BAB II TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM 2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat - Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) Dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa Di Medan

BAB II TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM

2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat

  Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tumbuh di Sumatera Utara, antara lain Kelompok Studi Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM) yang dideklarasikan pada 1985 di Pematang Siantar dan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (Bitra Indonesia) berdiri pada 1986 di Medan. Selang beberapa tahun kemudian, di Medan lahir Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) yang bergerak di bidang perburuhan. Sedangkan Lentera Rakyat berdiri pada 2000 di Rantau Prapat. Di samping itu berdiri serikat-serikat petani, nelayan, dan gerakan perempuan, seperti Sada Ahmo pada 1990 di Dairi yang juga menjadi bagian dari pergerakan kerakyatan dengan perspektif yang sama, yaitu menolak segala bentuk penindasan terhadap buruh perkebunan dan petani. Dalam perjalanannya, LSM di atas memiliki aliansi dengan aktivis mahasiswa Medan yang memiliki kesamaan visi dalam

   gerakan sosial.

  Kemunculan LSM merupakan salah satu pilihan bagi masyarakat sebagai wadah kemasyarakatan nonpemerintah. Hilangnya kebebasan berekspresi akibat ketatnya rezim yang berkuasa menyebabkan peran politik rakyat acapkali terhalangi. Lebih jauh, rakyat justru dikebiri atas nama pembangunan yang digadang sebagai upaya penyejahteraan.

  LSM yang lebih menekankan kepada isu-isu lokal dengan target daerah dianggap lebih dekat dan mudah disuarakan. Hal ini dinilai tidak elitis. Mereka merupakan lembaga yang dengan serius membantu persoalan petani dan buruh. Gerakan yang kritis terhadap permasalahan yang dialami rakyat. Di pihak lain, konsep pembangunan Orde Baru tidak banyak menolong ketertindasan. Rakyat hanya dijadikan objek pembangunan atau pelengkap yang dianggap tidak perlu turut campur dalam transparansi, pengawasan serta pelaksanaannya. Oleh karena itu, rakyat dialienasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

   Apa yang disebut dengan trickle down effect tepat menggambarkan posisi

  ketersisihan masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Trickle down effect secara umum didefenisikan sebagai tetesan kemakmuran. Ibarat air dalam gelas yang diisi penuh, namun tidak diberikan kepada orang yang sedang haus. Orang yang sedang membutuhkan seteguk hanya diberikan tumpahan air dari dalam gelas, sehingga si orang yang dahaga menampung tetesan yang meluber tersebut. Apa yang dilakukan dengan teori trickle tersebut sama sekali tidak menjawab persoalan keseharian rakyat. Umpamanya, rakyat diberikan Koperasi Unit Desa sebagai bentuk tetesan untuk menolong rakyat, namun secara makro hal ini justru melemahkan ekonomi masyarakat. KUD tidak menjadi kekuatan yang menggerakkan perekonomian bangsa.

  Koalisi penguasa-pengusaha merupakan keniscayaan untuk membalut konsep pembangunan. Koalisi ini tentu diterjemahkan oleh penguasa sebagai faktor terdepan dalam 46 Trickle down effect merupakan teori distribusi yang dikembangkan untuk tujuan membantu kaum

  

papa. Terma ini diperkenalkan pada awalnya dalam pidato Ronald Reagen pada Januari 1981. Hal ini

dimaksudkan sebagai suplai ekonomi tambahan bagi kaum miskin, sehingga peruntukan ini diprioritaskan guna

menolong kaum miskin dari kemiskinannya. Pada masa Orde Baru hal ini sangat terkenal. Sebuah konsep yang masa pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Konspirasi tersebut mengusung pola dengan konsepsi patron-client yang dikembangkan bersama.

  Pembangunan yang dikonsepkan pemerintah saat itu sangat bergantung kepada konsep membangun dengan pendekatan penguatan sekelompok pengusaha handal (konglomerat). Ide mereka seperti disinggung di atas adalah trickle down effect yang mana dengan adanya konglomerat, maka diharapkan menjadi lokomotif yang menarik gerbong pembangunan dengan meneteskan hasilnya ke pengusaha menengah dan kecil, selanjutnya

   kepada koperasi tingkat desa.

  Pembangunan ini dijalankan dengan menjalin kerja sama dengan investor, sehingga adanya kemajuan akan ditentukan oleh berhasil tidaknya para pemilik modal menanamkan sahamnya. Agar para investor mau datang dan menanam sahamnya di Indonesia, maka salah satu indikatornya adalah faktor keamanan. Setelah keamanan dijamin, maka kenyamanan dipastikan menggoda para investor untuk menanam sahamnya di Indonesia sekaligus mengeruk kekayaan alam di nusantara.

  Pemerintah Orde Baru menentukan pembangunan sebagai panglima. Oleh karena itu, rakyat diarahkan untuk mendukung program pemerintah. Dalam rangka menyongsong pembangunan yang memberdayakan handal modal, legitimasi pemerintah merangsek hingga ke seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah yang berbicara tentang pemberantasan kemiskinan atas nama pembangunan memaksa rakyat menerima apa adanya tanpa bersikap skeptis. Dengan kata lain, rakyat tidak ditolerir untuk berbicara pembelaan atau mempertanyakan bahkan mereka dipaksa harus menghadapi tekanan. 47 Nelson Siregar dalam Dimpos Manalu (et.al.), Membangun Prakarsa Gerakan Rakyat: Kumpulan

  

Tulisan Memperingati 25 Tahun KSPPM 1983-2008 (Parapat: Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa

  Setiap kali rakyat menolak pembangunan yang dianggap merugikan, pemerintah acapkali juga menghadapinya dengan kekerasan. Kekuasaan semacam ini tidak memberi peluang bagi inisiatif rakyat. Dampaknya, kepastian hukum menjadi tidak ada selain dari penguasa. Populerlah apa yang menjadi pameo pada saat itu, yakni ”segala sesuatu dapat diatur.” Pameo ini dalam pengertiannya menunjuk kepada kekuasaan yang memaksa, dengan kekerasan. Dengan kata lain, ketika ada yang menolak pembangunan yang ingin dilakukan, investor tidak nyaman, pemerintah menjawab dengan pameo tersebut. Karena segala sesuatu

   dapat diatur, maka rintangan menjadi tidak berarti bagi pemerintah.

  Pembangunan sarat modal/kapitalis dipercaya akan menjadi solusi bagi kemiskinan yang masih terus terjadi. Upaya untuk menyelesaikan persoalan melalui model pembangunan tersebut dianggap merupakan pilihan yang tidak mungkin dihindarkan, sekalipun harus menelan korban.

