BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Pembahasan Arsitektur Perilaku - Kajian Penggunaan Ruang Publik Dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku Studi Kasus: PKL Di Jalan Sutomo Medan Dan Sekitarnya

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pembahasan Arsitektur Perilaku

  Arsitektur merupakan seni dan ilmu dalam merancang yang senantiasa memperhatikan tiga hal dalam perancangannya yaitu fungsi, estetika, dan teknologi. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang semakin kompleks maka perilaku manusia semakin diperhitungkan dalam proses perancangan yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku dalam arsitektur.

2.1.1. Pengertian Behaviorisme (Perilaku)

  Kata perilaku menunjukan manusia dalam aksinya, berkaitan dengan aktivitas manusia secara fisik, berupa interaksi manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya (Tandal dan Egam, 2011).

  Teori behaviorisme hanya menganalisa perilaku yang tampak , dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori kaum behavoris lebih dikenal dengan nama teori belajar, karena seluruh perilaku manusia adalah hasil belajar. Belajar artinya perubahan perilaku manusia sebagai pengaruh lingkungan. Behaviorisme tidak mempersoalkan apakah manusia itu baik atau jelek, rasional atau emosional; behaviorisme hanya ingin mengetahui bagaimana perilakunya dikendalian oleh faktor-faktor lingkungan. Dalam arti teori belajar yang lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : Perilaku tertutup, adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan / kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati secara jelas oleh orang lain. Perilaku terbuka, adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek.

2.1.2. Faktor yang mempengaruhi Behaviorisme ( Perilaku)

  Perilaku manusia dan hubungannya dengan suatu setting fisik sebenarnya tedapat keterkaitan yang erat dan pengaruh timbal balik diantara setting tersebut dengan perilaku manusia. Dengan kata lain, apabila terdapat perubahan setting yang disesuaikan dengan suatu kegiatan, maka akan ada imbas atau pengaruh terhadap perilaku manusia. Variabel

  • – variabel yang berpengaruh terhadap perilaku manusia (Setiawan, 1995), antara lain :

  Ruang. Hal terpenting dari pengaruh ruang terhadap perilaku manusia adalah fungsi dan pemakaian ruang tersebut. Perancangan fisik ruang memiliki variable yang berpengaruh terhadap perilaku pemakainya.

  Ukuran dan bentuk. Ukuran dan bentuk ruang harus disesuaikan dengan fungsi yang akan diwadahi, ukuran yang terlalu besar atau kecil akan mempengaruhi psikologis pemakainya. Perabot dan penataannya. Bentuk penataan perabot harus disesuaikan dengan sifat dari kegiatan yang ada di ruang tersebut. Penataan yang simetris memberi kesan kaku, dan resmi. Sedangkan penataan asimetris lebih berkesan dinamis dan kurang resmi.

  Warna. Warna memiliki peranan penting dalam mewujudkan suasana ruang dan mendukuing terwujudnya perilaku-perilaku tertentu. Pada ruang, pengaruh warna tidak hanya menimbulkan suasana panas atau dingin, tetapi warna juga dapat mempengaruhi kualitas ruang tersebut.

  Suara, Temperatur dan Pencahayaan. Suara diukur dengan decibel, akan berpengaruh buruk bila terlalu keras. Demikian pula dengan temperatur dan pencahayaan yang dapat mempengaruhi psikologis seseorang.

2.1.3. Behaviorisme dalam Kajian Arsitektur

  Manusia sebagai makhluk sosial tidak pernah lepas dari lingkungan yang membentuk diri mereka. Diantara sosial dan arsitektur dimana bangunan yang didesain manusia, secara sadar atau tidak sadar, mempengaruhi pola perilaku manusia yang hidup didalam arsitektur dan lingkungannya tersebut. Sebuah arsitektur dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dan sebaliknya, dari arsitektur itulah muncul kebutuhan manusia yang baru kembali (Tandal dan Egam, 2011).

  Manusia membangun bangunan demi pemenuhan kebutuhan pengguna, yang kemudian bangunan itu membentuk perilaku pengguna yang hidup dalam bangunan tersebut dan mulai membatasi manusia untuk bergerak, berperilaku, dan cara manusia dalam menjalani kehidupan sosialnya. Hal ini menyangkut kestabilan antara arsitektur dan sosial dimana keduanya hidup berdampingan dalam keselarasan lingkungan.

