BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) Dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa Di Medan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

  Sejarah gerakan mahasiswa bermula sejak pembentukan nation-Indonesia yang

  

  diletakkan pada awal abad XX. Lahirnya Politik Etis menyebabkan perkembangan politik terutama bagi kalangan berpendidikan. Mereka kala itu, baik di Belanda maupun di Indonesia, berefleksi untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kata lain, arti penting kesadaran akan hak kebebasan diperoleh melalui lembaga pendidikan pasca-Politik Etis.

  Pentingnya berorganisasi menandai cara berjuang yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, dampak positif pendidikan menumbuhkan bibit organisasi modern pada 1908, di

  

  antaranya Boedi Oetomo (BO) dan Indische Vereeninging (IV). Keduanya lahir di dua tempat berbeda: Jawa (Hindia Belanda) dan Belanda. Kedua organisasi ini menjadi awal dimulainya pergerakan kaum terpelajar Indonesia. pemerintah kolonial Belanda sendiri belum mengganggap secara serius dampak yang akan ditimbulkan nantinya. Pembentukan organisasi seiring berlakunya Politik Etis masih dianggap sejalan dengan tujuan Politik Etis 1 Politik Etis lahir tahun 1900. Pada hakikatnya, hal itu merupakan sebuah kebijakan lunak Belanda

  

guna menenangkan rakyat Indonesia terutama dari perhatian internasional. Jadi, bukan balas budi sebagaimana

sering ditafsirkan orang. Paling tidak berbagai gelombang kecaman lahir terhadap stelsel Belanda yang

dianggap sebagai akibat buruk liberalisme. Kecaman berasal dari golongan Kristen, liberal progresif, dan sosial

demokrat. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), hlm. 168. 2 Boedi Oetomo didirikan oleh Sutomo bersama beberapa rekannya dari sekolah dokter Jawa, Stovia,

sekolah guru, sekolah pertanian, dan kehewanan dan sekolah pamong praja. Berdiri pada 20 Mei 1908, Budi

  

Utomo menjadi jelmaan awal kebersamaan dalam corak modern atau sekarang ini disebut berorganisasi.

Selengkapnya lihat Dawam Rahardjo dalam Denny J.A. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an

(Yogyakarta: LKIS, 2006) hlm. xiii. Sedangkan Indische Vereeninging terbentuk pada 25 Oktober 1908. itu sendiri, yaitu salah satunya, mendapatkan asisten dalam mengurusi bagian administrasi. Perhitungan ini menguntungkan pihak kolonial sesuai perkembangan zaman sebab Belanda cukup hanya mengawasi dan memberi komando yang mempermudah pekerjaan mereka.

  Meskipun lembaga pendidikan masih diperuntukkan bagi anak bangsawan atau orang kaya, kesempatan langka ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemuda/pelajar Indonesia.

  Periode 1920-an, sebagian dari mereka membentuk Kelompok Studi (selanjutnya

  

  disingkat KS). KS adalah organisasi yang beranggotakan beberapa mahasiswa/pelajar dengan kegiatan utamanya berdiskusi. Irene H. Gayatri mendefinisikan KS sebagai suatu bentuk kegiatan sekelompok mahasiswa di luar kampus yang masih tetap mempertahankan posisi mahasiswa sebagai pelaku utama dan sekaligus kelompok sasaran yang dituju, dengan

   penekanan kepada intelektualisme, khususnya mengkaji masalah-masalah teoritis.

  Satu hal yang menarik dari KS adalah peranannya dalam proses membangun kebangsaan sejak awal abad XX. KS, dengan semangat nasionalismenya, telah memberikan pengaruh besar berwujud penolakan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

  Meskipun zaman silih berganti, pemikiran untuk membentuk KS memiliki alasan yang sama, yaitu adanya kekuasaan yang melarang mahasiswa berkelompok atau

3 KS yang terbentuk, misalnya Kelompok Studi Indonesia (Indonesisce Studie-club) yang dibentuk

  

pada 1924 di Surabaya. Di samping itu, berdiri Kelompok Studi Umum (Algemeen Studie-club) yang berdiri

pada 1925. Adi Suryadi Cula, Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Sejarah

Politik Indonesia, 1990-1998 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 24.

  Irene H. Gayatri, Arah Baru Gerakan Mahasiswa 1989-1993 dalam Muridan S. Widjojo, (et.al.),

  

  berorganisasi. Kekuatiran terhadap kelompok mahasiswa oleh penguasa Orde Baru turut

   memengaruhi KS hadir sebagai organisasi alternatif.

  Di awal Orde Baru, 1968, KS terbentuk setelah kelompok mahasiswa yang tergabung

  

  

  dalam KAMI meredup. KS yang ketika itu dinamakan dengan Studi Grup, berdiri sebagai simbol kekecewaan terhadap mantan aktivis mahasiswa yang masuk parlemen sebagai wakil rakyat.

  Studi Grup (SG) berkembang dari Bandung yang dipelopori oleh kelompok

9 Mahasiswa Indonesia . Setelah KAMI melemah, SG kemudian muncul hingga ke berbagai kota, misalnya Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar dan sebagainya.

  SG era enam puluhan muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap sikap aktivis, terutama bagi mereka yang terpilih menjadi anggota legislatif, yang meninggalkan idealisme yang diusung saat menjatuhkan Soekarno. Dalam sikap politik mahasiswa yang acapkali 5 Lahirnya KS pada 1930-an, era Soekarno muda, diakibatkan oleh tiga hal: pertama, pemuda tidak

  

bisa menyesuaikan diri dan kecewa pada partai politik yang ada; kedua, KS bisa menjadi media alternatif ketika

pemerintah represif; ketiga, tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan. Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi

Politik Kaum Muda (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 38. 6 KS dikatakan sebagai alternatif yang lahir karena ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di

kampus untuk menyatakan ide-ide kritis mahasiswa agar terciptanya suatu perubahan sosial. Suharsih dan Ign

Mahendra K., Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia

(Yogyakarta: Resist Book, 2007), hlm. 91. 7 Tertanggal 25 Oktober 1965, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdiri. KAMI dibentuk

sebagai wadah penggalangan berbagai pandangan mahasiswa yang tampak beragam, namun memiliki keinginan

bersama dalam memberikan koreksi bagi pemerintah Orde Lama. Selama dua tahun lebih, KAMI memiliki

posisi tawar yang cukup besar terhadap konstelasi politik nasional. Satu di antaranya adalah aksi besar yang

berlangsung sepanjang 1966 dan KAMI merupakan kesatuan mahasiswa yang turut menggalang aksi tersebut.

