Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) Dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa Di Medan

(1)

FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:

STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O L E H

NAMA : JAKOB SIRINGORINGO

NIM : 080706023

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:

STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : JAKOB SIRINGORINGO

NIM : 080706023

Pembimbing

Dr. Budi Agustono

Nip: 196008051987031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:

STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN Yang diajukan oleh :

Nama : Jakob Siringoringo Nim : 080706023

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian skripsi oleh: Dosen Pembimbing,

Dr. Budi Agustono Tanggal 11 November 2013

NIP. 196008051987031001

Ketua Departemen Sejarah,

Drs. Edi Sumarno, M. Hum Tanggal 12 November 2013 NIP. 196409221989031001

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2013


(4)

Lembar Pengesahan Skripsi

FORUM SOLIDARITAS MAHASISWA MEDAN (FORSOLIMA) DAN KELOMPOK STUDI MAHASISWA MERDEKA (KSMM) 1990-1998:

STUDI GERAKAN MAHASISWA DI MEDAN SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : JAKOB SIRINGORINGO

NIM : 080706023

Pembimbing

Dr. Budi Agustono NIP. 196008051987031001

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian sarjana sastra dalam bidang Ilmu Sejarah

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(5)

Lembar Persetujuan Ketua Departemen Disetujui oleh:

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

DEPARTEMEN SEJARAH Ketua,

Drs. Edi Sumarno, M. Hum NIP. 196409221989031001


(6)

Lembar Pengesahan Skripsi oleh Dekan dan Panitia Ujian

PENGESAHAN

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk

Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Sastra dalam Ilmu Sejarah pada Fakultas Ilmu Budaya USU Medan

Pada

Hari :

Tanggal :

Fakultas Ilmu Budaya Dekan,

Drs. Syahron Lubis, M. A. NIP. 195110131976031001 Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1. Drs. Edi Sumarno, M. Hum (...)

2. Dra. Nurhabsyah, M. Si (...)

3. Dr. Budi Agustono (...)

4. Dra. Fitriaty Harahap, SU (...)


(7)

“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari”

-Pramoedya Ananta Toer-

Buat: Bapak-Ibu terhormat dan abang-kakak tercinta Sersta buat KDAS dan almamater


(8)

ABSTRAK

Judul: Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa di Medan

Kompleksnya sisi kelam demokrasi di Indonesia selama tiga dekade membuat mahasiswa tidak henti-hentinya melakukan kreasi melawan pemerintah otoriter Soeharto. Hilangnya gerakan mahasiswa di Medan sebagai dampak negatif dari pembredelan terhadap gerak kritis dan friksi internal di Kelompok Cipayung akhirnya menjadi stimulus munculnya Kelompok Studi. Skripsi ini bertujuan menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan dalam kurun 1990-1998. Metode penelitian yang dilakukan adalah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Forsolima dan KSMM terlahir sebagai respons terhadap sedikitnya gerakan mahasiswa dengan intensitas pemikiran dan aksi relatif banyak di Medan. Baik Forsolima maupun KSMM didasari pemahaman yang kurang lebih sama yaitu kekecewaan terhadap organisasi asalnya: Cipayung dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi atas ketidakgelisahnya terhadap rezim otoritarian Orde Baru. Kaderisasi dalam pelaksanaannya, baik Forsolima maupun KSMM memiliki cara tersendiri. Diskusi, aksi demonstrasi maupun turun ke basis adalah tiga hal yang tidak pernah luput dari metode perekrutan kader yang diadakan. Tahun-tahun prareformasi sampai reformasi di Medan, Forsolima dan KSMM kerap mengambil bagian dalam aksi-aksi turun ke jalan. Penangkapan terhadap aktivis Forsolima dan KSMM adalah hal lain yang menjadi bagian dari sejarah keduanya dalam melakukan protes terhadap penguasa Orde Baru. Dengan demikian, kesimpulannya bahwa Kelompok Studi telah berkontribusi bagi gerakan mahasiswa di Medan dalam dasawarsa 1990.


(9)

PRAKATA

Ide penulisan skripsi ini terbetik di benak penulis, bermula dari suatu proses diskusi setelah bergabung dengan Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial (KDAS), sebuah organisasi mahasiswa ekstrakampus. Dalam berproses di KDAS, ide menulis tentang gerakan mahasiswa perlahan terus terbersit. Sebab melalui komunitas inilah pola pikir penulis secara perlahan menyadari betapa pentingnya rasionalitas berpikir dalam memandang segala sesuatunya. Dengan demikian, kesadaran diri sebagai manusia membentuk kegelisahan dalam diri dalam kaitannya sebagai warga negara Indonesia.

Adapun pemahaman kecil mengenai gerakan mahasiswa ataupun gerakan rakyat lainnya menumbuhkan semangat dan kedekatan emosional untuk menulis kajian ilmiah pertama penulis. Kedekatan emosional tersebut telah mengarahkan sekaligus mempermudah ide untuk membuat skripsi yang menceritakan sebuah masa lalu gerakan mahasiswa di Medan.

Oleh sebab itu, kepada orangtua tercinta penulis, Sabar Siringoringo dan Rospita Sitinjak yang telah lebih dulu dipanggil oleh Yang Maha Kuasa, terima kasih telah menjadi inspirasi dalam hidup penulis. Meskipun telah tiada, namun mengingat nama kedua orang tua tercinta, semangat untuk menulis skripsi ini terasa lebih besar.

Sebagai bapak dan ibu “kecil”, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tunggul Siringoringo dan Rusmi Pakpahan. Bapak Uda dan Inang Uda ini telah membesarkan dan membimbing penulis dalam berbagai kesulitan yang penulis hadapi. Kebaikan mereka yang tak terbalas juga telah terukir indah di sanubari. Sebab oleh mereka


(10)

jugalah penulis terinspirasi untuk tegar dalam memandang segala persoalan. Tanpa itu, penulis tidak ada apa-apanya.

Skripsi ini tidak akan berwujud seperti sekarang tanpa bimbingan dan arahan bermutu dari Dr. Budi Agustono selaku dosen pembimbing penulis. Selain itu juga, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua dan Sekretaris Departemen Sejarah FIB USU, Drs. Edi Sumarno, M. Hum dan Dra. Nurhabsyah, M.Si. Saat waktu telah cukup lama dalam pengerjaan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Ratna, M.Si., atas komunikasi yang telah terbangun akrab. Demikian juga kepada staf pengajar lainnya di Departemen Sejarah serta kepada Bang Ampera Wira, terima kasih.

Ketika pasang-surut semangat dalam proses mengerjakan skripsi ini, penulis dikuatkan oleh rekan-rekan sekampus, seperti Arenda Mehaga, Marco Limbong, Eri Arianto, Jansarman Sinaga, Shinta Agnesia Silalahi, Eri Arianto, Erni Friska Nababan dll. Meskipun rekan-rekan seangkatan sebagian telah menyelesaikan skripsinya, terima kasih atas dukungannya yang tidak melupakan penulis dan rekan lainnya yang menyusul belakangan. Terima kasih kepada Eko Tambunan di Himpunan Mahasiswa Ilmu Sejarah (HIMIS) dan Sere Murni di Kelompok Kecil Kebaktian Mahasiswa Kristen (KMK).

Untuk informan, penulis haturkan penghargaan kepada: Iswan Kaputra, Elfenda Ananda, Mulana Samosir, Sahat Lumbanraja, Siswanto, Turunan Gulo, Diapari Marpaung, Tohap Simamora, Rizal, dan Pdt. Nelson Siregar dan sebagainya yang tidak bisa disebutkan satu per satu, atas diskusi dan kesediaan waktunya memberikan informasi yang menjadi bahan baku dari “bangunan” skripsi ini.

Mimpi bersama di KDAS menyulut motivasi penulis untuk mewujudkan sebuah karya bisa berarti bagi siapa pun. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada


(11)

rekan-rekan KDAS. Sebagai oposan permanen, tetaplah nyalakan obor veritas di tengah-tengah masyarakat.

Akhirnya skripsi ini selesai dalam rentang waktu yang lewat dari ketentuan akademis. Jika ketentuan akademis berlaku enam bulan, penulis malah menyelesaikannya dalam 12 bulan lebih. Hal ini bukan bermaksud gagah-gagahan. Sebaliknya, penulis merasa masih terlalu singkat untuk mengerjakan suatu karya ilmiah yang bisa bermanfaat untuk banyak orang. Biar bagaimanapun, skripsi ini tidak merupakan karya ilmiah yang objektif murni. Kekurangan dan kelemahan masih banyak dalam isi skripsi ini. Penulis menyadari betul akan hal tersebut.

KDAS Medan, Oktober 2013

Jakob Siringoringo NIM: 080706023


(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

PRAKATA ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 10

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 10

1.4Tinjauan Pustaka ... 11

1.5Metode Penelitian ... 15

1.6 Pendekatan Teori ... 15

BAB II TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM ... 24

2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat ... 24

2.2 Pengaruh Politik Lokal (Konflik HKBP dan Gerakan Buruh) ... 32

2.2.1 Konflik HKBP ... 32

2.2.2 Gerakan Buruh ... 34

2.3 Berdirinya Forsolima dan KSMM ... 37

2.4.1 Forsolima ... 37

2.4.2 KSMM ... 44

BAB III KADERISASI ... 51

3.1 Pendidikan Politik ... 51

3.3.1 Pelatihan Forsolima ... 53

3.3.2 Pendidikan Politik KSMM ... 55

3.2 Diskusi Rutin ... 59

3.3 Menyatu dengan Rakyat ... 61

BAB IV AKSI-AKSI FORSOLIMA DAN KSMM DALAM GERAKAN MENJELANG REFORMASI ... 63

4.1 Aksi-aksi Forsolima ... 65


(13)

4.1.2 Kudatuli 1996 ... 69

4.1.3 Krisis 1997 ... 70

4.1.4 Aksi 1998 ... 71

4.2 Aksi-aksi KSMM ... 73

4.2.1 Aksi 1996 ... 75

4.2.2 Krisis 1997 ... 77

4.2.3 Aksi 1998 ... 78

BAB V KESIMPULAN ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 84

DAFTAR INFORMAN ... 88

LAMPIRAN ... 90


(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Pendidikan politik Forsolima ... 103

Gambar 2 Pendidikan politik Forsolima ... 103

Gambar 3 Pendidikan politik Forsolima ... 103

Gambar 4 Pendidikan politik KSMM ... 104

Gambar 5 Pendidikan politik KSMM ... 104

Gambar 6 Aksi mahasiswa 1 Mei 1998 ... 105

Gambar 7 Aksi mahasiswa 17 Mei 1998 ... 105

Gambar 8 Aksi mahasiswa 21 Mei 1998 ... 105

Gambar 9 Mahasiswa menuntut reformasi ... 106

Gambar 10 Mahasiswa menduduki DPRD SU ... 106

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 ... 91

Lampiran 2 ... 92

Lampiran 3 ... 93

Lampiran 4 ... 94

Lampiran 5 ... 95

Lampiran 6 ... 96

Lampiran 7 ... 97

Lampiran 8 ... 98

Lampiran 9 ... 99

Lampiran 10 ... 100


(15)

ABSTRAK

Judul: Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa di Medan

Kompleksnya sisi kelam demokrasi di Indonesia selama tiga dekade membuat mahasiswa tidak henti-hentinya melakukan kreasi melawan pemerintah otoriter Soeharto. Hilangnya gerakan mahasiswa di Medan sebagai dampak negatif dari pembredelan terhadap gerak kritis dan friksi internal di Kelompok Cipayung akhirnya menjadi stimulus munculnya Kelompok Studi. Skripsi ini bertujuan menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan dalam kurun 1990-1998. Metode penelitian yang dilakukan adalah heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Forsolima dan KSMM terlahir sebagai respons terhadap sedikitnya gerakan mahasiswa dengan intensitas pemikiran dan aksi relatif banyak di Medan. Baik Forsolima maupun KSMM didasari pemahaman yang kurang lebih sama yaitu kekecewaan terhadap organisasi asalnya: Cipayung dan Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi atas ketidakgelisahnya terhadap rezim otoritarian Orde Baru. Kaderisasi dalam pelaksanaannya, baik Forsolima maupun KSMM memiliki cara tersendiri. Diskusi, aksi demonstrasi maupun turun ke basis adalah tiga hal yang tidak pernah luput dari metode perekrutan kader yang diadakan. Tahun-tahun prareformasi sampai reformasi di Medan, Forsolima dan KSMM kerap mengambil bagian dalam aksi-aksi turun ke jalan. Penangkapan terhadap aktivis Forsolima dan KSMM adalah hal lain yang menjadi bagian dari sejarah keduanya dalam melakukan protes terhadap penguasa Orde Baru. Dengan demikian, kesimpulannya bahwa Kelompok Studi telah berkontribusi bagi gerakan mahasiswa di Medan dalam dasawarsa 1990.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sejarah gerakan mahasiswa bermula sejak pembentukan nation-Indonesia yang diletakkan pada awal abad XX. Lahirnya Politik Etis1

Pentingnya berorganisasi menandai cara berjuang yang efektif dan efisien. Oleh karena itu, dampak positif pendidikan menumbuhkan bibit organisasi modern pada 1908, di antaranya Boedi Oetomo (BO) dan Indische Vereeninging (IV).

menyebabkan perkembangan politik terutama bagi kalangan berpendidikan. Mereka kala itu, baik di Belanda maupun di Indonesia, berefleksi untuk memperjuangkan kemerdekaan. Dengan kata lain, arti penting kesadaran akan hak kebebasan diperoleh melalui lembaga pendidikan pasca-Politik Etis.

