BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Gelombang dan Bunyi - Rancang Bangun Rekayasa Tabung Impedansi untuk Analisa Perbandingan Kandungan Minyak Buah Kelapa Sawit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Gelombang dan Bunyi

  Pada bagian ini akan diberikan beberapa definisi dan pengertian dasar mengenai gelombang dan bunyi serta hal-hal yang berkaitan dengan teori ini.

2.1.1 Pengertian Gelombang Gelombang adalah suatu getaran, gangguan atau energi yang merambat.

  Dalam hal ini yang merambat adalah getarannya, bukan medium perantaranya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit (untuk gelombang transversal) atau satu renggangan dan satu rapatan (untuk gelombang longitudinal). Besaran-besaran yang digunakan untuk mendiskripsikan gelombang antaralain panjang gelombang (

  ) adalah jarak antara dua puncak yang berurutan, frekuensi (

  ƒ) adalah banyaknya gelombang yang melewati suatu titik tiap satuan

  waktu, periode (T) adalah waktu yang diperlukan oleh gelombang melewati suatu titik, amplitudo (A) adalah simpangan maksimum dari titik setimbang, kecepatan

  v

  gelombang ( ) adalah kecepatan dimana puncak gelombang (atau bagian lain dari gelombang) bergerak.

  Kecepatan gelombang harus dibedakan dari kecepatan partikel pada medium itu sendiri. Pada waktu merambat gelombang membawa energi dari satu tempat ke tempat lain. Saat gelombang merambat melalui medium maka energi dipindahkan sebagai energi getaran antar partikel dalam medium tersebut.

  (Halliday, 1991)

2.1.2 Jenis-jenis Gelombang

  Jenis-jenis gelombang dikelompokkan berdasarkan arah getar, amplitudo dan fasenya, medium perantaranya dan frekuensi yang dipancarkannya.

  Berdasarkan arah getarnya gelombang dikelompokkan menjadi:

  a. Gelombang Transversal

  Gelombang transversal adalah gelombang yang arah getarnyategak lurus terhadap arah rambatannya. Satu gelombang terdiri dari satu lembah dan satu bukit seperti ditunjukkan pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Gelombang transversal.

  Sumber:(Halliday, 1991)

  b. Gelombang Longitudinal

  Gelombang longitudinal adalah gelombang yang arah getarnyasejajar atau berimpit dengan arah rambatannya. Gelombang yang terjadi berupa rapatan dan renggangan seperti ditunjukkan pada gambar 2.2.

Gambar 2.2. Gelombang longitudinal.

  Sumber: (Halliday, 1991)

2.1.3 Pengertian Bunyi

  Bunyi dapat diartikan sebagai sesuatu yang kita dengar. Bunyi merupakan hasil getaran dari partikel-partikel yang berada di udara dan energi yang terkandung dalam bunyi dapat meningkat secara cepat dan dapat menempuh jarak yang sangat jauh.

  Defenisi sejenis juga dikemukakan oleh Bruel (1986) yang menyatakan bahwa bunyi diidentikkan sebagai pergerakan gelombang di udara yang terjadi bila sumber bunyi mengubah partikel terdekat dari posisi diam menjadi partikel yang bergerak.

  Secara lebih mendetail, Doelle (1972) menyatakan bahwa bunyi mempunyai dua defenisi, yaitu:

  1. Secara fisis, bunyi adalah penyimpangan tekanan, pergeseran partikel dalam medium elastik seperti udara. Definisi ini dikenal sebagai bunyi objektif.

  2. Secara fisiologis, bunyi adalah sensasi pendengaran yang disebabkan penyimpangan fisis yang digambarkan pada bagian atas. Hal ini disebut sebagai bunyi subjektif .

  Secara singkat, Bunyi adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang merambat secara perapatan dan perenggangan terbentuk oleh partikel zat perantara serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Rambatan gelombang bunyi disebabkan oleh lapisan perapatan dan peregangan partikel-partikel udara yang bergerak ke luar, yaitu karena penyimpangan tekanan.

  Hal serupa juga terjadi pada penyebaran gelombang air pada permukaan suatu kolam dari titik dimana batu dijatuhkan.