Namun di akhir 1968, KAMI perlahan-lahan menghilang sejak adanya masalah wakil-wakil mahasiswa di DPR.

Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-

1974, Cetakan I (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 12-15. 8 Studi Grup Mahasiswa Indonesia, Grup Diskusi Universitas Indonesia, Club Diskusi Kita, Kelompok

Diskusi Generasi Muda adalah beberapa KS yang berdiri di penghujung 1960-an. Francois Raillon, ibid., hlm.

  71-74. 9 Mahasiswa Indonesia merupakan tabloid mingguan yang menonjol dalam pemberitaan situasi politik

di Indonesia ketika itu. Tabloid ini juga dianggap sebagai salah satu media kritis dalam mengritik kebijakan

pemerintah. Nomor perdana Mahasiswa Indonesia terbit pada 19 Juni 1966, dengan bentuk tabloid berukuran menyedot perhatian, kali ini SG kelihatan tidak mampu berbicara banyak. SG tidak mampu mengembalikan posisi tawar mahasiswa seperti halnya KAMI yang sanggup menyatukan berbagai organisasi mahasiswa.

  Peran SG tidak tampak jelas dalam dinamika politik yang kembali menggeliat sejak memasuki tahun 1970. Sebaliknya aksi mahasiswa justru dilakukan oleh pimpinan organisasi intrakampus, seperti Dewan Mahasiswa.

  Masih di tahun yang sama, ternyata situasi politik semakin memanas. Hal ini ditandai dengan retaknya, atau meminjam pernyataan Arif Budiman, sebagai kandasnya bulan madu antara mahasiswa dan ABRI. Ditambah maraknya kasus korupsi seperti yang terjadi di tubuh Permina (Pertamina) pimpinan Mayjend Ibnu Sutowo dan Bulog yang dipimpin oleh Mayjend Ahmad Tirtosudiro. Sejak dari situasi yang tidak tenang inilah, mahasiswa mulai

   kecewa terhadap rezim Soeharto.

  Sementara di sisi lain, mahasiswa mulai menyusun aksi protes atas perilaku pejabat, korupsi yang merajalela, dan terutama terhadap kenaikan harga minyak tanah. Tidak hanya sampai di situ, mahasiswa juga mulai menyoroti persoalan investasi asing yang tergolong dalam IMF, World Bank, Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang dipimpin J.P.

  Pronk. “Namun terkait modal asing ini, kami lebih fokus kepada kedatangan Perdana Menteri

   Jepang Kakuei Tanaka,” demikian menurut pimpinan Dewan Mahasiswa UI ketika itu. Saat

  itu dualisme investasi asing sedang bertarung: pro-investasi Amerika versus pro-investasi Jepang. Jepang dipilih sebagai investor yang mendorong model perekonomian. 10 Imran Hasibuan, (et.al.), Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (Jakarta: Q-Communication, 2011), hlm. 25.

  Manuver-manuver politik pun menjadi ramai dalam perbincangan media. Baik Ali Murtopo maupun Soemitro sama-sama melakukan manuver politik antara lain dengan mengundang mahasiswa berdialog. Ali Murtopo mendirikan Centre for Strategic and

  

International Studies (CSIS) dan membangun koalisi dengan kelompok keagamaan. Lain

Murtopo, Soemitro pun berkeliling kampus-kampus di Jawa, kecuali Universitas Indonesia.

  Bahkan Soemitro berkunjung ke Pulau Buru dan berniat akan membebaskan para tahanan politik.

  Pemantik perseteruan kekuasaan antara dua pembantu presiden telah terpicu sebelum meletusnya gerakan 1973/1974. Yaitu antara Ali Murtopo yang menjabat asisten pribadi presiden (aspri) dan Jenderal Soemitro selaku Pangkopkamtib. Keduanya berseteru dalam kapasitas posisinya masing-masing yang banyak menunjukkan drama keintelijenan. Drama ini menggambarkan kerumitan dalam mencari posisi kekuasaan dan mencair sejak peristiwa

12 Malari.

  Puncaknya pertikaian berujung pada Lima Belas Januari (Malari) 1974. Huru-hara ketika itu terjadi setelah kedatangan PM Jepang Tanaka. Mahasiswa berdemonstrasi di jalan dengan rute dari Salemba Universitas Indonesia dan berakhir di Universitas Trisakti, Grogol. Di Grogol mereka membakar patung bergambar Ali Murtopo, Sudjono Hoemardani, dan Tanaka. Akhirnya peristiwa 1974 ditutup dengan berbagai penangkapan terhadap aktivis mahasiswa.

  Lihat Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 (Jakarta: Empat tahun kemudian, gerakan mahasiswa kembali bersuara. Waktu itu kondisi ekonomi mengalami disparitas yang mencolok dengan perbedaan pendapatan yang tidak seimbang. Statistik mengungkapkan bahwa 40% penduduk miskin menguasai kekayaan nasional hanya 15%. Sementara itu 40% penduduk menengah memegang kekayaan nasional sebesar 40%. Namun ironinya, hanya 20% penduduk lapisan atas justru menguasai 45% kekuasaan negara. Hal ini menyebabkan mahasiswa menilai bahwa pemerintah telah gagal

   dan berbohong atas janjinya memperbaiki distribusi kesempatan dan hasil pembangunan.

  Gerakan mahasiswa muncul mengkritisi persoalan di atas. Keprihatinan ditunjukkan dengan menggelar protes seperti menggelar spanduk yang berisi tuntutan menguak isu penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang ketiga kalinya. Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Buku ini berisi protes dan mencerca pemerintah terkait korupsi yang meluas, kebijakan ekonomi yang akrab hanya memperkaya diri sendiri, dan hilangnya

   komunikasi dengan rakyat.