  Sebelum pembangunan berpedoman kapitalis didatangkan, gap antara kota dengan desa telah lama terjadi. Desa ditempatkan dalam titik yang paling parah, yakni sebagai simbol kemiskinan. Sebaliknya kota dilukiskan sebagai tempat orang-orang berada. Seluruh tempat bekerja seolah hanya ada di kota. Kemajuan berkat pembangunan dipandang hanya terdapat di kota, sehingga meninggalkan desa sebagai lumbung sumber daya alam.

  Lalu konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas yang terjadi. Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang selalu ketinggalan zaman. Dengan demikian, desa tetaplah sebagai peta kemiskinan, banyak warganya yang buta huruf, sehingga tidak mampu merantau ke kota.

  Konsep pembangunan seperti itu akhirnya kian disadari masyarakat semakin menjauhkan mereka dari keadilan dan kesejahteraan. Rakyat mulai jenuh, namun belum berani bersuara untuk mengeluarkan seluruh aspirasi mereka. Akan tetapi kemiskinan yang justru bertambah luas dan hukum tergantung kepada Soeharto. Di sisi lain, kebebasan tersekat membuat bangkitnya kesadaran masyarakat.

  Kesadaran awal tersebut menjadi titik balik refleksi kritis bagi para aktivis. Dengan orientasi ekonomi yang tidak mempertimbangkan kebudayaan ternyata mengakibatkan hancurnya tatanan masyarakat. Dengan kata lain, nasionalisme rakyat menjadi terjual. Hal ini ditunjukkan bahwa ideologi yang ada waktu itu dinilai telah membodohi masyarakat, bukan lagi memberdayakan. Perlu ditambahkan lagi bahwa pada tahun 1980-an itu juga banyak

   kerusakan lingkungan terjadi.

  Di samping kesadaran, dampak negatif pembangunan juga melahirkan perlawanan. Dengan pemahaman ini, beberapa individu yang menyadari hal tersebut, berjuang untuk keluar dan bergabung dengan masyarakat. Kesadaran awalnya menghendaki agar rakyat bisa diperkuat. Hal ini sesuai dengan keniscayaan bahwa kesadaran berpolitik juga merupakan hak masyarakat. Jadi, gagasan untuk memperkuat rakyat akhirnya membutuhkan pengorganisasian yang lebih baik. Pembangunan kesadaran ini kemudian mendorong lahirnya LSM.

  Proses pembentukan LSM pada dekade 1980-an secara umum turut dibidani oleh mahasiswa. Pendiri LSM waktu itu bukan saja orang-orang yang sudah alumni dari kampus atau aktivis tua (akademisi maupun pendeta). Keterlibatan mahasiswa yang awalnya telah membentuk KS tidak dapat dipisahkan dari lahirnya LSM, sehingga mahasiswa dengan orang-orang di LSM seperti tidak menunjukkan adanya perbedaan. Mereka menyatu serta

   sejalan.

  Pada masa itu, para aktivis mahasiswa Medan belajar dan berjuang bersama dengan LSM. Bergabung bersama LSM merupakan suatu hal yang memiliki keuntungan bagi mahasiswa. Pertama, belajar mengadvokasi kasus-kasus tanah yang dihadapi petani atau buruh dengan turut langsung terjun ke tengah-tengah konflik dan bersama dengan rakyat. Mereka mempelajari cara penanganan kasus yang dihadapi rakyat dan juga live in agar kepekaan sosialnya lebih tajam karena langsung turut merasakan bagaimana persoalan rakyat sehari-hari.

  Kedua , menyangkut finansial. Mahasiswa sedikit banyak terbantu dalam hal perut

  yang sejengkal guna menghemat uang kantong seraya menunggu uang kiriman orangtua yang

   besarannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari bahkan kurang.

  Aktivis mahasiswa seperti mereka berasal dari kelompok yang anti-kemapanan. Selain itu, mahasiswa memegang prinsip bahwa kesadaran tidak dapat dibeli begitu saja secara materi dengan mengingkari nurani. Lahirnya kegelisahan menjelaskan bahwa idealisme mahasiswa tetap pada garis perjuangannya. Garis perjuangan yang terutama membela kepentingan rakyat, kepentingan kemanusiaan. Dasar inilah yang dilihat, sehingga kebanyakan mereka memilih membidani organisasi kritis yang lepas dari intervensi kampus.

  Setelah kebebasan berpolitik praktis ditamatkan oleh Orde Baru, mahasiswa kemudian memilih alternatif lain untuk terus menghidupi idealisme dan keterbebanannya sebagai agen perubah. Hal ini tidak lepas dari inkonsistensi organisasi mahasiswa yang 50 Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013. skopnya nasional yang larut dalam friksi internal. Organisasi tersebut adalah Kelompok

52 Cipayung.

  Gerakan mahasiswa dari Kelompok Cipayung yang diakui secara resmi oleh pemerintah ternyata tidak mampu menyuarakan perubahan serta memiliki kelemahan seperti minimnya gerakan kritis yang diperbuat. Perbedaan terlihat ketika idealisme tidak lagi diusung sebagai prioritas semangat perjuangan mereka. Salah seorang mantan aktivis dalam pendapatnya mengilustrasikan:“Kondisi Kelompok Cipayung di Medan tidak lagi mengusung idealisme, melainkan lebih tertuju terhadap konsep pragmatis. Sebagai contoh,

  

  adanya keinginan untuk mengharapkan jabatan yang lebih tinggi.” Kelompok ini acapkali mengutamakan gerakan moral daripada aksi turun ke jalan. Ini terbukti dengan kehadiran kebijakan normalisasi yang diterima dengan baik, fakta yang bertolak belakang dengan ciri kritis aktivis mahasiswa. Kenyataan ini menambah daftar panjang minimnya protes mahasiswa dari Cipayung.

  Dalam pada itu, di tubuh Cipayung terdapat juga mahasiswa-mahasiswa yang berpendirian tetap menolak kebijakan pemerintah Orde Baru. Mereka yang tidak sepaham dengan sistem, menghendaki terjadinya perubahan sosial dan juga politik. Namun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi maupun Cipayung, mengalami kemandulan aktivitas politik di kampus akibat birokratisasi kampus serta mengalami stagnasi akibat konflik intern. Hal

52 Kelompok Cipayung merupakan forum bersama lima organisasi mahasiswa: Gerakan Mahasiswa

  

Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam

(HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia

(PMKRI) yang dibentuk pada 22 Januari 1972 di Cipayung, Jawa Barat. Lihat Wem Kaunang (ed.) dalam kelompokcipayung.blogspot.com , [diakses Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 11:57 wib]. tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian aktivis mahasiswa yang memilih

   melawan kekuasaan pemerintah.

