BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Garis Telapak Tangan - Pengenalan Garis Telapak Tangan Menggunakan Ekstraksi Fitur Operasi Blok Non-Overlapping Dan Pencocokan Jarak Euclidean Ternormalisasi

BAB 2 LANDASAN TEORI

  2.1. Garis Telapak Tangan

  Menurut Putra (2009), garis telapak tangan merupakan salah satu bagian tubuh seseorang yang memiliki karakteristik tersendiri. Hal ini disebabkan setiap manusia memiliki garis telapak tangan unik yang sekilas terdapat kemiripan tetapi jika dilihat lebih dekat terdapat perbedaan.

  Garis telapak tangan memiliki kelebihan dibandingkan dengan bagian-bagian tubuh manusia yang khas lainnya. Kelebihan yang dimiliki seperti citra telapak tangan memiliki area lebih luas daripada sidik jari, bersifat stabil karena perubahan yang dialami sangat kecil dalam kurun waktu lama, citra telapak tangan dapat diperoleh dengan kamera beresolusi rendah misal menggunakan webcam (Ikonen, 2003).

  2.2. Konsep Dasar Citra

  Citra (image) adalah dimensi spasial atau bidang yang berisi informasi warna yang tidak bergantung waktu (Sutarno, 2010). Citra adalah sebuah representasi (gambaran), kemiripan, atau imitasi dari suatu objek. Citra juga sebagai keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik berupa foto, bersifat analog berupa sinyal-sinyal video seperti pada gambar monitor televisi, atau bersifat digital yang dapat langsung disimpan pada suatu media penyimpanan (Sutoyo, et al. 2009).

  Citra digital adalah representasi visual dari suatu objek setelah mengalami berbagai transformasi data dari berbagai bentuk rangkaian numerik. Citra digital dapat dibagi menjadi beberapa jenis (Purnomo & Muntasa 2010): 1.

  Citra Keabuan (grayscale image) Citra keabuan adalah citra yang setiap pikselnya memiliki nilai intensitas berada pada jangkauan 0

  • – 255. Jumlah warna pada citra keabuan adalah 256. Hal ini disebabkan oleh jumlah maksimum intensitas citra keabuan sebesar 8 bit sehingga

  8 jumlah warnanya adalah 2 = 256.

  2. Citra Biner Citra biner (binary image) adalah citra yang hanya mempunyai dua nilai tingkat keabuan yaitu hitam dan putih. Piksel-piksel objek bernilai satu dan piksel-piksel latar belakang bernilai nol. Pada waktu menampilkan citra, satu adalah warna putih dan nol adalah warna hitam.

  3. Citra Berwarna Citra warna adalah citra digital yang memiliki informasi warna pada setiap pikselnya. Sistem pewarnaan citra warna ada beberapa macam seperti RGB, CMYK, HSV, dll.

2.3. Pra-pengolahan Citra

  Pra

  • –pengolahan citra adalah proses yang dilakukan untuk mempersiapkan citra agar dapat menghasilkan fitur yang lebih baik pada tahap ekstraksi fitur (Hermawati, 2013). Citra diolah dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra sehingga menghasilkan bentuk yang lebih cocok terhadap nilai-nilai piksel tersebut untuk proses yang akan dilakukan selanjutnya (Sutoyo, 2009).

2.3.1. Pembentukan citra keabuan

  Citra keabuan adalah citra yang memiliki rentang nilai intensitas setiap piksel adalah 256 nilai intensitas warna (Sutoyo, 2009). Purnomo & Muntasa (2010) menjelaskan bahwa untuk membentuk citra keabuan digunakan persamaan (2.1):

  (2.1) dengan I(x,y) adalah level keabuan pada suatu koordinat yang diperoleh dengan mengatur warna R (merah), G (hijau), B (biru) yang ditunjukkan oleh nilai parameter α, β dan γ. Secara umum nilai α, β dan γ adalah 0.33. Nilai yang lain juga dapat diberikan untuk ketiga parameter tersbut dengan total keseluruhan intensitas adalah 1 (satu).

2.3.2. Deteksi tepi : operator Canny

  Deteksi tepi merupakan salah satu operasi dasar dari pemrosesan citra. Deteksi tepi berfungsi untuk mengidentifikasi garis batas dari suatu objek yang terdapat pada citra (Kadir & Susanto 2013).