  Akan tetapi pemilihan umum tahun 1976 tetap membawa Soeharto menuju singgasana RI-1. Sesuai dengan penolakan sebelumnya, mahasiswa kembali memprotes hasil pemilihan tersebut. Mereka tidak mengakui Soeharto sebagai presiden terpilih. Di sini mereka menolak tegas dengan berunjuk rasa hingga ke depan istana negara. Mereka menyatukan diri dari pelbagai Dewan Mahasiswa dan menghindari afiliasi dengan faksi elite. Dengan demikian, mereka melakukan aksi demonstrasi di mana tuntutan diarahkan kepada Presiden Soeharto, bukan pembantu-pembantunya sehingga dianggap melawan hukum.

  Suharsih, op.cit., hlm. 84. Praduga ini kemudian direalisasikan melalui Staf Komando Soedomo yang menyatakan bahwa mahasiswa telah melawan hukum dan melanggar konstitusi. Hal ini diperjelas lagi ketika kedatangan mahasiswa ke MPR pada 07 Januari 1978 yang dianggap sebagai pelecehan terhadap lembaga tertinggi di Indonesia.

  Menanggapi aksi protes mahasiswa, Presiden Soeharto angkat bicara. Ia menyatakan bahwa demonstrasi sah-sah saja asalkan sesuai dengan fakta dan kebenaran. Sebab jika unjuk rasa dilakukan dengan tidak benar apalagi tanpa fakta yang tepat, maka bisa membahayakan Pancasila dan melanggar konstitusi. Oleh karena itu, beliau berharap agar mahasiswa hati- hati dalam mempergunakan hak kebebasannya.

  Meskipun pidato tersebut menyerupai himbauan, namun melalui pidato inilah keluar kebijakan untuk membubarkan lembaga resmi mahasiswa seperti Dewan Mahasiswa. Dengan demikian, lahirlah SK Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib)

  21 Januari 1978 tentang pembubaran Dewan Mahasiswa semua universitas dan pendudukan kampus oleh militer. Tidak hanya itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan instruksi nomor 1/U/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 037/U/1979. Sejak saat itu, mahasiswa hanya diperbolehkan berkegiatan seputar kesejahteraan, rekreasi, dan persoalan akademik.

  Pemerintah melalui Panglima Kopkamtib Sudomo (Militer) dan Daoed Joesoef (Mendikbud) mengeluarkan kebijakan baru tentang aktivitas mahasiswa yang dipandang mengganggu stabilitas nasional. Kebijakan pembekuan gerakan mahasiswa adalah normalisasi kehidupan kampus (NKK) yang digunakan sebagai alat untuk mendepolitisasi

   kampus.

  Selain itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi juga mengeluarkan instruksi nomor 002/DK/Inst/1978 yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa berada di bawah kendali Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III di setiap fakultas. Kebijakan ini bermuara bagi adanya koordinasi kampus demi menjalankan normalisasi politik kampus seperti diharapkan pemerintah. Dengan demikian, pada 24 Februari 1979, Mendikbud mengeluarkan SK nomor 037/U/1979 tentang susunan lembaga/organisasi kemahasiswaan lingkungan Perguruan Tinggi Departemen P dan K. Wujudnya adalah di setiap Perguruan Tinggi dibentuk badan koordinasi kemahasiswaan (BKK) sebagai badan non-struktural yang membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa. Sesuai peraturan tersebut, kampus berbenah untuk tidak berdiskusi seputar tema politik yang cenderung dianggap menjadi akar perlawanan mahasiswa.

   Pertengahan 1980-an, setelah legislasi pemagaran ditetapkan, KS hadir sebagai respons terhadap kebijakan baru pemerintah yang mengekang mahasiswa berpolitik praktis.

17 Dengan mengangkat isu-isu lokal, mereka mencoba untuk membangkitkan semangat kritis

  15 Gerakan mahasiswa sejak 1974 sampai 1978 direspons oleh pemerintah Orde Baru dengan cara-cara

represif dan militeristik. Tindakan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Pangkopkamtib No.

  

SKEP.02.KOPKAM/1978 tentang pembekuan Dewan Mahasiswa diikuti dengan keputusan Menteri P & K, Dr.

Daoed Joesoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Muchtar E. Harahap dan Adris

Basril, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia (Jakarta: Network for South East Asian Studies, 2000),

hlm. 55. Lihat juga Adi Suryadi Cula, op.cit., hlm. 118-120. 16 Pembungkaman pemerintah terhadap kampus-kampus dalam 1980-an memunculkan format baru

gerakan mahasiswa. Beberapa KS yang lahir ketika itu, di antaranya Kelompok Diskusi Nommensen (KDN),

  

Kelompok Studi Mahasiswa Hukum (KSMH), Kelompok Kerja Studi Perkotaan, Forum Komunikasi

Nommensen. 17 Isu-isu lokal tidak kalah menariknya menjadi isu dalam gerakan mahasiswa. Selain isu nasional yang

kerap menjadi wacana gerakan mahasiswa seperti pada gerakan mahasiswa era: 1966, 1974 dan 1978 bahkan

  

  dan daya juang mahasiswa yang berlangsung hingga dekade berikutnya. Gerakan dalam era ini secara kasat mata berbeda dengan gerakan periode sebelumnya.

  Perbedaan yang dapat dilihat terhadap gerakan mahasiswa era 1980-an adalah dalam bentuk aksi yang mereka lakukan. Jika pada periode 1966, 1974, dan 1978, gerakan mahasiswa akrab dengan aksi massa, turun ke jalan dan dalam kurun waktu yang cukup lama, maka gerakan mahasiswa 1980-an justru bergerak dalam aksi informasi seperti melalui pers mahasiswa, membagikan selebaran, dan melakukan penyadaran. Aksi informasi tentu

   tidak membutuhkan massa sampai ratusan bahkan ribuan orang.