  Desain Arsitektur Perilaku Manusia

  Skema ini menjelaskan mengenai “Arsitektur membentuk Perilaku Manusia”, dimana hanya terjadi hubungan satu arah yaitu desain arsitektur yang dibangun mempengaruhi perilaku manusia sehingga membentuk perilaku manusia dari desain arsitektur tersebut.

  Perilaku Manusia membentuk Arsitektur

  Setelah perilaku manusia terbentuk akibat arsitektur yang telah dibuat, manusia kembali membentuk arsitektur yang telah dibangun atas dasar perilaku yang telah terbentuk, dan seterusnya.

  Desain Arsitektur Perilaku Manusia

  “Perilaku Manusia membentuk Arsitektur

  ” dimana desain arsitektur yang telah terbentuk mempengaruhi perilaku manusia sebagai pengguna yang kemudian manusia mengkaji kembali desain arsitektur tersebut sehingga perilaku manusia membentuk kembali desain arsitektur yang baru.

2.2. Pembahasan Ruang

  Ruang merupakan salah satu komponen arsitektur terpenting dalam pembahasan studi hubungan arsitektur lingkungan dan perilaku dikarenakan fungsinya adalah sebagai wadah untuk menampung aktivitas manusia. Konsep mengenai ruang dari masa ke masa selalu mengalami perkembangan. Menurut Setiawan (1995), tiga pendekatan ruang yang paling mendominasi adalah :

  Pendekatan ekologi. Pendekatan ini melihat ruang sebagai suatu ekosistem dan menganggap bahwa komponen-komponen ruang adalah saling terkait dan berpengaruh secara mekanistis. Pendekatan ini cenderung melihat ruang sebagai suatu sistem yang tertutup dan mengesampingkan dimensi-dimensi sosial, ekonomi, dan politis dalam ruang.

  Pendekatan fungsional dan ekonomi. Pendekatan ini lebih mengutamakan fungsionalitas ruang dan analisis ekonominya. Pendekatan ini melihat ruang sebagai sebuah wadah aktivitas dimana lokasi dan jarak merupakan faktor utama. Penataan ruang bukanlah sesuatu yang penting menjaga keseimbangan antara permintaan dan penawaran. Pendekatan sosial politik. Pendekatan ini menekankan pada aspek

  “penguasaan” ruang. Pendekatan ini melihat ruang tidak saja sebagai sarana produksi akan tetapi juga sebagai sarana mengakumulasi power.

  Aspek teritori ruang sangat ditekankan, yakni mengaitkan satuan-satuan ruang dengan satuan-satuan organisasi sosial tertentu.

2.2.1. Ruang Publik 1. Defenisi dan Tipologi Ruang Publik

  Berdasarkan ruang lingkupnya ruang publik dapat dibagi menjadi beberapa tipologi (Carmona, et al ,2003) antara lain : External public space. Ruang publik ini berbentuk ruang luar yang dapat diakses oleh semua orang seperti taman kota, alun-alun, jalur pejalan kaki, dan lain sebagainya. Internal public space. Ruang publik ini berupa sebuah bangunan fasilitas umum yang dikelola pemerintah dan dapat diakses oleh warga secara bebas tanpa ada batasan tertentu, seperti kantor pos, kantor polisi, dan pusat pelayanan warga lainnya.

  External and internal “quasi” public space. Ruang publik ini berupa fasilitas umum yang dikelola oleh sektor privat dan ada batasan atau aturan yang harus dipatuhi warga, seperti mall, restoran dan lain sebagainya. karenanya, public space yang memiliki fungsi ini harus memperhatikan aspek aksesibilitas sarana transportasi serta pemberhentiannya (perparkiran).

  Ketersediaan jalur sirkulasi dan area parkir merupakan elemen penting bagi suatu kota dan merupakan suatu alat ampuh untuk menata lingkungan perkotaan.

