BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Krim - Penetapan Kadar Hidrokortison Asetat Dalam Sediaan Krim Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (Kckt)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Krim

  Krim adalah sediaan setengah padat berupa emulsi kental mengandung tidak kurang dari 60% air, dimaksudkan untuk pemakaian luar. Tipe krim ada yaitu: tipe krim air minyak (A/M) dan krim minyak air (M/A). Untuk membuat krim digunakan zat pengemulsi, umumnya berupa surfaktan-surfaktan anionik, kationik, dan nonionik.Untuk penstabilan krim ditambahkan zat antioksidan dan zat pengawet. Zat pengawet yang sering digunakan ialah Nipagin 0,12-0,18%, Nipasol 0,02-0,05% (Anief, 1999).

  Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai konsistensi relatif cair diformulasi sebagai emulsi air dalam minyak atau minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam lemak atau alkohol berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan untuk penggunaan kosmetika dan estetika. Krim dapat digunakan untuk pemberian obat melalui vaginal (Dirjen POM, 1995).

  Krim merupakan sistem emulsi sediaan semi padat dengan penampilan tidak jernih, berbeda dengan salep yang tembus cahaya. Konsistensi dan sifat rheologisnya tergantung pada jenis emulsinya, apakah jenis air dalam minyak atau minyak dalam air, dan juga pada sifat zat padat dalam fase internal (Lachman, 1994).

  Cream, adalah sediaan lunak, setengah padat atau tebal, sediaan cair untuk

  dipakai pada kulit. Basis cream digunakan sebagai pelumas atau sebagai pelindung, tetapi biasanya ditambah obat didalamnya (Anief, 1984).

  Krim minyak dalam air mempunyai air sebagai fase kontinu, dengan tetesan minyak sebagai fase disperse. Untuk krim air dalam minyak, berlaku sebaliknya. Bagian realtif lemak dan cairan mempengaruhi sifat reologi atau aliran suatu krim. Lebih cair konsistensinya maka lebih mudah mengoleskannya sehingga lebih mudah memakai krim ini (Polano, 1987).

  Terdapat patokan klasik dermatoterapi bahwa pada kelainan yang dinamai dermatosis yang mudah terangsang (dermatitis akut dan eksudatif), maka terapi harus dimulai dengan obat yang lembut seperti kompres basah atau pasta penyejuk. Patokan ini tidak menjadi kuno dengan ditemukannya steroid, yang dapat diterima oleh masyarakat karena umumnya dijual dalam bentuk salep atau lebih praktis seperti krim, walaupun kortikosteroid bisa juga digabung dalam pasta penyejuk atau tanpa kortikosteroid tetap sangat diperlukan pada keadaan vesikula atau basah akut dan parah. Pada kasus kurang parah, mungkin cukup krim kortikosteroid saja. Krim menjadi semakin penting dalam dermatologi karena kemajuannya cepat dalam teknologi emulsi serta ditemukannya kortikosteroid. Krim biasanya digunakan siang hari dan salep digunakan pada malam hari, jika diperlukan ia bisa ditutupi dengan perban (Polano, 1987).

  Dalam pembuatan krim diperlukan suatu bahan dasar. Bahan dasar yang digunakan harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu. Kualitas dasar krim yang diharapkan adalah sebagai berikut :

  a. Stabil

  b. Lunak

  c. Mudah dipakai

  d. Dasar krim yang cocok

  e. Terdistribusi merata Fungsi krim adalah:

  a. Sebagai bahan pembawa substansi obat untuk pengobatan kulit

  b. Sebagai bahan pelumas bagi kulit

  c. Sebagai pelindung untuk kulit yaitu mencegah kontak langsung dengan zat-zat berbahaya (Anief, 1999).

2.2 Kulit

  Kulit merupakan suatu organ besar yang berlapis-lapis, di mana pada orang dewasa beratnya kira-kira delapan pon, tidak termasuk lemak.Kulit

  2

  menutupi permukaan lebih dari 20.000 cm dan mempunyai bermacam-macam fungsi dan kegunaan.Sediaan semipadat digunakan pada kulit, di mana umumnya sediaan tersebut berfungsi sebagai pembawa obat topikal, sebagai pelunak kulit, atau sebagai pembalut pelindung atau pembalut penyumbat (oklusif). Kulit berfungsi sebagai pembatas terhadap serangan fisika dan kimia. Beberapa bahan seperti ion nikel, gas mostar, serta minyak dammar dari Rhus toksikodendron, umumnya dikenal sebagai racun ivy, dapat menembus pembatas tersebut, sedangkan umumnya zat-zat lain tidak dapat. Kulit berfungsi sebagai termostat dalam mempertahankan suhu tubuh, melindungi tubuh dari serangan mikroorganisme, sinar ultraviolet, dan berperan pula dalam mengatur tekanan darah (Lachman, 1994).

