BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Penentuan Jumlah dan Lokasi Halte Monorel dengan Model Set Covering Problem(Studi Kasus: Rencana Pembangunanan Monorel Medan- Koridor I)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rencana Pembangunan Monorel di Kota Medan

2.1.1. Monorel

  Monorail atau Monorel yang memiliki arti satu rel adalah sebuah metro atau rel

  dengan jalur yang terdiri dari rel tunggal. Sementara kereta biasa atau konvensional memiliki dua rel paralel. Rel kereta monorel sendiri terbuat dari beton dan untuk roda keretanya terbuat dari karet, sehingga suara kereta api monorel tidak akan sebising kereta api konvensional. Tidak hanya itu, dalam monorel biasanya jalur keretanya ditempatkan di atas tiang-tiang, jadi monorel tidak akan memakan atau mempersempit jalur jalanan lainnya (Parekh, 2013). Menurut jenisnya, monorel terdapat dua tipe (Parekh, 2013) :

1. Suspended type

  Tipe suspended adalah tipe monorel dimana kereta bergantung dan melaju di bawah rel. Dalam tipe jenis ini, keretanya menggantung karena jalur relnya berada diatas atau dengan kata lain lebih mirip dengan kereta gantung.

  Gambar 2.1

  Ilustrasi monorel tipe straddle-beam 2. Straddle-beam type Tipe straddle-beam ini adalah tipe monorel dimana kereta berjalan diatas rel. Tipe straddle-beam ini memiliki konsep yang sama dengan kereta biasa, dimana kereta berjalan diatas jalur rel.

  Gambar 2.2

  Ilustrasi monorel tipe suspended Monorel yang merupakan moda angkutan umum yang pertama sekali dibuat pada tahun 1820 oleh Ivan Emanov, sampai saat ini telah dioperasikan di 20 negara, dan yang telah melayani 40 kota besar di dunia. Monorel sebagai suatu sistem juga memiliki kelebihan dan kekurangan (Adiputra dan Ardiansah, 2012).

  Kelebihan dari sistem monorel adalah: 1.

  Membutuhkan ruang yang kecil baik ruang vertikal maupun horizontal. Lebar yang diperlukan adalah selebar kereta dan karena dibuat di atas jalan hanya membutuhkan ruang untuk tiang penyangga.

  2. Terlihat lebih “ringan” daripada kereta konvensional dengan rel terelevasi dan hanya menutup sebagian kecil langit.

  3. Tidak bising karena menggunakan roda karet yang berjalan di beton.

  4. Bisa menanjak, menurun, dan berbelok lebih cepat dibanding kereta biasa.

  5. Lebih aman karena dengan kereta memegang rel, resiko terguling jauh lebih kecil. Resiko menabrak pejalan kaki pun sangat minim.

  6. Lebih murah untuk dibangun dan dirawat dibanding kereta bawah tanah. Sedangkan kekurangan dari sistem monorel adalah: 1. Dibanding dengan kereta bawah tanah, monorel terasa lebih memakan tempat.

  2. Dalam keadaan darurat, penumpang tidak bisa langsung dievakuasi karena tidak ada jalan keluar kecuali di stasiun.

  3. Kapasitasnya masih dipertanyakan.

  4. Biaya dan energi yang cukup tinggi (untuk monorel yang menggunakan ban karet) dan dan pergantian yang lebih lambat jika dibandingkan dengan sistem rel biasa.

2.1.2. Rute Monorel

  Adapun Feasibility Study rute monorel Kota Medan dibagi 5, yaitu : 1. Rute I (Loop) : Jalan Balai Kota–Jalan Guru Patimpus–Jalan Gatot Subroto–Jalan

  Gagak Hitam

  • –Jalan Ngumban Surbakti –Jalan AH Nasution –Jalan Sisingamangaraja –Jalan Mesjid Raya –Jalan Katamso–Pemuda–Jalan Ayani –Jalan Balai Kota.

  2. Rute 2 (Komuter) : Jalan Gatot Subroto (Lotte Mart)–Jalan Asrama–Jalan Cemara –Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim–SP. Menteng.

  3. Rute 3 (Komuter) : Jalan Pinang Baris–TB Simatupang–Jalan Gatot Subroto–Jalan Asrama

  • –Jalan Cemara-Kolonel Bejo–Jalan Pancing–Jalan Aksara–Jalan AR Hakim –SP. Menteng–Jalan Menteng–Sungai–Terminal Amplas.

  4. Rute 4 (Komuter) : Jalan Jamin Ginting (Laucih/Stasiun bis)– Setia Budi – Dr Mansur

  • –Jamin Ginting – Patimura/S.Parman–Sudirman – Pangeran
Diponogoro - Pengadilan - Raden Saleh – BalaiKota (Lapangan Merdeka). Moh.Yamin – Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol.

  5. Rute 5 (Komuter) : Jalan Jendral AH Nasution (Depan jalan karya wisata)– menyusuri sungai ke Carefour

  • –Jamin Ginting– Patimura/SP arman–Sudirman– Pangeran Diponogoro –Pengadilan Raden Saleh– BalaiKota (Lapangan Merdeka).Moh.Yamin –Letda Sujono dan berhenti di sekitar akses Jalan Tol .

2.2. Sistem Transportasi Perangkutan adalah usaha terhadap jarak karena ada perpindahan dari ke A ke B.

  Keadaan tersebut terbentuk karena ada kegiatan, yaitu kegiatan di A yang ingin mencapai

  B, dan kegiatan di B yang menginginkan pelayanan dari A. Kemudian diwujudkan dalam gerak pelayanan dari A menuju B. Gerak ini menggunakan sarana dan prasarana yang kesemuanya adalah hasil teknologi. Jadi angkutan terjadi karena adanya kegiatan, pergerakan dan teknologi.

  Sistem transportasi perkotaan harus di tata dan disesuaikan dengan perkembangan ekonomi, tingkat kemajuan teknologi, kebijakan tata ruang dan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Dalam merencanakan sistem transportasi keempat aspek menjadi dasar acuan sehingga masalah-masalah yang timbul dari sistem transportasi yang tidak tepat dapat diperkecil.