  Sirkulasi dapat menjadi alat kontrol bagi pola aktivitas penduduk kota dan mengembangkan aktivitas tersebut. Selain mampu menampung kuantitas perjalanan, sirkulasi di harapkan juga memberikan kualitas perjalanan melalui

  experience nya (Davit dan Kulash dalam Naupan, 2007). Dan sirkulasi yang baik memiliki beberapa indikator, antara lain kelancaran, keamanan dan kenyamanan.

2. Aktivitas dan Interaksi Sosial

  Aktivitas sosial dapat diartikan sebagai kegiatan yang membutuhkan kehadiran orang lain (Zhang dan Lawson, 2009). Kegiatan ini dapat berupa tatap muka, perbincangan, maupun aktivas fisik lainnya seperti bermain atau berolahraga. . Penanganan ruang publik yang kreatif dapat mendukung terbentuknya aktivitas sosial antara orang-orang yang tidak saling mengenal sebelumnya. Sebuah perencanaan ruang publik dapat dikatakan berhasil apabila dapat menampung aktivitas publik secara fungsional, memiliki aksesibilitas yang mudah, nyaman dan terjadi interaksi sosial yang baik didalamnya. Faktor-faktor tersebut juga dapat diuraikan secara terperinci pada gambar 2.1.

Gambar 2.1. Uraian faktor yang mempengaruhi ruang publik Sumber : PPS (Project for Public Space)

2.2.2. Teritori

  Teritori merupakan pola perilaku individu atau sekelompok individu yang didasarkan pada kepemilikan ruang fisik yang terdefinisi, objek atau ide yang melibatkan pertahanan, personalisasi, dan penandaan. Faktor kunci dalam pengelompokan teritori adalah tingkat kebutuhan privasi, keanggotaan atau akses yang diperbolehkan untuk masing-masing tipe. Tipologi teritori secara ringkas disampaikan oleh I. Altman (1975) dalam tabel 2.1.

  Tipe teritori Daya Akses Contoh Teritori Primer Tinggi. Penghuni memiliki

  kontrol penuh terhadap suatu ruang.

  Domisili seseorang (rumah, apartemen, kantor)

  Teritori Sekunder

  Sedang. Memiliki kekuatan selama periode tertentu ketika individu merupakan penghuni yang sah.

  Bangku favorit seseorang di kelas, meja di kantin.

  Teritori Publik Rendah. Kontrol sangat sulit untuk diakses.

  Pantai, taman, ruang tunggu, transportasi umum.

  Teritori dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor yang pertama adalah faktor personal dimana jenis kelamin, usia, kepribadian dan tingkat intelektual mengambil peran. Faktor yang kedua adalah faktor situasional seperti seting fisik, iklim, dan sosial dalam suatu lingkungan mempengaruhi teritori seseorang.

  Crowding adalah suatu situasi dimana seseorang atau sekelompok orang sudah tidak mampu mempertahankan ruang privatnya. Crowding tidak selalu berarti rasio fisik yang tinggi, namun dapat juga berarti pemahaman subjektif seseorang bahwa individu yang hadir di sekelilingnya terlalu banyak. Sama halnya dengan teritori, crowding juga dapat dipengaruhi oleh faktor personal, sosial, dan situasional.

Tabel 2.1. Tipe-tipe teritori Sumber : Altaian, I. 1975. The environment and social behavior.

2.2.3. Crowding

  Dalam skema persepsi yang telah dibahas sebelumnya disebutkan bahwa setelah seseorang mempersepsikan lingkungannya, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Kemungkinan pertama adalah rangsang yang dipersepsikan berada dalam batas optimal sehinga timbulah kondisi homoestatis. Kemungkinan kedua adalah rangsang yang dipersepsikan berada diatas batas optimal atau dibawahnya yang mengakibatkan stress dan manusia harus melakukan perilaku penyesuaian diri. Menurut Sarwono (1992), perilaku penyesuaian diri ini terdiri dari dua jenis, yang pertama adalah mengubah tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan yang disebut dengan adaptasi dan yang kedua adalah mengubah lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku yang disebut adjustment.