  Jika gerakan mahasiswa sebelum 1980 selalu menonjolkan isu-isu nasional, maka isu lokal menggantikannya sebagai bentuk perlawanan baru dengan pertimbangan ketidaksiapan mendobrak pusat kekuasaan. Pergeseran isu dari nasional ke lokal merupakan keunikan tersendiri dari gerakan mahasiswa. Jika menelaah gaya hidup mahasiswa, maka tampaklah betapa mereka jarang memberi waktu untuk memperhatikan kehidupan masyarakat kelas bawah seperti petani, buruh dan sebagainya. Namun, para aktivis mahasiswa 1980-an membuktikan kalau mereka juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kaum tani, buruh, nelayan ataupun kaum miskin kota.

  Pada masa ini mahasiswa memiliki kesempatan luas mempelajari berbagai literatur dan juga membantu advokasi kasus-kasus rakyat. Itulah yang mereka lakukan selama

  

tanah di Tapanuli Utara yang dirampas oleh PT. Inti Indorayon Utama (IIU) atau kini berganti nama menjadi

PT. Toba Pulp Lestari dengan lokasi pabrik terletak di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir. Selain itu terdapat

juga Sei Belumai, Sei Lepan di Sumatera Utara. Lihat Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan

Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT. Inti Indorayon Utama di

Sumatera Utara (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009). 18 Syadat Hasibuan, op.cit., hlm. 69.

  Denny, J.A., Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an (Jogjakarta: LkiS, 2006), hlm. tindakan pemerintah masih mengekang aktivitas politik mahasiswa. Hilangnya peranan negara dalam mensejahterakan rakyat mengakibatkan munculnya ketimpangan sosial atau

   ketidakadilan.

  Selanjutnya di era 1990-an sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia meninggalkan catatan yang panjang. Berlarutnya sterilisasi politik kampus dari kepekaan terhadap sosial- politik akhirnya membawa dampak pada organisasi mahasiswa ekstra-kampus. Organisasi ekstra-kampus, salah satunya KS, pada era ini adalah sebentuk bandul baru dalam membangun gerakan mahasiswa.

  Berbicara mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia, tentu tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor khusus yang mendukungnya. Betapapun gerakan mahasiswa berperan dan ikut dalam setiap perubahan politik, umumnya diperankan oleh organisasi mahasiswa.

  Skripsi ini membahas tentang dua organisasi mahasiswa di Medan, yaitu Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) dalam kurun 1990-1998. Dalam konteks menjelang reformasi, kapasitas KS merupakan satu bagian yang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh KS menjadi inspirasi gerakan mahasiswa waktu itu.

  Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi tentang Ideologi, Isu, Strategi, dan Dampak

1.2 Rumusan Masalah

  Rumusan masalah skripsi ini terdiri atas:

  a) Bagaimana latar belakang, kelahiran dan bentuk kaderisasi Forsolima dan

  KSMM?

b) Bagaimana aktivitas Forsolima dan KSMM dalam aksi pra-reformasi di Medan.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

  Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan dalam kurun waktu 1990-1998.

  Adapun manfaat yang diharapkan dari skripsi ini:

  a) Menambah perbendaharaan atau melengkapi sejarah gerakan sosial di Medan.

  b) Sebagai pengayaan tentang perjalanan gerakan mahasiswa di Medan.

1.4 Tinjauan Pustaka

   Dalam kajian gerakan mahasiswa 1990-an, Gunawan mendeskripsikan mereka

  sebagai “semak kering yang mudah dibakar.” Refleksi atas kondisi sosial politik, dan ekonomi pada masa Orde Baru menjadi dasar utama hadirnya gerakan mahasiswa yang lebih kritis. Gerakan mahasiswa 1990-an itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari pergerakan periode sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, gerakan mahasiswa pasca-kebijakan yang mengekang perpolitikan mahasiswa, memfokuskan diri terhadap penanganan kasus-kasus

  FX Rudi Gunawan (et.al.), Menyulut Lahan Kering Perlawanan Gerakan Mahasiswa: Tribute to rakyat. Misalnya, kasus Kedung Ombo di mana KS turun ke basis membantu petani untuk melawan perampas tanah.

  Gunawan juga memperbincangkan pertumbuhan awal gerakan mahasiswa dasawarsa itu dari KS hingga forum-forum mahasiswa lintas kota. Selain itu, turut ikut terlibat adalah

22 Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).

  Karya lain, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam

  

Negara Orde Baru menjelaskan dengan panjang lebar dan terperinci, turut membantu bagi

   penulisan skripsi ini.

  Dhakidae membahas wacana intelektualitas dalam interval Orde Baru. Di mana sepanjang tiga dasawarsa tersebut, Dhakidae mengkaji kedudukan kaum cendekiawan yang masih secuil dari segudang persoalan kecendekiaan yang tidak maksimal dan tepat sasaran selama masa pembangunan. Bahkan kelompok cendekiawan dikatakan memiliki kepentingan politis yang terlalu bercampur-baur dengan kegiatan akademis-ilmiah murni. Dengan kata lain, kaum cendekia tidak bisa lepas dari intervensi politis dalam lingkungan kekuasaan Orde Baru.

  Diterbitkannya kebijakan yang ditujukan untuk mempersempit peran politik mahasiswa merupakan salah satu buah dari miringnya tugas kaum cendekiawan di Indonesia.

  Lingkungan kekuasaan yang teknokratis oleh Dhakidae disebut menjadi salah kaprah dalam 22 PRD merupakan salah satu kelompok yang sifatnya lintas kota dan ditujukan untuk menampung

  

aktivis-aktivis yang dianggap radikal. Persatuan Rakyat Demokratik dibentuk pada 02 Mei 1994 di Kantor

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Jakarta bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Ketua

Umum PRD terpilih adalah Sugeng Bahagijo, mahasiswa filsafat UGM didampingi Tumpak Sitorus, mahasiswa

Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta Selatan sebagai Sekretaris Jenderal. (Tabloid MomenT, No. 04/Tahun I/1994) Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: PT Gramedia kapasitas seorang Mendikbud sebagai cendekiawan. Mahasiswa justru disuruh hanya memenuhi pekerjaan belajar dan tidak perlu mencampuri urusan politik. Padahal mahasiswa adalah bagian dari kelompok cendekiawan yang tidak sedikit menyumbang ilmu pengetahuan dan juga semangat mudanya yang menjadi penerus dalam menahkodai bangsa Indonesia.