2

1

Politik Etis lahir tahun 1900. Pada hakikatnya, hal itu merupakan sebuah kebijakan lunak Belanda guna menenangkan rakyat Indonesia terutama dari perhatian internasional. Jadi, bukan balas budi sebagaimana sering ditafsirkan orang. Paling tidak berbagai gelombang kecaman lahir terhadap stelsel Belanda yang dianggap sebagai akibat buruk liberalisme. Kecaman berasal dari golongan Kristen, liberal progresif, dan sosial demokrat. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia (Jakarta: Kompas, 1995), hlm. 168.

Keduanya lahir di dua tempat berbeda: Jawa (Hindia Belanda) dan Belanda. Kedua organisasi ini menjadi awal dimulainya pergerakan kaum terpelajar Indonesia. pemerintah kolonial Belanda sendiri belum mengganggap secara serius dampak yang akan ditimbulkan nantinya. Pembentukan organisasi seiring berlakunya Politik Etis masih dianggap sejalan dengan tujuan Politik Etis

2

Boedi Oetomo didirikan oleh Sutomo bersama beberapa rekannya dari sekolah dokter Jawa, Stovia, sekolah guru, sekolah pertanian, dan kehewanan dan sekolah pamong praja. Berdiri pada 20 Mei 1908, Budi Utomo menjadi jelmaan awal kebersamaan dalam corak modern atau sekarang ini disebut berorganisasi. Selengkapnya lihat Dawam Rahardjo dalam Denny J.A. Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an (Yogyakarta: LKIS, 2006) hlm. xiii. Sedangkan Indische Vereeninging terbentuk pada 25 Oktober 1908. Indische Vereeninging dibentuk di Belanda oleh siswa asal Hindia. Lihat Parakitri Simbolon, ibid., hlm. 319.


(17)

itu sendiri, yaitu salah satunya, mendapatkan asisten dalam mengurusi bagian administrasi. Perhitungan ini menguntungkan pihak kolonial sesuai perkembangan zaman sebab Belanda cukup hanya mengawasi dan memberi komando yang mempermudah pekerjaan mereka. Meskipun lembaga pendidikan masih diperuntukkan bagi anak bangsawan atau orang kaya, kesempatan langka ini dapat dimanfaatkan secara optimal oleh pemuda/pelajar Indonesia.

Periode 1920-an, sebagian dari mereka membentuk Kelompok Studi (selanjutnya disingkat KS).3 KS adalah organisasi yang beranggotakan beberapa mahasiswa/pelajar dengan kegiatan utamanya berdiskusi. Irene H. Gayatri mendefinisikan KS sebagai suatu bentuk kegiatan sekelompok mahasiswa di luar kampus yang masih tetap mempertahankan posisi mahasiswa sebagai pelaku utama dan sekaligus kelompok sasaran yang dituju, dengan penekanan kepada intelektualisme, khususnya mengkaji masalah-masalah teoritis.4

Satu hal yang menarik dari KS adalah peranannya dalam proses membangun kebangsaan sejak awal abad XX. KS, dengan semangat nasionalismenya, telah memberikan pengaruh besar berwujud penolakan terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda.

Meskipun zaman silih berganti, pemikiran untuk membentuk KS memiliki alasan yang sama, yaitu adanya kekuasaan yang melarang mahasiswa berkelompok atau

3

KS yang terbentuk, misalnya Kelompok Studi Indonesia (Indonesisce Studie-club) yang dibentuk pada 1924 di Surabaya. Di samping itu, berdiri Kelompok Studi Umum (Algemeen Studie-club) yang berdiri pada 1925. Adi Suryadi Cula, Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Sejarah Politik Indonesia, 1990-1998 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 24.

4

Irene H. Gayatri, Arah Baru Gerakan Mahasiswa 1989-1993 dalam Muridan S. Widjojo, (et.al.), Penakluk Orde Baru: Gerakan Mahasiswa ’98 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 71.


(18)

berorganisasi.5 Kekuatiran terhadap kelompok mahasiswa oleh penguasa Orde Baru turut memengaruhi KS hadir sebagai organisasi alternatif.6

Di awal Orde Baru, 1968, KS terbentuk setelah kelompok mahasiswa yang tergabung dalam KAMI meredup.7 KS yang ketika itu dinamakan dengan Studi Grup,8

Studi Grup (SG) berkembang dari Bandung yang dipelopori oleh kelompok

Mahasiswa Indonesia.

berdiri sebagai simbol kekecewaan terhadap mantan aktivis mahasiswa yang masuk parlemen sebagai wakil rakyat.

9

SG era enam puluhan muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap sikap aktivis, terutama bagi mereka yang terpilih menjadi anggota legislatif, yang meninggalkan idealisme yang diusung saat menjatuhkan Soekarno. Dalam sikap politik mahasiswa yang acapkali

Setelah KAMI melemah, SG kemudian muncul hingga ke berbagai kota, misalnya Jakarta, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar dan sebagainya.

5

Lahirnya KS pada 1930-an, era Soekarno muda, diakibatkan oleh tiga hal: pertama, pemuda tidak bisa menyesuaikan diri dan kecewa pada partai politik yang ada; kedua, KS bisa menjadi media alternatif ketika pemerintah represif; ketiga, tidak dibatasi sekat-sekat kedaerahan. Muhammad Umar Syadat Hasibuan, Revolusi Politik Kaum Muda (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 38.

6

KS dikatakan sebagai alternatif yang lahir karena ketidakmampuan organisasi mahasiswa formal di kampus untuk menyatakan ide-ide kritis mahasiswa agar terciptanya suatu perubahan sosial. Suharsih dan Ign Mahendra K., Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia (Yogyakarta: Resist Book, 2007), hlm. 91.

7

Tertanggal 25 Oktober 1965, Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) berdiri. KAMI dibentuk sebagai wadah penggalangan berbagai pandangan mahasiswa yang tampak beragam, namun memiliki keinginan bersama dalam memberikan koreksi bagi pemerintah Orde Lama. Selama dua tahun lebih, KAMI memiliki posisi tawar yang cukup besar terhadap konstelasi politik nasional. Satu di antaranya adalah aksi besar yang berlangsung sepanjang 1966 dan KAMI merupakan kesatuan mahasiswa yang turut menggalang aksi tersebut. Namun di akhir 1968, KAMI perlahan-lahan menghilang sejak adanya masalah wakil-wakil mahasiswa di DPR. Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966-1974, Cetakan I (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 12-15.

8

Studi Grup Mahasiswa Indonesia, Grup Diskusi Universitas Indonesia, Club Diskusi Kita, Kelompok Diskusi Generasi Muda adalah beberapa KS yang berdiri di penghujung 1960-an. Francois Raillon, ibid., hlm. 71-74.

9

Mahasiswa Indonesia merupakan tabloid mingguan yang menonjol dalam pemberitaan situasi politik di Indonesia ketika itu. Tabloid ini juga dianggap sebagai salah satu media kritis dalam mengritik kebijakan pemerintah. Nomor perdana Mahasiswa Indonesia terbit pada 19 Juni 1966, dengan bentuk tabloid berukuran 30x45 cm, tebal 8 halaman. Francois Raillon, ibid., hlm. 30.


(19)

menyedot perhatian, kali ini SG kelihatan tidak mampu berbicara banyak. SG tidak mampu mengembalikan posisi tawar mahasiswa seperti halnya KAMI yang sanggup menyatukan berbagai organisasi mahasiswa.

Peran SG tidak tampak jelas dalam dinamika politik yang kembali menggeliat sejak memasuki tahun 1970. Sebaliknya aksi mahasiswa justru dilakukan oleh pimpinan organisasi intrakampus, seperti Dewan Mahasiswa.

Masih di tahun yang sama, ternyata situasi politik semakin memanas. Hal ini ditandai dengan retaknya, atau meminjam pernyataan Arif Budiman, sebagai kandasnya bulan madu antara mahasiswa dan ABRI. Ditambah maraknya kasus korupsi seperti yang terjadi di tubuh Permina (Pertamina) pimpinan Mayjend Ibnu Sutowo dan Bulog yang dipimpin oleh Mayjend Ahmad Tirtosudiro. Sejak dari situasi yang tidak tenang inilah, mahasiswa mulai kecewa terhadap rezim Soeharto.10

Sementara di sisi lain, mahasiswa mulai menyusun aksi protes atas perilaku pejabat, korupsi yang merajalela, dan terutama terhadap kenaikan harga minyak tanah. Tidak hanya sampai di situ, mahasiswa juga mulai menyoroti persoalan investasi asing yang tergolong dalam IMF, World Bank, Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI) yang dipimpin J.P. Pronk. “Namun terkait modal asing ini, kami lebih fokus kepada kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka,” demikian menurut pimpinan Dewan Mahasiswa UI ketika itu.11

10

Imran Hasibuan, (et.al.), Hariman dan Malari: Gelombang Aksi Mahasiswa Menentang Modal Asing (Jakarta: Q-Communication, 2011), hlm. 25.

Saat itu dualisme investasi asing sedang bertarung: pro-investasi Amerika versus pro-investasi Jepang. Jepang dipilih sebagai investor yang mendorong model perekonomian.

11


(20)

Manuver-manuver politik pun menjadi ramai dalam perbincangan media. Baik Ali Murtopo maupun Soemitro sama-sama melakukan manuver politik antara lain dengan mengundang mahasiswa berdialog. Ali Murtopo mendirikan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan membangun koalisi dengan kelompok keagamaan. Lain Murtopo, Soemitro pun berkeliling kampus-kampus di Jawa, kecuali Universitas Indonesia. Bahkan Soemitro berkunjung ke Pulau Buru dan berniat akan membebaskan para tahanan politik.

Pemantik perseteruan kekuasaan antara dua pembantu presiden telah terpicu sebelum meletusnya gerakan 1973/1974. Yaitu antara Ali Murtopo yang menjabat asisten pribadi presiden (aspri) dan Jenderal Soemitro selaku Pangkopkamtib. Keduanya berseteru dalam kapasitas posisinya masing-masing yang banyak menunjukkan drama keintelijenan. Drama ini menggambarkan kerumitan dalam mencari posisi kekuasaan dan mencair sejak peristiwa Malari.12

Puncaknya pertikaian berujung pada Lima Belas Januari (Malari) 1974. Huru-hara ketika itu terjadi setelah kedatangan PM Jepang Tanaka. Mahasiswa berdemonstrasi di jalan dengan rute dari Salemba Universitas Indonesia dan berakhir di Universitas Trisakti, Grogol. Di Grogol mereka membakar patung bergambar Ali Murtopo, Sudjono Hoemardani, dan Tanaka. Akhirnya peristiwa 1974 ditutup dengan berbagai penangkapan terhadap aktivis mahasiswa.

12

Lihat Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ’74 (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998).