  Tepi merupakan batas dari suatu objek dan daerah yang memiliki intensitas cahaya (kontras) yang kuat. Hal ini merupakan indikasi untuk menuju proses pembacaan piksel selanjutnya. Mendeteksi tepi suatu citra signifikan akan mengurangi jumlah data dan menyaring informasi yang tidak berguna dengan tidak menghilangkan struktur penting dari citra tersebut (Putra, 2009). Metode deteksi tepi yang dapat digunakan antara lain metode dengan operator Canny, Sobel, Roberts, Log, Prewitt, dan Zerocross. Pada penelitian ini, penulis mengambil metode deteksi tepi Canny karena memiliki tingkat kesalahan rendah dan hanya memberikan satu tanggapan untuk satu tepi (Kadir & Susanto 2013).

  Terdapat enam langkah dalam mendeteksi tepi menggunakan operator Canny (Green, 2002). Keenam langkah tersebut dijabarkan berikut ini: 1.

  Penerapan filter Gaussian untuk mengurangi noise Filter Gaussian dapat digunakan untuk mengurangi noise pada citra sebelum melokasikan dan mendeteksi tepi. Filter ini digunakan untuk menurunkan pengaruh tekstur pada citra sehingga diperoleh hasil deteksi yang lebih baik. Filter Gaussian digunakan pada deteksi tepi Canny dalam bentuk matriks template yang merupakan weight (bobot) dalam perhitungan nilai rata-rata suatu kelompok piksel pada citra input yang diantaranya berukuran 3x3. Contoh filter Gaussian yang dapat digunakan seperti diberikan pada gambar 2.1.

  0.37 0.61 0.37

  0.61

  1

  0.61 0.37 0.61 0.37

Gambar 2.1 Contoh matriks template dari filter Gaussian (Putra, 2009)

  Filter tersebut dapat digunakan pada proses pemfilteran noise pada citra dengan cara menghaluskan citra untuk menghilangkan noise (Putra, 2008). Nilai matriks

  template pada gambar 2.1 diperoleh dari persamaan (2.2):

  (2.2) Dimana x dan y merupakan koordinat dari matriks, dan radius (

  ) adalah sigma standar deviasi dalam statistik sebesar 1,01 sehingga didapat hasil matriks

  template seperti pada gambar 2.1. Sebagai contoh dengan koordinat pusat (0.0) jika dihitung dengan persamaan (2.2) didapat nilai matriks = 1.

2. Mencari nilai tepi

  Mencari nilai tepi dengan menghitung gradien citra tersebut. Gradien adalah Hal ini dilakukan dengan menggunakan operator Sobel. Operator Sobel memperlihatkan banyaknya gradien spasial dua dimensi dalam sebuah citra. Lalu nilai mutlak sudut gradien (nilai tepi) pada masing-masing titik dapat ditemukan. Operator Sobel menggunakan sepasang matriks konvolusi 3x3 di mana salah satunya memprediksi nilai gradien untuk arah x (kolom) dan yang lainnya memprediksi nilai gradien arah y (baris). Matriks konvolusi pada operator Sobel dapat dilihat pada gambar 2.2.

  • 1

  1

  1

  2

  1

  • 2

  2

  • 1 1 -1 -2 -1

  G G

  

x y

Gambar 2.2 Matriks konvolusi 3x3 Operator Sobel (Putra, 2008)

  Gradien tepi dapat dihitung dengan persamaan (2.3): |G| = |G |+|G | (2.3)

  x y

  dimana |G| adalah gradien citra, |G x | adalah gradien pada arah x dan |G y | adalah gradien pada arah y.

  3. Mencari arah tepi Mencari arah tepi atau arah gradien (

  ) dilakukan setelah nilai gradien x dan y

  o o

  diketahui. Saat gradien pada arah x = 0, arah tepi harus 90 atau 0 , tergantung nilai gradien arah y yang didefinisikan. Hal ini ditunjukkan dengan persamaan (2.4):

  (2.4) dimana y adalah nilai gradien arah y dan G x adalah nilai adalah arah gradien, G gradien arah x.

