BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1 Definisi Diabetes Melitus - Profil Foto Thoraks Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 Dengan Tb Di Rumah Sakit Haji Adam Malik Tahun 2012

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

  2.1.1 Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik dengan ciri hiperglikemia.

  Berdasarkan etiologinya, hiperglikemia terjadi karena sekresi insulin yang menurun, penggunaan glukosa yang menurun dan produksi glukosa yang meningkat yang disebabkan oleh interaksi genetik dan faktor lingkungan. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan bahkan kegagalan beberapa organ seperti mata,ginjal ,saraf,jantung dan pembuluh darah(Powers, 2008 ).

  2.1.2 Diagnosis Diabetes Melitus Menurut PERKENI, diagnosis diabetes melitus didasarkan kepada kadar glukosa darah.

  Pemeriksaan glukosa dilakukan secara enzimatik dengan bahan darah berasal dari darah plasma vena. Adapun kriteria diagnosis diabetes melitus adalah sebagai berikut:

  1.

  ≥ 200mg/dL(11,1 mmol/L). Glukosa Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.

  2.

  ≥ 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Puasa Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam.

  3.

  ≥ 200 mg/dL (11,1 mmol/L). TTGO dilakukan Glukosa plasma 2 jam pada TTGO dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gr glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

  Cara pelaksanaan TTGO yaitu: 1.

  3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari.

  2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

  3. Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa.

  4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak) dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.

  5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 Jam setelah minum larutan glukosa selesai.

  6. Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.

  7. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3 yaitu:

  1. : Normal <140 mg/dL

  2. : Toleransi glukosa terganggu 140 - <200 mg/DL 3. : Diabetes

  ≥200 mg/dL

2.1.3 Klasifikasi Diabetes militus

  Menilai tipe diabetes bergantung pada temuan yang didapat saat melakukan diagnosis dan banyak penderita diabetes yang mengidap tidak hanya satu tipe diabetes saja. Sebagai contoh, penderita yang didiagnosis sebagai diabetes gestasional setelah melahirkan akan mengalami hiperglikemia yang terdiagnosis sebagai diabetes mellitus tipe 2.

  Klasifikasi Diabetes Melitus : 1.

  Diabetes melitus tipe 1 Dekstruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolute A.

  Melalui proses imunologi B. Idiopati 2. Diabetes melitus tipe 2

  Bervariasi mulai yang pedominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relative sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin.

3. Diabetes melitus tipe lain A.

  Defek genetik fungsi sel beta MODY 3 (Kromosom 12, HNF-1α)

  • MODY 1 (kromosom 20 HNF -4α)
  • MODY 2 (kromosom 7,glukokinase)
  • Bentuk MODY lain yang jarang (MODY 4:kromosom 13,insulin promoter
  • factor-1; MODY 6: kromosom 2,NeuroD1;MODY 7: kromosom 9,carboxyl ester lipase)
  • Diabetes neonates transien

  • Diabetes neonates permanen
  • DNA mitokondria
  • Lainnya B.
  • Resistensi insulin tipe A -
  • Sindrom Rabson Mendenhall -

  • Lainnya C.
  • Pakreatitis -
  • Neoplasma -
  • Pankreatopati fibrokalkulus
  • Lainnya D.
  • Akromegali -

  Pentamidin

  Lainnya E. Karena obat/zat kimia

  Hipertiroidisme somatostatinoma

  Sindrom cushing

  Endokrinopati

  Fibrosis kistik hemokromatosis

  Trauma/pankreatektomi

  Penyakit eksokrin pankreas

  Diabetes lipoatrofik

  Leprechaunism

  Defek genetik kerja insulin

  • Feokromositoma -

  • Aldosteronoma -
  • Asam nikotinat
  • Glukokortikoid -

  • Vacor -

  Hormon tiroid

  • Diaxozid
  • Aldosteronoma F.

  Infeksi

  • Rubella congenital
  • CMV
  • Lainnya G.

  Imunologi (jarang)

  • Sindrom stiffman
  • Antibody antireseptor insulin
  • Lainnya H.

  Sindrom genetik lain

  • Sindrom down
  • Sindrom klinefelter
  • Sindrom turner
  • Sindrom wolfram’s
  • Ataksia Friedreich’s
  • Chorea Huntington -

  Sindrom Laurence moon biedl distrofi miotonik

  • Porfiria -

  Sindrom prader willi

  • Lainnya 4.