(21)

Empat tahun kemudian, gerakan mahasiswa kembali bersuara. Waktu itu kondisi ekonomi mengalami disparitas yang mencolok dengan perbedaan pendapatan yang tidak seimbang. Statistik mengungkapkan bahwa 40% penduduk miskin menguasai kekayaan nasional hanya 15%. Sementara itu 40% penduduk menengah memegang kekayaan nasional sebesar 40%. Namun ironinya, hanya 20% penduduk lapisan atas justru menguasai 45% kekuasaan negara. Hal ini menyebabkan mahasiswa menilai bahwa pemerintah telah gagal dan berbohong atas janjinya memperbaiki distribusi kesempatan dan hasil pembangunan.13

Gerakan mahasiswa muncul mengkritisi persoalan di atas. Keprihatinan ditunjukkan dengan menggelar protes seperti menggelar spanduk yang berisi tuntutan menguak isu penolakan terhadap pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden untuk yang ketiga kalinya. Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) menerbitkan Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978. Buku ini berisi protes dan mencerca pemerintah terkait korupsi yang meluas, kebijakan ekonomi yang akrab hanya memperkaya diri sendiri, dan hilangnya komunikasi dengan rakyat.14

Akan tetapi pemilihan umum tahun 1976 tetap membawa Soeharto menuju singgasana RI-1. Sesuai dengan penolakan sebelumnya, mahasiswa kembali memprotes hasil pemilihan tersebut. Mereka tidak mengakui Soeharto sebagai presiden terpilih. Di sini mereka menolak tegas dengan berunjuk rasa hingga ke depan istana negara. Mereka menyatukan diri dari pelbagai Dewan Mahasiswa dan menghindari afiliasi dengan faksi elite. Dengan demikian, mereka melakukan aksi demonstrasi di mana tuntutan diarahkan kepada Presiden Soeharto, bukan pembantu-pembantunya sehingga dianggap melawan hukum.

13

Suharsih, op.cit., hlm. 84.

14


(22)

Praduga ini kemudian direalisasikan melalui Staf Komando Soedomo yang menyatakan bahwa mahasiswa telah melawan hukum dan melanggar konstitusi. Hal ini diperjelas lagi ketika kedatangan mahasiswa ke MPR pada 07 Januari 1978 yang dianggap sebagai pelecehan terhadap lembaga tertinggi di Indonesia.

Menanggapi aksi protes mahasiswa, Presiden Soeharto angkat bicara. Ia menyatakan bahwa demonstrasi sah-sah saja asalkan sesuai dengan fakta dan kebenaran. Sebab jika unjuk rasa dilakukan dengan tidak benar apalagi tanpa fakta yang tepat, maka bisa membahayakan Pancasila dan melanggar konstitusi. Oleh karena itu, beliau berharap agar mahasiswa hati-hati dalam mempergunakan hak kebebasannya.

Meskipun pidato tersebut menyerupai himbauan, namun melalui pidato inilah keluar kebijakan untuk membubarkan lembaga resmi mahasiswa seperti Dewan Mahasiswa. Dengan demikian, lahirlah SK Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) 21 Januari 1978 tentang pembubaran Dewan Mahasiswa semua universitas dan pendudukan kampus oleh militer. Tidak hanya itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengeluarkan instruksi nomor 1/U/1978 dan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor 037/U/1979. Sejak saat itu, mahasiswa hanya diperbolehkan berkegiatan seputar kesejahteraan, rekreasi, dan persoalan akademik.

Pemerintah melalui Panglima Kopkamtib Sudomo (Militer) dan Daoed Joesoef (Mendikbud) mengeluarkan kebijakan baru tentang aktivitas mahasiswa yang dipandang mengganggu stabilitas nasional. Kebijakan pembekuan gerakan mahasiswa adalah


(23)

normalisasi kehidupan kampus (NKK) yang digunakan sebagai alat untuk mendepolitisasi kampus.15

Selain itu, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi juga mengeluarkan instruksi nomor 002/DK/Inst/1978 yang menempatkan semua aktivitas mahasiswa berada di bawah kendali Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III di setiap fakultas. Kebijakan ini bermuara bagi adanya koordinasi kampus demi menjalankan normalisasi politik kampus seperti diharapkan pemerintah. Dengan demikian, pada 24 Februari 1979, Mendikbud mengeluarkan SK nomor 037/U/1979 tentang susunan lembaga/organisasi kemahasiswaan lingkungan Perguruan Tinggi Departemen P dan K. Wujudnya adalah di setiap Perguruan Tinggi dibentuk badan koordinasi kemahasiswaan (BKK) sebagai badan non-struktural yang membantu rektor untuk merencanakan kegiatan mahasiswa. Sesuai peraturan tersebut, kampus berbenah untuk tidak berdiskusi seputar tema politik yang cenderung dianggap menjadi akar perlawanan mahasiswa.

Pertengahan 1980-an, setelah legislasi pemagaran ditetapkan, KS16 hadir sebagai respons terhadap kebijakan baru pemerintah yang mengekang mahasiswa berpolitik praktis. Dengan mengangkat isu-isu lokal,17

15

Gerakan mahasiswa sejak 1974 sampai 1978 direspons oleh pemerintah Orde Baru dengan cara-cara represif dan militeristik. Tindakan ini kemudian diperkuat dengan Keputusan Pangkopkamtib No. SKEP.02.KOPKAM/1978 tentang pembekuan Dewan Mahasiswa diikuti dengan keputusan Menteri P & K, Dr. Daoed Joesoef, No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia (Jakarta: Network for South East Asian Studies, 2000), hlm. 55. Lihat juga Adi Suryadi Cula, op.cit., hlm. 118-120.

mereka mencoba untuk membangkitkan semangat kritis

16

Pembungkaman pemerintah terhadap kampus-kampus dalam 1980-an memunculkan format baru gerakan mahasiswa. Beberapa KS yang lahir ketika itu, di antaranya Kelompok Diskusi Nommensen (KDN), Kelompok Studi Mahasiswa Hukum (KSMH), Kelompok Kerja Studi Perkotaan, Forum Komunikasi Nommensen.

17

Isu-isu lokal tidak kalah menariknya menjadi isu dalam gerakan mahasiswa. Selain isu nasional yang kerap menjadi wacana gerakan mahasiswa seperti pada gerakan mahasiswa era: 1966, 1974 dan 1978 bahkan 1998, isu lokal tidak kalah pentingnya. Isu lokal pada dekade 1980-an, misalnya kasus tanah. Contoh kasus


(24)

dan daya juang mahasiswa yang berlangsung hingga dekade berikutnya.18

Perbedaan yang dapat dilihat terhadap gerakan mahasiswa era 1980-an adalah dalam bentuk aksi yang mereka lakukan. Jika pada periode 1966, 1974, dan 1978, gerakan mahasiswa akrab dengan aksi massa, turun ke jalan dan dalam kurun waktu yang cukup lama, maka gerakan mahasiswa 1980-an justru bergerak dalam aksi informasi seperti melalui pers mahasiswa, membagikan selebaran, dan melakukan penyadaran. Aksi informasi tentu tidak membutuhkan massa sampai ratusan bahkan ribuan orang.

Gerakan dalam era ini secara kasat mata berbeda dengan gerakan periode sebelumnya.

19

Jika gerakan mahasiswa sebelum 1980 selalu menonjolkan isu-isu nasional, maka isu lokal menggantikannya sebagai bentuk perlawanan baru dengan pertimbangan ketidaksiapan mendobrak pusat kekuasaan. Pergeseran isu dari nasional ke lokal merupakan keunikan tersendiri dari gerakan mahasiswa. Jika menelaah gaya hidup mahasiswa, maka tampaklah betapa mereka jarang memberi waktu untuk memperhatikan kehidupan masyarakat kelas bawah seperti petani, buruh dan sebagainya. Namun, para aktivis mahasiswa 1980-an membuktikan kalau mereka juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kaum tani, buruh, nelayan ataupun kaum miskin kota.

Pada masa ini mahasiswa memiliki kesempatan luas mempelajari berbagai literatur dan juga membantu advokasi kasus-kasus rakyat. Itulah yang mereka lakukan selama

tanah di Tapanuli Utara yang dirampas oleh PT. Inti Indorayon Utama (IIU) atau kini berganti nama menjadi PT. Toba Pulp Lestari dengan lokasi pabrik terletak di Sosor Ladang, Porsea, Toba Samosir. Selain itu terdapat juga Sei Belumai, Sei Lepan di Sumatera Utara. Lihat Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak vs PT. Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2009).

18

Syadat Hasibuan, op.cit., hlm. 69.

19

Denny, J.A., Gerakan Mahasiswa dan Politik Kaum Muda era 80-an (Jogjakarta: LkiS, 2006), hlm. 13.


(25)

tindakan pemerintah masih mengekang aktivitas politik mahasiswa. Hilangnya peranan negara dalam mensejahterakan rakyat mengakibatkan munculnya ketimpangan sosial atau ketidakadilan.20

Selanjutnya di era 1990-an sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia meninggalkan catatan yang panjang. Berlarutnya sterilisasi politik kampus dari kepekaan terhadap sosial-politik akhirnya membawa dampak pada organisasi mahasiswa ekstra-kampus. Organisasi ekstra-kampus, salah satunya KS, pada era ini adalah sebentuk bandul baru dalam membangun gerakan mahasiswa.

Berbicara mengenai gerakan mahasiswa di Indonesia, tentu tidak dapat dipisahkan dari faktor-faktor khusus yang mendukungnya. Betapapun gerakan mahasiswa berperan dan ikut dalam setiap perubahan politik, umumnya diperankan oleh organisasi mahasiswa.

Skripsi ini membahas tentang dua organisasi mahasiswa di Medan, yaitu Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) dalam kurun 1990-1998. Dalam konteks menjelang reformasi, kapasitas KS merupakan satu bagian yang mendapat perhatian. Hal ini disebabkan oleh KS menjadi inspirasi gerakan mahasiswa waktu itu.

20

Zaiyardam Zubir, Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi tentang Ideologi, Isu, Strategi, dan Dampak Gerakan (Yogyakarta: Insist Press, 2002).


(26)

1.2Rumusan Masalah

Rumusan masalah skripsi ini terdiri atas:

a) Bagaimana latar belakang, kelahiran dan bentuk kaderisasi Forsolima dan KSMM?

b) Bagaimana aktivitas Forsolima dan KSMM dalam aksi pra-reformasi di Medan.

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah menjelaskan ruang lingkup Forsolima dan KSMM serta keterkaitan keduanya, sebagai KS, terhadap gerakan mahasiswa di Medan dalam kurun waktu 1990-1998.

Adapun manfaat yang diharapkan dari skripsi ini:

a) Menambah perbendaharaan atau melengkapi sejarah gerakan sosial di Medan. b) Sebagai pengayaan tentang perjalanan gerakan mahasiswa di Medan.

1.4Tinjauan Pustaka

Dalam kajian gerakan mahasiswa 1990-an, Gunawan21

21

FX Rudi Gunawan (et.al.), Menyulut Lahan Kering Perlawanan Gerakan Mahasiswa: Tribute to Andi Munajat (Jakarta: Penerbit Spasi & VHR Book bekerja sama dengan Friedrich Ebert Stiftung, 2009).

mendeskripsikan mereka sebagai “semak kering yang mudah dibakar.” Refleksi atas kondisi sosial politik, dan ekonomi pada masa Orde Baru menjadi dasar utama hadirnya gerakan mahasiswa yang lebih kritis. Gerakan mahasiswa 1990-an itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari pergerakan periode sebelumnya. Seperti telah disinggung di atas, gerakan mahasiswa pasca-kebijakan yang mengekang perpolitikan mahasiswa, memfokuskan diri terhadap penanganan kasus-kasus


(27)

rakyat. Misalnya, kasus Kedung Ombo di mana KS turun ke basis membantu petani untuk melawan perampas tanah.

Gunawan juga memperbincangkan pertumbuhan awal gerakan mahasiswa dasawarsa itu dari KS hingga forum-forum mahasiswa lintas kota. Selain itu, turut ikut terlibat adalah Persatuan Rakyat Demokratik (PRD).22

Karya lain, Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru menjelaskan dengan panjang lebar dan terperinci, turut membantu bagi penulisan skripsi ini.23

Dhakidae membahas wacana intelektualitas dalam interval Orde Baru. Di mana sepanjang tiga dasawarsa tersebut, Dhakidae mengkaji kedudukan kaum cendekiawan yang masih secuil dari segudang persoalan kecendekiaan yang tidak maksimal dan tepat sasaran selama masa pembangunan. Bahkan kelompok cendekiawan dikatakan memiliki kepentingan politis yang terlalu bercampur-baur dengan kegiatan akademis-ilmiah murni. Dengan kata lain, kaum cendekia tidak bisa lepas dari intervensi politis dalam lingkungan kekuasaan Orde Baru.