  Tomagola memerinci Cendekiawan dan Kekuasaan sebagai berikut:

  “Dengan memanfaatkan, baik kerangka pikiran maupun cara pendekatan Foucaultian yang sangat menekankan pentingnya peneropongan realitas sebagai sesuatu yang terus bergerak dalam suatu proses relasional yang dialektis, Dhakidae menggeledah-periksa ruang bawah tanah dan loteng penuh laba-laba di mana bertebaran dokumen-dokumen tentang cengkeraman kuku rezim Orde Baru dan

kiprah-geliat perlawanan para cendekiawannya.”

  Kajian lain yang memberikan deskripsi mengenai mahasiswa adalah Patah Tumbuh

  Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik Sejarah Indonesia (1990-

   1998). Buku ini menguraikan proses gerakan mahasiswa di Indonesia sejak pra-

  kemerdekaan hingga reformasi 1998. Isinya merunut gerakan-gerakan mahasiswa yang telah terjadi di tiap zamannya. Sebagaimana judulnya, gerakan mahasiswa diurutkan bagai anak tangga dengan catatan-catatan peristiwanya. Demikianlah secara ringkas buku ini merekapitulasi perjalanan gerakan mahasiswa yang berimplikasi langsung terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

  Kajian berikutnya yang membahas tentang KS adalah karya Denny J.A., mantan aktivis mahasiswa. Ia mengatakan bahwa akurasi pergerakan dengan sasaran patutnya

  Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hlm. 170. dikonsentrasikan agar dalam pergerakan mahasiswa memiliki tendensi yang dinanti-

  

  nantikan. Buku ini menjelaskan refleksi terhadap gerakan mahasiswa yang telah berkali- kali terjun menyuarakan aspirasinya, namun acapkali tidak menemukan hasil memuaskan.

  Kemudian di dalam buku ini juga diuraikan bagaimana refleksi terhadap perkembangan gerakan mahasiswa yang selanjutnya melahirkan KS. KS dalam dinamikanya juga mengalami pro dan kontra sebagai wadah yang tepat dalam memompa kekritisan mahasiswa. Singkatnya, maju-mundurnya politik kaum muda dalam era KS merupakan fokus yang menarik untuk dikaji.

  Selain itu ada karya Muchtar E. Harahap dan Andrias Basril dalam Gerakan

27 Mahasiswa dalam Politik Indonesia. Buku ini menjelaskan tentang sikap mahasiswa yang

  militan, progresif, dan posisi politik (bargaining) yang kuat. Mahasiswa disebut sebagai gerakan oposan paling mungkin dan ideal. Tetapi sehubungan dengan hal itu, buku ini menekankan bahwa gerakan mahasiswa bukanlah faktor utama, melainkan salah satu faktor dalam gerakan sosial menentang pemerintah, termasuk pada rezim Soeharto. Di samping itu, Harahap dan Basril juga memberi analisis terhadap politik mahasiswa dan sebab-sebab kemunculan aksi-aksi politik dan serangkaian teori. Terkait aksi, dijelaskan secara periode per periode.

  Dalam perspektif lain, Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan

  

Perubahan Sosial di Indonesia karangan Suharsih dan Ign Mahendra K. memuat deskripsi

  

  untuk memenuhi ruang teori dalam memandang skripsi ini. Isinya memuat analisis seputar 26 Denny J. A., loc.cit.

  Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, loc.cit. resistensi mahasiswa terhadap sikap dan kebijakan rezim neo-liberal yang didukung oleh penguasa-penguasa dalam negeri. Hal ini juga mengungkapkan bahwa perjuangan mahasiswa harus terus digelorakan dengan banyak bercermin dari sejarah. Gerakan mahasiswa diharapkan dapat lebih kritis, bermutu, kuat, dan agar lebih cepat mencapai cita-citanya: memperjuangkan kepentingan rakyat. Memperjuangkan rakyat merdeka sepenuhnya tanpa harus dijajah kekuatan asing, sehingga mendongkel impian seluruh anak bangsa.

  Karya lain adalah Kisah Perjuangan Reformasi oleh Selo Soemardjan (ed.) yang merupakan kumpulan tulisan dari para akademisi tentang kajian sosiologi dan ekonomi.

  Kajian yang sedikit-banyak membantu menjelaskan peristiwa reformasi 1998 di Indonesia serta menguraikan sebab-sebab munculnya aksi-aksi politik yang berujung pada reformasi

   secara nasional.

  Buku lain yang mengkaji tentang pergerakan mahasiswa adalah Radikalisme Kaum

   Pinggiran: Studi tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan. Karya ini

  menuturkan bahwa gerakan mahasiswa yang terjadi di Medan tergolong lambat, terbukti dari masih banyaknya kelompok mahasiswa yang konsisten dengan peraturan kampus. Di sinilah dapat digolongkan beberapa jenis mahasiswa mulai dari yang apatis hingga yang kritis. Penggolongan tersebut tidak dijabarkan dalam skripsi ini karena sudah cukup jelas betapa gerakan mahasiswa masih terlihat belum berani keluar dari zona nyaman mereka.

  

Selo Soemardjan (ed.), Kisah Perjuangan Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).

  1.5 Metode Penelitian

   Dalam penelitian sejarah terdapat empat tahapan sebagaimana disebut Kuntowijoyo, yaitu heuristik, verifikasi, kritik sumber, dan terakhir historiografi atau tahap penulisan.

  Tahap pertama adalah yang paling penting karena bergelut dengan data dan fakta atau sumber, sebab sumberlah yang berbicara dalam penelitian sejarah yang apa adanya.

  Selebihnya, penambahan oleh penulis sebagai eksplanasi agar data dan fakta itu tidak tercerabut, melainkan terjalin utuh. Sehubungan dengan hal itu, studi pustaka diperlukan dengan mempergunakan buku-buku dan dokumen. Studi kepustakaan juga dilakukan untuk mengumpulkan studi-studi lain yang sedikit banyak membahas tema yang sama sebagai bahan perbandingan.