  Obat kulit digunakan untuk mengatasi gangguan fungsi dan struktur kulit. Gangguan fungsi struktur kulit dapat dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu :

  1. Kerusakan Kulit Akut : kerusakan yang masih baru dengan tanda bengkak, berdarah, melepuh, dan gatal.

  2. Kerusakan Kulit Sub Akut : gangguan fungsi dan struktur kulit, yang telah terjadi antara 7-30 hari, dengan tanda-tanda antara lain bengkak yang makin parah dan sudah mempengaruhi daerah sekelilingnya.

  3. Kerusakan Kulit Kronik : kerusakan yang telah lama terjadi dan hilang serta timbul kembali, dari beberapa bulan sampai bertahun-tahun. Biasanya kulit menjadi tebal, keras dan retak-retak (Sartono, 1996).

  Kulit terdiri bermacam-macam jarigan, termasuk pembuluh darah, kelenjar lemak, kelenjar keringat, organ pembuluh perasa dan urat syaraf, jaringan pengikat otot polos dan lemak. Kulit manusia terdiri dari lapisan yang berbeda : a.

  Epidermis.

  b.

  Dermis.

  c.

  Jaringan subkutan yang berlemak.

  a.

  Epidermis, merupakan lapisan kulit luar, tebal 0.16 mm pada pelupuk mata sampai 0.8 mm pada telapak tangan dan telapak kaki. Epidermis terdiri dari 5 lapisan :

1. Stratum corneum (lapisan tanduk) 2.

  Stratum lucidum (lapisan rintangan) 3. Stratum granulosum (lapisan berbutir) 4. Stratum spinosum (lapisan sel duri) 5. Stratum germinavitum (lapisan sel basah)

  Fungsi epidermis adalah untuk pelindung terhadap bakteri, iritasi kimia, alergi dan lain-lain. Meliputi stratum corneum ada lapisan film lipid teremulsi pH 4,5-6,5 disebut mantel asam dan merupakan film pelindung. Bila pH-nya berubah drastis pemasukan oleh bakteri dan macam-macam penyakit kulit akan meningkat. Stratum corneum merupakan perintang terhadap kehilangan air, beberapa lapis dari sel mati berkeratin sangat hidrofil, bila tercelupdalam air akan mengambang, hal ini menjaga permukaan kulit tetap halus dan lentur (Anief, 1984).

  b.

  Dermis, terdiri anyaman kolagen dan elastin, mengandung pembuluh darah, pembuluh limphe, gelembung rambut, kelenjar lemak, kelenjar keringat, otot, serabut syaraf, dan korpus pacin c. Jaringan subkutan berlemak, bekerja sebagai isolator panas. Absorpsi obat melalui kulit dapat: a.

  Langsung menembus epidermis kulit b. Di antara atau menembus sel stratum corneum c. Menembus kelenjar keringat, kelenjar lemak, dan gelembung rambut (Anief, 1984).

2.3 Obat Kulit

  Efikasi kortikosteroid (corticosteroid) topikal terbukti luar biasa pada pengobatan termatosis inflamasi setelah dikenalkannya hydrocortisone pada tahun 1952.Setelah itu, perkembangan sejumlah besar analog menawarkan potensi pilihan, konsentrasi, serta vehikulum yang ekstensif. Efektivitas teraupetik dari koetikosteroid topikal ada dasarnya tergantung pada aktivitas antiinflamasi-nya. Efek-efek kortikosteroid antimitotik pada epidermis manusia menyebabkan timbulnya mekanisme kerja tambahan pada psoriasis dan penyakit kulit lainnya yang dihubungkan dengan meningkatnya pergantian sel (Katzung, 2004).

  Kortikosteroid krim atau salep penting dalam penanganan berbagai

  penyakit kulit primer, namun dalam mengatasi perasaan gatal pada kebanyakan penyakit sistemik, obat ini hanya kecil artinya. Agaknya kerja obat ini tidak hanya pada inhibisi protease (Walsh, 1997).