1. Adaptasi

  Seperti pembahasan diatas, perilaku penyesuaian diri terhadap lingkungan diawali dengan stress, yaitu suatu keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri seseorang (Baum 1985:188). Reaksi terhadap stress bisa berupa tindakan langsung maupun penyesuaian mental. Contoh dari tindakan langsung adalah migrasi. Misal warga dari suatu wilayah bermigrasi ke negara bagian lain dengan alasan kualitas lingkungan yang mulai rusak, air bersih susah didapat, harga perumahan yang mahal, dan sebagainya. Namun, masih terdapat sebagian warga yang memilih untuk tinggal di daerah tersebut dengan anggapan daripada pindah ke tempat lain yang belum tentu lebih baik keadaannya, lebih baik tetap tinggal di tempat lama. sifat manusia yang mampu belajar dari pengalaman, perubahan tingkah laku agar sesuai dengan lingkungan baru bisa dilakukan secara bertahap.

2. Adjustment

  Perubahan lingkungan agar sesuai dengan tingkah laku manusia dapat dilihat pada berbagai jenis rumah hunian manusia. Manusia mengubah atau memperbaiki lingkungan yang telah ada untuk memenuhi kebutuhan dan tingkah laku mereka. Di pedalaman Sumatera dan Kalimantan terdapat rumah-rumah panggung agar manusia terhindar dari banjir dan binatang buas dimana kolong panggung juga bias dijadikan kandang ternak, lumbung, maupun tempat penampungan air. Rumah di permukiman kumuh kota-kota besar dibuat bersusun keatas agar dapat menampung lebih banyak penduduk. Dari contoh kasus-kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa manusia selalu berusaha untuk merekayasa lingkungan agar sesuai dengan kondisi dirinya. Proses rekayasa lingkungan melibatkan tingkah laku merancang lingkungan dan perwujudannya dalam bentuk nyata. Keseluruhan kegiatan dari merancang sampai melaksanakannya itulah yang dinamakan adjustment.

Gambar 2.2. Rumah susun dan rumah bolon merupakan contoh adjustment masyarakat Sumber : Data sekunder diolah

  Pedagang kaki lima merupakan sektor informal yang keberadaannya senantiasa diabaikan oleh pemerintah kota. PKL dapat ditemukan hampir di seluruh kota dan kebanyakan berada di ruang fungsional kota seperti pusat perdagangan, pusat rekreasi, taman kota, dan tempat-tempat umum yang dapat menarik sejumlah besar penduduk sekitar. Sektor informal menurut Ahmad (2002:73) merupakan kegiatan ekonomi yang bersifat marjinal (kecil-kecilan) yang memiliki beberapa ciri seperti kegiatan yang tidak teratur, tidak tersentuh peraturan, bermodal kecil dan bersifat harian, tempat tidak tetap dan berdiri sendiri, berlaku di kalangan masyarakat yang berpenghasilan rendah, tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, lingkungan kecil, serta tidak mengenal perbankan, pembukuan maupun perkreditan.

  Menurut Kadir (2010), keberadaan PKL sebagai sektor informal dalam kegiatan perdagangan menimbulkan suatu dikotomi karena disatu sisi sektor informal mampu menyerap tenaga kerja terutama pada golongan masyarakat yang memilki tingkat pendidikan dan keterampilan yang rendah serta modal kecil. Namun disisi lain sektor ini merupakan sektor yang tidak memiliki legalitas atau perlindungan hukum dan merugikan sektor formal karena menyebabkan permasalahan lingkungan kota. Hal ini terjadi karena pemerintah kota tidak pernah menyediakan ruang bagi PKL dalam Rencana Tata Ruang Kota.

  Istilah pedagang kaki lima konon berasal dari jaman pemerintahan Rafles, Gubernur Jenderal pemerintahan Kolonial Belanda, yaitu dari kata ”five feet” yang berarti jalur pejalan kaki di pinggir jalan selebar lima kaki. Ruang tersebut digunakan untuk kegiatan berjualan pedagang kecil sehingga disebut dengan pedagang kaki lima (dalam Widjajanti, 2000:28). Kemudian muncul beberapa ahli yang mengemukakan defenisi dari pedagang kaki lima diantaranya menurut McGee (1977:28) menyebutkan PKL sebagai hawkers adalah orang-orang yang menawarkan barang-barang atau jasa untuk dijual di tempat umum, terutama jalan-jalan trotoar.