  Dampak dari pertumbuhan perekonomian di negara berkembang dapat dilihat dengan meningkatnya aksesibilitas di dalam wilayah melalui jaringan transportasi. Selain itu dengan meningkatnya jumlah manusia menyebabkan semakin besarnya ukuran kota dan semakin besarnya jumlah lalu lintas dalam kota. Ditambah dengan makin banyaknya jumlah dan jenis kendaraan yang beroperasi untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup manusia, hal diatas telah menyebabkan perangkutan menjadi masalah yang harus ditangani secara khusus.

  Sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang disertai pula dengan peningkatan perekonomian, maka tingkat mobilitas baik orang maupun barang akan meningkat pula.

  Keadaan ini harus diimbangi dengan persediaan sarana dan prasarana transportasi yang memadai. Karena bila tidak, hal tersebut akan menghadapkan kota yang sedang tumbuh pada tantangan masalah yang sangat pelik. Di satu pihak, kota dihadapkan pada kenyataan meningkatnya kebutuhan akan lahan untuk ruang kehidupan dan penghidupan penduduknya, dan lain pihak, kota juga dihadapkan pada tantangan menyediakan berjalur- jalur lahan untuk prasarana lalu lintas.

  Perkembangan teknologi angkutan juga mempengaruhi pola gerak masyarakat. Atau sebaliknya, tuntutan kebutuhan gerak masyarakat mendorong perkembangan sarana perangkutan. Dengan kata lain, perangkutan dapat dilihat dari tiga sudut pandang, yaitu :

  1. Sosial : Masyarakat yang membutuhkan, menggunakan, dan mengelola perangkutan, dan juga melakukan pergerakan.

2. Fisik : Prasarana dan saran perangkutan yang memerlukan ruang bagi pergerakannya.

  3. Ekonomi : Bagaimanapun masalah ini tidak dapat dipisahkan. Karena pembangunan prasarana perhubungan suatu daerah akan mempengaruhi perekonomian daerah yang bersangkutan. (Warpani,S,1990). Perencanaan transportasi merupakan proses yang panjang meliputi kebutuhan perjalanan, pembangunan fasilitas pergerakan penumpang dan barang antara beberapa kegiatan yang terpisah dalam ruang. Faktor utama dalam perencaanaan transportasi selalu saling mempengaruhi antara moda perjalanan dengan perkembangan kota. Sistem transportasi meliputi keseimbangan antara supply dan demand baik untuk pelayanan angkutan maupun kenyamanan yang diperoleh dari angkutan.

2.3. Sarana dan Prasarana Transportasi

  Sarana dan prasarana transportasi merupakan faktor yang saling menunjang, dalam sistem transportasi keduanya menjadi kebutuhan utama. Sarana dan prasarana perlu dirinci dan dicatat ciri khasnya, termasuk tingkat pelayanan dan pemencarannya dalam wilayah perkotaan.

2.3.1. Prasarana Transportasi

  Jaringan jalan merupakan prasarana transportasi yang mempunyai daya rangsang terhadap pertumbuhan di sekitarnya. Tidak seimbang penyediaan jaringan jalan terhadap jumlah pertambahan kebutuhan ruang jalan merupakan gambaran permasalahan yang besar akan timpangnya sistem penyediaan (supply) dengan sistem permintaan (demand).

  Transportasi selalu dikaitkan dengan tujuan misalnya perjalanan dari rumah ke tempat bekerja, ke pasar atau tempat rekreasi.

  Ciri utama prasarana transportasi adalah melayani pengguna, bukan merupakan barang atau komoditas. Oleh karena itu, prasarana tersebut tidak mungkin disimpan dan digunakan hanya pada saat diperlukan. Prasarana transportasi harus dapat digunakan dimanapun dan kapanpun, karena jika tidak, kita akan kehilangan manfaatnya. Menurut Undang-Undang No.13, 1980 ; pasal 1, prasarana transportasi adalah jalan.

  Pada dasarnya, prasarana transportasi ini mempunyai dua peranan utama yaitu : 1. Sebagai alat bantu untuk mengarahkan pembangunan di perkotaan.

  2. Sebagai prasarana pergerakan manusia dan atau barang yang timbul akibat adanya kegiatan di daerah perkotaan tersebut.

  Oleh sebab itu, kebijakan yang harus dilakukan adalah menyediakan sistem prasarana transportasi dengan kualitas minimal agar dapat dilalui. Adanya keterhubungan ini menyebabkan kawasan tersebut mudah dicapai dan orang mau tinggal disana.

2.3.2. Sarana Transportasi

  Sarana transportasi dibuat untuk mendukung pergerakan masyarakat dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan moda angkutan umum yang tersedia, sarana transportasi juga dimaksudkan untuk melayani masyarakat dalam kegiatannya mencapai tujuan dari pergerakan.

  Sarana angkutan yang menyangkut perlalulintasan adalah terminal, rambu dan marka lalulintas, fasilitas pejalan kaki, fasilitas parkir, dan tempat henti.

  a. Terminal

  Terminal transportasi adalah prasarana angkutan yang merupakan bagian dari sistem transportasi untuk melancarkan arus penumpang dan barang, dan juga sebagai alat pengendalian, pengawasan, pengaturan dan pengoperasian lalu lintas.

  Terminal transportasi merupakan titik simpul dalam jaringan transportasi jalan yang berfungsi sebagai pelayanan umum yang juga merupakan unsur tata ruang yang mempunyai peranan penting bagi efisiensi kehidupan.

  b. Rambu dan Marka Lalu Lintas

  Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas, khususnya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan marka dan rambu lalu lintas merupakan obyek fisik yang dapat menyampaikan informasi (perintah,peringatan, dan petunjuk) kepada para pemakai serta dapat mempengaruhi pengguna jalan.

  c. Fasilitas Pejalan Kaki Pejalan kaki adalah suatu bentuk transportasi yang penting di daerah perkotaan.

  Kebutuhan para pejalan kaki merupakan suatu bagian terpadu dalam sistem transportasi jalan.

  Para pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika mereka bercampur dengan kendaraan, maka mereka memperlambat arus lalu lintas. Oleh karena itu, salah satu tujuan utama dari manajemen lalu lintas adalah berusaha untuk memisahkan pejalan kaki dari arus kendaraan bermotor, tanpa menimbulkan gangguan-gangguan yang besar terhadap aksesibilitas.

  d. Fasilitas Parkir Kendaraan

  Kebutuhan tempat parkir untuk kendaraan baik kendaraan pribadi, angkutan penumpang umum, sepeda motor maupun truk adalah sangat penting.