  Oleh karena itu, beberapa aktivis baik dari Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi meninggalkan kelompoknya masing-masing. Mereka kecewa terhadap organisasinya yang tidak mewadahi kegelisahan. Hal ini terasa kemudian dengan menyoroti kepada gerakan kritis yang telah terbangun sebelumnya oleh organisasi alternatif seperti LSM. LSM banyak memberi inspirasi akan corak pergerakan baru yang lebih militan dan terutama bergerak dari basis. Hal ini didasari bahwa persentuhan langsung dengan rakyat atau basis menjadi contoh yang sangat tepat bagi mahasiswa.

  Selain itu di penghujung 1980-an, beberapa KS yang sudah tumbuh masih jauh dari harapan. Mereka masih mengandalkan aksi informasi dan belum berinisiatif membangun gerakan yang berbentuk aksi massa. Jadi, secara umum mahasiswa belum bergerak menyuarakan kondisi sosial-ekonomi-politik yang menjadi persoalan bagi masyarakat.

  Berkaca terhadap kejadian berupa pembungkaman menjadi indikator utama ketika gerakan mahasiswa belum tercipta.

  Sahat Lumbanraja mendeskripsikan ihwal tersebut: “Organisasi mahasiswa tahun 1990-an juga sudah ada. Umpamanya KS, organisasi mahasiswa ekstrakampus dengan skop lokal. Namun beberapa KS tersebut belum kelihatan menonjol atau memberi sinyal kebangkitan gerakan mahasiswa. Dengan kata lain, bahana gerakan mahasiswa masih

  

  merupakan hal yang langka.” Beberapa aktivis mahasiswa yang tidak lagi sepaham dengan organisasi asalnya, seperti Sahat Lumbanraja, Mulana Samosir, Iswan Kaputra dan sebagainya lebih memilih 54 Denny J.A., op.cit., hlm. 45. membentuk kelompok baru, yaitu KS. Dengan demikian, mereka memutuskan untuk mengikuti nuraninya, yakni melawan tirani Orde Baru. Demikianlah prolog munculnya KS dasawarsa 1990.

2.2 Pengaruh Politik Lokal (Konflik HKBP dan Gerakan Buruh)

2.2.1 Konflik HKBP

  Kondusifnya kehidupan sipil dalam negara Orde Baru dimaklumi lewat perantara militer. Hal ini disebabkan oleh pengamanan secara militer merupakan satu-satunya pilihan bagi pemerintah Orde Baru. Intervensi militer acapkali sampai kepada persoalan sehari-hari masyarakat yang sangat jauh dari perkara peperangan ataupun pertempuran. Masuknya militer ke dalam wilayah sipil memaksa siapa saja bertindak menjaga keamanan, meskipun persoalannya hanya sebatas friksi internal Gereja.

  Situasi sosial-politik lokal dimulai pada 1992 ketika mencuatnya konflik Huria

56 Kristen Batak Protestan (HKBP). Sinode Godang (Musyawarah Akbar) dalam Gereja

  terbesar Batak Toba memperebutkan pucuk pimpinan yang menyebabkan suhu politiknya merebak ke publik. Friksi ditandai dengan persaingan yang dikategorikan dalam dua kubu.

56 HKBP merupakan organisasi Gereja yang berdiri secara independen dan memiliki jemaat terbesar

  

Gereja-gereja se-Asia. Secara politis, HKBP mampu memiliki posisi tawar yang besar bagi pemerintah. Namun

karena lembaga ini fokus pada peribadatan, maka HKBP tidak terlihat seperti kelompok agama lain.

Bandingkan dengan Nadhlatul Ulama atau Muhammadiyah. HKBP dikukuhkan oleh pemerintah RI pada 1958.

Ester Indahyani Jusuf (et.al.), Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa, Mengungkap Kerusuhan Mei

1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan , Cetakan II (tanpa kota penerbit: Solidaritas Nusa Bangsa

(SNB) dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) yang difasilitasi oleh Yayasan

  Kubu pertama, yaitu grup S.A.E. Nababan, dan kubu yang lain yaitu kelompok P.W.T.

57 Simanjuntak.

  Perebutan kedua kubu ternyata tidak bisa diselesaikan secara internal. Konflik kali ini meluas dari biasanya. Meskipun hanya sebatas perebutan pucuk pimpinan yang dipandang sebagai pengayom jemaat, namun secara politis tidak tersirat memiliki sikap pragmatis. Walaupun begitu, kursi satu di HKBP ternyata merupakan sebuah jabatan yang posisinya harus berada di podium tertinggi.

  Untuk alasan pengamanan, Orde Baru turut campur dalam mencari jalan tengah bagi pertikaian selama Sinode Godang. Forum pengambilan keputusan dan bersifat sakral tersebut dilerai oleh pemerintah melalui Panglima Daerah Militer (Pangdam) Bukit Barisan, Mayjen H.R. Pramono pada 23 Desember 1992. Sinode Agung ini dibubarkan oleh pangdam setelah

   mengambil alih ruang sidang dan akhirnya mengambil keputusan membubarkan sidang.

  Kemudian atas dasar surat keputusan di atas, maka diwujudkan sebuah Sinode Godang Istimewa (SGI) pada 13-14 Februari 1992 di Hotel Tiara, Medan. Sinode tersebut mengukuhkan Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan

57 Perihal adanya kubu dalam konflik ini bukanlah sebagai persaingan biasa yang maju dalam

  

pemilihan pimpinan tertinggi. Konsep demikian yang banyak dipakai dalam sistem demokrasi tentu tidak asing

lagi. Sesuai sistem demokrasi, tentu calon yang bertarung absah terlihat dan sepenuhnya. diserahkan kepada

konstituen untuk menentukan pemenangnya melalui penggunaan hak suara. Oleh karena itu, dalam konflik

HKBP pesta demokrasi seperti itu bukanlah sesungguhnya yang dipertunjukkan. Munculnya Simanjuntak

sebagai tandingan Nababan justru datang dari rekayasa beberapa pihak. Intervensi Mayjen Pramono

mempertegas rekayasa dan kemudian melakukan Sinode Agung Istimewa secara sepihak. Wawancara dengan

Nelson Siregar, Siborong-borong 26 Juni 2013. 58 Tidak hanya membubarkan Sinode, aparat militer bahkan melangkah lebih jauh dengan

mengintervensi Sinode Gereja suku tertua di Indonesia. Militer melalui Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan

  

Stabilitas Nasional Daerah Sumatera Bagian Utara (Bakorstanasda Sumbagut) mengeluarkan surat keputusan

yang mengangkat seorang pejabat Ephorus HKBP, Pendeta Dr. S. M. Siahaan sebagai pimpinan gereja.