  4. Menghubungkan arah tepi Langkah selanjutnya adalah menghubungkan arah tepi ke arah yang dapat ditelusuri sesuai dengan citra aslinya. Contoh matriks citra berukuran 5x5 piksel dapat dilihat pada gambar 2.3. x x x x x x x x x x x x a x x x x x x x x x x x x

Gambar 2.3 Matriks citra berukuran 5x5 piksel (Kadir dan Susanto 2013)

  Setelah tepi diperoleh, perlu menghubungkan antara tepi dengan sebuah arah yang dapat dilacak dari citra. Berdasarkan piksel a yang terdapat pada gambar 2.3,

  o o

  tampak bahwa piksel a dikelilingi empat arah berupa 0 arah horizontal, 45 arah

  o o

  positif diagonal, 90 arah vertikal, dan 135 arah negatif diagonal. Tepi harus berorientasi keempat arah tersebut tergantung arah mana yang paling mendekati.

  o o

  Sebagai contoh jika orientasi sudutnya adalah 3 , maka arah tepi menjadi 0 . Arah tepi ditunjukkan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Area untuk mengonversi arah tepi ke dalam kategori salah satu

  o o o o dari arah 0 , 45 , 90 , 135 (Kadir dan Susanto 2013) Dari gambar 2.4 didapat empat arah tepi sebagai berikut:

  o o o o

  • 22,5 serta 157,5 -
  • 180 (warna biru) Semua arah tepi yang berkisar antara 0

  o diubah menjadi 0 . o o

  • o menjadi 45 .
  • 67,5 (warna kuning) diubah Semua arah tepi yang berkisar antara 22,5

  o o

  • o menjadi 90 .
  • 112,5 (warna hijau) diubah Semua arah tepi yang berkisar antara 67,5

  o o

  • o menjadi 135 .
  • 157,5 (warna merah) diubah Semua arah tepi yang berkisar antara 112,5

  5. Proses non-maximum suppression Proses ini merupakan penelusuran terhadap tepi yang ada di dalam arah tepi dan meredam nilai piksel manapun (dijadikan nol) yang tidak dianggap layak untuk menjadi sebuah tepi. Ini akan menampilkan garis tipis pada output citra.

  6. Proses hysteresis Proses ini menghilangkan garis-garis yang seperti terputus-putus pada tepi objek.

  Caranya adalah dengan menggunakan dua ambang T1 dan T2. Selanjutnya semua piksel citra yang bernilai lebih besar daripada T1 dianggap sebagai piksel tepi. Selain itu, semua piksel yang terhubung dengan piksel tersebut dan memiliki nilai lebih besar dari T2 juga dianggap sebuah piksel tepi (Kadir dan Susanto 2013).

2.3.3. Binerisasi citra

  Untuk mengubah sebuah citra menjadi citra biner, proses yang dilakukan adalah mengubah nilai intensitas citra dengan cara pengambangan secara global (global

  

image thresholding ). Pengambangan secara global adalah pemberian satu nilai

  ambang batas yang digunakan untuk keseluruhan piksel. Setiap piksel di dalam citra dipetakan ke dalam dua nilai yaitu 0 atau 1. Dengan fungsi pengambangan pada persamaan (2.5):

  (2.5)

  2.4. Konsep Fitur

  Fitur atau ciri adalah semua hasil pengukuran yang bisa diperoleh dengan menggambarkan karakteristik objek yang dipantau (Putra, 2009). Contoh dari fitur level rendah adalah intensitas sinyal. Fitur dapat berupa simbol, numerik atau keduanya. Contoh dari fitur simbol adalah warna sedangkan contoh dari fitur numerik adalah berat atau nilai bobot.

  Fitur yang baik memiliki syarat berikut, yaitu mudah dalam komputasi, memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi dan besarnya data dapat diperkecil tanpa menghilangkan informasi penting (Putra, 2007).

  2.5. Ekstraksi Fitur Operasi Blok Non-Overlapping

  Ekstraksi fitur adalah proses pengukuran terhadap data yang telah diproses sebelumnya dengan tujuan untuk mendapatkan sebuah nilai fitur. Nilai fitur digunakan oleh pengklasifikasi sebagai masukan untuk acuan membandingkan tingkat kesamaan dua vektor dan memudahkan pengklasifikasian karena nilai ini mudah untuk dibedakan (Pradeep et. al, 2011).

  Ekstraksi fitur operasi blok adalah pengambilan ciri fitur suatu citra NxM berdasarkan pembagian blok LxK dimana ukuran blok LxK lebih kecil daripada ukuran sebuah citra. Ekstraksi fitur berdasarkan operasi blok dilakukan setelah pemrosesan citra sebelumnya, misalnya pra-pengolahan dengan deteksi tepi. Citra yang telah mengalami pra-pengolahan dibagi ke dalam blok-blok (Mughni, et al. 2011).