  Gelombang bunyi adalah gelombang yang dirambatkan sebagai gelombang mekanik longitudinal yang dapat menjalar dalam medium padat, cair dan gas. Medium gelombang bunyi ini adalah molekul yang membentuk bahan medium mekanik ini. Gelombang bunyi ini merupakan vibrasi/getaran molekul- molekul zat dan saling beradu satu sama lain namun demikian zat tersebut terkoordinasi menghasilkan gelombang serta mentransmisikan energi bahkan tidak pernah terjadi perpindahan partikel.

2.1.4 Sifat –Sifat Bunyi

  Bunyi mempunyai beberapa sifat, seperti frekuensi bunyi, kecepatan perambatan, panjang gelombang, intensitas dan kecepatan partikel.

  2.1.4.1 Frekuensi Frekuensi merupakan gejala fisis objektif yang dapat diukur oleh instrumen-instrumen akustik. Frekuensi adalah ukuran jumlah putaran ulang per peristiwa dalam selang waktu yang diberikan. Untuk memperhitungkan frekuensi, seseorang menetapkan jarak waktu, menghitung jumlah kejadian peristiwa, dan membagi hitungan ini dengan panjang jarak waktu. Hasil perhitungan ini dinyatakan dalam satuan Hertz (Hz) yaitu nama pakar fisika Jerman Heinrich Rudolf Hertz yang menemukan fenomena ini pertama kali.

  Frekuensi yang dapat didengar oleh Manusia berkisar 20 sampai 20.000 Hz dan jangkauan frekuensi ini dapat mengalami penurunan pada batas atas rentang frekuensi sejalan dengan bertambahnya umur manusia. Jangkauan frekuensi audio manusia akan berbeda jika umur manusia juga berbeda. (Halliday, 1991) Besarnya frekuensi ditentukan dengan rumus :

  ................................................... (2.1) dimana : f = Frekuensi (Hz)

  T

  = Waktu (detik) Periode adalah banyaknya waktu per banyaknya getaran, sehingga periode berbanding terbalik dengan frekuensi.

  .................................................. (2.2) dimana: f = Frekuensi (Hz)

  T

  = Periode (detik)

  2.1.4.2 Kecepatan Perambatan Bunyi bergerak pada kecepatan berbeda-beda pada tiap media yang dilaluinya. Pada media gas udara, cepat rambat bunyi tergantung pada kerapatan, suhu, dan tekanan.

  √

  ............................................... (2.3) atau dalam bentuk yang sederhana dapat ditulis:

  √

  dimana: c = Cepat rambat bunyi (m/s)

  γ

  = Rasio panas spesifik (untuk udara = 1,41)

  Pa = Tekanan atmosfir (Pa) ρ

  = Kerapatan (Kg/m

  3

  ) T = Suhu (K)

  Pada media padat bergantung pada modulus elastisitas dan kerapatan, sedangkan pada media cair bergantung pada modulus bulk dan kerapatan.

  √

  ........................................................ (2.4) dimana: E = Modulus Young

  3

  = Kerapatan (Kg/m )

  ρ

  2.1.4.3 Panjang Gelombang Panjang suatu gelombang bunyi dapat didefinisikan sebagai jarak antara dua muka gelombang berfase sama. Hubungan antara panjang gelombang, frekuensi, dan cepat rambat bunyi dapat ditulis sebagai berikut:

  ....................................................... (2.5) dimana: = Panjang gelombang bunyi

  λ c = Cepat rambat bunyi (m/s)

  f = Frekuensi (Hz)

  2.1.4.4 Intensitas Bunyi Intensitas bunyi adalah aliran energi yang dibawa gelombang udara dalam suatu daerah per satuan luas. Intesitas bunyi pada tiap titik dari sumber dinyatakan dengan:

  ................................................... (2.6)

  2

  dimana: I = Intensitas bunyi (W/m ) W = Daya akustik (Watt)

  

2

A = Luas area (m )

  Ambang batas pendengaran manusia, yaitu nilai minimum intensitas daya

  • 6

  2 bunyi yang dapat dideteksi telinga manusia, adalah 10 W/cm .

  2.1.4.5 Kecepatan Partikel Radiasi bunyi yang dihasilkan suatu sumber bunyi akan mengelilingi udara sekitarnya. Radiasi bunyi ini akan mendorong patikel udara yang dekat dengan permukaan luar sumber bunyi. Hal ini akan menyebabkan bergeraknya partikel-partikel di sekitar radiasi bunyi yang disebut dengan kecepatan partikel.