Diterbitkannya kebijakan yang ditujukan untuk mempersempit peran politik mahasiswa merupakan salah satu buah dari miringnya tugas kaum cendekiawan di Indonesia. Lingkungan kekuasaan yang teknokratis oleh Dhakidae disebut menjadi salah kaprah dalam

22

PRD merupakan salah satu kelompok yang sifatnya lintas kota dan ditujukan untuk menampung aktivis-aktivis yang dianggap radikal. Persatuan Rakyat Demokratik dibentuk pada 02 Mei 1994 di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) Jakarta bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Ketua Umum PRD terpilih adalah Sugeng Bahagijo, mahasiswa filsafat UGM didampingi Tumpak Sitorus, mahasiswa Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta Selatan sebagai Sekretaris Jenderal. (Tabloid MomenT, No. 04/Tahun I/1994)

23

Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003).


(28)

kapasitas seorang Mendikbud sebagai cendekiawan. Mahasiswa justru disuruh hanya memenuhi pekerjaan belajar dan tidak perlu mencampuri urusan politik. Padahal mahasiswa adalah bagian dari kelompok cendekiawan yang tidak sedikit menyumbang ilmu pengetahuan dan juga semangat mudanya yang menjadi penerus dalam menahkodai bangsa Indonesia.

Tomagola memerinci Cendekiawan dan Kekuasaan sebagai berikut:

“Dengan memanfaatkan, baik kerangka pikiran maupun cara pendekatan Foucaultian yang sangat menekankan pentingnya peneropongan realitas sebagai sesuatu yang terus bergerak dalam suatu proses relasional yang dialektis, Dhakidae menggeledah-periksa ruang bawah tanah dan loteng penuh laba-laba di mana bertebaran dokumen-dokumen tentang cengkeraman kuku rezim Orde Baru dan kiprah-geliat perlawanan para cendekiawannya.”24

Kajian lain yang memberikan deskripsi mengenai mahasiswa adalah Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik Sejarah Indonesia (1990-1998).25

Kajian berikutnya yang membahas tentang KS adalah karya Denny J.A., mantan aktivis mahasiswa. Ia mengatakan bahwa akurasi pergerakan dengan sasaran patutnya Buku ini menguraikan proses gerakan mahasiswa di Indonesia sejak pra-kemerdekaan hingga reformasi 1998. Isinya merunut gerakan-gerakan mahasiswa yang telah terjadi di tiap zamannya. Sebagaimana judulnya, gerakan mahasiswa diurutkan bagai anak tangga dengan catatan-catatan peristiwanya. Demikianlah secara ringkas buku ini merekapitulasi perjalanan gerakan mahasiswa yang berimplikasi langsung terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.

24

Tamrin Amal Tomagola, Republik Kapling (Yogyakarta: Resist Book, 2006), hlm. 170.

25


(29)

dikonsentrasikan agar dalam pergerakan mahasiswa memiliki tendensi yang dinanti-nantikan.26

Selain itu ada karya Muchtar E. Harahap dan Andrias Basril dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia.

Buku ini menjelaskan refleksi terhadap gerakan mahasiswa yang telah berkali-kali terjun menyuarakan aspirasinya, namun acapberkali-kali tidak menemukan hasil memuaskan. Kemudian di dalam buku ini juga diuraikan bagaimana refleksi terhadap perkembangan gerakan mahasiswa yang selanjutnya melahirkan KS. KS dalam dinamikanya juga mengalami pro dan kontra sebagai wadah yang tepat dalam memompa kekritisan mahasiswa. Singkatnya, maju-mundurnya politik kaum muda dalam era KS merupakan fokus yang menarik untuk dikaji.

27

Dalam perspektif lain, Bergerak Bersama Rakyat: Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia karangan Suharsih dan Ign Mahendra K. memuat deskripsi untuk memenuhi ruang teori dalam memandang skripsi ini.

Buku ini menjelaskan tentang sikap mahasiswa yang militan, progresif, dan posisi politik (bargaining) yang kuat. Mahasiswa disebut sebagai gerakan oposan paling mungkin dan ideal. Tetapi sehubungan dengan hal itu, buku ini menekankan bahwa gerakan mahasiswa bukanlah faktor utama, melainkan salah satu faktor dalam gerakan sosial menentang pemerintah, termasuk pada rezim Soeharto. Di samping itu, Harahap dan Basril juga memberi analisis terhadap politik mahasiswa dan sebab-sebab kemunculan aksi-aksi politik dan serangkaian teori. Terkait aksi, dijelaskan secara periode per periode.

28

26

Denny J. A., loc.cit.

Isinya memuat analisis seputar

27

Muchtar E. Harahap dan Adris Basril, loc.cit.

28


(30)

resistensi mahasiswa terhadap sikap dan kebijakan rezim neo-liberal yang didukung oleh penguasa-penguasa dalam negeri. Hal ini juga mengungkapkan bahwa perjuangan mahasiswa harus terus digelorakan dengan banyak bercermin dari sejarah. Gerakan mahasiswa diharapkan dapat lebih kritis, bermutu, kuat, dan agar lebih cepat mencapai cita-citanya: memperjuangkan kepentingan rakyat. Memperjuangkan rakyat merdeka sepenuhnya tanpa harus dijajah kekuatan asing, sehingga mendongkel impian seluruh anak bangsa.

Karya lain adalah Kisah Perjuangan Reformasi oleh Selo Soemardjan (ed.) yang merupakan kumpulan tulisan dari para akademisi tentang kajian sosiologi dan ekonomi. Kajian yang sedikit-banyak membantu menjelaskan peristiwa reformasi 1998 di Indonesia serta menguraikan sebab-sebab munculnya aksi-aksi politik yang berujung pada reformasi secara nasional.29

Buku lain yang mengkaji tentang pergerakan mahasiswa adalah Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi tentang Ideologi, Isu, Strategi dan Dampak Gerakan.30 Karya ini menuturkan bahwa gerakan mahasiswa yang terjadi di Medan tergolong lambat, terbukti dari masih banyaknya kelompok mahasiswa yang konsisten dengan peraturan kampus. Di sinilah dapat digolongkan beberapa jenis mahasiswa mulai dari yang apatis hingga yang kritis. Penggolongan tersebut tidak dijabarkan dalam skripsi ini karena sudah cukup jelas betapa gerakan mahasiswa masih terlihat belum berani keluar dari zona nyaman mereka.

29

Selo Soemardjan (ed.), Kisah Perjuangan Reformasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999).

30


(31)

1.5Metode Penelitian

Dalam penelitian sejarah terdapat empat tahapan sebagaimana disebut Kuntowijoyo,31

Dalam kajian ini juga dilakukan wawancara. Dalam hal penelitian, wawancara merupakan salah satu bentuk implementasi penelitian yang sangat penting. Setelah pengumpulan data, maka dilanjutkan dengan kritik ekstern dan kritik intern. Langkah berikutnya adalah membuat interpretasi atau penafsiran berdasarkan data dan fakta se-objektif mungkin. Terakhir, melakukan eksplanasi peristiwa secara kronologis dan sistematis dalam historiografi.

yaitu heuristik, verifikasi, kritik sumber, dan terakhir historiografi atau tahap penulisan. Tahap pertama adalah yang paling penting karena bergelut dengan data dan fakta atau sumber, sebab sumberlah yang berbicara dalam penelitian sejarah yang apa adanya. Selebihnya, penambahan oleh penulis sebagai eksplanasi agar data dan fakta itu tidak tercerabut, melainkan terjalin utuh. Sehubungan dengan hal itu, studi pustaka diperlukan dengan mempergunakan buku-buku dan dokumen. Studi kepustakaan juga dilakukan untuk mengumpulkan studi-studi lain yang sedikit banyak membahas tema yang sama sebagai bahan perbandingan.

32

1.6Pendekatan Teori

Gerakan mahasiswa berhubungan langsung dengan kondisi sosial-politik yang terjadi di masyarakat. Kondisi sosial-politik masyarakat di bawah dominasi politik Orde Baru melahirkan kemiskinan dan kebodohan. Ekspresi demokrasi yang hampa telah membuat kualitas kesejahteraan rakyat jauh dari harapan. Di samping itu, kenyataan bahwa selama 30

31

Lihat Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka, 1993).

32


(32)

tahun lebih masyarakat Indonesia hidup di bawah represifnya Orde Baru berdampak bagi psikologi masyarakat yang tidak mampu melakukan usaha atau inovasi.

Selama Orde Baru berkuasa, bangsa Indonesia tenggelam dalam pusaran politik kekuasaan otoriter dan manipulatif. Bangsa ini dibuai dengan konsep kapitalis yang lebih menekankan modal daripada melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas. Dengan demikian, kondisi sosial sulit dapat dikatakan berpihak kepada rakyat sekalipun sering disebut sebagai masa pembangunan. Kesan pembangunan yang dikumandangkan tidak berbanding lurus terhadap kehidupan rakyat yang larut dalam kemiskinan.

Berangkat dari situasi sosial, ekonomi, dan politik yang melandasi kekecewaan masyarakat menjadi fokus dalam pendekatan teori. Dalam kaitan tersebut, pengalaman kesulitan di atas pada akhirnya akan menciptakan kesadaran masyarakat. Sehubungan dengan itu, penulis juga mengaitkannya dengan teori gerakan sosial. Pendapat Marx bahwa kesadaran dipengaruhi oleh keadaan sosial di sekitarnya, misalnya tampak seperti berikut: “Menurut Marx, kesadaran itu berakar pada praxis manusia yang pada gilirannya bersifat sosial. Inilah pengertian dari bukan kesadaran yang menentukan eksistensi orang, tetapi sebaliknya kehidupan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka.”33

Kesadaran sosial akan menjadi kekuatan bagi masyarakat untuk meretas kehidupan sehari-hari mereka demi melepaskan diri dari kondisi sosial lama. Oleh karena itu, satu hal yang menjadi analisis dalam keterkaitan itu adalah pentingnya gerakan sosial. Lebih lanjut

33

Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya Tulis Marx, Durkheim, dan Max Weber (Jakarta: UIP, 1986), hlm. 50.


(33)

gerakan sosial menurut Giddens adalah suatu keberanian untuk berusaha menstabilkan suatu tata kehidupan yang baru.

Agar pemahaman tidak meluas, maka perlu kiranya definisi gerakan sosial dibahas supaya dapat menjadi acuan dalam pembahasan berikutnya. Ada berbagai macam defenisi yang menguraikan tentang gerakan sosial, misalnya Singh dan Wilson.34

Gerakan sosial kerap dipandang sebagai simbol protes yang dilancarkan masyarakat terhadap struktur-struktur sosial pemerintah yang jarang merealisasikan kehendak rakyat. Oleh karena itu, gerakan sosial secara umum dilancarkan oleh masyarakat termasuk mahasiswa agar tercipta suatu perubahan sosial dan juga politik dengan dukungan dari masyarakat di luar struktur politik formal. Dari sini dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa merupakan bagian dari gerakan sosial.

Keduanya memiliki tendensi terhadap peletakan perubahan setelah mengusir ketidakpuasan. Hal ini merupakan siklus yang saling melengkapi, namun kurang padu apabila digeneralisasikan. Kecenderungan kembalinya kekuasaan yang mengacaukan perjuangan panjang menjadi satu hal yang harus diwaspadai. Akan tetapi, pandangan Wilson tentu mendapat tempat lebih luas sebab menurutnya gerakan sosial tidak ditujukan untuk memperoleh posisi-posisi kekuasaan. Akan tetapi, secara spesifik ditujukan sebagai tawar-menawar agar pembuat keputusan terpengaruh dan memihak mereka. Jadi, gerakan sosial adalah jalan menuju sebuah perubahan.

34


(34)

Munculnya gerakan sosial tidak terlepas dari situasi sosial yang permanen di masyarakat. Mereka akrab menerima perlakuan tidak adil; campur tangan pemerintah hanya sekadar penampakan muka; ketidaksetaraan akibat dari pembangunan yang meminggirkan masyarakat. Konsep ini kerap dikenal dalam bidang ilmu sosial di mana Rajendra Singh sebagai tokoh yang turut ambil andil dalam teori sosial.

Dalam teori gerakan sosial terdapat tiga kecenderungan sebagaimana pembagian yang diletakkan Ron E. Robert dan Robert Marsh Kloss: industrialisasi, birokratisasi, dan imperialisasi.35

Kecenderungan sosial terhadap birokratisasi memunculkan konflik di tengah-tengah masyarakat akibat alienasi, kontrol masyarakat yang hierarkis, serta tidak sesuainya praktik kerja lembaga masyarakat dengan kapasitasnya. Kecenderungan ini memunculkan gerakan mahasiswa yang anti-birokrasi di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Secara umum gerakan sosial dipicu oleh kekecewaan terhadap sebuah sistem politik suatu negara. Akibat ketidakpuasan ini lahirlah titik-titik api penyulut perlawanan. Sementara itu, Dimpos Manalu dalam studi kasusnya menyebutkan juga selain karena desakan kekecewaan, desakan legalitas, bahkan melalui institusi formal, gerakan sosial juga terlahir sebagai akibat dari gerakan rakyat yang didukung secara luas.