  Penyakit alergi. Gejala penyakit yang dasarnya karena reaksi alergi, dapat diatasi dengan glukokortikoid sebagai obat tambahan di samping obat-obat primernya. Keadaan alergi tersebut antara lain: hay-fever, penyakit serum, urtikaria, dermatitis kontak, reaksi obat, edema angioneurotik, dan anafilaksis.

  Kadang-kadang pada reaksi yang gawat, misalnya anafilaksis dan edema, angioneurotik glotis, diperlukan pemberian adrenalin dengan segera (Tanu, 1980).

  Pada penggunaan topikal prednisolon dan metilprednisolon sama aktifnya dengan hydrocortisone.

  Turunan 9α-fluoro hidrokortison aktif topikal, tetapi sifatnya menahan garam membuat mereka tak memuaskan bahkan untuk pemakaian topikal. Steroid 9α-fluorinasi deksametason dan betametason yang kemudian dikembangkan tidak mempunyai keuntungan apapun atas hidrokortison.

  Tetapi triamsinolon dan fluosinolon, turunan asetonid steroid fluorinasi, mempunyai keuntungan jelas dalam terapi topikal. Juga beta metason tidak sangat aktif topikal, tetapi melekat rantai 5-karbon valerat ke posisi 17-hidroksil menghasilkan senyawa lebih dari 300 kali keaktifan hidrokortison untuk pemakaian topikal. Fluosinonid merupakan turunan 21-asetat fluosinolon asetonid, tambahan 21-asetat meningkat aktivitas topikal sekitar 5 kali lipat.

  Fluorinasi steroid tidak diperlukan untuk kekuatan tinggi, hidrokortison valerat dan butirat mempunyai aktivitas yang serupa dengan triamsinolon asetonid (Katzung, 2004).

2.3.1 Penggunaan Klinis

  Kortikosteroid hanya diabsorpsi sedikit setelah digunakan pada kulit normal. Misalnya kira-kira 1% dari dosis larutan hydrocortisone yang digunakan pada ventral lengan bawah akan diabsorpsi. Oklusi jangka panjang dengan film anti tembus seperti pembungkus plastik adalah suatu metode yang efektif untuk meningkatkan absorpsi. Ada suatu perbedaan anatomis regional yang dapat dilihat pada penetrasi kortikosteroid. Dibandingkan dengan absorpsi yang diperoleh dari bawah lengan, hydrocortisone juga diabsorpsi 0,14 kali melalui plantar lengkung telapak kaki, 0,83 kali juga diabsorpsi melalui telapak tangan, 3,5 kali melalui kulit kepala, serta 6 kali melalui kening, 9 kali melalui kulit vulva dan 42 kali kulit skrotum. Penetrasi meningkat beberapa kali lipat pada kulit yang mengalami peradangan pada dermatitis atopik, dan pada penyakit-penyakit pegelupasan

  (eksfoliativa) kulit yang parah, seperti psoriasis eritrodermis, yang tampaknya hambatan penetrasinya berkurang (Katzung, 2004).

  2.3.2 Mekanisme Kerja

  Mekanisme kerja, glukokortikoid alamiah dan sintetik serta steroid antiinflamasi terikat pada reseptor intrasel yang spesifik setelah memasuki jaringan sasaran. Jadi kompleks makromolekul yang terbentuk ini diangkut ke dalam inti, tempat ia berinteraksi dengan unsur kromosom untuk mengubah ekspresi gen. Hormon ini mengubah pengaturan banyak proses sel, termasuk sintesis dan aktivitas enzim, permeabilitas membran, proses trasnpor dan struktur.

  (Katzung, 1989).

  2.3.5 Efek Samping

  Efek samping lokal kortikosteroid topikal meliputi berikut: atropi, yang mungkin tampil sebagai kulit yang tampak cekung, mengkilat, sering seperti kertas rokok yang keriput (Katzung, 1989).

2.4 Hidrokortison

  Hidrokortison asetat (C

23 H

  32 O 6 ) digolongkan ke dalam obat

  antiinflamantori analgesic yaitu obat untuk penyakit yang ditandai dengan adanya rasa nyeri, bengkak, kekakuan, dan gangguan alat fungsi penggerak (Anief, 1996).

  Hidrokortison adalah golongan kortikosteroid yang mempunyai daya kerja antialergi dan antiradang. Kortikosteroid bekerja dengan cara mencegah reaksi alergi, mengurangi peradangan, dan menghambat sel epidermis. Kortikosteroid mencegah reaksi alergi, mengurangi peradangan, dan menghambat pembelahan sel epidermis. Kortikosteriod secara topikal dapat mengganggu pertahanan kulit alami terhadap infeksi sehingga dikombinasikan dengan obat antibiotika (Sartono, 1996).

