Variasi Berat Labur Perekat Phenol Formaldehida Terhadap Kualitas Papan Lamina dari Batang Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Papan Laminasi

  Papan laminasi pertama kali digunakan pada tahun 1893 di Eropa pada sebuah auditorium di Basel, Swiss dengan tipe serat arah melengkung yang menggunakan perekat tulang. Kemajuan pemakaian perekat tulang selama Perang Dunia I antara lain dalam pembuatan papan laminasi struktural untuk pesawat terbang dan bingkai pada komponen bangunan (Schniewind dan Cahn, 1989).

  Menurut Wardhani (1999) saat ini papan laminasi banyak digunakan untuk konstruksi bangunan, perabot rumah tangga dan alat olahraga.

  Papan laminasi adalah papan yang direkat dengan perekat tertentu secara bersama-sama dengan arah serat. Dari potongan-potongan kayu yang kecil dapat dibuat papan laminasi dengan panjang, lebar dan tebal yang dinginkan yaitu dengan cara menyambung ujung-ujung papan dan merekatkan sisi-sisinya (Wardhani, 1999).

  Manik (1997) menjelaskan bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas papan lamina antara lain adalah bahan baku, persyaratan bahan baku adalah memiliki kerapatan serat dan berat jenis yang berdekatan. Selain itu juga perekat yang digunakan harus sesuai dengan tujuan penggunaan papan lamina.

  Hal lain yang harus diperhatikan adalah bentuk sambungan, proses pengeleman dan pengempaan yang akan mempengaruhi kualitas papan lamina.

  Keunggulan teknologi laminasi adalah pengadaan material di pasaran mudah dikarenakan kebutuhan papan pelapis yang digunakan maksimum sebesar 20 mm, juga panjang pelapis tidak dibatasi. Penggunaan material kayu lebih efisien, penyediaan material akan lebih cepat karena potongan kayu yang tipis

  (sampai 5 mm), pendek, serta ada cacatnya masih bisa digunakan untuk konstruksi. Sedikit penggunaan bahan pengikat mekanis dengan dimensi lebih kecil dan bersifat hanya menyatukan permukaan bidang perekatan. Mudah dilakukan pemeriksaan cacat, karena dimensi bahan baku penyusun papan laminasi lebih kecil dan tipis, kekedapan dapat terjamin, konstruksi lebih rigid atau kaku. Pelindungan berganda dapat dilaksanakan, kayu yang kering dan dijenuhkan akan lebih tahan terhadap kerusakan, dan sifat lapisan perekat yang diciptakan khusus juga merupakan perlindungan terhadap kerusakan yang ada (Manik, 1997).

  Disamping kelebihan yang disebutkan di atas, papan laminasi juga memiliki beberapa kekurangan. Jika kayu solid tersedia dalam ukuran yang diperlukan maka proses tambahan dalam pembuatan papan laminasi akan meningkatkan biaya produksinya melebihi kayu gergajian. Pembuatan papan laminasi memerlukan peralatan khusus, perekat, fasilitas pabrik dan keahlian tahap dalam proses pembuatan memerlukan perhatian untuk menjamin produk akhir yang berkualitas tinggi. Faktor yang harus dipertimbangkan di awal dalam desain papan laminasi berukuran besar, lurus atau lengkung adalah penanganan dan pengapalan (Moody et al. 1999).

  Penyusunan Papan Laminasi

  Penyusunan lamina menjadi elemen dengan ukuran yang ditentukan merupakan tahap kritis yang lain dalam proses pembuatan papan laminasi. Papan lamina harus diketam pada kedua permukaannya untuk memperoleh permukaan yang bersih, sejajar dan dapat direkat sebelum dilakukan proses perekatan. Hal ini menjamin susunan akhir akan berbentuk persegi dan tekanan yang diberikan akan merata (Moody et al. 1999).

  Menurut Schniewind dan Cahn (1989), papan laminasi untuk tujuan struktural adalah suatu teknik pembuatan produk yang berbasis tekanan, terdiri atas kumpulan lapisan kayu yang telah terseleksi dan siap digunakan yang saling mengikat dengan adanya perekat. Kayu berkualitas tinggi diperlukan hanya untuk laminasi luar dan kayu berkualitas rendah dapat digunakan dalam laminasi inti (Livingston, 2001 dalam Herawati 2010). Papan laminasi terbuat dari jenis pohon yang cepat tumbuh dapat dimanfaatkan sebagai komponen bangunan struktural untuk pembangunan perumahan atau bagian struktural ringan dalam bangunan (Alamsyah et al., 2005 dalam Herawati, 2010).