Setiap kecenderungan tersebut memiliki alasan dan varian yang berbeda. Gerakan sosial yang berbeda satu sama lain dapat dibaca sesuai dengan teori yang disebut Robert dan Kloss. Dalam pada itu, pembahasan hanya difokuskan terhadap kecenderungan birokratisasi.

36

35

Seta Basri dalam

Dalam konteks Indonesia, gerakan sosial dipicu

36


(35)

oleh masifnya tindakan dan kebijakan represif dari pemerintah. Selain itu, terdapat juga pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), ketimpangan sosial dan ketidakpastian hukum serta militerisme.

Gerakan sosial di Indonesia merupakan gerakan pro-demokrasi yang dikumandangkan demi menegasi cengkeraman militeristik Orde Baru. 37

Manalu menulis bahwa Gerakan Sosial Baru (GSB)

Konfrontasi itu dibangun secara multiorganisasional seperti gerakan mahasiswa, gerakan perempuan dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka pun melakukan aksi nyata seperti unjuk rasa ke jalan, selebaran gelap, boikot, penerbitan pers alternatif, aksi teatrikal dan seterusnya merupakan tindakan kolektif yang dilandasi kesadaran bersama setiap elemen. Dalam hal gerakan sosial, di sini difokuskan kepada sub-gerakan sosial yang juga tidak kalah daya dobraknya terhadap kekuasaan suatu rezim, yakni mahasiswa.

38

37

Seta Basri dalam

menjadi penghubung antara gerakan mahasiswa dengan gerakan sosial. Keterkaitan keduanya, terutama sekali terlihat sejak 1968 dalam gerakan reformasi yang terjadi di Perancis dan Berlin serta Italia (1969) yang dipelopori oleh mahasiswa.

38

Gerakan Sosial Baru muncul seiring perkembangan teori-teori yang mulai dianggap usang. Terdapat pergeseran perspektif dalam membaca arus perlawanan yang dilakukan para buruh. Halnya gerakan buruh yang dominan mengacu pada konsep Marxian yang akrab memakai wacana ideologis, seperti antikapitalisme, revolusi sosial, dan pertentangan kelas. Kemudian GSB terlihat sejak 1960-an dengan tidak menjadikan buruh sebagai pelaku utamanya, di samping terdapat penisbian batas-batas kelas. Inilah ciri-ciri GSB yang kemudian populer dalam diskursus politik dewasa ini. Cirinya yang lain, GSB tampak sebagai fenomena kultural daripada politis. Dengan kata lain, GSB bertugas untuk melakukan perlawanan simbolik atau kultural menghadapi kapitalisme-lanjut yang bekerja sedemikian lembut dan halus melalui perangkat-perangkat media dan teknologi informasi yang telah merasuk alam bawah sadar masyarakat. Dimpos Manalu, op.cit., hlm. 33-46.


(36)

Tentang gerakan di era 1960-an ditandai dengan Perang Dingin. Perang Dingin yang melambangkan perseteruan antara komunis melawan kapitalis sedikit banyak memengaruhi peta perpolitikan dunia. Salah satu akibat Perang Dingin antara Amerika Serikat dengan sekutunya dan Uni Soviet dengan sekutunya adalah pecahnya perang Vietnam. Vietnam sebagai salah satu basis komunis diserang oleh Amerika, namun perang ini dimenangkan Vietnam. Perang ini menjadi sejarah baru dalam perpolitikan dunia dalam logika kekuasaan negara adidaya.

Sementara itu pendulum global pada dasawarsa 1980 bergerak ke Kanan.39 Hal ini ditandai dengan rubuhnya Sosialisme di Eropa Timur dan runtuhnya totalitarianisme Komunis di Cina. Melihat fenomena ini, tesis Francis Fukuyama seolah menemui kebenarannya yang mengatakan, “Kapitalisme merupakan akhir dari sejarah umat manusia.” Ia berpendapat bahwa Sosialis maupun Komunis telah berakhir dan sulit menandingi kapitalisme.40

Pada 1989, peristiwa di Cina mengejutkan dunia dengan memaksa demonstran damai tunduk di bawah desingan bayonet. Peristiwa Tiananmen tersebut membunuh ratusan

39

Terminologi “Kanan” dan juga “Kiri” berawal dari rapat parlemen pasca-Revolusi Perancis abad ke-18. Dalam rapat paripurna yang digelar ketika itu terdiri dari tiga kelompok yang duduk dengan perspektif yang berbeda satu sama lain. Kelompok pertama yang pro-ideologi konservatif dan liberal bersila di sebelah kanan pemimpin sidang dan kelompok yang kontra duduk di barisan sebelah kiri. Sedangkan kelompok terakhir duduk di tengah atau tidak memihak, netral. Kelompok yang terakhir ini disebut juga sebagai kaum yang demokrat. Sejak itulah terminologi Kiri/Kanan masuk ke dalam leksikon politik. Pendukung Kanan yang berciri demokrasi liberal adalah Amerika Serikat sebagaimana berikutnya pada dasawarsa 1990, Presiden AS, Ronald Reagen dan Perdana Menteri Inggris Margaret Tatcher kemudian membawa kelompok konservatif menjadi satu-satunya ideologi yang dianggap oleh Barat sebagai yang lebih baik. Hal ini juga dijabarkan Francis Fukuyama. Sementara untuk terminologi Kiri, sejak Revolusi Perancis lebih ditujukan sebagai kelompok oposisi, bukan komunisme sebagaimana dua abad kemudian pasca Revolusi Perancis. Kiri akrab dikaitkan dengan ideologi Komunis. Kasijanto Sastrodinomo, Kiri (Juga Kanan) dalam Majalah Tempo, 30 Mei 2011.

40

Lihat Francis Fukuyama, Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Yogyakarta: Qalam, 2004).


(37)

demonstran, kemudian ratusan lainnya juga ditangkapi bahkan sampai ada yang melarikan diri meminta suaka ke luar negeri.

Akhir sejarah yang dimaksud muncul dari pengamatan terhadap pelbagai sistem ideologi yang dimiliki berbagai negara khususnya negara-negara kuat pasca-perang. Meskipun demikian, Fukuyama menegaskan bahwa bukanlah perang yang akan berakhir, melainkan pemahaman sejarah sebagai proses tunggal, bersifat evolusioner, koheren, serta memperhitungkan pengalaman manusia dari setiap zaman. Negara-negara totaliarianisme seperti Jerman maupun Uni Sovyet telah gagal mempertahankan kekuasaannya. Dampaknya yang terus berkembang hingga Perang Dunia Kedua berakhir adalah munculnya negara-negara demokrasi sebagai tuntutan dari tidak tahannya masyarakat terus-menerus berada di bawah kekuasaan totaliter. Hal ini berbeda dengan gaya otoriter tradisional. Munculnya demokrasi liberal yang marak di beberapa negara seperti pecahan-pecahan Uni Sovyet membuat Fukuyama menarik tesis bahwa sistem fasis, totaliter sudah tidak terpakai lagi dalam sejarah masa depan umat manusia.

Pendapatnya yang kuat bahwa sejak runtuhnya Uni Sovyet pada 1991 dan ambruknya Tembok Berlin adalah dua hal yang menjadi data sahih dari sekian banyak lagi pasca-Perang Dingin yang merepresentasikan secara akurat kemenangan kapitalisme dan demokrasi liberal di seluruh penjuru dunia.41

41

Francis Fukuyama, loc.cit.

Runtuhnya Uni Sovyet menimbulkan beberapa dampak terhadap situasi global: berakhirnya Perang Dingin; berkurangnya kecemasan dunia terhadap kemungkinan terjadinya Perang Dunia III; banyak negara komunis berubah menjadi negara


(38)

demokrasi; Amerika Serikat bertengger sendirian sebagai negara adidaya; serta tumbangnya komunisme di beberapa negara Eropa Timur.

Dengan bergeraknya pendulum global ke Kanan, ideologi Kiri42

Gerakan sosial yang berkembang pun seolah didukung penganut kapitalisme itu sendiri dengan mengangkat tema-tema berupa feminisme, lingkungan dan HAM. Amerika Serikat yang menjadi sentral Kanan turut menggalakkan teori gerakan sosial tersebut. Indonesia yang menjalin hubungan erat dengan Amerika di bawah Soeharto terpaksa menurut kepada perintah Amerika Serikat mengenai penggunaan teori baru tersebut.

seperti kata Marx seakan menggali kuburnya sendiri. Dengan demikian tesis Fukuyama menjadi bulan-bulanan perbincangan politik dunia yang seolah lebih dipercaya. Di sinilah teori kapitalisme yang dianggap telah menang kemudian didesain menjadi ideologi global.

Sebagai negara yang membutuhkan donor, terutama dari Amerika Serikat, Indonesia mulai menerapkan kebijakan yang lebih lunak, disesuaikan dengan isu HAM. Bahkan Indonesia diminta untuk mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM.

Pada kesempatan ini, di Indonesia mulai terjadi perubahan politik di tingkat elite. Era keterbukaan mulai didengungkan yang ditandai dengan banyaknya bermunculan Lembaga Swadaya Masyarakat, aksi gerakan mahasiswa maupun masyarakat yang menunjukkan

42

Pendapat luas mengenai kekalahan Kiri tampaknya kurang memperhatikan dari segi penjelasan termanya. Tendensi Kiri dengan Komunis yang telah begitu erat dan seolah dua dalam satu telah menyebabkan sindrom ini hanya berkutat di sekitar Kiri=Komunis. Padahal seperti diuraikan dalam catatan kaki nomor 39 bahwa Kiri berarti oposisi, bukan komunis. Ideologi komunis berbeda dengan terma Kiri, namun kerap disalahartikan. Oleh karena itu, dalam penulisan ini, Kiri berarti oposisi, tidak selalu identik dengan Komunis sebagaimana terutama di Indonesia, yang mana hal ini lebih sensitif lagi.


(39)

ketidakpuasannya terhadap pemerintahan Orde Baru. Bahkan di tubuh militer sendiri mulai terjadi perpecahan.

Berkaca terhadap negeri sendiri, Soeharto, diyakini akan mengalami kehancuran tidak berapa lama lagi. Terkait pengaruh, justru gerakan buruh di Indonesia semakin menguat. Misalnya, munculnya Wiji Thukul dengan sajaknya yang dianggap begitu membahayakan: “Hanya ada satu kata: Lawan!”43

Inilah wacana baru yang bahkan menjadi awal koreksi tanpa henti terhadap kekuasaan Orde Baru. Gerakan di Indonesia terutama pejuang demokrasi seperti mahasiswa bahkan semakin intens mencari teori-teori Kiri untuk memecahkan persoalan yang mereka hadapi.

Meskipun pelarangan terhadap buku-buku44

Selanjutnya, Dimpos Manalu menjabarkan bahwa kehadiran GSB tersebut merupakan suatu jalan lain dari gerakan sosial yang selama ini bertumpu kepada Marx, yakni pertentangan kelas. Pertentangan kelas populer sebagai ideologi gerakan sosial yang dipelopori oleh kaum buruh. Dengan demikian, gerakan sosial lama (konvensional) bertumpu

berpendirian kiri dilarang peredarannya, namun bagi mahasiswa hal itu bukan menjadi penghalang. Sebaliknya mereka semakin mencari dan membacanya dari tangan ke tangan, walaupun dalam bentuk fotokopian.

43

Penyair asal Solo yang bernama asli Widji Widodo merupakan aktivis yang hilang hingga hari ini. Ia merupakan penyair yang membangkitkan semangat perlawanan, terutama kaum buruh. Menyair tentang kisah pedih sosial-politik Orde Baru sejak 1980 terkenal dengan puisinya berjudul “Peringatan.” Dalam baris terakhir puisi inilah tertulis kalimat bermarwah dan terdengar menusuk bagi rezim Orde Baru: Hanya ada satu kata: Lawan! Pengaruh barisan puisi ini ternyata sangat berdampak bagi gerakan, termasuk gerakan mahasiswa. Tempo, edisi khusus 13-19 Mei 2013.