  

  sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend). Sidang Istimewa ini menjadi indistingtif bagi kubu S.A.E. Nababan karena mereka dikalahkan secara resmi versi SGI.

  Kubu S.A.E. Nababan dalam konflik HKBP dipandang pemerintah memiliki kekuatan di dalam dan luar negeri. Kekuatan yang dimiliki Nababan jika tidak dicegah bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Orde Baru. Ketika itu, S.A.E. Nababan adalah sosok yang dipandang memiliki kapasitas sebagai pejuang atau aktivis yang melawan kebijakan pemerintah.

  Beberapa aktivis mahasiswa melihat adanya keganjilan yang terjadi dalam HKBP. Bahkan masyarakat awam juga mampu membaca situasi yang ada sekalipun mereka tergolong antipati terhadap politik. Jadi, hampir seluruh masyarakat mengetahui konflik tersebut. Siswanto adalah salah satu aktivis non-HKBP yang memberi tanggapan sebagai berikut:

  “Ketika itu pemerintah melakukan kooptasi di berbagai bidang. Misalnya tiga partai yang ada telah dikooptasi melalui Paket UU 1985. Partai politik pun ditaruh di bawah pembinaan menteri dalam negeri. Masyarakat yang berorganisasi juga dikooptasi dengan hanya memperbolehkan satu organisasi saja. Dalam praktiknya, sering terjadi penegasian, umpamanya, jika pemerintah tidak suka terhadap tokoh tertentu, maka keputusan yang berkenaan dengan tokoh tersebut dalam sebuah wadah bisa dianggap tidak sah. Sebab ketika itu, segala sesuatunya harus se-pengetahuan dan seizin penguasa. Contohnya bisa dilihat dalam tubuh PDI maupun Sinode Godang HKBP. Singkatnya, seluruh sendi-

sendi masyarakat dikooptasi oleh pemerintah.”

  Konflik HKBP pada akhirnya mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya resistensi dari masyarakat dan mahasiswa. Para mahasiswa bahkan terdorong untuk mengorganisir diri, misalnya di Medan. Perluasan jaringan dan pembahasan lebih banyak lagi bahkan terus digelindingkan mahasiswa. Sebab melihat konflik HKBP, mahasiswa bukan 59 Ibid . saja prihatin, seterusnya bahkan semakin intensif melakukan pengorganisiran mahasiswa di kampus. Itu sebabnya, konflik HKBP telah turut membangkitkan idealisme mahasiswa.

2.2.2 Gerakan Buruh

  Salah satu bukti kesadaran masyarakat (civil society) di awal 1990-an adalah bangkitnya gerakan buruh. Absennya negara terhadap tuntutan para buruh menyebabkan sekat-sekat ketakutan dari kalangan buruh memecah kebuntuan interaksi sosial-politik. Mereka tidak mengindahkan sikap represif pemerintah Orde Baru.

  Pembangunan yang selama ini menjadi perhatian pemerintah, dalam kenyataannya banyak merugikan masyarakat. Salah satu yang terlihat jelas adalah adanya kesenjangan dalam hal pengupahan yang dialami oleh kaum buruh. Tidak hanya menyoal upah, para buruh juga diperlakukan sesuka hati. Para pemilik modal dengan seenaknya memberi

   perintah dan sanksi terhadap buruh kendatipun mereka tanpa daya untuk melawan.

  Sistem politik pemerintah yang sangat mendominasi dalam keadaan di Sumatera Utara dirasakan sebagai tekanan yang terlalu kuat. Kondusifnya Sumatera Utara disebabkan oleh tekanan yang begitu besar dan membungkam hak-hak bersuara para pekerja. Bagi buruh, berbicara sekenanya saja merupakan suatu kewajaran dan hal itu dirasa tidak perlu dipandang sebagai sebuah kerisauan apalagi provokasi. Sementara itu, setiap ada kelompok yang berdiskusi kerapkali diinterogasi, diciduk oleh aparat militer hingga ditindak melalui kekerasan. Setiap kali ada kegiatan berupa diskusi lepas, sesering itu pula aparat Bakorstanasda menjemput mereka dan membawanya ke Komando daerah militer (Kodam) untuk dipaksa diam.

  Praktik ini membuat kebebasan buruh semakin terhimpit. Belum lagi nasib mereka di tangan pengusaha yang tidak berperikemanusiaan, di mana pengusaha kerap menganiaya; melakukan pelecehan; serta tidak adanya jaminan tunjangan hari raya (THR), dan kalaupun ada biasanya akan diberikan pengusaha sesuka hatinya. Dengan demikian, pengusaha juga turut diberi keleluasaan oleh pemerintah untuk membuat para buruh semakin terpinggirkan. Buruh dijadikan sapi perahnya pengusaha-penguasa.

  Adapun sikap arogan dan represif dari pengusaha-penguasa pada akhirnya turut

   mendorong terbentuknya Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada 02 Agustus 1992.

  SBSI cabang Medan adalah satu serikat yang memberikan kesempatan bersuara di kalangan kaum buruh. Dengan adanya serikat, kaum buruh dapat memperoleh informasi dan melakukan diskusi yang berkaitan langsung dengan nasibnya. Berbagai peristiwa yang mereka lihat dan alami menjadi perbincangan yang tidak terlewatkan.

  Di tahun itu juga, buruh mendeklarasikan sebuah forum untuk tempat mereka berani keluar dari kebiasaan lama yang mengungkung kebebasan berserikat maupun berekspresi.

  Dengan buruh pabrik sebagai basisnya, mereka mendirikan Forum Aspirasi Kaum Buruh. Lewat forum ini mereka mulai turun ke jalan menyuarakan aspirasinya dengan tuntutan utama kenaikan upah. Demonstrasi yang terlaksana lewat forum tersebut mengambil sasaran kantor gubernur. Gubernur Radja Inal Siregar, menyepakati tuntutan para buruh. Sejak itu, disepakati upah buruh naik setiap tahun.

