggu.

2.5. Pemeriksaan fisik

  Pada pemeriksaan rektal yang harus dilakukan adalah menilai tonus sphingter ani dan mendeteksi apakah ada lesi stenosis, obstruksi, atau hemoroid. Pemeriksaan rektal pada konstipasi fungsional dapat diraba berupa massa tinja yang besar di bawah sphingter ani. Ada beberapa temuan konsisten yang harus diperhatikan dalam menegakkan konstipasi

  17,25 fungsional seperti pada Tabel 2.5.

  17 Tabel 2.5. Temuan konsisten pada konstipasi fungsional.

  Temuan konsisten pada konstipasi fungsional

  Riwayat Pasase feses paling sedikit 48 jam setelah kelahiran Tinja keras, tinja besar Enkopresis (gerakan usus yang tidak disengaja) Nyeri dan tidak nyaman saat defekasi, pemutusan tinja Darah pada tinja, fisura periannal Penurunan nafsu makan Diet rendah serat atau cairan, dan tinggi produk susu yang dikonsumsi Menghindari dari toilet Pemeriksaan fisik Distensi ringan pada abdomen ; palpasi dijumpai massa feses pada kuadran bawah kiri Anus normal ; tonus sphingter anus normal Rektum penuh dengan tinja ; rektum distensi Ditemukan kedutan anus dan reflek kremaster

2.6. Pemeriksaan Penunjang

  konfirmasi pencitraan. Jika pemeriksaan rektal tidak mungkin dilakukan atau terlalu traumatis bagi anak, maka pemeriksaan foto polos abdomen dapat menunjukkan suatu impaksi tinja yang prediksinya lebih tepat dari pada pemeriksaan rektal. Apabila dijumpai tinja pada rektum maka barium enema tidak berguna. Komputerisasi tomografi tidak ada indikasi pada kasus ini. Pada anak-anak yang jarang buang air besar dan tidak dijumpai adanya tanda-tanda sembelit maka waktu transit kolon dapat dinilai dengan

  17 dijumpai marker radioopak.

  Ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk mendiagnosa konstipasi diantaranya pemeriksaan colorectal transit study yaitu merupakan pemeriksaan yang dilakukan pada penderita dengan konstipasi kronis untuk melihat seberapa baik makanan bergerak melalui usus besar, pemeriksaan anorectal function test digunakan untuk mendeteksi kelainan fungsional pada anus dan rektum, anorectal manometry digunakan untuk mengevaluasi otot sphingter anal dengan memasukkan kateter atau ballon ke dalam usus, dan ditarik perlahan-lahan melalu spingter anal sehingga dapat dinilai kontraksi otot, defecography merupakan X-ray anorektal untuk mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi dan relaksasi otot rektal, barium enema digunakan untuk melihat adanya dugaan obstruksi distal berupa hirscprung dan obstruksi usus, selanjutnya dapat dilakukan pemeriksaan sigmoidoscopy atau colonoscopy, pada

  sigmoidoscopy perlu dinilai keadaan rektum, sigmoid dan colon, sedangkan pada 22,23 colonoscopy dilakukan pemeriksaan keadaan rektum dan kolon.

2.7. Faktor-faktor yang mempengaruhi konstipasi

  Konstipasi merupakan masalah kesehatan yang mempengaruhi 20% populasi di

  26

  dunia. Tidak semua penelitian menunjukkan korelasi positif antara asupan rendah serat terhadap konstipasi. Konstipasi pada anak dapat saja terjadi akibat kurang atau banyaknya asupan serat dibandingkan anak yang tidak konstipasi namun banyak faktor pembaur yang dapat menyebabkan konstipasi pada anak termasuk masalah dehidrasi dan faktor psikosomatik perlu diperhatikan, akan tetapi sampai saat ini sebagian besar bukti

  27 menunjukkan asupan serat merupakan faktor penting penyebab konstipasi pada anak.

  Asupan serat harus ditingkatkan secara bertahap di masa kanak-kanak, karena diet serat penting bagi kesehatan anak-anak terutama dalam hal menormalkan BAB, selain itu serat juga berperan penting untuk mengurangi resiko terjadinya penyakit kanker, resiko penyakit kardiovaskular dan diabetes mellitus pada saat dewasa. Menurut

  

American Academy of Pediatric Committee on Nutrition , diet serat yang

  direkomendasikan pada anak-anak sekitar 0,5 g/kgbb, sedangkan menurut American

  

Health Foundation untuk anak di atas usia 2 tahun minimal diberi diet serat dengan

  28 formula usia + 5 g/hari dan maksimal usia + 10 g/hari.

  Berdasarkan studi pemberian serat dalam jumlah besar di masa kanak-kanak tidak akan mengganggu pertumbuhan anak, dan tidak menggangu absorbsi mineral dan

  29 vitamin yang larut dalam lemak.

  2.7.2. Jumlah cairan karena tidak membantu menyembuhkan konstipasi, tetapi banyak laporan dari penderita konstipasi dimana untuk menyembuhkan konstipasi yaitu dengan cara mengkonsumsi banyak cairan seperti air putih dan jus untuk mencegah dehidrasi. Penambahan cairan pada kolon dan masa tinja membuat pergerakan usus menjadi lebih lembut dan mudah di lalui. Oleh karena itu penderita yang mengalami konstipasi sebaiknya mengkonsumsi

  22,23 banyak cairan setiap hari yaitu sekitar delapan gelas setiap hari.

  2.7.3. Aktifitas anak Kurangnya aktifitas dapat mempengaruhi terjadinya konstipasi. Tetapi saat ini masih belum diketahui bagaimana proses ini terjadi, sebagai contoh konstipasi sering terjadi setelah kecelakaan dan sakit, dimana penderita hanya berbaring di tempat tidur

  22 dan kurang melakukan aktifitas.