  Serrano (2003) menyatakan dengan ringkas bahwa keuntungan penggunaan papan laminasi adalah meningkatkan sifat-sifat kekuatan dan untuk penyesuaian kualitas laminasi dengan tingkat tegangan yang diinginkan dan meningkatkan akurasi dimensi dan stabilitas bentuk. Canadian Wood Council (2000) menyatakan bahwa laminasi adalah cara yang efektif dalam penggunaan kayu berkekuatan tinggi dengan dimensi terbatas menjadi elemen struktural yang besar dalam berbagai bentuk ukuran.

  Potensi Kelapa Sawit

  Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) diketahui berasal dari Guinea di Afrika, dan diperkenalkan ke Indonesia sejak zaman Belanda (1848).

  Kelapa sawit yaitu tanaman sejenis palem-paleman (palmae), buahnya menghasilkan minyak kelapa sawit yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan industri dan rumah tangga (Bakar, 2003).

  Secara rinci, taksonomi kelapa sawit diuraikan sebagai berikut: Kingdom : Plantae Division : Magnoliophyta Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Familia : Arecaceae Genus : Elaeis Spesies : Elaeis guineensis Jacq. (Hadi, 2004).

  

Gambar 1. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis)

  Dalam manajemen produksi perkebunan sawit diketahui bahwa daur ekonomis tanaman ini adalah 25 sampai 30 tahun (Shaari, et al., 1991), sehingga pada akhir periode tersebut harus dilakukan peremajaan kebun. Menurut Febrianto dan Bakar (2004) pada saat peremajaan, tinggi BKS (BKS) dapat mencapai 12 m.

  Apabila 1,5 m batang dari pangkal dan 1 m dari ujung dikeluarkan (karena tidak memenuhi syarat pertukangan) maka dari setiap batang dihasilkan 9,5 m log sawit dengan diameter rata-rata 40 cm. Hal ini berarti dari setiap batang peremajaan

  3 akan dihasilkan sebanyak 1,193 m log sawit.

  Menurut Lubis, et al. (1994) kehadiran limbah batang pada areal perkebunan sawit dianggap sangat mengganggu karena dapat menjadi sarang utama bagi pertumbuhan hama (Oryctus) dan penyakit (Ganoderma), yang kemudian dapat menyerang tanaman muda. Hal ini telah menjadi masalah nasional yang memerlukan solusi efektif bagi perkebunan sawit Indonesia, yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi perkebunan terluas di dunia. Salah satu solusi prospektif yang sejak lama diupayakan oleh berbagai negara penghasil sawit dan lembaga internasional terkait adalah pemanfaatan limbah batang sebagai bahan baku industri perkayuan.

  Hasil penelitian terhadap karakteristik dan kegunaan BKS yang dirangkum oleh Shaari, et al. (1991) menunjukkan bahwa BKS memiliki karakteristik dasar sehingga sukar diolah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Balfas (1998) yang menyatakan bahwa salah satu masalah serius dari pemanfaatan BKS adalah sifat higroskopis yang berlebihan sehingga faktor tersebut menyebabkan papan laminasi yang dihasilkan menyerap air yang sangat banyak. Hal ini didukung penjelasan Bakar (2003) yang mengatakan bahwa jaringan parenkim lebih banyak terdapat pada bagian luar batang ke bagian dalam (pusat) batang sehingga bahan baku BKS perlu diberikan perlakuan pendahuluan sebelum disusun menjadi papan lamina.

  Sifat Fisis Batang Kelapa Sawit

  Haygreen dan Bowyer (1989) mendefinisikan kerapatan sebagai perbandingan berat kayu dengan volumenya. Sedangkan berat jenis adalah perbandingan kerapatan benda dengan kerapatan air. Air pada temperatur 4ºC

  3

  mempunyai kerapatan sebesar 1 g/cm . Oleh karena itu air pada temperatur tersebut dijadikan sebagai benda standar. Semakin tinggi kerapatan maka semakin tinggi pula berat jenisnya.