  .............................................. (2.7) dimana: V = Kecepatan partikel (m/detik) p = Tekanan (Pa)

  3

  = Massa jenis bahan (Kg/m )

  ρ c = Kecepatan rambat gelombang (m/detik)

2.2 Metode Desain ( Design Method)

  Desain berasal dari bahasa inggris yaitu design yang artinya rancang, merancang atau rancangan. Desain adalah segala hal yang berhubungan dengan konsep, analisis data, project planning, drawing/rendering, cost calculation,

  prototyping , frame testing dan test riding (Wiyancoko,2010). Jadi ketika kita

  membicarakan masalah desain akan banyak langkah-langkah yang harus lebih dulu dikerjakan sebelum pada akhirnya mendapatkan hasil yang diinginkan.

  Ada banyak metode desain yang sering kita jumpai dalam bidang teknik. Salah satu yang paling banyak digunakan adalah milik metode desain Pahl & Beitz yaitu systematic approach atau pendekatan sistematis. Dimana Pahl (2007) mengatakan, ―Ketika mendesain atau merancang, harus ditemukan keseimbangan antara suatu pendekatan intuisi dan pendekatan secara sistematis. Kedua pendekatan ini tidak berdiri sendiri tetapi saling mendukung satu sama lain.‖ Berikut ini langkah-langkah metode desain dari Pahl & Beitz :

  1. Perencanaan produk dan uraian masalah Pada tahap ini diuraikan spesifikasi yang dibutuhkan untuk produk yang diinginkan. Spesifikasi yang ada mungkin tidak cukup luas atau banyak dan seringkali memerlukan klarifikasi dan informasi tambahan. Para designer juga perlu menentukan tujuan jelas yang mana solusi yang dibutuhkan untuk dijalankan. Pada akhirnya spesifikasi akan membatasi, menghimpun dan menghasilkan data yang lengkap.

2. Konsep desain Ringkas masalah untuk mengidentifikasi masalah yang penting.

  • Meringkas masalah artinya menggambarkannya secara rinci dan spesifik.
  • Artinya membuat struktur fungsional dari batas-batas solusi yang dibutuhkan.

  Membuat struktur fungsional.

  Cari dasar-dasar solusi.

  Pahl & Beitz mengatakan bahwa solusi terbaik lebih mungkin bersumber dari memilih dasar-dasar yang tepat daripada konsentrasi yang dilebuh- lebihkan pada satu point tertentu.

  • Gabungkan dasar-dasar solusi pada konsep yang bervariasi.

  Tahap ini menghasilkan pilihan solusi yang kuat pada pendekatan sistematis.

  • Evaluasi variasi konsep menggunakan kriteria teknik dan ekonomi.

  Tujuannya adalah memilih satu atau dua dari konsep-konsep yang telah disusun secara bervariasi. Pilih yang ekonomis dan terutama memenuhi standar teknik.

  3. Mewujudkan desain Tahap ini hasil desain sudah bisa ditentukan secara pasti. Pilih hasil desain yang sesuai dengan sistem dan funsgsi teknis produk, kekuatan dan mengenai kecocokan yang dibutuhkan.

  4. Mengerjakan desain secara detail.

  Ini adalah tahap terakhir dimana hasil desain akan dibuat dalam bentuk produk dan tahap akhir adalah dokumentasi untuk setiap proses pengerjaan.

2.3 Kelapa Sawit

2.3.1 Sejarah Kelapa Sawit

  Tanaman kelapa sawit ( Elaeis Guinensis Jack ), berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika Selatan yaitu Brazil karena lebih banyak ditemukan spesies kelapa sawit di hutan Brazil dibandingkan dengan Afrika. Pada kenyataanya tanaman kelapa sawit hidup subur diluar daerah asalnya, seperti Malaysia, Indonesia, Thailand, dan Papua Nugini.

  Kelapa sawit pertama kali di perkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1848. Ketika itu ada tiga jenis bibit kelapa sawit yang dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di kebun Raya Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1912. (Fauzi, 2004)

  Kelapa sawit mempunyai umur ekonomis 25 tahun dan bisa mencapai tinggi 24 meter dapat hidup dengan baik di daerah tropis (15°LU

  • – 15°LS). Tanaman ini tumbuh sempurna di ketinggian 0-500 m dari permukaan laut dengan kelembaban 80-90%. Sawit membutuhkan iklim dengan curah hujan yang stabil, 2000-2500 mm setahun, yaitu daerah yang tidak tergenang air saat hujan dan tidak kekeringan saat kemarau. Pola curah hujan tahunan mempengaruhi perilaku pembungaan dan produksi buah sawit.