  Diabetes kehamilan (ADA,2014)

2.1.4 Mekanisme Pembentukan dan Sekresi Insulin

  Insulin dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin dikeluarkan ke dalam darah untuk mengatur kadar glukosa darah ketika sel beta dirangsang oleh kadar glukosa yang meningkat dalam darah. Hormon glukagon,yang dihasilkan oleh sel alfa pankreas,secara bersama-sama bekerja mengatur kadar glukosa darah. Sintesis insulin di mulai dalam bentuk precursor insulin (preproinsulin) di dalam reticulum endoplasma pada sel beta yang oleh enzim peptidase precursor insulin di pecah sehingga membentuk proinsulin yang kemudian dikumpulkan ke dalam vesikel sekretori. Kemudian,dengan batuan enzim peptidase lagi proinsulin diurai menjadi insulin dan peptida-C yang siap untuk dikeluarkan secara bersama-sama melalui membrane sel (Purnamasari, 2009).

  Mekanisme sekresi insulin terjadi dalam beberapa tahapan yaitu tahap pertama ketika glukosa melewati membrane sel melalui GLUT (Glukosa Transporter) kemudian glukosa akan mengalami proses glikolisis dan fosforilasi di dalam sel sehingga membentuk molekul ATP. ATP yang terbentuk kemudian berfungsi untuk membuka dan menutup kanal kalium di membran sel. Penutupan kanal kalium menyebabkan ion K tidak keluar dari dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi membrane sel dan pembukaaan kanal kalsium yang menyebabkan kalsium masuk ke dalam sel. Suasana seperti ini diperlukan untuk mekanisme sekresi insulin yang cukup rumit dan belum sepenuhnya dapat dijelaskan (Purnamasari, 2009).

  2+ Ca

  Glucose

  Insulin Channel K+ channel

  GLUT-2

  Release Opens shut

  Glucose

  ⊕ K +

  Insulin + C peptide Glucose-6-phosphate

  Cleavage

Depolarization

  ATP

  of membrane Proinsulin Glucose signaling

  preproinsulin

  B. cell

  Insulin Synthesis

  Gb.1 Mekanisme sekresi insulin pada sel beta akibat stimulasi Glukosa ( Kramer,95 )

2.1.5 Dinamika Sekresi Insulin

  Secara normal insulin di sekresikan oleh sel beta dalam dua fase yang berbentuk bifasik untuk mengontrol kadar glukosa tetap dalam batas normal. Sekresi fase 1 (acute insulin secretion response=AIR) adalah sekresi yang terjadi segera setelah sel beta mendapat rangsangan,muncul dan berakhir dengan cepat. Pada fase 1 terbentuk puncak yang tinggi karena diperlukan untuk mengantisipasi kadar glukosa yang meningkat setelah makan. Fase 1 diperlukan untuk mengendalikan kadar glukosa postprandial. Setelah fase 1 berlangsung,muncul fase 2 (sustained phase,latent phase) yaitu sekresi insulin meningkat secara perlahan dan bertahan dalam jangka waktu lama. Tinggi puncak pada fase 2 ditentukan oleh jumlah glukosa di akhir fase 1. Jika proses sekresi pada fase 1 tidak maksimal maka terjadi peningkatan sekresi insulin pada fase 2 sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan kadar glukosa postprandial dalam batas normal. Gambar di bawah memperlihatkan dinamika sekresi insulin pada keadaan normal dan disfungsi sel beta (toleransi glukosa terganggu dan diabetes melitus tipe 2)(Purnamasari,2009)

  Intr avenous Second glucose Ph Insulin

  IGT Secr eti on Fir st-Phase

  Nor mal Basal

2.1.6 Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 2

  Diabetes mellitus terjadi karena defisiensi insulin dan berkurangnya sensitifitas jaringan terhadap insulin.Hal tersebut terjadi karena gangguan pada fase 1 yang menimbulkan inadekuat sekresi insulin sehingga terjadi hiperglikemia akut pascaprandial selama 10-30 menit setelah diberikan beban glukosa. Kemudian terjadi peningkatan kerja fase 2 sekresi insulin yang belum menimbulkan gangguan kadar glukosa,tetapi pada tahap dekompensasi barulah timbul keadaan toleransi glukosa terganggu yang selanjutnya apabila terjadi inadekuat mekanisme kompensasi maka terjadi peningkatan glukosa darah postprandial. Keadaan hiperglikemik yang terjadi sejak toleransi glukosa terganggu secara berulang-ulang yang diikuti oleh dislipidemia menimbulkan dampak buruk berupa kerusakan jaringan yang terjadi melalui stress oksidatif maupun proses glikosilasi yang meluas. Resistensi insulin muncul saat proses konvergensi toleransi glukosa terganggu menjadi diabetes mellitus tipe 2 karena pada tahap tersebut terjadi hiperglikemia dan kerusakan jaringan (Purnamasari,2009)