  Kerapatan BKS sangatlah bervariasi pada setiap bagiannya. Semakin tinggi dan dalam bagian batang maka semakin menurun kerapatannya. Kerapatan 3 3 BKS berkisar antara 200 sampai 600 kg/m dengan rata-rata 370 kg/m . Hal tersebut juga mempengaruhi nilai dari berat jenis BKS dimana semakin tinggi dan dalam bagian batang maka semakin rendah nilai berat jenisnya. Nilai berat jenis (BJ) tepi batang berkisar antara 0,11 sampai 0,15 (Bakar, 2003)

  Banyaknya air yang dikandung pada sepotong kayu disebut kadar air kayu (KA). Banyaknya kandungan air pada kayu bervariasi. Tergantung jenis kayunya, kandungan tesebut berkisar sekitar 40% - 300%, dinyatakan dengan persentase dari berat kayu kering tanur. Berat kayu kering tanur dipakai sebagai dasar, karena berat ini petunjuk banyaknya zat padat kayu (Dumanauw, 1993)

  Kelembaban merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi sifat mekanik. Ketika kelembaban berkurang, kekuatan meningkat. Untuk pengaruh kelembaban dan hasil susunan yang seimbang, sifat mekanik yang ditentukan pada kadar air konstan, yaitu dalam kondisi di atas titik jenuh serat atau dalam kondisi kering udara biasanya 12% dan 15%. (Tsoumis 1991 dalam Herawati 2010).

  Sejumlah air akan tetap tinggal di dalam struktur dinding-dinding sel bahkan setelah kayu diolah menjadi kayu gergajian, finir, partikel, atau produk serat. Sifat-sifat fisik dan mekaniknya memiliki ketahanan terhadap penghancuran biologis, dan kestabilan dimensi produk akan dipengaruhi oleh jumlah air yang ada dan fluktuasinya dengan waktu (Haygreen dan Bowyer, 1989).

  Kadar air (KA) BKS bervariasi antara 100% - 500%, dimana KA tertinggi berkisar antara 345% - 500%. Kadar air pada BKS cenderung turun dari atas batang ke bawah dan dari empulur ke tepi. Perbedaan tersebut disebabkan pada posisi jaringan parenkim yang berfungsi menyimpan atau menahan lebih banyak air daripada jaringan pembuluh. Jaringan parenkim lebih banyak terdapat pada bagian puncak batang dan bagian luar batang ke bagian dalam (pusat) batang (Bakar, 2003).

  Sifat Mekanis Batang Kelapa Sawit

  Sifat mekanis papan laminasi erat kaitannya dengan kekuatan kayu. Sifat mekanis yang dibahas pada penelitian ini adalah keteguhan lentur atau modulus of elasticity (MOE) dan keteguhan patah atau modulus of rupture (MOR) (Darmayadi, 2007). MOE adalah ukuran ketahanan papan laminasi menahan beban dalam batas proporsi (sebelum patah). Modulus elastisitas papan merupakan sifat mekanis papan laminasi yang menunjukkan ketahanan terhadap pembengkokan akibat adanya beban yang diberikan sebelum papan lamina patah.

  MOR merupakan kekuatan serat yang terjadi pada beban maksimum.

  Mamlouk dan Zaniewski, (2006) dalam Sulistyawati, et al. (2008) menjelaskan bahwa MOE adalah kemiringan proporsional garis linear dari kurva tegangan dan regangan. MOR merupakan kekuatan serat yang terjadi pada beban maksimum yaitu pada saat benda mengalami kegagalan (failure), dan dikatakan sebagai kekuatan maksimum.

  Bakar, et al. (1999) menyatakan bahwa untuk bahan konstruksi, kayu dituntut memiliki sifat-sifat mekanis yang memenuhi persyaratan struktural dan keamanan. Selain itu kayu yang digunakan disyaratkan memiliki penyusutan yang kecil, tidak mudah pecah, berserat lurus, ringan dan tidak bercacat. Kelebihan dari BKS yang mendukung persyaratan-persyaratan di atas adalah (1) kelapa sawit mempunyai umur relatif pendek, (2) mudah tumbuh, (3) tidak mengandung cacat mata kayu, (4) berserat lurus, (5) berdiameter cukup besar, serta (6) bentuk batang lurus dan silinder. Lebih lanjut, sifat – sifat dasar dari BKS dapat dilihat pada Tabel 1.