  Kebutuhan tersebut sangat berbeda dan bervariasi tergantung dari bentuk dan karakteristik masing-masing kendaraan dengan desain dan lokasi parkir.

  e. Rambu dan Marka Lalu Lintas

  Rambu dan marka lalu lintas sebagai alat untuk mengendalikan lalu lintas, khusunya untuk meningkatkan keamanan dan kelancaran. Pada sistem jalan marka dan rambu lalu lintas merupakan objek fisik yang dapat menyampaikan informasi (perintah, peringatan, dan petunjuk) kepada pemakai jalan serta dapat mempengaruhi pengguna jalan.

2.4. Analisa Permintaan Transportasi

  Sasaran utama dari analisa permintaan transportasi adalah terdapatnya kebutuhan akan jasa transportasi dari penduduk atau masyarakat, yang berawal dari interaksi di antara aktivitas sosial ekonomi masyarakat tersebut, yang aktivitas sosial ekonominya itu memiliki kecenderungan untuk menyebar ke segala penjuru dalam suatu lingkup ruang wilayah atau kota (Miro, 2004). Analisa permintaan transportasi merupakan proses yang berusaha menghubungkan antara kebutuhan akan jasa transportasi dengan kebutuhan sosial ekonomi yang menimbulkan transportasi tersebut. Menurut Miro (2004) permintaan akan jasa transportasi dari penumpang/orang timbul oleh akibat kebutuhan orang untuk melakukan perjalanan dari suatu lokasi ke lokasi lainnya dalam rangka beraktivitas separti bekerja, sekolah, belanja, dan lain sebagainya.

  Karakteristik dari permintaan transportasi yaitu:

1. Karakteristik Tidak Spasial (Bukan Berdasarkan Ruang/Space

  ) Ciri pergerakan tidak spasial adalah semua ciri pergerakan yang berkaitan dengan aspek tidak spasial, seperti sebab terjadinya pergerakan, waktu terjadinya pergerakan, dan moda transportasi apa yang akan digunakan.

  a. Sebab terjadinya pergerakan Sebab terjadinya pergerakan dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan.

  Penyebab terjadinya pergerakan dapat dilihat pada tabel 2.1 (Tamin, 2000). Biasanya maksud perjalanan dikelompokkan sesuai ciri dasarnya, yaitu yang berkaitan dengan ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan agama. Jika ditinjau lebih jauh lagi akan dijumpai kenyataan bahwa lebih dari 90% perjalanan berbasis tempat tinggal.Artinya mereka memulai perjalanan tempat tinggal (rumah) dan mengakhiri perjalanannya kembali ke rumah. Pada kenyataan ini biasanya ditambahkan kategori keenam tujuan perjalanan, yaitu maksud perjalanan pulang ke rumah.

Tabel 2.1 Klasifikasi pergerakan orang di perkotaan berdasarkan maksud pergerakan.

  

Aktivitas Klasifikasi Perjalanan Keterangan

I.

  1. Jumlah orang yang bekerja Ekonomi Ke dan dari tempat kerja a. 2. tidak tinggi, sekitar 40%-50%

  Mencari nafkah Yang berkaitan dengan

  b. bekerja penduduk. Perjalanan yang Mendapatkan barang dan pelayanan

  3. Ke dari toko dan keluar berkaitan dengan pekerja untuk keperluan pribadi. termasuk:

  4.

  a. pulang ke rumah Yang berkaitan dengan belanja atau bisnis pribadi b. mengangkut barang

  c. ke dan dari rapat Pelayanan hiburan dan rekreasi diklasifikasikan secara terpisah tetapi pelayanan medis, hukum dan kesejahteraan masuk ke sini.

  II.

1. Kebanyakan fasilitas terdapat Ekonomi Ke dan dari rumah teman.

  Menciptakan, Menjaga 2. dalam lingkungan keluarga Ke dan dari tempat hubungan pribadi. pertemuan bukan di dan tidak menghasilkan rumah. banyak perjalanan. Butir 2 juga terkombinasi dengan maksd hiburan III.

  1. Hal ini terjadi pada sebagian Pendidikan

  Ke dan dari sekolah, kampus, dan lain besar penduduk yang berusia

  • – lain

  5-22 tahun. Di negara sedang berkembang jumlahnya sekitar 85% penduduk.

  1. Ke dan dari tempat rekreasi IV.

  Mengunjungi restoran, Rekreasi dan hiburan

  2.Yang berkaitan dengan kunjungan sosial, termasuk perjalanan dan berkendaraan perjalanan pada hari libur. untuk rekreasi V.

  1. Ke dan dari tempat ibadah Perjalanan kebudayaan dan Kebudayaan

  2. Perjalanan bukan hiburan hiburan sangat sulit dibedakan ke dan dari daerah budaya serta pertemuan politik

  Sumber: LPM ITB, 1996

  b. Waktu terjadinya pergerakan Waktu terjadinya pergerakan sangat bergantung pada kapan seseorang melakukan aktivitasnya sehari-hari. Dengan demikian waktu pergerakan sangat tergantung pada maksud perjalanan. Pergerakan ke tempat kerja atau pergerakan untuk maksud bekerja biasanya merupakan perjalanan yang dominan (Tamin, 2000). Karena pola kerja biasanya dimulai jam 08.00 dan berakhir jam 16.00, maka pola pergerakan akan mengikuti pola jam kerja. Sehingga jam 06.00 sampai jam 08.00 akan banyak pergerakan dari rumah ke tempat kerja. Pada sore hari sekitar jam 16.00 sampai jam 18.00 akan banyak pergerakan dari tempat kerja ke rumah. Selanjutnya, perjalanan dengan maksud sekolah atau pun pendidikan cukup banyak jumlahnya dibandingkan dengan tujuan lainya. Biasanya sekolah dimulai jam 08.00 dan berakhir jam 16.00. Sehingga jam 06.00 sampai jam 07.00 akan banyak pergerakan dari rumah ke sekolah. Pada sore hari sekitar jam 13.00 sampai jam 14.00 akan banyak pergerakan dari sekolah ke rumah, sehingga pola perjalanan sekolah ini pun turut mewarnai pola waktu puncak perjalanan. Sedangkan perjalanan lain yang cukup berperan adalah perjalanan untukmaksud berbelanja. Pola perjalanan yang diperoleh dari penggabungan ketiga pola perjalanan tersebut terkadang disebut juga pola variasi harian, yang menunjukkan tiga waktu puncak, yaitu waktu puncak pagi, waktu puncak siang, dan waktu puncak sore.

  c.