44

Pelarangan terhadap buku-buku Pramoedya Ananta Toer menandai tahun 80-an sebagai bentuk ketakutan Orde Baru terhadap GSB. Buku-buku yang dilarang beredar ketika itu antara lain, Tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca terbitan Hasta Mitra.


(40)

kepada buruh. Sementara GSB dinyatakan telah meliputi berbagai sektor, salah satunya gerakan mahasiswa.

Demikianlah Forsolima dan KSMM dalam pembahasan ini telah turut bersinggungan dengan kondisi sosial-politik di Medan. Kehadiran keduanya pada dasarnya disebabkan karena kondisi sosial-politik yang tidak pernah lagi menjadi kebanggaan semua orang. Mereka dalam praktiknya menjadi bagian dari gerakan sosial yang berpusat bagi perlawanan terhadap birokrasi militer yang kala itu dilambangkan oleh Soeharto. Sosok Soeharto yang dianggap mewakili keseluruhan sistem yang sewenang-wenang menjadi musuh bersama dalam tujuan mahasiswa mendobrak birokratisasi Orde Baru.

Hadir sebagai organisasi mahasiswa ekstra-kampus, Forsolima dan KSMM, tumbuh dalam dasawarsa terakhir Orde Baru. Meskipun demikian, kehadiran mereka telah memberi kontribusi positif bagi semai dan tumbuhnya alam demokrasi di Medan serta Sumatera Utara.


(41)

BAB II

TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM

2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) tumbuh di Sumatera Utara, antara lain Kelompok Studi Prakarsa dan Pengembangan Masyarakat (KSPPM) yang dideklarasikan pada 1985 di Pematang Siantar dan Bina Keterampilan Pedesaan Indonesia (Bitra Indonesia) berdiri pada 1986 di Medan. Selang beberapa tahun kemudian, di Medan lahir Kelompok Pelita Sejahtera (KPS) yang bergerak di bidang perburuhan. Sedangkan Lentera Rakyat berdiri pada 2000 di Rantau Prapat. Di samping itu berdiri serikat-serikat petani, nelayan, dan gerakan perempuan, seperti Sada Ahmo pada 1990 di Dairi yang juga menjadi bagian dari pergerakan kerakyatan dengan perspektif yang sama, yaitu menolak segala bentuk penindasan terhadap buruh perkebunan dan petani. Dalam perjalanannya, LSM di atas memiliki aliansi dengan aktivis mahasiswa Medan yang memiliki kesamaan visi dalam gerakan sosial.45

Kemunculan LSM merupakan salah satu pilihan bagi masyarakat sebagai wadah kemasyarakatan nonpemerintah. Hilangnya kebebasan berekspresi akibat ketatnya rezim yang berkuasa menyebabkan peran politik rakyat acapkali terhalangi. Lebih jauh, rakyat justru dikebiri atas nama pembangunan yang digadang sebagai upaya penyejahteraan.

45


(42)

LSM yang lebih menekankan kepada isu-isu lokal dengan target daerah dianggap lebih dekat dan mudah disuarakan. Hal ini dinilai tidak elitis. Mereka merupakan lembaga yang dengan serius membantu persoalan petani dan buruh. Gerakan yang kritis terhadap permasalahan yang dialami rakyat. Di pihak lain, konsep pembangunan Orde Baru tidak banyak menolong ketertindasan. Rakyat hanya dijadikan objek pembangunan atau pelengkap yang dianggap tidak perlu turut campur dalam transparansi, pengawasan serta pelaksanaannya. Oleh karena itu, rakyat dialienasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Apa yang disebut dengan trickle down effect46

Koalisi penguasa-pengusaha merupakan keniscayaan untuk membalut konsep pembangunan. Koalisi ini tentu diterjemahkan oleh penguasa sebagai faktor terdepan dalam

tepat menggambarkan posisi ketersisihan masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional. Trickle down effect secara umum didefenisikan sebagai tetesan kemakmuran. Ibarat air dalam gelas yang diisi penuh, namun tidak diberikan kepada orang yang sedang haus. Orang yang sedang membutuhkan seteguk hanya diberikan tumpahan air dari dalam gelas, sehingga si orang yang dahaga menampung tetesan yang meluber tersebut. Apa yang dilakukan dengan teori trickle tersebut sama sekali tidak menjawab persoalan keseharian rakyat. Umpamanya, rakyat diberikan Koperasi Unit Desa sebagai bentuk tetesan untuk menolong rakyat, namun secara makro hal ini justru melemahkan ekonomi masyarakat. KUD tidak menjadi kekuatan yang menggerakkan perekonomian bangsa.

46

Trickle down effect merupakan teori distribusi yang dikembangkan untuk tujuan membantu kaum papa. Terma ini diperkenalkan pada awalnya dalam pidato Ronald Reagen pada Januari 1981. Hal ini dimaksudkan sebagai suplai ekonomi tambahan bagi kaum miskin, sehingga peruntukan ini diprioritaskan guna menolong kaum miskin dari kemiskinannya. Pada masa Orde Baru hal ini sangat terkenal. Sebuah konsep yang berhasil meninabobokan rakyat miskin. www. marxist.com, [diunggah 20 Juli 2013, pukul 09:11 wib.]


(43)

masa pembangunan untuk mengurangi kemiskinan. Konspirasi tersebut mengusung pola dengan konsepsi patron-client yang dikembangkan bersama.

Pembangunan yang dikonsepkan pemerintah saat itu sangat bergantung kepada konsep membangun dengan pendekatan penguatan sekelompok pengusaha handal (konglomerat). Ide mereka seperti disinggung di atas adalah trickle down effect yang mana dengan adanya konglomerat, maka diharapkan menjadi lokomotif yang menarik gerbong pembangunan dengan meneteskan hasilnya ke pengusaha menengah dan kecil, selanjutnya kepada koperasi tingkat desa.47

Pembangunan ini dijalankan dengan menjalin kerja sama dengan investor, sehingga adanya kemajuan akan ditentukan oleh berhasil tidaknya para pemilik modal menanamkan sahamnya. Agar para investor mau datang dan menanam sahamnya di Indonesia, maka salah satu indikatornya adalah faktor keamanan. Setelah keamanan dijamin, maka kenyamanan dipastikan menggoda para investor untuk menanam sahamnya di Indonesia sekaligus mengeruk kekayaan alam di nusantara.

Pemerintah Orde Baru menentukan pembangunan sebagai panglima. Oleh karena itu, rakyat diarahkan untuk mendukung program pemerintah. Dalam rangka menyongsong pembangunan yang memberdayakan handal modal, legitimasi pemerintah merangsek hingga ke seluruh daerah di Indonesia. Pemerintah yang berbicara tentang pemberantasan kemiskinan atas nama pembangunan memaksa rakyat menerima apa adanya tanpa bersikap skeptis. Dengan kata lain, rakyat tidak ditolerir untuk berbicara pembelaan atau mempertanyakan bahkan mereka dipaksa harus menghadapi tekanan.

47

Nelson Siregar dalam Dimpos Manalu (et.al.), Membangun Prakarsa Gerakan Rakyat: Kumpulan Tulisan Memperingati 25 Tahun KSPPM 1983-2008 (Parapat: Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat, 2008), hlm. 468.


(44)

Setiap kali rakyat menolak pembangunan yang dianggap merugikan, pemerintah acapkali juga menghadapinya dengan kekerasan. Kekuasaan semacam ini tidak memberi peluang bagi inisiatif rakyat. Dampaknya, kepastian hukum menjadi tidak ada selain dari penguasa. Populerlah apa yang menjadi pameo pada saat itu, yakni ”segala sesuatu dapat diatur.” Pameo ini dalam pengertiannya menunjuk kepada kekuasaan yang memaksa, dengan kekerasan. Dengan kata lain, ketika ada yang menolak pembangunan yang ingin dilakukan, investor tidak nyaman, pemerintah menjawab dengan pameo tersebut. Karena segala sesuatu dapat diatur, maka rintangan menjadi tidak berarti bagi pemerintah.48

Pembangunan sarat modal/kapitalis dipercaya akan menjadi solusi bagi kemiskinan yang masih terus terjadi. Upaya untuk menyelesaikan persoalan melalui model pembangunan tersebut dianggap merupakan pilihan yang tidak mungkin dihindarkan, sekalipun harus menelan korban.

Sebelum pembangunan berpedoman kapitalis didatangkan, gap antara kota dengan desa telah lama terjadi. Desa ditempatkan dalam titik yang paling parah, yakni sebagai simbol kemiskinan. Sebaliknya kota dilukiskan sebagai tempat orang-orang berada. Seluruh tempat bekerja seolah hanya ada di kota. Kemajuan berkat pembangunan dipandang hanya terdapat di kota, sehingga meninggalkan desa sebagai lumbung sumber daya alam.

Lalu konsep urbanisasi didorong untuk mencari penyelesaian disparitas yang terjadi. Urbanisasi masuk sebagai agenda pemerintah untuk menolong rakyat desa bangkit dari kemiskinan dan ketertinggalannya. Desa ketika itu dicap sebagai posisi yang selalu ketinggalan zaman. Dengan demikian, desa tetaplah sebagai peta kemiskinan, banyak warganya yang buta huruf, sehingga tidak mampu merantau ke kota.

48


(45)

Konsep pembangunan seperti itu akhirnya kian disadari masyarakat semakin menjauhkan mereka dari keadilan dan kesejahteraan. Rakyat mulai jenuh, namun belum berani bersuara untuk mengeluarkan seluruh aspirasi mereka. Akan tetapi kemiskinan yang justru bertambah luas dan hukum tergantung kepada Soeharto. Di sisi lain, kebebasan tersekat membuat bangkitnya kesadaran masyarakat.

Kesadaran awal tersebut menjadi titik balik refleksi kritis bagi para aktivis. Dengan orientasi ekonomi yang tidak mempertimbangkan kebudayaan ternyata mengakibatkan hancurnya tatanan masyarakat. Dengan kata lain, nasionalisme rakyat menjadi terjual. Hal ini ditunjukkan bahwa ideologi yang ada waktu itu dinilai telah membodohi masyarakat, bukan lagi memberdayakan. Perlu ditambahkan lagi bahwa pada tahun 1980-an itu juga banyak kerusakan lingkungan terjadi.49

Di samping kesadaran, dampak negatif pembangunan juga melahirkan perlawanan. Dengan pemahaman ini, beberapa individu yang menyadari hal tersebut, berjuang untuk keluar dan bergabung dengan masyarakat. Kesadaran awalnya menghendaki agar rakyat bisa diperkuat. Hal ini sesuai dengan keniscayaan bahwa kesadaran berpolitik juga merupakan hak masyarakat. Jadi, gagasan untuk memperkuat rakyat akhirnya membutuhkan pengorganisasian yang lebih baik. Pembangunan kesadaran ini kemudian mendorong lahirnya LSM.

Proses pembentukan LSM pada dekade 1980-an secara umum turut dibidani oleh mahasiswa. Pendiri LSM waktu itu bukan saja orang-orang yang sudah alumni dari kampus atau aktivis tua (akademisi maupun pendeta). Keterlibatan mahasiswa yang awalnya telah membentuk KS tidak dapat dipisahkan dari lahirnya LSM, sehingga mahasiswa dengan

49


(46)

orang-orang di LSM seperti tidak menunjukkan adanya perbedaan. Mereka menyatu serta sejalan.50

Pada masa itu, para aktivis mahasiswa Medan belajar dan berjuang bersama dengan LSM. Bergabung bersama LSM merupakan suatu hal yang memiliki keuntungan bagi mahasiswa. Pertama, belajar mengadvokasi kasus-kasus tanah yang dihadapi petani atau buruh dengan turut langsung terjun ke tengah-tengah konflik dan bersama dengan rakyat. Mereka mempelajari cara penanganan kasus yang dihadapi rakyat dan juga live in agar kepekaan sosialnya lebih tajam karena langsung turut merasakan bagaimana persoalan rakyat sehari-hari.

Kedua, menyangkut finansial. Mahasiswa sedikit banyak terbantu dalam hal perut yang sejengkal guna menghemat uang kantong seraya menunggu uang kiriman orangtua yang besarannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari bahkan kurang.51

Aktivis mahasiswa seperti mereka berasal dari kelompok yang anti-kemapanan. Selain itu, mahasiswa memegang prinsip bahwa kesadaran tidak dapat dibeli begitu saja secara materi dengan mengingkari nurani. Lahirnya kegelisahan menjelaskan bahwa idealisme mahasiswa tetap pada garis perjuangannya. Garis perjuangan yang terutama membela kepentingan rakyat, kepentingan kemanusiaan. Dasar inilah yang dilihat, sehingga kebanyakan mereka memilih membidani organisasi kritis yang lepas dari intervensi kampus.