  Tabel 1. Sifat-sifat dasar batang kelapa sawit Bagian dalam batang Sifat-sifat penting Tepi Tengah Pusat Berat jenis 0,35 0,28 0,20 Kadar air, % 156 257 365 2 Kekakuan lentur, kg/cm 29996 11421 6980 2 Keteguhan lentur, kg/cm 295 129

  67 Susut volume, %

  26

  39

  48 Kelas awet

  V V

  V Kelas kuat

  III-V

  V V Sumber: Bakar (2003).

  Perekat Phenol Formaldehida (PF)

  Perekat sintetik komersial di Indonesia yang biasa digunakan untuk perekatan kayu terdiri atas perekat urea formaldehida, melamin formaldehida, phenol formaldehida. Jenis perekat komersial yang lain adalah perekat epoksi, polyvinil asetat, dan perekat berbasis karet. Perekat yang digunakan dalam penelitian ini adalah phenol formaldehida (PF).

  Umemura (2006) dalam Sucipto (2009) menjelaskan kelebihan perekat sintetis seperti PF yang merupakan perekat berbahan dasar minyak bumi (formaldehida) adalah memiliki sifat perekatan yang baik, kelarutan dalam air baik, cepat menjadi stabil dan cocok untuk penggunaan eksterior dan interior.

  Kelemahan perekat sintetis seperti PF adalah ketersediaan sumber bahan baku perekat yang semakin berkurang dan timbulnya emisi formaldehida dari produk material hasil perekatan terhadap lingkungan. Maloney (1993) menambahkan emisi formaldehida dapat menyebabkan gejala pusing, sakit kepala dan insomnia. diperoleh sebagai hasil olahan minyak bumi yang tidak dapat pulih.

  Selbo (1975) dalam Prayitno (1996) menyebutkan dalam proses perekatan digunakan istilah glue spread yaitu banyaknya jumlah perekat yang dilaburkan per satuan luas permukaan bidang rekat. Pelaburan perekat pada satu bidang permukaan disebut single spread sedangkan pelaburan pada dua sisi permukaan disebut double spread. Untuk memperoleh ikatan yang baik antara perekat dengan papan maka sebaiknya digunakan pelaburan perekat pada kedua sisi permukaan atau double spread.

  Berat Labur Perekat

  Dalam proses perekatan ada beberapa faktor yang mempengaruhi kekuatan perekatan, salah satunya adalah berat labur perekat. Pizzi (1983) menjelaskan bahwa berat labur adalah banyaknya perekat yang diberikan pada permukaan kayu, berat labur yang terlalu tinggi selain dapat menaikkan biaya produksi juga akan mengurangi kekuatan rekat, karena akan memberikan penebalan pada garis rekat yang matang, sedangkan berat labur yang terlalu rendah akan mengurangi kekuatan rekat yang disebabkan oleh garis rekat yang terlalu tipis. Blass, et al (1995) juga menjelaskan bahwa garis perekatan pada papan lamina tidak boleh lebih dari 0,1 mm. Garis perekatan pada papan akan retak ketika lebih dari 0,1 mm.

  Menurut Subiyanto, et al. (1995) menjelaskan bahwa semakin tinggi berat labur menunjukkan semakin rendah daya serap air. Hal tersebut dapat diketahui karena dengan semakin banyaknya perekat yang menutupi bagian permukaan maka perekat akan semakin mudah masuk ke dalam serat papan.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN - Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

0 1 25

Tindakan Aborsi Terhadap Kehamilan Akibat Perkosaan Dan Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Prestasi Kerja - Pengaruh Pembagian Kerja Dan Wewenang Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada Pt.Telekomunikasi Indonesia, Tbk Divisi Regional I Madya Medan Sumatera Utara

0 0 27

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Desinfektan - Efektivitas Desinfektan Pine Oil Terhadap Jumlah Angka Kuman Pada Lantai Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Deli Medan 2013

1 1 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Efektivitas Desinfektan Pine Oil Terhadap Jumlah Angka Kuman Pada Lantai Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Deli Medan 2013

0 2 7

d. Tamat Sarjana (S2) PangkatGolongan - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 28

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 58

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Uraian Teoritis - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 31

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang - Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 0 9

Pengaruh Motivasi Dan Kemampuan Pegawai Terhadap Kualitas Pelayanan Publik Pada Dinas Pendapatan Kabupten Tapanuli Tengah Provinsi Sumatera Utara

0 1 10