2.3.2. Karakteristik Pedagang Kaki Lima

  Berdasarkan tipe komoditas yang dijual PKL, MCGee dan Yeung (1977:81) mengelompokkan PKL menjadi empat kategori, yaitu : a.

  Makanan yang tidak diproses dan semi olahan. Makanan yang tidak diproses, termasuk makanan mentah seperti daging, buah-buahan atau sayuran. Sedangkan makanan yang semi olahan seperti beras.

  b.

  Makanan siap saji, yakni penjual makanan yang sudah dimasak.

  c.

  Barang bukan makanan , kategori ini terdiri dari barang-barang dalam skala yang luas, mulai dari tekstil hingga obat-obatan.

  d.

  Jasa , yang terdiri dari beragam aktivitas seperti jasa perbaikan sol sepatu dan tukang cukur. mengelompokkan PKL ke dalam tiga tipe, yaitu : a.

  Pedagang keliling (mobile), pedagang yang dengan mudah dapat membawa barang daganngannya berpindah dari satu tempat ke tempat lain, mulai dari menggunakan sepeda, gerobak atau keranjang.

  b.

  Pedagang semi menetap (semistatic), pedagang ini mempunyai sifat menetap sementara, dimana kios dan tempat usahanya akan berpindah setelah beberapa waktu berjualan di tempat tersebut.

  c.

  Pedagang Menetap (static), sifat layanan pedagang ini memiliki frekuensi menetap yang paling tinggi, dimana lokasi tempat usahanya permanen di suatu tempat seperti di jalan atau ruang-ruang publik dengan membangun kios, maupun jongko.

  Berdasarkan pola penyebaran aktivitas PKL, Mc.Gee dan Yeung (1977:37-38) mengelompokkan PKL menjadi dua kategori, yaitu: a.

  Pola penyebaran mengelompok (focus aglomeration), biasa terjadi pada mulut jalan, disekitar pinggiran pasar umum atau ruang terbuka.

  Pengelompokkan ini terjadi merupakan suatu pemusatan atau pengelompokan pedagang yang memiliki sifat sama / berkaitan.

  Pengelompokan pedagang yang sejenis dan saling mempunyai kaitan, akan menguntungkan pedagang, karena mempunyai daya tarik besar terhadap calon pembeli. Aktivitas pedagang dengan pola ini dijumpai dijumpai pada para pedagang makanan dan minuman.

  b.

  Pola penyebaran memanjang (linier aglomeration), pola penyebaran ini dipengaruhi oleh pola jaringan jalan. Pola penyebaran memanjang ini terjadi di sepanjang/pinggiran jalan utama atau jalan penghubung. Pola ini terjadi ber-dasarkan pertimbangan kemudahan pencapaian, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk mendapatkan konsumen. Jenis komoditi yang biasa diperdagangkan adalah sandang / pakaian, kelontong, jasa reparasi, buah-buahan, rokok/obat-obatan, dan lain-lain.

2.3.3. Pengendalian dan Pengaturan Pedagang Kaki Lima

  Keberadaan PKL dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak yang bersangkutan apabila PK L tersebut “dikendalikan” dalam suatu peraturan.

  Daripada berusaha untuk memberantas PKL, akan lebih baik jika membuat suatu peraturan sebagai kepastian untuk PKL sehingga dapat menjadi suatu potensi yang baik. Beberapa keuntungan dari PKL yang telah terkendali, yaitu: a.

  Mengurangi pengangguran, PKL menjadi salah satu solusi pekerjaan bagi masyarakat berketerampilan rendah agar tetap mampu menampung beban ekonomi keluarganya.

  b.

  Keramahtamahan PKL, keunikan dari gerobak , suasana terbuka, dan aktivitas yang ditimbulkan menciptakan suasana dengan karakter yang lebih hidup yang tidak dapat ditemukan di toko-toko lain.

  Mengawasi keamanan di area berjualan serta memberikan petunjuk jalan bagi orang yang masi asing di daerah tersebut.

  d.

  Membangkitkan aktivitas positif pada suatu daerah.