2.4.1 Sifat Fisika Kimia

  Rumus molekul : C

  21 H

  30 O

  5 Berat molekul : 362,47

  Nama kimia : 11β, 17α, 21 – trihydroxypregn – 4 - ena – 3,20 – dion

  Nama lain : Cortisol Pemerian : Serbuk hablur/kristal putih, tidak berbau, dan rasa pahit Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, dalam eter, agak sukar larut dalam aseton dan dalam etanol, sukar larut dalam kloroform (Dirjen POM,1995).

2.4.2 Uji Kualitatif Hidrokortison

  a. Menggunakan metoda spektrofotometri Hidrokortison dapat diidentifikasi dengan mengukur serapannya pada panjang gelombang tertentu dengan alat spektrofotometri. Dalam pelarut metanol hidrokortison akan memberikan serapan pada panjang gelombang maksimum ± 242 nm. b. Menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT) Kromatografi merupakan teknik pemisahan senyawa-senyawa yang berwarna. Cara ini pertama sekali dipaparkan pada tahun 1903 oleh Michael

  Tswett. Dalam kromatografi, menggunakan dua fase yaitu fase tetap (fase diam atau stationary phase) dan fase gerak (mobile phase), pemisahan senyawa tergantung daripada gerakan dari dua fase ini. Menurut farmakope Indonesia Ed.

  IV, lempeng yang dilapisi dapat dianggap sebagai kolom kromatografi terbuka dan pemisahan yang tercapai dapat didasarkan pada adsorbsi, partisi, atau kombinasi dari keduanya, tergantung dari jenis zat penyangga, cara pembuatan dan jenis pelarut yang digunakan. Larutan uji ditotolkan pada plat KLT diikuti dengan penotolan larutan baku. Maka noda larutan uji akan menunjukkan warna dan harga Rf yang sama dengan noda larutan baku.

2.4.3 Uji Kuantitatif Hidrokortison

  Pengujian hidrokortison dapat dilakukan dengan secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) atau High Performance Liquid Chromatography (HPLC) merupakan suatu teknis analisis obat yang paling cepat berkembang. Cara ini ideal untuk analisis beragam obat dalam sediaan dan cairan biologi karena sederhana dan kepekaannya tinggi. KCKT biasanya dilakukan pada suhu kamar, jadi senyawa yang tidak tahan panas dapat ditangani dengan mudah. Peralatan KCKT memiliki kepekaan yang sangat tinggi sehingga menghasilkan data yang lebih akurat dan membutuhkan waktu yang tidak lama. Kepekaan dari peralatan KCKT sangat tinggi sehingga menghasilkan data yang lebih akurat dan membutuhkan waktu yang tidak lama. Cepatnya perkembangan KCKT didukung oleh perkembangan peralatan yang handal dan kolom yang efisien.

  Kegunaan umum KCKT adalah untuk pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian

  

(impurities) , analisis senyawa-senyawa tidak menguap (non-volatil), penentuan

  molekul-molekul netral, ionik, isolasi dan pemurnian senyawa, pemisahan senyawa-senyawa yang strukturnya hampir sama, pemisahan senyawa-senyawa dalam sejumlah sekelumit (trace elements), dalam jumlah banyak, dan dalam skala proses industri (Rohman, 2007).

  KCKT merupakan salah satu metode yang mempunyai banyak keuntungan, diantaranya adalah sebagai berikut:

  1. Cepat : untuk analisis yang tidak rumit, dapat dicapai waktu analisis kurang dari 5 menit.

  2. Daya pisahnya baik : kemampuan pelarut berinteraksi dengan fase diam dan fase gerak memberikan parameter pencapaian pemisahan yang dikehendaki.

  3. Peka / detektor unik : detektor yang dipakai adalah UV 254 nm yang dapat mendeteksi berbagai jenis senyawa dalam jumlah nanogram.

  4. Kolom dapat dipakai kembali tetapi mutunya turun. Laju penurunan mutunya bergantung pada jenis cuplikan yang disuntikkan, kemurnian pelarut, dan jenis pelarut yang dipakai.

  5. Ideal untuk molekul besar dan ion. Mudah memperoleh kembali cuplikan : karena detector tidak merusak cuplikan. Pelarut dapat dihilangkan dengan penguapan (Johnson, 1991).