62 SBSI didirikan sebagai satu langkah yang ditempuh oleh buruh dalam berserikat. Dengan demikian, ia menjadi organisasi alternatif. SBSI yang dipimpin Muchtar Pakpahan ini kemudian dikenal sebagai SBSI 92.

  

Soegiri CS dan Edi Cahyono, Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru

  Keberhasilan tersebut mendapat sambutan positif dari semua kalangan buruh pabrik yang ada di Medan dan sekitarnya. Pembahasan lebih lanjut kemudian dibangun dari waktu ke waktu untuk lebih meningkatkan gerakan supaya lebih membesar. Berangkat dari keyakinan itulah mereka kemudian menyepakati aksi-aksi lanjutan di hari-hari berikutnya.

   Singkatnya, sejak September 1993 hampir setiap hari ada unjuk rasa buruh di Medan.

  Gerakan buruh di Medan mencapai puncaknya pada 14 April 1994. Dalam gerakan

  

  buruh waktu itu, jumlah massa yang turun terhitung sebanyak 50.000 buruh. Meskipun demikian aksi demonstrasi berjalan dengan damai dan terorganisir secara rapi, sehingga dari lima tuntutan yang mereka ajukan, hanya satu yang tidak terealisasi, yakni kebebasan

   berserikat.

  Pasca-14 Juli 1994, gerakan buruh terus menggelinding hampir ke semua lapisan masyarakat. Dari keberanian gerakan buruh atau gerakan rakyat inilah kemudian gerakan multisektor banyak mendapat pembelajaran karena setiap akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah telah diperlihatkan rakyat sejak itu. Pada akhirnya situasi politik di Medan mulai bergejolak untuk merumuskan kembali gerakan-gerakan sosial demi meruntuhkan rezim yang telah terlalu yakin akan sifatnya yang otoriter.

  63 64 Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.

  Penyebutan angka 50.000 didasarkan pada skripsi sejarah Tongam Panggabean tanpa tambahan

analisis, akan tetapi masih diragukan keabsahannya, karena masih mungkin lebih dari jumlah yang ditulis

tersebut atau bahkan kurang seperti ditulis Edi Cahyono’s Experience dalam Cerita Kami edisi 1994 sebanyak

25. 000 buruh saja. Oleh karena itu, penulis mengacu pada kategori gerakan tersebut sebagai yang terbesar di

masa rezim otoritarian Soeharto di Asia. Tongam Panggabean, Gerakan Serikat Buruh di Medan1971-1990, Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara tidak diterbitkan, Medan, 2009. 65 Lima tuntutan utama buruh pada aksi besar-besaran pada 14 April 1994: (1) Kenaikan upah; (2)

Kebebasan berserikat; (3) Tetapkan THR; (4) Tuntaskan Kasus PT. Korek Api Deli; (5) Tuntaskan Kematian Salah satu dampak dari menggelindingnya gerakan buruh adalah gerakan mahasiswa. Kampus-kampus di Medan kembali tersulut di mana gerakan mahasiswa sejak pertengahan 1990-an bangkit kembali dan mulai menjamur.

2.3 Berdirinya Forsolima dan KSMM

2.3.1 Forsolima

  Orde Baru secara kasat mata menutup ruang gerak mahasiswa untuk mengkritisi pemerintah. Peraturan ini terlahir sebagai bentuk respons represif pemerintah bagi pergerakan mahasiswa yang dianggap membahayakan stabilitas nasional. Aktivitas sosial-politik mahasiswa yang menolak konsep pembangunan oleh Orde Baru diartikan sebagai anti-

66 Pancasila dan subversi. Mahasiswa yang dicurigai melakukan pembelaan terhadap rakyat

  akan mendapat pengawalan. Ketatnya pengawasan berlaku terus hingga mahasiswa yang melakukan sekadar diskusi atau berkumpul dianggap subversi, lalu diinterogasi bahkan akan diadili tanpa proses pengadilan. Pada akhirnya pemerintah yang telah lama bergulir seperti tidak bosan-bosannya menghentikan segala tindak-tanduk mahasiswa, kecuali dalam urusan belajar. Urusan belajar dimaksud, misalnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke daerah/desa, membuat pertunjukan musik di kampus, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang jauh dari kata politik.

  Untuk menjelaskan pokok pikiran ini, Daoed Joesoef memaparkan keberhasilannya menerapkan kebijakan normalisasi semasa masih Mendikbud: “Sesuai pernyataan terkenal Aristoteles tentang kebijaksanaan, saya menjalankan kebijakan yang mengedepankan kebijaksanaan dengan menghargai waktu terhadap mahasiswa. Misalnya mengisi waktu

  

  dengan menulis, membaca, membuat penelitian, dan tidak selalu di jalan raya.” Salah satu keberhasilan kebijakan sterilisasi politik Orde Baru adalah bertahannya

  Kelompok Cipayung dalam kenyamanan di tengah permasalahan yang melanda hidup rakyat banyak. Hal ini terjadi akibat adanya kooptasi dari pemerintah. Mahasiswa sebagian besar

  

  lebih memilih bergelut dengan perebutan ketua Senat Mahasiswa di berbagai kampus di Medan dan mengabdi di organisasi induk tanpa ada kepedulian terhadap kesengsaraan rakyat yang sering ditindas oleh penguasa.

  Seperti telah diuraikan di atas, bahwa mahasiswa yang bersikap melawan kekuasaan akhirnya memilih menanggalkan simbol keorganisasian. Mereka melihat jika terus berdiam diri, maka perubahan tidak akan datang. Orde Baru akan semakin jaya dan membuat rakyat di Indonesia bertambah sengsara. Sikap militeristiknya akan menjadi adikuasa yang semakin tidak terbendung. Oleh karena itu, atas sikap menolak tunduk kepada Soeharto, aktivis mahasiswa menyepakati pembentukan organisasi baru yang sifatnya lebih bebas dan tegas melawan sistem Orde Baru serta bercita-cita untuk membuat sebuah perubahan sosial dan politik.

  Kekecewaan kepada Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi melahirkan keinginan baru untuk keluar dan mengembalikan idealisme dalam diri

  67 Seta Basri dalam [Diakses pada 07 Juli 2013 pukul 10:15 wib] 68 Mengenai perebutan ketua Senat Mahasiswa didapatkan atas kesaksian Iswan kaputra dalam

wawancara langsung. Beliau menuturkan, lebih lanjut, saat itu gerakan mahasiswa di Medan bahkan dikirimi mahasiswa. Memilih keluar dari Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa diputuskan berdasarkan pemahaman bahwa gerakan mahasiswa berjuang demi kerakyatan.