2.3.4. Studi Banding PKL : Free Market

  Free market merupakan sebuah area yang dikhususkan untuk para petani menjual barang produksi mereka kepada konsumen secara langsung tanpa campur tangan pemerintah dalam perkembangan, pendistribusian, dan penetapan harganya. Sistem pengoperasiannya ditetapkan berdasarkan permintaan dan penawaran (supply and demand) dalam sektor pasar privat.

1. Jin Tai Road Free Market, Beijing

  Sepanjang salah satu jalan utama Beijing di Distrik Chaoyang adalah Jin Tai Road Free Market, pasar yang terorganisir dengan rapi dan berkembang dengan baik. Kios-kios berbaris di sepanjang trotoar di salah satu sisi jalan (gambar 2.3). Terdapat 150 bilik stand untuk para penjual yang mayoritas merupakan pedagang kaki lima, bukan petani. Free market ini beroperasi setiap hari dari pagi hingga siang hari.

Gambar 2.3. Jin Tai Road Free market, Beijing

  Hongdae Free Market di Seoul, Korea.

  Beroperasi hanya setiap hari sabtu dari jam 13.00

  • – 18.00 pada bulan Maret sampai November. Berbeda dengan “fleamarket”yang menjual barang bekas, free market ini merupakan pasar yang penuh dengan karya seni seperti lukisan, kerajinan, dll. Hongdae Free market ini juga sudah merupakan salah satu tempat pariwisata di Korea (gambar 2.4).

Gambar 2.4. Hongdae Free market, Seoul

2.4. Pasar di Indonesia

2.4.1. Defenisi dan Fungsi Pasar

  Pasar merupakan suatu mekanisme yang mempertemukan pembeli (konsumen) dengan penjual (produsen) sehingga keduanya dapat berinteraksi untuk membentuk suatu kesepakatan harga. Cakupan pasar sebenarnya lebih luas dibandingkan dengan pengertian pasar sehari-hari, transaksi pembelian dapat dilakukan melalui alat-alat komunikasi, misalnya telepon, surat, dan internet. Barang-barang yang diperdagangkan pun tidak hanya sebatas barangbarang konsumsi, tetapi juga barang-barang produksi, seperti mesin, bahan mentah, tenaga kerja, dan jasa. Dalam kehidupan sehari-hari, pasar memiliki peran yang sangat penting yaitu sebagai sarana distribusi yang bertugas memperlancar proses harga, dan sebagai sarana promosi.

2.4.2. Jenis-Jenis Pasar Secara umum, pasar terdiri dari dua, yaitu pasar konkrit dan pasar abstrak.

  Pasar konkret adalah pasar tempat pertemuan antara penjual dan pembeli yang dilakukan secara langsung. Misalnya ada los-los, toko-toko dan lain-lain. Di pasar konkret, produk yang dijual dan dibeli juga dapat dilihat dengan kasat mata. Sedangkan pasar Abstrak adalah pasar yang lokasinya tidak dapat dilihat dengan kasat mata.konsumen dan produsen tidak bertemu secara langsung. Biasanya dapat melalui internet, pemesanan telepon dan lain-lain. Dari dua jenis pasar ini, dikelompokan lagi berdasarkan jenis barang, cara transaksi, cakupan, waktu, dan juga strukturnya (gambar 2.5.).

Gambar 2.5. Pemetaan jenis-jenis pasar

1. Menurut Jenis Barang yang Diperjual-belikan Menurut jenis barang yang diperjual-belikan, pasar terdiri dari dua jenis.

  Yang pertama adalah pasar barang konsumsi, dimana barang yang diperjual belikan adalah barang siap pakai atau barang jadi seperti kebutuhan hidup. Pasar berupa sumber daya seperti tenaga kerja.

  2. Menurut Cara transaksi Menurut cara transaksinya, pasar terbagi menjadi pasar tradisional dan pasar modern. Pasar tradisional adalah pasar dimana terjadi tawar menawar secara langsung, barang yang diperjual-belikan juga merupakan bahan pokok. Sedangkan pada pasar modern barang yang diperjual-belikan sudah tertera dalam harga pas dan dengan layanan sendiri. Contohnya di mall dan plaza.