  Bagian yang paling populer untuk diolah dari kelapa sawit adalah buah. Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang diolah menjadi bahan baku minyak goreng dan berbagai jenis turunannya. Kelebihan minyak nabati dari sawit adalah harga yang murah, rendah kolesterol, dan memiliki kandungan karoten tinggi. Minyak sawit juga diolah menjadi bahan baku margarin.

  Bagi Indonesia, tanaman kelapa sawit memiliki arti penting bagi pembangunan perkebunan nasional. Selain mampu menciptakan kesempatan kerja yang mengarah pada kesejahteraan masyarakat, Indonesia merupakan salah satu produsen utama minyak kelapa sawit.

2.3.2 Jenis - jenis Kelapa Sawit

  Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, beberapa jenis kelapa sawit diantaranya Dura, Pisifera dan Tenera.

  1. Dura

  • Tempurung tebal (2-8 mm)
  • Tidak terdapat lingkaran serabut pada bagian luar tempurung
  • Daging buah relative tipis, yaitu 35-50 % terhadap buah
  • Kernel (daging biji) besar dengan kandungan minyak rendah - Dalam persilangan, dipakai sebagai pohon induk betina.

  2. Pisifera

  • Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada
  • Daging buah tebal, lebih tebal dari daging buah dura
  • Daging biji sangat tipis
  • Tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan jenis lain dan dipakai sebagai pohon induk jantan .

  3. Tenera

  • Hasil dari persilangan Dura dengan Pisifera - Tempurung tipis (0,5-4 mm)
  • Terdapat lingkaran serabut disekeliling tempurung
  • Daging buah sangat tebal (60-96 % dari buah) - Tandan buah lebih banyak, tetapi ukurannya relative lebih kecil. (Risza , 1994) Untuk lebih jelas, jenis kelapa sawit dapat di lihat pada gambar 2.3 berikut.

  Gambar 2.3

  Jenis-jenis Buah Kelapa Sawit

  sumber : (Risza, 1994)

  Perbedaan ketebalan daging buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan jumlah rendemen minyak kelapa sawit yang dikandungnya. Rendemen minyak paling tinggi terdapat pada jenis tenera yaitu mencapai 22-24 %, sedangkan pada jenis Dura hanya 16-18%.

  Berdasarkan warna kulit buah, beberapa jenis kelapa sawit di antaranya jenis Nigrescens, Virescens, dan Albescens.

Tabel 2.1 Jenis Kelapa Sawit Berdasarkan Warna Kulit Buah Jenis Warna buah muda Warna buah masak

  Nigrescens Ungu kehitaman Jingga kehitam-hitaman Jingga kemerahan, tetapi

  Virescens Hijau ujung buah tetap hijau Kekuning-kuningan dan

  Albescens Keputih-putihan ujungnya ungu kehitaman

2.3.3 Tandan Buah Segar (TBS)

  Tanaman kelapa sawit mulai berbunga dan membentuk buah setelah umurnya 2-3 tahun. Buah akan menjadi masak sekitar 5-6 bulan setelah penyerbukan. Proses pemasakan buah kelapa sawit dapat dilihat dari perubahan warna kulit buahnya. Buah akan berubah menjadi merah jingga ketika masak.

  Pada saat buah masak, kandungan minyak pada daging buah telah maksimal. Jika terlalu matang, buah kelapa sawit akan lepas dan jatuh dari tangkai tandannya.

  Buah yang jatuh tersebut disebut membrondol.

  Pelaksanaan pemanenan tidak secara sembarangan. Perlu memperhatikan beberapa kriteria tertentu sebab tujuan panen kelapa sawit adalah untuk mendapatkan rendemen minyak yang tinggi dengan kualitas minyak yang baik.

  Kriteria matang panen merupakan indeks yang dapat membantu pemanen agar memotong buah pada saat kandungan minyak maksimal dan kandungan asam lemak bebas (ALB) atau Free Fatty Acid (FFA) minimal. (Fauzi,2004)

  2.3.3.1 Fraksi TBS dan Mutu Panen Komposisi fraksi tandan yang biasanya ditentukan dipabrik sangat dipengaruhi perlakukan sejak awal panen. Faktor penting yang cukup berpengaruh adalah kematangan buah dan tingkat kecepatan pengangkutan buah kepabrik.