  Pada tahun 1990-an bersamaan dengan perkembangan era keterbukaan politik, Forsolima merupakan salah satu organisasi mahasiswa yang berdiri waktu itu. Awal terbentuknya Forsolima mengalami perjalanan yang cukup panjang. Waktu demi waktu dilalui dengan melakukan perundingan atau berdiskusi bersama atas ketidaksepahaman dengan organisasi masing-masing yang memilih diam. Aktivis-aktivis yang berseberangan dengan pemikiran kelompok asalnya akhirnya berembuk. Mereka menjalin keakraban dan kekeluargaan yang diikat atas munculnya kegelisahan bersama. Kristalisasi dalam hal metode, alat-alat perjuangan, dan ideologi yang didapatkan dari buku-buku bacaan semakin menguat.

  Awalnya para penggiat diskusi yang terdiri dari berbagai kampus dan organisasi setelah memutuskan keluar dari keorganisasian masing-masing, mengajak mahasiswa untuk melihat realita sosial di masyarakat. Dengan cara tersebut, mereka mencari mahasiswa yang kritis kemudian menghadapkannya kepada situasi sosial masyarakat. Hal lain yang terkait adalah adanya kekecewaan terhadap wakil rakyat (DPRD). Bagi mereka, wakil rakyat sebagai salah satu pilar demokrasi dianggap tidak mampu mewakili aspirasi rakyat.

  Kekecewaan mereka pun semakin bertambah.

  Lambat laun diskusi menjadi rutinitas. Diskusi diselenggarakan dari satu kampus ke kampus lain. Peserta diskusi adalah anggota Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta. Berawal dari diskusi seperti dari pengenalan organisasi masing-masing, bertukar informasi, kaji materi, sampai kepada ajang menjalin silaturahmi. Mereka berdiskusi secara luas mengenai perkembangan politik teraktual dan gerakan mahasiswa.

   Metode diskusi ini sendiri dinamakan dengan sistem sel. Metode diskusi seperti ini

  merupakan alegori jaring laba-laba, yaitu menjalin jejaring dengan gerakan mahasiswa lain yang selama ini belum berjalan dengan baik. Tujuannya adalah untuk menyatukan isu politik, sehingga terjalin simpul gerakan mahasiswa yang semakin kuat.

  Silang pendapat terhadap masalah sosial-politik menjadi awal analisis dalam mencari akar masalah. Tentu saja perbedaan pendapat menjadi bumbu diskusi yang tidak jarang menjadi perdebatan. Dapat dibayangkan gerakan mahasiswa satu sama lain memiliki garis ideologi tersendiri, sehingga pemikiran-pemikiran yang ada terlihat berjenis pula. Meskipun demikian, perbedaan ini justru semakin memperkaya kualitas diskusi yang mereka bangun.

  Berdasarkan penelitian terhadap Forsolima menunjukkan betapa sulitnya para penggiat diskusi disatukan. Egosentris kampus yang melekat dalam diri mereka sempat membuat tarik ulur soal penamaan organisasi yang dibentuk. Namun, akhirnya mereka menemukan jalan keluar, yakni mengikrarkan diri dalam satu-kesatuan yang baru. Mereka tidak lagi mengedepankan simbol atau egosentris kampusnya masing-masing.

69 Sistem sel merupakan sistem yang diadopsi dari perkembangbiakan hewan bersel satu, amuba.

  

Amuba dalam perkembangbiakannya dilakukan dengan cara membelah diri. Dalam sistem sel yang diadopsi

para aktivis Forsolima adalah masing-masing anggota membawa kader sebanyak dua atau lebih setelah

pemahaman tentang gerakan mahasiswa ditularkan. Sistem sel selain dalam mencari kader, juga dalam

mengadakan demonstrasi. Misalnya, satu orang bawa dua, dua orang bawa empat, empat bawa delapan dan

seterusnya. Wawancara dengan Iswan Kaputra, Medan 16 April 2013. Lihat juga Redaksi Siswa Madjalah

  Berbagai pertemuan yang digelar selalu menemui jalan buntu. Pengaruh egosentris kampus masing-masing mempersulit adanya titik temu di antara mereka, sehingga perdebatan untuk memutuskan soal nama organisasi menjadi sangat ulet, karena masing-masing perwakilan kampus meinginkan nama yang mereka usulkan dapat diterima. Akibatnya, untuk menentukan tempat diskusi atau pertemuan berikutnya menjadi perdebatan yang panjang karena masing-masing perwakilan mahasiswa meminta tempat pertemuan dilaksanakan di kampusnya masing-masing.

  Waktu itu mahasiswa dari delapan kampus berbeda yang secara rutin dan konsisten

  

  berdiskusi kembali membahas masa depan gerakan mahasiswa di Medan. Mereka membentuk sebuah wadah gerakan mahasiswa. Beberapa di antara mereka yang terlibat dalam diskusi antarkampus terdapat Jhoni Silitonga dan Turunan Gulo dari Nommensen, Iswan Kaputra dan Siswanto dari Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Pembangunan, Elfenda Ananda dari Universitas Amir Hamzah. Semuanya merupakan bagian secara struktural dari

   Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi. Sebagai diskusi awal, mereka membahas isu-isu sosial.

  Karena terdapat delapan kampus, maka diskusi-diskusi mereka berpindah dari Universitas Panca Budi ke UMSU; kemudian berpindah ke kampus ITM, STIKP, demikian seterusnya. Pada 1992, diskusi antarkampus ini dipantau oleh sebuah LSM yang juga

  

  konsentrasi terhadap gerakan sosial di Sumut, yakni Bitra. Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa organisasi mahasiswa dapat menyatu dengan LSM lokal yang juga memiliki kesamaan dalam visi perjuangan. Ini merupakan pemantapan arah gerakan mahasiswa. 70 71 Wawancara dengan Iswan Kaputra, Medan 16 April 2013.

  Delapan kampus dimaksud adalah Sekolah Tinggi Informasi Komunikasi Pembangunan (STIKP),

Universitas Pembangunan Panca Budi (Unpab), Universitas HKBP Nommensen, Universitas Medan Area

(UMA), Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara (IAINSU),

Institut Teknologi Medan (ITM), dan Universitas Amir Hamzah. Wawancara dengan Iswan Kaputra, Medan 31

Mei 2012. 72 73 Wawancara dengan Elfenda Ananda, Medan 26 Januari 2013.