Setelah kebebasan berpolitik praktis ditamatkan oleh Orde Baru, mahasiswa kemudian memilih alternatif lain untuk terus menghidupi idealisme dan keterbebanannya sebagai agen perubah. Hal ini tidak lepas dari inkonsistensi organisasi mahasiswa yang

50

Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.

51


(47)

skopnya nasional yang larut dalam friksi internal. Organisasi tersebut adalah Kelompok Cipayung.52

Gerakan mahasiswa dari Kelompok Cipayung yang diakui secara resmi oleh pemerintah ternyata tidak mampu menyuarakan perubahan serta memiliki kelemahan seperti minimnya gerakan kritis yang diperbuat. Perbedaan terlihat ketika idealisme tidak lagi diusung sebagai prioritas semangat perjuangan mereka. Salah seorang mantan aktivis dalam pendapatnya mengilustrasikan:“Kondisi Kelompok Cipayung di Medan tidak lagi mengusung idealisme, melainkan lebih tertuju terhadap konsep pragmatis. Sebagai contoh, adanya keinginan untuk mengharapkan jabatan yang lebih tinggi.”

53

Kelompok ini acapkali mengutamakan gerakan moral daripada aksi turun ke jalan. Ini terbukti dengan kehadiran kebijakan normalisasi yang diterima dengan baik, fakta yang bertolak belakang dengan ciri kritis aktivis mahasiswa. Kenyataan ini menambah daftar panjang minimnya protes mahasiswa dari Cipayung.

Dalam pada itu, di tubuh Cipayung terdapat juga mahasiswa-mahasiswa yang berpendirian tetap menolak kebijakan pemerintah Orde Baru. Mereka yang tidak sepaham dengan sistem, menghendaki terjadinya perubahan sosial dan juga politik. Namun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi maupun Cipayung, mengalami kemandulan aktivitas politik di kampus akibat birokratisasi kampus serta mengalami stagnasi akibat konflik intern. Hal

52

Kelompok Cipayung merupakan forum bersama lima organisasi mahasiswa: Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Persatuan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia (PMKRI) yang dibentuk pada 22 Januari 1972 di Cipayung, Jawa Barat. Lihat Wem Kaunang (ed.) dalam kelompokcipayung.blogspot.com, [diakses Sabtu, 31 Agustus 2013, pukul 11:57 wib].

53


(48)

tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi sebagian aktivis mahasiswa yang memilih melawan kekuasaan pemerintah.54

Oleh karena itu, beberapa aktivis baik dari Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi meninggalkan kelompoknya masing-masing. Mereka kecewa terhadap organisasinya yang tidak mewadahi kegelisahan. Hal ini terasa kemudian dengan menyoroti kepada gerakan kritis yang telah terbangun sebelumnya oleh organisasi alternatif seperti LSM. LSM banyak memberi inspirasi akan corak pergerakan baru yang lebih militan dan terutama bergerak dari basis. Hal ini didasari bahwa persentuhan langsung dengan rakyat atau basis menjadi contoh yang sangat tepat bagi mahasiswa.

Selain itu di penghujung 1980-an, beberapa KS yang sudah tumbuh masih jauh dari harapan. Mereka masih mengandalkan aksi informasi dan belum berinisiatif membangun gerakan yang berbentuk aksi massa. Jadi, secara umum mahasiswa belum bergerak menyuarakan kondisi sosial-ekonomi-politik yang menjadi persoalan bagi masyarakat. Berkaca terhadap kejadian berupa pembungkaman menjadi indikator utama ketika gerakan mahasiswa belum tercipta.

Sahat Lumbanraja mendeskripsikan ihwal tersebut: “Organisasi mahasiswa tahun 1990-an juga sudah ada. Umpamanya KS, organisasi mahasiswa ekstrakampus dengan skop lokal. Namun beberapa KS tersebut belum kelihatan menonjol atau memberi sinyal kebangkitan gerakan mahasiswa. Dengan kata lain, bahana gerakan mahasiswa masih merupakan hal yang langka.”55

Beberapa aktivis mahasiswa yang tidak lagi sepaham dengan organisasi asalnya, seperti Sahat Lumbanraja, Mulana Samosir, Iswan Kaputra dan sebagainya lebih memilih

54

Denny J.A., op.cit., hlm. 45.

55


(49)

membentuk kelompok baru, yaitu KS. Dengan demikian, mereka memutuskan untuk mengikuti nuraninya, yakni melawan tirani Orde Baru. Demikianlah prolog munculnya KS dasawarsa 1990.

2.2Pengaruh Politik Lokal (Konflik HKBP dan Gerakan Buruh) 2.2.1 Konflik HKBP

Kondusifnya kehidupan sipil dalam negara Orde Baru dimaklumi lewat perantara militer. Hal ini disebabkan oleh pengamanan secara militer merupakan satu-satunya pilihan bagi pemerintah Orde Baru. Intervensi militer acapkali sampai kepada persoalan sehari-hari masyarakat yang sangat jauh dari perkara peperangan ataupun pertempuran. Masuknya militer ke dalam wilayah sipil memaksa siapa saja bertindak menjaga keamanan, meskipun persoalannya hanya sebatas friksi internal Gereja.

Situasi sosial-politik lokal dimulai pada 1992 ketika mencuatnya konflik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).56

56

HKBP merupakan organisasi Gereja yang berdiri secara independen dan memiliki jemaat terbesar Gereja-gereja se-Asia. Secara politis, HKBP mampu memiliki posisi tawar yang besar bagi pemerintah. Namun karena lembaga ini fokus pada peribadatan, maka HKBP tidak terlihat seperti kelompok agama lain. Bandingkan dengan Nadhlatul Ulama atau Muhammadiyah. HKBP dikukuhkan oleh pemerintah RI pada 1958. Ester Indahyani Jusuf (et.al.), Kerusuhan Mei 1998: Fakta, Data dan Analisa, Mengungkap Kerusuhan Mei 1998 sebagai Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Cetakan II (tanpa kota penerbit: Solidaritas Nusa Bangsa (SNB) dan Asosiasi Penasehat Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (APHI) yang difasilitasi oleh Yayasan TIFA, 2008), hlm. 5-6.

Sinode Godang (Musyawarah Akbar) dalam Gereja terbesar Batak Toba memperebutkan pucuk pimpinan yang menyebabkan suhu politiknya merebak ke publik. Friksi ditandai dengan persaingan yang dikategorikan dalam dua kubu.


(50)

Kubu pertama, yaitu grup S.A.E. Nababan, dan kubu yang lain yaitu kelompok P.W.T. Simanjuntak.57

Perebutan kedua kubu ternyata tidak bisa diselesaikan secara internal. Konflik kali ini meluas dari biasanya. Meskipun hanya sebatas perebutan pucuk pimpinan yang dipandang sebagai pengayom jemaat, namun secara politis tidak tersirat memiliki sikap pragmatis. Walaupun begitu, kursi satu di HKBP ternyata merupakan sebuah jabatan yang posisinya harus berada di podium tertinggi.

Untuk alasan pengamanan, Orde Baru turut campur dalam mencari jalan tengah bagi pertikaian selama Sinode Godang. Forum pengambilan keputusan dan bersifat sakral tersebut dilerai oleh pemerintah melalui Panglima Daerah Militer (Pangdam) Bukit Barisan, Mayjen H.R. Pramono pada 23 Desember 1992. Sinode Agung ini dibubarkan oleh pangdam setelah mengambil alih ruang sidang dan akhirnya mengambil keputusan membubarkan sidang.58

Kemudian atas dasar surat keputusan di atas, maka diwujudkan sebuah Sinode Godang Istimewa (SGI) pada 13-14 Februari 1992 di Hotel Tiara, Medan. Sinode tersebut mengukuhkan Pdt. Dr. P.W.T. Simanjuntak sebagai Ephorus dan Pdt. Dr. S.M. Siahaan

57

Perihal adanya kubu dalam konflik ini bukanlah sebagai persaingan biasa yang maju dalam pemilihan pimpinan tertinggi. Konsep demikian yang banyak dipakai dalam sistem demokrasi tentu tidak asing lagi. Sesuai sistem demokrasi, tentu calon yang bertarung absah terlihat dan sepenuhnya. diserahkan kepada konstituen untuk menentukan pemenangnya melalui penggunaan hak suara. Oleh karena itu, dalam konflik HKBP pesta demokrasi seperti itu bukanlah sesungguhnya yang dipertunjukkan. Munculnya Simanjuntak sebagai tandingan Nababan justru datang dari rekayasa beberapa pihak. Intervensi Mayjen Pramono mempertegas rekayasa dan kemudian melakukan Sinode Agung Istimewa secara sepihak. Wawancara dengan Nelson Siregar, Siborong-borong 26 Juni 2013.

58

Tidak hanya membubarkan Sinode, aparat militer bahkan melangkah lebih jauh dengan mengintervensi Sinode Gereja suku tertua di Indonesia. Militer melalui Badan Koordinasi Bantuan Pemantapan Stabilitas Nasional Daerah Sumatera Bagian Utara (Bakorstanasda Sumbagut) mengeluarkan surat keputusan yang mengangkat seorang pejabat Ephorus HKBP, Pendeta Dr. S. M. Siahaan sebagai pimpinan gereja. Keputusan ini adalah yang pertama kali dalam sejarah HKBP sejak 150 tahun. Jusuf, op.cit., hlm. 6.


(51)

sebagai Sekretaris Jenderal (Sekjend).59

Kubu S.A.E. Nababan dalam konflik HKBP dipandang pemerintah memiliki kekuatan di dalam dan luar negeri. Kekuatan yang dimiliki Nababan jika tidak dicegah bisa menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah Orde Baru. Ketika itu, S.A.E. Nababan adalah sosok yang dipandang memiliki kapasitas sebagai pejuang atau aktivis yang melawan kebijakan pemerintah.

Sidang Istimewa ini menjadi indistingtif bagi kubu S.A.E. Nababan karena mereka dikalahkan secara resmi versi SGI.

Beberapa aktivis mahasiswa melihat adanya keganjilan yang terjadi dalam HKBP. Bahkan masyarakat awam juga mampu membaca situasi yang ada sekalipun mereka tergolong antipati terhadap politik. Jadi, hampir seluruh masyarakat mengetahui konflik tersebut. Siswanto adalah salah satu aktivis non-HKBP yang memberi tanggapan sebagai berikut:

“Ketika itu pemerintah melakukan kooptasi di berbagai bidang. Misalnya tiga partai yang ada telah dikooptasi melalui Paket UU 1985. Partai politik pun ditaruh di bawah pembinaan menteri dalam negeri. Masyarakat yang berorganisasi juga dikooptasi dengan hanya memperbolehkan satu organisasi saja. Dalam praktiknya, sering terjadi penegasian, umpamanya, jika pemerintah tidak suka terhadap tokoh tertentu, maka keputusan yang berkenaan dengan tokoh tersebut dalam sebuah wadah bisa dianggap tidak sah. Sebab ketika itu, segala sesuatunya harus se-pengetahuan dan seizin penguasa. Contohnya bisa dilihat dalam tubuh PDI maupun Sinode Godang HKBP. Singkatnya, seluruh sendi-sendi masyarakat dikooptasi oleh pemerintah.”60

Konflik HKBP pada akhirnya mengakibatkan semakin tumbuh dan berkembangnya resistensi dari masyarakat dan mahasiswa. Para mahasiswa bahkan terdorong untuk mengorganisir diri, misalnya di Medan. Perluasan jaringan dan pembahasan lebih banyak lagi bahkan terus digelindingkan mahasiswa. Sebab melihat konflik HKBP, mahasiswa bukan

59

Ibid.

60


(52)

saja prihatin, seterusnya bahkan semakin intensif melakukan pengorganisiran mahasiswa di kampus. Itu sebabnya, konflik HKBP telah turut membangkitkan idealisme mahasiswa.

2.2.2 Gerakan Buruh

Salah satu bukti kesadaran masyarakat (civil society) di awal 1990-an adalah bangkitnya gerakan buruh. Absennya negara terhadap tuntutan para buruh menyebabkan sekat-sekat ketakutan dari kalangan buruh memecah kebuntuan interaksi sosial-politik. Mereka tidak mengindahkan sikap represif pemerintah Orde Baru.