  Dalam hal ini, pengetahuan mengenai derajat kematangan buah mempunyai arti penting sebab jumlah dan mutu minyak yang akan diperoleh sangat ditentukan oleh faktor ini.

Tabel 2.2 Hasil Rendemen dan ALB Akibat Lamanya TBS Diangkut Kepabrik Rendemen Minyak

  Lama Menginap (Hari) ALB (%) Terhadap Buah (%)

  50,44 3,90 1 50,60 5,01 2 50,73 6,09 3 48,66 6,90

  Beberapa tingkatan atau fraksi dari TBS yang dipanen. Fraksi- fraksi TBS tersebut sangat mempengaruhi mutu panen, termasuk kualitas minyak kelapa sawit yang dihasilkan. Ada lima fraksi TBS . Berdasarkan fraksi TBS tersebut, derajat kematangan yang baik adalah jika tandan

  • – tandan yang dipanen berada pada fraksi 1,2, dan 3 (Fauzi,2004)

Tabel 2.3 Beberapa Tingkat Fraksi TBS Fraksi Jumlah Brondolan Tingkat Kematangan

  Tidak, ada buah

  00 Sangat mentah berwarna hitam 1 -12,5 % buah luar mentah membrondol

  12,5-25 % buah luar

  1 Kurang matang membrondol 25-50 % buah luar

  2 Matang I membrondol

  50-75 % buah luar

  3 Matang II membrondol 75-100 % buah luar

  4 Kelewat matang I membrondol Buah dalam juga 5 membrondol, ada buah Kelewat matang II yang busuk

2.4 Sifat Akustik

  Kata akustik berasal dari bahasa Yunani yaitu akoustikos, yang artinya segala sesuatu yang bersangkutan dengan pendengaran pada suatu kondisi ruang yang dapat mempengaruhi mutu bunyi. Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan ditunjukkan pada gambar 2.4

Gambar 2.4 Fenomena absorpsi suara oleh suatu permukaan bahan.

  (Asade,2012) Fenomena suara yang terjadi akibat adanya berkas suara yang bertemu atau menumbuk bidang permukaan bahan, maka suara tersebut akan dipantulkan (reflected), diserap (absorb), dan diteruskan (transmitted) atau ditransmisikan oleh bahan tersebut. Medium gelombang bunyi dapat berupa zat padat, cair, ataupun gas. Frekuensi gelombang bunyi dapat diterima manusia berkisar antara

  20 Hz sampai dengan 20 kHz, atau dinamakan sebagai jangkauan yang dapat didengar (audible range).

2.4.1 Koefisien Absorpsi

  Penyerapan suara (sound absorption) merupakan perubahan energi dari energi suara menjadi energi panas atau kalor. Kualitas dari bahan peredam suara ditunjukk an dengan harga α (koefisien penyerapan bahan terhadap bunyi), semakin besar α maka semakin baik digunakan sebagai peredam suara. Nilai α berkisar dari 0 sampai 1. Jika α bernilai 0, artinya tidak ada bunyi yang diserap sedangkan jika α bernilai 1, artinya 100% bunyi yang datang diserap oleh bahan. Besarnya energi suara yang dipantulkan, diserap, atau diteruskan bergantung pada jenis dan sifat dari bahan atau material tersebut. Pada umumnya bahan yang berpori (porous material) akan menyerap energi suara yang lebih besar dibandingkan dengan jenis bahan lainnya. Adanya pori-pori menyebabkan gelombang suara dapat masuk kedalam material tersebut. Energi suara yang diserap oleh bahan akan dikonversikan menjadi bentuk energi lainnya, pada umumnya diubah ke energi kalor.

  Perbandingan antara energi suara yang diserap oleh suatu bahan dengan energi suara yang datang pada permukaan bahan tersebut didefinisikan sebagai koefisien penyerap suara atau koefisien absorbsi ( ).

  α

  ....................................... (2.8) Terdapat dua metode untuk mengukur koefisien absorbsi suara, yaitu dengan tabung impedansi (impedance tube) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara normal, serta pengukuran dengan ruang dengung (reverberation

  

room ) yang dapat mengukur koefisien absorbsi suara sabine. Tabel 2.4 berikut

merupakan nilai koefisien absorpsi dari beberapa material.