  Pada awal berdirinya (1980), Bitra dikenal sebagai Bina Taruna Tani. Akan tetapi dalam

perjalanannya, timbul friksi internal. Friksi yang muncul pada 1985 itu menimbulkan dua pandangan berbeda:

di satu sisi, sebagian stafnya menginginkan supaya pekerjaan mereka bergerak sampai menyentuh masyarakat

luas, misalnya membantu petani menemukan jalan keluar yang dihadapi atau advokasi dan sebagainya. Di sisi

lain, sebagian lainnya tidak memiliki keinginan untuk meluaskan program. Mereka ini memilih untuk mengikuti

perkembangan situasi semata. Dengan kata lain, kelompok yang kedua dianggap hanya sekadar ikut-ikutan.

Namun pada 1986, Bitra memilih untuk memasyarakat dan dikenal sebagai Bina Keterampilan Pedesaan Melihat konsistensi mereka, Bitra mengundang para aktivis mahasiswa ke sekretariat mereka. Aktivis mahasiswa merespons positif undangan Bitra. Hal ini mengingat Bitra adalah LSM yang turut membela kaum pinggiran dan juga mendukung gerakan mahasiswa.

  Bitra sudah menjalin komunikasi dengan mahasiswa dapat dijelaskan, bahwa sejak 1990-an Bitra mempunyai program yang mereka namakan mahasiswa marginal. Program mahasiswa marginal ditujukan untuk mencari kader aktivis mahasiswa khususnya mereka yang memiliki kelemahan secara finansial. Dengan program ini, aktivis mahasiswa bukan saja hanya diperbantukan sesuai kebutuhan dan kemampuan Bitra, namun diharapkan juga mampu menjadi kolega dalam membantu perjuangan rakyat yang terpinggirkan. Di sisi lain, terbentuknya Forsolima sendiri tidak dapat dipisahkan dari pengaruh Bitra. Walaupun begitu, Forsolima bukan merupakan organisasi sayap Bitra. Relasi Forsolima dan Bitra berangkat dari adanya kesamaan pemahaman untuk memperjuangkan hak-hak yang tertindas serta

   menentang rezim yang sewenang-wenang.

  Aliansi perjuangan dengan Bitra juga menjadi pelecut semangat mahasiswa dalam merealisasikan mimpi-mimpinya. Mahasiswa memandang Bitra sebagai satu alternatif tempat berdiskusi termasuk dukungan peralatan berdiskusi, di samping sebagai salah satu pendukung dana pergerakan, walaupun tidak ketergantungan. Mengenai dana, aktivis mahasiswa tidak memiliki sumber pendanaan mapan dalam mendukung aktivisme mereka. Dana yang dimiliki para aktivis umumnya berasal dari orangtua mereka sendiri yang hanya cukup digunakan untuk biaya kuliah.

  Setelah menjalani diskusi-diskusi rutin dan lebih serius serta adanya dukungan dari Bitra, para aktivis mahasiswa selanjutnya merumuskan untuk membangun gerakan mahasiswa baru. Alotnya situasi politik di tengah-tengah bangsa lambat laun memupuk pemikiran dan sikap mereka untuk berbuat sesuatu kepada masyarakat. Sebagai warga kampus yang notabene bagian dari kelompok intelektual menyadarkan mereka akan tanggung jawab besar dalam kehidupan bermasyarakat.

  Kesadaran akan pentingnya peran mahasiswa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara memantapkan ciri kritis para aktivis muda yang terus berdiskusi membahas isu-isu sosial-politik. Mereka menyadari pentingnya melakukan perubahan untuk alasan kemanusiaan dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

  Untuk itu, para aktivis dari delapan kampus berbeda di atas sepakat membentuk sebuah wadah baru untuk dijadikan tempat berdiskusi dan melakukan gerakan secara bersama. Kesepakatan mulai menemui titik kulminasinya ketika mereka tidak membeda- bedakan lambang kampus satu sama lain. Kedelapan aktivis akhirnya bersepakat untuk melepas atribut Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi masing-masing untuk melebur menjadi satu organisasi yang baru. Gagasan melepas simbol kampus ternyata membuahkan hasil, ego masing-masing dapat dilepaskan.

  Pada suatu aksi perdana di Deli Serdang, mereka untuk pertama kalinya menyebut

  

  diri sebagai komite solidaritas mahasiswa Meda Komite Solidaritas kemudian bermetamorfosis menjadi Forum Mahasiswa Medan (FMM) sebelum beberapa bulan 75 Aksi mendukung petani dimaksud adalah mendukung petani Dusun Anggrek-Rumania, Lubuk

  

Pakam, Deli Serdang, Agustus 1993. Saat itu lahan petani Dusun Anggrek dikuasai oleh Pusat Koperasi

  

  berikutnya menjadi Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) yang berdiri dalam Agustus 1993. Oleh karena itu, deskripsi di atas memperlihatkan, bahwa Forsolima terbentuk dari diskusi rutin yang membahas isu sosial-politik di masyarakat dan ditindaklanjuti dengan aksi konkret di lapangan.

  Berbeda dengan KS pada dasawarsa sebelumnya, Forsolima hadir sebagai organisasi mahasiswa ekstrakampus yang tidak melulu hanya berdiskusi atau membicarakan studi.

  Mereka tidak hanya banyak membaca, berteori atau berdiskusi. Atas kondisi dan kemauan politik yang kuat, para aktivis kelompok ini kemudian melakukan aksi-aksi demonstrasi sebagai praksis dari studi. Dengan kata lain, mereka memadukan studi dengan aksi demonstrasi sebagai desakan (pressure) bagi pemerintah yang berkuasa ketika itu.

2.3.2 KSMM

  Tidak jauh berbeda dengan alasan berdirinya Forsolima, beberapa aktivis yang juga awalnya tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) membentuk sebuah kelompok baru yang berprinsip kerakyatan dan nasionalis. Pada awalnya kelompok ini tidak dirancang karena tidak disertakan dalam program kegiatan GMKI. Sebab ide untuk mendirikan sebuah KS belum terpikirkan mereka. Namun demikian, gagasan awal pembentukan KSMM mewacanakan bahwasannya adanya kegelisahan dan semangat perjuangan menjadi titik temu yang mungkin melahirkan sebuah organisasi dalam waktu yang tidak terlalu lama.