  Ekstraksi fitur operasi blok non-overlapping merupakan operasi pembagian blok dengan tidak tumpang tindih antara piksel suatu blok dengan blok yang lain. Hasil ekstraksi fitur atau vektor fitur operasi blok ini dapat dibentuk dengan nilai rata- rata dari setiap blok. Rata-rata setiap blok dapat dihitung dengan persamaan (2.6):

  (2.6) dengan M menyatakan jumlah seluruh piksel pada setiap blok dan x adalah nilai piksel. Sedangkan vektor fitur telapak tangan dapat dibentuk dengan persamaan (2.7):

  (2.7) dengan menyatakan nilai rata-rata blok ke-i, dan N menyatakan jumlah keseluruhan blok. Contoh jika vektor fitur dari rata-rata blok dengan ukuran blok 10 kolom dan 10 baris dari sebuah citra akan menghasilkan rata-rata blok hingga . Contoh vektor fitur tersebut dapat dilihat pada gambar 2.5.

  …

… … … … …

Gambar 2.5 Contoh matriks vektor fitur rata-rata dengan ukuran 10x10 blok

2.6. Metrika Pencocokan dengan Jarak Euclidean Ternormalisasi

  Proses metrika pencocokan merupakan sebuah proses pengukuran tingkat kesamaan atau ketidaksamaan antara dua vektor fitur. Tingkat kesamaan berupa suatu jarak dan berdasarkan jarak tersebut dua vektor akan dikatakan mirip atau tidak (Putra, et al. 2012). Vektor fitur dapat dikenali atau tidak dengan membandingkan vektor tersebut dengan suatu nilai ambang.

  Jarak Euclidean ternormalisasi (normalized Euclidean distance) adalah metrika (pengukuran) yang digunakan untuk menghitung kesamaan dua vektor. Jarak

  

Euclidean ternormalisasi menghitung akar kuadrat perbedaan dua vektor (Putra,

  2007). Rumus jarak Euclidean ternormalisasi dari dua vektor fitur u dan v dapat ditunjukkan pada persamaan (2.8): (2.8) dengan

  (2.9) (2.10) dimana disebut norm dari v yang dinyatakan sebagai:

  (2.11) semakin kecil hasil jarak maka semakin mirip kedua vektor fitur yang dicocokkan. Sebaliknya, jika semakin besar jarak maka semakin berbeda kedua vektor fitur yang dicocokkan. Sifat dari jarak Euclidean ternormalisasi adalah bahwa hasil dari hasil jarak berada pada rentang 0 ≤ ≤ 2 (Mughni, et al. 2011).

2.7. Penelitian Terdahulu

  Bagian ini menjelaskan beberapa penelitian terdahulu terkait dengan penelitian pengenalan garis telapak tangan, ekstraksi fitur dan pencocokan yang digunakan. Penelitian yang telah dilakukan dalam mengekstraksi fitur dan pencocokan sebuah citra garis telapak tangan dapat dilakukan dengan metode ekstraksi fitur operasi blok

  overlapping dan pencocokan dengan Euclidean distance (Mughni, et al. 2011),

  dimana metode tersebut menghasilkan tingkat kecocokan sebesar 100% dengan menggunakan 90 citra sampel dari 30 orang responden dan menghasilkan blok 15x15. Putra (2007) menggunakan metode ekstraksi fitur operasi blok secara non-overlapping menghasilkan tingkat pencocokan 97% menggunakan metrika korelasi ternormalisasi dimana data yang digunakan adalah 1000 citra dari 200 orang responden dan menghasilkan 64 buah fitur setiap citra. Tabel penelitian terdahulu ditunjukkan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1 Tabel penelitian terdahulu

  

Penulis Judul Penelitian Hasil Kelemahan

  Putra (2007) Sistem verifikasi garis 100% Penelitian tidak telapak tangan menunjukkan identitas pengguna. Hanya menunjukkan cocok dan tidak cocok antara data uji dengan data latih. Mughni, et al. (2011) Identifikasi garis telapak 97% Data yang dibandingkan tangan menggunakan hanya berdasarkan operasi blok intensitas cahaya yang digunakan.