Tabel 2.4 Koefisien penyerapan bunyi dari beberapa material

  Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nilai serap bunyi. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan bunyi pada material adalah:

  1. Ukuran serat.

  Meningkatnya koefisien serap bunyi diikuti dengan menurunnya diameter serat. Ini disebabkan ukuran serat yang kecil akan lebih mudah untuk berpropagasi dibandingkan dengan serat yang lebih besar pada gelombang suara.

  2. Resistensi Aliran Udara.

  Salah satu kualitas yang sangat penting yang dapat mempengaruhi karakteristik dari material berserat adalah spsefik resistensi aliran udara per unit tebal material. Karakteristik impedansi dan propagasi konstan, yang mana menggambarkan sifat akustik material berpori.

  3. Porositas (rongga pori) Jumlah, ukuran, dan tipe rongga pori adalah faktor yang penting ketika mempelajari mekanisme penyerapan suara pada material berpori. Untuk memungkinkan disipasi suara dengan gesekan, gelombang suara harus dimasukkan ke material dengan rongga (berpori). Ini berarti haru ada pori yang cukup pada permukaan material untuk dilewati oleh gelombang suara dan diredam. Porositas pada material berporos didefinisikan sebagai rasio volume berpori didalam material kepada jumlah total volume.

  4. Ketebalan Beberapa studi yang berhubungan dengan penyerapan bunyi pada material berpori menghasilkan kesimpulan bahwa absorbsi suara frekuensi rendah memiliki hubungan langsung dengan ketebalan. Namun, pada frekuensi tinggi ketebalan material tidak terlalu berpengaruh pada penyerapan bunyi.

  5. Densitas Densitas material sering dianggap menjadi faktor yang penting yang mengatur perilaku absorbs suara pada material.

  6. Permukaan impedansi Nilai permukaan impedansi yang semakin tinggi akan menyebabkan meningkatnya jumlah refleksi bunyi pada permukaan sehingga kemampuan serap bunyinya berkurang.

2.5 Tabung Impedansi

  Ada dua metode standar yang digunakan untuk mengukur koefisien serap bunyi untuk sampel berukuran kecil yaitu menggunakan metode rasio gelombang tegak (ISO 105432-1) dan metode transfer fungsi (ISO 105432-2). Kedua metode dirancang untuk pengukuran pada sampel kecil. Metode rasio gelombang tegak mapan, tapi lambat sehingga diganti dengan metode transfer fungsi karena kecepatan dan akurasinya dalam pengukuran.

2.5.1 Metode Pengukuran Koefisien Absorpsi Menggunakan Tabung Impedansi

  2.5.1.1 Metode Perbandingan Gelombang Tegak (ISO 10534-1:1996) Metode ini berdasarkan pada fakta bahwa hanya ada gelombang datar yang datang dan dipantulkan sepanjang sumbu axis dalam tabung. Gelombang bunyi sinusoidal yang datang dibangkitkan oleh loudspeaker pada salah satu ujung tabung. Pada ujung lainnya dibatasi oleh lapisan material yang memiliki reflektifitas tinggi. Pengukuran dapat dilakukan dalam satu oktaf atau 1/3 oktaf frekuensi. Dengan menggunakan definisi dari rasio gelombang tegak:

  ............................................... (2.9) Faktor refleksi dan koefisien serap bunyi didefinisikan oleh: ............................................... (2.10)

  2 ........................................... (2.11)

  

α 1-|r|

Tabung impedansi yang menggunakan metode ini diilustrasikan pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Pandangan skematis metode rasio gelombang tegak

  2.5.1.2 Metode Transfer Fungsi (ISO 10534-2:1998) Metode ini menggunakan dua buah mikropon yaitu pada posisi dan .

  x 1 x

  2 Tekanan bunyi pada posisi ini masing-masing adalah:

  • jkx1 jkx1

  ................................... (2.12)

  p 1 = Ae + Be

  • jkx2 jkx2 .................................

  p 2 = Ae ...... (2.13)

  • Be

  Tabung impedansi yang menggunakan metode ini diilustrasikan pada gambar 2.6.