  Dalam kajian ini juga dilakukan wawancara. Dalam hal penelitian, wawancara merupakan salah satu bentuk implementasi penelitian yang sangat penting. Setelah pengumpulan data, maka dilanjutkan dengan kritik ekstern dan kritik intern. Langkah berikutnya adalah membuat interpretasi atau penafsiran berdasarkan data dan fakta se- objektif mungkin. Terakhir, melakukan eksplanasi peristiwa secara kronologis dan sistematis

   dalam historiografi.

  1.6 Pendekatan Teori

  Gerakan mahasiswa berhubungan langsung dengan kondisi sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Kondisi sosial-politik masyarakat di bawah dominasi politik Orde Baru melahirkan kemiskinan dan kebodohan. Ekspresi demokrasi yang hampa telah membuat kualitas kesejahteraan rakyat jauh dari harapan. Di samping itu, kenyataan bahwa selama 30

  Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 1993). tahun lebih masyarakat Indonesia hidup di bawah represifnya Orde Baru berdampak bagi psikologi masyarakat yang tidak mampu melakukan usaha atau inovasi.

  Selama Orde Baru berkuasa, bangsa Indonesia tenggelam dalam pusaran politik kekuasaan otoriter dan manipulatif. Bangsa ini dibuai dengan konsep kapitalis yang lebih menekankan modal daripada melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian, kondisi sosial sulit dapat dikatakan berpihak kepada rakyat sekalipun sering disebut sebagai masa pembangunan. Kesan pembangunan yang dikumandangkan tidak berbanding lurus terhadap kehidupan rakyat yang larut dalam kemiskinan.

  Berangkat dari situasi sosial, ekonomi, dan politik yang melandasi kekecewaan masyarakat menjadi fokus dalam pendekatan teori. Dalam kaitan tersebut, pengalaman kesulitan di atas pada akhirnya akan menciptakan kesadaran masyarakat. Sehubungan dengan itu, penulis juga mengaitkannya dengan teori gerakan sosial. Pendapat Marx bahwa kesadaran dipengaruhi oleh keadaan sosial di sekitarnya, misalnya tampak seperti berikut: “Menurut Marx, kesadaran itu berakar pada praxis manusia yang pada gilirannya bersifat sosial. Inilah pengertian dari bukan kesadaran yang menentukan eksistensi orang, tetapi

  

  sebaliknya kehidupan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.” Kesadaran sosial akan menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk meretas kehidupan sehari-hari mereka demi melepaskan diri dari kondisi sosial lama. Oleh karena itu, satu hal yang menjadi analisis dalam keterkaitan itu adalah pentingnya gerakan sosial. Lebih lanjut

  Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, gerakan sosial menurut Giddens adalah suatu keberanian untuk berusaha menstabilkan suatu tata kehidupan yang baru.

  Agar pemahaman tidak meluas, maka perlu kiranya definisi gerakan sosial dibahas supaya dapat menjadi acuan dalam pembahasan berikutnya. Ada berbagai macam defenisi

  

  yang menguraikan tentang gerakan sosial, misalnya Singh dan Wilson. Keduanya memiliki tendensi terhadap peletakan perubahan setelah mengusir ketidakpuasan. Hal ini merupakan siklus yang saling melengkapi, namun kurang padu apabila digeneralisasikan. Kecenderungan kembalinya kekuasaan yang mengacaukan perjuangan panjang menjadi satu hal yang harus diwaspadai. Akan tetapi, pandangan Wilson tentu mendapat tempat lebih luas sebab menurutnya gerakan sosial tidak ditujukan untuk memperoleh posisi-posisi kekuasaan. Akan tetapi, secara spesifik ditujukan sebagai tawar-menawar agar pembuat keputusan terpengaruh dan memihak mereka. Jadi, gerakan sosial adalah jalan menuju sebuah perubahan.

  Gerakan sosial kerap dipandang sebagai simbol protes yang dilancarkan masyarakat terhadap struktur-struktur sosial pemerintah yang jarang merealisasikan kehendak rakyat.

  Oleh karena itu, gerakan sosial secara umum dilancarkan oleh masyarakat termasuk mahasiswa agar tercipta suatu perubahan sosial dan juga politik dengan dukungan dari masyarakat di luar struktur politik formal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial.

34 Dimpos Manalu, op.cit., hlm. 44.

  Munculnya gerakan sosial tidak terlepas dari situasi sosial yang permanen di masyarakat. Mereka akrab menerima perlakuan tidak adil; campur tangan pemerintah hanya sekadar penampakan muka; ketidaksetaraan akibat dari pembangunan yang meminggirkan masyarakat. Konsep ini kerap dikenal dalam bidang ilmu sosial di mana Rajendra Singh sebagai tokoh yang turut ambil andil dalam teori sosial.

  Dalam teori gerakan sosial terdapat tiga kecenderungan sebagaimana pembagian yang diletakkan Ron E. Robert dan Robert Marsh Kloss: industrialisasi, birokratisasi, dan

   imperialisasi. Setiap kecenderungan tersebut memiliki alasan dan varian yang berbeda.

  Gerakan sosial yang berbeda satu sama lain dapat dibaca sesuai dengan teori yang disebut Robert dan Kloss. Dalam pada itu, pembahasan hanya difokuskan terhadap kecenderungan birokratisasi.

  Kecenderungan sosial terhadap birokratisasi memunculkan konflik di tengah-tengah masyarakat akibat alienasi, kontrol masyarakat yang hierarkis, serta tidak sesuainya praktik kerja lembaga masyarakat dengan kapasitasnya. Kecenderungan ini memunculkan gerakan mahasiswa yang anti-birokrasi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Secara umum gerakan sosial dipicu oleh kekecewaan terhadap sebuah sistem politik suatu negara. Akibat ketidakpuasan ini lahirlah titik-titik api penyulut perlawanan. Sementara itu, Dimpos Manalu dalam studi kasusnya menyebutkan juga selain karena desakan kekecewaan, desakan legalitas, bahkan melalui institusi formal, gerakan sosial juga terlahir sebagai akibat dari

  

  gerakan rakyat yang didukung secara luas. Dalam konteks Indonesia, gerakan sosial dipicu 35 Seta Basri dalam

   [Diakses pada 07 Juli 2013 pukul 10:15 wib] oleh masifnya tindakan dan kebijakan represif dari pemerintah. Selain itu, terdapat juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), ketimpangan sosial dan ketidakpastian hukum serta militerisme.