2.2 Tuberkulosis

  2.2.1 Defenisi Tuberkulosis

  Tuberculosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Micobacterium tuberculosis yang berukuran antara 1 dan 5 µm yang sudah di ketahui selama hampir 125 tahun dengan penularan melalui droplet yang terhirup. (West 2013; Wouk,2010) Terdapat dua jenis tuberculosis yaitu tuberculosis laten dan tuberculosis aktif. Tuberculosis laten yaitu manusia pembawa bakteri tidak mengalami sakit dan tidak menularkan bakteri M.tuberculosis kepada orang lain, sedangkan tuberculosis aktif yaitu penderita yang terinfeksi mengalami sakit dan menularkan bakteri M.tuberculosis kepada orang lain melalui droplet. (Wouk,2010)

  2.2.2 Anatomi paru-paru

  Paru kanan lebih besar dan berat dari paru kiri, tetapi lebih pendek dan lebar disebabkan oleh kubah diafragma yang lebih tinggi pada bagian kanan. Paru kanan memiliki tiga lobus yaitu lobus atas,tengah, dan bawah yang dipisahkan oleh fisura oblik dan fisura longitudinal, memiliki tiga lobus bronkus sekunder dan sepuluh segmen bronkus tersier, dan memiliki esophagus dan arkus vena azygos. Paru kiri memiliki dua lobus paru yaitu lobus atas dan lobus bawah yang dipisahkan oleh fisura longitudinalis, biasanya lebih vertikal dari paru kanan dan mendapat dua aliran arteri bronkialis, memiliki dua lobus bronkus sekunder dan delapan sampai sepuluh segmen bronkus tersier, dan memiliki arcus aorta,aorta desenden, dan arteri subclavia dextra (Chung,2012).

  (Netter,2011)

2.2.3 Klasifikasi Tuberculosis Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan tentang keseragaman klasifikasi tuberculosis.

  Dari sistem lama klasifikasi tersebut adalah: 1.

  Pembagian secara patologis Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)

  • Tuberculosis postprimer (adult tuberculosis)
  • 2.

  Pembagian secara aktivitas radiologis Tuberculosis paru aktif (Koch Pulmonum )

  • Tuberculosis nonaktif
  • Bentuk aktif yang mulai menyembuh (Quiescent)
  • 2.2.4 Patogenesis

a. Tuberculosis primer

  M.tuberculosis sering menyerang paru-paru dan menginfeksi intestinal,oropharing dan kulit melalui inokulasi dengan frekuensi yang jarang. Bacil M.tuberculosis sampai di alveoli dan memicu munculnya reaksi infeksi lokal di subpleura. Pada binatang percobaan di temukan neutrofil tidak mampu menghalau bakteri sehingga monosit,derivat makrofag,memfagositosis bakteri tersebut. Dalam beberapa jam, bakteri dibawa ke kelenjar getah bening terdekat. Makrofag terus mengagregasinya sementara bakteri terus bermultiplikasi.

  Lesi akibat makrofag yang terinfeksi melalui pengumpulan monosit terus membesar sehingga setelah beberapa minggu sel T yang diperantarai respon imun melunakkan jaringan nekrosis hingga seperti keju (Barnes et al,2008) b.

   Tuberculosis pascaprimer

  Bakteri M.tuberculosis yang dorman selama bertahu-tahun pada tuberculosis primer akan berkembang menjadi tuberculosis pascaprimer atau TB sekunder akibat penurunan sistem imun seperti malnutrisi,alkohol,diabetes mellitus,AIDS,dan gagal ginjal. (Wulandari dan Sugiri,2013)

  Sarang dini yang awalnya berbentuk sarang pneumonia kecil pada lapangan paru atas berkembang menjadi tuberkel yaitu suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel Histiosit dan sel Datia Langhans(sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh limfosit dan jaringan ikat dalam waktu 3-10 minggu. Nasib sarang pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalur sebagai berikut:

1. Direabsorbsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat 2.

  Sarang yang mula-mula meluas,tetapi segera menyembuh dengan serbukan jaringan fibrosis.ada yang membungkus diri menjadi keras,terjadi perkapuran. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang menghancurkan jaringan ikat sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis menjadi lembek dan membentuk jaringan kaseosa(jaringan keju). Apabila jaringan keju dibatukkan keluar maka terbentuk kavitas yang awalnya berdinding tipis dan lama-kelamaan menebal karena infiltrasi jaringan fibroblas dalam jumlah besar sehingga menjadi kavitas sklerotik (kronik). Perkejuan dan kavitas terjadi karena hidrolisis protein lipid dan asam nukleat oleh enzim yang diproduksi oleh makrofag dan proses yang berlebihan antara sitokin dan TNF-nya.(Amin dan Bahar, 2009)