  3. Menurut Luas Kegiatan Distribusi Berdasarkan luasan kegiatan distribusi, pasar terbagi empat jenis yaitu pasar lokal (dalam satu kota), pasar daerah (satu wilayah daerah), pasar nasional

  (satu negara), dan pasar internasional (seluruh dunia).

  4. Menurut waktu terjadinya

  Berdasarkan waktu terjadinya pasar, pasar terbagi empat jenis yaitu pasar harian, mingguan, bulanan, dan tahunan (contohnya pekan raya Jakarta).

  5. Menurut bentuk atau strukturnya

  Menurut strukturnya pasar terbagi dalam dua jenis. Yang pertama dinamakan pasar persaingan sempurna dimana barang yang diperdagangkan homogeny sehingga perseorangan penjual maupun pembeli tidak dapat mempengaruhi harga pasar. Jenis kedua adalah pasar persaingan tidak sempurna dimana penjual dan pembeli memiliki kekuasaan terhadap harga pasar karena barang yang ditawarkan berbeda. Contoh pasar persaingan tidak sempurna seperti monopoli/monopsoni, oligopoli/oligopsoni, dan persaingan monopolistik.

  Meskipun dewasa ini banyak pasar tradisional yang dibangun kembali, upaya revitalisasi ini belum menunjukkan keberhasilan secara signifikan. Hal ini ditandai dengan tidak bertambah ramainya pasar tradisional. Kekurangberhasilan revitalisasi pasar tradisional ini pada beberapa kasus akibat kegagalan dari perancangan bangunan. Keberhasilan perancangan tersebut terlihat pada kenyamanan, aksesibilitas, dan ruang sosial. Kenyamanan pada ruang pasar ditandai dengan pasar yang terlihat bersih, tertata, lapang, tidak pengap dan sumpek, serta terang. Aksesibilitas pasar tradisional ditandai dengan mudah dijangkaunya kios-kios di dalam pasar oleh pengunjung. Ruang sosial di dalam pasar terlihat dengan adanya ruang untuk berinteraksi sosial antara pengunjung, pedagang, dan pelaku lainnya.

  Sebuah kriteria perancangan pasar diungkapkan oleh Duerk (1993) dengan model perancangan pasar berbasis isu. Salah satu aspek terpenting perancangan pasar adalah dari segi aspek arsitektur kota. Permasalahan perancangan pasar tradisional yang termasuk di dalam aspek arsitektur kota menyangkut keberadaan pasar ini didalam kota. Keberadaan pasar tradisional dipengaruhi dan mempengaruhi konteks perkotaan tempat pasar ini akan dibangun. Isu-isu yang termasuk dalam aspek arsitektur kota adalah keterkaitan dengan fungsi sekitar, aksesibilitas dan sistem sirkulasi eksternal, dan respon terhadap bentuk dan ruang kota. Isu, tujuan, dan kriteria perancangan pasar tradisional dalam aspek arsitektur kota tersaji dalam tabel 2.2.

  Isu Tujuan Kriteria

  Menempatkan area loading-

  arsitektur kota Sumber : Ekomadyo A., Hidayatsyah S. 2012.

Tabel 2.2. Isu, tujuan, dan kriteria perancangan pasar tradisional dalam aspek

  Gubahan bentuk pasar harus merespon struktur morfologi Wajah pasar harus selaras dengan karakter arsitektur setempat.

  Respon terhadap bentuk dan ruang Mendapatkan gubahan bentuk bangunan pasar yang sesuai dengan konteks arsitekttur kota

  Jalur pembuangan sampah harus dirancang untuk memudahkan pengangkutan sampah ke tempat pembuangan sampah

  menganggu aktivitas perdagangan Area loading-unloading barang sebaiknya ditempatkan di area yang tidak menganggu sirkulasi pengunjung.

  unloading barang yang tidak

  Menjadikan area parkir sebagai “generator” Area parkir harus diletakkan berkaitan dengan pintu masuk

  Keterkaitan dengan fungsi sekitar

  Luas area parkir harus menampung kendaraan pengunjung

  Menyediakan luas area parkir yang cukup untuk menampung kendaraan pengunjung

  Aksesibilitas dan sistem sirkulasi eksternal harus jelas, efisien, dan tidak menyebabkan kemacetan.