  Moda transportasi apa yang akan digunakan Dalam melakukan perjalanan, orang biasanya dihadapkan pada pilihan jenis angkutan seperti mobil, angkutan umum, pesawat terbang, atau kereta api. Dalam menentukan pilihan jenis angkutan, orang mempertimbangkan berbagai faktor, yaitu maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya dan tingkat kenyamanan. Meskipun dapat diketahui faktor yang menyebabkan seseorang memilih jenis moda yang digunakan, pada kenyataannya sangatlah sulit untuk merumuskan mekanisme pemilihan moda ini.

2. Karakteristik Spasial

  Pergerakan terjadi karena manusia melakukan aktivitas di tempat yang berbeda dengan daerah tempat mereka tinggal. Artinya keterkaitan antarwilayah ruang sangatlah berperan dalam menciptakan pergerakan. Jika suatu daerah sepenuhnya terdiri dari lahan tandus tanpa tumbuhan dan sumber daya alam, dapat diduga bahwa pada daerah tersebut tidak akan timbulPergerakan mengingat di daerah tersebut tidak mungkin timbul aktivitas. Juga, tidak akan pernah ada keterkaitan ruang antara daerah tersebut dengan daerah lainnya. Konsep yang paling mendasar yang menjelaskan terjadinya pergerakan atau perjalanan selalu dikaitkan dengan pola hubungan antara distribusi spasial. Pergerakan dengan distribusi spasial tata guna lahan yang terdapat di dalam suatu wilayah. Dalam hal ini, konsep dasarnya adalah bahwa suatu perjalanan dilakukan untuk melakukan kegiatan tertentu di lokasi yang dituju, dan lokasi kegiatan tersebut ditentukan oleh pola tata guna lahan kota tersebut. Jadi, faktor tata guna lahan sangat berperan. Berikut ini dijelaskan beberapa ciri perjalanan spasial, yaitu pola perjalanan orang dan pola perjalanan barang (Tamin, 2000). a.

  Pola Perjalanan orang Perjalanan terbentuk karena adanya aktivitas yang dilakukan, bukan di tempat tinggal sehingga pola sebaran tata guna lahan suatu kota akan sangat mempengaruhi pola perjalanan orang. Dalam hal ini pola penyebaran spasial yang sangat berperan adalah sebaran spasial dari daerah industri, perkantoran, dan pemukian. Pola sebaran spasial dari ketiga jenis tata guna lahan ini sangat berperan dalam menentukan pola perjalanan orang, terutama perjalanan dengan maksud bekerja. Tentu saja sebaran spasial untuk pertokoan dan areal pendidikan juga berperan.

  b.

  Pola Perjalanan Barang Berbeda dengan pola perjalanan orang, pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktivitas produksi dan konsumsi yang sangat tergantung pada sebaran pola tata guna lahan pemukiman (konsumsi), serta industri dan pertanian (produksi). Selain itu, pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh pola rantai distribusi yang menghubungkan pusat produksi ke daerah konsumsi.

2.5. Bangkitan Perjalanan/Pergerakan

  Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah tahapan pemodelan yang memperkirakan jumlah pergerakan yang berasal dari suatu zona atau tata guna lahan atau jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona (Tamin, 1997). Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah banyaknya lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu zona atau tata guna lahan persatuan waktu (Wells, 1975). Bangkitan Pergerakan (Trip Generation) adalah jumlah perjalanan yang terjadi dalam satuan waktu pada suatu zona tata guna lahan (Hobbs, 1995). Bangkitan pergerakan adalah suatu proses analisis yang menetapkan atau menghasilkan hubungan antara aktivitas kota dengan pergerakan.(Tamin,1997.) perjalanan dibagi menjadi dua yaitu:

  a. Home base trip, pergerakan yang berbasis rumah. Artinya perjalanan yang dilakukan berasal dan rumah dan kembali ke rumah.

  b. Non home base trip, pergerakan berbasis bukan rumah. Artinya perjalanan yang asal dan tujuannya bukan rumah.

  Pernyataan di atas menyatakan bahwa ada dua jenis zona yaitu zona yang menghasilkan pergerakan (trip production) dan zona yang menarik suatu pergerakan (trip attraction). Defenisi trip attraction dan trip production adalah:

  a. Bangkitan perjalanan (trip production) adalah suatu perjalanan yang mempunyai tempat asal dari kawasan perumahan ditata guna tanah tertentu.

  b. Tarikan perjalanan (trip attraction) adalah suatu perjalanan yang berakhir tidak pada kawasan perumahan tata guna tanah tertentu. Kawasan yang membangkitkan perjalanan adalah kawasan perumahan sedangkan kawasan yang cenderung untuk menarik perjalanan adalah kawasan perkantoran, perindustrian, pendidikan, pertokoan dan tempat rekreasi.

  Bangkitan pergerakan digunakan untuk menyatakan suatu pergerakan berbasis rumah yang mempunyai asal dan/atau tujuan adalah rumah atau pergerakan yang dibangkitkan oleh pergerakan berbasis bukan rumah. Seperti terlihat pada gambar 2.3 berikut ini :

  Bangkitan Bangkitan

  c. kawasan pendidikan,

  Tempat Kerja

  Tempat Kerja

  Tempat Kerja

  a. Berdasarkan tujuan perjalanan, perjalanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian sesuai dengan tujuan perjalanan tersebut yaitu: 1) perjalanan ke tempat kerja, 2) perjalanan dengan tujuan pendidikan, 3) perjalanan ke pertokoan / belanja,

  Perjalanan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :

  d. kawasan usaha (bisnis), e. kawasan hiburan (rekreasi).

  b. kawasan perbelanjaan,

  Bangkitan Bangkitan

  a. tempat bekerja,

  Parameter tujuan perjalanan yang sangat berpengaruh di dalam produksi perjalanan (Levinson, 1976), adalah:

  Bangkitan dan tarikan pergerakan digunakan untuk menyatakan bangkitan pergerakan pada masa sekarang, yang akan digunakan untuk meramalkan pergerakan pada masa mendatang. Bangkitan pergerakan ini berhubungan dengan penentuan jumlah keseluruhan yang dibangkitkan oleh sebuah kawasan.