76 Perubahan nama seperti ini biasa dilakukan pada saat Orde Baru. Hal ini dilakukan demi menjaga

  

keamanan para aktivisnya. Dengan demikian, pelacakan nama-nama para aktivis menyulitkan aparat dalam

pencarian mereka. Jadi, para aktivis tidak muda diendus keberadaannya. Wawancara dengan Iswan Kaputra,

   Awal pembentukan KSMM muncul dari Sahat Lumbanraja, anggota GMKI. Ia

  mendorong anggota GMKI Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara periode 1994 untuk melaksanakan program yang sudah ditetapkan, yaitu Kursus Latihan Kepemimpinan (KLK) bagi para anggota GMKI. Pelatihan ini merupakan pembobotan untuk mencetak kader atau pemimpin-pemimpin baru.

  KLK yang diikuti sebanyak 40 peserta merupakan kegiatan rutin GMKI untuk menuntun anggotanya agar mampu bertanggung jawab terhadap beban yang ditugaskan. Di sinilah dituntut sikap kepemimpinan yang telah didapatkan dari pelatihan KLK. Akan tetapi, yang kerap menjadi kelemahan dalam setiap kegiatan ini adalah tidak adanya rencana tindak lanjut, sehingga tindakan konkret sebagai hasil dari pelatihan kepemimpinan sangat jarang dibangun. Itu sebabnya latihan kepemimpinan dianggap hanya sebagai seremonial yang lebih banyak berteori, namun minus aplikasi. Melihat hal ini, Sahat Lumbanraja menawarkan konsep tindak lanjut untuk dibahas oleh sesama peserta pelatihan. Rencana lanjutan yang diajukan adalah menentukan wujud kepemimpinan dalam diri masing-masing mahasiswa.

  Ide kepemimpinan yang dipelajari dapat dimanifestasikan dalam kehidupan sejak masa mahasiswa. Faktor kepemimpinan dalam diri seorang mahasiswa sangat berperan penting dalam bermasyarakat setelah ia menamatkan dirinya dari perkuliahan. Ide kepemimpinan yang digulirkan melalui diskusi tidak hanya diaplikasikan pada kelompok/organisasi yang sama.

  Selain KLK, mereka juga mengkritisi penyebab melemahnya organisasi Cipayung dalam memprotes pemerintah. Salah satu penyebabnya karena adanya garis komando yang berlaku secara struktural. Di mana pengurus daerah harus tunduk terhadap garis kebijakan pengurus tingkat pusat. Sifat struktur demikian dimanfaatkan dengan benar oleh pemerintah untuk melemahkan pergerakan mahasiswa. Ketika pimpinan pusat organisasi Cipayung berhasil dirangkul, maka diharapkan tidak ada gejolak berarti yang dilakukan oleh pengurus di daerah. Oleh karena itu, mereka yang terdorong ingin membuat perubahan sosial mendapat rintangan dari internal organisasi.

  Atas dasar berpikir itulah, peserta pelatihan mencoba keluar dari pakem lama GMKI. Berikut ini adalah kesimpulan dari diskusi KLK seperti diutarakan oleh Sahat Lumbanraja:

  “Mengawali RTL, metode yang digunakan adalah dengan memetakan minat para peserta pelatihan kepemimpinan. Membaca minat masing-masing dalam pertemuan itu mengantarkan mereka kepada sebuah kata mimpi di masa mendatang. Satu demi satu para peserta menyatakan apa yang menjadi minatnya, misalnya satu orang meminati dunia jurnalistik, satu orang lagi meminati dunia akademis yang berorientasi pada penelitian ilmiah, lain lagi berminat pada dunia kepengarangan dan sebagainya. Masing-masing minat ini kemudian diikat dengan sebuah harapan yang disatukan menjadi pemahaman dan dibayangkan harus ditarik benang merahnya sejak saat itu. Langkah berikutnya adalah sampai ke tingkatan level tinggi. Tentu saja minat tadi sekaligus menjadi penyemangat untuk disuntikkan bagi peserta.”

  Mengkaji diskusi yang tergabung dalam latihan kepemimpinan rata-rata memiliki pemikiran yang sama untuk turut membawa pemahaman mengenai KSMM. Melihat kesepahaman yang ada, akhirnya tanpa ragu-ragu disepakati untuk membentuk wahana organisasi mahasiswa yang baru, KS.

  Alasan pembentukan ini dipandang sebagai akibat dari situasi gerakan mahasiswa yang statis, meskipun terdapat Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi dan Cipayung. Di samping itu, alasan lainnya adalah KS dianggap mampu melahirkan pemimpin gerakan mahasiswa yang mampu menyatukan segala perbedaan. Berbeda dengan organisasi mahasiswa Cipayung, dalam KS menjadi pemimpin bukanlah sesuatu yang sakral ataupun menjadi agenda yang diperebutkan serta dibanggakan sebagai sebuah prestise.

  Seperti dijelaskan di atas, pembentukan KS sejalan dengan kehendak politik aktivis mahasiswa. Mereka menginginkan strategi baru gerakan mahasiswa di bawah tekanan represif Soeharto. KS sejak masa Soekarno sangat kental dengan ide atau pemikiran, punya

  

  modal untuk menunjukkan sikap. Bukan saja menuntut, namun ada tawaran alternatif atau solusi. Intelektualitas yang melekat dalam KS merupakan senjata pamungkas yang membedakan mereka dengan Cipayung. Tidak mengajukan tuntutan yang skopnya nasional. KS, justru dekat dengan petani, nelayan, buruh, kaum miskin kota dan kaum tertindas lainnya.

  Ketika bergabung bersama buruh, mereka juga menyesuaikan diri dengan membantu buruh melakukan pekerjaan sehari-hari, sehingga mereka memahami kehidupan sosial yang dialami buruh. Dengan menjadi buruh, para aktivis pun menangkap keprihatinan yang terjadi atas mereka.

  Metode seperti ini digunakan untuk meningkatkan sikap kritis KS. Hidup bersama masyarakat yang tersisihkan, tidak mengikuti permainan kaum elite merupakan pilihan lebih berdampak dan berpengaruh. Dengan mengasah diri lewat pengalaman langsung bersama rakyat, diharapkan para aktivis mahasiswa semakin militan.

  Dasar pemikiran ini sangat mengena bagi aktivis mahasiswa yang bosan dengan keadaan organisasi mahasiswa yang berbasis massa dan selalu terkontaminasi pengaruh 79 Hal yang penting dari organisasi mahasiswa, khususnya dalam hal ini KS adalah sikap gerakan yang