  Gerakan sosial di Indonesia merupakan gerakan pro-demokrasi yang

  

  dikumandangkan demi menegasi cengkeraman militeristik Orde Baru. Konfrontasi itu dibangun secara multiorganisasional seperti gerakan mahasiswa, gerakan perempuan dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka pun melakukan aksi nyata seperti unjuk rasa ke jalan, selebaran gelap, boikot, penerbitan pers alternatif, aksi teatrikal dan seterusnya merupakan tindakan kolektif yang dilandasi kesadaran bersama setiap elemen. Dalam hal gerakan sosial, di sini difokuskan kepada sub-gerakan sosial yang juga tidak kalah daya dobraknya terhadap kekuasaan suatu rezim, yakni mahasiswa.

  menjadi penghubung antara

  gerakan mahasiswa dengan gerakan sosial. Keterkaitan keduanya, terutama sekali terlihat sejak 1968 dalam gerakan reformasi yang terjadi di Perancis dan Berlin serta Italia (1969) yang dipelopori oleh mahasiswa.

  37 Seta Basri dalam [Diakses pada 07 Juli 2013 pukul 10:15 wib] 38 Gerakan Sosial Baru muncul seiring perkembangan teori-teori yang mulai dianggap usang. Terdapat

pergeseran perspektif dalam membaca arus perlawanan yang dilakukan para buruh. Halnya gerakan buruh yang

dominan mengacu pada konsep Marxian yang akrab memakai wacana ideologis, seperti antikapitalisme,

revolusi sosial, dan pertentangan kelas. Kemudian GSB terlihat sejak 1960-an dengan tidak menjadikan buruh

sebagai pelaku utamanya, di samping terdapat penisbian batas-batas kelas. Inilah ciri-ciri GSB yang kemudian

populer dalam diskursus politik dewasa ini. Cirinya yang lain, GSB tampak sebagai fenomena kultural daripada

politis. Dengan kata lain, GSB bertugas untuk melakukan perlawanan simbolik atau kultural menghadapi

kapitalisme-lanjut yang bekerja sedemikian lembut dan halus melalui perangkat-perangkat media dan teknologi

informasi yang telah merasuk alam bawah sadar masyarakat. Dimpos Manalu, op.cit., hlm. 33-46.

  Tentang gerakan di era 1960-an ditandai dengan Perang Dingin. Perang Dingin yang melambangkan perseteruan antara komunis melawan kapitalis sedikit banyak memengaruhi peta perpolitikan dunia. Salah satu akibat Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan sekutunya dan Uni Soviet dengan sekutunya adalah pecahnya perang Vietnam. Vietnam sebagai salah satu basis komunis diserang oleh Amerika, namun perang ini dimenangkan Vietnam. Perang ini menjadi sejarah baru dalam perpolitikan dunia dalam logika kekuasaan negara adidaya.

   Sementara itu pendulum global pada dasawarsa 1980 bergerak ke Kanan. Hal ini

  ditandai dengan rubuhnya Sosialisme di Eropa Timur dan runtuhnya totalitarianisme Komunis di Cina. Melihat fenomena ini, tesis Francis Fukuyama seolah menemui kebenarannya yang mengatakan, “Kapitalisme merupakan akhir dari sejarah umat manusia.” Ia berpendapat bahwa Sosialis maupun Komunis telah berakhir dan sulit menandingi

   kapitalisme.

  Pada 1989, peristiwa di Cina mengejutkan dunia dengan memaksa demonstran damai tunduk di bawah desingan bayonet. Peristiwa Tiananmen tersebut membunuh ratusan

39 Terminologi “Kanan” dan juga “Kiri” berawal dari rapat parlemen pasca-Revolusi Perancis abad ke-

  

18. Dalam rapat paripurna yang digelar ketika itu terdiri dari tiga kelompok yang duduk dengan perspektif yang

berbeda satu sama lain. Kelompok pertama yang pro-ideologi konservatif dan liberal bersila di sebelah kanan

pemimpin sidang dan kelompok yang kontra duduk di barisan sebelah kiri. Sedangkan kelompok terakhir duduk

di tengah atau tidak memihak, netral. Kelompok yang terakhir ini disebut juga sebagai kaum yang demokrat.

Sejak itulah terminologi Kiri/Kanan masuk ke dalam leksikon politik. Pendukung Kanan yang berciri demokrasi

liberal adalah Amerika Serikat sebagaimana berikutnya pada dasawarsa 1990, Presiden AS, Ronald Reagen dan

Perdana Menteri Inggris Margaret Tatcher kemudian membawa kelompok konservatif menjadi satu-satunya

ideologi yang dianggap oleh Barat sebagai yang lebih baik. Hal ini juga dijabarkan Francis Fukuyama.

Sementara untuk terminologi Kiri, sejak Revolusi Perancis lebih ditujukan sebagai kelompok oposisi, bukan

komunisme sebagaimana dua abad kemudian pasca Revolusi Perancis. Kiri akrab dikaitkan dengan ideologi

Komunis. Kasijanto Sastrodinomo, Kiri (Juga Kanan) dalam Majalah Tempo, 30 Mei 2011.

  Lihat Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Yogyakarta: Qalam, demonstran, kemudian ratusan lainnya juga ditangkapi bahkan sampai ada yang melarikan diri meminta suaka ke luar negeri.

  Akhir sejarah yang dimaksud muncul dari pengamatan terhadap pelbagai sistem ideologi yang dimiliki berbagai negara khususnya negara-negara kuat pasca-perang.