Gambar 2.3 Bangkitan dan Tarikan

  Sumber : Tamin, 1997

  Tarikan Tarikan

  Tarikan Tarikan

  Tempat Kerja

  4) perjalanan untuk kepentingan sosial.

  b. Berdasarkan waktu perjalanan biasanya dikelompokkan menjadi perjalanan pada jam sibuk dan jam tidak sibuk. Perjalanan pada jam sibuk pagi hari merupakan perjalanan utama yang harus dilakukan setiap hari (untuk kerja dan sekolah).

  c. Berdasarkan jenis orang, pengelompokan perjalanan individu yang dipengaruhi oleh tingkat sosial-ekonomi, seperti: 1) tingkat pendapatan, 2) tingkat pemilikan kendaraan, 3) ukuran dan struktur rumah tangga.

  Dalam sistem perencanaan transportasi terdapat empat langkah yang saling terkait satu dengan yang lain (Tamin, 1997), yaitu: 1) Bangkitan pergerakan (Trip generation) 2) Distribusi perjalanan (Trip distribution) 3) Pemilihan moda (Modal split) 4) Pembebanan jaringan (Trip assignment)

  Untuk lingkup penelitian ini tidak semuanya akan diteliti, tetapi hanya pada lingkup bangkitan pergerakan (trip generation).

  Menurut Miro bangkitan perjalanan dapat diartikan sebagai banyaknya jumlah perjalanan/pergerakan/lalulintas yang dibangkitkan pada sebuah zona (kawasan) persatuan waktu (perdetik, menit, jam, hari, minggu, dan seterusnya). Pergerakan lalu lintas merupakan fungsi tata guna lahan dan jumlah pergerakan yang tertarik ke suatu tata guna lahan atau zona. Pergerakan lalu lintas mencakup fungsi tata guna lahan yang menghasilkan pergerakan lalu lintas. Bangkitan lalu lintas ini mencakup lalu lintas yang meninggalkan suatu lokasi dan lalu lintas yang menuju atau tiba di suatu lokasi (Tamin, 2000). i d

  Pergerakan yang Pergerakan yang berasal dari zona i menuju zona d

  Gambar 2.4

  Diagram Bangkitan dan Tarikan Pergerakan Sumber : Tamin, 2000.

2.6. Tempat Pemberhentian Kendaraan Penumpang Umum (TPKPU)

  2.6.1. Pengertian

  Tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum terdiri dari halte (shelter) dan tempat pemberhentian bus (bus stops). Dimana halte adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan. Sedangkan tempat pemberhentian bus adalah tempat untuk menaikkan dan menurunkan penumpang yang selanjutnya disebut TPB (Direktorat Jendral Perhubungan Darat ,1996)

  2.6.2. Tujuan

  Tujuan perekayasaan tempat perhentian kendaraan penumpang umum (TPKPU) adalah : 1. menjamin kelancaran dan ketertiban arus lalu lintas; 2. menjamin keselamatan bagi pengguna angkutan penumpang umum 3. menjamin kepastian keselamatan untuk menaikkan dan/atau menurunkan penumpang;

  4. memudahkan penumpang dalam melakukan perpindahan moda angkutan umum atau bus.

2.6.3. Pengertian Halte

  Berikut ini adalah definisi halte:

  1. Menurut Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) ITB tahun 1997, halte adalah lokasi di mana penumpang dapat naik ke dan turun dari angkutan umum dan lokasi di mana angkutan umum dapat berhenti untuk menaikan dan menurunkan penumpang, sesuai dengan pengaturan operasional.

  2. Menurut Dirjen Bina Marga tahun 1990, halte adalah bagian dari perkerasan jalan tertentu yang digunakan untuk pemberhentian sementara bus, angkutan penumpang umum lainnya pada waktu menaikan dan menurunkan penumpang.

  3. Menurut Dirjen Perhubungan Darat tahun 1996, halte adalah tempat adalah tempat pemberhentian kendaraan penumpang umum untuk menurunkan dan/atau menaikan penumpang yang dilengkapi dengan bangunan.

2.7. Jenis Halte Jalur Khusus

  Halte pada jalur khusus adalah halte dengan desain khusus untuk menyampaikan identitas yang dapat membedakan dari pelayanan transportasi umum lainnya, mencerminkan jenis pelayanan prima dan terintegrasi dengan lingkungan sekitar, perlu adanya keterlibatan masyarakat/organisasi profesional, sehingga memperhatikan :

  1. Keserasian dengan lingkungan.

  2. Berfungsi sebagai ornamen kota.

  3. Memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang cacat.

  4. Lokasi halte didasarkan pada sistem pembagian zona.

2.8. Fasilitas Halte

  Fasilitas halte yang diperlukan untuk menjamin kenyamanan dan keamanan penumpang menunggu, naik-turun kendaraan umum dan menjamin kelancaran pergerakan lalu lintas, sehingga fungsi halte dapat efisien dan efektif diperlukan: a) Tempat menunggu penumpang yang tidak mengganggu aktivitas jalan.

  b) Tempat berteduh yang memenuhi c) Tempat berhenti kendaraan umum beserta rambunya yang aman dan lancar.

d) Tempat duduk untuk penumpang menunggu kendaraan.

  e) Fasilitas penyebrangan untuk pejalan kaki, yang tidak terganggu oleh aktivitas halte.

  f) Pemasangan pagar, supaya pejalan kaki tidak menyebrang di sembarang tempat.

  g) Informasi yang diperlukan

  h) Telpon umum

2.9. Kriteria Penentuan Lokasi Halte

  Didasarkan pada perencanaan kota dan persyaratan, penentuan lokasi halte penumpang kendaraan angkutan umum dilakukan dengan memperhatikan rencana kebutuhan lokasi simpul jaringan aktivitas penumpang dan jalur kendaraan umum, serta diperhatikan pula : a) Rencana umum tata ruang.

  b) Kepada lalu lintas dan kapasitas jalan disekitar halte.

  c) Keterpaduan antar moda transportasi

  d) Kondisi geografi lokasi halte

  e) Kelestarian lingkungan.