  Mengatur jalur sirkulasi eksternal yang efektif dan tidak menyebabkan gangguan sekitar

  Aksesibilitas dan sistem sirkulasi eksternal

  Fasilitas yang disediakan harus sesuai dengan skala pelayanan pasar Beberapa fungsi harus disediakan berdasarkan analisis potensi kebutuhan pasar untuk menarik pengunjung

  Menentukan fasilitas di dalam pasar yang merespon fungsi-fungsi yang ada di sekitarnya

  Isu, tujuan, dan kriteria perancangan

Pasar Tradisional. Ruang merupakan salah satu elemen arsitektur terpenting yang berfungsi untuk mewadahi aktivitas manusia. Pasar adalah salah satu contoh ruang luar yang memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia sehari-hari. Setiap individu memiliki kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Sebagian besar masyarakat Medan masih menganggap pasar tradisional sebagai tempat yang paling cocok untuk membeli kebutuhan pokok mereka dengan pertimbangan harga, jangkauan, dan kebiasaan.

  Meskipun berbagai upaya revitalisasi sudah dilakukan pada sejumlah pasar tradisional di Indonesia, masih belum ditemukan keberhasihan yang signifikan. Kegagalan dari perencanaan pasar merupakan salah satu sebabnya dimana pengunjung merasa tidak nyaman berada disana. Sebuah perencanaan ruang publik dapat dikatakan berhasil apabila dapat menampung aktivitas publik secara fungsional, memiliki aksesibilitas yang mudah, nyaman dan terjadi interaksi sosial yang baik didalamnya. Salah satu kriteria yang dapat dijadikan pedoman dalam perancangan pasar adalah perancangan berbasis isu oleh Deurk (1993) terkait aspek arsitektur kota.

  Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, perilaku manusia semakin dijadikan tolak ukur dalam perencanaan yang disebut dengan pendekatan arsitektur perilaku (behavioral architecture). Manusia membangun sebuah bangunan atau ruang luar untuk memenuhi kebutuhan manusia dimana setiap individu memiliki persepsi yang berbeda terhadap lingkungan tersebut. optimal, akan terjadi stress yang berujung pada dua hal, yaitu manusia harus mencocokan dirinya dengan lingkungan tersebut (adaptasi), atau manusia harus mengubah lingkungannya agar sesuai dengan perilaku mereka (adjustment) (Sarwono , 1992).

Dokumen yang terkait

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Hubungan Persepsi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Perilaku K3 pada Pekerja Bagian Produksi PT. Supratama Juru Enginering Medan Tahun 2015

0 0 9

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “HUBUNGAN

0 0 18

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1.Infeksi nosokomial - Tindakan Perawat dalam Pencegahan Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Deli Serdang

0 1 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dermatitis Kontak Alergi 2.1.1. Definisi - Hubungan Merokok dengan Kejadian Dermatitis Kontak Alergi

0 0 15

Lampiran 2 INSTRUMEN PENELITIAN Pengetahuan Orang Tua tentang Bullying pada Anak di Kelurahan Bangun Mulia Kecamatan Medan Amplas

0 0 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Pengetahuan Orang Tua tentang Bullying pada Anak di Kelurahan Bangun Mulia Kecamatan Medan Amplas

0 0 9

Dampak Penggunaan Pupuk Kompos Terhadap Pendapatan Usahatani Jagung Di Kabupaten Simalungun (Kasus: Desa Bangun Panei Kecamatan Dolok Pardamean)

0 0 47

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN - Dampak Penggunaan Pupuk Kompos Terhadap Pendapatan Usahatani Jagung Di Kabupaten Simalungun (Kasus: Desa Bangun Panei Kecamatan Dolok Pardamean)

0 0 11

Dampak Penggunaan Pupuk Kompos Terhadap Pendapatan Usahatani Jagung Di Kabupaten Simalungun (Kasus: Desa Bangun Panei Kecamatan Dolok Pardamean)

0 0 13

II. PERSEPSI PENJUAL - Kajian Penggunaan Ruang Publik Dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku Studi Kasus: PKL Di Jalan Sutomo Medan Dan Sekitarnya

0 0 8