2.5 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT)

  2.5.1 Prinsip

  Suatu fase gerak cair dipompa di bawah tekanan melalui kolom baja yang mengandung partikel-partikel fase diam dengan diameter 3-10 um. Analit tersebut dimasukkan ke dalam bagian atas kolom melalui katup lengkung dan pemisahan suatu campuran berlansung sesuai dengan lamanya waktu relatif yang dibutuhkan oleh komponennya di dalam fase diam. Perlu diperhatikan bahwa semua komponen di dalam campuran membutuhkan waktu yang kurang lebih sama dalam fase gerak agar dapat keluar dari kolom. Pemantauan eluen kolom dapat dilakukan dengan berbagai detektor (Watson, 2009).

  Fase diam menggunakan silika gel, yang dalam molekulnya terdapat rantai oktadesil yang terikat secara kimia, ikatannya stabil terhadap hidrolisis dan mempunyai gabungan sifat hidrofilik dan hidrofobik, karena pada ujung rantai terdapat gugus eter silil dan alkil pada bagian tengah. Fase gerak merupakan campuran antara metanol atau asetonitril dengan air atau larutan dapar. Pada penggunaan fase gerak yang mengandung air, ikatan kimia fase diam mempunyai sifat seperti sistem terbalik (Sardjoko, 1993).

  2.5.2 Ciri-ciri KCKT Ciri-ciri KCKT sangat cocok untuk menetapkan koefisien partisi.

  Keuntungan metode KCKT untuk menetapkan nilai lipofilisitas terutama bagi senyawa lipofilik tinggi, mempunyai jarak pengukuran yang sangat luas, dan tidak memerlukan proses pemurnian. Kerugiannya hanya dapat dipakai bagi seri senyawa homolog, senyawa yang bersifat basa memerlukan penambahan senyawa amina pada eluen untuk menekan interaksi antara sampel dengan sisa gugus sianol fase diam supaya menghasilkan log k’ yang tinggi, dan juga jarak pH yang terbatas yaitu (2.0-8.0) (Sardjoko, 1993).

  KCKT paling sering digunakan untuk menetapkan kadar senyawa- senyawa tertentu seperti asam-asam amino, asam-asam nukleat, dan protein- protein dalam cairan fisiologis, menentukan kadar senyawa-senyawa aktif obat, produk hasil samping proses sintetis, atau produk-produk degradasi dalam sediaan farmasi, memonitor sampel-sampel yang berasal dari lingkungan, memurnikan senyawa dalam suatu campuran, memisahkan polimer dan menentukan distribusi berat molekulnya dalam suatu campuran, kontrol kualitas, dan mengikuti jalannya reaksi sintetis (Rohman, 2007).

2.6 Cara Kerja KCKT

  Kromatografi merupakan teknik yang mana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini melewati suatu kolom kromatografi. Penggunaan kromatografi cair secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai macam kondisi operasional seperti jenis kolom, fase gerak, panjang dan diameter kolom, kecepatan alir fase gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel.

  Ukuran tujuan memilih kombinasi kondisi kromatografi yang terbaik, maka dibutuhkan pemahaman yang mendasar tentang berbagai macam faktor yang mempengaruhi pemisahan pada kromatografi cair (Rohman, 2007).

  Instrument KCKT pada dasarnya terdiri atas beberapa komponen pokok yaitu :

  1. Tandon pelarut Bahan tandon harus lembab terhadap fase gerak berair dan tidak berair.

  Sehingga baja anti karat dan gelas menjadi pilihan. Baja anti karat jangan dipakai pada pelarut yang mengandung ion halida dan jika tandon harus bertekanan, hindari penggunaan gelas. Daya tampung tandon harus lebih besar dari 500 ml di gunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir 1 – 2 ml / menit (Munson, 1991).

  2. Pipa Sifat pipa merupakan penyambung dari seluruh bagian sistem. Garis tengah dalam pipa sebelum penyuntik tidak berpengaruh, hanya saja harus lembab, tahan tekanan dan mampu dilewati pelarut dengan volume yang memadai (Munson, 1991).

  3. Pompa Pompa yang cocok digunakan untuk KCKT adalah pompa yag mempunyai syarat sebagaimana syarat wadah pelarut yakni: pompa harus inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum dipakai untuk pompa adala gelas, baja tahan karat, teflon, dan batu nilam. Pompa yang digunakan sebaiknya mampu memberikan tekanan sampai 5000 psi dan mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan alir 3 mL/menit. Untuk tujuan preparatif, pompa yang digunakan harus mampu mengalirkan fase gerak dengan kecepatan 20 mL/menit (Munson, 1991).