  Selain itu sebaran lokasi halte harus memperhatikan berbagai aspek yang berkaitan dengan tuntutan umum (Warpani, 2002) yaitu: a) Pusat keramaian yang ada; misalnya pasar, pertokoan,obyek wisata dan lain-lain.

  b) Pusat kegiatan, misalnya kantor, sekolahan dan lain-lain.

  c) Kemudahan perpindahan moda, misalnya persimpangan jalan.

  Persyaratan penentuan lokasi halte secara umum (Iskandar Abubakar dan kawan- kawan, 1995) adalah sebagai berikut: a)

  Terletak pada jalur pejalan kaki/trotoar (footway) b) Dekat dengan pusat kegiatan yang membangkitkan pemakai angkutan umum.

  c) Tidak tersembunyi, aman terhadap gangguan kriminal.

  d) Harus ada pengatur pergerakan kendaraan, pemakai halte dan pejalan kaki, sehingga aman terhadap kecelakaan lalu lintas.

  e) Tidak mengganggu kelancaran arus lalu lintas.

  Melihat persyaratan umum dan pedoman praktis penentuan lokasi halte angkutan umum, maka perlu diperhatikan kondisi lapangan : a) Ada tidaknya trotoar.

  b) Tersedianya lahan untuk membuat bus lay by.

  c) Tingkat pelayanan jalan.

  d) Kecukupan lebar jalan.

  e) Tingkat permintaan penumpang yang menentukan perlu tidaknya lindungan.

2.10. Pemilihan Lokasi Halte

  Berdasarkan Vucich (1981), lokasi halte angkutan umum di jalan raya diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kategori yaitu :

  1. Near Side (NS), pada persimpangan jalan sebelum memotong jalan simpang (cross

  street)

  2. Far Side (FS), pada persimpangan jalan setelah melewati jalan simpang (cross

  street)

  3. Midblock street (MB), pada tempat yang cukup jauh dari persimpangan atau pada ruas jalan tertentu Halte biasanya ditempatkan di lokasi yang tingkat permintaan akan penggunaan angkutan umumnya tinggi serta dengan pertimbangan kondisi lalu lintas kendaraan lainnya

  (Ogden dan Bennet, 1984). Untuk itu, pertimbangan khusus harus diberikan dalam menentukan lokasi halte dekat dengan persimpangan. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan halte dekat persimpangan tersebut adalah:

  1. Apabila arus kendaraan yang belok ke kanan padat, maka penempatan lokasi halte yang paling baik adalah sebelum persimpangan.

  2. Apabila arus kendaraan yang belok ke kiri padat, maka penempatan lokasi halte adalah setelah persimpangan.

  3. Di persimpangan dimana terdapat lintasan trayek angkutan umum lainnya, penempatan halte harus mempertimbangkan jarak berjalan kaki penumpang dan konflik kendaraan-penumpang yang mungkin terjadi agar proses transfer (alih moda) penumpang berjalan lancar.

  Sedangkan menurut Vuchic (1981) aspek

  • – aspek yang mempengaruhi penentuan lokasi halte:

  1. Lampu lalu lintas Untuk daerah pusat kota faktor lampu lalu lintas merupakan faktor utama yang dapat mempengaruhi kecepatan perjalanan bus.

  2. Akses penumpang

  Halte sebaiknya ditempatkan di lokasi tempat penumpang menunggu yang dilindungi dari gangguan lalu linta, harus mempunyai ruang yang cukup untuk sirkulasi, dan tidak mengganggu kenyamanan pejalan kaku di trotoar. Pada persimpangan sebaiknya ditempatkan halte untuk mengurangi jalan berjalan kaki penumpang yang akan beralih moda.

  3. Kondisi lalu lintas Pembahasan kondisi lalu lintas diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas.

  4.Geometri jalan Geometri jalan mempengaruhi lokasi halte. Pembahasan Geometri jalan diperlukan dengan tujuan agar penempatan lokasi halte tidak mengakibatkan atau memperburuk gangguan lalu lintas

2.11. Penentuan Jarak antara Halte dan/atau TPB

  Penentuan jarak antara halte dan/atau TPB dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 2.2 Jarak Halte dan TPB

  Zona Tata Guna Lahan Lokasi Jarak Tempat Henti (m)

  1 Pusat kegiatan sangat padat: pasar, pertokoan CBD, Kota 200 -- 300 *)

  2 Padat : perkantoran, sekolah, jasa Kota 300 -- 400

  3 Permukiman Kota 300 -- 400

  4 Campuran padat : perumahan, sekolah, jasa Pinggiran 300 -- 500

  5 Campuran jarang : perumahan, ladang, sawah, tanah kosong Pinggiran 500 -- 1000

  Sumber : Dinas Perhubungan, 1996. Keterangan : *)= jarak 200 m dipakai bila sangat diperlukan saja, sedangkan jarak umumnya 300 m.

  Adapun persyaratan umum tempat perhentian kendaraan penumpang umum adalah: 1. Berada disepanjang rute angkutan umum atau bus.

  2. Terletak pada jalur pejalan kaki dan dekat pada fasilitas pejalan kaki.

  3. Diarahkan dekat dengan pusat kegiatan atau pemukiman.

  4. Dilengkapi rambu petunjuk.

5. Tidak mengganggu kelancaran lalu lintas.

2.12. Facility Location

  Facility location adalah suatu proses pengidentifikasian lokasi geografis terbaik dari suatu fasilitas produksi atau jasa. Facility location adalah suatu proses pemilihan lokasi geografis untuk suatu operasi-operasi suatu perusahaan. Facility location untuk riset operasi diselesaikan dengan pemodelan, pengembangan algoritma, dan teori

  • – teori yang kompleks (Daskin, 2008). Pemodelan lokasi dapat diaplikasikan untuk menentukan lokasi emergency medical service (EMS), stasiun pemadam kebakaran, sekolah, rumah sakit, bandara, tempat pembuangan sampah, dan gudang. Pemodelan lokasi juga digunakan pada penentuan rute, dan analisis area arkeologi. Salah satu teori dan pemodelan lokasi yang dipelopori oleh Weber (1929) adalah mempertimbangkan facility location dengan tujuan untuk meminimalkan jumlah jarak perjalanan antara tempat fasilitas dan kumpulan konsumen-konsumen.