Pembangunan yang selama ini menjadi perhatian pemerintah, dalam kenyataannya banyak merugikan masyarakat. Salah satu yang terlihat jelas adalah adanya kesenjangan dalam hal pengupahan yang dialami oleh kaum buruh. Tidak hanya menyoal upah, para buruh juga diperlakukan sesuka hati. Para pemilik modal dengan seenaknya memberi perintah dan sanksi terhadap buruh kendatipun mereka tanpa daya untuk melawan.61

Sistem politik pemerintah yang sangat mendominasi dalam keadaan di Sumatera Utara dirasakan sebagai tekanan yang terlalu kuat. Kondusifnya Sumatera Utara disebabkan oleh tekanan yang begitu besar dan membungkam hak-hak bersuara para pekerja. Bagi buruh, berbicara sekenanya saja merupakan suatu kewajaran dan hal itu dirasa tidak perlu dipandang sebagai sebuah kerisauan apalagi provokasi. Sementara itu, setiap ada kelompok yang berdiskusi kerapkali diinterogasi, diciduk oleh aparat militer hingga ditindak melalui kekerasan. Setiap kali ada kegiatan berupa diskusi lepas, sesering itu pula aparat Bakorstanasda menjemput mereka dan membawanya ke Komando daerah militer (Kodam) untuk dipaksa diam.

61


(53)

Praktik ini membuat kebebasan buruh semakin terhimpit. Belum lagi nasib mereka di tangan pengusaha yang tidak berperikemanusiaan, di mana pengusaha kerap menganiaya; melakukan pelecehan; serta tidak adanya jaminan tunjangan hari raya (THR), dan kalaupun ada biasanya akan diberikan pengusaha sesuka hatinya. Dengan demikian, pengusaha juga turut diberi keleluasaan oleh pemerintah untuk membuat para buruh semakin terpinggirkan. Buruh dijadikan sapi perahnya pengusaha-penguasa.

Adapun sikap arogan dan represif dari pengusaha-penguasa pada akhirnya turut mendorong terbentuknya Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pada 02 Agustus 1992.62

Di tahun itu juga, buruh mendeklarasikan sebuah forum untuk tempat mereka berani keluar dari kebiasaan lama yang mengungkung kebebasan berserikat maupun berekspresi. Dengan buruh pabrik sebagai basisnya, mereka mendirikan Forum Aspirasi Kaum Buruh. Lewat forum ini mereka mulai turun ke jalan menyuarakan aspirasinya dengan tuntutan utama kenaikan upah. Demonstrasi yang terlaksana lewat forum tersebut mengambil sasaran kantor gubernur. Gubernur Radja Inal Siregar, menyepakati tuntutan para buruh. Sejak itu, disepakati upah buruh naik setiap tahun.

SBSI cabang Medan adalah satu serikat yang memberikan kesempatan bersuara di kalangan kaum buruh. Dengan adanya serikat, kaum buruh dapat memperoleh informasi dan melakukan diskusi yang berkaitan langsung dengan nasibnya. Berbagai peristiwa yang mereka lihat dan alami menjadi perbincangan yang tidak terlewatkan.

62

SBSI didirikan sebagai satu langkah yang ditempuh oleh buruh dalam berserikat. Dengan demikian, ia menjadi organisasi alternatif. SBSI yang dipimpin Muchtar Pakpahan ini kemudian dikenal sebagai SBSI 92. Soegiri CS dan Edi Cahyono, Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru (tanpa kota: Hasta Mitra, tanpa tahun), hlm. 39.


(54)

Keberhasilan tersebut mendapat sambutan positif dari semua kalangan buruh pabrik yang ada di Medan dan sekitarnya. Pembahasan lebih lanjut kemudian dibangun dari waktu ke waktu untuk lebih meningkatkan gerakan supaya lebih membesar. Berangkat dari keyakinan itulah mereka kemudian menyepakati aksi-aksi lanjutan di hari-hari berikutnya. Singkatnya, sejak September 1993 hampir setiap hari ada unjuk rasa buruh di Medan.63

Gerakan buruh di Medan mencapai puncaknya pada 14 April 1994. Dalam gerakan buruh waktu itu, jumlah massa yang turun terhitung sebanyak 50.000 buruh.64 Meskipun demikian aksi demonstrasi berjalan dengan damai dan terorganisir secara rapi, sehingga dari lima tuntutan yang mereka ajukan, hanya satu yang tidak terealisasi, yakni kebebasan berserikat. 65

Pasca-14 Juli 1994, gerakan buruh terus menggelinding hampir ke semua lapisan masyarakat. Dari keberanian gerakan buruh atau gerakan rakyat inilah kemudian gerakan multisektor banyak mendapat pembelajaran karena setiap akumulasi kekecewaan terhadap pemerintah telah diperlihatkan rakyat sejak itu. Pada akhirnya situasi politik di Medan mulai bergejolak untuk merumuskan kembali gerakan-gerakan sosial demi meruntuhkan rezim yang telah terlalu yakin akan sifatnya yang otoriter.

63

Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.

64

Penyebutan angka 50.000 didasarkan pada skripsi sejarah Tongam Panggabean tanpa tambahan analisis, akan tetapi masih diragukan keabsahannya, karena masih mungkin lebih dari jumlah yang ditulis tersebut atau bahkan kurang seperti ditulis Edi Cahyono’s Experience dalam Cerita Kami edisi 1994 sebanyak 25. 000 buruh saja. Oleh karena itu, penulis mengacu pada kategori gerakan tersebut sebagai yang terbesar di masa rezim otoritarian Soeharto di Asia. Tongam Panggabean, Gerakan Serikat Buruh di Medan1971-1990, Skripsi Sarjana Jurusan Sejarah Universitas Sumatera Utara tidak diterbitkan, Medan, 2009.

65

Lima tuntutan utama buruh pada aksi besar-besaran pada 14 April 1994: (1) Kenaikan upah; (2) Kebebasan berserikat; (3) Tetapkan THR; (4) Tuntaskan Kasus PT. Korek Api Deli; (5) Tuntaskan Kematian Rusli buruh Industri Karet Deli (IKD). Wawancara dengan Diapari Marpaung, Medan 04 Juli 2013.


(55)

Salah satu dampak dari menggelindingnya gerakan buruh adalah gerakan mahasiswa. Kampus-kampus di Medan kembali tersulut di mana gerakan mahasiswa sejak pertengahan 1990-an bangkit kembali dan mulai menjamur.

2.3Berdirinya Forsolima dan KSMM 2.3.1 Forsolima

Orde Baru secara kasat mata menutup ruang gerak mahasiswa untuk mengkritisi pemerintah. Peraturan ini terlahir sebagai bentuk respons represif pemerintah bagi pergerakan mahasiswa yang dianggap membahayakan stabilitas nasional. Aktivitas sosial-politik mahasiswa yang menolak konsep pembangunan oleh Orde Baru diartikan sebagai anti-Pancasila dan subversi.66

Untuk menjelaskan pokok pikiran ini, Daoed Joesoef memaparkan keberhasilannya menerapkan kebijakan normalisasi semasa masih Mendikbud: “Sesuai pernyataan terkenal Aristoteles tentang kebijaksanaan, saya menjalankan kebijakan yang mengedepankan

Mahasiswa yang dicurigai melakukan pembelaan terhadap rakyat akan mendapat pengawalan. Ketatnya pengawasan berlaku terus hingga mahasiswa yang melakukan sekadar diskusi atau berkumpul dianggap subversi, lalu diinterogasi bahkan akan diadili tanpa proses pengadilan. Pada akhirnya pemerintah yang telah lama bergulir seperti tidak bosan-bosannya menghentikan segala tindak-tanduk mahasiswa, kecuali dalam urusan belajar. Urusan belajar dimaksud, misalnya Kuliah Kerja Nyata (KKN) ke daerah/desa, membuat pertunjukan musik di kampus, dan kegiatan ekstrakurikuler lainnya yang jauh dari kata politik.

66


(56)

kebijaksanaan dengan menghargai waktu terhadap mahasiswa. Misalnya mengisi waktu dengan menulis, membaca, membuat penelitian, dan tidak selalu di jalan raya.”67

Salah satu keberhasilan kebijakan sterilisasi politik Orde Baru adalah bertahannya Kelompok Cipayung dalam kenyamanan di tengah permasalahan yang melanda hidup rakyat banyak. Hal ini terjadi akibat adanya kooptasi dari pemerintah. Mahasiswa sebagian besar lebih memilih bergelut dengan perebutan ketua Senat Mahasiswa68

Seperti telah diuraikan di atas, bahwa mahasiswa yang bersikap melawan kekuasaan akhirnya memilih menanggalkan simbol keorganisasian. Mereka melihat jika terus berdiam diri, maka perubahan tidak akan datang. Orde Baru akan semakin jaya dan membuat rakyat di Indonesia bertambah sengsara. Sikap militeristiknya akan menjadi adikuasa yang semakin tidak terbendung. Oleh karena itu, atas sikap menolak tunduk kepada Soeharto, aktivis mahasiswa menyepakati pembentukan organisasi baru yang sifatnya lebih bebas dan tegas melawan sistem Orde Baru serta bercita-cita untuk membuat sebuah perubahan sosial dan politik.

di berbagai kampus di Medan dan mengabdi di organisasi induk tanpa ada kepedulian terhadap kesengsaraan rakyat yang sering ditindas oleh penguasa.

Kekecewaan kepada Kelompok Cipayung maupun Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi melahirkan keinginan baru untuk keluar dan mengembalikan idealisme dalam diri

67

Seta Basri dalam

68

Mengenai perebutan ketua Senat Mahasiswa didapatkan atas kesaksian Iswan kaputra dalam wawancara langsung. Beliau menuturkan, lebih lanjut, saat itu gerakan mahasiswa di Medan bahkan dikirimi pakaian dalam perempuan dari Bandung sebagai bentuk keprihatinan gerakan mahasiswa dari Jawa.


(1)

(2)

Gambar 1

Pendidikan Politik Forsolima di Serdang Bedagai, 1996

Gambar 2

Pendidikan Politik Forsolima di Serdang Bedagai, 1996

Gambar 3


(3)

Pendidikan politik KSMM, aula GMKI 1997

Gambar 5


(4)

Gambar 6

Aksi Mahasiswa, 01 Mei 1998 di Medan

Sumber: Harian Mimbar Umum, 01 Mei 1998

Gambar 7

Aksi mahasiswa di DPRD SU, Medan 17 Mei 1998


(5)

Aksi mahasiswa ke DPRD SU, 21 Mei 1998

Sumber: Harian Mimbar Umum, 21 Mei 1998

Gambar 9

Mahasiswa menuntut reformasi


(6)

Gambar 10

Massa mahasiswa menduduki gedung DPRD-SU


Dokumen yang terkait

Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam (Studi Terhadap Gerakan Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat FISIP USU)

2 73 129

Gambaran tentang komitmen keberagamaan Forum Mahasiswa Ciputat (FORMACI) TERHADAP SHALAT: Studi kasus pada Kelompok Studi Forum Mahasiswa Ciputat

0 22 138

Kedai Kopi Pada Mahasiswa (Studi Etnografi Mengenai Kedai Kopi Menjadi Forum Interaksi Bagi Mahasiswa di Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang Kota Medan)

4 42 135

Kedai Kopi Pada Mahasiswa (Studi Etnografi Mengenai Kedai Kopi Menjadi Forum Interaksi Bagi Mahasiswa di Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang Kota Medan)

0 0 11

Kedai Kopi Pada Mahasiswa (Studi Etnografi Mengenai Kedai Kopi Menjadi Forum Interaksi Bagi Mahasiswa di Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang Kota Medan)

0 0 1

Kedai Kopi Pada Mahasiswa (Studi Etnografi Mengenai Kedai Kopi Menjadi Forum Interaksi Bagi Mahasiswa di Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang Kota Medan)

0 0 21

Kedai Kopi Pada Mahasiswa (Studi Etnografi Mengenai Kedai Kopi Menjadi Forum Interaksi Bagi Mahasiswa di Padang Bulan, Kecamatan Medan Selayang Kota Medan)

0 0 16

BAB II TERBENTUKNYA FORSOLIMA DAN KSMM 2.1 Munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat - Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) Dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa Di Medan

0 0 27

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah - Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) Dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa Di Medan

0 0 25

Forum Solidaritas Mahasiswa Medan (Forsolima) Dan Kelompok Studi Mahasiswa Merdeka (KSMM) 1990-1998: Studi Gerakan Mahasiswa Di Medan

0 0 14