2.2.5 Diagnosis

  Diagnosis tuberculosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,pemeriksaan fisik,pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

a. Gejala Klinis

  Demam subfebril dan terkadang dapat mencapai 40-41 C yang hilang timbul tergantung dari sistem imun dan ringan beratnya infeksi. Batuk atau batuk darah karena iritasi bronkus sebagai reaksi tubuh untuk membuang produk radang . Sifat batuk pertama yaitu batuk kering yang akan berkembang menjadi batuk produktif ketika terjadi peradangan. Batuk darah merupakan keadaan yang lanjut karena pecahnya pembuluh darah. Batuk darah biasa terjadi pada tuberculosis kavitas, tetapi bisa pada ulkus dinding bronkus. Sesak nafas terjadi pada penyakit lanjut yang menginfiltrasi setengah bagian paru-paru (Amir dan bahar,2009).

  Nyeri dada muncul apabila infiltrasi radang mengenai pleura yang mengakibatkan pleuritis akibat gesekan kedua pleura saat inspirasi dan ekspirasi. Malaise berupa berat badan turun,anoreksia tidak ada nafsu makan,meriang,sakit kepala,nyeri otot,keringat malam yang terjadi hilang timbul tidak teratur dan makin lama makin berat (Amin dan Bahar,2009).

  b. Pemeriksaan Fisik

  Lokasi kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah pada apeks paru. Pada infiltrat yang luas didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi suara nafas bronchial,ronki basah,kasar dan nyaring sedangkan pada infiltrat yang diliputi oleh penebalan pleura didapatkan suara nafas vesikuler melemah.bila kavitas cukup besar pada perkusi didapatkan suara hipersonor dan pada auskultasi suara amforik (Amir dan Bahar,2009).

  Pada TB paru yang lanjut dengan fibrosis yang luas ditemukan atrofi dan retraksi otot- otot interkostal dengan bagian paru yang sakit menciut dan menarik isi mediastinum dan bagian paru yang sehat menjadi lebih hiperinflasi. (Amir dan Bahar, 2009).

  c. Pemeriksaan Radiologi

  Foto rontgen dada adalah pemeriksaan yang sensitive tetapi bukan pemeriksaan yang spesifik untuk mendiagnosis TB. Pemeriksaan standar yang dilakukan adalah foto toraks PA(Albert et al,2008). Menurut Nasution Ely,pada pemeriksaaan foto thoraks memberikan gambaran bermacam-macam yaitu:

  • Adanya kavitas tunggal atau ganda
  • Bayangan bercak milier
  • Bayangan berawan atau bercak
  • Bayangan lesi di lapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah
  • Kalsifikasi • Bayangan efusi pleura,umumnya unilateral
  • Destroyed lobe sampai destroyed lung
  • Schwartze Luasnya lesi yang tampak pada foto thoraks dapat dibagi sebagai berikut: 1.

  Lesi minimal (Minimal lesion) Bila proses TB paru mengenai sebagian kecil dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dengan volume paru yang terletak diatas chondrosternal junction dari iga kedua dan prosesus spinosus dari vertebra toracalis IV dan tidak dijumpai kavitas.

  2. Lesi sedang (moderately advance lession) Proses penyakit lebih luas dari lesi minimal dan dapat menyebar dengan densitas sedang, tetapi luas proses tidak boleh luas dari satu paru atau jumlah dari proses yang paling banyak seluas satu paru atau bila proses tadi mempunyai densitas lebih padat, lebih tebal maka proses tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga pada satu paru dan proses ini dapat/tidak disertai kavitas. Bila disertai kavitas maka diameter semua kavitas tidak boleh lebih dari 4 cm.

  3. Lesi Luas (Far Advance) Kelainan lebih luas dari lesi sedang. Gambaran foto toraks bervariasi bergantung pada infeksi pertama yang muncul. Pasien dengan TB paru primer memiliki gambaran radio opak pada lapangan paru bawah dan adanya efusi pleura. Reaktivasi TB melibatkan bagian apikal dan posterior lobus bawah paru dan bagian superior lobus paru atas (Albert et al,2008).

d. Pemeriksaan Sputum

  Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan yang paling spesifik dan pemeriksaan primer dalam menegakkan diagnosis TB (Khogali et al,2013). Menurut Amin dan bahar,sputum dapat diperoleh dengan cara bronkoskopi diambil dengan brushing atau bronchial washing atau bronchoalveolar lavage (BAL),bilasan lambung. Cara pengambilan dahak dilakukan tiga kali (SPS) : 1.

  Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan 2. Pagi (keesokan harinya) 3. Sewaktu atau spot (pada saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi 3 hari berturut-turut.

  Kriteria sputum BTA positive adalah bila sekurang-kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan. Cara pemeriksaan sediaan sputum yang dilakukan adalah : 1.

  Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop biasa 2. Pemeriksaan sediaan langsung dengan mikroskop flouresens 3. Pemeriksaan dengan biakan (kultur) 4. Pemeriksaan terhadap resistensi obat

2.2.6 Pencegahan

  Pencegahan tergantung pada beberapa strategi yaitu: 1.

  Identifikasi pasien dengan TB aktif,isolasi dan membuat pasien tidak menularkan penyakitnya secepat mungkin untuk meminimalisasi penyebaran.

  2. Mengidentifikasi pasien yang mengalami infeksi laten baru

  3. Melakukan skrining secara berkala khususnya pada populasi berisiko tinggi untuk

  mengidentifikasi individu yang mengalami perkembangan infeksi laten sejak skrining terakhir (Ringel, 2012)

2.3 Efek Diabetes Terhadap Manifestasi Radiologi Tuberkulosis

  Diabetes yang tidak terkontrol dapat menyebabkan banyak komplikasi diantaranya adalah neuropati, gangguan pada pembuluh darah,dan meningkatkan angka kejadian infeksi yang dalam hal ini infeksi terhadap kuman Mikobacterium tuberculosis karena gangguan fungsi endotel kapiler vascular paru dan perubahan kurva disosiasi oksigen akibat kondisi hiperglikemia sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme pertahanan melawan infeksi (Wulandari dan Sugiri, 2013). Mekanisme diabetes menyebabkan tuberculosis bersifat multifaktorial dan mekanisme sebenarnya masih belum diketahui secara pasti yang berhubungan dengan hiperglikemia dan sedikitnya kadar insulin yang memberikan pengaruh terhadap berkurangnya fungsi makrofag dan limfosit sehingga menimbulkan penurunan sistem imunitas.

  Sel imun yang berperan penting terhadap infeksi tuberculosis adalah fagosit(makrofag alveolus) dan limfosit. Diabetes mempengaruhi fagosit dengan memberikan efek kemotaksis, fagositosis, aktivasi, dan presentasi antigen sebagai respon terhadap infeksi Micobacterium

  

tuberculosis . Pada diabetes, sistem kemotaksis monosit tersebut mengalami gangguan dan

  gangguan tersebut tidak memperbaiki kerja insulin. Penelitian yang dilakukan terhadap pasien tuberculosis menunjukkan adanya inaktivasi fagosit dan penurunan produksi hydrogen peroksida. Fagosit berfungsi untuk aktivasi limfosit dan kemudian akan berikatan melalui Fc reseptor dan menghasilkan interleukin 2 untuk meningkatkan proliferasi sel T. Defisiensi insulin menyebabkan gangguan ikatan Fc reseptor (Dooley and Chaisson,2009).

  Diabetes mempengaruhi produksi,pertumbuhan,fungsi dan proliferasi sel T oleh interferon γ yang menyebabkan penurunan konsentrasi interferon γ dan nitric oxide sintase. Aktivitas me nghancurkan yang dimiliki makrofag berasal dari interferon γ yang bergantung pada nitric oxide. Penurunan sistem imunitas pada pasien diabetes dan penurunan fungsi fagosit dan sel T merupakan kemungkinan faktor predisposisi terhadap infeksi seperti tuberculosis. (Dooley and Chaisson,2009) Akibat diabetes terdapat manifestasi radiologi yang masih menimbulkan perdebatan.

  Patel dkk,Faurholt-Jepsen dan Jeon&Murray dalam Wulandari dan Sugiri menunjukkan tidak ada perbedaan profil foto thoraks pasien TB dengan atau tanpa DM tipe 2. Namun,beberapa penelitian yang lain menunjukkan adanya lokasi infiltrat pada lapangan paru bawah pada gambaran foto thoraks.penelitian yang lain menunjukkan gambaran lesi kavitas dengan diameter lebih dari 2 cm jika melibatkan lapangan paru bawah.

  Faktor resiko yang berperan penting dalam manifestasi profil foto thoraks pasien TB dengan DM tipe 2 adalah jenis kelamin,riwayat merokok,riwayat diabetes yang terkontrol atau tidak,lama paparan terhadap penyakit diabetes mellitus (Chiang et al,2014).