  Meskipun demikian, Fukuyama menegaskan bahwa bukanlah perang yang akan berakhir, melainkan pemahaman sejarah sebagai proses tunggal, bersifat evolusioner, koheren, serta memperhitungkan pengalaman manusia dari setiap zaman. Negara-negara totaliarianisme seperti Jerman maupun Uni Sovyet telah gagal mempertahankan kekuasaannya. Dampaknya yang terus berkembang hingga Perang Dunia Kedua berakhir adalah munculnya negara- negara demokrasi sebagai tuntutan dari tidak tahannya masyarakat terus-menerus berada di bawah kekuasaan totaliter. Hal ini berbeda dengan gaya otoriter tradisional. Munculnya demokrasi liberal yang marak di beberapa negara seperti pecahan-pecahan Uni Sovyet membuat Fukuyama menarik tesis bahwa sistem fasis, totaliter sudah tidak terpakai lagi dalam sejarah masa depan umat manusia.

  Pendapatnya yang kuat bahwa sejak runtuhnya Uni Sovyet pada 1991 dan ambruknya Tembok Berlin adalah dua hal yang menjadi data sahih dari sekian banyak lagi pasca-Perang Dingin yang merepresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal

  

  di seluruh penjuru dunia. Runtuhnya Uni Sovyet menimbulkan beberapa dampak terhadap situasi global: berakhirnya Perang Dingin; berkurangnya kecemasan dunia terhadap kemungkinan terjadinya Perang Dunia III; banyak negara komunis berubah menjadi negara demokrasi; Amerika Serikat bertengger sendirian sebagai negara adidaya; serta tumbangnya komunisme di beberapa negara Eropa Timur.

   Dengan bergeraknya pendulum global ke Kanan, ideologi Kiri seperti kata Marx

  seakan menggali kuburnya sendiri. Dengan demikian tesis Fukuyama menjadi bulan-bulanan perbincangan politik dunia yang seolah lebih dipercaya. Di sinilah teori kapitalisme yang dianggap telah menang kemudian didesain menjadi ideologi global.

  Gerakan sosial yang berkembang pun seolah didukung penganut kapitalisme itu sendiri dengan mengangkat tema-tema berupa feminisme, lingkungan dan HAM. Amerika Serikat yang menjadi sentral Kanan turut menggalakkan teori gerakan sosial tersebut. Indonesia yang menjalin hubungan erat dengan Amerika di bawah Soeharto terpaksa menurut kepada perintah Amerika Serikat mengenai penggunaan teori baru tersebut.

  Sebagai negara yang membutuhkan donor, terutama dari Amerika Serikat, Indonesia mulai menerapkan kebijakan yang lebih lunak, disesuaikan dengan isu HAM. Bahkan Indonesia diminta untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM.

  Pada kesempatan ini, di Indonesia mulai terjadi perubahan politik di tingkat elite. Era keterbukaan mulai didengungkan yang ditandai dengan banyaknya bermunculan Lembaga Swadaya Masyarakat, aksi gerakan mahasiswa maupun masyarakat yang menunjukkan

42 Pendapat luas mengenai kekalahan Kiri tampaknya kurang memperhatikan dari segi penjelasan

  

termanya. Tendensi Kiri dengan Komunis yang telah begitu erat dan seolah dua dalam satu telah menyebabkan

sindrom ini hanya berkutat di sekitar Kiri=Komunis. Padahal seperti diuraikan dalam catatan kaki nomor 39

bahwa Kiri berarti oposisi, bukan komunis. Ideologi komunis berbeda dengan terma Kiri, namun kerap

disalahartikan. Oleh karena itu, dalam penulisan ini, Kiri berarti oposisi, tidak selalu identik dengan Komunis ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Orde Baru. Bahkan di tubuh militer sendiri mulai terjadi perpecahan.

  Berkaca terhadap negeri sendiri, Soeharto, diyakini akan mengalami kehancuran tidak berapa lama lagi. Terkait pengaruh, justru gerakan buruh di Indonesia semakin menguat.

  Misalnya, munculnya Wiji Thukul dengan sajaknya yang dianggap begitu membahayakan:

  

  “Hanya ada satu kata: Lawan!” Inilah wacana baru yang bahkan menjadi awal koreksi tanpa henti terhadap kekuasaan

  Orde Baru. Gerakan di Indonesia terutama pejuang demokrasi seperti mahasiswa bahkan semakin intens mencari teori-teori Kiri untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi.

   Meskipun pelarangan terhadap buku-buku berpendirian kiri dilarang peredarannya,

  namun bagi mahasiswa hal itu bukan menjadi penghalang. Sebaliknya mereka semakin mencari dan membacanya dari tangan ke tangan, walaupun dalam bentuk fotokopian.

  Selanjutnya, Dimpos Manalu menjabarkan bahwa kehadiran GSB tersebut merupakan suatu jalan lain dari gerakan sosial yang selama ini bertumpu kepada Marx, yakni pertentangan kelas. Pertentangan kelas populer sebagai ideologi gerakan sosial yang dipelopori oleh kaum buruh. Dengan demikian, gerakan sosial lama (konvensional) bertumpu

  43 Penyair asal Solo yang bernama asli Widji Widodo merupakan aktivis yang hilang hingga hari ini. Ia

merupakan penyair yang membangkitkan semangat perlawanan, terutama kaum buruh. Menyair tentang kisah

pedih sosial-politik Orde Baru sejak 1980 terkenal dengan puisinya berjudul “Peringatan.” Dalam baris terakhir

puisi inilah tertulis kalimat bermarwah dan terdengar menusuk bagi rezim Orde Baru: Hanya ada satu kata:

Lawan! Pengaruh barisan puisi ini ternyata sangat berdampak bagi gerakan, termasuk gerakan mahasiswa.

  Tempo , edisi khusus 13-19 Mei 2013. 44 Pelarangan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer menandai tahun 80-an sebagai bentuk

ketakutan Orde Baru terhadap GSB. Buku-buku yang dilarang beredar ketika itu antara lain, Tetralogi Pulau kepada buruh. Sementara GSB dinyatakan telah meliputi berbagai sektor, salah satunya gerakan mahasiswa.