  2.7.4. Obat yang di minum Konstipasi fungsional dapat disebabkan oleh efek samping obat. Pada umumnya obat-obatan yang menyebabkan konstipasi adalah obat-obat dari golongan antikolinergik, analgetik, golongan neurally actings agents seperti opioid, antihipertensi,

  10 senyawa yang mengandung kation seperti suplemen zat besi dan preparat kalsium.

2.8. Glucomannan

13 Konjac mannan , Konnyaku, Snake plant. Glucomannan merupakan serat nabati yang

  berasal dari Asia, dan dikenal sebagai akar konjak, glucomannan larut dalam air, membentuk gel, kental dan lengket ketika terkena cairan, komponen utama adalah

  11,12,13,30 polisakarida yang terdiri dari D-manosse dan D-glukosa.

  2.8.1. Efek glucomannan terhadap konstipasi Konstipasi dapat mempengaruhi kualitas hidup dan meningkatkan resiko terjadinya kanker usus besar. Modifikasi gaya hidup seperti peningkatan asupan cairan atau latihan fisik biasanya dianjurkan sebagai pengobatan lini pertama, namun data pengukuran efektifitas terapi tersebut sangat terbatas. Obat pencahar paling sering digunakan untuk pengobatan konstipasi pada anak akan tetapi penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan beberapa efek samping. Oleh karena itu ada beberapa pengobatan alternatif yang dibutuhkan diantaranya adalah serat yang larut dalam air, serat ini menyerap air menjadi suatu gelatin berupa substansi kental dan difermentasi

  26 oleh bakteri dalam saluran cerna.

  Secara umum, serat makanan dalam saluran pencernaan cenderung memperpanjang waktu pengosongan lambung dan karena itu menyebabkan makanan untuk tetap tinggal di perut lebih lama dari biasanya. Dalam usus kecil, efek serat bervariasi dalam hal jumlah waktu yang diperlukan pada saat makanan melewati usus, penyerapan nutrisi terjadi pada usus kecil, absorbsi yang tertunda akan meningkatkan dan menurunkan transit gastrointestinal sehingga dapat mempengaruhi waktu transit di di dalam usus besar. Efek serat meningkatkan frekuensi gerak usus, hal ini tergantung pada jenis serat dan bentuk serat diberikan. Serat yang digiling kasar dapat meningkatkan retensi air dan peningkatan frekuensi tinja dari pada serat yang digiling

  31 halus.

  Ada beberapa hipotesis menjelaskan bagaimana peranan serat glucomannan mempengaruhi transit gastrointestinal, frekuensi tinja, dan komposisi tinja. Mekanisme yang mungkin adalah teori terhidrasi spon, dimana bentuk serat yang larut menjebak air dalam saluran usus dan bertindak seperti spon. Spon atau matrik ini akan mengubah bakteri dan zat terlarut di permukaan usus, bakteri sendiri dapat meningkatkan massa tinja sedangkan zat terlarut mengalami fermentasi sehingga menghasilkan pertambahan ukuran besar tinja, tinja yang besar akan meretensi air akibatnya tinja menjadi lebih

  14,31 lunak dan meningkatkan frekuensi buang air besar.

  Pada studi lain disebutkan bahwa pemberian serat dapat membantu konstipasi fungsional dan tidak menyakitkan pada anak hal ini telah dibuktikan dengan suatu penelitian dengan menggunakan metode Crossover Randomized Controlled Trial (RCT) pada 31 anak pada usia rata-rata anak 7 tahun, dengan konstipasi fungsional dan membandingkan antara serat (glucomannan) dengan plasebo selama 4 minggu, dari hasil studi ditemukan, keberhasilan pengobatan antara pemberian serat dengan plasebo (45% vs 13% ; number need to treat = 3.125 ; P < .05). Oleh karena itu kebanyakan orang tua dari anak-anak mereka lebih menyukai penggunaan serat pada pengobatan konstipasi fungsional (68% vs 13%), karena serat juga dapat mengurangi angka kejadian nyeri

  32 pemberian serat.

  Pada studi lain ditemukan sekitar 13 anak-anak yang mengalami konstipasi dan tidak mengalami enkopresis, mengalami penyembuhan yang signifikan sebesar 69%

  14 pada pemberian serat (glucomannan) dan 23% dengan pemberian plasebo (P < .05).

  2.8.2. Sediaan, dosis dan lama terapi Tablet glucomannan tidak direkomendasikan untuk penggunaan oral, telah dilaporkan beberapa individu mengalami penyumbatan kerongkongan bila glucomannan diminum dalam bentuk tablet. Karena tablet yang tersangkut ditenggorokan akan membengkak bila terkena air. Meskipun tidak ada kasus yang dilaporkan, potensi

  13 penyumbatan serupa dari usus bisa terjadi.

  Saat ini sediaan glucomannan berupa kapsul 500 mg, dan pemberiannya pada anak ≥ 7 tahun dapat dicampur ke dalam cairan sebanyak 50 ml/500 mg, dosis diberikan

  30 100 mg/kgbb/hr (maksimal 5 g/hr) selama 4 minggu.

  Pemberian glucomannan pada tikus dengan dosis 500 mg/kgbb/hr selama 18 bulan ternyata tidak di jumpai toksisitas. Toksisitas terjadi bila dosis diberikan lebih dari

  13 5 g dalam sehari, gejala dapat berupa diare, nyeri abdomen, dan perut kembung.

2.9. Kerangka Konseptual

  Diet Serat Jumlah Cairan

  Frekuensi BAB Konstipasi

  Fungsional Konsistensi

  Ti j Aktifitas Anak glucomannan

  Obat Yang Diminum

  Keterangan : Yang diamati dalam penelitian