  4. Penyuntik / Sistem penyuntik Cuplikan Teknik penyuntikan harus dilakukan dengan cepat untuk mencapai ketelitian maksimum pada analisis kuantitatif, yang terpenting adalah sistem harus dapat mengatasi tekanan balik yang tinggi tanpa kehilangan terokan (fase gerak).

  Pada saat pengisian terokan, terokan dialirkan melewati keluk dan kelebihannya dikeluarkan ke pembuang. Pada saat penyuntikan, katup diputar sehingga fase gerak mengalir melewati keluk kolom. Presisi suntikan terokan dengan suntik keluk ini dapat mencapai RSD 0.1% (Munson, 1991).

  5. Kolom Kolom merupakan jantung kromatograf, kebersihan atau kegagalan analisis tergantung pada pilihan kolom dan kondisi kerja yang tepat. Dianjurkan untuk mamasang penyaring 2 μm dijalur antar penyuntik dan kolom, untuk menahan partikel yang dibawa fase gerak atau terokan, hal ini dapat memperpanjang umur kolom. KCKT biasanya adalah UV 254 nm. Bila tanggapan detektor lebih lambat dari elusi sampel timbullah pelebaran pita yang memperburuk pemisahan. Pemilihan detektor KCKT tergantung pada sifat sampel, fase gerak dan kepekaan yang tinggi dicapai (Munson, 1991).

  Kolom dapat dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :

  a. Kolom analitik : garis tengah dalam 2-6 mm. untuk kemasan makropartikel panjang kolom 50 - 100 cm, untuk kemasan mikropartikel biasanya panjang kolomnya 10-30 cm.

  b. Kolom preparatif : garis tengah 6 mm atau lebih besar dan panjang 25-100 cm (Johnson,1991).

  6. Detektor Detektor harus memberikan cuplikan, tanggapan yang dapat diramalkan, peka, hasil yang efisien dan tidak terpengaruh oleh perubahan suhu atau komposisi fase gerak. Detektor yang dipakai pada KCKT biasanya adalah UV 254 nm. Bila tanggapan detektor lebih lambat dari elusi sampel timbullah pelebaran pita yang memperburuk pemisahan. Pemilihan detektor KCKT tergantung pada sifat sampel, fase gerak dan kepekaan yang tinggi dicapai (Munson, 1991).

  6. Penguat Sinyal Pada umumnya sinyal yang berasal dari detektor diperkuat terlebih dahulu sebelum disampaikan pada alat perekam otomatik yang sesuai, biasanya berupa suatu perekam potensiometrik. Dapat pula sinyal dikirimkan kepada suatu integrator digital elektronik untuk mengukur luas puncak kromatogram secara otomatik ( Munson, 1991).

7. Perekam

  Perekam yang berfungsi merekam atau menunjukkan hasil pemeriksaan suatu senyawa berupa peak (puncak). Dari daftar tersebut, secara kualitatif kita dapat mengetahui senyawa apa yang diperiksa (Munson,1991).

Dokumen yang terkait

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)

1 3 33

BAB I PENDAHULUAN - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)

0 0 7

PENENTUAN JUMLAH DAN LOKASI HALTE MONOREL DENGAN MODEL SET COVERING PROBLEM (STUDI KASUS : RENCANA PEMBANGUNAN MONOREL MEDAN- KORIDOR I) TUGAS AKHIR - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembang

0 3 12

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

1 0 32

BAB II URAIAN TORITIS 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Komunikasi - Employee Relations dan Kepuasan Kerja

0 0 23

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian - Employee Relations dan Kepuasan Kerja

0 0 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Pengaruh Campuran Bahan Bakar Premium, Hidrogen, Dan Etanol 96% Terhadap Performansi Dan Emisi Gas Buang Esin Genset Otto

0 0 21

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Industri pangan - Identifikasi Zat Pemutih Klorin Pada Ikan Asin Yang Beredar Di Pasar Durian Medan

0 0 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Kloramfenikol - Penetapan Kadar Kloramfenikol Dalam Sediaan Kapsul Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

1 0 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tanaman Minyak Kayu Putih 2.1.1 Sistematika Tanaman - Penentuan Bobot Jenis Dan Indeks Bias Serta Kelarutan Dalam Etanol Dan Putaran Optik Minyak Kayu Putih (Melaleuca Leucadendron)

0 0 23