1. Klasifikasi Pemodelan lokasi

  Model lokasi pada dasarnya memodelkan hubungan antara titik permintaan dan titik lokasi fasilitas pelayanan. Variabel keputusan pada model lokasi umumnya adalah menentukan dimana lokasi-lokasi yang optimal untuk dibangun fasilitas pelayanan. Asumsi dan fungsi objektif pada model lokasi adalah berbeda-beda menurut variannya. Pemodelan lokasi diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu analytical models, continuous models, network models, dan discrete models.

  Pengklasifikasian pemodelan lokasi dapat dilihat pada gambar 2.5.

  Location Models Discrete Models

  Analytical Model Continious Model Network Models

  Gambar 2.5

  Klasifikasi Model Lokasi

  Sumber :

  Daskin, 2008

  Analytical model berasumsi bahwa alternatif lokasi fasilitas dan alternatif titik-titik

  permintaan keduanya tersebar kontinyu (uniform) pada suatu area. Continuous model merupakan model dengan permintaan hanya muncul pada lokasi atau titik-titik tertentu, tetapi alternatif lokasinya mencakup seluruh titik pada area tersebut. Network model dan

  Discrete model

  keduanya berasumsi bahwa alternatif lokasi dan titik-titik permintaan keduanya bersifat diskrit, yaitu hanya terdapat pada titik-titik tertentu saja dalam area.

  Network model

  mengasumsikan adanya network/path atau jalan yang menghubungkan titik-titik permintaan dengan titiktitik alternatif lokasi sementara discrete models tidak memerlukan asumsi seperti itu.

  Discrete Model 2.

  Lebih rinci lagi, Daskin (2008) membagi Discrete models menjadi varian- variannya sebagaimana gambar 2.6. Discrete models terdiri dari 3 cabang, yaitu

  covering base models , median base models, p dispersion. Dalam model ini

  menunjukkan bahwa adanya batasan-batasan permintaan pada suatu titik (node) yang sekaligus dijadikan sebagai titik alternatif lokasi. Dalam model lokasi discrete sendiri dibagi lagi menjadi beberapa bagian model.

Gambar 2.6 Uraian(breakdown) Model Lokasi Discrete Sumber : Daskin, 2008.

  Max # covered demands with P sites

  Max the minimum distance between any pair of facilities

  P-Dispersion

  Min fixed facility and transport costs Other Models

  Fix Charge

  Min average distance beetween demands and nearest of P sites

  Set Covering

  Min coverage Dist needed with P-sites Median- Based Model

  p-Center

  Max Covering

  Kelompok covering-based model dibedakan menjadi tiga model berdasarkan fungsi objektifnya, yaitu set covering, max covering dan p-center. Variabel keputusan untuk ketiga model ini adalah sama, yaitu dimana lokasi-lokasi yang optimal untuk dibangun fasilitas pelayanan sehingga fungsi objektif tercapai.

  Min # sites needed to cover all demands

  Set Covering

  Discrete Location Model Covering Base Model

1. Set Covering Problem

  c }

  ≤ D

  = jarak pemenuhan N i = { j| d ij

  c

  Dimana : I = titik demand dengan indek i J = titik alternatif lokasi dengan indek j d ij = jarak antara titik permintaan i dengan alternatif lokasi j D

  Model set covering (Toregas et al., 1971) bertujuan meminimumkan jumlah titik lokasi fasilitas pelayanan tetapi dapat melayani semua titik permintaan. Untuk menggambarkan model set covering dapat dirumuskan atau formulasikan sebagai berikut :

  = semua alternatif lokasi yang meliputi titik permintaan i Variable keputusannya :

   1 jika pada lokasi j 

  x

  j =   o jika tidak  

  Dengan notasi di atas maka dapat di formulasikan sebagai berikut : Minimize (2.1)

   x j jJ

   1  I (2.2)   x j i jN i x j  1   ,  jJ (2.3)

  Berdasarkan formulasi tersebut dapat diuraikan menjadi tujuan (2.1) untuk meminimasi jumlah alternatif lokasi. Batasan (2.2) setiap titik pemintaan dapat dipenuhi sedikitnya oleh satu fasilitas, (2.3) benar atau tidaknya suatu keputusan.

2. Max Covering Problem

  Model lokasi maximal covering (Church and ReVelle, 1974) menunjukkan adanya suatu batasan pada banyaknya fasilitas untuk dijadikan sebagai lokasi. Model max covering memiliki fungsi objektif untuk memaksimumkan jumlah titik permintaan yang terlayani dengan batasan hanya tersedia sejumlah p titik lokasi fasilitas pelayanan yang dapat melayani titik-titik permintaan tersebut. Model maximal covering diformulasikan sebagai berikut :

  h i = demand atau permintaan pada titik i p = banyaknya fasilitas untuk penentuan lokasi

  1 jika titik i dipenuhi  x = j

   jika tidak  Maximaze  z (2.4)

  hi i iI

    

  

I

  Subject to  z (2.5) j x j i i

   N i

   p

  (2.6)

  x j J jx j j J (2.7)

   1   ,  

  z i i J

   1   ,   (2.8) Berdasarkan formulasi atau rumus pada model maximal covering dapat diketahui, tujuan (2.4) memaksimalkan total permintaan yang dapat dipenuhi. Batasan (2.5) pemenuhan permintaan pada titik i tidak terhitung, kecuali pada salah satu alternatif lokasi yang dapat memenuhi titik i. (2.6) membatasi banyaknya fasilitas pada daerah penempatan. (2.7 dan 2.8) merupakan suatu keputusan penempatan lokasi sebagai pemenuhan titik-titik permintaan.

  3. p-center problem

  Model p-center fungsi objektifnya adalah meminimumkan rata-rata jarak terjauh (coverage distance) antara titik permintaan dan titik lokasi fasilitas pelayanan. Fungsi objektif dalam model p-center sering disebut Min Max objective. Model p-center diformulasikan sebagai berikut :

  W = memaksimal antara titik permintaan dan lokasi pada jarak yang telah ditentukan.