Gambar 2.6 Tabung impedansi untuk pengukuran koefisien serap bunyi

  dimana: A dan B adalahtegangan amplitudo (Volt)

  • 1

  k adalah nomor gelombang (m ) adalah jarak antara sampel dan mikropon terjauh (m)

  x

  1 x adalah jarak antara sampel dan mikropon terdekat (m)

  2

  sehingga transfer fungsi akustik kompleks anatara kedua mikropon ini yaitu: ...................................... (2.14)

  1

  dan faktor refleksinya:

  ................................. (2.15)

  • jks

  dimana: H =

  I e jks

  H =

  R e

  • s = x x ( jarak kedua mikropon)

  1

  2

  maka koefisien serap bunyi dapat ditentukan melalui persamaan berikut:

  2

  ....................................... (2.16)

  α 1-|r|

2.5.2 Konstruksi Tabung Impedansi Untuk Metode Transfer Fungsi (ISO 10543-2 : 1998)

  Permukaan tabung harus rata, tidak berpori-pori dan tidak berlubang (kecuali pada posisi mikropon yang akan dipasang). Dinding tabung harus kuat dan cukup tebal untuk mencegah vibrasi yang muncul akibat pemancaran sinyal bunyi. Ketebalan yang di rekomendasikan pada tabung impedansi yaitu 5% dari diameter tabung.

  Tabung harus cukup panjang untuk menjamin perkembangan gelombang bunyi yang terbentuk diantara sumber bunyi dan bahan uji. Mikropon di letakkan pada area gelombang bunyi dengan jarak minimum sebesar diameter tabung dari sumber bunyi.

  Batas atas frekuensi fu dapat di tentukan dari besar diameter tabung yang dipilih dengan kondisi berikut:

  d .................................... (2.17) < 0,58 λu

  Batas bawah frekuensi ditentukan pada jarak antara mikropon s dengan kondisi berikut:

  s ................................... (2.18) > 0,05 ∙ λ

  1 Sehingga batas atas frekuensi untuk s ditentukan dengan kondisi berikut:

fu <

  0,45 c .................................... (2.19)

s

Dimensi pada tabung impedansi dapat terlihat jelas pada gambar 2.7.

  Gambar 2.7 Dimensi tabung impedansi

  Jarak antara sumber bunyi dengan mikropon x dan jarak antara bahan uji dengan mikropon terdekat ditentukan dengan kondisi berikut:

  x

  2 x

  > 3 ∙ d ............................................... (2.20) x

  2 ≥ 2 ∙ d............................................... (2.21)

  Maka panjang tabung impedansi untuk pengukuran koefisien serap bunyi yaitu:

  l = x + x + s 2 ........................................... (2.22)

Dokumen yang terkait

Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dengan pemeriksaan kadar enzim katalase pada wanita menopause dapat memahami ketidakseimbangan metabolisme tubuh pada proses penuaan (aging) di masa menopause dan dapat menjalani masa menopause dengan keluhan yang

0 1 37

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Menopause - Perbedaan Kadar Enzim Katalase Pada Wanita Menopause Dan Wanita Usia Reproduktif

0 0 23

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Sungai Batang Toru - Keanekaragaman Ikan di Perairan Sungai Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara

0 0 6

BAB II BAGAIMANA PERATURAN PER UNDANG-UNDANGAN TERKAIT TENTANG LARANGAN MELAKUKAN EKSPLOITASI ANAK DALAM TINDAK PIDANA KESUSILAAN MENURUT PER UNDANG-UNDANGAN 1. KUHP - Peran Kepolisian Terhadap Eksploitasi Anak Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Pol

0 0 16

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Peran Kepolisian Terhadap Eksploitasi Anak Terhadap Tindak Pidana Kesusilaan (Studi Polsekta Medan Baru)

0 0 20

PERAN KEPOLISIAN TERHADAP EKSPLOITASI ANAK TERHADAP TINDAK PIDANA KESUSILAAN (STUDI POLSEKTA MEDAN BARU) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat Untuk Memenuhi Gelar Sarjana Hukum

0 5 9

b. Pertanyaan Umum - Konsep Diri Mahasiswi yang Menikah Muda (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Konsep Diri dengan Komunikasi Antarpribadi pada Mahasiswi Setelah Menikah Usia Muda di Kota Medan)

0 1 64

2.1.1 Implikasi Paradigma Konstruktivisme - Konsep Diri Mahasiswi yang Menikah Muda (Studi Deskriptif Kualitatif Mengenai Konsep Diri dengan Komunikasi Antarpribadi pada Mahasiswi Setelah Menikah Usia Muda di Kota Medan)

0 0 10

BAB II KEDUDUKAN PRESIDEN DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA A. Sistem Pemerintahan Indonesia - Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia

0 0 12

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Hubungan Jaksa Agung Dan Presiden Dalam Ketatanegaraan Indonesia

0 0 30