   1 jika titik i untuk menentukan suatu lokasi pada titik j 

  Y i j =

    jika tidak

   

  Berdasarkan variable keputusan di atas maka dapat diformulasikan : Maximize W (2.9)

   p

  Subject to : x j (2.10) j J

    

  1 jiI (2.11) J yij

   i-

  I

  y ij x j , j  ` J (2.12) ≤ 0

  

  W -   i

  I (2.13) hi d ij jJ yij

  , 1  iI (2.14)    x j

   ,

  1  i

  I , jJ (2.15)   yij

  Pada formulasi di atas maka dapat diketahui, tujuan (2.9) adalah meminimasi jarak pada demand-weighted pada tiap titik permintaan dengan lokasi yang terdekat sehingga dapat bernilai maksimal. Batasan (2.10) menetapkan p sebagai lokasi, (2.11) setiap titik permintaan hanyadapat dipenuhi oleh satu lokasi saja, (2.12) pembatasan pada titik-titik permintaan hanya pada satu lokasi, (2.13) pada demand-weighted yang maksimal dapat diminimasi dengan jarak yang lebih kecil, 2.(14) variabel keputusan dengan bilangan biner, (2.15) permintaan hanya dapat ditentukan oleh satu titik lokasi saja. Model lainnya adalah model p-median atau sering disebut Weber problem. Model p-median memiliki fungsi objektif untuk meminimumkan rata-rata jarak berbobot antara titik lokasi fasilitas pelayanan dan titik permintaan. Fixed charge model memiliki fungsi objektif untuk meminimumkan total biaya tetap (biaya investasi) dan biaya variabel (transportation cost) yang ditanggung oleh fasilitas pelayanan dan konsumen.

2.8. Pemrograman Bilangan Bulat

  Pemrograman bilangan bulat atau pemrograman linier integer (Integer Linier

  Programing/

  ILP) pada intinya berkaitan dengan program

  • – program linier dimana beberapa atau semua variable memiliki nilai
  • – nilai integer (bulat) atau diskrit. Menurut Hiller (1994) banyak sekali penerapan pemrograman bilangan bulat yang merupakan perluasan dari suatu pemrograman linier. Akan tetapi bidang penerapan lain yang mungkin lebih penting adalah masalah yang menyangkut sejumlah “keputusan ya atau tidak” yang saling berhubungan. Dalam keputusan seperti ini, hanya ada dua pilihan kemungkinan yaitu ya atau tidak. Sebagai contoh, apakah kita harus mengerjakan suatu proyek tertentu. Dengan hanya dua pilihan ini, kita hanya dapat menyatakan keputusan-keputusan seperti itu dengan peubah keputusan yang dibatasi hanya pada dua nilai, misalkan nol dan satu. Jadi, keputusan ya atau tidak ke j akan dinyatakan dengan x j sedemikian sehingga,

   1 , jika keputusan ke j adalah " ya"

  xj = 

  , jika keputusan ke j adalah " tidak" 

  Peubah

  • – peubah seperti ini disebut peubah biner (atau peubah 0-1). Gaspersz (2002) menyatakan bahwa pada dasarnya pemrograman bilangan bulat memiliki empat karakteristik utama, yaitu :

  1. Masalah pemrograman bilangan bulat berkaitan dengan upaya memaksimumkan (pada umumnya keuntungan) atau meminimumkan (pada umumnya biaya).

  Upaya optimasi (maksimum atau minimum) ini disebut sebagai fungsi tujuan (objective function) dari integer linear programming. Fungsi tujuan ini terdiri dari variabel- variabel keputusan (decision variable) yang bersifat bilangan bulat (integer).

  2. Terdapat kendala-kendala atau keterbatasan, yang membatasi pencapaian tujuan yang dirumuskan dalam linear programming. Kendala-kendala ini dirumuskan dalam fungsi-fungsi kendala (constr aint’s functions), terdiri dari variabel- variabel keputusan yang menggunakan sumber-sumber daya yang terbatas itu.

  3. Memiliki sifat linieritas. Sifat linieritas ini berlaku untuk semua fungsi tujuan dan fungsi kendala.

Dokumen yang terkait

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Hukum Mengenai Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan Yang Dilakukan Oleh Anak Sebagai Pelaku Kejahatan Dalam Perspektif Kriminologi (Studi Kasus Putusan No.21/Pid.Sus-Anak/2014/PN.MDN)

0 0 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HAK PERLINDUNGAN KONSUMEN PENGGUNA JASA PENERBANGAN DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN UNDANG-UNDANG NO 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Pene

0 0 29

BAB I PENDAHULUAN - Perlindungan Hak Konsumen atas Pengguna Jasa Penerbangan Dalam Hal Kenaikan Harga Tiket yang Tinggi Ketika Musim Libur dan Keselamatan Penerbangan (Studi Pada PT. Garuda Indonesia Kantor Cabang Medan)

0 0 11

BAB II PENGATURAN PERSAINGAN USAHA A. Pengertian Persaingan Usaha - Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

0 0 22

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Persaingan Sesama Merek (Intrabrand) dikaitkan Dengan Pembatasan Perdagangan Secara Vertikal

0 0 17

BAB II PENGATURAN TENTANG PERBUATAN ORANG YANG DENGAN SENGAJA TIDAK MELAPORKAN ADANYA TINDAK PIDANA MENGUASAI NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NARKOTIKA A. Narkotika - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tinda

0 0 25

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Orang yang Dengan Sengaja Tidak Melaporkan Adanya Tindak Pidana Menguasai Narkotika (Studi Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 409/Pid.B/2014/PN.Mdn.)

0 0 28

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Peranan Kepolisian dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika (Studi Kasus di Wilayah Hukum POLRES Tobasa)

0 1 43

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Air - Analisis Bakteri Coliform Pada Air Minum Dengan Menggunakan Metode Most Probable Number (Mpn)

0 0 12

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daun Sirih Merah (Piper ornatum N). - Analisis Komponen Kimia Dan Uji Aktifitas Antibakteri Minyak Atsiri Daun Sirih Merah (Piper ornatum N) Asal Pematang Siantar

0 0 18